Filed under: Tidak Dikategorikan | Leave a comment »
Wisata Natal
Wisata Natal ke Gua Maria Lourdes
Pohsarang Kediri Jawa Timur
Berwisata ke Jawa Timur, cukup mengasyikkan. Satu bulan berada di wilayah paling timur Pulau Jawa, terasa masih kurang. Banyak destinasi wisata yang bisa dikunjungi. Keindahan dan riwayat tempat wisata itu dapat diabadikan dalam bentuk dokumentasi. Bisa tulisan, foto, video, audio dan berbagai jenis dokumentasi lainnya.
Catatan: Yousri Nur Raja Agam *)
Jenis destinasi wisata, lengkap di Jatim. Mulai dari alam, buatan dan religi. Untuk religi lengkap semua agama. Agama Islam, memang terbanyak. Di antaranya wisata Wali Songo, masjid dan pusat pendidikan. Kristen, Katholik, Budha, Hindu, Khonghucu, bahkan aliran kepercayaan juga ada.
Nah, sehubungan dengan peringatan Hari Natal Tahun 2021 ini, saya sajikan suatu destinasi wisata Kristen Katholik yang terletak di Pohsarang, Kediri.
Namanya “Gua Maria Lourdes”. Juga disebut
Gua Maria Pohsarang.
Pengertian wisata religi, biasanya disebut ziarah atau wisata keagamaan. Dulu, menjelang peringatan Natal kompleks gua Pohsarang ini ramai dikunjungi penziarah. Sehingga membantu kehidupan masyarakat di Desa Puhsarang, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Lokasi yang terletak di jalan mendaki sekitar 14 kilometer dari Kota Kediri ini, suhu udaranya berkisar antara 18 hingga 24 derajat Celsius. Cukup sejuk, karena terletak di lereng Gunung Wilis pada ketinggian 425 meter dpl (di atas permukaan laut).
Di kawasan ini tidak hanya ada Gua Maria Lourdes, tetapi ada berbagai jenis tempat yang dijadikan bagian dari yang diziarahi. Ada gereja, makam para Uskup dan Romo, Rumah Abu (columbarium), mausolium pieta, Jalan Salib dan Bukit Tabor. Di samping itu ada pula edung serbaguna Emaus, gerai penjualan cinderamata dan pusat kerajinan pembuatan patung, baik dari kayu maupun batu.
Sejarah komplek ini, dimulai tahun 1936. Di zaman kolonial Belanda. Sebelum adanya komplek wisata religi Gua Maria Lourdes ini, di sini awalnya didirikan Gereja Santa Maria Pohsarang. Di bagian belakang gereja ini ada lembah yang cukup indah. Di dekat gua pada lereng terjal bukit batu itu, di pajang Patung Maria. Gua yang ada di samping patung itu, dulunya kecil. Pada pada tanggal 11 Oktober 1998, tulis Wikipedia, dibangun gua Lourdes yang agak besar menyerupai Gua Maria Lourdes yang ada di Prancis.
Ada yang menarik, di dekat patung itu. Ada tulisan di atas kuningan dengan menggunakan bahasa Jawa, yakni:
“Iboe Maria ingkang pinoerba tanpa dosa asal, moegi mangestonana kawoela ingkang ngoengsi ing Panjenenengan Dalem. (Bunda Maria yang terkandung tanpa noda dosa asal, doakanlah aku yang datang berlindung kepadaMu).
Gua Maria Louders ini banyak dikunjungi penziarah. Tidak hanya umat Katolik untuk berdoa brosur atau novena, tetapi juga oleh umat agama lain. Mereka datang untuk melakukan meditasi dan memohon kepada Tuhan.
Patung Maria yang terdapat di Gua Maria Lourdes Pohsarang itu merupakan replika atau tiruan dari patung Maria Lourdes, yang terbuat dari semen kemudian dicat berwarna bagian luarnya. Patung itu lebih tinggi dari contoh aslinya yang hanya 1,75 meter, sedangkan patung Maria yang kini tingginya 3,5 meter, bahkan kalau dihitung dari alas kakinya 4 meter.
Romo Han Wolters
Dari hasil kunjungan saya ke Pohsarang, awal Desember 2021 lalu, komplek gereja Pohsarang ini, didirikan atas inisiatif dari Romo Jan Wolters CM dengan bantuan arsitek terkenal waktu itu, Ir. Henricus Maclaine Pont pada tahun 1936. Di foto depan, tertulis jelas “Gereja Katolik Santa Maria Puhsarang 1936”.
Romo Jan Wolters, CM dikenal sebagai seorang misionaris yang sangat menghormati kebudayaan Jawa dan mencintai orang Jawa dengan segala kekayaan kulturalnya.
Gereja Pohsarang adalah emblem inkulturasi yang amat mendahului semangat gereja pada waktu itu. Hampir setiap bangunan gereja yang didirikan selalu memiliki bentuk seperti yang ada di Eropa. Sementara Insinyur Maclaine Pont adalah arsitek yang juga menangani pembangunan Museum di Trowulan, Mojokerto, yang menyimpan peninggalan sejarah Kerajaan Majapahit.
Bangunan gereja Pohsarang mirip dengan bangunan museum Trowulan yang sudah hancur karena tidak terawat dan ketiadaan dana perawatan pada tahun 1960, maka dengan melihat gereja sekarang kita bisa membayangkan bagaimanakah bentuk museum Trowulan dulu kala.
Pastor Wolters, CM, lah yang meminta agar sedapat mungkin digunakan budaya lokal dalam membangun gereja di stasi Pohsarang, yang merupakan salah satu stasi dari paroki Kediri pada waktu itu. Pastor Jan Wolters CM adalah pecinta orang Jawa dengan kebudayaannya. Sebagai seorang misionaris yang mengajukan “dialog” antara iman dan kebudayaan, Pastor Wolters CM dapat disebut sebagai pionir dalam inkulturasi di Gereja lokal Keuskupan Surabaya.
Kompleks gereja Pohsarang merupakan suatu usaha untuk menampilkan iman kristiani dan tempat ibadat katolik dalam budaya setempat. Banyak orang berpendapat bahwa bangunan yang dibuat di Pohsarang indah dan unik serta merupakan karya monumental yang patut untuk dipelihara dan dijaga agar jangan musnah seperti museum Trowulan.
Gereja Puhsarang yang menampilkan gaya Majapahit tetapi dikombinasikan dengan gaya dari daerah lain dan iman kristiani. Yulianto Sumalyo dalam buku yang berjudul `Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1993″ menulis mengenai gereja Puh Sarang sebagai berikut:
“Seperti pada bangunan Trowulan, Tegal dan lain-lain untuk membangun gereja Pohsarang selalu menggunakan bahan-bahan lokal. Maclaine Pont menggunakan juga buruh setempat selain beberapa tukang yang sudah berpengalaman pada saat membangun museum.
Gereja yang sarat dengan simbolisme ini merupakan suatu karya arsitektur yang sangat berhasil dilihat dari berbagai segi: mulai dari lokasi, tata massa, bahan bangunan, struktur dan ten tu saja fungsi dan keindahannya. Semua aspek termasuk budaya setempat dan filsafat agama dipadukan dalam bentuk arsitektur dengan amat selaras”
Bukit Golgota
Ada pula lokasi tontonan yang layak menjadi tuntunan bagi umat Nasrani, khususnya Katholik. Di area objek wisata religi Pohsarang ini ada yang menarik. Sebuah rangkaian kisah tentang penyaliban yaitu eksekusi hukuman untuk Yesus di Bukit Golgota.
Kelompok patung-patung yang menggambarkan adegan penyaliban Yesus itu, berbicara tanpa kata-kata. Bisa disimak melalui gaya patung-patung di atas bukit Golhota Pohsarang itu.
Snda bisa menyaksikan 15 perhentian atau stasi Jalan Salib ke Bukit Golgota itu, yaitu:
1. Yesus dijatuhi hukuman mati 2. Yesus memanggul salib 3. Yesus jatuh untuk pertama kalinya 4. Yesus berjumpa dengan ibu-Nya 5. Yesus ditolong oleh simon dari Kirine 6. Wajah Yesus diusap oleh Veronika 7. Yesus jatuh untuk kedua kalinya 8. Yesus menghibur perempuan-perempuan yang menangisi-Nya 9. Yesus jatuh untuk ketiga kalinya 10. Pakaian Yesus ditanggalkan 11.Yesus disalibkan 12.Yesus wafat di kayu salib 13. Yesus diturunkan dari salib 14. Yesus dimakamkan dan yang ke 15. Kebangkitan Yesus.
Menurut Aryaarayana, dari pada penasaran, ada baiknya anda mengajak ayah, ibu, anak-anak, kakak, adik, semua keluarga dan sahabat untuk mengunjungi obyek wisata rohani Goa Maria Pohsarang, di Kediri Jawa Timur itu.
*) Yousri Nur RajaAgam — Wartawan Senior dan Ketua Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) Provinsi Jawa Timur.
Filed under: Tidak Dikategorikan | Leave a comment »
Tanpa judul
Filed under: Tidak Dikategorikan | Leave a comment »
Tonton “Aksi Presiden Jokowi Jadi Wartawan” di YouTube
Filed under: Tidak Dikategorikan | Leave a comment »
Rumahgadang Minangkabau di Surabaya Dibangun dengan Uang Seribu Rupiah
Oleh: HM Yousri Nur Raja Agam*)
RUMAHGADANG adalah rumah adat Minangkabau. Suatu Kerajaan di abad ke 13 masa lalu di Pulau Sumatera. Wilayahnya, Sumatera Barat dan sekitarnya. Di samping Sumatera Barat, wilayah Minangkabau tempo dulu, juga meliputi sebagian Sumatera Utara dan Aceh di pantai barat. Juga sebagian Bengkulu bagian Utara. Jambi dan Riau bagian barat, serta Negeri Sembilan di semenanjung Malaysia.
Sebagai peninggalan budaya Nusantara, rumah adat Minangkabau ini bentuknya memang khas. Cirinya yang menonjol adalah bentuk atapnya. Berbentuk gonjong menyerupai tanduk kerbau. Bangunannya terbuat dari kayu tahan lama dan kuat. Atapnya dari ijuk, yaitu serat dari pohon enau atau aren.
Rumahgadang utama yang disebut sebagai Istana, ada di Pagaruyung, Batusangkar, Kabupaten Tanahdatar, Sumatera Barat. Rumahgadang lainnya, jumlahnya ribuan. Ada di tiap nagari dan kampung. Dari ukuran kecil sampai besar. Difungsikan sebagai rumah tinggal keluarga, gedung pertemuan dan museum. Sekarang, perkantoran, sekolah dan rumahmakan, juga banyak yang dibangun berbentuk rumahgadang. Sekurang-kurangnya atapnya model gonjong.
Di luar wilayah Minangkabau atau Provinsi Sumatera Barat, bangunan rumahgadang ini ada di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta. Juga ada satu dan dua di Riau, Jambi dan Bengkulu, serta cukup banyak di Negeri Sembilan Malaysia, terutama di Kota Sremban. Sister City Kota Bukittinggi di Sumatera Barat.
Destinasi Wisata
Kecuali itu, rumahgadang Minangkabau, juga ada di Kota Surabaya, Jawa Timur. Tepatnya berada di Jalan Gayung Kebunsari 64 Surabaya. Berdiri di atas lahan 3 500 meter persegi. Sekarang, rumahgadang di Kota Surabaya itu dipersiapkan sebagai obyek kunjungan atau destinasi wisata budaya Nusantara, di Kota Surabaya. Rumahgadang ini akan menjadi etalase Minangkabau atau Sumatera Barat di Kota Surabaya. Sebagai sister city atau “kota kembar” Kota Surabaya dengan Kota Padang, ibukota Provinsi Sumatera Barat, tentu layak menjadi jendela wisata untuk Indonesia Timur. Bangunan rumahgadang ini juga dilengkapi dengan “surau” atau masjid di bagian belakang, serta dua bangunan rangkiang (lumbung) di bagian depan.
Saat ini gedung rumahgadang ini sudah difungsikan sebagai gedung pertemuan, untuk resepsi perkawinan. Tidak hanya untuk warga Minang, tetapi untuk suku-suku daerah lainnya. Dapat digunakan untuk rapat-rapat besar, seperti Munas, Muswil, Musda dan “Halal Bi Halal”. Bahkan, di “Surau” atau Masjid itu, selain untuk shalat lima waktu juga dilangsungkan shalat Jumat. Juga shalat tarawih di bulan Ramadhan, shalat idulfitri dan iduladha. Tiap tahun juga dilakukan penyembelihan hewan qurban di halaman belakang pada hari raya Haji.
Tidak jarang pula kawasan yang cukup luas ini digunakan pula untuk kegiatan pameran dan bazar produk UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah), termasuk cinderamata dan kuliner. Dan yang cukup istimewa, tiap pagi, halaman rumahgadang ini juga difungsikan sebagai arena olahraga senam oleh Grup Senam DIS (Dahlan Iskan Style).
Uang Seribu Rupiah
Ada cerita unik, tentang berdirinya rumahgadang Minangkabau, di Surabaya ini. Pembangunannya berawal dari “Seribu Rupiah”. Kesepakatan untuk membangun “gedung pertemuan” tercetus saat acara Halal Bi Halal masyarakat perantau Jawa Timur asal Minangkabau di tahun 1985. Acara ini disemarakkan dengan sebutan “Baralek Gadang” atau “Pesta Besar” dengan menghadirkan artis-artis dan tokoh masyarakat Minang dari Jakarta waktu itu. Pada acara ini, sekaligus diselenggarakan pelantikan Pengurus Gerakan Seribu (Gebu) Minang, Jawa Timur.
Gerakan Seribu Minang (Gebu Minang) ini berawal dari sebuah cerita saat Presiden Soeharto meresmikan Pekan Penghijauan Nasional, di Desa Aripan, pinggir Danau Singkarak, Sumatera Barat tahun 1982. Waktu itu dalam acara dialog dengan Presiden, seorang petani mengeluh. Dia minta bantuan traktor untuk membajak sawah. Jarena sekarang membajak dengan kerbau dikalahkan okeh traktor. Presiden Soeharto menjawab, bahwa untuk membangun negeri ini tidak semuanya dibebankan kepada pemerintah. Perantau Minang ada di mana-mana. Jika mereka menyisihkan “Seribu Rupiah” saja setiap keluarga, maka dana yang terkumpul akan sangat besar untuk membangun Sumatera Barat. Bahkan, jumlahnya lebih besar dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) SUmatera Barat, ujar Pak Harto. Gubernur Sumbar, Azwar Anas yang berada di samping Presiden, tersenyum “penuh arti”.
Nah, setelah itu, Gubernur Azwar Anas, mengadakan pertemuan dengan para tokoh masyarakat Minang di perantauan. Di antaranya ke Jakarta dan Surabaya. Saat itu tercetus untuk mendirikan gerakan pengumpulan dana “Seribu rupiah” tiap keluarga itu. Secara resmi dimunculkan nama “Gerakan Seribu Minang (Gebu Minang)”. Di Surabaya berdiri Lembaga Gebu Minang untuk menghimpun masyarakat Minang di perantauan. Sedangkan untuk mengurus keuangannya dibentuk Yayasan Gebu Minang.
Kegiatan Gebu Minang Jawa Timur mengumpulkan uang seribu rupiah dengan mencetak kupon Rp 1000,- mendapat sambutan luar biasa. Setiap lembaran yang tertulis Rp 1000,- dalam satu bandel berisi 100 lembar, bernilai Rp 100.000 – cepat habis. Dalam waktu singkat terkumpullah dana dari masyarakat Minang perantau yang umumnya para pengusaha dan wiraswata itu. Alhamdulillah, uang ribuan yang terkumpul, cukup banyak. Mencapai Rp 225 juta lebih di tahun 1986.
Rencana mendirikan gedung pertemuan berubah menjadi “mendirikan rumahgadang” di Kota Surabaya. Saat itu, diperoleh tanah seluas 3.500 meter persegi, di Jalan Gayung Kebunsari 64 Surabaya, “dibeli” dari keluarga Rahman Tamin, dengan harga Rp 86 juta.
Rahman Tamin, adalah pengusaha pabrik tekstil PT.Raratex (Rahman Tamin Textil) di Balongbendo, Sidoarjo. Namun perusahaan tekstil terbesar yang berdiri tahun 1957 itu, mengakhiri kegiatannya di tahun 1974.
Setelah tanahnya tersedia, sertamerta dilaksanakan kegiatan pembangunan Rumah Gadang Minangkabau. Peletakan batu pertama dilaksanakan tanggal 12 Juli 1987, oleh mantan Gubernur Sumbar, Ir.H Azwar Anas. Acara ini dihadiri banyak tokoh masyarakat Minang, di antaranya mantan Gubernur Sumbar Prof H.Haroen Zain, Gubernur Jatim Wahono, Pangdam V Brawijaya (waktu itu) Saiful Sulun, Walikota Surabaya Poernomo Kasidi dan belasan pejabat dan tokoh lainnya.
Secara bertahap pembangunan rumahgadang ini, terus berlangsung. Gerakan Seribu Minang (Gebu Minang), berubah menjadi Gerakan Ekonomi dan Budaya Minang. Singkatannya tetap Gebu Minang.
Organusadi Lembaga Gebu Minang juga berubah menjadi DPW (Dewan Pimpinan Wilayah) Gebu Minang Jatim. Demikian pula dengan Yayasan Seribu Minang menjadi Yayasan Ekonomi dan Budaya Minang Jawa Timur yang bertanggungjawab mengelola keuangan dan aset, termasuk kawasan rumahgadang Jawa Timur ini.
Gerbang Candi Mojopahit
Menariknya gedung rumahgadang Minangkabau yang terletak di Surabaya, di samping gerbang utamanya berdiri khas Minang, gerbang barat dan timur komplek ini bermotif Candi Penataran, khas Majapahit. Ini ada maknanya. Saat pembangunan pagar keliling komplek rumahgadang ini, timbul ide kebersamaan. Pembauran antara budaya Minangkabau dengan Majapahit. Sesuai dengan falsafah orang Minang, Di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung.
Nah, karena rumahgadang Minangkabau ini berdiri di bumi Majapahit, maka nenyesuaikan diri. Pagar keliling komplek rumahgadang ini dibangun dengan dana dari Gubernur Jawa Timur, Dr.H Soekarwo (waktu itu). Maknanya, kompleks rumahgadang Minangkabau ini dijaga keberadaannya oleh Penguasa Wilayah Jawa Timur.
Sejak rumahgadang di Surabaya ini dibangun, sudah semua Gubernur Sumatera Barat dan Gubernur Jawa Timur, berkunjung dan mengikuti beberapa acara. Mulai dari Haroen Zain, Azwar Anas, Hasan Basri Durin, Zainal Bakar, Gamawan Fauzi, Irwan Prayitno dan Mahyeldi. Demikian pula dengan Gubernur Jawa Timur, sejak dari Wahono, Soelarso, Basofi Soedirman, Imam Utomo dan Soekarwo. Wakil Gubernur Sumbar yang pernah berkunjung antara lain, Muslim Kasim, Nasrul Abid dan Audy Joinaldy. Begitu pula dengan Wakil Gubernur Jatim, di antaranya, M.Zuhdi, Soenarjo dan Saifullah Yusuf.
Juga, beberapa walikota dan Bupati di Sumbar, apabila ada acara ke Jatim, umumnya singgah ke rumahgadang Minangkabau di Surabaya ini.
Demikian, perkenalan tentang destinasi wisata budaya Nusantara, Rumahgadang Minangkabau, di Surabaya. Semoga bermanfaat.
*) HM Yousri Nur Raja Agam, Wartawan Senior dan Ketua Umum Yayasan Gebu Minang Jatim.
Filed under: Tidak Dikategorikan | Leave a comment »