Pusura Surabaya

PUSURA

Organisasi Sosial Tertua

Arek Surabaya

Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)

Yousri Nur RA,MHPUSURA, merupakan singkatan dari “Putera Surabaya”. Ini adalah nama organisasi sosial yang cukup tua di Kota Surabaya. Berdasarkan catatan yang ditemukan penulis, serta hasil pengecekan di kantor Pusura, hari lahir atau berdirinya Pusura adalah tanggal 26 September 1936.

Kita patut berbangga, sebab organisasi yang berdiri pada zaman penjajahan Belanda itu masih ada sampai sekarang. Para pengurusnya, benar-benar dapat melaksanakan amanah dari para pendiri dan pengurus-pengurus sebelumnya. Berkat kesinambungan kepengurusan itulah, kegiatan Pusura terus berkembang, terutama di bidang sosial.

Memang, pada awalnya ide mendirikan Pusura tidak semata-mata di bidang sosial. Namun kegiatan sosial itu hanya “kedok” untuk mengelabui penjajah Belanda waktu itu. Sebenarnya, kegiatan yang dilakukan Pusura pada tahun 1930-an itu adalah kegiatan politik terselubung, terutama menanamkan semangat perjuangan warga kota Surabaya ikut merebut kemerdekaan.

Untuk mencapai cita-cita kemerdekaan itu, para pendiri Pusura berusaha secara maksimal meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Di samping itu, menyelenggarakan kegiatan pendidikan untuk mencerdaskan anak bangsa yang ada di Kota Surabaya ini. Apalagi para pendiri organisasi yang semula bernama “Poesoera” ini, umumnya tokoh masyarakat yang berlatarbelakang politisi, cendekiawan, pendidik dan ulama.

Mereka antara lain, empat orang dokter pejuang, yakni: Dr.Sutomo, Dr.Soewandi, Dr.Yahya dan Dr.Samsi. Di samping itu ada ulama yang juga pejuang kemerdekaan, yakni KH Mas Mansur, H.Nawawi Amin, Koesnan Effendi, H.Manan Edris dan H.Hoesein. Foto para pendiri Pusura ini, sekarang dipajang di kantor Pusura yang terletak di Jalan Yos Sudarso 9 Surabaya.

Sebelum Pusura dilahirkan, kata Ketua Pusura (saat ini), H.Kadaruslan yang biasa disapa: Cak Kadar itu, Dr.Sutomo dan kawan-kawannya lebih dulu mendirikan Gedung Nasional Indonesia (GNI) di Jalan Bubutan. GNI ini merupakan pendopo dari gedung penerbitan dan percetakan, serta tempat pendidikan dan poliklinik kesehatan.

Di masa perjuangan itulah kegiatan sosial dikembangkan Pusura melalui kegiatan “sinoman”. Selain mengurusi warga yang meninggal dunia, sinoman juga tempat berhimpun warga yang melakukan kegiatan sosial kemasyarakatan. Namun saat kegiatan perjuangan kemerdekaan memuncak, aktivitas Pusura menurun, bahkan sempat terhenti.

Itulah sebabnya, saat kemerdekaan diproklamasikan 17 Agustus 1945 dan berlanjut hingga peristiwa bersejarah 10 November 1945, organisasi Pusura bagaikan tenggelam. Pengurusnya sibuk dalam kesatuan perjuangan yang terdiri dari berbagai organisasi, kelompok dan paguyuban.

Saat Pusura “hilang” di awal masa kemerdekaan Republik Indonesia, lahir organisasi bernama GPP (Gabungan Pemuda Perjuangan) Surabaya. Organisasi ini menggunakan seluruh fasilitas dan inventaris Pusura, kata Cak Kadar yang ditemui penulis di gedung Pusura yang terletak persis diseberang kantor DPRD Kota Surabaya.

Nah, barulah pada tahun 1950 nama Pusura dihidupkan lagi. Waktu itu, H.Doel Arnowo menjabat sebagai walikota Surabaya (1950-1952). Pusura bangkit dan ditata kembali. Selain kegiatan sinoman yang dimasyarakatkan ke seluruh kampung-kampung di Surabaya, kegiatan lainnya adalah mengumpulkan barang-barang inventaris yang berserakan akibat perang kemerdekaan, maupun akibat warga Surabaya mengungsi ke luar kota.

Berbagai upaya dilakukan untuk menarik warga kota Surabaya dalam berorganisasi di bidang sosial ini. Salah satu di antaranya adalah menyelenggarakan kegiatan olahraga. Mulai dari olahraga ringan, seperti catur, pencaksilat dan mendirikan klub sepakbola “mini” dan perkumpulan “anak gawang”. Anak-anak gawang ini difungsikan membantu pemungutan bola yang ke luar lapangan, saat pertandingan berlangsung. Tidak hanya yang diselenggarakan Persebaya saja, tetapi juga untuk klub-klub sepak bola lainnya.

Menurut Cak Kadar, Pusura pernah melahirkan grand master olahraga catur tingkat nasional dan internasional, yakni: Ardiansyah dan Taufik.

Saat kegiatan politik praktis menjelang Pemilu (Pemilihan Umum) pada tahun 1970-an, Pusura sempat terpecah. Pusura yang merupakan organisasi sosial kemasyarakatan, oleh orang tertentu digiring ke dunia politik. Namun upaya itu berhasil dicegah. Akibatnya, lahir organisasi “tandingan” bernama Pasura (Paguyuban Arek Surabaya).

Tidak hanya itu, Pusura pada dekade 1970-an hingga 1980-an sempat menjadi sorotan masyarakat dan aparat keamanan. Para tokoh tua yang menjadi pengurus Pusura, memilih untuk tidak aktif. Maka, anak-anak muda yang berada di markas Pusura lepas kontrol. Gedung Pusura menjadi “angker”, karena dijadikan tempat berkumpul para preman. Waktu itu, juga sering terjadi perkelahian antar geng anak muda.

Nama-nama geng yang cukup dikenal waktu itu, antara lain: Besi Tua, Air Laut, Massa 33 dan sebagainya. Sedangkan tokoh di balik geng ini antara lain, sebut saja: Cak Nuralim, Harun, Maison, Sugianto dan sederetan nama lainnya,

Walikota Surabaya Drs.Moehadji Widjaja (1979-1984), mempunyai perhatian yang cukup baik terhadap Pusura. Ia melakukan pendekatan persuasif kepada anak muda yang dicap sebagai preman. Cak Nuralim, salah seorang yang cukup disegani di kalangan anak muda yang dicap preman waktu itu, didekati oleh walikota Moehadji Widjaja.

Bersama beberapa wartawan dan tokoh muda Surabaya, Moehadji Widjaja menyambut baik berdirinya organisasi yang diberi nama Generasi Muda Arek-Arek Surabaya (Gemaas). Cak Nuralim diangkat sebagai ketua Gemaas yang pertama dengan wakilnya Hari Sasono DS yang waktu sebagai wartawan majalah “Selecta Group” Jakarta, perwakilan Jawa Timur.

Cak Nuralim dan Cak Hari Sasono mengajak beberapa wartawan sebagai pengurus Gemaas. Mereka antara lain: Arifin Perdana, Anton Abdullah, Anton Tjondro, Yousri Nur Raja Agam, Yamin Akhmad dan beberapa anak-anak muda lainnya. Saat Gemaas diresmikan oleh walikota Moehadji Widjaja, tahun 1980 itu, anggota Gemaas ini terdiri dari gabungan anak muda yang dicap sebagai “preman”, juga beberapa orang wartawan dan seniman.

Begitu akrab dan dekatnya “mantan preman” ini dengan wartawan dan seniman, gedung Pusura sempat dijadikan markas penerbitan Suratkabar Mingguan “Surabaya Minggu” yang dipimpin oleh Anwar Arief. Ikut bergabung sebagai pengelola koran itu, dua orang aktivis Pusura: Cak Nuralim dan Cak Jayeng Wandi.

Cak Kadaruslan, mantan wartawan Harian Berita Yudha perwakilan Jawa Timur, yang sebelumnya merantau ke Kalimantan, tahun 1993 kembali ke Surabaya. Sebagai mantan aktivis Kesatuan Aksi yang tergabung dalam Angkatan 66, ia melihat Pusura sebagai organisasi “Arek Suroboyo” kurang terurus. Tidak ada tokoh tua yang mau berinisiatif mengaktifkan kembali oraganisasi yang punya nama besar ini.

Setelah menemui para sesepuh Pusura, seperti Pak Asmuri, Pak Yahya Hasjim dan Pak Iskandar Yasin, kemudian mendapat masukan dari beberapa tokoh lainnya, maka Cak Kadaruslan menyatakan bersedia membenahi Pusura. Cak Kadar, kemudian terpilih dan mendapat mandat sebagai ketua Pusura. Ia berusaha menemui tokoh masyarakat Surabaya untuk diajak menjadi pengurus. Ternyata berhasil.

Dengan diaktifkannya kembali kepengurusan Pusura, image Pusura sebagai “sarang preman” berhasil dihapus, kata Cak Kadar yang juga dikenal sebagai seniman anggota DKS (Dewan Kesenian Surabaya) ini.

Secara bertahap pengurus menyusun program kerja jangka pendek dan jangka pajang. Juga dibuat kalender kegiatan rutin tiap tahun. Misalnya, kegiatan yang berhubungan dengan peringatan hari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus dan peringatan Hari pahlawan 10 November.

Kegiatan yang bersifat sosial ditingkatkan, termasuk mengembang Poliklinik Pusura yang menyediakan pelayanan gabungan dokter spesialis. Tidak hanya di komplek Pusura di Jalan Yos Sudarso, tetapi jug di beberapa tempat yang tersebar di kota Surabaya. Tidak hanya itu, ulas Cak Kadar, kegiatan bakti sosial, donor darah, bantuan untuk penderita penyakit kusta dan anak jalanan juga diselenggarakan terus-menerus. Pusura juga menyelenggarakan pengajian rutin ibu-ibu dan pemuda. Di samping itu, dibuka pula Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pusura yang malayani masyarakat umum. Pada saat tertentu diselenggarakan seminar dan diskusi membahas persolan yang aktual.

Ada lagi satu kepercayaan yang “luar biasa” yang saat ini diemban Pusura, yakni mengelola Taman Pemakaman Umum (TPU) Tembok Dukuh oleh Pemerintah Kota Surabaya. Kepercayaan ini, dilaksanakan oleh Pusura dengan menunjuk kordinator pelaksana. Walaupun kepercayaan mengelola TPU Tembok Dukuh yang luasnya 13 hektar ini diberikan oleh Pemkot Surabaya, tetapi tanpa disertai dukungan dana. Jadi, Pusura mengelola TPU itu secara swakelola dan mandiri, kata Cak Kadar.

Susunan pengurus Pusura saat ini, terdiri dari Penasehat, yaitu: H.Yahya Hasjim, H. Asmoeri, Ir.H.Moechajat, H.Iskandar Yasin. Ketua Umum: H.Kadaruslan, dibantu lima orang ketua, masing-masing: Ir.H.Mustahid Astari, Drs.H.Manan Chamid, H.Latif Burhan, H.Binsjeh Abuyani dan H.Basori Effendi. Sekretaris Umum: HM Zaidun,SH dengan dua sekretaris: Hoslih Abdullah dan Ir.H.Abdul Muin. Bendahara Umum H.Sofwan hadi dengan wakil bendahara: Ny.Hj.A.Manan Chamid.

Dengan melihat susunan pengurus Pusura itu, kata Cak Kadar, jelas bahwa Pusura tidak membeda-bedakan orang berdasarkan aliran politik yang diikutinya. Pusura merupakan organisasi sosial yang terbuka dan tidak terkena imbas politik praktis. Dalam organisasi ini semua “lepas baju”. Artinya, saat berada di lingkungan Pusura, tidak ada pengaruh warna politik yang dianut oleh orang perorang dalam organisasi sosial kemasyarakatan ini.

Musyawarah Pusat ke I  

Semangat reformasi juga bermunculan di kalangan keluarga besar Pusura. Para sespuh dan tokoh Surabaya menyadari, perlu dilakukan peremajaan dalam tubuh Pusura. Berbagai kegiatan yang membawa corak kehidupan yang khas di Surabaya harus dipertahankan. Budaya “Arek Suroboyo” yang sudah mendunia akibat semangat juang Arek-arek Suroboyo di tahun 1945, perlu diketuktularkan menurut versi zaman kini.

Cak Kadar, bersama pengurus Pusura tahunn 2009 bersepakat untuk melakukan peremajaan kepengurusan melalui media formal. Sesuai dengan AD-ART yang sudah dibuat, peremajaan dan penggantian pengurus dilaksanakan melalui Musyawarah Pusat Pusura. Untuk pertamakali diselenggarakan Musyawarah Pusat Pusura tanggal 28 Juni 2009.

Pada Musyawarah Pusat I-2009 itu terpilih formatur untuk menyusun kepengurusan Pusura masabakti 2009-2013. Formatur yang sekaligus sebagai Ketua Umum, terpilih H.Muchammad Zaidun. Disepakati pula, Hoslih Abdullah dan Ka Loko Djojo sebagai anggota formatur.

Untuk masabakti 2009-2013 ini tersusun pengurus yang cukup lengkap. Pada jajaran Dewan Pertimbangan, diisi sepuluh sesepuh dan tokoh masyarakat Surabaya, yakni: H.Yahya Hasyim, H.Asmoeri, H.Kadaruslan, H.Mustahid Astari, H.Bambang Sulistomo, H.Manan Chamid, H.Abdul Karim, H.Abduyl Latief Burhan, H.Herman Rivai dan H.Kusnandar.

Kepengurusan juga dilengkapi dengan Dewan Pakar, yaitu: Prof.Dr.Ir.M.Nuh,DE ; Prof.Dr.Aminuddin Kasdi,MA ; Prof.Dr.Eman Ramelan,SH,MS ; Dr.Tjoek Kastoeri Soekiadi,SE ; Dr.Ir.H.Alisjahbana,MA dan Drs.Aribowo,MA.

Pengurus harian: Ketua Umum H.Muchammad Zaidun disertai tiga Ketua, yakni: Sabrot D.Malioboro, H.Muhammad Fadil dan Wisnubroto Heruputranto. Sekretaris Umum: Hoslih Abdullah dengan dua sekretaris, yaitu: Zakaria Anshori dan Heroe Poernomosidi. Bandahara H.Supardi dan Wakil Bendahara Bambang Sukariadji.

Ada delapan bidang yang sebagai kelengkapan kepengurusan, yaitu: bidang Hubungan Masyarakat (Humas), bidang Hukum, bidang Organisasi, bidang Pemuda, bidang Wanita, bidang Kesehatan, bidang Seni Budaya dan bidang Wira Usaha.

Kegiatan Pusura, juga ditunjang oleh organisasi yang bersifat otonom. Badan otonom Pusura itu, di antaranya: Sinoman Kematian Pusura, Wanita Pusura, Gemaas (Generasi Muda Arek-arek Surabaya) Pususa, POB (Persatuan Olahraga Beladiri) Garuda Mas Pusura, Pemuda Pusura, Lembaga Kesehatan Pusura dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pusura.

Sabrot Dodong Malioboro, ketua Pusura yang ditemui penulis di kantor pusat Pusura Jalan Yos Sudarso 9 Surabaya, mengakui, sekarang kegiatan Pusura semakin banyak. Di samping pelayanan sosial dan poliklinik Pusura yang ada di beberapa tempat, nama dan citra Pusura sebagai ikon Kota Surabaya sudah terangkat. Gedung Pusura hampir tak pernah lengang. Berbagai aktivitas dilaksanakan di gedung tua yang masuk kategori “cagar budaya” ini. Ruang utama sering dipergunakan untuk kegiatan seminar, pengajian, olahraga dan pertemuan lainnya.

            Memang, ujar Sabrot, kendati sudah melekat di hati masyarakat Surabaya, ke depan Pusura akan terus melakukan kegiatan yang bernafaskan sosial kemasyarakatan. Masing-masing bidang dalam kepengurusan sudah dan akan terus meningkatkan aktivitasnya. Begitu pula dengan badan otonom yang bernaung di Pusura. ***.

 *) Yousri Nur Raja Agam MH – Ketua Yayasan Peduli Surabaya

Menjelang Hari Pahlawan di Surabaya

Arek Surabaya Marah

Diultimatum Sekutu

Oleh: HM Yousri Nur Raja Agam

BERDASARKAN kesepakatan 26 Oktober 1945, Pemerintah Indonesia di Surabaya mengizinkan pihak Inggris mengunjungi kamp penampungan (interniran) Belanda dan tawanan Jepang di berbagai tempat, besoknya 27 Oktober 1945..

Namun para tokoh pemuda di Surabaya benar-benar kecewa dan marah atas sikap Tentara Sekutu. Sebab, siang itu ada pesawat terbang Inggris terbang di atas udara kota Surabaya. Dari pintu pesawat terbang itu disebarkan kertas berupa pamflet yang berisi ancaman bersifat ultimatum.

Selebaran itu berbunyi:

“Memerintahkan kepada seluruh rakyat, penduduk kota Surabaya dan Jawa Timur untuk menyerahkan kembali senjata dan peralatan perang Jepang kepada tentara Sekutu (Inggris). Semua orang yang memegang senjata dan yang tidak bersedia menyerahkan kepada Sekutu, akan ditembak di tempat. Batas waktu penyerahan, pukul 18.00 tanggal 28 Oktober 1945.”

Setelah membaca selebaran yang berupa ancaman itu, Drg.Mustopo bersama Residen Sudirman yang didampingi tokoh-tokoh Surabaya melakukan kontak dengan Brigjen Mallaby. Kemudian berlangsung pertemuan antara pukuk 12.00 hingga 15.00. Residen Sudirman mengingatkan kepada Mallaby, agar menghentikan penyebaran pamflet itu. Ternyata Mallaby sendiri terkejut dengan adanya selebaran itu. Ia mengatakan, bahwa selebaran itu mungkin dilakukan atas perintah atasannya dari Jakarta.

Kepada Mallaby diingatkan, bahwa isi selebaran itu tidak sesuai dengan isi persetujuan 26 Oktober 1945. Tetapi Mallaby kemudian menjawab, kalau itu merupakan perintah atasannya dari Jakarta, sebagai militer ia harus menaatinya.

Suhu politik di Surabaya memanas. Situasi makin mencekam. Sekutu mulai betindak sewenang-wenang. Mereka menangkapi rakyat yang mereka curigai. Akibatnya, pimpinan BKR, PRI, BPRI, Polisi dan Polisi Istimewa tersentak. Tindakan tentara Inggris telah melewati batas. Demi kehormatan bangsa Indonesia yang sudah merdeka, semua itu tidak bisa dibiarkan. “Kita harus bertindak!”, ujar para pimpinan pejuang di Surabaya.

Malamnya para pejuang Arek Suroboyo melakukan perundingan dan langkah yang akan dilakukan apabila sikap Inggris yang melanggar perjanjian itu.

Benar saja, besoknya, 28 Oktober 1945, pagi hari beberapa orang tentara Inggris menghadang kendaraan bermotor dan senjata yang dipegang para pemuda di jalanan. Pasukan Sekutu juga melakukan gerakan penyerbuan ke berbagai instansi vital. Di antaranta ke kantor Jawatan Kereta Api, kantor telepon dan telegrap, Rumah Sakit Darmo dan beberapa gedung kantor instansi vital lainnya.

Pukul 11.00 (siangnya), Mustopo datang ke markas PRI di Balai Pemuda. Ia memberitahu tentang sudah siapnya tentara Sekutu melucuti senjata secara paksa yang berada di tangan pemuda dan pejuang. Para pemuda yang berada di markas PRI benar-benar marah oleh sikap Sekutu yang mengingkari perjanjian yang sudah dibuat.

Siang itu juga para pimpinan pejuang melakukan konsolidasi. Polisi Istimewa sebagai kekuatan bersenjata dan terlatih juga langsung melakukan dengan rakyat yang sudah memegang senjata. Kontak antarkomponen pejuang berjalan terus.

Pimpinan BPRI Bung Tomo yang berada di markasnya juga sudah mendapat kontak dari PRI. Sorenya diadakan pertemuan dengan pimpinan drg.Mustopo. Disepakati, bahwa gerakan Sekutu (Inggris) “harus dilawan”.

Bersamaan dengan ini, polisi di bawah pimpinan Komandan Polisi Sahoed Prawirodirdjo dan Komandan Polisi Soekardi, seta Agen Polisi Kadam dengan menggunakan sepedamotor Zyspan Harley Davidson melakukan konsinyasi pasukan di Kantor Besar Polisi dan mendatangi beberapa asrama polisi.

Sekembalinya dari asrama polisi Kebalen, ketika melewati Jalan Rajawali pukul 17.00, yakni satu jam sebelum batas waktu ultimatum yang disebutkan dalam pamflet, tiga polisi ini dihadang. Sahoed, Soekardi dan Kadam digiring ke arah lapangan terbang di Tanjung Perak. Pihak Sekutu melepaskan tembakan, akibatnya mereka terluka tembak.

P impinan Palang Merah segera menyelamatkan ke tiga polisi itu. Petugas Palang Merah juga memberitahu kepada radio Pemberontak di Surabaya melalui telepon, bahwa ada tiga Polisi Istimewa ditembak Sekutu. Saat itu juga Bung Tomo melalui pemancar radio BPRI tiada henti memperingatkan dan memerintahkan seluruh rakyat Surabaya untuk mulai melakukan serangan terhadap tentara Inggris.

Dalam siaran radio yang berapi-api itu Bung Tomo menyebut nama ke tiga anggota Polisi Istimewa yang tertembak itu. “Mereka bertiga adalah korban kebrutalan Sekutu-Inggris”, ujar Bung Tomo.

Diperoleh pula laporan, di waktu yang sama juga terjadi insiden provokatif. Tentara Inggris menghentikan truk yang ditumpangi para pemuda, lalu mereka melucuti senjata yang mereka bawa. Agaknya Inggris memandang enteng para pemuda yang berasal dari TKR, PRI, BPRI, PI (Polisi Istimewa) dan rakyat pejuang lainnya.

Mayat Bergelimpangan

Malamnya situasi kota Surabaya benar-benar mencekam. Maut membayangi dari balik gedung, rumah dan dari gang-gang permukiman. Tidak sedikit yang terluka bahkan menemui ajalnya akibat terkena tembakan, ujung pisau, pedang, celurit, bambu runcing dan sangkur. Markas tentara Inggris diserbu rakyat tanpa memikirkan akibat yang fatal. Mayat bergelimpangan di daerah Darmo, Ketabang, Gubeng, sekitar gedung Internatio dan kawasan Tanjung Perak.

Selain pasukan TKR, para pemuda pejuang dan rakyat yang sudah memegang senjata rampasan, Komandan PI Surabaya Soetjipto Danoekoesoemo mengirim pasukannya yang dilengkapi senjata berat watermantel, tank dan panser. Surabaya benar-benar dilanda prahara. Api perang berkobar. Korban berjatuhan dari ke dua belah pihak, Inggris dan rakyat Surabaya.

Kendati mayat bergelimpangan akibat tembakan, semangat perjuangan makin membara. Rakyat tidak menghitung korban. Mati satu datang seribu. Bagai banteng terluka rakyat mengamuk.

Ben Anderson dalam bukunya “Revoloesi Pemoeda” terbitan Pustaka Sinar Harapan (1988), menyebutkan para pemuda yang melakukan penyerbuan ke berbagai markas pasukan Sekutu-Inggris itu mencapai 12 ribu orang. Pejuang Indonesia bertempur dengan fanatik tanpa mempedulikan jumlah korban yang jatuh. Pasukan Inggris meskipun mempunyai perlengkapan senjata berat dan tank-tank terancam oleh kehancuran.

Selain pos-pos pertahanan mereka terkepung, di daerah pelabuhan mereka harus mundur. Lapangan terbang Morokrembangan dapat direbut para pemuda pejuang. Beberapa gedung, seperti gedung Internatio, gedung BPM dan gedung Lindetives juga dikepung.

Soekarno-Hatta Datang

Dalam keadaan gawat, terdesak dan terkepung oleh rakyat pejuang itu, pimpinan pasukan Inggris di Surabaya minta bantuan “juru selamat”. Akhirnya, didatangkanlah Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta, didampingi Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin dari Jakarta. Ikut pula dalam rombongan itu, Mayor Jenderal Hawthorn.

Bung Karno, Bung Hatta, Amir Sjarifuddin dan Mayjen Hawthorn mendarat di bandara Morokrembangan pukul 11.45 pada tanggal 29 Oktober 1945. Pembesar bangsa Indonesia dan Sekutu ini juga mengikutkan beberapa wartawan ibukota dan wartawan asing. Mereka disambut para tokoh pejuang Surabaya, juga Brigjen Mallaby, Kolonel Pugh bersama perwira staf lainnya. Rombongan langsung menuju kantor gubernur Jatim dan diterima langsung oleh Gubernur Jatim, Suryo. Di kantor gubernur jatim ini dilangsungkan perundingan.

Dr.Roeslan Abdulgani dalam bukunya “100 Hari di Surabaya”, terbitan Yayasan Idayu, Jakarta (1975) menulis bahwa ada empat masalah pokok yang disimpulkan dalam perundingan itu. Perundingan berakhir pukul 19.30 malam itu. Hasil kesepakatan itu langsung diumumkan oleh Presiden Soekarno melalui Radio Surabaya. ***