Hari Bhayangkara dan Proklamasi Polisi di Surabaya

Proklamasi Polisi di Surabaya

Mendahului Hari Bhayangkara

Yousri Nur RA_Hitam_Merah

Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH  *)

 

HARI ini, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) memperingati Hari Bhayangkara. Hari Bhayangkara, bukanlah ”hari lahir” Polri. Sebab Polri atau Polisi, sudah ada sebelum Hari Bhayangkara 1 Juli 1946. Lebih unik lagi, Kota Surabaya punya “sejarah khusus tentang kepolisian”. Di Kota Pahlawan ini, Polisi pernah melaksanakan “Proklamasi Polisi”.

Dalam ejaan lama, Proklamasi Polisi itu tertulis:

Oentoek bersatoe dengan rakjat dalam perdjoeangan mempertahankan Proklamasi 17 Agoestoes 1945, dengan ini menjatakan Polisi sebagai Polisi Repoeblik Indonesia”.

Soerabaja, 21 Agoestoes 1945.

 Atas Nama Seloeroeh Warga Polisi:

Moehammad Jasin – Inspektoer Polisi Kelas I.

Ceritanya: Menjelang pendaratan armada kapal perang Sekutu di Tanjung Perak Surabaya, 25 Oktober 1945, situasi di kota Surabaya semakin mencekam. Kemarahan rakyat terhadap Indo-Belanda yang membonceng rombongan Palang Merah Internasional (Intercross) dan RAPWI (Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Interneers) makin menjadi-jadi.

Selain pemuda yang bergabung dalam PRI (Pemuda Republik Indonesia) dan BKR (Badan Keamanan Rakyat), polisi juga mempunyai peran yang cukup menentukan menjelang dan sesudah Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945. Ketika terjadi insiden bendera, 19 September 1945, polisi bergerak cepat, mereka menyatu dengan massa.

Bahkan di Surabaya, selain polisi umum ada pasukan PI (Polisi Istimewa) yang sangat disegani. PI adalah jelmaan dari CSP (Central Special Police). Apalagi saat bulan Agustus 1945 itu, hanya polisi yang masih memegang senjata. Sebab setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, penguasa Jepang di Indonesia membubarkan tentara PETA dan Heiho. Jepang memulangkan para pemuda yang dilatih dalam pasukan PETA (Pembela Tanah Air) dan Heiho dan senjata mereka dilucuti.

Karena polisi mempunyai peran yang istimewa dalam masyarakat, maka kondisi itu dimanfaatkan untuk melakukan pemantapan. Dalam buku “Sejarah Kepolisian di Indonesia”, disebutkan: di Surabaya, Komandan Polisi Istimewa Jawa Timur, Inspektur Polisi Kelas I (Iptu) Moehammad Jasin, memproklamasikan kedudukan kepolisian pada tanggal 21 Agustus 1945.

Proklamasi polisi itu merupakan suatu tekad anggota polisi untuk berjuang melawan tentara Jepang yang masih bersenjata lengkap, walaupun sudah menyerah. Proklamasi polisi juga bertujuan untuk meyakinkan rakyat, bahwa polisi adalah aparat negara yang setia kepada Republik Indonesia. Dengan demikian, rakyat dapat melihat bahwa polisi bukanlah alat penjajah.

Jadi, di Surabaya, Kepolisian Republik Indonesia lahir mendahului keberadaan polisi secara resmi di Indonesia yang ditetapkan sebagai Hari Bhayangkara, 1 Juli 1946.

Dalam waktu singkat, polisi melakukan koordinasi dengan pejuang yang tergabung dalam PRI (Pemuda Republik Indonesia) dan BKR (Badan Keamanan Rakyat) yang kemudian berubah nama menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat), serta BPRI (Barisan Pemberontakan Republik Indonesia) pimpinan Sutomo (Bung Tomo). Mereka bahu-membahu dan menyatu dalam berbagai kegiatan pengamanan dan perlawanan terhadap tindakan yang dilakukan serdadu Jepang dan anak-anak muda Indo-Belanda.

Selama bulan September dan Oktober 1945, situasi bercampur antara semangat kemerdekaan oleh rakyat dan sikap Jepang “yang kalah perang” tetapi masih bersenjata. Di samping itu, utusan yang mempersiapkan kedatangan pasukan Sekutu juga sudah terlihat. Jepang tidak begitu saja menyerahkan senjatanya kepada para pemuda yang berusaha merampas senjata yang dipegangnya. Namun dalam beberapa kasus, pihak Jepang hanya bersedia menyerahkan senjatanya kepada polisi, seraya minta jaminan keselamatan.

Perebutan Senjata

Situasi ekplosif yang berjalan hampir dua minggu sejak Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, di Surabaya berubah dengan cepat. Dalam buku “Pertempuran Surabaya” yang diedit Prof.Dr.Nugroho Notosusanto disebutkan tanggal 2 September 1945 tersusun kepemimpinan BKR (Badan Keamanan Rakyat) di Surabaya. Para pemuda di kampung-kampung dan pabrik-pabrik menyusun kekuatan dan penjagaan keamanan.

Tentara Peta dilucuti senjatanya sebelum dibubarkan. Hanya polisi yang masih memiliki senjata. Sekalipun polisi masih memiliki senjata, bukan tidak mungkin Jepang akan melucuti mereka. Karena peristiwa pelucutan senjata Peta secara licik itu, seorang bekas daidanco Gresik, bernama drg.Moestopo memerintahkan kepada bekas shodanco Abdurahman untuk menghubungi kepala polisi M.Jasin.

Drg.Moestopo berpesan melalui suratnya yang mengingatkan polisi jangan sampai ditipu oleh Jepang, seperti Peta. Abdurahman pergi ke SMT (Sekolah Menengah Tinggi) menghubungi Isman. Bersama Isman ia menghadap M.Jasin. Adanya pesan itu, menjadikan polisi waspada terhadap kemungkinan atau usaha melucuti dirinya.

Pemuda-pemuda sebagian besar tidak memiliki senjata apai. Yang digunakan hanya senjata tradisional, seperti bambu runcing (takeyari), kelewang, pedang, clurit dan lain-lain. Mereka memerlukan senjata api.

Tentunya untuk mendapatkan senjata itu tidak gratis dari Jepang, tetapi harus direbut. Nah, api pembakarnya telah dinyalakan oleh KNI dan membuat maklumat pemerintah daerah yang tertuang di dalam Proklamasi RI daerah Surabaya tanggal 3 September 1945. Mulai saat itulah Surabaya memulai revolusi. Sasaran pokoknya adalah gudang-gudang penyimpanan senjata Jepang. Tindakan pertama yang dilakukan adalah melucuti pasukan-pasukan Jepang yang menjaga dan menguasai senjata.

Pada waktu itu gudang senjata Jepang yang terbesar terletak di Sawahan di gedung sekolah Don Bosco. Gudang senjata ini dikuasai oleh Dai 10360 Butai Kaisutiro Butai yang dipimpin oleh Mayor Hazimoto, dengan personil Jepang 16 orang dan heiho satu peleton. Sebelumnya di sana ada 150 orang karyawan sipil, tetapi mereka sudah diberhentikan sejak bulan Agustus 1945. Namun mereka masih dipekerjakan untuk menginventarisasi senjata yang akan diserahkan kepada Serikat (Sekutu).

Dari karyawan yang masih ada di gudang itulah diperoleh keterangan tentang keadaan arsenal Don Bosco. Informasi itu disebarluaskan dan kemudian tempat inilah yang menjadi sasaran pertama para pemuda. Tanggal 16 September 1945, gudang mesiu Don Bosco dikepung pemuda, pelajar dan massa rakyat. Beberapa orang maju menemui pimpinannya. Mereka adalah Subianto Notowardojo dan Mamahit guru Sekolah Teknik Don Bosco, serta seorang wartawan bernama Sutomo (dikenal dengan panggilan: Bung Tomo).

Ketiga orang ini berdiplomasi agar kekuasaan arsenal diserahkan kepada mereka. Mayor Hazimoto setuju dengan penyerahan itu, tetapi yang menerima harus polisi. M.Jasin beserta anak buahnya dari Polisi Istimewa, maju dan menandatangani naskah serah terima penguasaan arsenal. Sutomo dengan segenap yang hadir menjadi saksi penyerahan. Jumlah senjata di arsenal Don Bosco tidak terhitung. Bahkan Bung Tomo pernah mengirim senjata ke Jakarta sebanyak empat gerbong kereta api yang diambil dari arsenal ini.

Para bekas tentara Peta yang dilucuti senjatanya tanggal 18 Agustus 1945 tidak tinggal diam. Bekas Cudanco Suryo bersama Syudanco Isa Edris pegi menemui Kohara Butai di Gunungsari. Di sana mereka diterima Kolonel Kohara Jingo. Kepada Jingo mereka meminta agar senjata yang ada di markas itu diserahkan. Sebagai tentara yang “kalah perang”, Kolonel Kohara Jingo tidak keberatan menyerahkan semua senjatanya. Hanya satu permintaannya, agar pedang pribadinya dikecualikan. Permintaan itu diluluskan. Berkat diplomasi ini berhasil diangkut senjata ringan dan berat yang jumlahnya mencapai 100 pucuk. Senjata itu sebagian besar diserahkan kepada pasukan Tentara Pelajar di HBS (Hogere Burgere School) dan kepada BKR Laut.

Usaha mendapatkan senjata terus berlanjut. Samekto Kardi bersama Isa Edris dan rombongan menuju ke bekas Daidan tentara Peta di Gunungsari. Di sana mereka langsung menuju gudang senjata dan mengambil 514 pucuk senjata yang terdiri dari 400 pucuk karaben, 14 pucuk pistol Vickers, 50 mortir, 50 tekidanto dan 30 pucuk senapan mesin ringan dan berat.

Pangkalan udara Morokrembangan juga diambil alih oleh pemuda dan polisi. Ali Jayengrono berdiplomasi dengan pimpinan pangkalan dan behasil mendapatkan beberapa pucuk senjata.

Jumlah senjata terbanyak diperoleh dari markas Jepang Tobu Jawa Boetai yang dipimpin Jenderal Iwabe. Caranya cukup unik. Pagi-pagi sejumlah pemuda mengepung markas itu. Kemudian, Moestopo bersama Wahab, Suyono, Mudjoko, M.Jasin dan Rahman dengan seragam daidanco menghadap Jenderal Iwabe. Kepada Iwabe, Moestopo atas nama pimpinan BKR, atas nama Gubernur Jatim dan atas nama Presiden Republik Indonesia, serta atas nama rakyat, meminta agar senjata diserahkan kepada mereka. Permintaan itu ditolak oleh Iwabe. Moestopo mengancam, kalau tidak berhasil, maka pukul 10.00 terjadi tembak-menembak. Ancaman itu benar-benar terjadi pada pukul 10.00. Masrkas Iwabe dikepung dan ditembaki. Anak buah Iwabe membalas, sehingga terjadilah pertempuran.

Jenderal Iwabe dengan perantaraan seorang kolonel meminta agar Moestopo menghentikan tembakan. Namun tidak mudah. Akhirnya, Iwabe mengumpulkan stafnya. Moestopo juga memanggil M.Jasin, Suyono, Mudjoko, Wahab dan Rahman. Maka terjadilah perundingan. Namun Iwabe tetap menyatakan tidak akan menyerahkan senjata tanpa ada orang yang bertanggungjawab. Moestopo menanyakan bertanggungjawab kepada siapa. Iwabe mengatakan kepada Serikat (Sekutu), sebab sewaktu-waktu mereka datang. Moestopo langsung menjawab dan menunjuk dirinya.

“Ya ini, pemimpin Jawa Timur, yang mewakili Gubernur, yang bernama Moetopo mantan Daidanco, ini yang bertanggungjawab”, kata Moestopo menunjuk ke arah dirinya.

Oleh staf Jenderal Iwabe, Moestopo disodori naskah dalam bahasa Jepang. Tanpa menunggu lebih lama naskah itu ditandatangani berganti-ganti, mulai dari Moestopo disusul Suyono, Mudjoko, M.Jasin, Abdul Wahab dan Rahman.

Setelah penandatanganan, gudang senjata di tingkat bawah dibuka. Pemuda-pemuda berhamburan memasuki gudang senjata dan dibagi-bagikan. Markas pimpinan Iwabe itupun kemudian diambilalih, dijadikan markas BKR Jawa Timur dan “Kementerian Pertahanan” di bawah komando Drg.Moestopo. Sejata-senjata itu dibawa ke markas BKR Kota, Markas PRI, markas BKR Keresidenan dan gedung HBS untuk dbagi-bagikan kepada pemuda.

Perjalanan perebutan senjata belum selesai. Sasaran selanjutnya Kitahama Butai yang semula menjadi kantor Lindeteves. Dari sini berhasil direbut 23 tank, 18 senjata pengkis udara, enam pucuk watermantel. Perebutan senjata ini dipimpin Isa Edris dan Suprapto.

Bendera Putih

Sutjipto Danukusumo dalam bukunya “Hari-hari Bahagia Bersama Rakyat” mengisahkan peristiwa dari hari ke hari di Surabaya. Di antaranya juga bercerita tentang pelucutan senjata Jepang di Wonokromo, di sekolah Don Bosco Jalan Tidar dan di gedung GE (General Electronics) di Kaliasin, serta di berbagai tempat lainnya.

Salah satu peristiwa berdarah terjadi di depan markas Kempetai di depan kantor gubernur Jatim (sekarang menjadi taman Tugu Pahlawan Surabaya). Di sini rakyat bergerak untuk merebut senjata yang berada di tangan tentara Jepang, namun mereka melakukan perlawanan. Dalam tembak-menembak ini puluhan pemuda gugur dan beberapa tentara Jepang terluka.

Tembak menembak baru berhenti setelah Iptu M.Jasin datang bersama beberapa polisi dengan membawa bendera putih ke dalam markas Kempetai. Di dalam berlangsung perundingan yang cukup alot dan gagal. Tembak menembak terjadi lagi, namun Komandan Polisi Paiman dengan naik Bren Carier yang dikemudikan Pelamonia menerobos masuk ke gedung Kempetai. Tembak menembak terhenti dan kemudian dilakukan perundingan ulang.

Akhirnya, pasukan Kempetai bersedia menghentikan tembak-menembak dengan syarat jaminan keselamatan jiwa bagi seluruh pasukannya yang ada dalam gedung Kempetai itu. Komandan polisi itu mengiyakan, kontak senjatapun betul-betul berhenti. Seluruh pasukan Kempetai yang sudah menyerahkan diri dan senjatanya diamankan di Yarmark (THR atau Taman Hiburan Rakyat di Jalan Kusumabangsa sekarang).

Setelah terjadi pertempuran dan pelucutan senjata terhadap tentara Jepang, maka pemuda-pemuda mendapat pembagian senjata bersama amunisinya. Pembagian senjata ini dilakukan di berbagai tempat. Polisi, PRI dan TKR selain mendapat senjata juga menguasai beberapa kendaraan tempur milik tentara Jepang. Dengan adanya senjata di tangan itu semangat juang untuk mempertahankan kemerdekaan yang sudah diproklamasikan semakin berkobar.

Hari Kamis, 25 Oktober 1945, armada kapal transport dan kapal perang pasukan Sekutu pimpinan Brigjen Mallaby, sandar di dermaga pelabuhan Tanjung Perak. Dua perwira: Kapten Mc.Donald dan Letnan Gordon Smith diutus menghadap Gubernur Jawa Timur, Soeryo. Kedatangan utusan ini menyampaikan undangan lisan Brigjen Mallaby kepada Pak Suryo untuk datang ke atas kapal perang milik Inggris. Namun, Pak Suryo tidak dapat memenuhi undangan itu karena sedang memimpin konferensi para residen se Jawa Timur.

Dua perwira ini bersikeras mendesak, tetapi Gubernur Suryo tetap menolak. Dengan gerakan kurang sopan, tanpa pamit mereka meninggalkan ruangan. Pak Suryo terlihat marah terhadap sikap dua perwira itu.

Kabar pendaratan tentara Sekutu ini menyebar dari mulut ke mulut. Rakyat Indonesia di Surabaya tidak rela “tentara asing” kembali menguasai tanahairnya. Tekad perlawanan rakyat ini membuat Mallaby bersikap hati-hati. Apalagi, informasi yang sudah diterima dari mata-matanya, seluruh senjata Jepang sudah dilucuti dan rakyat sudah dipersenjatai.

Malam harinya, berlangsung perundingan antara Drg.Moestopo dengan Kolonel Pugh, utusan Mallaby. Dalam perundingan di markas TKR Jawa Timur, disepakati pasukan dari armada kapal Sekutu (Inggris) mendarat di Tanjung Perak dan berhenti 800 meter dari pantai. Dengan adanya pembatasan ini, konflik bersenjata dengan rakyat dapat dicegah.

Besoknya, 26 Oktober 1945, perundingan dilanjutkan antara wakil Indonesia dengan wakil Sekutu di gedung Jalan Kayun 42 Surabaya. Dari Indonesia dihadiri Residen Sudirman, Walikota Surabaya Radjamin Nasution, Ketua KNID Doel Arnowo, Muhammad dan Moestopo. Selain itu juga hadir beberapa orang dari PRI, TKR dan Poliri, yakni: Roeslan, Ronokoesoemo, Ronopradopo, Soehoed Prawirodidjo, Paiman, Soejono dan Soejanto. Pihak Sekutu dipimpin langsung oleh Brigjen Mallaby yang membawa sepuluh orang stafnya..

Ada tiga kesepakatan yang disimpulkan dalam perundingan itu.

Pertama: Yang dilucuti senjatanya hanya tentara Jepang, bukan TKR dan juga badan perjuangan rakyat lainnya.

Kedua: Tentara Inggris selaku wakil Sekutu akan membantu Indonesia dalam pemulihan keamanan, ketertiban dan perdamaian.

Ketiga: Setelah semua tentara Jepang dilucuti, maka mereka akan diangkut melalui laut.

 *) Yousri Nur Raja Agam MH — tulisan ini juga dimuat pada http://www.wikimu.com. – 1 Juli 2009)

10 November 1945

Surabaya Banjir Darah 

 

“Neraka Bagi Sekutu”

 

Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)

Yousri Nur RA  MH

Yousri Nur RA MH

 

 

BERBEKAL pidato radio Gubernur Soerjo, Jumat 9 November 1945 malam, pemuda pejuang dan rakyat Surabaya sudah melakukan berbagai persiapan. Rakyat Surabaya sudah menafsirkan, penolakan terhadap ultimatum Sekutu oleh Gubernur Soerjo itu, berarti “perang”. Segala kekuatan harus dikerahkan menghadapi ancaman Sekutu tersebut.

Ultimatum pihak Sekutu yang disampaikan Komandan Tentara Sekutu, Jenderal EC Mansergh, benar-benar dilaksanakan, Sabtu pagi, 10 November 1945. Seluruh kekuatan angkatan perangnya, baik darat, laut dan udara dikerahkan menggempur pertahanan Arek Suroboyo di Kota Surabaya.

Walaupun terjadi pertempuran yang tidak berimbang, perlawanan dari pejuang Indonesia tidak pernah surut. Berbagai kesatuan pejuang dan laskar yang sudah membuat “Sumpah Kebulatan Tekad” tanggal 9 November 1945, malamnya, pada pagi hari 10 November itu sudah siaga di segala lini pertahanan.

 Pasukan pejuang sudah bersiap menghadapi senjata modern milik Sekutu yang baru saja memenangkan pertempuran dalam Perang Dunia II. Alat dan armada perang yang membuat Jepang bertekuk lutut di Asia dan Jerman bersama Italia di Eropa itu dipergunakan membombardir Kota Surabaya.

Kota Surabaya diserang dengan meriam-meriam yang ditembakkan dari armada kapal yang berelabuh di Tanjung Perak. Tank-tank dan panser, serta truk serdadu Inggris dan Gurkha bergerak dari Tanjung Perak menuju jantung Kota Surabaya. Tembakan mitraliur dan senapan mesin tiada henti dimuntahkan ke segala penjuru tempat pertahan Arek Suroboyo. Dari udara, pesawat terbang yang meraung-raung menjatuhkan bom ke gedung-gedung dan posko pertahanan pasukan kita.

Sesuai dengan kesepakatan rapat koordinasi yang dipimpin Kolonel Soengkono dari TKR sebagai Komandan Pertahanan Surabaya, membagi pertahanan Kota Surabaya dari empat sektor. Sektor barat dipimpin Koenkiyat, Sektor Tengah dipimpin Kretarto, Sektor Timur oleh Mahardi dan Sektor Selatan dipimpin Kadim Prawirodirdjo.

Pertempuran Surabaya ini berawal dari gerakan tentara Sekutu dari Tanjung Perak menuju tengah kota. Arak-arakan tank, panser dan truk itu dihadang oleh PRI-AL (Pemuda Republik Indonesia- Angkatan Laut) yang memiliki senjata ringan rampasan dari tentara Jepang di Jalan Jakarta, daerah Sawahpulo, Semampir dan Pegirian. PRI-AL ini dibantu oleh PRI Sulawesi yang tergabung dalam PRI Utara yang dipimpin Warrow dengan kekuatan sekitar 30 orang. Pasukan ini juga dibantu laskar Hisbullah yang berjumlah sekitar 50 orang.

Pasukan Inggris terus menyerbu ke pos pertahanan pemuda yang berjumlah sekitar 100 orang di sekitar bioskop Sampoerna dan komplek pabrik rokok Liem Sing Tee (Dji Sam Soe). Dengan tekad membara, pejuang yang berasal dari kampung Kebalen, Lebuan, Pesapen dan Tambak Bayan itu terus menembakkan senjatanya ke arah truk dan pasukan yang berjalan kaki.

Pukul 11.00 tentara Sekutu menembakkan destroyer cavalier sebanyak 57 kali meriam 45 inci. Begitu juga destroyer Carron sekitar 350 kali menggunakan meriam 45 inci. Tidak sedikit gedung di sepanjang jalan yang dilewati rusak akibat tembakan membabibuta itu.

Gerakan tentara Inggris dan Gurkha yang sudah terlatih itu terus menuju ke arah markas polisi (Hoofd Bureau) di Jalan Sikatan. Belasan pemuda gugur dan beberapa bagian gedung mengalami kerusakan akibat tembakan dan granat yang dilemparkan musuh. Gencarnya serangan yang dilakukan Sekutu, membuat pejuang kita mundur masuk ke kampung-kampung sekitar di seberang Kalimas.

Serangan Gila-gilaan

Mendapat serangan yang gila-gilaan itu, membuat pertahanan pemuda kacau. Mereka berlarian menyelamatkan diri, karena tidak mungkin melawan senjata modern itu. Kalau semula PRI-AL dapat bertahan di stasiun KA Sidotopo, akhirnya terpaksa mundur sampai ke daerah Kenjeran.

Para pemuda yang bertahan di sepanjang rel kereta api dari Pasarturi, viaduck dekat kantor gubernur sampai ke Sidotopo yang jumlahnya mencapai 400 orang itu, mampu membuat pasukan Inggris kalangkabut. Korban berjatuhan di kedua belah pihak.

Warga kota Surabaya, terutama anak laki-laki dan pemuda yang mendengar suara Bung Tomo yang terus menerus membakar semangat melalui corong radio yang disiarkan dari studio Radio Surabaya yang di zaman Belanda bernama NIROM di Jalan Embong Malang. Tanpa pikir panjang berhamburan dengan senjata yang mereka miliki ke luar rumah. Mereka bukannya menggunakan senapan atau senjata api, tetapi justru ada yang membawa keris, parang, pedang, bambu runcing, serta clurit.

Tindakan “konyol” itu membuat tentara Sekutu ketakutan akibat ada yang tewas kena gorok dan tusuk senjata tajam, namun pada umumnya kemudian mereka dihabisi oleh tembakan senapan mesin. Tubuh-tubuh bergelimpangan dan banjir darah di mana-mana.

Menurut komandan PI (Polisi Istimewa), Inspektur Soetjipto Danoekusumo, sejak pagi ia berkeliling dengan panser dan memberikan briefing (pengarahan singkat) di depan kantor besar polisi. Tiba-tiba, pesawat terbang Inggris menjatuhkan bom. Peluru kanon pasukan Sekutu itupun berjatuhan di sekitar kantor polisi. Belasan anggota PPI (Pembantu Polisi Istimewa) berguguran.

Pasukan Inggris terus maju, namun tidak mudah, karena jalan raya sudah dipasangi rintangan oleh para pemuda dengan menumbangkan pohon-pohon dan juga balok-balok kayu dan tumpukan batu.

Tidak hanya kantor besar polisi yang menjadi sasaran tentara Inggris, tetapi juga markas besar TKR di gedung HVA yang dipimpin Dr.Moestopo. Gedung Borsumij dan bekas kantor Kempetai yang dijadikan markas TKR pimpinan Jenosewojo juga digempur habis-habisan.

Wartawan senior, almarhum Wiwiek Hidayat dalam tulisannya di Harian Jawa Pos, 4 November 1990, mengungkap beberapa catatan berdasarkan pengamatannya sebagai seorang jurnalis. Tanggal 10 November 1945, menurut mantan kepala kantor berita Antara itu adalah prolog dan eposnya Arek-arek Suroboyo.

Pengertian arek ini “benar-benar arek”, karena para pejuang ini rata-rata memang “masih anak-anak muda” yang usianya 13 hingga 25 tahun. Mereka ini masih pelajar SMP hingga SMA yang bergabung dalam TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar). Di antaranya ada yang sudah kuliah di perguruan tinggi, bahkan sarjana seperti drg (dokter gigi) Moestopo, serta ada pula yang sudah dilatih sebagai tentara Heiho dan Peta. Di samping yang terbanyak adalah anak muda pengangguran.

Peristiwa 10 November ini benar-benar didominasi pemuda. Jadi, “gerakan” pemudalah yang sangat menonjol pada hari-hari pertama itu. Gerakan ini pada mulanya ada pada pemuda “salon” dan intelektual. Tetapi secara cepat berubah menjadi gerakan yang lebih radikal. Sehingga perlawanan terhadap Sekutu benar-benar tidak terkendali. Sampai-sampai pihak musuh kehilangan akal menghadapi tindakan sporadis dan membabibuta “ala bonek” itu, kisah Wiwiek suatu ketika kepada penulis.

Pertempuran yang diawali 10 November 1945 itu terus berlanjut. Pertahanan Arek Suroboyo semakin terdesak ke arah selatan. Sampai akhirnya, terjadi pengungsian ke luar kota. Kalau semula garis pertahanan adalah viaduck dan jalan kereta api dari Sidotopo hingga Pasarturi, akhirnya mundur sampai ke Ngagel, Wonokromo, Gunungsari hingga Sepanjang, bahkan Mojokerto.

Bagaimanapun juga, perjuangan Arek Suroboyo membuat Sekutu kalangkabut. Berita di mediamassa luar negeri, ternyata memberikan salut kepada pejuang Indonesia di Surabaya. Sejak Mallaby tewas, kemudian perang berkecamuk dari darat, laut dan udara, seolah-olah merupakan kelanjutan dari Perang Dunia II. Artinya, Perang Dunia II belum berakhir dengan kekalahan Jepang, Jerman dan Italia. Sekutu masih punya lawan berat sebagai musuh, yaitu Arek Suroboyo.

Perang di Surabaya ini hingga sekarang masih diabadikan di Imperial War Museum di London, Inggris. Ada sebuah foto yang menarik, anak usia sekitar 11 tahun digiring oleh serdadu Gurkha dengan bayonet terhunus. Penjelasan foto itu adalah: “Anak ini tertangkap setelah terkena tembakan pada kakinya dan pincang. Sebelumnya anak ini menembaki tentara Sekutu dan melemparkan granat”.

Ini adalah laporan sebuah regu dari pasukan Sekutu di Surabaya. Ada lagi sebuah foto, dua orang serdadu Inggris sedang menggali tanah untuk perlindungan dari serangan hebat pejuang Surabaya. Di belakang ke dua tentara itu asap hitam menjulang ke udara, dari rumah penduduk yang terbakar. Dan masih banyak foto-foto lain yang menggambarkan kejuangan Arek Suroboyo yang diabadikan di museum perang Inggris itu.

Siang malam pertempuran berlangsung tiada henti. Bantuan dari pemuda dan laskar juga terus berdatangan dari luar kota. Ada yang naik truk, berjalan kaki dan menumpang kereta api. Tanpa disadari tidak kurang 16 ribu nyawa pejuang melayang sebagai kusuma bangsa. Surabaya benar-benar banjir darah. DI mana-mana mayat bergelimpangan.

Kota Neraka

Korban di pihak Inggris pun tidak sedikit. Sampai-sampai dalam catatan sejarah Inggris, menulis pertempuran 10 November 1945 di Surabaya itu benar-benar perang dahsyat luar biasa. Mereka menyebut Kota Surabaya sebagai “inferno” atau kota “neraka” bagi pasukan Inggris.

Bagi Bangsa Indonesia, para pejuang yang gugur dalam pertempuran itu diberi predikat sebagai pahlawan bangsa. Mereka dimakamkan di berbagai TPU (Taman Pemakaman Umum), seperti di Ngagel, Tembok, Pegirian, Tembaan, serta makam umum lainnya di kampung-kampung Surabaya. Banyak di antara mereka adalah pahlawan tidak dikenal.

Kesibukan luar bisa terjadi di Rumah sakit, karena banyak pejuang yang terluka. Sementara yang meninggal dunia, bergelimpangan di jalan-jalan dan gang kampung. Tidak hanya kaum laki-laki yang bergerak, kaum perempuan yang bergabung dalam PPRI (Pemuda Puteri Republik Indonesia) Surabaya juga terjun ke medan pertempuran. Di bawah pimpinan ketua PPRI Surabaya, Lukitaningsih, terhimpun sekitar 60 puteri yang disebar menjadi petugas kesehatan dan palang merah. Mereka ini berusaha menyelamatkan korban yang terluka ke rumah-rumah penduduk, di samping mendirikan pos-pos perawatan.

Sebagian yang terluka parah diangkut ke Rumah Sakit Simpang. Sekarang RSU Simpang sudah tidak berbekas, dan di atasnya sudah berdiri gedung WTC (World Trade Center), Gedung Medan Pemuda dan Plaza Surabaya.

Begitu banyaknya korban, lebih dari seribu orang yang rawat inap, maka dokter Sutopo yang manangani korban, terpaksa kontajk dan minta bantuan dokter ke Jakarta dan kota-kota di Jawa Timur. Dari Jakarta datang bantuan tim dokter dan mahasiswa kedokteran yang dipimpin oleh dr.Azis Saleh. Mereka bergabung dengan tim medis di Surabaya. Karena ruang di RSU Simpang dan rumah sakit lainnya di Surabaya sudah penuh, maka dengan bantuan PMI (Palang Merah Indonesia), sebagian pasien dikirim ke rumah sakit di Sidoarjo, Mojokerto, Mojowarno, Jombang dan Malang. Mereka diangkut dengan kereta api dari stasiun Gubeng. Ada juga yang diangkut dengan truk maupun cikar.

Korban yang gugur terus bertambah. Walikota Surabaya Radjamin Nasution, menggagas perlunya TMP (Taman Makam Pahlawan) untuk para pejuang yang gugur. Dijadikanlah lapangan Canna di Jalan Canna (sekarang Jalan Kusuma Bangsa) yang terletak di depan THR (Taman Hiburan Rakyat) menjadi TMP. Untuk pertamakalinya dimakamkan sebanyak 26 orang korban pertempuran di Surabaya yang jenazahnya diambil dari Rumah Sakit Umum (RSU) Simpang. Korban yang gugur bertambah terus. Dalam waktu singkat TMP di Jalan Canna, diubah namanya menjadi TMP Kusuma Bangsa dan Jalan Canna menjadi Jalan Kusuma Bangsa.

Pertempuran seru berlangsung sampai sampai akhir November 1945. Para pejuang tidak lagi menghitung hari, sebab mereka sibuk bertempur melawan Sekutu. Surabaya menjadi neraka. Inferno bagi Inggris. Namun menjadi kawah candradimuka bagi pejuang yang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Perang yang “dahsyat” berlangsung selama 20 hari di Surabaya ini menjadi catatan bagi dunia, khususnya Sekutu dan Inggris. Bahkan, bagi bangsa Indonesia, peristiwa heroik di Surabaya ini tidak akan pernah dilupakan. Sejarah mencatat dan mengabadikannya sebagai “Hari Pahlawan” yang diperingati setiap tanggal 10 November. Dan, Kota Surabaya memperoleh predikat sebagai “Kota Pahlawan”. ***

 

*) Yousri Nur Raja Agam MH – pemerhati sejarah, bermukim di Surabaya

 

9 November 1945

Diultimatum Sekutu,

Semangat Arek

Surabaya Terbakar


Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)

Yousri Nur RA  MH

Yousri Nur RA MH

MERASA dilecehkan dengan oleh ultimatum Jenderal Masergh, Arek Surabaya (baca: Suroboyo) bangkit dan meradang. Semangat Arek-arek Surabaya terbakar dan “Surabaya mendidih”.

Darah yang menggelora di hati rakyat Surabaya dan Jawa Timur benar-benar sudah memuncak sampai ke ubun-ubun. Namun, Gubernur Jatim RMTA Soerjo, masih mampu mengendalikan emosinya.

Satu per-satu tuduhan yang disampaikan Manserg dalam pidato tertulisnya disangkal Gubernur Soerjo. Ia bicara dengan suara yang dalam, tetapi tegas. Semua tuduhan Mansergh itu dibedah dengan nada suara yang keras bak menyayat hati Komandan Tentara Sekutu di Jawa Timur itu. Indonesia punya bukti-bukti dengan dokumen yang jelas, sergah Gubernur Soerjo.

Mendapat jawaban yang menantang itu, Mansergh hanya diam. Ia menunduk tidak bicara apa-apa.

Suasana perundingan yang digelar biro-kontak itu menjadi tegang. Gubernur Soerjo menugaskan Residen Soedirman dan Moehamad ke Morokrembangan. Sedangkan Jenderal Mansergh pamit meninggalkan ruangan. Ia minta Kolonel Pugh mewakili Inggris meneruskan rapat. Namun, Gubernur Soerjo pun beranjak pergi dan menugaskan Doel Arnowo dan Soengkono meneruskan perundingan mewakili Indonesia.

Penugasan Residen Soedirman dan Moehamad ke Morokrembangan, ternyata menyaksikan kelicikan Inggris dan Sekutu. Sebab, diam-diam mereka sudah mendaratkan pasukan Divisi 5 sebanyak 24 ribu personal. Mereka berkoar, bergerak melakukan intimidasi terhadap Arek Suroboyo.

Ternyata, manuver Inggris itu benar-benar membangkitkan semangat perlawanan yang tinggi. “Biar jadi debu, lawan Inggris hingga titik darah terakhir!” Begitu seruan yang diteriakkan para pemimpin pasukan pejuang.

Perang Surat

Surat Mansergh datang lagi. Surat itu dikeluarkan hari Kamis, 8 November 1945 yang ditujukan kepada Gubernur Soerjo. Isinya itu penuh keangkuhan.

Ia minta Gubernur Soerjo datang menghadap ke kantornya di Jalan Jakarta (Batavia-weg), di kawasan Tanjung Perak, besok Jumat, 9 November 1945, pukul 11.00. Gubernur Soerjo membalas surat Mansergh itu. Bunyinya sebagai berikut:

Gubernur Jawa Timur

9 November 1945

No. 1-KBK

Jenderal Mayor E.C.Mansergh

Komandan Angkatan Darat Sekutu

Jawa Timur, Surabaya.

Tuan,

Saya telah menerima dua surat dari tuan, pertama tertanggal 7 November 1945, No.G-512-1, dialamatkan kepada Gubernur Jawa Timur dan kedua tertanggal 8 November 1945, No.G-512-5 dialamatkan kepada Tuan R.M.T.A.Soerio, yang kebetulan, dan ini perlu saya ceritakan kepada tuan, adalah Gubernur Jawa Timur; dan saya pikir dan meminta dengan hormat kepada tuan untuk mengalamatkan semua korespondensi resmi kepada saya dengan lebih tata hormat.

Saya mengharapkan demikian dari tuan sebagai wakil dari Panglima Tertinggi dari Tentara Sekutu untuk menjalankan semua pertemuan pribadi dalam suasana persahabatan dan tanpa prasangka. Saya akan lebih berterimakasih apabila tuan menyadari bahwa tuan berada di dunia Timur dengan suatu tugas kewajiban suci yang keramat; dan sampai saat tuan bersedia bertemu dengan saya dalam suasana yang lebih sungguh-sungguh dan persahabatan, semua komunikasi antara tuan dan saya mulai sekarang harus dilakukan dengan surat-menyurat; ini disebabkan karena sikap tuan sendiri.

Mengenai point 1 dari surat tuan, saya dengan hormat memberitahu bahwa kita sedang melanjutkan usaha kita untuk melaksanakan apa yang menjadi bagian kita sesuai dengan perjanjian

Tentang point 2 dari surat tuan yang terakhir, maka versi tuan tentang keadaan situasi kota Surabaya adalah tidak benar; 24 jam setelah perjanjian antara Jenderal Hawthorn dan Presiden Soekarno pada tanggal 30 Oktober sampai sekarang ini, maka keamanan dan ketertiban berjalan dengan baik, dan apabila tuan menunjukkan kepada sesuatu insiden yang tidak menyenangkan sejak saat itu maka dengan segala senang hati saya akan mengurusnya.

Tentang keterlambatan pengangkutan orang-orang asing dari daerah-daerah tersendiri ke Tanjung Perak, ingin saya kemukakan bahwa keterlambatan itu hanya disebabkan oleh keragu-raguan dan kurang persiapannya dari orang-orang asing tersebut.

Saya ingin meminta perhatian tuan bahwa Mayjen Hawthorn tak pernah menggunakan istilah “Hindia Belanda” dalam surat-suratnya, tetapi kata: Jawa, Madura, Bali dan Lombok.

Sepanjang pengetahuan saya maka kondisi-kondisi normal di bidang hukum, keamanan dan ketertiban berjalan baik di Surabaya saat ini.

Tentang point 6 dari surat tuan, saya ingin mengetahui keharusan Tentara Sekutu untuk memasuki kota Surabaya dan sekitarnya serta daerah-daerah lain di Jawa Timur, sedangkan di dalam persetujuan antara Jenderal Hawthorn dan Presiden Soekarno point 2, hanya 2 tempat yang jelas sebagai daerah yang akan dijaga oleh Tentara Sekutu, yaitu: daerah Darmo dan Tanjung Perak; dan lagi pula selekasnya kaum interniran dan RAPWI dipindah dari Darmo, maka Tentara Sekutu akan mundur juga ke Tanjung Perak. Tentara tuan hendaknya jangan mencoba masuk ke dalam kota, karena hal ini tidak akan mempunyai pengaruh baik bagi ketenteraman dan ketertiban, justru dalam waktu sekarang dan saya minta dengan sangat hendaknya tuan menyadari bahwa tugas kita adalah tidak semudah seperti tuan perkirakan; dan dengan mendesakkan hal-hal secara sebegitu sekonyong-konyong, tuan akan menghancurkan segala apa yang telah kita bangun bersama dengan Kolonel Pugh untuk suatu penyelesaian secara damai. Saya sama sekali tidak ragu-ragu bahwa suatu sikap yang simpatik dalam menghadapi tugas kita yang sulit ini digabungkan dengan kesabaran akan menghilangkan kesalahpahaman dari pihak kita berdua.

Saya mengharapkan dengan sungguh-sungguh hendaknya tuan bersedia kerjasama dengan kita dalam suasana berkemauan baik dan persahabatan sambil menyadari kesulitan-kesulitan kita, dan hendaknya tuan jangan ragu bahwa harmoni yang demikian akan mendorong penyelesaian dari kesulitan kita bersama.

Sebelumnya saya mengucapkan terimakasih.

Hormat saya,

R.M.T.A.SOERIO

Gubernur Jawa Timur.

Begitulah bunyi surat Gubernur Soerjo yang ditujukan kepada Mayjen Mansergh. “Perang surat” ini sekaligus merupakan jawaban yang berisi tantangan dari Gubernur Soerjo kepada komandan Tentara Sekutu.

Mansergh Mengultimatum

Karena Gubernur Soerjo tidak datang memenuhi panggilan Mayjen Mansergh, pukul 11.00 siang pada hari Jumat, 9 November 1945 itu, Mansergh kembali mengirim surat kepada Gubernur Soerjo.

Surat itu kembali dibalas Gubernur Soerjo dengan halus dan sopan. Namun surat itu dijawab Mansergh dengan ultimatum yang menyakitkan.

Pukul 14.00, saat sebagian warga Surabaya selesai melaksanakan shalat Jumat, pesawat terbang Inggris menderu-deru di atas kota Surabaya dan menyebarkan pamflet dari udara. Pamflet itu berisi ultimatum yang mengharuskan seluruh rakyat Surabaya, semua pemimpin dan pemuda untuk menyerah kepada tentara Inggris. Para pemimpin, polisi dan petugas radio agar melapor ke Jalan Jakarta sebelum pukul 18.00 tanggal 9 November 1945. Mereka diharuskan berbaris satu per-satu dengan membawa senjata yang dimilikinya, kemudian meletakkannya dalam jarak 100 yard dari tempat yang ditentukan. Rakyat biasa yang memiliki senjata menyerahkan diri di Westerbuiten-weg (Jalan Indrapura) dekat Mesjid Kemayoran, serta di Darmo dengan membawa bendera putih.

Pada bagian akhir ultimatum itu, disebutkan, apabila instruksi itu tidak dijalankan, Inggris dengan seluruh kekuatan militernya akan menggempur habis kota Surabaya, Sabtu, pukul 06.00 pagi.

Pukul 17.00 pimpinan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) di Surabaya mengundang kepala polisi, komandan PI (Polisi Istimewa), pasukan-pasukan pemuda, laskar, PRI (Pemuda Republik Indonesia), BPRI (Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia) dan TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) untuk membicarakan strategi dan taktik melawan Inggris.

Dalam pertemuan di markas TKR, Jalan Pregolan 4 Surabaya itu, Kolonel Soengkono diangkat sebagai Komandan Pertahanan Surabaya.

Bung Karno Menyerahkan

Rakyat Surabaya tidak gentar sedikitpun terhadap ultimatum yang disebarkan Inggris itu. Jumat malam, para pemimpin pejuang berkumpul dan menghubungi Pemerintah Pusat di Jakarta. Pukul 23.00, melalui sambungan telepon, Presiden Soekarno atas nama pemerintah pusat, menyerahkan kebijaksanaan sepenuhnya kepada Pemerintah Daerah Jawa Timur.

Setelah mendapat jawaban Bung Karno yang demikian, malam itu juga, Gubernur Jatim, Soerjo, berbicara melalui corong Radio Surabaya. Ia dengan tegas menolak ultimatum dan mengimbau kepada semua pihak (para pejuang dan rakyat Surabaya) untuk memelihara persatuan dan kesatuan, serta memohon kepada Allah yang Maha Kuasa untuk memberi kekuatan lahir-batin dalam perjuangan melawan tentara Sekutu-Inggris.

Isi selengkapnya Pidato Gubernur Soerjo adalah:

Saudara-saudara seluruh rakyat Jawa Timur!

Merdeka!

Kami ubernur Jawa Timur memperingatkan, bahwa hari ini kita penduduk Surabaya dapat surat selebaran yang merupakan perintah yang ditandatangani oleh Mayor Jenderal E.c.Mansergh, Panglima Tertinggi Tentara Dasar Serikat Jawa Timur, yang meminta supaya kita sebelum jam 18.00 sore tadi, menyerahkan senjata zonder perjanjian, dan apabila perintah itu tidak dijalankan sampai jam 6.00 besok pagi, mereka akan bertindak dengan kekuatan Angkatan Laut, Darat dan Udara.

Karena kita tidak merasa berperang dan juga tidak menghendaki pertempuran, maka surat perintah itu kita anggap tidak pada tempatnya dan kita tetap tidak bertindak apa-apa.

Polisi dan TKR kita pun tidak akan mengadakan tindakan apa-apa dan hanya bersikap menjaga ketenteraman umum.

Maka dari itu diharapkan kepada seluruh rakyat di Jawa Timur, terutama penduduk dalam kota Surabaya supaya tetap tinggal tenang dan jangan sekali-kali mulai bertindak provokasi, sambil menunggu keterangan radio lebih lanjut, karena kita telah berhubungan dengan Pucuk Pimpinan kita di Jakarta guna merundingkan hal ini.

Demikian pidato singkat Gubernur Soerjo melalui corong radio Surabaya (NIROM, yang kemudian menjadi RRI) di Jalan Embong Malang – sekarang di lahan ini berdiri Hotel Westin yang kemudian ganti nama menjadi JW Marriott.

Barikade Rakyat

Dalam mobil Chrysler 7-sits saat perjalanan dari studio radio Surabaya di Jalan Embong Malang menuju kantor Gubernur di Jalan Pahlawan (dulu: Alun-alun Straat), Gubernur Soerjo melihat ternyata sudah dipasangi barikade-barikade oleh penduduk. Barikade berlapis itu dalam bentuk meja, lemari, kursi, bangku panjang (amben, dampar-dampar), balok kayu, batu-batu besar dan sebagainya. Semua itu dipasang melintang jalan. Akibatnya, mobil yang ditumpangi Gubernur berjalan sangat lambat.

Malam tanggal 9 November 1945 itu, pukul 22.10, ungkap Roeslan Abdulgani dalam bukunya “Seratus Hari di Surabaya”, Doel Arnowo dapat berkontak lagi dengan Jakarta. Hubungan telepon kepada Bung Karno dijawab oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) Ahmad Soebardjo. Menlu yang dipercaya oleh Bung Karno untuk berunding dengan pihak Sekutu, ternyata menemukan jalan buntu. Pimpinan tentara Inggris tetap pada pendiriannya. Mereka tetap akan mempergunakan jalan kekerasan apabila kita tidak mau menyerah

Akhirnya Menlu Ahmad Soebardjo menyerahkan segala sesuatu kepada kita di Surabaya. Keterangan Menlu mengandung arti, bahwa apabila kita merasa cukup kuat untuk mengadakan perlawanan bersenjata, hal ini terserah! Pemerintah Pusat tidak akan menyalahkan Surabaya, ulas Cak Roeslan Abdulgani. Jadi, tidak seperti pertempuran akhir bulan Oktober 1945.

Gubernur Soerjo kembali menuju studia radio Surabaya. Di depan corong radio, tepat pukul 23.00, dengan tenang, tegas dan mantap Gubernur Soerjo berpidato sebagai berikut:

Saudara-saudara sekalian.

Pucuk Pimpinan kita di Jakarta telah mengusahakan akan membereskan peristiwa di Surabaya pada hari ini. Tetapi sayang sekali sia-sia belaka, sehingga semuanya diserahkan kepada kebijaksanaan kita di Surabaya sendiri.

Semua usaha kita untuk berunding senantiasa gagal. Untuk mempertahankan negara kita, maka kita harus menegakkan dan meneguhkan tekad kita yang satu, yakni berani menghadapi segala kemungkinan.

Berulang-ulang telah kita kemukakan bahwa sikap kita ialah: Lebih baik hancur daripada dijajah kembali. Juga sekarang dalam menghadapi ultimatum pihak Inggris, kita akan memegang teguh sikap ini. Kita tetap menolak ultimatum itu.

Dalam menghadapi segala kemungknan besok pagi, mari kita semua memelihara persatuan yang bulat antara pemerintah, rakyat, TKR, polisi dan semua badan-badan perjuangan pemuda kita.

Mari kita sekarang memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa semoga kita sekalian mendapat kekuatan lahir batin serta Rahmat dan Taufik dalam perjuangan.

Selamat berjuang!

Setelah mendengar seruan Gubernur Soerjo di radio, para pemuda pejuang menghimpun massa rakyat dari segala penjuru kota dan kampung. Semua mempersiapkan diri menghadapi apa yang akan terjadi hari Sabtu, 10 November 1945 pagi. ****

*) Yousri Nur Raja Agam MH – pemerhati sejarah bermukim di Surabaya.

Setelah Mallaby Tewas

Christison dan Mansergh


Ancam Arek Suroboyo

Yousri Nur RA, MH

Yousri Nur RA, MH

Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)

HARI Rabu, 31 Oktober 1945, dunia terguncang oleh berita tewasnya Brigjen Mallaby, yang terjadi Selasa, 30 Oktober 1945, sehari sebelumnya. Berita-berita mediamassa, koran dan radio di mancanegara menyudutkan posisi Indonesia. Sebab sumber informasi sepihak, hanya dari pihak Inggris.

Bagi pejuang Surabaya, tewasnya Mallaby merupakan sebuah kebanggaan. Namun perasaan para pemimpin di Surabaya serba salah. Khawatir, dituduh melakukan kejahatan perang. Tetapi, bagaimanapun juga itu adalah sebuah resiko bagi Sekutu-Inggris yang mengabaikan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Salah satu di antara pemberitaan media internasional waktu itu, Inggris menuduh Arek Suroboyo sengaja melakukan penyerangan tanpa peringatan awal. Pemberitaan pihak Inggris ke dunia luar yang trial by the press itu memang tidak sertamerta dapat dibantah. Namun kemudian dijaleskan bahwa saat peristiwa itu terjadi, Moehamad dan TD Kundan yang merupakan wakil Indonesia sedang berunding di gedung Internatio.

Akhirnya sesuai dengan kesepakatan perunding Moehamad dengan pihak Inggris, Rabu, 31 Oktober 1945 sekitar pukul 13.00 seluruh pasukan Inggris meninggalkan gedung Internatio. Mereka diangkut dengan truk-truk TKR ke Markas Besar Inggris di Jalan Westerbuitenweg (sekarang bernama Jalan Indrapura).

Surat Christison

Jenderal Christison, Panglima Tentara Sekutu Asia Tenggara di Jakarta mengeluarkan pengumuman berupa ancaman terhadap bangsa Indonesia, khususnya Arek-arek Suroboyo. Isinya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah:

Peringatan kepada Bangsa Indonesia!

Pada tanggal 28 Oktober 1945 sejumlah besar orang Indonesia yang bersenjata di Surabaya telah menyerang dengan tiada memberi peringatan atau terjadi provokasi pasukan-pasukan Inggris yang mendarat dengan maksud melucuti senjata dan mengasingkan pasukan-pasukan Jepang, menolong tawanan-tawanan perang dan orang-orang yang diasingkan, dan menjaga ketenteraman di daerah yang mereka duduki.

Dengan demikian orang-orang Indonesia itu telah melanggar perjanjian peletakan senjata buat sementara dan dengan sewenang-wenang membunuh Brigadir Jenderal Mallaby yang pergi berbicara dengan mereka.

Penyerangan langsung dan tidak bersebab terhadap pasukan-pasukan Inggris bagaimanapun juga tidak diperbolehkan, dan sekiranya orang-orang Indonesia yang melakukan perbuatan ini tidak menyerah kepada saya, saya berniat akan menggunakan segala tenaga dari Angkatan Laut, Darat dan Udara, beserta segala senjata-senjata modern terhadap mereka sampai mereka hancur.

Kalau dalam tindakan ini orang-orang Indonesia yang tidak bersalah meninggal atau terluka, maka tanggungjawab dipikulkan oleh orang-orang Indonesia tersebut yang telah melakukan kejahatan-kejahatan seperti saya katakan tadi.

Saya peringatkan kepada seluruh rakyat Indonesia di Pulau Jawa, supaya mereka jangan bersangkutpaut dengan golongan ekstrimis dan supaya bekerja bersama-sama dengan tentara saya dan hidup damai dan tenteram dengan mereka.

Karena kalau kekerasan dipergunakan kepada tentara saya, maka jawabannya adalah kekerasan juga. Saya berniat teguh menjamin keamanan dan ketenteraman dan berharap kepada orang-orang Indonesia yang baik untuk membantu saya.”

Christison – Panglima Tentara Sekutu Asia Tenggara.

Demikian peringatan Jenderal Christison yang dikutip juga oleh Presiden Soekarno dalam pidato radionya, Rabu malam, 31 Oktober 1945 pukul 19.30 di Jakarta. Dalam pidato radionya Bung Karno dengan panjang lebar mengisahkan kejadian di Surabaya saat itu. Dalam pidato itu antara lain dinyatakan:

“Surabaya merupakan satu kekuatan kita; bahwa di Surabaya TKR kita tersusun dengan baik. Bahwa pemuda-pemuda dan kaum buruh telah membentuk persatuan-persatuan yang sangat teguh.

Bahwa pertempuran-pertempuran kita dengan tentara Inggris pada tanggal 28 Oktober sampai 30 Oktober 1945, kurang baik menggunakan kekuatan itu dengan tidak didasarkan atas siasat bekerja bersama-sama dengan bahagian di Indonesia lain, dan tidak didasarkan siasat yang bersifat perjuangan lama, maka kini timbul keadaan yang melemahkan kekuatan di Surabaya dan di Indonesia.”

Pada bagian akhir pidatonya, Bung Karno berpesan, bahwa musuh kita bukan Sekutu, tetapi NICA. Oleh sebab itu, semua pertempuran dengan Sekutu harus dihentikan.

Setelah peristiwa tewasnya Mallaby, keadaan Surabaya makin mencekam. Para pejuang Arek Suroboyo, terus siaga. Sementara biro-kontak terus melakukan rapat-rapat tentunya tanpa kehadiran Mallaby lagi.

Surat Mansergh

Suasana di Surabaya makin memanas. Perundingan dan rapat-rapat biro-kontak terus berlangsung. Suhu udara di Surabaya, hari Rabu, 7 November 1945 yang semula cukup tenang, kemudian terasa memanas. Pukul 11.30 berlangsung pertemuan antara Gubernur Jatim, Soeryo yang didampingi staf, anggota biro-kontak dengan Mayjen Mansergh (pengganti Mallaby) beserta stafnya.

Dalam pertemuan itu, Mansergh membacakan surat bernomor G.512-1, 7 November 1945. Surat itu ditandatangi sendiri oleh Mansergh. Surat yang benar-benar menunjukkan kecongkakan Inggris dan banyak berisi kebohongan itu, seperti yang diterjemahkan TD Kundan adalah:

Nama saya Mayor Jenderal B.C.Mansergh OBE,MC. Saya adalah komandan Tentara Sekutu Jawa Timur dan mewakili Panglima Tentara Sekutu Hindia-Belanda.

2. Kehadiran saya disini adalah untuk:

Mengungsikan tahanan-tahanan perang Sekutu dan kaum interniran Sekutu dan warga-warga lain yang ingin pulang, seperti ke Swis, India dan lain-lain.

Melucuti orang-orang Jepang dan mengungsikan mereka.

Dunia menyadari sepenuhnya bahwa Sekutu mempunyai kapal-kapal serta organisasi di Surabaya yang diperlukan dan berkeinginan untuk membantu semua orang asing dalam pengungsian itu Mereka selanjutnya, mengetahui jika para orang asing sampai tidak diizinkan untuk mengungsi dan pulang maka tanggungjawab sepenuhnya adalah kepada bangsa Indonesia.

Juga telah diinsyafi sepenuhnya oleh seluruh dunia, bahwa orang-orang yang tidak bertanggungjawab, dibiarkan membawa senjata, dibiarkan merampok, melakukan pengkhianatan dan pembunuhan terhadap wanita-wanita dan anak-anak yang tidak bersenjata, dan melakukan lain-lain tindakan keganasan yang sangat bidab.

Hal ini terjadi sekalipun di Surabaya sudah ada formasi kepolisian bersenjata di bawah pimpinan Indonesia yang telah diakui oleh sekutu. Akan tetapi tuan ternyata tidak dapat menguasainya, tuan mempunyai sarananya, akan tetapi tidak dapat menyelenggarakan ketertiban umum. Seluruh dunia tahu tentang hal ini dan tahu juga tentang keganasan-keganasan yang telah dilakukan.

Saya perlu memberitahukan kepada tuan, bahwa semua itu adalah tanggyungjawab tuan, beserta anak buah tuan, yaitu menyelenggarakan ketertiban umum; pula bahwa segala jaminan dan janji tuan benar-benar harus dilaksanakan. Dalam hubungan telah disetujui bahwa beberapa daerah Surabaya akan digunakan hanya oleh Sekutu atau oleh pihak Indonesia dengan tujuan menghindari pertempuran-pertempuran. Pihak tuan telah melanggar janjinya. Pada waktu itu tank-tank dan tentara Indonesia telah berada di lapangan udara dan mengambil posisi (yang dimaksud di sini adalah lapangan udara Morokrembangan). Sesuai dengan janji tuan, maka tank-tank dan tentara itu harus ditarik mundur hari ini. Saya akan mengambilalih tanggungjawab di daerah lapangan terbang itu dan akan mendudukinya hari ini dimulai pukul 14.00. Adapun akan menjadi tanggungjawab tuan, jika terjadi insiden-insiden.

Wakil-wakil tuan berkali-kali menjanjikan untuk menjamin kembalinya semua yang terluka dari tentara Sekutu, tahanan, peralatan, truk-truk dan sebagainya. Sampai sekarang janji itu lambat pelaksanaannya dan banyak hal lain yang sama sekali diabaikan. Saya hendak menekankan bahwa semua kegagalan tuan itu, saya anggap bahwa tuan tidak mampu atau tidak mau memenuhi perjanjian-perjanjian dan jaminan-jaminan yang telah disepakati; dan bahwa Sekutu beserta seluruh dunia telah mengetahui tentang kegagalan tuan itu.

Saya minta sekarang supaya diatur lebih lanjut mengenai evakuasi warga negara asing yang ingin dipulangkan, dan supaya semua tentara Sekutu yang luka-luka dan hilang, truk-truk, peralatan dan sebagainya segera dikembalikan.

Demikian isi surat Jenderal Mansergh. Surat itu dibacanya sendiri di hadapan wakil-wakil Pemerintah RI dan biro-kontak. Surat nomor G-512-1 ini – sesuai ketikan – bertanggal 3 November 1945. Tetapi tampak coretan tinta dan diganti tanggalnya menjadi 7 November 1945.

Dengan dada terangkat dan tatapan congkak, seusai membaca surat itu – yang diterjemahkan oleh Kundan, Mansergh duduk kembali.

Semua yang hadir tercengang.

Surat yang ditulis Christison dan Mansergh ini membuat para pejuang dan pejabat Pemerintahan Indonesia di Surabaya “terbakar”, karena merasa dilecehkan. ***

*) Yousri Nur Raja Agam – pemerhati sejarah, bermukim di Surabaya.

Situasi menjelang 10 November 1945

Tentara Inggris

Dipaksa Menyerah

Oleh: Yousri Nur Raja Agam M.H.

PERUNDINGAN antara pihak Sekutu dengan Indonesia, dilanjutkan Selasa besoknya, 30 Oktober 1945, pukul 11.00 di ruang rapat Gubernur Jatim, Suryo.

Dari pihak Sekutu dipimpin oleh Mayjen DC Hawthorn, Panglima tentara Inggris yang membawahi wilayah Jawa, Madura, Bali dan Lombok. Ia didampingi Brigjen AW Mallaby, Kolonel LHO Pugh, Mayor M.Hudson, Kapten H.Shaw dan beberapa perwira lainnya.

Sedangkan dari pihak Indonesia, Presiden bersama Wakil Pesiden RI, Sukarno-Hatta atau popular dengan sapaan Bung Karno dan Bung Hatta didampingi Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin, Gubernur Jawa Timur, Suryo, Residen Sudirman dan para tokoh pejuang Arek Suroboyo, yakni: Doel Arnowo, Atmadji, Moehamad, Soengkono, Soejono, Roeslan Abdulgani, Kusnandar dan TD Koendan.

Dalam perundingan itu ada empat masalah pokok yang dibahas. Perundingan berjalan alot, ungkap Roeslan Abdulgani.

Pertama: masalah pamflet yang disebarkan Inggris, 27 Oktober 1945 lalu yang mengancam melucuti senjata TKR, Polisi dan pasukan rakyat bersenjata lainnya. Isi pamflet itu dengan tegas ditolak dan dikecam oleh TKR, Polisi, PRI dan BPRI.

Akhirnya Jenderal Hawthorn menarik kembali pamflet itu dan sekaligus mengakui eksikstensi TKR dan Polisi Indonesia.

Kedua: daerah yang diawasi pasukan Inggris. Mereka ingin menguasai tempat-tempat yang mereka duduki dan minta kepungan-kepungan yang dilakukan pejuang Surabaya dihapuskan. Pihak pejuang Surabaya dengan tegas menolak dan menuntut pihak Inggris menarik mundur pasukannya sampai ke daerah pelabuhan Tanjung Perak.

Terjadi kompromi, pasukan Inggris ditarik dari tempat yang diduduki, seperti: gedung HBS Ketabang (SMA Komplek sekarang), BPM (gedung Pertamina di Jalan Veteran sekarang), Internatio (gedung Panca Niaga di Taman Jayengrono – Jembatan Merah sekarang) dan beberapa gedung lain. Jadi, pasukan Inggris hanya berada di dua tempat saja, yaitu: pelabuhan Tanjung Perak dan di daerah interniran RAPWI di Darmo.

Ketiga: hal yang berhubungan dengan siapa yang berhak menjaga tempat interniran RAPWI di Darmo. Pihak Indonesia atau Inggris?

Untuk butir ini, perunding Indonesia agak mengalah, dengan mempercayakannya kepada pasukan Inggris. Tetapi sebaliknya, TKR dan Polisi Indonesia ikut menjaga kawasan pelabuhan.

Keempat: mengenai perlu atau tidaknya dibentuk “biro kontak”.

Dalam perundingan, semula Inggris menolak. Namun, pihak Indonesia minta jaminan tidak terulang kembali tindakan sepihak yang sifatnya melanggar persetujuan yang disepakati. Akhirnya, delegasi Inggris menyetujui adanya “biro kontak” yang bertugas mengawasi dan melaksakan persetujuan secara rinci.

Selama berlangsung perundingan, meriam kapal perang Inggris terus memuntahkan dentuman dahsyat. Tetapi tidak jelas apa sasarannya. (Mungkin hanya penggunakan peluru hampa – pen). Mendengar gertak sambal Inggris itu, para pejuang, TKR dan Polisi Istimewa (PI) yang berjaga dalam kota juga tidak kalah akal. Mereka melakukan aksi balasan. Komandan TKR dan PI memerintahkan tank dan panser bergerak mengepung kantor gubernur, tempat perundingan berlangsung.

Tank dan Panser

Suaranya gemuruh, karena tank dan panser itu berputar-putar tanpa arah. Apalagi di antara mereka ada yang baru belajar mengemudikan tank dan panser, bila maju dan mundur perlu manuver garak berulang-ulang. Akibatnya, ruang perundinganpun merasakan getaran itu.

“Pikir kita, biar Inggris terkena taktik intimidasi kita. Anehnya yang paling berpengaruh oleh gemuruh suara tank-tank kita itu adalah pemimpin tertinggi kita dari Jakarta. Berkali-kali Bung Karno, Bung Hatta dan Bung Amir Sjarifudin dengan suara tertekan minta agar bunyi suara tank dan gerakan manuver itu dihentikan”, tutur Roeslan Abdulgani.

Cak Roeslan meninggalkan ruang sidang, ia ke luar dan menemui pemuda pejuang untuk menghentikan manuver gerakan tank.

“Stop! Jangan ribut. Hentikan gerakan tank. Yok opo rek, ternyata yang gemetar itu bukan Inggris, tetapi justru penggede-penggede dari Jakarta”, ujar Cak Roeslan.

Ungkapan Cak Roeslan itu dijawab pengemudi tank. “Jadi bagaimana Cak! Berhenti atau tidak”. “Saiki mandeko sediluk bae, tapi enkuk terusno mane! (Sekarang berhenti sebentar, tetapi nanti diteruskan lagi)”, jawab Cak Roeslan.

Jadi, suasana di luar sidang cukup tegang dengan tekad membara. Kendati demikian, tetap penuh kelakar dan humor.

Selesai perundingan, disampaikan kesimpulan tentang persetujuan gencatan senjata yang diumumkan Menteri Penerangan Amir Sjarifudin. Kemudian rombongan Bung Karno dan Jenderal Hawthorn kembali ke Jakarta melalui lapangan terbang Morokrembangan. Saat melewati jalan-jalan kota, suasana perang masih terasa. Di sana-sini terdengar suara tembakan.

Di ruang kerja Residen Soedirman sorenya pukul 15.00 dilangsungkan rapat biro-kontak. Dalam rapat itu, diangkat sekretaris bersama biro-kontak, masing-masing Roeslan Abdulgani dan Kapten H.Shaw. Cak Roeslan diberi pangkat Kapten (tituler), disejajarkan dengan pangkat sekretaris dari pihak Inggris.

Radio BPRI (Barisan Pemberontak Republik Indonesia) pimpinan Bung Tomo dan Radio Surabaya terus menyiarkan hasil persetujuan yang ditandatangani Bung Karno dan Jenderal Hawthorn itu. Namun rakyat dan komponen pejuang kemerdekaan tidak begitu saja menerima gencatan senjata itu. Mereka masih terus mengepung gadung Lindeteves dekat jembatan Semut dan gedung Internatio di Jembatan Merah.

Biro-kontak memutuskan datang sendiri menyelesaikan konflik bersenjata yang belum reda di gedung Internatio dan Lindeteves.

Rombongan biro-kontak dengan delapan mobil pukul 17.00 tiba di dekat gedung Lindeteves. Ternyata di sini tembak-menembak sudah usai. Rombongan meneruskan perjalanan ke gedung Internatio. Di sini masih terjadi tembak-menembak. Ketika rombongan kontak-biro tiba, tembak-menembak berhenti.

Pemuda-pemuda mengerumuni mobil rombongan kontak-biro Indonesia. Mereka menuntut pimpinan tentara Inggris yang ikut dalam rombongan memerintahkan pasukannya yang sudah terkepung di gedung Internatio untuk menyerah. Atau setidak-tidaknya sore itu juga diangkut ke pelabuhan Tanjung Perak dengan peninggalkan senjata masing-masing.

Residen Soedirman memberi pengertian tentang situasi dan adanya persetujuan bersama hasil perundingan. Kemudian Doel Arnowo dan Soengkono naik ke atas kap mobil. Dengan berdiri tegap mereka bergantian memberi penjelasan. Rakyat diminta sabar. Tentara Inggris malam ini diperkenankan tinggal di gedung Internatio. Besok pagi akan diangkut ke pelabuhan dengan penjagaan TKR. Sudah ada persetujuan antara Bung Karno dengan Jenderal Hawthorn, ujarnya.

Rakyat dan pemuda yang mendengar penjelasan itu, hanya nggrundel (mengomel) dengan wajah tak puas.

Rombongan mobil biro-kontak bergerak ke arah Jembatan Merah. Di tikungan jalan sekelompok pemuda yang dipimpin seorang yang tampak histeris menghadang. Dia membawa bendera merah putih. “Yang merah ini, merah karena darah. Merah ini adalah merah darah seorang tentara Inggris”, ujar anak muda itu sembari menunjukkan kepada Cak Roeslan.

Iringan mobil yang dihadang itu berhenti. Kelompok pemuda ini kembali mengajukan tuntutan. Mereka minta, sekarang juga pasukan Inggris yang terkepung dalam gedung untuk menyerah. Sore ini juga diangkut ke palabuhan dan meninggalkan senjata. Kalau tidak, selama mereka berada di gedung itu rakyat tidak akan merasa aman. Rakyat terus terancam keselamatannya, sebab beberapa kali pasukan Inggris membabibuta menembaki rakyat secara brutal.

Residen Soedirman, Doel Arnowo dan Soengkono kembali memberi keterangan, bahwa tuntutan tidak bisa dipenuhi dan minta kesabaran rakyat.

Suasanapun mereda.

“Berilah kami jaminan, pasukan Inggris malam ini berhenti menembak ke luar”, pinta para pemuda itu.

“Baik”, jawab Residen Soedirman.

Setelah berunding dengan Mallaby dan staf, mereka bersedia berunding dengan tentara yang berada di dalam gedung. Bahkan, Mallaby sendiri bersedia masuk ke dalam gedung untuk memerintahkan penghentian tembakan. ***