Filed under: 1 | 1 Comment »
Abadilah Bendera Sang Merah Putih
Filed under: 1 | Leave a comment »
Kendati Tidak Rawan Tsunami
Hutan Mangrove “Wana Mina”
Tanggul Alam
Pantai Timur Surabaya
Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH
SURABAYA memang tidak begitu rawan terhadap bencana alam tsunami. Tidak seperti wilayah pantai selatan dan barat Indonesia yang berhadapan langsung dengan Samudera Indonesia. Namun ombak besar pasang surut di Selat Madura layak diwaspadai. Sebab, gelombang laut itu mampu menguras pesisir pantai timur Surabaya. Bahkan, asinnya air laut dapat mencemari sumber air tawar di daratan kota Surabaya.
Tanggul alami itu adalah merehabilitasi hutan bakau di kawasan Pamurbaya. Hutan bakau yang lebih dikenal dengan istilah mangrove ini, memang sedang mendapat perhatian dunia, termasuk Indonesia. Pemerintah Kota Surabaya, menetapkan Pamurbaya sebagai kawasan konservasi hutan mangrove.
Pemkot Surabaya, tidak sekedar membangun tanggul alam pantai dengan hutan mangrove, tetapi mengembangkan kawasan pantai timur dari daerah Kenjeran sampai Gununganyar Tambak sebagai “Wana-Mina” . Artinya, masyarakat tani dan nelayan di Wonorejo, Medokan Ayu, Kejawen Putih dan Gununganyar Tambak juga menjadikan kawasan hutan mangrove itu, sebagai kawasan pembudidayaan berbagai jenis ikan dan udang, serta biota laut lainnya.
Setelah pencanangan kawasan Pamurbaya sebagai wilayah konservasi hutan mangrove “Wana-Mina” itu, ternyata mendapat sambutan positif dari masyarakat tani dan nelayan di sana, kata Kepala Bidang Pertanian dan Kelautan Dinas Perikanan, Kelautan, Peternakan, Pertanian dan Kehutanan (DPKPPK) Kota Surabaya, Drs.Syaiful Arifin.
Hasilnya pun tidak sia-sia, kata Syaiful Arifin. Masyarakat petani dan nelayan binaan di Gununganyar Tambak, Kecamatan Gununganyar Surabaya ini, berhasil meraih Juara Nasional Biota Tambak tahun 2007 lalu.
Di samping budidaya perikanan, manfaat ekonomis lainnya, sejak dari akar, batang, daun dan beberapa jenis buah mangrove, ada yang dijadikan bahan pembuat sirup, dodol, bahan kosmetik dan medis.
Menurut Syaiful, memang secara umum tidak ada pohon yang bernama mangrove. Mangrove adalah sekumpulan pohon dan semak-semak yang tumbuh di daerah pantai pasang surut. Vegatasi hutan mangrove, memiliki keanekaragaman yang tinggi. Mangrove ada dua kategori, yaitu: mangrove sejati dan mangrove asosiasi. Khusus mengrove sejati terdiri dua dari dua jenis, masing-masing: mangrove mayor dan mangrove minor. Mangrove mayor ada 34 jenis dan minor 20 jenis.
Manfaat Mangrove itu sendiri, selain sebagai tanggul alam di kawasan pantai, sekaligus juga berfungsi untuk memperluas daratan. Sebab, akar pohon mangrove yang mencekam tanah, dapat pula menahan endapan, sehingga luas daratan bisa bertambah.
Tidak hanya itu, bagi Surabaya, mangrove merupakan kawasan pelestarian alam pantai timur. Bahkan yang menarik, kawasan hutan mangrove ini mampu mengundang kehadiran berbagai jenis burung. Hasil pengamatan suatu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dari Jogjakarta, menyebutkan dalam waktu satu tahun terakhir ini terjadi pertambahan jenis burung yang hidup menetap di hutan mangrove itu. Kalau semula berhasil didata sebanyak 140 jenis burung, sekarang bertambah menjadi 147 jenis burung. Dari jumlah itu 38 jenis burung berimigrasi dari Australia dan Thailand.
Nanti apabila hutan mangrove ini benar-benar terwujud dengan luas sekitar 400 hektar, dengan lebar rata-rata dari pantai antara 50 sampai 500 meter, ulas Saiful Arifin, tentunya mampu menjaga pantai timur Surabaya dari hantaman gelombang dan badai Selat Madura.
Ide Walikota
Tidak tanggung-tanggung, ide dan gagasan pengembangan kawasan hutan mangrove itu, ternyata dicanangkan langsung oleh Walikota Surabaya, Drs.H.Bambang Dwi Hartono,MPd. Begitu kata Kepala Bagian Hubungan Masyarakat (Humas) dan Protokol Kota Surabaya, Drs.H.Hari Tjahjono kepada wartawan, pekan lalu..
“Begitu antusias dan semangatnya walikota Surabaya, sampai-sampai Pak Bambang DH sendiri yang hadir dalam beberapa kali pertemuan nasional dan regional tentang konservasi alam dan pengelolaan hutan mangrove”, kata Hari Tjahjono.
Walikota Surabaya, Bambang DH, tidak sekedar menghadiri pertemuan dan seminar saja, tetapi sudah melihat sendiri proses pembudidayaan hutan mangrove di berbagai daerah di Indonesia. Lebih serius lagi, ujar Hari Tjahjono, walikota bersama staf yang membidangi masalah kelautan di Pemkot Surabaya sengaja melakukan studi lapangan di kawasan Sawung Kauh, Denpasar, Bali.
Kawasan budidaya hutan mangrove di pantai selatan Kota Denpasar itu memang menjadi percontohan. Hutan mangrove di Denpasar, Kabupaten Badung itu merupakan yang terbaik saat ini di Indonesia. Selain dikelola oleh Balai Penglolaan Hutan Mangrove (BPHM) Wilayah I Ditjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan RI, juga merupakan proyek kerjasama dengan Pemerintah Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA).
Keseriusan walikota dibuktikan dengan studi lapangan yang dipimpinnya langsung ke berbagai lokasi. Hal ini mendapat tanggapan serius dari BPHM Wilayah I yang meliputi wilayah Jawa, Bali, NTB, NTT, Sulawesi, kepulauan Maluku dan Papua. Sehingga terjadi kesepakatan awal menjadikan kawasan hutan mangrove di Surabaya sebagai kawasan konservasi. Selain itu akan didirikan pusat penelitian dan pengembangan (litbang), pusat pendidikan dan latihan (pusdiklat) mangrove, serta kegiatan ekowisata di Pamurbaya itu.
Sambutan warga kota Surabaya luar biasa. Kepedulian untuk menyelamatkan kawasan Pamurbaya juga didorong melalui sosialisasi ke permukiman, sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Tidak sedikit kelompok masyarakat yang berhasil dirangkul. Beberapa LSM dan organisasi kemasyarakatan bahu-membahu mengadakan gerakan penanaman bibit mangrove di Pamurbaya.
Gerakan penanaman mangrove yang sudah mencapai ratusan ribu batang oleh kelompok masyarakat. Tercatat beberapa kelompok masyarakat yang sudah terjun melakukan kegiatan penanaman mangrove. Di antaranya: Kelompok Alas Kedung-Kedungcowek, Amal Mangrove-Kedungcowek, Parikesit-Kenjeran, Peduli Pantai-Sukolilo, Mangrove Beach-Sukolilo, Sutorejo-Dukuh Sutorejo, Sekarlaut I-Kalisari, Sekarlaut II-Kalisari, Lestari-Kejawan Putih, Mina Putih I, Mina Putih II, Mina Putih III, Mina Putih IV, Wonojoyo-Keputih, Marina Tani-Keputih, Wonorejo I, Wono Mangrove-Medayu, dan Trisno Mangrove-Medayu.
Saat diadakan gerakan Green and Clean bersamaan dengan peringatan Hari Pahlawan tahun lalu, peranserta pengusaha bersama masyarakat peduli lingkungan Tunas Hijau dan warga kota berhasil menanam 20 ribu batang lebih tanaman mangrove.
Kesadaran mesyarakat setempat untuk memelihara lingkungan di sana sudah semakin baik. Dari investigasi lapangan, terbukti tidak ada lagi warga setempat yang melakukan penjarahan dan penebangan liar terhadap pohon mangrove, maupun berburu satwa yang hidup di sana. Larangan menembak burung dan merusak lingkungan sudah ditaati. Masyarakat kawasan sekitar hutan mangrove itu juga berani menegur dan mengusir kalau ada pendatang yang berburu satwa dan burung.
Dengan berbagai gerakan dan kegiatan penanaman mangrove yang dilaksanakan itu, Pemkot Surabaya menargetkan mulai tahun 2009 nanti, hingga lima tahun ke depan, kawasan hutan mangrove di Surabaya bisa seperti di Bali, bahkan mukin bisa lebih besar.
Syaiful Arifin pada suatu wawancara khusus, mengakui, untuk kawasan Surabaya tidak semua jenis mangrove bisa ditanam. Dalam beberapa kali diselenggarakan gerakan penanaman, jenis terbanyak adalah bakau yang nama latinnya Rhizophora mucronata . Pohon bakau ini dapat mencapai tinggi di atas 25 meter. Ada lagi yang bernama tajang (Rhizophora apiculata), tingginya bisa mencapai 15 meter. Selain itu juga tumbuh jenis kacang-kacangan (Aegiceras corniculatum) dan api-api (Avicennia lanata) yang merupakan tanaman perdu atau semak.
Oh ya, jenis yang dapat dijadikan bahan untuk pembuat sirup dan dodol itu nama lokalnya adalah bogem. Nama latinnya Sooneratia alba atau di tempat lain disebut dengan nama prapat. Ada lagi yang namanya Sonneratia caseolaris atau pedada. Ke dua jenis pohon ini bisa mencapai tinggi 16 meter, ulas Syaiful Arifin.
Akan Dibantu
Keinginan dan target yang dicanangkan Pemkot Surabaya mendapat perhatian khusus dari BPHM Wilayah I dan perwakilan JICA yang berkantor di Denpasar, Bali. Kepada wartawan Surabaya yang mengikuti karyawisata pers ke Bali, Senin (17/11) pekan lalu, Kepala BPHM Wilayah I, Ir.Sasmito Hadi, MSi menyatakan serius akan memberi bantuan.
“Kami akan memberi bantuan sepenuhnya kepada Pemkot Surabaya. Bantuan dari kami berupa peningkatan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia), sistem informasi, dan percontohan tanaman mangrove. Sebab, tidak semua jenis mangrove bisa ditanam di setiap daerah. Kami sudah punya beberapa contoh dari hasil pembibitan”, jelas Sasmito Hadi, Ia didampingi Hatori Hiroyuki chief advisor JICA di Bali yang juga mengeloa museum mini MIC (Mangrove Information Centre).
Dari 75 jenis mangrove yang hidup di pantai-pantai kepualauan Indonesia, ada 28 jenis yang hidup di Bali. Mangrove sebagai Tahura (Tanaman Hutan Rakyat), memang rawan terhadap perambahan dan penyerobotan lahan. Itulah sebabnya, luas lahan Tahura mangrove terus menyusut. Untuk itu, ulas pejabat Dephut itu, pemerintah pusat bersama pemerintah daerah terus-menerus melakukan penanggulangan.
Usai mendapat penjelasan singkat tentang mangrove dan kegiatan BPHM di Bali itu, rombongan karyawisata pers Surabaya, dibawa menelusuri jalan kayu yang menerobos masuk ke dalam hutan mangrove. Dari menara-menara pos pantau terlihat keindahan alam yang hijau dengan tanaman pohon mangrove. Pohon mangrove di Bali ini, sudah tinggi-tinggi, tidak lagi menyerupai semak belukar, tetapi sudah menjadi hutan yang rimbun.
Hatori Hiroyuki dari JICA memberi informasi, bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi mengrove terluas di dunia. Dari total sekitar 18 juta hektar luas hutan mangrove di dunia, seperempatnya atau sekitar 4,5 juta hektar dimiliki Indonesia.
Kondisi mangrove di Indonesia semakin banyak mendapat tekanan, baik fisik maupun ekolgis. Masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk memelihara mangrove dan meningkatnya kebutuhan ekonomi menjadi pemicu terhadap penurunan luas dan kualitas hutan mangrove, katanya.
Sasmito Hadi menambahkan, mengrove memegang peranan penting melindungi lingkungan. Melindungi daratan dari abrasi gelombang laut dan juga sebagai pelindung alami dari terjangan tsunami. Menyusutnya luas hutan mangrove juga akibat pengolahan lahan untuk berbagai kepentingan (konversi), eksplotasi sumberdaya mangrove yang berlebihan dan pencemaran (polusi). Dengan kondisi demikian, diperlukan penanganan yang khusus untuk pelestariannya..
Lomba Pidato
Ada yang menarik dari ungkapan yang disampaikan Sasmito Hadi. Untuk memberdayakan dan mengajak peranserta masyarakat, di Bali awalnya dilakukan dengan sosialisasi secara langsung dan tidak langsung.
Kegiatan yang pernah dilaksanakan antara lain, menyelenggarakan lomba pidato tentang mangrove dengan menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jepang. Kebetulan Hatori itu punya darah seni dan senang melukis. Maka beberapa kali diselenggarakan lomba melukis tentang mangrove, mulai dari tingkat anak-anak, pelajar, mahasiswa, hingga orang dewasa. Lukisan itu, sekarang menjadi salah satu koleksi yang bergantungan di dinding museum mini MIC tersebut.
Bagi Kota Surabaya, sosialisasi dengan lomba pidato, lomba melukis, lomba foto dan menulis, bisa pula dilakukan. Apalagi, Pemkot Surabaya akan membuka jalur jalan sepeda dan jalan kaki menembus hutan mangrove itu. Di tengah hutan manrove itu didirikan menara (tower) yang dapat memantau alam sekeliling. Melihat dan memotret keindahan alam sekitar. Dengan demikian, kawasan hutan mangrove difungsikan sebagai obyek wisata hutan dan pantai.
Gerakan menyayangi hutan mangrove, perlu ditularkan sejak dini kepada anak-anak, mulai tingkat Taman Kanak-kanak (TK), SD, SMP, SMA sampai mahasiswa perguruan tinggi. Di samping itu, perlu pula dimasyarakatkan secara umum, sehingga kawasan hutan mangrove itu bisa dijadikan obeyek rekreasi dan wisata alam.
Obsesi Walikota Surabaya, Bambang DH harus segera dapat diwujudkan, yaitu pembangunan jalan kayu di kawasan hutan mangrove untuk bersepeda dan jalan kaki. Pada hari-hari libur diadakan gerakan jalan kaki atau bersepeda mengelilingi kawasan hutan mangrove itu. Kecuali itu, di tempat-tempat tertentu dibangun menara pantau (tower) untuk umum yang cukup tinggi. Dari puncak menara itu pengunjung dapat menyaksikan keindahan alam Surabaya dan Selat Madura.
Kerjasama dengan pihak pers, mediamassa dan perguruan tinggi dalam pengembangan hutan mangrove terus ditingkatkan. Dengan sistem kebersamaan dan terpadu itu, akan diperoleh berbagai masukan, ujar Hari Tjahjono. Untuk itu, diharapkan keberadaan hutan mangrove dengan segala aktivitasnya nanti akan dapat pula menambah salah satu sumber PAD (Pendapatan Asli Daerah).
Nah, ini perlu dikaji, melalui sektor apa PAD itu dapat digali. Seandainya kawasan ini memang menarik, tetntu pemasang papan reklame, misalnya akan melirik. Berarti, salah satunya nanti akan ada pemasukan dari sektor pajak reklame, kata Hari yang mantan camat Tegalsari dan camat Wonokromo itu berandai-andai. ***.
Filed under: 1, KOTA, Lingkungan Hidup, PARIWISATA, PEMERINTAHAN, UMUM | Tagged: Bali, Bambang DH, JICA, Mangrove, Pantai, Surabaya, Tsunami, Wana Mina | 1 Comment »
Proklamasi Polisi di Surabaya
Proklamasi Polisi di Surabaya
Mendahului Hari Lahir Polri
Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH
MENJELANG pendaratan armada kapal perang Sekutu di Tanjung Perak Surabaya, 25 Oktober 1945, situasi di kota Surabaya semakin mencekam. Kemarahan rakyat terhadap Indo-Belanda yang membonceng rombongan Palang Merah Internasional (Intercross) dan RAPWI (Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Interneers) makin menjadi-jadi.
Selain pemuda yang bergabung dalam PRI (Pemuda Republik Indonesia) dan BKR (Badan Keamanan Rakyat), polisi juga mempunyai peran yang cukup menentukan menjelang dan sesudah Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945. Ketika terjadi insiden bendera, 19 September 1945, polisi bergerak cepat, mereka menyatu dengan massa.
Bahkan di Surabaya, selain polisi umum ada pasukan PI (Polisi Istimewa) yang sangat disegani. PI adalah jelmaan dari CSP (Central Special Police). Apalagi saat bulan Agustus 1945 itu, hanya polisi yang masih memegang senjata. Sebab setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, penguasa Jepang di Indonesia membubarkan tentara PETA dan Heiho. Jepang memulangkan para pemuda yang dilatih dalam pasukan PETA (Pembela Tanah Air) dan Heiho dan senjata mereka dilucuti.
Karena polisi mempunyai peran yang istimewa dalam masyarakat, maka kondisi itu dimanfaatkan untuk melakukan pemantapan. Dalam buku “Sejarah Kepolisian di Indonesia”, disebutkan: di Surabaya, Komandan Polisi Istimewa Jawa Timur, Inspektur Polisi Kelas I (Iptu) Moehammad Jasin, memproklamasikan kedudukan kepolisian pada tanggal 21 Agustus 1945.
Dalam ejaan lama, Proklamasi Polisi itu tertulis:
“Oentoek bersatoe dengan rakjat dalam perdjoeangan mempertahankan Proklamasi 17 Agoestoes 1945, dengan ini menjatakan Polisi sebagai Polisi Repoeblik Indonesia”.
Di bawahnya, tercantum: Soerabaja, 21 Agoestoes 1945. Atas Nama Seloeroeh Warga Polisi: Moehammad Jasin – Inspektoer Polisi Kelas I.
Proklamasi polisi itu merupakan suatu tekad anggota polisi untuk berjuang melawan tentara Jepang yang masih bersenjata lengkap, walaupun sudah menyerah. Proklamasi polisi juga bertujuan untuk meyakinkan rakyat, bahwa polisi adalah aparat negara yang setia kepada Republik Indonesia. Dengan demikian, rakyat dapat melihat bahwa polisi bukanlah alat penjajah.
Jadi, di Surabaya, Kepolisian Republik Indonesia lahir mendahului keberadaan polisi secara resmi di Indonesia yang ditetapkan sebagai Hari Bhayangkara, 1 Juli 1946.
Dalam waktu singkat, polisi melakukan koordinasi dengan pejuang yang tergabung dalam PRI (Pemuda Republik Indonesia) dan BKR (Badan Keamanan Rakyat) yang kemudian berubah nama menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat), serta BPRI (Barisan Pemberontakan Republik Indonesia) pimpinan Sutomo (Bung Tomo). Mereka bahu-membahu dan menyatu dalam berbagai kegiatan pengamanan dan perlawanan terhadap tindakan yang dilakukan serdadu Jepang dan anak-anak muda Indo-Belanda.
Selama bulan September dan Oktober 1945, situasi bercampur antara semangat kemerdekaan oleh rakyat dan sikap Jepang “yang kalah perang” tetapi masih bersenjata. Di samping itu, utusan yang mempersiapkan kedatangan pasukan Sekutu juga sudah terlihat. Jepang tidak begitu saja menyerahkan senjatanya kepada para pemuda yang berusaha merampas senjata yang dipegangnya. Namun dalam beberapa kasus, pihak Jepang hanya bersedia menyerahkan senjatanya kepada polisi, seraya minta jaminan keselamatan.
Perebutan Senjata
Situasi ekplosif yang berjalan hampir dua minggu sejak Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, di Surabaya berubah dengan cepat. Dalam buku “Pertempuran Surabaya” yang diedit Prof.Dr.Nugroho Notosusanto disebutkan tanggal 2 September 1945 tersusun kepemimpinan BKR (Badan Keamanan Rakyat) di Surabaya. Para pemuda di kampung-kampung dan pabrik-pabrik menyusun kekuatan dan penjagaan keamanan.
Tentara Peta dilucuti senjatanya sebelum dibubarkan. Hanya polisi yang masih memiliki senjata. Sekalipun polisi masih memiliki senjata, bukan tidak mungkin Jepang akan melucuti mereka. Karena peristiwa pelucutan senjata Peta secara licik itu, seorang bekas daidanco Gresik, bernama drg.Moestopo memerintahkan kepada bekas shodanco Abdurahman untuk menghubungi kepala polisi M.Jasin.
Drg.Moestopo berpesan melalui suratnya yang mengingatkan polisi jangan sampai ditipu oleh Jepang, seperti Peta. Abdurahman pergi ke SMT (Sekolah Menengah Tinggi) menghubungi Isman. Bersama Isman ia menghadap M.Jasin. Adanya pesan itu, menjadikan polisi waspada terhadap kemungkinan atau usaha melucuti dirinya.
Pemuda-pemuda sebagian besar tidak memiliki senjata apai. Yang digunakan hanya senjata tradisional, seperti bambu runcing (takeyari), kelewang, pedang, clurit dan lain-lain. Mereka memerlukan senjata api.
Tentunya untuk mendapatkan senjata itu tidak gratis dari Jepang, tetapi harus direbut. Nah, api pembakarnya telah dinyalakan oleh KNI dan membuat maklumat pemerintah daerah yang tertuang di dalam Proklamasi RI daerah Surabaya tanggal 3 September 1945. Mulai saat itulah Surabaya memulai revolusi. Sasaran pokoknya adalah gudang-gudang penyimpanan senjata Jepang. Tindakan pertama yang dilakukan adalah melucuti pasukan-pasukan Jepang yang menjaga dan menguasai senjata.
Pada waktu itu gudang senjata Jepang yang terbesar terletak di Sawahan di gedung sekolah Don Bosco. Gudang senjata ini dikuasai oleh Dai 10360 Butai Kaisutiro Butai yang dipimpin oleh Mayor Hazimoto, dengan personil Jepang 16 orang dan heiho satu peleton. Sebelumnya di sana ada 150 orang karyawan sipil, tetapi mereka sudah diberhentikan sejak bulan Agustus 1945. Namun mereka masih dipekerjakan untuk menginventarisasi senjata yang akan diserahkan kepada Serikat (Sekutu).
Dari karyawan yang masih ada di gudang itulah diperoleh keterangan tentang keadaan arsenal Don Bosco. Informasi itu disebarluaskan dan kemudian tempat inilah yang menjadi sasaran pertama para pemuda. Tanggal 16 September 1945, gudang mesiu Don Bosco dikepung pemuda, pelajar dan massa rakyat. Beberapa orang maju menemui pimpinannya. Mereka adalah Subianto Notowardojo dan Mamahit guru Sekolah Teknik Don Bosco, serta seorang wartawan bernama Sutomo (dikenal dengan panggilan: Bung Tomo).
Ketiga orang ini berdiplomasi agar kekuasaan arsenal diserahkan kepada mereka. Mayor Hazimoto setuju dengan penyerahan itu, tetapi yang menerima harus polisi. M.Jasin beserta anak buahnya dari Polisi Istimewa, maju dan menandatangani naskah serah terima penguasaan arsenal. Sutomo dengan segenap yang hadir menjadi saksi penyerahan. Jumlah senjata di arsenal Don Bosco tidak terhitung. Bahkan Bung Tomo pernah mengirim senjata ke Jakarta sebanyak empat gerbong kereta api yang diambil dari arsenal ini.
Para bekas tentara Peta yang dilucuti senjatanya tanggal 18 Agustus 1945 tidak tinggal diam. Bekas Cudanco Suryo bersama Syudanco Isa Edris pegi menemui Kohara Butai di Gunungsari. Di sana mereka diterima Kolonel Kohara Jingo. Kepada Jingo mereka meminta agar senjata yang ada di markas itu diserahkan. Sebagai tentara yang “kalah perang”, Kolonel Kohara Jingo tidak keberatan menyerahkan semua senjatanya. Hanya satu permintaannya, agar pedang pribadinya dikecualikan. Permintaan itu diluluskan. Berkat diplomasi ini berhasil diangkut senjata ringan dan berat yang jumlahnya mencapai 100 pucuk. Senjata itu sebagian besar diserahkan kepada pasukan Tentara Pelajar di HBS (Hogere Burgere School) dan kepada BKR Laut.
Usaha mendapatkan senjata terus berlanjut. Samekto Kardi bersama Isa Edris dan rombongan menuju ke bekas Daidan tentara Peta di Gunungsari. Di sana mereka langsung menuju gudang senjata dan mengambil 514 pucuk senjata yang terdiri dari 400 pucuk karaben, 14 pucuk pistol Vickers, 50 mortir, 50 tekidanto dan 30 pucuk senapan mesin ringan dan berat.
Pangkalan udara Morokrembangan juga diambil alih oleh pemuda dan polisi. Ali Jayengrono berdiplomasi dengan pimpinan pangkalan dan behasil mendapatkan beberapa pucuk senjata.
Jumlah senjata terbanyak diperoleh dari markas Jepang Tobu Jawa Boetai yang dipimpin Jenderal Iwabe. Caranya cukup unik. Pagi-pagi sejumlah pemuda mengepung markas itu. Kemudian, Moestopo bersama Wahab, Suyono, Mudjoko, M.Jasin dan Rahman dengan seragam daidanco menghadap Jenderal Iwabe. Kepada Iwabe, Moestopo atas nama pimpinan BKR, atas nama Gubernur Jatim dan atas nama Presiden Republik Indonesia, serta atas nama rakyat, meminta agar senjata diserahkan kepada mereka. Permintaan itu ditolak oleh Iwabe. Moestopo mengancam, kalau tidak berhasil, maka pukul 10.00 terjadi tembak-menembak. Ancaman itu benar-benar terjadi pada pukul 10.00. Masrkas Iwabe dikepung dan ditembaki. Anak buah Iwabe membalas, sehingga terjadilah pertempuran.
Jenderal Iwabe dengan perantaraan seorang kolonel meminta agar Moestopo menghentikan tembakan. Namun tidak mudah. Akhirnya, Iwabe mengumpulkan stafnya. Moestopo juga memanggil M.Jasin, Suyono, Mudjoko, Wahab dan Rahman. Maka terjadilah perundingan. Namun Iwabe tetap menyatakan tidak akan menyerahkan senjata tanpa ada orang yang bertanggungjawab. Moestopo menanyakan bertanggungjawab kepada siapa. Iwabe mengatakan kepada Serikat (Sekutu), sebab sewaktu-waktu mereka datang. Moestopo langsung menjawab dan menunjuk dirinya.
“Ya ini, pemimpin Jawa Timur, yang mewakili Gubernur, yang bernama Moetopo mantan Daidanco, ini yang bertanggungjawab”, kata Moestopo menunjuk ke arah dirinya.
Oleh staf Jenderal Iwabe, Moestopo disodori naskah dalam bahasa Jepang. Tanpa menunggu lebih lama naskah itu ditandatangani berganti-ganti, mulai dari Moestopo disusul Suyono, Mudjoko, M.Jasin, Abdul Wahab dan Rahman.
Setelah penandatanganan, gudang senjata di tingkat bawah dibuka. Pemuda-pemuda berhamburan memasuki gudang senjata dan dibagi-bagikan. Markas pimpinan Iwabe itupun kemudian diambilalih, dijadikan markas BKR Jawa Timur dan “Kementerian Pertahanan” di bawah komando Drg.Moestopo. Sejata-senjata itu dibawa ke markas BKR Kota, Markas PRI, markas BKR Keresidenan dan gedung HBS untuk dbagi-bagikan kepada pemuda.
Perjalanan perebutan senjata belum selesai. Sasaran selanjutnya Kitahama Butai yang semula menjadi kantor Lindeteves. Dari sini berhasil direbut 23 tank, 18 senjata pengkis udara, enam pucuk watermantel. Perebutan senjata ini dipimpin Isa Edris dan Suprapto.
Bendera Putih
Sutjipto Danukusumo dalam bukunya “Hari-hari Bahagia Bersama Rakyat” mengisahkan peristiwa dari hari ke hari di Surabaya. Di antaranya juga bercerita tentang pelucutan senjata Jepang di Wonokromo, di sekolah Don Bosco Jalan Tidar dan di gedung GE (General Electronics) di Kaliasin, serta di berbagai tempat lainnya.
Salah satu peristiwa berdarah terjadi di depan markas Kempetai di depan kantor gubernur Jatim (sekarang menjadi taman Tugu Pahlawan Surabaya). Di sini rakyat bergerak untuk merebut senjata yang berada di tangan tentara Jepang, namun mereka melakukan perlawanan. Dalam tembak-menembak ini puluhan pemuda gugur dan beberapa tentara Jepang terluka.
Tembak menembak baru berhenti setelah Iptu M.Jasin datang bersama beberapa polisi dengan membawa bendera putih ke dalam markas Kempetai. Di dalam berlangsung perundingan yang cukup alot dan gagal. Tembak menembak terjadi lagi, namun Komandan Polisi Paiman dengan naik Bren Carier yang dikemudikan Pelamonia menerobos masuk ke gedung Kempetai. Tembak menembak terhenti dan kemudian dilakukan perundingan ulang.
Akhirnya, pasukan Kempetai bersedia menghentikan tembak-menembak dengan syarat jaminan keselamatan jiwa bagi seluruh pasukannya yang ada dalam gedung Kempetai itu. Komandan polisi itu mengiyakan, kontak senjatapun betul-betul berhenti. Seluruh pasukan Kempetai yang sudah menyerahkan diri dan senjatanya diamankan di Yarmark (THR atau Taman Hiburan Rakyat di Jalan Kusumabangsa sekarang).
Setelah terjadi pertempuran dan pelucutan senjata terhadap tentara Jepang, maka pemuda-pemuda mendapat pembagian senjata bersama amunisinya. Pembagian senjata ini dilakukan di berbagai tempat. Polisi, PRI dan TKR selain mendapat senjata juga menguasai beberapa kendaraan tempur milik tentara Jepang. Dengan adanya senjata di tangan itu semangat juang untuk mempertahankan kemerdekaan yang sudah diproklamasikan semakin berkobar.
Hari Kamis, 25 Oktober 1945, armada kapal transport dan kapal perang pasukan Sekutu pimpinan Brigjen Mallaby, sandar di dermaga pelabuhan Tanjung Perak. Dua perwira: Kapten Mc.Donald dan Letnan Gordon Smith diutus menghadap Gubernur Jawa Timur, Soeryo. Kedatangan utusan ini menyampaikan undangan lisan Brigjen Mallaby kepada Pak Suryo untuk datang ke atas kapal perang milik Inggris. Namun, Pak Suryo tidak dapat memenuhi undangan itu karena sedang memimpin konferensi para residen se Jawa Timur.
Dua perwira ini bersikeras mendesak, tetapi Gubernur Suryo tetap menolak. Dengan gerakan kurang sopan, tanpa pamit mereka meninggalkan ruangan. Pak Suryo terlihat marah terhadap sikap dua perwira itu.
Kabar pendaratan tentara Sekutu ini menyebar dari mulut ke mulut. Rakyat Indonesia di Surabaya tidak rela “tentara asing” kembali menguasai tanahairnya. Tekad perlawanan rakyat ini membuat Mallaby bersikap hati-hati. Apalagi, informasi yang sudah diterima dari mata-matanya, seluruh senjata Jepang sudah dilucuti dan rakyat sudah dipersenjatai.
Malam harinya, berlangsung perundingan antara Drg.Moestopo dengan Kolonel Pugh, utusan Mallaby. Dalam perundingan di markas TKR Jawa Timur, disepakati pasukan dari armada kapal Sekutu (Inggris) mendarat di Tanjung Perak dan berhenti 800 meter dari pantai. Dengan adanya pembatasan ini, konflik bersenjata dengan rakyat dapat dicegah.
Besoknya, 26 Oktober 1945, perundingan dilanjutkan antara wakil Indonesia dengan wakil Sekutu di gedung Jalan Kayun 42 Surabaya. Dari Indonesia dihadiri Residen Sudirman, Walikota Surabaya Radjamin Nasution, Ketua KNID Doel Arnowo, Muhammad dan Moestopo. Selain itu juga hadir beberapa orang dari PRI, TKR dan Poliri, yakni: Roeslan, Ronokoesoemo, Ronopradopo, Soehoed Prawirodidjo, Paiman, Soejono dan Soejanto. Pihak Sekutu dipimpin langsung oleh Brigjen Mallaby yang membawa sepuluh orang stafnya..
Ada tiga kesepakatan yang disimpulkan dalam perundingan itu.
Pertama: Yang dilucuti senjatanya hanya tentara Jepang, bukan TKR dan juga badan perjuangan rakyat lainnya.
Kedua: Tentara Inggris selaku wakil Sekutu akan membantu Indonesia dalam pemulihan keamanan, ketertiban dan perdamaian.
Ketiga: Setelah semua tentara Jepang dilucuti, maka mereka akan diangkut melalui laut. *****
*) Yousri Nur Raja Agam MH – Pemerhati Sejarah bermukim di Surabaya
Filed under: 1, PEMERINTAHAN, SEJARAH, UMUM | Tagged: Hari Bhayangkara, Koehammad Jasin, Pertempuran Surabaya, Polisi Istimewa, Polri, Proklamasi Polisi, Sejarah Polisi, Sutjipto Danukusumo | 4 Comments »