Masalah Pedagang Kaki Lima

Pedagang Kaki Lima


Dilema Kota

Tanpa Akhir


Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)

Yousri Nur Raja Agam bersama Walikota Padang Fauzi Bahar saat berkunjung ke Kota Surabaya

Yousri Nur Raja Agam bersama Walikota Padang Fauzi Bahar saat berkunjung ke Kota Surabaya

BERMULA dari pedagang keliling yang memasarkan dagangannya ke berbagai tempat yang ramai, di sanalah awal sebutan “Pedagang Kaki Lima” atau PKL. Biasanya, para pedagang yang berpindah-pindah itu, membawa kain besar segi empat ke mana ia pergi. Setelah menemukan tempat yang dianggap layak untuk menjual barang dagangannya, kain besar itu dikembangkan. Ke empat sudutnya diikat dan dihubungkan dengan tongkat sebagai tiang dan di bagian tengahnya ditopang dengan galah bambu. Jadilah empat sudut dan satu tiang penyangga menjadi lima. Sehingga, pedagang dan pembeli berlindung di bawah tenda berkaki lima. Lama-lama, popularlah sebutan kepada pedagang tidak tetap yang berada di tanah lapang atau pinggir jalan itu sebagai pedagang kaki lima.

Di ibukota Jakarta, pernah ada cap, bahwa PKL itu idendik dengan “orang Padang atau perantau asal Minang”. Sebab di mana-mana pada tahun 1950-an hingga 1970-an PKL itu didominasi oleh para PKL asal Sumatera Barat itu. Menyusul kemudian dari perantau asal Tapanuli atau Batak. Tetapi, lama kelamaan PKL di Jakarta itu berdatangan dari seluruh daerah di Indonesia. Khusus di Jawa, daerah asal PKL terbanyak dari Sumedang, Tegal, Wonogiri, Lamongan dan Madura. Inipun terjadi di kota-kota besar lainnya, termasuk Kota Surabaya. Di Surabaya, PKL terbanyak berasal dari Madura dan Lamongan.

Biasanya, pedagang berpindah yang sering berada di bawah tenda kaki lima adalah penjual obat, makanan dan minuman kecil, jajan tradisional, mainan anak-anak, kebutuhan sehari-hari dan sebagainya. Juga, pada umumnya yang dijual harganya “miring”, lebih murah dibanding yang dijual di toko. Tidak jarang barang yang dijual di pinggir jalan dan emperan itu berkualitas rendah. Barang-barang bekas, rombeng atau loak. Bahkan di masa kini, adalah barang ilegal dan bajakan.

Ada juga yang menerjemahkan PKL itu sebagai pedagang keliling yang menggunakan gerobak dorong (rombong). Rombong ini biasanya mempunyai roda tiga, satu di depan, dua di samping kiri dan kanan, lalu dua kaki pengganjal di bagian belakang bila berhenti. Dua kaki di bagian belakang, ada juga yang mengartikan kaki pedagang yang mendorongnya apabila sedang berjalan. Sehingga pedagang yang menggunakan gerobak dorong ini disebut PKL. Pokoknya, itulah. Terserah kalau ada terjemahan atau makna lain.

Kehadiran para PKL ini, umumnya dilakukan oleh pedagang bermodal kecil. Mereka berjualan bukan untuk mencari kaya, tetapi sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari guna mengganjal perut. Sekedar untuk menghidupi keluarganya agar terbebas dari kemiskinan. Hanya itu. Sebab, mereka tidak punya modal besar untuk membeli stan dan kios di pasar atau membeli toko yang permanen.

Keberadaan PKL di desa-desa biasanya pada hari-hari pasar. Namun di kota-kota umumnya rutin setiap hari. Ada PKL permanen dan ada pula yang tidak. PKL permanen menempati lahan tetap di tanah lapang, tanah kosong atau pinggir jalan yang tidak mengganggu kelancaran lalulintas. Sedangkan yang tidak permanen, hanya pada waktiu-waktu tertentu. Tidak jarang, bahkan menutup jalan raya sama sekali di sore hingga malam hari.

Kalau di desa-desa atau kota kecil peranan PKL tidak pernah menjadi masalah. Namun di kota-kota besar selalu menjadi problema. Tidak saja PKL itu dianggap sebagai pengganggu kelancaran lalulintas kalau PKL itu berada di pinggir jalan raya, tetapi juga dianggap sebagai tempat bersarangnya “multi permasalahan”. Artinya, PKL itu membuat keresahan apabila mereka dengan seenaknya menempati halaman dan trotoar di depan rumah atau toko. Kebiasaan “jelek” yang sering terjadi di kota-kota besar, seperti Surabaya ini, kalau semula lahan dengan bangunan itu hanya khusus untuk berjualan, lama kelamaan berubah menjadi tempat tinggal.

Tradisional

Memang, tidak ada satupun kota di dunia ini yang tidak mempunyai PKL. Bukan hanya di negara miskin, seperti di Asia dan Afrika, tetapi juga kota-kota di negara maju di Amerika dan Eropa. PKL bahkan di kota tertentu dijadikan kebanggaan dan menjadi obyek wisata. Para turis yang berkunjung ke suatu kota, masih belum lengkap pelancongannya apabila ia tidak singgah dan menikmati suguhan PKL. Biasanya, barang-barang di PKL itu menarik, unik, sederhana dan murah. Sehingga, banyak yang dijadikan sebagai cinderamata atau souvenir. Demikian pula, kalau jenis jualan itu makanan, biasanya banyak juga masakan khas dan tradisional.

PKL tiap hari "memakan" separuh badan jalan di Jalan Pahlawan Surabaya

PKL tiap hari "memakan" separuh badan jalan di Jalan Pahlawan Surabaya

Bagi Kota Surabaya, keberadaan PKL ada di mana-mana. Hampir di seluruh jalur jalan dan tempat-tempat terbuka. Hampir tak ada lahan kosong di seantero kota ini yang tidak ditempati PKL. Di kota ini, PKL dibagi adalah dua jenis: legal dan ilegal atau sah dan liar. PKL yang dianggap sah, adalah PKL yang menempati lahan yang mendapat persetujuan dari “yang berwenang”. Pengertian yang berwenang ini macam-macam, mulai dari perorangan sebagai pemilik lahan, sampai tingkat pengurus RT, RW, aparat kelurahan, kecamatan sampai tingkat Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya.

Para PKL yang dianggap sah atau legal itu, disebut sebagai PKL “binaan”, sedangkan yang tidak termasuk katagori ini adalah PKL ilegal atau liar.

Era reformasi yang diawali dengan krisis ekonomi yang berkepanjangan, mengakibatkan banyaknya pengangguran. Di samping mereka yang sulit mencari pekerjaan, sampai kepada buruh atau karyawan yang terpaksa berhenti kerja karena mengalami PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dari perusahaan tempat mereka bekerja. Perusahaan-perusahan banyak yang mengurangi tenaga kerjanya, karena produksi berkurang dan aktivitas perusahaan menurun.

Tidak ada cara lain bagi mereka yang bermodal kecil, selain menciptakan lapangan kerja serba cepat dan instan. PKL adalah cara yang dianggap paling tepat. Dengan modal seadanya dan mendapatkan barang dagangan yang dinilai cepat laku, dijual juga dengan untung sekedarnya. Pokoknya dari untung yang tidak banyak itu, istilahnya dapat untuk sekedar menyambung hidup. Ada selogan dan prinsip yang selalu menjadi landasan berpijak PKL, yakni: daripada berbuat kejahatan dan dosa, tentu lebih baik melakukan pekerjaan yang hina tetapi halal.

Tentu tidak semua orang menilai berprofesi sebagai PKL adalah melakukan pekerjaan hina. Tidak. Sebab, PKL adalah awal dari kesuksesan seorang yang ingin menjadi konglomerat. Kegiatan PKL merupakan awal menciptakan diri mandiri di bidang ekonomi. PKL sekaligus dijadikan sebagai tempat magang. Walaupun semua itu adalah cita-cita dan impian, adakalanya memang menjadi kenyataan. Walaupun jumlahnya satu dalam sejuta.

Lontong Balap

Bagi Kota Surabaya, keberadaan PKL juga bukan sekarang ini saja. Sudah ada sejak zaman baheula. Bahkan, sebelum Surabaya ini disebut kota. “Hampir di setiap lorong kampung maupun pinggir jalan besar di Surabaya setiap pagi pasti ada orang berjualan nasi pecel atau nasi campur. Para penjual itu mbukak dhasar sekitar jam enam pagi, dan sekitar jam sembilan pagi mereka sudah kukut, lantaran semua dagangannya habis terjual”. Kalimat itu, secuplik tulisan pembuka yang diungkap Dukut Imam Widodo pada bukunya “Soerabaia Tempo Doeloe”.

Dalam buku yang mengisahkan keadaan Surabaya tempo dulu, di antaranya kegiatan warga kota yang berdagang makanan tradisonal. Dia bercerita tentang berbagai jenis makanan tradisonal yang dijajakan berkeliling dan menempati emperan pinggir jalan. Sama seperti PKL sekarang. Makan tradisional yang biasanya dijual PKL, macam-macam, seperti lontong balap, semanggi Suroboyo, rujak cingur dan lain-lain.

Sekarang, PKL di Surabaya boleh dikatakan tidak lagi dagangan tradisional, sebab barang-barang produk mutakhirpun dipajang di PKL. Lihat saja, kini PKL tidak sekedar menjual barang rongsokan dan sederhana, tetapi juga barang elektronika dan komputer. Tidak hanya pakaian bekas, tetapi juga barang impor yang masih baru. Juga bukan hanya barang mati, tetapi juga louhan, koi dan berbagai jenis ikan hias. Juga ada yang menjual anak anjing berbulu bagus, jangkrik, cacing sampai kroto. Ada lagi, tanaman hias, bibit, anggrek dan bonsai. Pokoknya, yang dijual PKL serba lengkap. Apa yang ada di plaza dan pusat pertokoan mewah, di PKL juga ada.

Dilematis

Melihat dari kenyataan, kegiatan PKL ini memang merupakan kegiatan ekonomi yang seharusnya dibina, bukan dibinasakan. Tetapi inilah dilematis yang selalu menjadi permasalahan kota. Di satu sisi, kegiatan PKL dapat mengurangi permasalahan ekonomi warga kota. Tetapi di sisi lain mereka dianggap sebagai “perusak” keindahan dan ketertiban kota.

Bila kita telusuri kota Surabaya ini dari segala penjuru, PKL pasti ada. Coba lihat mulai dari PKL di daerah Tanjung Perak, di samping sepanjang jalan raya, juga ada yang berkelompok di sekitar pelabuhan. Baik di sekitar pelabuhan antarpulau, maupun di sekitar pelabuhan tradisional Kalimas dan penyeberangan kapal fery. Di samping itu, juga di sekitar tanah lapang Prapat Kurung.

Terus ke arah selatan, di sekitar Jembatan Merah sampai ke Jalan Ahmad Yani. Begoitu pula di tengah kota, ke wilayah timur dan ke barat kota. Bahkan hampir tak ada ruang kosong di jalan-jalan di sekitar plaza, rumahsakit, Gelora 10 November Tambaksari, setasiun KA Semut, Gubeng, Pasarturi dan Wonokromo. Juga di sekitar sub-terminal dan terminal angkutan umum dalam kota. Di sekitar pasar, tempat rekreasi dan bahkan di kawasan permukiman.

Selain berjualan makanan, pakaian dan kebutuhan sehari-hari, di Surabaya juga terjadi pengelompokan PKL sejenis. Misalnya, untuk barang loak ada di Jalan Kapasari, Gembong dan Kalianyar, bahkan sudah masuk ke Jalan Ngaglik. Juga ada di sekitar Jalan Demak dan Dupak. PKL di jalan Demak dan Dupak, juga ada yang mengkhususkan barang bekas untuk kendaraan bermotor. PKL yang menjual kaset dan VCD yang dulu berjualan di trotoar Jalan Tunjungan, sering menimbulkan masalah. Berulangkali terjadi penggusuran dan pengobrakan yang disebut penertiban.

PKL jenis makanan memang lebih banyak, terutama di sekitar tempat keramaian. Misalnya, di dekat pabrik, pertokoan, plaza, perkantoran, terminal, stasiun dan tempat rekreasi. Di Surabaya, hampir di sepanjang jalan raya, ada PKL penjual makanan. Mulai dari soto, sate, nasi campur, pecel, sari laut, masakan khas berbagai daerah dan suku (Lamongan, Madura, Madiun, Solo, Sunda, Makasar, Padang, Cina, Arab dan lain-lain). Ada pula yang terpusat, mengelompok, seperti di Jalan Kedungdoro, Jalan Kombes M.Duriat, Jalan Kertajaya Indah, Jalan Kapaskrampung, Jalan Karang Menjangan, Jalan Genteng Besar, Jalan Indrapura, Jalan Jemursari, Jalan Rungkut Industri dan masih banyak lagi.

Jadwal kegiatan PKL itu juga ada yang “musiman”, hanya pada hari Sabtu dan Minggu di sekitar Tugu Pahlawan dan di hari Minggu saja di sekitar Masjid Al Akbar. PKL insidental ini juga bermunculan di saat ada kegiatan hari besar, seperti HUT Proklamasi kemerdekaan, HUT Kota Surabaya dan hari raya Idulfitri, serta bazar.

Tidak ada angka pasti berapa sebenarnya jumlah PKL di Surabaya. Namun, upaya Pemkot Surabaya untuk membina PKL sudah terlihat. Bahkan, sejak hari Jumat, 19 September 2003, di Surabaya sudah disahkan berlakukan Peraturan Daerah (Perda) Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. ***

*) Yousri Nur Raja Agam MH, Ketua Yayasan Peduli Surabaya.

2 Tanggapan

  1. mantap da……

Tinggalkan komentar