10 November 1945

Surabaya Banjir Darah 

 

“Neraka Bagi Sekutu”

 

Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)

Yousri Nur RA  MH

Yousri Nur RA MH

 

 

BERBEKAL pidato radio Gubernur Soerjo, Jumat 9 November 1945 malam, pemuda pejuang dan rakyat Surabaya sudah melakukan berbagai persiapan. Rakyat Surabaya sudah menafsirkan, penolakan terhadap ultimatum Sekutu oleh Gubernur Soerjo itu, berarti “perang”. Segala kekuatan harus dikerahkan menghadapi ancaman Sekutu tersebut.

Ultimatum pihak Sekutu yang disampaikan Komandan Tentara Sekutu, Jenderal EC Mansergh, benar-benar dilaksanakan, Sabtu pagi, 10 November 1945. Seluruh kekuatan angkatan perangnya, baik darat, laut dan udara dikerahkan menggempur pertahanan Arek Suroboyo di Kota Surabaya.

Walaupun terjadi pertempuran yang tidak berimbang, perlawanan dari pejuang Indonesia tidak pernah surut. Berbagai kesatuan pejuang dan laskar yang sudah membuat “Sumpah Kebulatan Tekad” tanggal 9 November 1945, malamnya, pada pagi hari 10 November itu sudah siaga di segala lini pertahanan.

 Pasukan pejuang sudah bersiap menghadapi senjata modern milik Sekutu yang baru saja memenangkan pertempuran dalam Perang Dunia II. Alat dan armada perang yang membuat Jepang bertekuk lutut di Asia dan Jerman bersama Italia di Eropa itu dipergunakan membombardir Kota Surabaya.

Kota Surabaya diserang dengan meriam-meriam yang ditembakkan dari armada kapal yang berelabuh di Tanjung Perak. Tank-tank dan panser, serta truk serdadu Inggris dan Gurkha bergerak dari Tanjung Perak menuju jantung Kota Surabaya. Tembakan mitraliur dan senapan mesin tiada henti dimuntahkan ke segala penjuru tempat pertahan Arek Suroboyo. Dari udara, pesawat terbang yang meraung-raung menjatuhkan bom ke gedung-gedung dan posko pertahanan pasukan kita.

Sesuai dengan kesepakatan rapat koordinasi yang dipimpin Kolonel Soengkono dari TKR sebagai Komandan Pertahanan Surabaya, membagi pertahanan Kota Surabaya dari empat sektor. Sektor barat dipimpin Koenkiyat, Sektor Tengah dipimpin Kretarto, Sektor Timur oleh Mahardi dan Sektor Selatan dipimpin Kadim Prawirodirdjo.

Pertempuran Surabaya ini berawal dari gerakan tentara Sekutu dari Tanjung Perak menuju tengah kota. Arak-arakan tank, panser dan truk itu dihadang oleh PRI-AL (Pemuda Republik Indonesia- Angkatan Laut) yang memiliki senjata ringan rampasan dari tentara Jepang di Jalan Jakarta, daerah Sawahpulo, Semampir dan Pegirian. PRI-AL ini dibantu oleh PRI Sulawesi yang tergabung dalam PRI Utara yang dipimpin Warrow dengan kekuatan sekitar 30 orang. Pasukan ini juga dibantu laskar Hisbullah yang berjumlah sekitar 50 orang.

Pasukan Inggris terus menyerbu ke pos pertahanan pemuda yang berjumlah sekitar 100 orang di sekitar bioskop Sampoerna dan komplek pabrik rokok Liem Sing Tee (Dji Sam Soe). Dengan tekad membara, pejuang yang berasal dari kampung Kebalen, Lebuan, Pesapen dan Tambak Bayan itu terus menembakkan senjatanya ke arah truk dan pasukan yang berjalan kaki.

Pukul 11.00 tentara Sekutu menembakkan destroyer cavalier sebanyak 57 kali meriam 45 inci. Begitu juga destroyer Carron sekitar 350 kali menggunakan meriam 45 inci. Tidak sedikit gedung di sepanjang jalan yang dilewati rusak akibat tembakan membabibuta itu.

Gerakan tentara Inggris dan Gurkha yang sudah terlatih itu terus menuju ke arah markas polisi (Hoofd Bureau) di Jalan Sikatan. Belasan pemuda gugur dan beberapa bagian gedung mengalami kerusakan akibat tembakan dan granat yang dilemparkan musuh. Gencarnya serangan yang dilakukan Sekutu, membuat pejuang kita mundur masuk ke kampung-kampung sekitar di seberang Kalimas.

Serangan Gila-gilaan

Mendapat serangan yang gila-gilaan itu, membuat pertahanan pemuda kacau. Mereka berlarian menyelamatkan diri, karena tidak mungkin melawan senjata modern itu. Kalau semula PRI-AL dapat bertahan di stasiun KA Sidotopo, akhirnya terpaksa mundur sampai ke daerah Kenjeran.

Para pemuda yang bertahan di sepanjang rel kereta api dari Pasarturi, viaduck dekat kantor gubernur sampai ke Sidotopo yang jumlahnya mencapai 400 orang itu, mampu membuat pasukan Inggris kalangkabut. Korban berjatuhan di kedua belah pihak.

Warga kota Surabaya, terutama anak laki-laki dan pemuda yang mendengar suara Bung Tomo yang terus menerus membakar semangat melalui corong radio yang disiarkan dari studio Radio Surabaya yang di zaman Belanda bernama NIROM di Jalan Embong Malang. Tanpa pikir panjang berhamburan dengan senjata yang mereka miliki ke luar rumah. Mereka bukannya menggunakan senapan atau senjata api, tetapi justru ada yang membawa keris, parang, pedang, bambu runcing, serta clurit.

Tindakan “konyol” itu membuat tentara Sekutu ketakutan akibat ada yang tewas kena gorok dan tusuk senjata tajam, namun pada umumnya kemudian mereka dihabisi oleh tembakan senapan mesin. Tubuh-tubuh bergelimpangan dan banjir darah di mana-mana.

Menurut komandan PI (Polisi Istimewa), Inspektur Soetjipto Danoekusumo, sejak pagi ia berkeliling dengan panser dan memberikan briefing (pengarahan singkat) di depan kantor besar polisi. Tiba-tiba, pesawat terbang Inggris menjatuhkan bom. Peluru kanon pasukan Sekutu itupun berjatuhan di sekitar kantor polisi. Belasan anggota PPI (Pembantu Polisi Istimewa) berguguran.

Pasukan Inggris terus maju, namun tidak mudah, karena jalan raya sudah dipasangi rintangan oleh para pemuda dengan menumbangkan pohon-pohon dan juga balok-balok kayu dan tumpukan batu.

Tidak hanya kantor besar polisi yang menjadi sasaran tentara Inggris, tetapi juga markas besar TKR di gedung HVA yang dipimpin Dr.Moestopo. Gedung Borsumij dan bekas kantor Kempetai yang dijadikan markas TKR pimpinan Jenosewojo juga digempur habis-habisan.

Wartawan senior, almarhum Wiwiek Hidayat dalam tulisannya di Harian Jawa Pos, 4 November 1990, mengungkap beberapa catatan berdasarkan pengamatannya sebagai seorang jurnalis. Tanggal 10 November 1945, menurut mantan kepala kantor berita Antara itu adalah prolog dan eposnya Arek-arek Suroboyo.

Pengertian arek ini “benar-benar arek”, karena para pejuang ini rata-rata memang “masih anak-anak muda” yang usianya 13 hingga 25 tahun. Mereka ini masih pelajar SMP hingga SMA yang bergabung dalam TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar). Di antaranya ada yang sudah kuliah di perguruan tinggi, bahkan sarjana seperti drg (dokter gigi) Moestopo, serta ada pula yang sudah dilatih sebagai tentara Heiho dan Peta. Di samping yang terbanyak adalah anak muda pengangguran.

Peristiwa 10 November ini benar-benar didominasi pemuda. Jadi, “gerakan” pemudalah yang sangat menonjol pada hari-hari pertama itu. Gerakan ini pada mulanya ada pada pemuda “salon” dan intelektual. Tetapi secara cepat berubah menjadi gerakan yang lebih radikal. Sehingga perlawanan terhadap Sekutu benar-benar tidak terkendali. Sampai-sampai pihak musuh kehilangan akal menghadapi tindakan sporadis dan membabibuta “ala bonek” itu, kisah Wiwiek suatu ketika kepada penulis.

Pertempuran yang diawali 10 November 1945 itu terus berlanjut. Pertahanan Arek Suroboyo semakin terdesak ke arah selatan. Sampai akhirnya, terjadi pengungsian ke luar kota. Kalau semula garis pertahanan adalah viaduck dan jalan kereta api dari Sidotopo hingga Pasarturi, akhirnya mundur sampai ke Ngagel, Wonokromo, Gunungsari hingga Sepanjang, bahkan Mojokerto.

Bagaimanapun juga, perjuangan Arek Suroboyo membuat Sekutu kalangkabut. Berita di mediamassa luar negeri, ternyata memberikan salut kepada pejuang Indonesia di Surabaya. Sejak Mallaby tewas, kemudian perang berkecamuk dari darat, laut dan udara, seolah-olah merupakan kelanjutan dari Perang Dunia II. Artinya, Perang Dunia II belum berakhir dengan kekalahan Jepang, Jerman dan Italia. Sekutu masih punya lawan berat sebagai musuh, yaitu Arek Suroboyo.

Perang di Surabaya ini hingga sekarang masih diabadikan di Imperial War Museum di London, Inggris. Ada sebuah foto yang menarik, anak usia sekitar 11 tahun digiring oleh serdadu Gurkha dengan bayonet terhunus. Penjelasan foto itu adalah: “Anak ini tertangkap setelah terkena tembakan pada kakinya dan pincang. Sebelumnya anak ini menembaki tentara Sekutu dan melemparkan granat”.

Ini adalah laporan sebuah regu dari pasukan Sekutu di Surabaya. Ada lagi sebuah foto, dua orang serdadu Inggris sedang menggali tanah untuk perlindungan dari serangan hebat pejuang Surabaya. Di belakang ke dua tentara itu asap hitam menjulang ke udara, dari rumah penduduk yang terbakar. Dan masih banyak foto-foto lain yang menggambarkan kejuangan Arek Suroboyo yang diabadikan di museum perang Inggris itu.

Siang malam pertempuran berlangsung tiada henti. Bantuan dari pemuda dan laskar juga terus berdatangan dari luar kota. Ada yang naik truk, berjalan kaki dan menumpang kereta api. Tanpa disadari tidak kurang 16 ribu nyawa pejuang melayang sebagai kusuma bangsa. Surabaya benar-benar banjir darah. DI mana-mana mayat bergelimpangan.

Kota Neraka

Korban di pihak Inggris pun tidak sedikit. Sampai-sampai dalam catatan sejarah Inggris, menulis pertempuran 10 November 1945 di Surabaya itu benar-benar perang dahsyat luar biasa. Mereka menyebut Kota Surabaya sebagai “inferno” atau kota “neraka” bagi pasukan Inggris.

Bagi Bangsa Indonesia, para pejuang yang gugur dalam pertempuran itu diberi predikat sebagai pahlawan bangsa. Mereka dimakamkan di berbagai TPU (Taman Pemakaman Umum), seperti di Ngagel, Tembok, Pegirian, Tembaan, serta makam umum lainnya di kampung-kampung Surabaya. Banyak di antara mereka adalah pahlawan tidak dikenal.

Kesibukan luar bisa terjadi di Rumah sakit, karena banyak pejuang yang terluka. Sementara yang meninggal dunia, bergelimpangan di jalan-jalan dan gang kampung. Tidak hanya kaum laki-laki yang bergerak, kaum perempuan yang bergabung dalam PPRI (Pemuda Puteri Republik Indonesia) Surabaya juga terjun ke medan pertempuran. Di bawah pimpinan ketua PPRI Surabaya, Lukitaningsih, terhimpun sekitar 60 puteri yang disebar menjadi petugas kesehatan dan palang merah. Mereka ini berusaha menyelamatkan korban yang terluka ke rumah-rumah penduduk, di samping mendirikan pos-pos perawatan.

Sebagian yang terluka parah diangkut ke Rumah Sakit Simpang. Sekarang RSU Simpang sudah tidak berbekas, dan di atasnya sudah berdiri gedung WTC (World Trade Center), Gedung Medan Pemuda dan Plaza Surabaya.

Begitu banyaknya korban, lebih dari seribu orang yang rawat inap, maka dokter Sutopo yang manangani korban, terpaksa kontajk dan minta bantuan dokter ke Jakarta dan kota-kota di Jawa Timur. Dari Jakarta datang bantuan tim dokter dan mahasiswa kedokteran yang dipimpin oleh dr.Azis Saleh. Mereka bergabung dengan tim medis di Surabaya. Karena ruang di RSU Simpang dan rumah sakit lainnya di Surabaya sudah penuh, maka dengan bantuan PMI (Palang Merah Indonesia), sebagian pasien dikirim ke rumah sakit di Sidoarjo, Mojokerto, Mojowarno, Jombang dan Malang. Mereka diangkut dengan kereta api dari stasiun Gubeng. Ada juga yang diangkut dengan truk maupun cikar.

Korban yang gugur terus bertambah. Walikota Surabaya Radjamin Nasution, menggagas perlunya TMP (Taman Makam Pahlawan) untuk para pejuang yang gugur. Dijadikanlah lapangan Canna di Jalan Canna (sekarang Jalan Kusuma Bangsa) yang terletak di depan THR (Taman Hiburan Rakyat) menjadi TMP. Untuk pertamakalinya dimakamkan sebanyak 26 orang korban pertempuran di Surabaya yang jenazahnya diambil dari Rumah Sakit Umum (RSU) Simpang. Korban yang gugur bertambah terus. Dalam waktu singkat TMP di Jalan Canna, diubah namanya menjadi TMP Kusuma Bangsa dan Jalan Canna menjadi Jalan Kusuma Bangsa.

Pertempuran seru berlangsung sampai sampai akhir November 1945. Para pejuang tidak lagi menghitung hari, sebab mereka sibuk bertempur melawan Sekutu. Surabaya menjadi neraka. Inferno bagi Inggris. Namun menjadi kawah candradimuka bagi pejuang yang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Perang yang “dahsyat” berlangsung selama 20 hari di Surabaya ini menjadi catatan bagi dunia, khususnya Sekutu dan Inggris. Bahkan, bagi bangsa Indonesia, peristiwa heroik di Surabaya ini tidak akan pernah dilupakan. Sejarah mencatat dan mengabadikannya sebagai “Hari Pahlawan” yang diperingati setiap tanggal 10 November. Dan, Kota Surabaya memperoleh predikat sebagai “Kota Pahlawan”. ***

 

*) Yousri Nur Raja Agam MH – pemerhati sejarah, bermukim di Surabaya

 

9 November 1945

Diultimatum Sekutu,

Semangat Arek

Surabaya Terbakar


Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)

Yousri Nur RA  MH

Yousri Nur RA MH

MERASA dilecehkan dengan oleh ultimatum Jenderal Masergh, Arek Surabaya (baca: Suroboyo) bangkit dan meradang. Semangat Arek-arek Surabaya terbakar dan “Surabaya mendidih”.

Darah yang menggelora di hati rakyat Surabaya dan Jawa Timur benar-benar sudah memuncak sampai ke ubun-ubun. Namun, Gubernur Jatim RMTA Soerjo, masih mampu mengendalikan emosinya.

Satu per-satu tuduhan yang disampaikan Manserg dalam pidato tertulisnya disangkal Gubernur Soerjo. Ia bicara dengan suara yang dalam, tetapi tegas. Semua tuduhan Mansergh itu dibedah dengan nada suara yang keras bak menyayat hati Komandan Tentara Sekutu di Jawa Timur itu. Indonesia punya bukti-bukti dengan dokumen yang jelas, sergah Gubernur Soerjo.

Mendapat jawaban yang menantang itu, Mansergh hanya diam. Ia menunduk tidak bicara apa-apa.

Suasana perundingan yang digelar biro-kontak itu menjadi tegang. Gubernur Soerjo menugaskan Residen Soedirman dan Moehamad ke Morokrembangan. Sedangkan Jenderal Mansergh pamit meninggalkan ruangan. Ia minta Kolonel Pugh mewakili Inggris meneruskan rapat. Namun, Gubernur Soerjo pun beranjak pergi dan menugaskan Doel Arnowo dan Soengkono meneruskan perundingan mewakili Indonesia.

Penugasan Residen Soedirman dan Moehamad ke Morokrembangan, ternyata menyaksikan kelicikan Inggris dan Sekutu. Sebab, diam-diam mereka sudah mendaratkan pasukan Divisi 5 sebanyak 24 ribu personal. Mereka berkoar, bergerak melakukan intimidasi terhadap Arek Suroboyo.

Ternyata, manuver Inggris itu benar-benar membangkitkan semangat perlawanan yang tinggi. “Biar jadi debu, lawan Inggris hingga titik darah terakhir!” Begitu seruan yang diteriakkan para pemimpin pasukan pejuang.

Perang Surat

Surat Mansergh datang lagi. Surat itu dikeluarkan hari Kamis, 8 November 1945 yang ditujukan kepada Gubernur Soerjo. Isinya itu penuh keangkuhan.

Ia minta Gubernur Soerjo datang menghadap ke kantornya di Jalan Jakarta (Batavia-weg), di kawasan Tanjung Perak, besok Jumat, 9 November 1945, pukul 11.00. Gubernur Soerjo membalas surat Mansergh itu. Bunyinya sebagai berikut:

Gubernur Jawa Timur

9 November 1945

No. 1-KBK

Jenderal Mayor E.C.Mansergh

Komandan Angkatan Darat Sekutu

Jawa Timur, Surabaya.

Tuan,

Saya telah menerima dua surat dari tuan, pertama tertanggal 7 November 1945, No.G-512-1, dialamatkan kepada Gubernur Jawa Timur dan kedua tertanggal 8 November 1945, No.G-512-5 dialamatkan kepada Tuan R.M.T.A.Soerio, yang kebetulan, dan ini perlu saya ceritakan kepada tuan, adalah Gubernur Jawa Timur; dan saya pikir dan meminta dengan hormat kepada tuan untuk mengalamatkan semua korespondensi resmi kepada saya dengan lebih tata hormat.

Saya mengharapkan demikian dari tuan sebagai wakil dari Panglima Tertinggi dari Tentara Sekutu untuk menjalankan semua pertemuan pribadi dalam suasana persahabatan dan tanpa prasangka. Saya akan lebih berterimakasih apabila tuan menyadari bahwa tuan berada di dunia Timur dengan suatu tugas kewajiban suci yang keramat; dan sampai saat tuan bersedia bertemu dengan saya dalam suasana yang lebih sungguh-sungguh dan persahabatan, semua komunikasi antara tuan dan saya mulai sekarang harus dilakukan dengan surat-menyurat; ini disebabkan karena sikap tuan sendiri.

Mengenai point 1 dari surat tuan, saya dengan hormat memberitahu bahwa kita sedang melanjutkan usaha kita untuk melaksanakan apa yang menjadi bagian kita sesuai dengan perjanjian

Tentang point 2 dari surat tuan yang terakhir, maka versi tuan tentang keadaan situasi kota Surabaya adalah tidak benar; 24 jam setelah perjanjian antara Jenderal Hawthorn dan Presiden Soekarno pada tanggal 30 Oktober sampai sekarang ini, maka keamanan dan ketertiban berjalan dengan baik, dan apabila tuan menunjukkan kepada sesuatu insiden yang tidak menyenangkan sejak saat itu maka dengan segala senang hati saya akan mengurusnya.

Tentang keterlambatan pengangkutan orang-orang asing dari daerah-daerah tersendiri ke Tanjung Perak, ingin saya kemukakan bahwa keterlambatan itu hanya disebabkan oleh keragu-raguan dan kurang persiapannya dari orang-orang asing tersebut.

Saya ingin meminta perhatian tuan bahwa Mayjen Hawthorn tak pernah menggunakan istilah “Hindia Belanda” dalam surat-suratnya, tetapi kata: Jawa, Madura, Bali dan Lombok.

Sepanjang pengetahuan saya maka kondisi-kondisi normal di bidang hukum, keamanan dan ketertiban berjalan baik di Surabaya saat ini.

Tentang point 6 dari surat tuan, saya ingin mengetahui keharusan Tentara Sekutu untuk memasuki kota Surabaya dan sekitarnya serta daerah-daerah lain di Jawa Timur, sedangkan di dalam persetujuan antara Jenderal Hawthorn dan Presiden Soekarno point 2, hanya 2 tempat yang jelas sebagai daerah yang akan dijaga oleh Tentara Sekutu, yaitu: daerah Darmo dan Tanjung Perak; dan lagi pula selekasnya kaum interniran dan RAPWI dipindah dari Darmo, maka Tentara Sekutu akan mundur juga ke Tanjung Perak. Tentara tuan hendaknya jangan mencoba masuk ke dalam kota, karena hal ini tidak akan mempunyai pengaruh baik bagi ketenteraman dan ketertiban, justru dalam waktu sekarang dan saya minta dengan sangat hendaknya tuan menyadari bahwa tugas kita adalah tidak semudah seperti tuan perkirakan; dan dengan mendesakkan hal-hal secara sebegitu sekonyong-konyong, tuan akan menghancurkan segala apa yang telah kita bangun bersama dengan Kolonel Pugh untuk suatu penyelesaian secara damai. Saya sama sekali tidak ragu-ragu bahwa suatu sikap yang simpatik dalam menghadapi tugas kita yang sulit ini digabungkan dengan kesabaran akan menghilangkan kesalahpahaman dari pihak kita berdua.

Saya mengharapkan dengan sungguh-sungguh hendaknya tuan bersedia kerjasama dengan kita dalam suasana berkemauan baik dan persahabatan sambil menyadari kesulitan-kesulitan kita, dan hendaknya tuan jangan ragu bahwa harmoni yang demikian akan mendorong penyelesaian dari kesulitan kita bersama.

Sebelumnya saya mengucapkan terimakasih.

Hormat saya,

R.M.T.A.SOERIO

Gubernur Jawa Timur.

Begitulah bunyi surat Gubernur Soerjo yang ditujukan kepada Mayjen Mansergh. “Perang surat” ini sekaligus merupakan jawaban yang berisi tantangan dari Gubernur Soerjo kepada komandan Tentara Sekutu.

Mansergh Mengultimatum

Karena Gubernur Soerjo tidak datang memenuhi panggilan Mayjen Mansergh, pukul 11.00 siang pada hari Jumat, 9 November 1945 itu, Mansergh kembali mengirim surat kepada Gubernur Soerjo.

Surat itu kembali dibalas Gubernur Soerjo dengan halus dan sopan. Namun surat itu dijawab Mansergh dengan ultimatum yang menyakitkan.

Pukul 14.00, saat sebagian warga Surabaya selesai melaksanakan shalat Jumat, pesawat terbang Inggris menderu-deru di atas kota Surabaya dan menyebarkan pamflet dari udara. Pamflet itu berisi ultimatum yang mengharuskan seluruh rakyat Surabaya, semua pemimpin dan pemuda untuk menyerah kepada tentara Inggris. Para pemimpin, polisi dan petugas radio agar melapor ke Jalan Jakarta sebelum pukul 18.00 tanggal 9 November 1945. Mereka diharuskan berbaris satu per-satu dengan membawa senjata yang dimilikinya, kemudian meletakkannya dalam jarak 100 yard dari tempat yang ditentukan. Rakyat biasa yang memiliki senjata menyerahkan diri di Westerbuiten-weg (Jalan Indrapura) dekat Mesjid Kemayoran, serta di Darmo dengan membawa bendera putih.

Pada bagian akhir ultimatum itu, disebutkan, apabila instruksi itu tidak dijalankan, Inggris dengan seluruh kekuatan militernya akan menggempur habis kota Surabaya, Sabtu, pukul 06.00 pagi.

Pukul 17.00 pimpinan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) di Surabaya mengundang kepala polisi, komandan PI (Polisi Istimewa), pasukan-pasukan pemuda, laskar, PRI (Pemuda Republik Indonesia), BPRI (Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia) dan TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) untuk membicarakan strategi dan taktik melawan Inggris.

Dalam pertemuan di markas TKR, Jalan Pregolan 4 Surabaya itu, Kolonel Soengkono diangkat sebagai Komandan Pertahanan Surabaya.

Bung Karno Menyerahkan

Rakyat Surabaya tidak gentar sedikitpun terhadap ultimatum yang disebarkan Inggris itu. Jumat malam, para pemimpin pejuang berkumpul dan menghubungi Pemerintah Pusat di Jakarta. Pukul 23.00, melalui sambungan telepon, Presiden Soekarno atas nama pemerintah pusat, menyerahkan kebijaksanaan sepenuhnya kepada Pemerintah Daerah Jawa Timur.

Setelah mendapat jawaban Bung Karno yang demikian, malam itu juga, Gubernur Jatim, Soerjo, berbicara melalui corong Radio Surabaya. Ia dengan tegas menolak ultimatum dan mengimbau kepada semua pihak (para pejuang dan rakyat Surabaya) untuk memelihara persatuan dan kesatuan, serta memohon kepada Allah yang Maha Kuasa untuk memberi kekuatan lahir-batin dalam perjuangan melawan tentara Sekutu-Inggris.

Isi selengkapnya Pidato Gubernur Soerjo adalah:

Saudara-saudara seluruh rakyat Jawa Timur!

Merdeka!

Kami ubernur Jawa Timur memperingatkan, bahwa hari ini kita penduduk Surabaya dapat surat selebaran yang merupakan perintah yang ditandatangani oleh Mayor Jenderal E.c.Mansergh, Panglima Tertinggi Tentara Dasar Serikat Jawa Timur, yang meminta supaya kita sebelum jam 18.00 sore tadi, menyerahkan senjata zonder perjanjian, dan apabila perintah itu tidak dijalankan sampai jam 6.00 besok pagi, mereka akan bertindak dengan kekuatan Angkatan Laut, Darat dan Udara.

Karena kita tidak merasa berperang dan juga tidak menghendaki pertempuran, maka surat perintah itu kita anggap tidak pada tempatnya dan kita tetap tidak bertindak apa-apa.

Polisi dan TKR kita pun tidak akan mengadakan tindakan apa-apa dan hanya bersikap menjaga ketenteraman umum.

Maka dari itu diharapkan kepada seluruh rakyat di Jawa Timur, terutama penduduk dalam kota Surabaya supaya tetap tinggal tenang dan jangan sekali-kali mulai bertindak provokasi, sambil menunggu keterangan radio lebih lanjut, karena kita telah berhubungan dengan Pucuk Pimpinan kita di Jakarta guna merundingkan hal ini.

Demikian pidato singkat Gubernur Soerjo melalui corong radio Surabaya (NIROM, yang kemudian menjadi RRI) di Jalan Embong Malang – sekarang di lahan ini berdiri Hotel Westin yang kemudian ganti nama menjadi JW Marriott.

Barikade Rakyat

Dalam mobil Chrysler 7-sits saat perjalanan dari studio radio Surabaya di Jalan Embong Malang menuju kantor Gubernur di Jalan Pahlawan (dulu: Alun-alun Straat), Gubernur Soerjo melihat ternyata sudah dipasangi barikade-barikade oleh penduduk. Barikade berlapis itu dalam bentuk meja, lemari, kursi, bangku panjang (amben, dampar-dampar), balok kayu, batu-batu besar dan sebagainya. Semua itu dipasang melintang jalan. Akibatnya, mobil yang ditumpangi Gubernur berjalan sangat lambat.

Malam tanggal 9 November 1945 itu, pukul 22.10, ungkap Roeslan Abdulgani dalam bukunya “Seratus Hari di Surabaya”, Doel Arnowo dapat berkontak lagi dengan Jakarta. Hubungan telepon kepada Bung Karno dijawab oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) Ahmad Soebardjo. Menlu yang dipercaya oleh Bung Karno untuk berunding dengan pihak Sekutu, ternyata menemukan jalan buntu. Pimpinan tentara Inggris tetap pada pendiriannya. Mereka tetap akan mempergunakan jalan kekerasan apabila kita tidak mau menyerah

Akhirnya Menlu Ahmad Soebardjo menyerahkan segala sesuatu kepada kita di Surabaya. Keterangan Menlu mengandung arti, bahwa apabila kita merasa cukup kuat untuk mengadakan perlawanan bersenjata, hal ini terserah! Pemerintah Pusat tidak akan menyalahkan Surabaya, ulas Cak Roeslan Abdulgani. Jadi, tidak seperti pertempuran akhir bulan Oktober 1945.

Gubernur Soerjo kembali menuju studia radio Surabaya. Di depan corong radio, tepat pukul 23.00, dengan tenang, tegas dan mantap Gubernur Soerjo berpidato sebagai berikut:

Saudara-saudara sekalian.

Pucuk Pimpinan kita di Jakarta telah mengusahakan akan membereskan peristiwa di Surabaya pada hari ini. Tetapi sayang sekali sia-sia belaka, sehingga semuanya diserahkan kepada kebijaksanaan kita di Surabaya sendiri.

Semua usaha kita untuk berunding senantiasa gagal. Untuk mempertahankan negara kita, maka kita harus menegakkan dan meneguhkan tekad kita yang satu, yakni berani menghadapi segala kemungkinan.

Berulang-ulang telah kita kemukakan bahwa sikap kita ialah: Lebih baik hancur daripada dijajah kembali. Juga sekarang dalam menghadapi ultimatum pihak Inggris, kita akan memegang teguh sikap ini. Kita tetap menolak ultimatum itu.

Dalam menghadapi segala kemungknan besok pagi, mari kita semua memelihara persatuan yang bulat antara pemerintah, rakyat, TKR, polisi dan semua badan-badan perjuangan pemuda kita.

Mari kita sekarang memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa semoga kita sekalian mendapat kekuatan lahir batin serta Rahmat dan Taufik dalam perjuangan.

Selamat berjuang!

Setelah mendengar seruan Gubernur Soerjo di radio, para pemuda pejuang menghimpun massa rakyat dari segala penjuru kota dan kampung. Semua mempersiapkan diri menghadapi apa yang akan terjadi hari Sabtu, 10 November 1945 pagi. ****

*) Yousri Nur Raja Agam MH – pemerhati sejarah bermukim di Surabaya.

Setelah Mallaby Tewas

Christison dan Mansergh


Ancam Arek Suroboyo

Yousri Nur RA, MH

Yousri Nur RA, MH

Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)

HARI Rabu, 31 Oktober 1945, dunia terguncang oleh berita tewasnya Brigjen Mallaby, yang terjadi Selasa, 30 Oktober 1945, sehari sebelumnya. Berita-berita mediamassa, koran dan radio di mancanegara menyudutkan posisi Indonesia. Sebab sumber informasi sepihak, hanya dari pihak Inggris.

Bagi pejuang Surabaya, tewasnya Mallaby merupakan sebuah kebanggaan. Namun perasaan para pemimpin di Surabaya serba salah. Khawatir, dituduh melakukan kejahatan perang. Tetapi, bagaimanapun juga itu adalah sebuah resiko bagi Sekutu-Inggris yang mengabaikan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Salah satu di antara pemberitaan media internasional waktu itu, Inggris menuduh Arek Suroboyo sengaja melakukan penyerangan tanpa peringatan awal. Pemberitaan pihak Inggris ke dunia luar yang trial by the press itu memang tidak sertamerta dapat dibantah. Namun kemudian dijaleskan bahwa saat peristiwa itu terjadi, Moehamad dan TD Kundan yang merupakan wakil Indonesia sedang berunding di gedung Internatio.

Akhirnya sesuai dengan kesepakatan perunding Moehamad dengan pihak Inggris, Rabu, 31 Oktober 1945 sekitar pukul 13.00 seluruh pasukan Inggris meninggalkan gedung Internatio. Mereka diangkut dengan truk-truk TKR ke Markas Besar Inggris di Jalan Westerbuitenweg (sekarang bernama Jalan Indrapura).

Surat Christison

Jenderal Christison, Panglima Tentara Sekutu Asia Tenggara di Jakarta mengeluarkan pengumuman berupa ancaman terhadap bangsa Indonesia, khususnya Arek-arek Suroboyo. Isinya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah:

Peringatan kepada Bangsa Indonesia!

Pada tanggal 28 Oktober 1945 sejumlah besar orang Indonesia yang bersenjata di Surabaya telah menyerang dengan tiada memberi peringatan atau terjadi provokasi pasukan-pasukan Inggris yang mendarat dengan maksud melucuti senjata dan mengasingkan pasukan-pasukan Jepang, menolong tawanan-tawanan perang dan orang-orang yang diasingkan, dan menjaga ketenteraman di daerah yang mereka duduki.

Dengan demikian orang-orang Indonesia itu telah melanggar perjanjian peletakan senjata buat sementara dan dengan sewenang-wenang membunuh Brigadir Jenderal Mallaby yang pergi berbicara dengan mereka.

Penyerangan langsung dan tidak bersebab terhadap pasukan-pasukan Inggris bagaimanapun juga tidak diperbolehkan, dan sekiranya orang-orang Indonesia yang melakukan perbuatan ini tidak menyerah kepada saya, saya berniat akan menggunakan segala tenaga dari Angkatan Laut, Darat dan Udara, beserta segala senjata-senjata modern terhadap mereka sampai mereka hancur.

Kalau dalam tindakan ini orang-orang Indonesia yang tidak bersalah meninggal atau terluka, maka tanggungjawab dipikulkan oleh orang-orang Indonesia tersebut yang telah melakukan kejahatan-kejahatan seperti saya katakan tadi.

Saya peringatkan kepada seluruh rakyat Indonesia di Pulau Jawa, supaya mereka jangan bersangkutpaut dengan golongan ekstrimis dan supaya bekerja bersama-sama dengan tentara saya dan hidup damai dan tenteram dengan mereka.

Karena kalau kekerasan dipergunakan kepada tentara saya, maka jawabannya adalah kekerasan juga. Saya berniat teguh menjamin keamanan dan ketenteraman dan berharap kepada orang-orang Indonesia yang baik untuk membantu saya.”

Christison – Panglima Tentara Sekutu Asia Tenggara.

Demikian peringatan Jenderal Christison yang dikutip juga oleh Presiden Soekarno dalam pidato radionya, Rabu malam, 31 Oktober 1945 pukul 19.30 di Jakarta. Dalam pidato radionya Bung Karno dengan panjang lebar mengisahkan kejadian di Surabaya saat itu. Dalam pidato itu antara lain dinyatakan:

“Surabaya merupakan satu kekuatan kita; bahwa di Surabaya TKR kita tersusun dengan baik. Bahwa pemuda-pemuda dan kaum buruh telah membentuk persatuan-persatuan yang sangat teguh.

Bahwa pertempuran-pertempuran kita dengan tentara Inggris pada tanggal 28 Oktober sampai 30 Oktober 1945, kurang baik menggunakan kekuatan itu dengan tidak didasarkan atas siasat bekerja bersama-sama dengan bahagian di Indonesia lain, dan tidak didasarkan siasat yang bersifat perjuangan lama, maka kini timbul keadaan yang melemahkan kekuatan di Surabaya dan di Indonesia.”

Pada bagian akhir pidatonya, Bung Karno berpesan, bahwa musuh kita bukan Sekutu, tetapi NICA. Oleh sebab itu, semua pertempuran dengan Sekutu harus dihentikan.

Setelah peristiwa tewasnya Mallaby, keadaan Surabaya makin mencekam. Para pejuang Arek Suroboyo, terus siaga. Sementara biro-kontak terus melakukan rapat-rapat tentunya tanpa kehadiran Mallaby lagi.

Surat Mansergh

Suasana di Surabaya makin memanas. Perundingan dan rapat-rapat biro-kontak terus berlangsung. Suhu udara di Surabaya, hari Rabu, 7 November 1945 yang semula cukup tenang, kemudian terasa memanas. Pukul 11.30 berlangsung pertemuan antara Gubernur Jatim, Soeryo yang didampingi staf, anggota biro-kontak dengan Mayjen Mansergh (pengganti Mallaby) beserta stafnya.

Dalam pertemuan itu, Mansergh membacakan surat bernomor G.512-1, 7 November 1945. Surat itu ditandatangi sendiri oleh Mansergh. Surat yang benar-benar menunjukkan kecongkakan Inggris dan banyak berisi kebohongan itu, seperti yang diterjemahkan TD Kundan adalah:

Nama saya Mayor Jenderal B.C.Mansergh OBE,MC. Saya adalah komandan Tentara Sekutu Jawa Timur dan mewakili Panglima Tentara Sekutu Hindia-Belanda.

2. Kehadiran saya disini adalah untuk:

Mengungsikan tahanan-tahanan perang Sekutu dan kaum interniran Sekutu dan warga-warga lain yang ingin pulang, seperti ke Swis, India dan lain-lain.

Melucuti orang-orang Jepang dan mengungsikan mereka.

Dunia menyadari sepenuhnya bahwa Sekutu mempunyai kapal-kapal serta organisasi di Surabaya yang diperlukan dan berkeinginan untuk membantu semua orang asing dalam pengungsian itu Mereka selanjutnya, mengetahui jika para orang asing sampai tidak diizinkan untuk mengungsi dan pulang maka tanggungjawab sepenuhnya adalah kepada bangsa Indonesia.

Juga telah diinsyafi sepenuhnya oleh seluruh dunia, bahwa orang-orang yang tidak bertanggungjawab, dibiarkan membawa senjata, dibiarkan merampok, melakukan pengkhianatan dan pembunuhan terhadap wanita-wanita dan anak-anak yang tidak bersenjata, dan melakukan lain-lain tindakan keganasan yang sangat bidab.

Hal ini terjadi sekalipun di Surabaya sudah ada formasi kepolisian bersenjata di bawah pimpinan Indonesia yang telah diakui oleh sekutu. Akan tetapi tuan ternyata tidak dapat menguasainya, tuan mempunyai sarananya, akan tetapi tidak dapat menyelenggarakan ketertiban umum. Seluruh dunia tahu tentang hal ini dan tahu juga tentang keganasan-keganasan yang telah dilakukan.

Saya perlu memberitahukan kepada tuan, bahwa semua itu adalah tanggyungjawab tuan, beserta anak buah tuan, yaitu menyelenggarakan ketertiban umum; pula bahwa segala jaminan dan janji tuan benar-benar harus dilaksanakan. Dalam hubungan telah disetujui bahwa beberapa daerah Surabaya akan digunakan hanya oleh Sekutu atau oleh pihak Indonesia dengan tujuan menghindari pertempuran-pertempuran. Pihak tuan telah melanggar janjinya. Pada waktu itu tank-tank dan tentara Indonesia telah berada di lapangan udara dan mengambil posisi (yang dimaksud di sini adalah lapangan udara Morokrembangan). Sesuai dengan janji tuan, maka tank-tank dan tentara itu harus ditarik mundur hari ini. Saya akan mengambilalih tanggungjawab di daerah lapangan terbang itu dan akan mendudukinya hari ini dimulai pukul 14.00. Adapun akan menjadi tanggungjawab tuan, jika terjadi insiden-insiden.

Wakil-wakil tuan berkali-kali menjanjikan untuk menjamin kembalinya semua yang terluka dari tentara Sekutu, tahanan, peralatan, truk-truk dan sebagainya. Sampai sekarang janji itu lambat pelaksanaannya dan banyak hal lain yang sama sekali diabaikan. Saya hendak menekankan bahwa semua kegagalan tuan itu, saya anggap bahwa tuan tidak mampu atau tidak mau memenuhi perjanjian-perjanjian dan jaminan-jaminan yang telah disepakati; dan bahwa Sekutu beserta seluruh dunia telah mengetahui tentang kegagalan tuan itu.

Saya minta sekarang supaya diatur lebih lanjut mengenai evakuasi warga negara asing yang ingin dipulangkan, dan supaya semua tentara Sekutu yang luka-luka dan hilang, truk-truk, peralatan dan sebagainya segera dikembalikan.

Demikian isi surat Jenderal Mansergh. Surat itu dibacanya sendiri di hadapan wakil-wakil Pemerintah RI dan biro-kontak. Surat nomor G-512-1 ini – sesuai ketikan – bertanggal 3 November 1945. Tetapi tampak coretan tinta dan diganti tanggalnya menjadi 7 November 1945.

Dengan dada terangkat dan tatapan congkak, seusai membaca surat itu – yang diterjemahkan oleh Kundan, Mansergh duduk kembali.

Semua yang hadir tercengang.

Surat yang ditulis Christison dan Mansergh ini membuat para pejuang dan pejabat Pemerintahan Indonesia di Surabaya “terbakar”, karena merasa dilecehkan. ***

*) Yousri Nur Raja Agam – pemerhati sejarah, bermukim di Surabaya.