Perkembangan Pers dan Mediamassa di Surabaya Jawa Timur

Serta: Berita tentang Proklamasi 17 Agustus 1945 di Jakarta yang segera diterima di Surabaya”.

Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH*)

KOTA Surabaya yang lahir dan berkembang sebagai kota industri, tidak terlepas dari informasi dan komunikasi. Salah satu industri yang selalu mengikuti kiprah Surabaya adalah industri mediamassa atau industri pers.

Jauh sebelum Indonesia merdeka, yakni di saat negeri ini masih di bawah pemerintahan Hindia Belanda, di Surabaya telah muncul berbagai penerbitan pers, berbentuk suratkabar dan majalah.

Sebagai pengetahuan bagi masyarakat yang ingin mengenal dari dekat Kota Surabaya, tentunya dapat menyimak melalui perkembangan pers dan mediamassa yang terbit di kota ini. Mengasyikkan dan ada dinamika yang tertuang di balik kegiatan industri suratkabar, majalah, dan penyiaran radio hingga televisi sekarang ini.

Melalui penelusuran ke belakang dunia penerbitan pers dan mediamassa di Surabaya, dapat pula dilihat kemajuan industri mediamassa dari zaman ke zaman. Sebelum era grup Jawa Pos, Surya, Memorandum, Bhirawa dan berbagai penerbitan sekarang, di Surabaya pernah berjaya Suratkabar Harian Surabaya Post di zaman Orde Baru dan Pewarta Surabaya di zaman Orde Lama.

Kecuali itu, banyak pula suratkabar harian, mingguan dan majalah yang terbit di Surabaya dengan skala nasional. Salah satu majalah yang cukup dikenal dengan peredaran luas adalah Sketsmasa. Di samping itu ada dua majalah berbahasa Jawa: Jaya Baya dan Panyebar Semangat.

Nah, bagaimana pula perkembangan kegiatan penerbitan yang zaman dulu dengan mesin cetak tangan (hand press) dengan huruf timah yang disusun atau diset satu huruf per-huruf. Berlanjut ke era mesin cetak printing dan offset, sampai dengan zaman komputer, internet dan multimedia dengan sistem cetak jarak jauh sekarang ini.

Ada delapan zaman yang dapat menjadi era penerbitan sejak Surabaya pertamakali mempunyai penerbitan suratkabar. Yakni: era prakemerdekaan atau zaman pemerintahan kolonial Belanda, era penjajahan Jepang, era awal kemerdekaan, era pemerinntahan Demokrasi Liberal, era Demokrasi Terpimpin, era Demokrasi Pancasila, era awal reformasi dan sekarang (pascareformasi).

Koran Pertama di Surabaya

Berdasarkan data yang dihimpun, pada periode prakemerdekaan, yakni tahun 1836-1942, di Jawa Timur sudah terbit 159 penerbitan pers. Ada yang berbentuk suratkabar dan ada pula berupa majalah. Dari jumlah itu, 90 persen terbit di Kota Surabaya. Sisanya terbit di Malang, Kediri, Probolinggo, Pasuruan, Jember dan Mojokerto.

Suratkabar pertama yang terbit di Surabaya, bulan Maret 1836, bernama: Soerabajasch Advertentieblad. Suratkabar ini mengkhususkan iklan-iklan berbagai perusahaan, produk dan toko-toko yang ada di Surabaya. Di samping itu juga ada warta kematian, kelahiran, pernikahan dan keberangkatan kapal sebagai berita utamanya.

Memang, di zaman penjajahan Belanda itu tidak mudah menerbitkan mediamassa, walaupun oleh bangsa Belanda sendiri. Waktu itu berlaku pengawasan yang ketat. Sehingga, persiapan yang dilakukan CF Smith, pemimpin suratkabar itu cukup lama, padahal izinnya keluar bulan Juli 1835.

Setelah setahun suratkabar Soerabajasch Advertentieblad khusus menyiarkan iklan, pada bulan Maret 1837, Smith mengajukan permohonan kepada Residen Surabaya yang bertindak sebagai pengawas, untuk diizinkan menyiarkan berita dan artikel. Namun, permohonan Smith itu tidak pernah dikabulkan. Malahan tahun 1841, C.Van Raalten yang menjabat sebagai chief clerk (kepala tata usaha) diadili. Pengadilan Distrik Surabaya mengambilalih pengelolaan suratkabar itu. Alasannya, agar kepentingan pemerintah tidak dirugikan akibat rencana Smith yang akan menerbitkan pemberitaan dan artikel di suratkabar itu.

Kendati demikian dalam perkembangan selanjutnya, suratkabar itu tidak dapat lagi menghindari tulisan yang bersifat berita. Sehingga, tahun 1853, secara resmi koran ini berganti nama menjadi: Surabayasch Nieuws en Advertentieblad (SNeA). Koran ini berada dalam pengawasan dari pemerintah kolonial.

Data yang dihimpun dari Perpustakaan Nasional di Jakarta, pada buku Perkembangan Pers Jawa Timur yang terbit tahun 1994, mengungkapkan suratkabar kedua yang terbit di Surabaya bernama Oostpost. Kehadiran suratkabar ini pertamakali diketahui melalui iklan yang dimuat di SNeA terbitan 8 Januari 1853 yang dicetak pada percetakan E.Fuhri. Tahun 1870 suratkabar ini berganti nama menjadi: Het Soerabajasch Handelsblad yang didukung oleh kelompok pengusaha pabrik gula di Jawa Timur.

Suratkabar ini benar-benar membawa misi pemerintah kolonial Belanda. Pimpinan koran ini, M.Van Geuns sampai-sampai menulis kritik tajam terhadap kebijakan Gubernur Jenderal Idenburg yang memberi kesempatan kepada organisasi pergerakan nasional Boedi Oetomo, Syarekat Islam dan Indische Partij.

Minat baca warga kota Surabaya waktu itu ternyata meningkat. Tahun 1851, JJ Nose menerbitkan pula koran Nieuwsbode. Di sini persaingan mulai dirasakan penerbit SNeA dan Oostpost. Bahkan untuk menarik pembaca lebih banyak, Oostpost ganti nama menjadi Soerabajasch Courant yang semula terbit mingguan menjadi empat hari seminggu.

Undang-undang Percetakan

Melihat perkembangan suratkabar di Surabaya, Jakarta, Padang dan Medan, pemerintah Hindia Belanda tahun 1856 mengeluarkan undang-undang tentang percetakan dan pers: Reglement op de Drukwerken in Nederlandesch Indie atau gampangnya disebut: Drukpers Reglement. Undang-undang ini mengatur dan mengawasi hasil percetakan dan penerbitan pers.

Berbagai suratkabar kemudian terbit di Surabaya, namun usianya tidak ada yang lama. Di antaranya bernama: Soerabajasch Weekblad (1851), De Militaire Courant (1863), Indische Spectater (1870), Insulinde (1878), Indische Kinder Courant (1879), De Indische Opmeker (1880), Het Jonge Indie (1885), Thieme’s Nieuws en Advertentieblad (1886), Onze Getuigenis (1887). Rata-rata koran ini hanya berusia satu hingga dua tahun, kecuali De Indische Opmeker bertahan enam tahun (1880-1886) dan Thieme’s Nieuws en Advertentieblad (1886-1909) atau 13 tahun.

Lain lagi dengan koran Soerabajasch Handelsblad yang terbit sejak abad 19 itu bertahan sampai 1957. Dihentikannya penerbitan koran terbesar di Surabaya ini, sebagai akibat kebijakan Pemerintah RI yang tidak membolehkan warga Belanda memimpin suratkabar.

Pada umumnya koran yang terbit waktu itu berbahasa Belanda. Kemudian, terbit koran berbahasa Indonesia (Melayu). Koran pertama berbahasa Melayu bernama: Soerat Kabar Bahasa Melayoe. Edisi perdana koran ini terbit hari Sabtu tanggal 12 Januari 1856, bertepatan dengan 3 Jumadil Awal 1784 tahun Jawa atau 1372 tahun Hijriyah dan 4 Tjap-djie Gwee tahun Iet Bow. Setahun kemudian, 3 januari 1857, terbit pula suratkabar berbahasa Melayu, bernama: Bientang Timoer yang kemudian diubah menjadi Bintang Timoer. Koran ini dipimpin orang Belanda bernama TCE Bouquet. Peredarannya tidak hanya di Jawa Timur dan sebagian wilayah Indonesia, tetapi juga sampai ke Eropa.

Suratkabar lain yang terbit dengan menggunakan bahasa Melayu lainnya yang terbit akhir tahun 1800-an, adalah: Bintang Soerabaia, Tjahaja Moelia dan Batara Indra. Menyusul di awal abad ke-20, juga terbit koran bahasa Melayu-Tionghoa, seperti Bok Tok (1913), Sia Hwee Po (1914) yang berubah menjadi majalah Tjhoen Tjhioe (1915).

Pewarta Surabaya

Sejarah baru persuratkabaran di Surabaya diledakkan oleh seorang pengusaha Cina bernama The Kiang Sing, tanggal 28 April 1905. Dia bersama The Kian Lie, The Kian Hien dan tan Swan Ie, dengan dibantu orang Balanda bernama HWR Kommer sebagai pemimpin redaksi menerbitkan suratkabar dagang Pewarta Soerabaia.

Suratkabar Pewarta Soerabaia yang diterbitkan di Jalan Panggung Surabaya ini terus berkembang dengan beberapa kali penggantian manajemen. Perlu dicatat, koran ini mencetak banyak wartawan dan inilah koran yang waktu itu terbit lancar. Salah satu di antara wartawan senior yang kemudian tercatat sebagai perintis pers Indonesia di koran ini adalah RM Bintarti. Ia menjadi pemimpin redaksi menggantikan HWR Kommer yang meninggal dunia tahun 1925.

Tahun 1913, terbit pula suratkabar Oetoesan Hindia dan tahun 1914, suratkabar Tjahaja Timoer. Koran Oetoesan Hindia adalah koran pergerakan pemuda di Surabaya yang dipimpin HOS Tjokroaminoto yang juga ketua perkumpulan Syarekat Islam (SI). Dua wartawan ini yang dicatat sebagai wartawan kawakan waktu itu adalah: Sosrobroto dan Tirtodanoedjo.Data yang dihimpun dari katalog Perpustakaan Nasional di Jakarta, pada buku Perkembangan Pers Jawa Timur yang terbit tahun 1994, mengungkapkan, suratkabar kedua yang terbit di Surabaya bernama Oostpost. Kehadiran suratkabar ini pertamakali diketahui melalui iklan yang dimuat dalam suratkabar SNeA terbitan 8 Januari 1853 yang dicetak pada percetakan E.Fuhri. Tahun 1870, suratkabar ini berganti nama menjadi Het Soerabajasch Handelsblad yang didukung oleh kelompok pengusaha pabrik gula di Jawa Timur.

Suratkabar ini benar-benar membawa misi pemerintahan kolonial Belanda, sehingga pimpinan koran ini, M Van Geuns menulis kritik tajam kebijakan Gubernur Jenderal Idenburg yang memberi kesempatan kepada organisasi pergerakan nasional waktu itu: Boedi Oetomo, Syarekat Islam dan Indische Partij.

Ternyata minat baca warga Surabaya waktu itu meningkat, sehingga tahun 1861, JJ Nose menerbitkan pula koran Nieuwsbode. Di sini persaingan mulai dirasakan penerbit SNeA dan Oostpost. Bahkan, untuk menarik peminat lebih banyak, Oostpost ganti nama menjadi Soerabajasch Courant yang semula terbit mingguan menjadi empat kali seminggu.

Melihat perkembangan suratkabar di Surabaya dan juga di Jakarta, Padang dan Medan, tahun 1856, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Undang-undang tentang percetakan dan pers: Reglement op de Drukwerken in Nederlandesch Indie atau gampangnya disebut: Drukpers Reglement. UU ini mengatur dan mengawasi hasil percetakan dan penerbitan pers.

Berbagai suratkabar kemudian terbit di Surabaya, namun usianya tidak ada yang lama.Di antaranya bernama: Soerabajasch Weekblad (1851), De Militaire Courant (1863), Indische Spectater (1870), Insulinde (1878) Indische Kinder Courant (1879), De Indische Opmeker (1880), Het Jonge Indie (1885), Thieme’s Nieuws Advertentieblad (1886) dan Onze Getuigenis (1887). Rata-rata koran ini berusia satu hingga dua tahun, kecuali De Indische Opmeker bertahan enam tahun (1882-1888) dan Thieme’s Nieuws en Advertentiablad (1886-1909) atau 13 tahun.

Suratkabar Soerabajasch Handelsblad yang terbit sejak pertengahan abad ke-19 itu bertahan sampai tahun 1957. Dihentikannya penerbitan koran terbesar di Surabaya ini, sebagai akibat kebijakan Pemerintah RI yang tidak membolehkan warga Belanda memimpin suratkabar.

Pada umumnya koran yang terbit waktu berbahasa Belanda. Sedangkan yang menggunakan bahasa Indonesia (Melayu), terbit untuk pertama kalinya di Surabaya bernama: Soerat Kabar Bahasa Melajoe. Edisi perdana koran ini terbit hari Sabtu tanggal 12 Januari 1856, bertepatan dengan 3 Jumadil Awal 1784 tahun Jawa atau 1372 tahun Hijriyah dan 4 Tjap-djie Gwee tahun Iet Bow.

Setahun kemudian, 3 Januari 1866, terbit pula suratkabar berbahasa Melayu bernama Bientang Timoer yang kemudian diubah menjadi Bintang Timor yang dipimpin orang Belanda bernama TCE Bouquet. Peredarannya, tidak hanya di Jawa Timur dan sebagian wilayah Indonesia, tetapi juga sampai ke Eropa.

Suratkabar lain yang terbit dengan menggunakan bahasa Melayu lainnya yang terbit akhir tahun 1800-an, adalah: Bintang Soerabaia, Tjahaja Moelia dan Batara Indra. Menyusul di awal abad ke-20, juga terbit koran bahasa Melayu-Tionghoa, seperti: Bok Tok (1913), Sia Hwee Po (1914) yang berubah menjadi majalah Tjhoen Tjhioe (1915).

Sejarah baru persuratkabaran di Surabaya, diledakkan oleh seorang pengusaha Cina bernama The Kiang Sing tanggal 28 April 1905. Dia bersama The Kian Lie, The Kian Hien dan Tan Swan Ie, dengan dibantu orang Belanda bernama HWR Kommer sebagai pemimpin redaksi menerbitkan suratkabar dagang Pewarta Soerabaia.

Suratkabar yang diterbitkan di Jalan panggung Surabaya ini terus berkembang dengan beberapa kali penggantian manajemen. Dan yang perlu dicatat, koran ini mencetak banyak wartawan. Dan inilah koran yang waktu itu terbit lancar. Salah satu di antara wartawan senior yang kemudian tercatat sebagai perintis pers Indonesia di koran ini adalah RM Bintarti. Ia menggantikan HWR Kommer yang meninggal dunia tahun 1925, sebagai pemimpin redaksi.

Menyusul terbit pula suratkabar Oetoesan Hindia (1913) dan Tjahaja Timoer (1914). Oetoesan Hindia merupakan koran pergerakan pemuda di Surabaya yang dipimpin HOS Tjokroaminoto yang juga ketua Syarekat Islam (SI). Dua redaktur suratkabar ini yang dicatat sebagai wartawan kawakan waktu itu adalah: Sosrobroto dan Tirtodanoedjo. (Bersambung)

HOS Tjokroaminoto selaku pemimpin umum dan pemimpin redaksi Suratkabar Oetoesan Hindia (baca: Utusan Hindia) yang terbit awal abad ke 20, dikenal sebagai seorang wartawan dan penulis tajuk rencana yang tajam. Isi dan gaya penulisannya dapat dicontoh wartawan sekarang, lebih-lebih dalam memilih soal yang dibincangkan, ungkap Soedarjo Tjokrosisworo dalam buku “Memperingati HOS Tjokroaminoto”.

Kiprah pak Tjokro – begitu pendiri perkumpulan Syarikat Islam (SI) biasa dipanggil – benar-benar mampu mengembangkan pers nasional dari Surabaya. Koran yang dipimpinnya beredar luas di kalangan masyarakat, bahkan menjadi bacaan “wajib” bagi para pejuang dan perintis kemerdekaan. Antara tahun 1916-1919, suratkabar yang terkenal dengan singkatan OH ini mencapai puncaknya. Sejumlah tokoh pergerakan terlibat dalam penulisan di suratkabar ini. Di antaranya: H.Agus Salim, Dr.Tjiptomangunkusumo, Alimin, Abdul Muis, Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara dan Suryopranoto.

Soekarno alias Bima

Ada seorang penulis muda yang menggunakan nama Bima dalam laporan dan tulisannya. Laporan-laporan yang ditulisnya cukup tajam dan dinilai sangat berani di masa penjajahan Belanda itu. Wartawan asuhan Tjokroaminoto ini berulangkali menurunkan berita pemberontakan yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Misalnya, pemberontakan di Jambi, Sumatera pada Agustus-September 1916 yang menewaskan seorang kontrolir Belanda bernama Walter dan sejumlah pegawai pamongpraja setempat.

Tidak hanya itu, Bima yang merupakan nama samaran Soekarno – murid pak Tjokro yang kemudian menjadi Presiden RI pertama — juga menulis pemberontakan di Toli-toli, Sulawesi Tengah. Pembangkangan rakyat ini mengakibatkan tewasnya kontrolir de Kat Angelino dan sejumlah pegawai pamongpraja pada Juni 1919. Dia juga menulis peristiwa pemberontakan yang dipimpin Haji Hasan di Cimareme, Garut tanggal 7 Juli 1919. Peristiwa yang dikenal dengan SI Afdeling B menjadi berita besar di OH.

Akibat pemberitaan ini, pak Tjokro yang biasa juga disebut kiyai-ne ini selaku pemimpin redaksi OH ditangkap, diadili dan dijatuhi hukuman satu tahun penjara. Namun kemudian hukuman terhadap pak Tjokro dibatalkan oleh Hoogerechtshof (Pengadilan Tinggi), kendati sempat meringkuk di penjara Kedungjati.

Saat pak Tjokro berada di balik terali besi, suratkabar OH yang terbit dua hari sekali ini terguncang. Pengelolaan jadi kacau, akibat kesulitan dana untuk membiayai percetakan. Akhirnya, terpaksa menghentikan penerbitannya.

Selain OH, tahun 1915 di Surabaya tercatat ada dua suratkabar berbahasa Indonesia. Satu lagi Mingguan Java Herald. Koran yang terbit perdana, Sabtu, 2 Januari 1915 itu dipipin oleh Kwee Hing Tjiat dengan dua staf redaksinya, Liem Tjhioe dan Tji Tjip Leng. Suratkabar yang banyak memuat iklan ini juga punya tulisan khusus tentang negeri Tiongkok. Namun koran ini hanya bertahan satu tahun (1915-1916). Ada lagi koran mingguan Selompret Hindia, usianya lebih panjang, selama dua tahun. Tahun 1917, koran inipun hilang dari peredaran.

Kendati ada koran yang tenggelam, juga ada koran baru yang terbit. Ini merupakan dinamika kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya di Surabaya pada awal abad ke 20. Sebagai dampak kebangkitan nasional, tahun 1916-1917 terbit pula empat suratkabar baru di Surabaya. Satu berbahasa Belanda dan tiga lainnya berbahasa Melayu. Uniknya suratkabar Tjahaja Selatan (baca: Cahaya Selatan), diterbitkan oleh seorang pengusaha bangsa Jepang, mantan direktur Bank Taiwan di Surabaya, bernama Yanagi. Dia dibantu oleh Kawabata dan Sukimaru. Salah seorang redaktur suratkabar mingguan ini adalah RM Bintarti.

Suratkabat berbahasa Belanda bernama De Schatter dengan edisi terbit dwimingguan. Koran ini hanya bertahan satu tahun (1917-1918). atu lagi koran terbit di Surabaya, suratkabar mingguan Sinar Islam, yang ternyata mampu bertahan setahun (1917-1918). Kemudian muncul suratkabar Soeara Perdamaian yang bertahan selama sepuluh tahun hingga 1927.

Memang, begitulah dunia penerbitan mediamassa. Ada yang terbit dan bertahan lama, ada pula yang terbit tidak menentu. Tahun 1918, tercatat ada suratkabar bernama Pangkal Kemadjoean dan suratkabat Oetoesan Islam, serta majalah Kawan Kita Jang Toeloes (Kawan Kita yang Tulus). Majalah ini dipimpin H.Mas Mansjoer dengan staf redaksi antara lain: RH Mohammad Issam dan M.Sosrosoegondo.

Ada pula peristiwa yang menarik yang patut dicatat. Masyarakat Tionghoa-Melayu menerbitkan majalah Tjhoen Tjhioe di Surabaya, dengan edisi perdananya terbit 15 Oktober 1918. Dalam waktu singkat, suratkabar ini tersebar ke seluruh penjuru tanahair. Agen dan perwakilannnya ada di Semarang, Jakarta, Bandung, Pekalongan, Padang dan Medan. Gerakan kaum muda Tionghoa ini cukup gesit. Selain berbisnis, mereka juga menghimpun kekuatan dengan melempar gagasan pembentukan Journalistenbond Tionghoa di Hindia Belanda.

Pada tahun yang sama terbit pula majalah berbahasa Arab, Al Iqbal dan koran berbahasa Belanda, bernama Anita. Kemudian terbit koran OIBA yang terbit bulanan di bawah pimpinan M.Oeripan dengan stafnya M.Imam Djadjri dan HOS Tjokroaminoto. Suratkabar yang menyalurkan aspirasi kaum pergerakan ini diterbitkan oleh Perserikatan Pegawai Pamongpraja Bumi Putera yang tidak berdiploma Osvia atau Ongediplomeede Inlandsch Bestuur Ambtenaaren (OIBA). Menyusul terbit pula koran As-Salam dan Al-Irsyad. Keduanya berbahasa Arab. Tahun 1920, terbit koran Soeara Boemipoetra yang bertahan sampai tahun 1925.

Selain di Surabaya, koran-koran dan majalah juga terbit di berbagai kota di Jawa Timur, seperti di Malang, Kediri dan Tulungagung. Di Surabaya, salah satu koran yang terbit tahun 1924 adalah Fadjar. Kemudian Soeara Perdamaian dan Sin Jit Po. Koran Sin Jit Po ini semula bernama Sin Po Oost Java Editie yang dipimpin Phoa Tjun Hwat ini bertahan hingga tahun 1942. Di sini salah seorang redakturnya, adalah RM Bintarti.

Panjebar Semangat

Atas prakarsa RM Bintarti, tahun sejak tahun 1925 bermunculan berbagai penerbitan pers, baik suratkabar, maupun majalah. Di Surabaya di bawah kordinasi RM Bintarti berdiri organisasi wartawan Asia bernama: Serikat Journalist Asia (SJA). Sedangkan di Jakarta, para aktivis wartawan bergabung dalam organisasi PERDI (Persatoean Djoernalis Indonesia) yang kemudian juga punya cabang di Surabaya.

Berbagai kasus delik pers yang diperjuangkan oleh PERDI, baik di Jakarta maupun di Surabaya. Waktu itu, pemerintah kolonial memang sangat ketat melakukan pengawasan terhadap tulisan wartawan-wartawan pejuang.

Untuk mengelabui pemerintah kolonial Belanda, tokoh perjuangan yang juga tokoh pers di Surabaya, dr.Soetomo menerbitkan suratkabar berbahasa Jawa, bernama “Panjebar Semangat”. Suratkabar yang terbit dalam bentuk lembaran sebanyak empat halaman itu, nomor perdananya diluncurkan 2 September 1933.

“Panjebar Semangat” memiliki misi utama untuk masyarakat pedalaman yang belum memahami bahasa Indonesia maupun Belanda. Sekaligus untuk mengelabui pihak Belanda yang kurang memahami bahasa Jawa. Dengan terbitnya koran ini, pesan-pesan perjuangan dapat langsung dicerna oleh masyarakat bawah. Itulah sebabnya bahasa Jawa yang digunakan adalah bahasa Jawa ‘ngoko’ (bahasa Jawa untuk kalangan masyarakat menengah), sehingga dapat menghilangkan feodalisme, ungkap penulis buku Perkembangan Pers Jawa Timur, mengutip dalih yang disampaikan dr.Soetomo waktu itu.

Suratkabar mingguan ini merupakan bacaan wajib anggota perkumpulan Boedi Oetomo (BO) dan Persatoean Bangsa Asia (PBA). Kedua perkumpulan yang dipimpin dr.Soetomo itu sama-sama beralamat di komplek GNI (Gedung Nasional Indonesia) Jalan Bubutan 87 Surabaya. Motto yang digunakan koran Penjebar Semangat adalah: “Suro Diro Djajadiningrat Lebur Dening Pangastuti”. Artinya: Segala kekuatan negatif yang ada di dalam masyarakat bisa ditaklukkan dengan lemah lembut dan penuh sopan santun, merendah dan bijaksana. Semboyan ini diambil dari kitab “Serat Witoradya” karangan Ronggowarsito.

Sebelum Panjebar Semangat terbit, tahun 1925 di Surabaya sudah ada belasan suratkabar dan majalah yang terbit. Mediamassa cetak itu ada yang menggunakan bahasa Arab, Melayu dan Belanda, bahkan Tionghoa. Koran dan majalah itu antara lain: Al Ahkam Jurnal Arabia (diterbitkan oleh Al Irsyad), Djangkar (terbitan Serikat Pekerja Pelabuhan), Proletar, Soeara Postel (diterbitkan SP Postel) dan Soeloeh Indonesia. Kemudian ada koran yang diterbitkan Tionghoa Kong Sin In Boen menerbitkan koran Soeara Poeblik yang tahun 1928 ganti nama menjadi Swara Poeblik dan bertahan terbit hingga tahun 1931.

Menjelang Sumpah pemuda tahun 1928, tulisan yang disajikan koran-koran yang diterbitkan kaum perjuangan semakin tajam menyoroti kolonial Belanda. Tahun 1927, ada sembilan penerbitan yang cukup lancar penerbitannya. Di antara koran itu, bernama: Perasa’an Kita yang diterbitkan oleh Persatuan Rakyat Sejati dan Sinar Indonesia dengan motto “menuntun kebenaran, keadilan dan persamaan bagi rakyat Indonesia.

Yang cukup unik dan menarik, ada penerbitan mingguan bernama ”Sendjata Indonesia” yang mottonya: mengajar ke arah kemerdekaan Indonesia pada keadilan, kebenaran dan persamaan. Dan ada pula koran mingguan bernama “Sepakat Indonesia”.

Kendati ada penerbitan yang merangsang semangat pemuda untuk bangkit, ada juga penerbitan yang menyerang para perintis kemerdekaan itu, yakni mingguan yang terbit di Surabaya, bernama: Djenggala. Koran yang dipimpin Ajat Djajadiningrat, cucu bupati Ngawi yang lulusan Osvia itu selalu menyerang dr.Soetomo yang dikenal dengan sebutan Grup Bubutan. Ajat dibantu oleh Isbandi, guru sekolah Taman Siswa dan Soedijono Djojopranoto yang terkenal saat itu dengan tulisannya menganai “Kube Affair”.

Ajat juga melakukan penyerangan melalui tulisan-tiulisan yang dimuat Djenggala terhadap tokoh Parindra (Partai Rakyat Indonesia), seperti: Soekardjo Wirjopranoto, Husni Thamrin, Mr.Iskak dan lain-lain.Wartawan-wartawan yang tergabung dalam grup Bubutan, seperti Imam Soepardi, Soedarjo Tjokrosisworo dan Roeslan Wongsokoesoemo juga menjadi bulan-bulanan majalah Djenggala ini.

Dengan gaya tulisannya yang bombastis itu, Djenggala mampu meraih banyak pembaca. Bahkan kemudian di tahun 1939, majalah ini berubah menjadi suratkabar harian dengan nama Express dan tidak lama kemudian mengubah ejaannya menjadi Ekspres. Pola penyajian tulisannya tetap menyerang lawan politiknya, sehingga beberapa redaktur yang tidak sepaham dengan Ajat mengundurkan diri.

Kebangkitan Pers Surabaya

Kebangkitan pers di Surabaya yang menunjang kebangkitan pers nasional terjadi tahun 1931, saat terbitnya suratkabar harian Soeara Oemoem (baca: Suara Umum). Koran ini diterbitkan oleh Soeloeh Ra’jat (baca: Suluh Rakyat) Indonesia, pimpinan Taher Tjindarboemi. Tulisan-tulisan dalam koran yang terbit rata-rata 3.000 eksemplar per-hari itu sangat tajam menyoroti pemerintahan penjajah.

Karena Tjindarboemi membuat tajuk yang berhubungan dengan pemberontakan di atas kapal Zeven Provincien, dia anggap melanggar undang-undang pemberedelan pers atau Persbreidel Ordonatie yang diberlakukan Pemerintah Hindia Belanda, 7 September 1931. Suratkabar ini juga dituduh melanggar Haatzai Artikelen, yaitu tulisan yang dianggap mengganggu ketertiban umum serta menyebarkan perasaan bermusuhan, kebencian dan penghinaan terhadap pemerintah Belanda.

Selain tajuk itu, beberapa tulisan yang disajikan wartawan koran Soeara Oemoem ini juga dinilai menghasut. Akibatnya, Taher Tjindarboemi ditahan tanpa diadili selama 18 bulan di penjara Kalisosok Surabaya, kemudian dipindah ke penjara Sukamiskin di Bandung. Bersamaan dengan Taher Tjindarboemi juga ditangkap pemimpin redaksi majalah “Masyarakat”, A.Barnawi Latif. Ia juga menulis artikel pemberontakan kapal Zeven Provincien. Namun nasib A.Barnawi Latif yang berkantor di kampung Rangkah, Surabaya, itu berbeda dengan Tjindarboemi. Tanpa melalui pengadilan ia langsung dibuang ke Digul di Irian Jaya.

Perjuangan para wartawan melalui mediamassa itu, kemudian mendapat penghargaan dari Pemerintah RI melalui Departemen Sosial. Taher Tjindarboemi ditetapkan sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan dan Dewan Pers memberikan gelar Perintis Pers Indonesia. Gelar yang sama juga dianugerahkan kepada: Abdul Rivai, Djamaluddin Adinegoro, Bakri Surjaatmadja, RM Djoko Mono Tirto Hadisoerjo, Dr.Douwes Dekker alias Setia Budhi, R.Mashoeri Darmosoegito, Dr.GSSJ Ratulangie, RM Bintarti, RM Soedarjo Tjokrosisworo dan Sutopo Wonobojo.

Bila diikuti sejarah dan perkembangan pers Indonesia di Surabaya khususnya, cukup menarik untuk dijadikan pelajaran. Timbul tenggelam penerbitan pers di zaman penjajahan itu menggambarkan semangat kejuangan para tokoh pers waktu itu. Kelihatannya, akibat misi utamanya perjuangan, mereka kurang memikirkan segi bisnisnya. Inilah yang mengakibatkan penerbitan masa perjuangan itu tidak banyak yang berumur panjang.

Menjelang perang Pasifik, di tahun 1940-an kegiatan penerbitan semakin “dapat angin”, karena pemerintah Belanda mulai kendur, karena mulai menghadapi serangan dari Jepang. Namun, situasi ekonomi kala itu tidak begitu menguntungkan, sehingga tidak banyak penerbitan baru yang muncul. Bahkan, saat Jepang mendarat di Surabaya, tahun 1942, semua penerbitan dan percetakan langsung dikuasai dan diawasi Balatentara Jepang.

Harian Soeara Oemoem diperbolehkan terbit, karena pemimpin redaksinya Abdul Wahab mempunyai hubungan baik dengan pihak Jepang. Namun, ia harus rela nama korannya diganti menjadi “Soeara Asia”.

Jepang Sensor Pers

Setelah Balatentara Jepang berkuasa di Indonesia, kegiatan pers di Kota Surabaya masih tetap semarak. Para wartawan dan pekerja pers tetap bersemangat. Sebagai tenaga profesional yang independen, mereka terus mengembangkan cakrawala jurnalistiknya. Perkembangan perang pasifik yang berkecamuk antara Balatentara Jepang dengan Sekutu dan kegiatan para pejuang kemerdekaan saling mendukung dalam pemberitaan suratkabar dan radio.

Saat pertama kali Jepang menginjakkan kakinya di bumi Indonesia, terhitung sejak 1 April 1942, diberlakukan ketentuan penggunaan waktu yang sama dengan waktu di Negara Sakura itu. Berikutnya Pemerintahan Jepang di Indonesia mengeluarkan Maklumat No.15 tanggal 29 April 1942 yang isinya kewajiban menggunakan tahun Nippon. Tahun 1942 diganti menjadi tahun 2602 atau sering disingkat 02.

Bagi masyarakat pers Indonesia, juga di Surabaya, sensor yang ketat dari Hodokan, yakni Dinas Pers Balatentara Dai Nippon juga sangat dirasakan. Waktu itu, mendengarkan siaran radio “musuh” atau Sekutu dilarang. Sensor diberlakukan untuk seluruh barang cetakan, terutama suratkabar harian, mingguan, bulanan dan berkala. Termasuk barang cetakan majalah, buku bacaan, buku pelajaran, selebaran, pengumuman, merek dagang, program bioskop dan undangan. Bahkan, studio foto diwajibkan mengirim film hasil cetakannya ke badan sensor sebelum diserahkan kepada yang memesan foto tersebut.

Untuk membatasi gerak pers, pembesar Balatentara Jepang di Jakarta, secara resmi mengeluarkan Undang-undang No.18 tanggal 25 Mei 1942 tentang “Pengawasan badan-badan pengumuman dan penerangan dan penilikan pengumuman dan penerangan”. Undang-undang yang memuat 11 pasal itu menjabarkan ketentuan tentang pengumuman dan penerangan kepada masyarakat umum. Selain berisi petunjuk untuk mendapatkan izin penerbitan dan larangan dalam penyiaran, juga ditetapkan pada pasal 11 tentang ancaman hukuman bagi pelanggar UU No.18 itu.

Selain ada suratkabar “Soeara Asia”, awal pendudukan Jepang di Surabaya, juga terbit suratkabar “Pewarta Perniagaan” dengan alamat di Aloon-aloon straat 30 (sekarang Jalan Pahlawan 116). Saat bersamaan muncul perwakilan suratkabar Jepang di Surabaya, namanya harian “Osaka Mainichi” dan “Tokyo Nichi-nichi Simbun” yang ke duanya menggunakan alamat redaksi di Jalan Tunjungan 100 Surabaya (persis di pokok Jalan Tunjungan dengan Jalan Embong Malang, sekarang dikenal sebagai Monumen Pers Perjuangan dan gedung ini digunakan oleh perusahaan jam Seiko).

Perubahan di dunia pers juga terjadi di kantor berita. Kantor berita “Aneta” oleh Jepang dilarang beroperasi, sedangkan kantor berita “Antara” boleh beroperasi dengan ketentuan ganti nama menjadi “Yashima”. Namun, kemudian menjadi kantor berita “Domei” bagian Indonesia. Suratkabar yang terbit, untuk berita luarnegeri hanya boleh mengambil dari kantor berita Domei.

Pengawasan yang ketat juga diberlakukan terhadap wartawan. Untuk memperoleh kartu wartawan, terlebih dahulu dilakukan penataran dan hanya yang lulus berhak mendapat kartu pers yang dikeluarkan oleh Jawa Shinbun Kai (organisasi sejenis Serikat Penerbit Suratkabar atau SPS di Jawa waktu itu). Salah satu data yang diungkap A.Latief dalam bukunya “Pers Indonesia di zaman Jepang”, menyebut wartawan suratkabar Soeara Asia yang lulus hanya 16 orang.

Ke 16 wartawan itu adalah: R.Toekoel Soerohadinoto, Abdoel Wahab, Imam Soepardi, Sie Tjin Goan, Mohammad Ali, Ronggodanoekoesoemo, Moch Sofwan Hadi, Sie Pek Ho, R.Abdoel Azis, JAA Pattiradjawane, A Dermawan Loebis, Mohammed, Sarif Roesdi, R.Soenarjo, Ibnoe Soejahman dan R.Koesen.

Walaupun pemerintahan Balatentara Jepang sangat ketat dalam sensor, mereka melakukan pembinaan kepada pemuda Indonesia dengan semangat Asia Raya. Dari itu diperoleh manfaat untuk menggalang semangat menuju Indonesia merdeka. Akhirnya setelah Jepang “bertekuk lutut” akibat jatuhnya bom atom di Hirosyima dan Nagasaki.

Berita Proklamasi

Pemberitaan tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia di Surabaya yang terjadi hari Jumat, 17 Agustus 1945, diterima di Surabaya 15 menit setelah Soekarno-Hatta mendeklarasikan naskah proklamasi di Jakarta. Berita itu diterima di kantor berita Domei Cabang Surabaya dari kantor berita Domei pusat di Jakarta dalam bentuk morse.

Isi lengkap morse yang disalin ke dalam huruf latin adalah:

bra djam 12.00 aug tg.17

domei 007 djakarta – (proklamasi)

kami bangsa indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan indonesia titik hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan dll diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja titik

djakarta hari toedjoeh belas boelan delapan 2605 titik

atas nama bangsa indonesia soekarno-hatta

rd at 1205

Berita yang diterima oleh markonis Jacob dan Soemadi itu diserahkan ke bagian redaksi. Kantor berita Domei waktu itu dipimpin seorang Jepang bernama Ohara. Anggota redaksinya adalah: Soetomo (Bung Tomo), RM Bintarti, Soemadji Adji Wongsokeosoemo (dikenal dengan panggilan Pak Petruk), Wiwik Hidayat dan Fakih. Bagian telekomunikasi diketuai Hidayat yang dibantu oleh Soejono, Jacob, Soemadi, Soewadji, Anwar Idris, Koesnindar, Soedarmo dan Koentojo.

Begitu berita yang diserahkan Jacob ke redaksi diterima, suasana di kantor Domei itu manjadi ramai. Perbincangan tentang kemerdekaan dan proklamasi itu menjadi berkepanjangan. Tetapi, sesuai prosedur berita itu diteruskan ke Hodokan (dinas Sensor). Petugas Hodokan marah dan menyatakan bahwa berita itu tidak benar. Berita itu ditahan dan tidak boleh disiarkan. Namun secara diam-diam, Jacob petugas kantor berita Domei meneruskannya ke Suratkabar Sore Harian Soeara Asia. Kebetulan kantornya bersebelahan, sama-sama di Aloon-aloon straat (kini gedung PT.Pelni Jalan Pahlawan).

Ternyata, Hodokan juga menyampaikan bantahan ke Soeara Asia, sehingga membuat redakturnya Mohammad Ali menjadi ragu-ragu. Padahal berita itu sudah diset untuk halaman 1 dengan judul “Proklamasi Indonesia Merdeka”. Tidak kehabisan akal, Mohamad Ali menginterlokal ke kantor berita Domei pusat di Jakarta. Dari Jakarta, penerima telepon yang bernama Ahmad, mengatakan berita itu benar dan valid. Teruskan saja, berita itu sudah betul. Namun konfirmasi itu dianggap terlambat, sedangkan halaman koran itu sudah terisi berita lain, sehingga berita “Proklamasi” itu hanya dimuat sebagai “Stop Press”, hari itu.

Berita Proklamasi Kemerdekaan RI dengan naskah lengkap disiarkan harian Soeara Asia, Sabtu, 18 Agustus 1945 yang dimuat di halaman pertama. Berita kemerdekaan tersiar dengan cepat, apalagi bersamaan dengan itu di mana-mana ditempel selebaran tentang proklamasi itu.

Monumen Pers Perjuangan

Dinding dengan tulisan “Monumen Pers Perjuangan Surabaya” yang terpampang di gedung di Jalan Tunjungan nomor 100 Surabaya, tentu akan menjadi tanda tanya masyarakat, terutama generasi muda. Gedung yang terletak di pojok Jalan Tunjungan dan Jalan Embong Malang itu memang merupakan tempat bersejarah bagi pers nasional di Surabaya dan Indonesia.

Kendati di gedung yang sekarang digunakan oleh perusahaan jam SEIKO, di masa perjuangan kemerdekaan mempunyai peran penting. Gedung ini dulu digunakan sebagai pusat kegiatan Kantor Berita Indonesia. Sekaligus markas pers pejuang di tahun 1945. Itulah sebabnya gedung ini dimasukkan ke dalam cagar budaya Kota Surabaya sebagai gedung bersejarah. Gedung ini dinamakan “Museum Pers Perjuangan Surabaya”.

Sangat disayangkan, museum ini belum diisi dengan alat peraga dan benda bersejarah, khususnya perangkat yang digunakan wartawan masa perjuangan atau foto-foto hasil liputan wartawan di masa itu. Bahkan, siapa yang mengelola museum inipun hingga kini belum jelas.

Kantor Berita Indonesia (KB Indonesia) ini berdiri secara resmi 1 September 1945 yang didirikan oleh mantan wartawan dan karyawan kantor berita Domei Cabang Surabaya. Sejak jatuhnya pemerintahan balatentara Jepang, kantor berita Domei Cabang Surabaya, bagaikan “kantor tak bertuan”. Karena tidak ada kegiatan, sebagian karyawan membawa peralatan kantor pulang ke rumah masing-masing. Alat-lat itu antara lain pesawat radio, pemancar dan penerima (transmitter dan receiver).

Selain pengiriman dan penerimaan berita melalui perangkat telekomunikasi dan morse, KB Indonesia juga menerbitkan bulletin berita bernama “Siaran Kilat”. Kantor berita ini, merupakan kantor cabang pertama yang melepaskan dirinya dari kantor pusat Domei di Jakarta. Kecuali itu dengan menerbitkan sendiri bulletin berita, para wartawannya menggunakan gedung ini sebagai markas wartawan dan pers pejuang.

Menurut Wiwiek Hidayat, mantan kepala cabang LKBN Antara Surabaya, yang merupakan salah seorang di antara wartawan KB Indonesia itu, sewaktu masih hidup kepada penulis bercerita tentang berbagai aktivitas di gedung itu. Salah satu yang berkesan, kata almarhum Wiwiek Hidayat, adalah kesempatan memotret dan memberitakan peristiwa perobekan bendera merah-putih-biru (bendera Belanda) di atas gedung hotel Orange (yang di zaman Jepang diganti namanya menjadi hotel Yamato). Para wartawan KB Indonesia merupakan saksi mata dan bahkan ada di antaranya menjadi pelaku aksi massa insiden perobekan bendera yang mengawali kisah perjuangan Arek Suroboyo pada tanggal 10 November 1945.

Ada yang berkesan bagi para wartawan pejuang ini, karena untuk kegiatan operasional KB Indonesia itu, modal kerjanya urunan di antara wartawan dan karyawan. Para wartawan yang bergabung pertama kali di KB Indonesia itu adalah: RM Bintarti, Amin Lubis dan Sjamsoel Arifin. Sedangkan yang mengolah pemberitaan di dapur redaksi adalah: Soetomo (Bung Tomo), Wiwiek Hidayat, Fakih Hassan, Mashoed, Ki Soemaduji Adji Wongsokoesoemo, Lukitaningsih, Soetojo, Toety Agoestina Askaboel (yang kemudian dikenal sebagai Ny.Toety Azis – Surabaya Post), Abdoel Wahab dan Soekarsono. Di bagian redaksi asing, ada Gadio Atmosantoso, Soedjoko, Rachmat dan Karmadi.

Di bagian telekomunikasi ditangani Hidajat (salah seorang pemberontak di atas kapal ‘Zeven Provincien’), Yacob, Soedarno, Soemarsono, Koesnandar, Soewardi, Hasan Basri, Alimoen, Ali Oerip dan Anwar Idris. Di bagian administrasi ada Mohammad Sin, Soemardjo, Soeidjo, Moeljaningsih dan Giman.

Sebagai kantor berita di negara Indonesia yang sudah resmi merdeka itu, KB Indonesia berperan menyampaikan berita ke dunia internasional. Sumber informasi KB Indonesia ini berasal dari siaran radio dalam dan luar negeri.

Yang menarik, setiap hari kantor ini ramai dikunjungi warga Surabaya, untuk membeca berita yang ditempel di depan gedung ini.

Tanggal 1 Oktober 1945, Arek-arek Surabaya melucuti senjata tentara Jepang dan mengambil alih beberapa kantor yang sebelumnya dikuasai Jepang. Salah satu di antaranya adalah gedung KB Domei di Alun-alun straat 30 (Gedung PT.Pelni di Jalan Pahlawan 112 sekarang). Karena kantor ini mempunyai peralatan yang cukup lengkap, KB Indonesia dipindahkan ke sini. Tetapi, penerbitan bulletin “Siaran Kilat” tetap di Tunjungan 100.

Bung Tomo bersama Jacob berangkat ke Jakarta. Bung Tomo berhasil menemui Presiden Soekarno dan melaporkan tentang aksi arek Surabaya melucuti senjata tentara Jepang. Kesempatan berada di Jakarta itu digunakan pula oleh Jacob, menemui Adam Malik yang juga mendirikan Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara 1 September 1945. Nah, karena KB Indonesia di Surabaya beridri sendiri, maka Jacob minta izin kepada Adam Malik untuk menggabungkan KB Indonesia Surabaya menjadi bagian LKBN Antara. Setelah mendapat persetujuan, resmilah berdiri LKBN Antara Cabang Surabaya.

Akibat peperangan dengan tentara Sekutu dalam peristiwa 10 November 1945, LKBN Antara terpaksa memboyong perangkat kerjanya dan alat komunikasinya ke rumah Wiwiek Hidayat di Mojokerto. Di sini Wiwiek Hidayat bersama RM Bintarti terus melakukan kegiatan LKBN Antara dan wartawan lainnya melakukan kegiatan dalam pengungsian yang terpencar di Sidoarjo, Bojonegoro dan Malang, serta ada pula yang bertahan di Surabaya.

Dalam pengungsian itu pula, beberapa wartawan menerbitkan suratkabar. Soedjono dengan beberapa wartawan tetap menerbitkan Siaran Kilat. Amartiwi dan A.Azis menerbitkan Soeara Rakjat (baca: Suara Rakyat) di Malang, kemudian bekerjasama dengan Moch.Sofwanhadi, koran Soeara Rakjat diboyong ke Surabaya. Dalam kancah pergolakan dalam peristiwa 10 November, koran ini kemudian dipimpin oleh R.Toekoel Soerohadinoto. Selain memberitakan pertempuran, koran ini juga memuat nama-nama pejuang dan arek-arek Surabaya yang gugur.

Akibat pemberitaan Soeara Rakjat yang cukup tajam dan dinilai menghasut rakyat, membuat penguasa dari pihak Inggris melakukan tekanan dan teror terhadap penerbit Soeara Rakjat.

Setelah suasana di Surabaya agak aman, kantor LKBN Antara melakukan kegiatan di rumah Wiwiek Hidayat di Jalan Raya Ketabang (sekarang Jalan Jaksa Agung Suprapto). Menurut Syahrul Bachtiar Hidayat, salah seorang putra almarhum Wiwiek Hidayat, rumah itu dipergunakan sampai tahun 1960-an sebagai kantor LKBN Antara Surabaya. Akhir tahun 1950-a, kembali menempati kantor di Jalan Pahlawan 114 dan kemudian pindah ke kantor Gubernur Jatim Jalan Pahlawan 110.

Setelah Wiwiek Hidayat pensiun tahun 1980, pimpinan LKBN Antara Surabaya diganti oleh Atmo Kurdi (1980-1992), kemudian Tukidjan (1992-1999). Pada tahun 1997, dilakukan pembenahan kantor gubernur dan kantor LKBN Antara pindah ke kantor sendiri di Jalan Darmo Baru Barat 58 Surabaya. Sejak tahun 1999, pimpinan LKBN Antara Surabaya dipercayakan kepada Indro Sulistyo yang juga menduduki jabatan Sekretaris PWI Cabang Jawa Timur. Indro mengakhiri tugasnya 20 Oktober 2005 dan ia digantikan oleh Ny.Farocha. Farocha digantikan oleh Kliwantoro, seterusnya beralih kepada Akhmad Munir.

Selalu Jadi Pelopor

Warga Kota Surabaya dan Jawa Timur layak bangga di bidang pers. Sebab, di kota perjuangan ini pulalah para wartawan melakukan perjuangannya melalui mediamassa atau pers. Kecuali itu, berbagai gebrakan yang dilakukan para “kuli tinta” – begitu sebutan untuk wartawan – di Surabaya ini banyak memberi warna terhadap perkembangan pers di Indonesia.

Di awal kemerdekaan RI, menjelang peristiwa bersejarah Hari Pahlawan 10 November, peran wartawan mengobarkan semangat juang tidak hanya melalui media cetak atau suratkabar, tetapi juga menggunakan siaran radio. Kendati Sutomo alias Bung Tomo berkedudukan sebagai redaktur di Kantor Berita (KB) Indonesia yang kemudian ganti nama menjadi LKBN Antara, ia juga “galak” di depan corong radio. Pidatonya yang berapi-api mampu membakar hati arek-arek Suroboyo melalui radio BPRI (Badan Pemberontakan Rakyat Indonesia).

Selain suratkabar Soeara Rakjat dan buletin Siaran Kilat, saat Belanda bersama Sekutu kembali menduduki Indonesia, beberapa suratkabar yang terbit bersama wartawannya dalam pengungsian. Ada Djojobojo (baca: Joyoboyo) terbit di Kediri, Api Rakyat di Madiun, Perdjoeangan, Repoeblik dan Bhakti di Mojokerto, Djiwa Repoeblik dan Berdjoeang di Malang, kemudian ada suratkabart Peladjar Berdjoeang di Blitar, serta beberapa penerbitan dengan tiras terbatas.

Setelah penyerahan kedaulatan dari Pemerintah Belanda kepada Indonesia, 27 Desember 1949 keadaan di dalam negeri mulai terkendali. Pemerintahan mulai menata diri, demikian pula dengan masyarakat persnya. Era tahun 1950 hingga 1959 disebut juga sebagai era “Demokrasi Liberal”. Suasananya, hampir sama dengan era Reformasi tahun 1999 hingga 2004 sekarang ini. Penerbitan pers dan siaran radio muncul bagaikan jamur di musim hujan. Begitu pula di Surabaya.

Siapa saja yang merasa punya modal dan berkeinginan melakukan penerbitan, menerbitkan majalah dan suratkabar. Namun, para penerbit dan wartawan profesional jugalah yang mampu bertahan, sedangkan yang amatiran satu per-satu bangkrut dan gulung tikar.

Suratkabar yang cukup lama bertahan di era ini adalah koran Berita, Trompet Masjarakat, Pewarta Soerabaia, Perdamaian dan Java Post. Harian Berita yang dipimpin A.Azis kemudian menghentikan penerbitannya dan bergabung ke Suara Rakyat yang terbit kembali setelah terhenti beberapa saat. Namun, pada tanggal 1 April 1953, A.Azis menerbitkan suratkabar berbentuk tabloid bernama Surabaya Post.

Koran Surabaya Post benar-benar mampu menjadi raksasa di Surabaya, tidak hanya di era Demokrasi Liberal (1950-1959) dan era Demokrasi Terpimpin (1959-1966), tetapi lebih berjaya lagi di era Demokrasi Pancasila (1966-1999). Namun masa jaya Surabaya Post menjadi pudar, tatkala Ny.Toety Azis sebagai penerus manajemen yang menggantikan suaminya A.Azis, tidak berhasil menghadapi tantangan di era Reformasi ini.

Harian Java Post yang dipimpin Goh Tjing Hok dikenal sebagai koran berani. Selain Goh Tjing Hok sendiri yang penulisannya cukup tajam dan kritis. Ditambah lagi dengan keberanian penulisan opini oleh redakturnya RM Moestopo (wartawan yang aktif hingga usianya menjelang 80-an sekarang ini). Kemudian Goh Tjing Hok ke luar dari Java Post dan mendirikan majalah Liberal (kemudian ganti nama menjadi Liberty).

Java Post kemudian ditangani oleh The Chung Sen (Suseno Tedjo) sebagai pemimpin umum dan Thio Oen Sik (Setyono) sebagai pemimpin redaksi. Koran inipun mampu bertahan dalam persaingan antarsuratkabar waktu itu. Dan kemudian, suratkabar yang berkantor di Jalan Kembang Jepun ini ganti nama menjadi Jawa Pos. Sejak om Te – begitu almarhum Suseno Tedjo akrab disapa — menyerahkan pengelolaan Jawa Pos kepada Dahlan Iskan yang waktu itu sebagai kepala perwakilan Majalah Tempo di Surabaya tahun 1983, terjadi perubahan yang sangat pesat. Jawa Pos berhasil menjadi sebuah grup mediamassa yang menggurita di Nusantara.

Ada lagi Koran Pewarta Soerabaia yang kemudian berubah menjadi Pewarta Surabaya dan Harian Umum. Pada era Demokrasi Liberal sampai Demokrasi Terpimpin atau juga disebut masa Orde Lama, koran ini mempunyai pelanggan khusus di kota Surabaya. Selain berita-berita umum, koran ini lebih mengarahkan pemberitaannya ke dunia niaga. Sehingga, koran ini menjadi “koran wajib” para pejabat pemerintahan dan pengusaha yang waktu itu terpusat di sekitar Kembang Jepun.

Selain ada majalah Panyebar Semangat dan Joyoboyo yang berbahasa Jawa, juga ada majalah Duta yang juga berbahasa Jawa. Sedangkan majalah lainnya di samping Liberty, di Surabaya pada masa Orde Lama itu, di kota Surabaya terbit majalah Skets Masa yang berskala nasional, bertiras besar dan beredar di seluruh Indonesia. Dan satu majalah hiburan bernama Tjermin.

Setelah Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit tanggal 5 Juli 1959, terjadi berbagai pembatasan dalam penerbitan pers. Penerbitan tidak sebebas di masa Demokrasi Liberal. Di era Demokrasi Terpimpin itu, keluarlah ketentuan tentang SIT (Surat Izin Terbit). SIT dikeluarkan secara ketat dengan persyaratan yang yang cukup berat oleh Departemen Penerangan. Tidak hanya SIT, bahkan kemudian pemerintah mengeluarkan ketentuan SIC (Surat Izin Cetak).

Situasi perpolitikan nasional waktu itu semakin panas. Hal ini berimbas terhadap dunia pers, termasuk penerbitan pers di Surabaya. Suratkabar dianjurkan untuk bernaung di bawah payung atau underbuow partai politik dan organisasi kemasyarakatan (parpol dan ormas) yang diakui pemerintah. Akibatnya, wartawan terpengaruh oleh misi suratkabarnya, walaupun ada yang tetap berusaha untuk independen.

Gambaran yang diperlihatkan pada era Demokrasi Terpimpin itu, adalah pada pengaruh parpol dan ormas besar terhadap pers. Suratkabar Suluh Indonesia (di bawah PNI), Duta Masyarakat (milik NU), Harian Rakyat (PKI), Bintang Timur (Partindo), Api Pantjasila (IPKI), Nusa Putera (PSII), Kompas (Partai Katholik), Sinar Harapan (Parkindo), Mertju Suar (Muhammadiyah) dan Fadjar Baru (Perti).

Runtuhnya pemerintahan Orde Lama dan munculnya Orde baru, mengubah wajah penerbitan pers di Indonesia. Para wartawan di akhir zaman Orde Lama seolah-olah berada di bawah cengkeraman PKI (Partai Komunis Indonesia), bagaikan “merdeka”. Mereka seolah-olah lepas dari belenggu Demokrasi Terpimpin. Walaupun demikian, di masa Orde baru bukanlah surga bagi para jurnalis atau wartawan. Di masa ini, wartawan dikenakan ketentuan yang seirama dengan Demokrasi Pancasila.

Pemerintahan Orde baru melalui Deppen memberlakukan berbagai aturan hukum yang membatasi gerak pers. Selain penerbitan harus mempunyai SIT yang kemudian diubah menjadi SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), juga ada ketentuan yang cukup popular, yakni: “Kebebasan Pers yang bebas dan bertanggungjawab”.

Masa Jaya Surabaya Post

Penataan mediamassa di Surabaya pada awal tahun 1970-an, tidak lepas dari pengaruh politik Pemerintahan Presiden Soeharto. Saat ini pemerintah Orde Baru mulai memperlihatkan kekuasaannya. Penerbitan pers kembali jadi ajang “pembelengguan”.

Situasi politik menjelang dan sesudah peristiwa 15 Januari 1974 yang dikenal dengan Malari (Malapetaka 15 Januari) di Jakarta cukup panas. Surabaya juga merasakan kehangatan suhu politik itu. Gejolak yang terjadi di ibukota berdampak langsung ke seluruh wilayah di Indonesia. Dunia pers dan jurnalistik yang selalu terlibat dalam berbagai kegiatan opini, tidak lepas dari pengaruh kekuasaan.

Salah satu arogansi kekuasaan yang diperlihatkan pemerintahan Orde Baru ini adalah melakukan pembredeilan atau memerintahkan pemberhentian penerbitan beberapa suratkabar di Jakarta. Di antaranya, tiga, yakni “Indonesia Raya” yang dipimpin H.Muchtar Lubis, “Pedoman” yang dipimpin H.Rosihan Anwar dan Harian KAMI yang dipimpin oleh H.Nono Anwar Makarim. Ke tiga SKH ini dilarang terbit, karena pemberitaannya menyudutkan pemerintahan.

Di Surabaya juga ada Harian Kami edisi Jatim yang dipimpin Sunansari Ecip (sekarang sebagai doktor komunikasi yang jadi staf pengajar di UI Jakarta dan Unhas Makasar) yang berafiliasi ke Harian Kami Jakarta. Dengan dibreidelnya Harian Kami di Jakarta, yang di Surabaya juga ikut dihentikan. Waktu itu, Harian Berita Yudha dan Harian Angkatan Bersenjata juga menerbitkan edisi Jatim. Kemudian Berita Yudha mengganti namanya mejadi Harian Bhirawa yang dipimpin Kolonel (TNI-AD) H.Moh Said (alm) dan Angkatan Bersenjata menjadi Indonesia Bangun yang dipimpin oleh dr. Abdul Gafur (waktu itu Mayor TNI-AU dan terakhir dikenal sebagai mantan Menteri Pemuda dan Olahraga). Semuanya sudah terbit kecuali Harian Bhirawa.

Tahun 1970-an ini memang masa kritis berbagai suratkabar. Beberapa koran harian berhenti terbit akibat krisis pendanaan dan tekanan politik penguasa. Harian Perdamaian setelah 20 tahun berkiprah di Surabaya, tidak mampu mempertahankan manajemennya. Begitu pula dengan harian suluh Berita dan harian La Patria. Nasib yang sama juga dialami harian Sinar Kota, Bintang Baru, Suara Rakyat dan Pewarta Surabaya.

Koran-koran harian yang bertahan di awal tahun 1970-an hingga tahun 1980-an ini di samping Jawa Pos dan Surabaya Post, adalah Bhirawa, Karya Darma dan Memorandum (sebelumnya bernama Mingguan Mahasiswa). Koran Mingguan, adalah: Pelita Kota yang kemudian menjadi Harian Radar Kota, Mingguan Surabaya Ekspres, Mingguan Tri Brata (ganti nama menjadi Ajibrata, kemudian berubah menjadi majalah Fakta hingga sekarang), Mingguan Asas dan Surabaya Minggu. Sedangkan majalahnya adalah: Jaya Baya, Penyebar Semangat, Liberty, Semesta dan Mentari (Putera Harapan).

Timbul-tenggelamnya penerbitan pers di Surabaya, memang tidak lepas dari pengaruh Undang-undang Pokok Pers atau UU No.11 tahun 1966 yang kemudian diubah menjadi UU No.4 tahun 1967, pemerintah menerapkan ketentuan-ketentuan tentang pers. Pengetatan terhadap dunia jurnalistik dilakukan pula dengan penerapan sistem wadah tunggal. Menteri Penerangan dengan SK No.47 tahun 1975, menetapkan bahwa PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) sebagai satu-satunya organisasi wartawan dan SPS (Serikat Penerbitan Suratkabar) sebagai satu-satunya organisasi penerbitan pers di Indonesia. Dengan demikian, organisasi wartawan kampus yang bernama IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia) dan beberapa organisasi wartawan lainnya tidak diakui pemerintah.

Akibat berbagai ekses yang terjadi, UU Pokok Pers mengalami perubahan menjadi UU No.21 tahun 1982. Dalam UU ini ditetapkan pula ketentuan tentang SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) sebagai pengganti SIT (Surat Izin Terbit). Peralihan izin terbit dari SIT menjadi SIUP ditetapkan dengan Peraturan Menteri Penerangan No.1 tahun 1984. Sejak saat itu, terjadi seleksi alam dalam dunia penerbitan. Hanya penerbitan yang mempunyai modal besar yang mampu terbit dengan baik, sedangkan yang pas-pasan banyak yang bangkrut dan hilang dari peredaran.

Bagi masyarakat pers, boleh dikatakan zaman pemerintahan Orde Baru di Kota Surabaya adalah era kejayaan suratkabar harian (SKH) Surabaya Post. Namun, setelah ditinggal pendirinya A.Azis dan Ny.Toety Azis, koran yang terbit sore hari ini, akhirnya gulung tikar.

Sekarang ada koran baru bernama “Surabaya Post”, sama sekali tidak punya hubungan manajemen dengan keluarga A.Azis. Namun para pendiri dan pengasuhnya berasal dari mantan wartawan dan karyawan Surabaya Post. Saat pertama terbit, mantan wartawan dan karyawan Surabaya Post mendirikan penerbitan bernama “Surabaya Pos” tanpa “t”. Tidak lama kemudian “Surabaya Pos” berganti nama menjadi “Surabaya News”. Koran yang berkantor di ruko di Jalan Raya Gubeng ini kemudian pindah ke ruko di Jalan Bukit Darmo Golf Regency Kav.31-32 Surabaya.

Pengelola baru Surabaya Post, mengajukan hak paten ke Departemen Hukum dan HAM di Jakarta. Ternyata berhasil, sehingga pengelola Surabaya Post yang sekarang memperoleh “hak cipta”. Surabaya Post sebagai merek yang dikelola keluarga A.Azis belum terdaftar sebagai sebuah badan hukum dan merek dagang. Konon yang terdaftar di Departemen Kehakiman adalah “PT.Surabaya Post Printing”.

Jawa Pos Menggurita

Berbeda dengan “kerajaan” Jawa Pos yang sudah meninggalkan kawasan Kembang Jepun dan bersinggasana di Graha Pena Jalan A.Yani Surabaya, semakin menggurita. Semula Jawa Pos mulai mengambilalih pengelolaan beberapa suratkabar yang terbit di Surabaya dengan sistem kerjasama. Koran dan majalah yang terbitnya mengalami kesulitan dana mendapat subsidi dari Jawa Pos. Dimulai dari SKH Suara Indonesia, kemudian SKH Karya Dharma, SKM Surabaya Minggu dan Majalah Liberty. Setelah itu, di bawah komando Dahlan Iskan, pengambilalihan manajemen SKH meluas ke luar Jawa Timur.

Suratkabar yang pernah berjaya di suatu daerah di berbegai provinsi di Indonesia disuntik dana segar. Tenaga menejemen dan tenaga wartawan yang profesional oleh Jawa Pos yang berada di bawah payung Majalah Tempo dikirim untuk “melatih” tenaga setempat. Koran-koran di daerah yang semula terpuruk, kembali bangkit. Pada awalnya antara lain: Fajar di Makassar, Cahaya Siang di Manado, Semarak Bengkulu di Bengkulu, Suara Maluku di Ambon, Riau Pos di Pekanbaru, Suara Nusa di Mataram, Manungtung di Balikpapan dan Sumatera Ekspress di Palembang.

Sekarang koran-koran itu sudah banyak yang berganti nama dan jumlahnya sudah 180 penerbitan lebih di seluruh ibukota provinsi dan beberapa kota kabupaten di Indonesia. Di bawah manajemen Grup Jawa Pos ini penerbitannya memanfaatkan jaringan teknologi informasi dan komunikasi mutakhir, yang dikenal dengan JPNN (Jawa Pos News Network). Dengan menggunakan sistem ini, Jawa Pos melakukan pula proses cetak jarak jauh. Selain menggunakan nama lama, kini salah satu di antara ciri suratkabar yang bernaung dalam grup Jawa Pos menggunakan nama “Radar”, misalnya: Radar Surabaya, Radar Bogor dan lain-lain disuaikan dengan nama kota aeau daerah koran itu diedarkan. Pengelola “Radar-Radar” ini dikordinasikan oleh sebuah perusahaan, di antaranya: PT.Radar Timur yang mengelola suplemen dalam Radar yang berada di dalam tiras Jawa Pos. Ada Radar Malang, Radar Bojonegoro, Radar Kediri, Radar Bromo, Radar Madiun dan sebagainya.

Melihat kekuatan Jawa Pos yang dulu mempopularkan motto “Koran nasional yang terbit dari Surabaya” semakin menggurita, maka penerbitan besar di Jakarta Grup Kompas Gramedia bersama Grup Pos Kota melakukan kerjasama meningkatkan manajemen Mingguan Surya menjadi Harian Surya. Dalam perjalanannya, Grup Pos Kota menarik diri, sehingga Harian Surya kini hanya dikelola oleh Grup Kompas.

Di akhir masa Orde Baru dan memasuki era Reformasi, Surabaya Post benar-benar kehilangan pamor dan bangkrut, sementara Grup Jawa Pos semakin berjaya dan Harian Surya, tetap eksis. Kendati sempat menjadi grup Jawa Pos, Harian Bhirawa akhirnya mampu mandiri. Majalah yang bertahan dengan manajemen sendiri adalah: Jayabaya, Penyebar Semangat dan Fakta. Sedangkan yang lain melakukan kerjasama manajemen dan diambilalih oleh Grup Jawa Pos, seperti: Suara Indonesia yang berganti nama jadi Radar Surabaya, Harian Memorandum, Harian Karya Darma, Surabaya Minggu, Mingguan Asas, Majalah Mentari dan Majalah Liberty.

Menjamur di Era Reformasi

Memasuki era Reformasi, tahun 1998, sama dengan ibukota dan kota-kota lain di Indonesia, kota Surabaya juga menangguk banyak kesempatan. Kran demokrasi yang dibuka Presiden BJ Habibie, waktu itu, juga dimanfaatkan oleh mediamassa. Pers benar-benar bagaikan lepas dari belenggu Orde Baru melalui Deppen dan Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban).

Kebebasan pers semakin terasa saat Menpen Yunus Yosfiah, memberi kesempatan kepada siapa saja untuk mengajukan permohonan SIUPP untuk menerbitkan suratkabar, majalah dan kantor berita. Bahkan, persyaratan untuk mendirikan stasiun pemancar radio dan televisi swasta juga tidak terlalu ketat.

Setelah pemerintahan beralih kepada Presiden KH.Abdurrahman Wahid, Deppen “dibubarkan” dan pers merasakan kebebasan mutlak tanpa kendali. Akibatnya, mengandung segi positif dan negatif. Siapa saja bisa menerbitkan media cetak tanpa harus berurusan dengan instansi pemerintahan. Tidak ada lagi perizinan. Sehingga, mediamassa tumbuh bak kecambah di musim hujan.

Saat itu, selain muncul mediamassa cetak yang ditangani para wartawan senior yang profesional, tidak sedikit koran dan majalah yang terbit secara amatiran oleh orang-orang yang hanya memanfaatkan kesempatan. Tetapi, bagaimanapun juga, yang profesional lebih lama bertahan dibandingkan dengan yang amatir.

Surabaya sebagai kota kedua terbesar setelah ibukota Jakarta, merasakan benar imbas perubahan kebijakan pemerintah pusat itu. Di Kota Pahlawan ini suratkabar dan majalah terbit dengan keanekaragaman model. Dari segi periode terbit, suratkabar harian masih tetap didominasi koran lama, yakni: Jawa Pos, Surya, Memorandum, Radar Surabaya, Bangsa, Duta dan Bhirawa. Sedangkan majalah lama yang tetap bertahan adalah: Jayabaya, Penyebar Semangat, Liberty, Mentari dan Fakta.

Harian Surabaya Post yang diambang keruntuhannya, melahirkan beberapa embrio koran baru. Mantan Redaktur Surabaya Post Tatang Istiawan dkk, menerbitkan koran Surabaya Pagi dan beberapa redaktur lainnya. Sjamsul Arifin dkk mendirikan Surabaya News. Mantan wartawan yang berseteru dengan ahliwaris A.Azis dan Ny.Toety Azis yang dikuasakan kepada advokat Trimoelja D.Soerjadi itu memang tidak memanfaatkan gedung Surabaya Post di Jalan Panglima Sudirman dan percetakan di Jalan Sikatan. Harian Surabaya Pagi menyewa ruko di Jalan Kayun dan Surabaya News ruko di Jalan raya Gubeng – namun kemudian pindah ke ruko di dekat gerbang jalan tol Satelit Surabaya, tepatnya di Bukit Darmo Golf Regency Kav.31-32 Surabaya.

Koran Surabaya Pagi tidak bertahan lama, lalu ganti manajemen dan ganti nama menjadi Bussines Surabaya di bawah pimpinan mantan wartawan Surabaya Post Bambang Hariawan. Sedangkan Tatang Istiawan, mendirikan koran Surabaya Sore di Jalan Darmo Baru, kemudian pindah ke Jalan Anjasmoro 56 D. Namun sejak Februari 2005, namanya diubah kembali menjadi Surabaya Pagi dan berkantor di Jalan Gunungsari 11 D Surabaya.

Koran mingguan cukup banyak, terbit dalam ukuran besar dan tabloid. Di antara koran itu, sebagian besar diterbitkan grup Jawa Pos, seperti: Nyata, Gugat, Agrobis, Komputek, X-File, Nurani, Taubat dan lain-lain. Penerbitan yang berdiri sendiri adalah: Jatim Pos, Radar Jatim, Metropolis, Teduh, Sapujagat, Teropong, Bidik, DOR (majalah dan koran), Suara Nasional, Suara Publik, Investigasi, Surabaia News Week, Posko, Jalur, Hobi, Mania, Palapa Post, Tanjungperak Post, Indomaritim, Lintas Kota, Wahana, dan masih banyak lagi yang lain. Kecuali itu, ada satu grup baru “TOP Media” pimpinan Singgih Sutojo. Grup yang awalnya menerbitkan majalah TOP itu, berkembang dengan beberapa penerbitan majalah dan tabloid yang umumnya menyajikan tulisan dan foto “panas” dan pantas sebagai bacaan orang dewasa.

Kota Surabaya juga merupakan daerah pemasaran dan distribusi berbagai meediamassa dari kota lain, terutama terbitan ibukota Jakarta. Di sinipun tersebar wartawan dan koresponden mediamassa dari daerah lain yang setiap saat menyampaikan informasi tentang Surabaya dan Jawa Timur ke pusat penerbitannya.

Media Elektronika

Dalam dunia mediamassa elektronika, radio siaran milik swasta di masa Orde Baru seolah-olah “diharamkan” menyiarkan berita dan hanya boleh merelay dari radio milik pemerintah, yakni RRI (Radio Republik Indonesia). Tetapi, sekarang secara terang-terangan membuka kemasan terselubung dalam bentuk informasi, menjadi siaran berita atau warta berita. Hal yang sama juga berlaku televisi swasta. Kalau sebelumnya hanya boleh menyiarkan berita dengan bergabung ke TVRI (Televisi Republik Indonesia), namun kemudian TV swasta (waktu itu): TPI, RCTI, SCTV dan ANTV mulai menayangkan berita hasil liputan reporter, koresponden dan kontributornya sendiri, di samping menayangkan berita dari mediamassa asing.

Radio-radio swasta yang tergabung dalam organisasi PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia) di Kota Surabaya juga tumbuh menjamur. Tidak ada lagi frekuensi yang kosong di pesawat radio, terutama pada gelombang FM (Frequency Modulation). Radio dengan gelombang FM memang menjadi favorit dengan jangkauan siaran yang jernih dibandingkan dengan gelombang AM dan MW.

Kehadiran radio-radio swasta di Surabaya mengalahkan peran RRI dan RKPD (Radio Khusus Pemerintah Daerah) Kota Surabaya yang bernama RGS (Radio Gelora Surabaya) dan RKPD Jatim yang sekarang beralih ke FM dengan nama JTFM.

Radio Suara Surabaya (SS) yang dipimpin mantan wartawan Pos Kota, Erol Jonatan, lebih dulu berinisiatif menyiarkan berita. Stasiun radio yang bermarkas di “puncak bukit” Wonokitri ini mengemas berita dengan siaran kelana kota dan menyebarkan reporternya untuk berwawancara dengan narasumber. Tidak ketinggalan, menginformasikan keadaan lalulintas yang dipantau oleh pendengar dan memberi kesempatan kepada pendengar untuk memancarluaskan ke udara secara langsung. Kiat SS ini kemudian diikuti radio SCFM, Rajawali, Merdeka, El Victor, MTB, Mercury, Colour dan lain-lain.

Selain TVRI stasiun Surabaya, televisi swasta pertama di Kota Surabaya, adalah: SCTV (Surya Citra Televisi). TV yang bermarkas di Jalan Raya Darmo Permai, kota Satelit ini memancarluaskan siaran nasional dan internasional dari Kota Surabaya. Dengan alasan manajemen, kemudian SCTV terpaksa memindahkan aktivitasnya ke Jakarta. Kantor dan pemancarnya dipindahkan ke ibukota.

Undang-undang penyiaran kemudian berubah. Kebijakan politik dan situasi di era reformasi membuat pengelola media televisi makin bersemangat. Di Jakarta jumlah pusat penyiaran televisi bertambah. Setelah TVRI, TPI, RCTI, SCTV, ANTV, Indosiar, Metro-TV, Trans TV, TV-7, TV Global dan MTV Indonesia, juga muncul siaran TV kabel.

Tidak hanya di ibukota, kebijakan baru sesuai dengan Undang-undang siaran, telah membuka cakrawala baru dengan adanya siaran televisi di daerah. Untuk wilayah Jawa Timur, lahir JTV (Jawapos Televisi) yang merupakan grup Jawa Pos yang bermarkas di gedung “pencakar langit” Graha Pena Jalan A.Yani Surabaya.

Kalau sebelumnya SCTV yang berpusat di Surabaya pindah ke Jakarta, sejak tahun 2004 aktivitas di studio SCTV Surabaya mulai hidup kembali. Di studio yang terletak di Jalan Darmo Permai Timur III itu kembali mengudara para penyiar lokal Surabaya menyampaikan berita-berita Jawa Timur. Hal yang sama juga dilakukan RCTI yang membuka perwakilan di Surabaya. Melalui studio di Jalan Kertajaya Indah, RCTI juga menyiarkan secara langsung berita-berita seputar Jawa Timur.

Televisi lokal terus pula berkembang menyesuaikan dengan ketentuan hukum. JTV sebagai pelopor televisi lokal di Jawa Timur melahir anak perusahan Suroboyo TV yang disingkata SBO. Hadir kemudian Arek TV, TV Anak dan beberapa TV lokal, termasuk TV9 yang dikelola kelurga Nahdhiyin.

Televisi yang berada di Jakarta, selain SCTV dan RCTI juga mengembangkan sayap dengan siaran lokal di Surabaya, seperti Metro TV, Global TV, TV One, Kompas TV dan sebagainya.

Perkembangan mediamassa dari dari masa ke masa di Kota Surabaya yang kami sajikan ini, memberi gambaran bahwa Kota Pahlawan ikut mewarnai opini yang berkembang di tengah masyarakat. Mediamassa dengan masyarakat persnya berperan memberi dorongan dan semangat kejuangan, pendidikan dan pembangunan. Kecuali itu, kemajuan dan kemundurannya, sekaligus mengungkap dinamika industri mediamassa di kota Budi Pamarinda (Budaya, Pendidikan, Pariwisata, Maritim, Industri dan Perdagangan) Surabaya.

Perkembangan Media online

Di samping media cetak dan elektronik, ada pula yang disebut multimedia atau media online. Media online ini kini telah menjadi salah satu media komunikasi yang mulai mendapat banyak perhatian dari masyarakat. Keberadaan media online atau “koran langit” ini juga mulai menjadi favorit bagi seluruh lapisan masyarakat.

Online adalah istilah bahasa dalam internet yang artinya sebuah informasi yang dapat diakses dimana saja selama ada jaringan internet. Oleh sebab itu jurnalisme online adalah perubahan baru dalam ilmu jurnalistik. Media online menyajikan informasi cepat dan mudah diakses dimana saja.

Media online (online media) juga berarti media massa yang tersaji secara online di situs web (website) internet. Media online adalah media massa ”generasi ketiga” setelah media cetak (printed media) –koran, tabloid, majalah, buku– dan media elektronik (electronic media) –radio, televisi, dan film/video. Media Online merupakan produk jurnalistik online. Jurnalistik online –disebut juga cyber journalisme– didefinisikan sebagai “pelaporan fakta atau peristiwa yang diproduksi dan didistribusikan melalui internet”.

Secara teknis atau ”fisik”, media online adalah media berbasis telekomunikasi dan multimedia (komputer dan internet). Termasuk kategori media online adalah portal, website, radio online, TV online (streaming), dan email.

Cyberjournalism juga lazim dikenal dengan nama online journalism dan berbagai ragam jurnalisme “masa kini” meramaikan pasar media massa abad ini. Pesatnya perkembangan teknologi, terutama teknologi komunikasi elektronik, membuka peluang jejaring komunikasi yang semakin asyik dan semakin personal, dengan perangkat yang semakin ringkas dan bermobilitas tinggi. Jurnalisme ini mengandalkan teknologi Internet sebagai sarana sebarannya. cyber journalism juga berlandaskan cara kerja dan teknik serta etika yang pada dasarnya berasal dari jurnalisme cetak, radio dan televisi..

Diawali oleh detik.com

Media Online di Indonesia kebanyakan lahir pada era reformasi tahun 1998. Waktu itu media online masih menjadi media alternatif. Itupun terbatas kepada mereka yang sudah mengenal internet.

Sejarah industri internet ke dalam mediamassa diawali oleh detikcom. Waktu itu penampilannya seperti kantor berita. Bahan-bahan yang ditulis oleh detikcom dikutip oleh media cetak, radio dan televisi.

Karakteristiknya tidak lagi seperti media cetak yang harian, mingguan, bulanan. Berita dan sajian informasi tanpa pandang waktu. Tidak salah, kalau pengelola memberi nama “detik” atau berita dan informasinya disiarkan setiap menit. Nah pengelola detikcom menjual informasi itu sebagai breaking news. Dengan apa adanya, detikcom melesat sebagai situs informasi digital paling populer di kalangan pengguna internet Indonesia.

Tidak salah, kalau kemudian detikcom sebagai perintis media online di Indonesia yang digarap secara serius. Tidak heran karena pendirinya kebanyakan dari media, Budiono Darsono dan Yayan Sopyan mantan wartawan Majalah Detik, Abdul Rahman mantan wartawan Tempo, serta Didi Nugraha yang senang internet. Server detikcom sebetulnya sudah siap diakses pada 30 Mei 1998, namun mulai online dengan sajian lengkap pada 9 Juli 1998. Jadi tanggal 9 Juli ditetapkan sebagai hari lahir Detikcom.

Masa awal detikcom lebih banyak terfokus pada berita politik, ekonomi, dan teknologi informasi. Baru setelah situasi politik mulai reda dan ekonomi mulai membaik, detikcom memutuskan untuk juga melampirkan berita hiburan, dan olahraga.

Media online detik,com di Indonesia yang telah sukses menyajikan ragam berita, selain itu kantor berita Nasional Antara juga menggunakan teknologi internet. Seiring berjalannya waktu, media online mulai bermunculan seperti astaga.com, satunet.com, suratkabar.com, berpolitik.com, dan ok-zone.com. dengan lahirnya media online maka media cetakpun tidak mau kalah, dengan dua penyajian media cetak dan media online seperti kompas.com, temporaktif.com, republika.com, pikiran-rakyat.com, klik-galamedia.com. dan masih banyak lagi. Itu adalah langkah baru berkembangnya teknologi yang telah melahirkan jurnalisme online.

Di Surabaya, muncul perwakilan detikcom, yang disebut detiksurabaya.com. Sebelum menempati kantor di Jalan Jimerto 17, kantor detiksurabaya.com menempati bangunan kontrak di Jalan Darmahusada 5 (sekarang menjadi Jalan Mayjen Prof.Dr.Mustopo). Menyusul setelah detiksurabaya.com, muncul pula suarasurabaya.net yang merupakan penerbitan online Radio Suara Surabaya.

Perkembangan mediamassa online sebagai “koran langit” semakin pesat. Setelah di Jakarta bermunculan berbagai nama di dunia maya (internet), di Surabaya, juga demikian. Secara resmi lahir pula beritajatim.com dengan menempati rumah kontrakan di Jalan Ngagel Jaya Tengah, kemudian pindah ke Jalan Ciliwung. Sekarang, semua suratkabar harian di Surabaya juga sudah punya media online, di samping beberapa koran mingguan, tabloid, majalah dan bahkan berdiri sendiri.

Sudah tidak terbilan lagi jumlah media online di Surabaya. Ada yang dikelola secara profesional, tetapi banyak pula yang secara amatir dan asal-asalan. Media online inipun berpacu dengan blog dan website kantor pemerintahan, perusahaan, perguruan tinggi, sekolah, organisasi dan perorangan.

Sekarang, media online itu sudah mendunia bersama-sama dengan kemajuan teknologi informasi. Di samping untuk kegiatan komersial, yang juga laris adalah jejaring sosial. Hampir tidak ada lagi di antara kita sekarang ini yang belum mengenal: google, yahoo, facebook, twitter, wordpress, blogspot, netlog dan sebagainya. Begitu pula dengan: com, co.id, net, org, ac, dan berbagai nama dan kode di akhir nama website.

Demikian selayang pandang tentang dunia Mediamassa dan Pers di Indonesia, khususnya di Surabaya, Jawa Timur. Semoga berguna dan bermanfaat bagi kita semua.

*) Yousri Nur Raja Agam MH,

adalah Wartawan Utama – Dewan Pers

Wisata Natal ke Gua Maria LourdesPohsarang Kediri Jawa Timur

Catatan: Yousri Nur Raja Agam *)

Berwisata ke Jawa Timur,  cukup mengasyikkan. Satu bulan berada di wilayah  paling timur Pulau Jawa, terasa masih kurang. Banyak destinasi wisata yang bisa dikunjungi. Keindahan dan riwayat tempat wisata itu dapat diabadikan dalam bentuk  dokumentasi. Bisa tulisan, foto, video,  audio dan berbagai jenis dokumentasi lainnya.

Jenis destinasi wisata, lengkap di Jatim. Mulai dari  alam, buatan dan religi. Untuk religi lengkap semua agama. Agama Islam, memang terbanyak. Di antaranya wisata Wali Songo, masjid dan pusat pendidikan. Kristen, Katholik, Budha, Hindu, Khonghucu, bahkan aliran kepercayaan juga ada.

Bangunan gereja di dalam kawasan destinasi wisata religi Gua Maria Pohsarang, Kediri.

Nah, sehubungan  dengan peringatan Hari Natal Tahun 2021 ini, saya sajikan suatu destinasi wisata  Kristen Katholik yang terletak di Pohsarang, Kediri. Namanya “Gua Maria Lourdes”. Juga disebut
Gua Maria Pohsarang.

Pengertian wisata religi, biasanya disebut ziarah atau wisata  keagamaan. Dulu, menjelang peringatan Natal kompleks gua Pohsarang ini ramai dikunjungi penziarah. Sehingga membantu kehidupan masyarakat di Desa Puhsarang, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.

Lokasi yang terletak di jalan mendaki sekitar 14 kilometer dari Kota Kediri ini, suhu udaranya berkisar antara 18 hingga 24 derajat Celsius. Cukup sejuk,  karena terletak di lereng Gunung Wilis pada ketinggian 425 meter dpl (di  atas permukaan laut).

Di kawasan ini tidak hanya ada Gua Maria Lourdes, tetapi ada berbagai jenis tempat yang dijadikan bagian dari yang diziarahi. Ada gereja, makam para Uskup dan Romo, Rumah Abu (columbarium), mausolium pieta, Jalan Salib dan Bukit Tabor. Di samping itu ada pula edung serbaguna Emaus, gerai penjualan cinderamata dan pusat kerajinan pembuatan patung,  baik dari kayu maupun batu.

Sejarah komplek ini, dimulai tahun 1936. Di zaman kolonial Belanda. Sebelum adanya komplek wisata religi Gua Maria Lourdes ini, di sini awalnya didirikan Gereja Santa Maria Pohsarang. Di bagian belakang gereja ini ada lembah yang cukup indah. Di dekat gua pada lereng terjal bukit batu itu, di pajang Patung Maria. Gua yang ada di samping patung itu, dulunya kecil. Pada pada tanggal 11 Oktober 1998, tulis Wikipedia, dibangun gua Lourdes yang agak besar menyerupai Gua Maria Lourdes yang ada di Prancis.

Ada yang menarik, di dekat patung itu. Ada tulisan di atas kuningan dengan menggunakan bahasa Jawa, yakni:
“Iboe Maria ingkang pinoerba tanpa dosa asal, moegi mangestonana kawoela ingkang ngoengsi ing Panjenenengan Dalem. (Bunda Maria yang terkandung tanpa noda dosa asal, doakanlah aku yang datang berlindung kepadaMu).

Gua Maria Louders ini  banyak dikunjungi penziarah. Tidak hanya umat Katolik untuk berdoa brosur atau  novena, tetapi juga oleh umat agama lain. Mereka datang untuk melakukan meditasi dan memohon kepada Tuhan.

Patung Maria yang terdapat di Gua Maria Lourdes Pohsarang itu merupakan replika atau tiruan dari patung Maria Lourdes, yang terbuat dari semen kemudian dicat berwarna bagian luarnya. Patung itu lebih tinggi dari contoh aslinya yang hanya 1,75 meter, sedangkan patung Maria yang kini tingginya 3,5 meter, bahkan kalau dihitung dari alas kakinya 4 meter.

Romo Han Wolters

Dari hasil kunjungan saya ke Pohsarang, awal Desember 2021 lalu,  komplek gereja Pohsarang ini, didirikan atas inisiatif dari Romo Jan Wolters CM dengan bantuan arsitek terkenal waktu itu, Ir. Henricus Maclaine Pont pada tahun 1936. Di foto depan,  tertulis jelas “Gereja Katolik Santa Maria Puhsarang  1936”.

Romo Jan Wolters, CM dikenal sebagai seorang misionaris yang sangat menghormati kebudayaan Jawa dan mencintai orang Jawa dengan segala kekayaan kulturalnya.

Gereja Pohsarang adalah emblem inkulturasi yang amat mendahului semangat gereja pada waktu itu. Hampir setiap bangunan gereja yang didirikan selalu memiliki bentuk seperti yang ada di Eropa. Sementara Insinyur Maclaine Pont adalah arsitek yang juga menangani pembangunan Museum di Trowulan, Mojokerto, yang menyimpan peninggalan sejarah Kerajaan Majapahit.

Bangunan gereja Pohsarang mirip dengan bangunan museum Trowulan yang sudah hancur karena tidak terawat dan ketiadaan dana perawatan pada tahun 1960, maka dengan melihat gereja sekarang kita bisa membayangkan bagaimanakah bentuk museum Trowulan dulu kala.

Pastor Wolters, CM, lah yang meminta agar sedapat mungkin digunakan budaya lokal dalam membangun gereja di stasi Pohsarang, yang merupakan salah satu stasi dari paroki Kediri pada waktu itu. Pastor Jan Wolters CM adalah pecinta orang Jawa dengan kebudayaannya. Sebagai seorang misionaris yang mengajukan “dialog” antara iman dan kebudayaan, Pastor Wolters CM dapat disebut sebagai pionir dalam inkulturasi di Gereja lokal Keuskupan Surabaya.

Kompleks gereja Pohsarang merupakan suatu usaha untuk menampilkan iman kristiani dan tempat ibadat katolik dalam budaya setempat. Banyak orang berpendapat bahwa bangunan yang dibuat di Pohsarang indah dan unik serta merupakan karya monumental yang patut untuk dipelihara dan dijaga agar jangan musnah seperti museum Trowulan.

Gereja Puhsarang yang menampilkan gaya Majapahit tetapi dikombinasikan dengan gaya dari daerah lain dan iman kristiani. Yulianto Sumalyo dalam buku yang berjudul `Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1993″ menulis mengenai gereja Puh Sarang sebagai berikut:
“Seperti pada bangunan Trowulan, Tegal dan lain-lain untuk membangun gereja Pohsarang selalu menggunakan bahan-bahan lokal. Maclaine Pont menggunakan juga buruh setempat selain beberapa tukang yang sudah berpengalaman pada saat membangun museum.

Gereja yang sarat dengan simbolisme ini merupakan suatu karya arsitektur yang sangat berhasil dilihat dari berbagai segi: mulai dari lokasi, tata massa, bahan bangunan, struktur dan ten tu saja fungsi dan keindahannya. Semua aspek termasuk budaya setempat dan filsafat agama dipadukan dalam bentuk arsitektur dengan amat selaras”

Bukit Golgota

Ada pula lokasi tontonan yang layak menjadi tuntunan bagi umat Nasrani, khususnya Katholik.  Di area objek wisata religi Pohsarang ini ada yang menarik. Sebuah rangkaian kisah tentang penyaliban yaitu eksekusi hukuman untuk Yesus di Bukit Golgota.

Kelompok patung-patung yang menggambarkan adegan penyaliban Yesus itu, berbicara tanpa kata-kata. Bisa disimak melalui gaya patung-patung di atas bukit Golhota Pohsarang itu.

Snda bisa menyaksikan 15 perhentian atau stasi Jalan Salib ke Bukit Golgota itu, yaitu:
1. Yesus dijatuhi hukuman mati  2. Yesus memanggul salib  3. Yesus jatuh untuk pertama kalinya  4. Yesus berjumpa dengan ibu-Nya  5. Yesus ditolong oleh simon dari Kirine  6. Wajah Yesus diusap oleh Veronika  7. Yesus jatuh untuk kedua kalinya  8. Yesus menghibur perempuan-perempuan yang menangisi-Nya  9. Yesus jatuh untuk ketiga kalinya  10. Pakaian Yesus ditanggalkan  11.Yesus disalibkan  12.Yesus wafat di kayu salib  13. Yesus diturunkan dari salib  14. Yesus dimakamkan dan yang ke 15. Kebangkitan Yesus. 

Menurut Aryaarayana, dari pada penasaran, ada baiknya anda mengajak ayah, ibu, anak-anak, kakak, adik, semua keluarga dan sahabat untuk mengunjungi obyek wisata rohani Goa Maria Pohsarang, di Kediri Jawa Timur itu.

*) Yousri Nur RajaAgam —  Wartawan Senior dan Ketua Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) Provinsi Jawa Timur.

Rapat Raksasa 21 September 1945 Di Lapangan Tambaksari Surabaya Mengapa Hilang dari Sejarah Perjuangan Arek-Arek Surabaya?

Rapat Raksasa 21 September 1945

Di Lapangan Tambaksari Surabaya

 Yousri Nur RA_Hitam_MP

Mengapa Hilang dari Sejarah Perjuangan Arek-Arek Surabaya?

 

Oleh: HM Yousri Nur Raja Agam

 

SETELAH peristiwa bersejarah “insiden bendera” di Hotel Yamato tanggal 19 September 1945, pemuda pejuang dan rakyat terus-menerus menunggu perkembangan. Suasana tanggal 20 September 1945, kelihatan ramai membicarakan rencana Rapat Raksasa di Lapangan Tambaksari, Surabaya, 21 September 1945.

            Beberapa posko dan kantor pemuda, di antaranya di Markas PRI (Pemuda Republik Indonesia) di Wilhelmina Princesslaan atau Jalan Tidar menyelenggarakan rapat merencanakan rapat raksasa di Tambaksari. Selain itu, rapat KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah) Surabaya yang berlangsung di GNI (Gedung Nasional Indonesia) di Jalan Bubutan, juga membicarakan tentang rencana Rapat Raksasa di Tambaksari.

            Rapat Raksasa ini awalnya digerakkan oleh Pemuda Minyak yang sudah membentuk panitia sebanyak 20 orang.  Begitu ada keputusan menyetujui rapat raksasa di Tambaksari, S.Kasman dan kawan-kawannya menggerakkan truk-truk pengangkut pegawai menuju Tambaksari. Bahkan di antaranya, truk tanki juga dijadikan alat angkut massa.

            Rapat raksasa seperti di Surabaya tanggal 21 September 1945 ini sebelumnya  juga sudah berlangsung di Lapangan Ikada (kemudian bernama Lapangan Banteng) Jakarta tanggal 19 September 1945. Beberapa pemuda yang dikenal sebagai anggota GBT (gerakan bawah tanah) juga mempersiapkan mobil berpengeras suara, “berhallo-hallo” keliling kampung di dalam Kota Surabaya.

            Para pemuda Indonesia yang sudah terbakar semangat “merdeka” setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, terus berusaha menyebarluaskan informasi itu secara langsung kepada rakyat. Walaupun kabar tentang kemerdekaan ini sudah disebarluaskan melalui mediamassa — radio dan suratkabar — namun belum semua penduduk mengetahui, sebab berita itu masih dari mulut ke mulut.

            Begitu ada kabar yang disebarkan melalui mobil pengeras suara yang “berhallo-hallo” keliling kota masuk ke kampung-kampung, rakyat berduyun-duyun menuju Tambaksari. Apalagi disiarkan, dalam rapat raksasa itu akan berpidato para petinggi negeri ini. Acara rapat raksasa yang direncanakan dimulai pukul 15.00 atau jam tiga sore itu, telah ramai sejak pukul satu siang.

            Pengerahan massa rakyat  dilaksanakan kelompok pemuda pejuang yang bergerak “di bawah tanah”. Demikian istilah yang digunakan untuk kegiatan secara diam-diam atau tersamar. Dengan berbagai agitasi dan propaganda yang dilakukan, ternyata hal ini benar-benar menarik masyarakat untuk datang ke Lapangan Tambaksari.

            Selain berjalan kaki, bersepeda, naik beca, ada juga yang naik truk yang sebelumnya dirampas dari pos dan markas tentara Jepang. Bahkan ada pula pemilik truk yang memperbolehkan truknya dipakai pemuda untuk ke Lapangan Tambaksari.

            Rakyat yang datang ke Lapangan Tambaksari itu  juga mendapat selebaran dan pamflet yang dibagi-bagikan melalui mobil berpengeras suara. Selebaran itu dicetak di beberapa percetakan yang biasanya mencetak suratkabar. Truk-truk yang membawa massa rakyat ke Lapangan Tambaksari juga ditempeli berbagai pamflet dan poster. Di samping itu ada pula yang ditulis dengan cat berupa kalimat yang membakar semangat.

            Tidak hanya dalam Bahasa Indonesia, tulis Des Alwi dalam bukunya Pertempuran Surabaya November 1945. Ada yang ditulis dengan Bahasa Inggris, Bahasa Belanda dan juga Bahasa Perancis. Misalnya: Milik RI, Down with Colonialism, Soekarno-Hatta Yes! NICA No, Let Freedom ring all over the World. Bahasa Perancis juga ada selogan yang terinspirasi dari Revolusi Perancis, misalnya: Liberte, Egalite, Fraternite yang artinya kebebasan, persamaan, persaudaraan. Di samping disebarkan kepada masyarakat, juga banyak yang ditempelkan di dinding-dinding gedung yang sebelumnya dikuasai Jepang, kereta api dan truk maupun mobil-mobil yang ada waktu itu.

            Para pemuda yang aktif sebagai panitia dalam penyelenggaraan Rapat Raksasa ini, pengurus PRI (Pemuda Republik Indonesia), antara lain: Hasan, Soemarsono, Soerjono, Dimjati, Hassanoesi, Abdoel Madjid, Pohan, Soemarno, Karjono,  Abdoel Sjoekoer dan Koesnadi.           Puncak keberhasilan menghimpun massa itu, salah satu yang perlu dicatat adalah inisiatif Hassanoesi yang mengerahkan turk-truk dan mobil hasil rampasan dari Jepang. Massa rakyat berebut naik truk dan mobil yang menuju Tambaksari.

            Rapat raksasa itu bertujuan untuk meningkatkan semangat massa rakyat agar lebih berani berkorban demi mempertahankan  proklamasi kemerdekaan.  Di samping itu, juga perlu dipupuk rasa persatuan dan bertekad bulat menghadapi segala kemungkinan yang akan datang. Untuk mempertahankan kemerdekaan itu, dicanangkan tekad yang berbunyi: “Merdeka atau Mati”.

Dihadiri Residen Sudirman

            Tepat pukul 16.00, Rapat Raksasa di Lapangan Tambaksari dimulai. Acara dibuka dengan pidato pengantar oleh Ketua BKR Surabaya Abdoel Wahab. Berturut-turut kemudian pidato yang membangkitkan semangat disampaikan oleh Residen Sudirman, Soemarsono, Lukitaningsih, Abdoel Sjoekoer, Sapia dan Koenadi.

            Semua pembicara mendapat sambutan sangat meriah, tulis Des Alwi. Bahkan ada seorang tokoh PRI-Simpang dengan pidato berapi-api melontarkan secara ekspresif hal-hal yang tersimpan dalam lubuk hatinya, sehingga bisa memuaskan perasaan arek-arek Suroboyo.

            Sekembalinya dari menghadiri Rapat Raksasa di Tambaksari itu. semangat rakyat berkobar-kobar, berikut datangnya keberanian untuk segera bergerak mempertahankan kemerdekaan. Kesimpulan tersebut sangat tepat, karena para pemuda tersebut sebelumnya tidak pernah minta izin kepada penguasa Jepang untuk menyelenggarakan Rapat raksasa itu. Persitiwa itu bagaikan bensin, sehingga api yang sudah panas semakin membara. Sekaligus bisa memperkuat keyakinan para pemuda bahwa sisa-sisa kekuasaan pasukan pendudukan Jepang harus dibongkar sampai ke akar-akarnya.

            Massa pemuda juga meningkatkan aksinya dengan merobek-robek poster Jepang berisi larangan mengeluarkan pendapat, baik secara lisan maupun tulisan. Gerakan protes semacam ini kemudian berkembang menjadi aksi massal. Poster-poster Jepang diganti dengan plakat buatan anak-anak muda itu sendiri.

Ditangkap Kempetai

            Lukitaningsih, wartawati Lembaga Kantor Berita Antara yang juga ketua Pemuda Puteri, merupakan satu-satunya tokoh pejuang wanita yang ikut pidato dalam Rapat Raksasa di Tambaksasi 21 September 1945. Di dalam buku Seribu Wajah Wanita Pejuang dalam Kancah Revolusi ’45, Lukitaningsih mengungkapkan, bahwa para pemimpin  pemuda dengan tegas bergantian pidato untuk membakar semangat juang. Tiada lain tujuannya, agar pemuda-pemuda dan rakyat tetap bersatu padu dan tetap mempertahankan berkibarnya sang merah-putih untuk selama-lamanya.

            Selaku ketua Pemuda Puteri, ulas Lukitaningsih, ia mengetahui bahwa saat Rapat Raksasa berlangsung, pasukan Kempetai (Polisi Militer Jepang) bersenjata lengkap bersiaga di sekeliling lapangan Tambaksari. Mereka menempatkan truk, panser dan tank-tanknya. Begitu acara selesai sekitar pukul 19.00, sebelas orang yang dianggap tokoh ditangkap. “Termasuk saya, digiring masuk kendaraan Kempetai dan dibawa ke markasnya di bekas kantor Raad van Justitie (Pengadilan Tinggi zaman Belanda) — yang sekarang sudah hancur dan di tempat itu didirikan Tugu Pahlawan.

            Sejak ditangkap, kami yang sebelas orang itu ditempatkan di sebuah ruangan besar, kata Lukitaningsih. Kami menunggu nasib, entah mau diapakan. Yang jelas, Kempetai itu tersohor kekejamannya. Menurut cerita, jarang orang yang tertangkap di situ akan keluar hidup-hidup. Dengan penuh kesadaran akan hal itu, jiwa muda kami tidak gentar, hanya pasrah kepada Tuhan yang Maha Esa. Apa yang terjadi tidak kami pikirkan lagi.

            Kami menunggu sambil berbincang-bincang, bagaimana kalau kami ditembak mati, bagaimana dengan teman-teman selanjutnya.Apabila selamat bagaimana strategi perjuangan kami selanjutnya. Pokoknya kami pertaruhkan segalanya demi kemerdekaan Indonesia, kata Lukitaningsih yang kemudian dikenal dengan nama Hj.Lukitaningsih Irsan Radjamin.. Selain sebagai wartawati dan redaktur senior di LKBN Antara di Jakarta, Lukitaningsih menduduki jabatan sebagai Ketua Umum Wirawati Catur Panca, yakni organisasi para perempuan pejuang kemerdekaan RI.

            Sekitar tengah malam pintu ruangan tempat kami disekap dibuka. Tampak beberapa pejabat pemerintahan dan tokoh pejuang datang untuk membebaskan kami. Ternyata setelah mengetahui sebelas orang disekap di markas Kempetai, para petinggi pemerintahan dan pejuang berusaha menghubungi pimpinan Kempetai. Kepada pimpinan tentara Jepang di Surabaya dikatakan, bahwa yang disekap itu adalah pemimpin pemuda Surabaya. Apabila mereka tidak dibebaskan, maka massa rakyat dan pemuda Surabaya akan menyerbu markas Kempetai.

            Peristiwa itu merupakan modal yang sangat berarti untuk lebih mempersiapkan segenap lapisan pemuda dan rakyat. Kita harus siap mengadakan perlawanan kepada siapapun  yang akan menginjak-injak kehormatan bangsa, ujar menantu Radjamin Nasution — Walikota Surabaya yang pertama sejak zaman Jepang dan Indonesia merdeka itu.

Sejarah yang dilupakan

            Kendati “Rapat Raksasa” tanggal 21 September 1945 ini merupakan  peristiwa bersejarah yang luar biasa, namun hampir tidak pernah menjadi bahan pembicaraan dalam sejarah perjuangan arek-arek Surabaya. Padahal puluhan ribu rakyat Surabaya berduyun-duyun menghadiri acara di lapangan sepakbola yang sekarang bernama Stadion Gelora 10 November di Jalan Tambaksari Surabaya. Konon kabarnya, ada masalah politis di balik peristwa itu.

            Roeslan Abdulgani yang lebih akrab disapa Cak Ruslan dalam suatu wawancara khusus dengan penulis, mengakui adanya Rapat Raksasa di lapangan sepakbola  Tambaksari itu. “Saya memang tidak hadir, karena pada hari yang sama ada rapat KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah) Surabaya di GNI (Gedung Nasional Indonesia) Jalan Bubutan. Rapat membicarakan berbagai taktik dan cara menghadapi tentara Sekutu yang datang melucuti serdadu Jepang”. Pada hari yang sama ujar Cak Ruslan, ia mengobarkan semangat juang para pemuda dan menanamkan rasa permusuhan terhadap tentara Sekutu.

            Namun lain lagi, yang diungkapkan dalam buku Hasil Survey Sejarah Kepahlawanan  Kota Surabaya, 1974, pada halaman 60, disebutkan bahwa panitia mendatangi Cak Ruslan untuk memimpin rapat raksasa di Tambaksari itu. Ternyata, Cak Ruslan tidak bersedia memimpin rapat raksasa itu. Cak Ruslan khawatir, kalau rapat raksasa yang juga disebut “rapat samudra” itu dilaksanakan, terjadi bentrok dengan tentara Jepang yang sudah siaga.

            Menurut S.Kasman, Cak Ruslan yang ditemui oleh Sumarsono, Kuslan dan Djamal, menyatakan ketidak bersediaan Cak Ruslan, karena menghendaki  rapat raksasa itu memperoleh izin dari pihak Jepang yang masih diberi kewenangan. Ternyata para pemuda itu tidak mau minta izin dan mengambil keputusan tetap mengadakan rapat raksasa tanpa kehadiran Cak Ruslan.

            Dalam buku yang diterbitkan Bapparda (Badan Pengembangan Pariwisata Daerah) Kota Surabaya itu, disebutkan saat itu semangat pemuda sudah meluap dan diarahkan kepada penguasa Jepang. Panitia Setiakawan Warga Sosialis Surabaya dalam buku In Memorium Djohan Sjahroezah, menyebutkan bahwa, waktu itu sudah ada rencana setelah rapat raksasa rakyat akan digerakkan melucuti senjata tentara Jepang.

             Memang, begitu rapat raksasa selesai menjelang Maghrib, sekitar 150 ribu lebih rakyat berduyun-duyun keluar lapangan Tambaksari. Di antaranya ada yang beraksi merobek berbagai poster dan tempelan yang disebar oleh tentara Jepang. Beberapa mobil milik tentara Jepang diambilalih dan dibawa ke markas pemuda pejuang.

            Nah, mengapa peristiwa besar yang disebut Rapat Raksasa di Lapangan Tambaksasi tanggal 21 September 1945 itu seolah-olah lenyap dari sejarah perjuangan Arek-arek Surabaya?

Balai Wartawan PWI Jatim di Surabaya Pindah Tiga kali

Riwayat Balai Wartawan 

PWI Jawa Timur

Oleh: Yousri Nur Raja Agam  *)

 

Yousri Nur RA,MH

Pada saat PWI dideklarasikan dan berdiri pada Kongres I di Sala, 9 Februari 1946, di Jawa Timur, yang pertama lahir adalah PWI di Kediri, disebut Kring Kediri. Menyusul PWI di Mojokerto, Malang dan Madiun. Di Surabaya sendiri, belum ada PWI, karena wartawannya ikut mengungsi, bersama pindahnya ibukota Jawa Timur ke luar kota, karena berperang melawan tentara Sekutu dan Belanda. Semula Gubernur Jawa Timur bersama staf sebagai pengendali Pemerintahan Provinsi (Pemprov) Jawa Timur tergusur ke Sepanjang Sidoarjo, lalu menyingkir ke Mojokerto, serta pindah ke Kediri. Bahkan kemudian berpindah-pindah lagi ke Malang, Blitar, Gunung Wilis, Lodoyo Blitar Selatan, Madiun dan kemudian baru kembali ke Surabaya.

            Sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI, akhirnya terwujud dengan adanya Perjanjian KMB (Komisi Meja Bundar) di Denhaag Negeri Belanda akhir tahun 1949. Gubernur beserta staf, juga kembali ke Surabaya dan ibukota Jawa Timur yang sempat mengungsi empat tahun ke luar kota, juga kembali ke tempat asalnya di Jalan Pahlawan 110 Surabaya.

Balai Wartawan PWI Pertama

Di Jalan Pahlawan Surabaya

 

            Bersamaan dengan kembalinya Ibukota Jawa Timur ke Surabaya, para wartawan dari Surabaya yang juga ikut melakukan aktivitas jurnalistik di wilayah pengungsian, juga pulang ke Surabaya. Kegiatan organisasi PWI yang sudah berjalan di Kediri, Mojokerto, Malang dan Madiun, juga diaktifkan di Kota Surabaya. Awal tahun 1950, secara resmi PWI Kring Surabaya terbentuk dan mendapat tempat sebagai sekretariat di Jalan Alun-Alun 16-18, kemudian berubah menjadi Jalan Pahlawan 16-18. Saat Jalan Pasar Besar dari arah Baliwerti sampai persimpangan Jalan Tembaan dijadikan Jalan Pahlawan, maka dialakukan penertiban Nomor Jalan Pahlawan, sehingga Nomor 16-18 berubah menjadi Jalan Pahlawan 106-108. Demikian pula dengan Kantor Gubernur Jatim, nomornya berubah dari Jalan Pahlawan 20 menjadi Nomor 110 Surabaya sekarang. Bangunan lama beserta beberapa bangunan lain, termasuk Bioskop dan Restoran Bima sudah dibongkar. Kini di atas lahan itu berdiri bangunan gedung baru, kantor Badan Perencanaan dan Pembangunan Provinsi (Bapepprov) Jatim.

Para wartawan di Balai Wartawan PWI Surabaya yang pertama di Jalan Pahlawan 16-18 (sekarang sudah dibongkar dan dibangun Gedung Bapeprov Jatim)

Para wartawan di Balai Wartawan PWI Surabaya yang pertama di Jalan Pahlawan 16-18 (sekarang sudah dibongkar dan dibangun Gedung Bapeprov Jatim)

            Sekretarian PWI Kring Surabaya, yang kemudian istilahnya berubah menjadi PWI Cabang Surabaya itu satu bangunan dengan KUP (Kantor Urusan Perumahan) Surabaya. Kantor PWI Surabaya yang sekaligus berfungsi sebagai “Balai Wartawan” Surabaya itu menempati bangunan bawah dari dua lantai bangunan. Bangunan lantai dua ditempati oleh KUP Surabaya.

Balai Wartawan PWI Kedua

Di Jalan Pemuda 42 Surabaya

 

            Tahun 1952, PWI Surabaya mendapat tempat di lantai bawah gedung Bioskop Indra, di Jalan Pemuda 42 (sekarang bernama Jalan Gubernur Suryo 42). Pindahnya kantor PWI atau Balai Wartawan Surabaya ke Jalan Pemuda ini, dibuka secara resmi dengan suatu upacara tanggal 11 November 1952. Acaranya cukup meriah, dihadiri banyak pejabat, karena sehari sebelumnya, 10 November 1952, Presiden Sukarno meresmikan Tugu Pahlawan di Surabaya. Mewakili Pemerintah Pusat, hadir Sekjen Kementerian Penerangan RI, Roeslan Abdulgani.

         

Balai wartawan PWI Surabaya di Jalan Pemuda 42 Surabaya tahun 1952-1958

Balai wartawan PWI Surabaya di Jalan Pemuda 42 Surabaya tahun 1952-1958

   Di samping sebagai Kantor PWI Cabang Surabaya, bangunan ini juga digunakan sebagai Balai Wartawan  Surabaya, sekaligus sebagai Perpustakaan Pers. Saat persemian Balai Wartawan itu, di salah satu ruangan sudah lengkap Perpustakaan Pers yang berisi lebih 200 buku, Buku-buku itu diserahkan tanggal 7 November 1952 oleh Kepala LPPU (Lembaga Pers dan Pendapat Umum) Pusat, WA van Goudoever dari Jakarta.

         

Para wartawan berdiri di depan Balai Wartawan PWI Surabaya tahun 1953

Para wartawan berdiri di depan Balai Wartawan PWI Surabaya tahun 1953

   Cukup lama para wartawan menggunakan ruangan yang satu bangunan dengan Bioskop Indra yang berlokasi di seberang Balai Pemuda yang terletak di Jalan Pemuda 15 Surabaya. Namun, karena letak Balai Wartawan ini di pinggir jalan raya, apalagi waktu itu trem (kereta api listrik) masih melewati depan gedung itu, suasananya memang ramai. Suara bising saat trem lewat sering mengganggu saat berlangsung acara jumpa pers.

 

Balai Wartawan PWI Ketiga

(Sampai Sekarang)

Di Jalan Taman Apsari 15-17 Surabaya

 

            Nah, berdasarkan ketidaknyamanan karena lalulintas waktu itu masih “double way trafic” dan trem yang hilir mudik itu, beberapa wartawan mengusulkan Balai wartawan dipindah ke tempat lain. Pada suatu hari, Singgih, Sekretaris I PWI Surabaya memberitahu kepada pengurus PWI, bahwa ada sebuah bangunan rumah “kosong” di Jalan Taman Apsari 15-17 Surabaya. Letaknya dekat arca Joko Dolok. Jadi, tidak terlalu jauh dari Balai Wartawan di Jalan Pemuda itu.

            Ketua PWI Surabaya waktu itu, Ny.Soewarni Moeljono (Pemimpin Redaksi Harian Umum) menugaskan Wakil Ketua PWI Surabaya waktu itu Stefanus RM Moestopo (Wakil Pemimpin Redaksi Harian Java Post) untuk mengurus bagaimana cara mendapatkan gedung itu. Diperoleh informasi, bahwa gedung itu berada di bawah kekuasaan NV Intern Cred & Hvg Rotterdam, sebuah perusahaan Belanda yang diberi kuasa oleh pemilik bangunan di  Gedung Internatio, Jalan Taman Jayengrono 1, kawasan Jembatan Merah Surabaya..

            Sesuai dengan prosedur di masa itu, semua bangunan milik Belanda berada di bawah penguasaan militer yang disebut KMKB (Komando Militer Kota Besar) Surabaya — sekarang disebut Korem (Komanando Resimen Militer). Ny.Soewarni bersama Moestopo menemui Komanda KMKB Surabaya Letkol Soenjoto. Dari pertemuan itu, dinyatakan oleh Soenjoto bahwa bangunan di Jalan Taman Apsari 15-17 boleh digunakan untuk Balai Wartawan PWI Cabang Surabaya dengan cara ruilslag atau tukar-menukar. Kemudian disepakati, PWI menyerahkan Balai Wartawan di Jalan Pemuda 42 kepada KMKB Surabaya dan KMKB Surabaya menyerahkan bangunan di Jalan Taman Apsari 15-17 Surabaya kepada PWI Cabang Surabaya.

            Setelah melalui proses yang cukup rumit, karena waktu itu gedung di Jalan Taman Apsari 15-17 itu masih ditempati oleh tiga keluarga. Dua keluarga adalah karyawan NV.Internatio dan satu keluarga karyawan PLN (Perusahaan Listrik Negara). Ke tiga keluarga itu kemudian memperoleh ganti rumah yang yang lain melalui KUP (Kantor Urusan Perumahaan) Surabaya.

            Akhirnya, berdasarkan Surat Keterangan Penempatan dari KMKB No.632/VIII/1958 tanggal 25 Agustus 1958, keluarlah Surat Izin Penempatan (SIP)  dari Kantor Urusan Perumahan Surabaya No, K.1476 tanggal 12 Desember 1958 yang ditandatangani Kepala KUP Surabaya M.Oeripan Soetopo.

            Sejak diterimanya SIP dari KUP Surabaya itu, maka resmilah gedung di Jalan Taman Apsari 15-17 Surabaya dikuasai PWI Cabang Surabaya (sekarang PWI Jawa Timur) yang digunakan sebagai Sekretariat PWI dan Balai Wartawan Surabaya. Sampai sekarang, gedung ini masih dikelola oleh PWI Jawa Timur dan sejak tanggal 9 Februari 1985 diberi nama Gedung Pers A.Azis.

Status Bangunan

            Untuk diketahui oleh para wartawan dan pengurus PWI Jawa Timur saat ini dan masa yang akan datang, bahwa tahun 1992, penggunaan gedung PWI Jawa Timur ssebagai Balai Wartawan pernah “diungkit-ungkit” sebagai aset PT (Persero) Aneka Gas Industri Cabang Surabaya.

            Dengan surat No.460/CSb-Um/VII/92 tanggal 15 Juli 1992, Kepala PT Aneka Gas Industri Cabang Surabaya, Ir.Iskandar Yuwono mengirim surat kepada Pengurus Balai Wartawan Cabang Surabaya (diterima oleh Pengurus PWI Cabang Jawa Timur). Pada pokok surat itu, PT Aneka Gas Industri “menagih” sewa rumah di Jalan Taman Apsari 15-17 Surabaya itu, terhitung sejak tahun 1958 dengan pembayaran Rp 500,- per bulan sampai tahun 1992 (waktu itu). Waktu itu, sewa yang ditagih sebesar Rp 217 juta.

            Dalam lampiran surat itu disebutkan, dasar penarikan sewa rumah di Jalan Taman Apsari 15-17 Surabaya itu, karena bangunan itu tercatat sebagai aset PT.Aneka Gas Industri. Dinyatakan, bahwa PT.Aneka Gas Industri adalah pengalihan dari PN Asam Arang,  yang di zaman Belanda bernama NV.Javasche Koolzuurfabriek. Juga ada lampiran yang menyebutkan beberapa surat tentang SIP (Surat Izin Penempatan) dari Kantor Urusan Perumahan Surabaya dan Surat dari Dinas Perumahan Daerah Surabaya.

            Nah, setelah menerima surat itu, Ketua PWI Jatim waktu itu Dahlan Iskan  mengadakan rapat pengurus PWI Jatim. Diputuskan untuk mengurus masalah yang disebutkan pada surat dari PT.Aneka Gas Industri, diserahkan kepada dua wakil ketua, yaitu: Hadiaman Santoso (Wk,Ketua Bid.Organisasi) dan Yousri Nur Raja Agam (Wk.Ketua bid.Pendidikan). Saat itu memang PWI tidak mempunyai satu lembar pun bukti tentang status gedung Balai Wartawan. Mungkin karena peralihan kepengurusan yang lama dan situasi administrasi yang belum baik, maka dokumen penting itu tidak ditemukan di dalam arsip inventaris PWI Jawa Timur.

            Hadiaman dan Yousri mempelajari surat itu. Kemudian Hadiaman menugaskan Yousri melakukan konfirmasi kepada Kepala PT.Aneka Gas Industri Cabang Surabaya, Iskandar Yuwono. Dari hasil konfirmasi itu, kemudian dilanjut dengan menghubungi Kepala Dinas Perumahan Daerah Surabaya. Diperoleh penjelasan, bahwa PWI merupakan pemegang SIP yang sah dari Kantor Urusan Perumahan yang berubah namanya menjadi Dinas Perumahan Daerah Kotamadya Surabaya. Dalam catatan yang ada di Dinas Perumahan, tanah dan bangunan di Jalan Taman Apsari 15-17 itu dulu pemiliknya perusahaan Belanda bernama NV.Javasche Kuulzuur Fabriek.

            Ada hikmah yang luar biasa bagi PWI Cabang Jawa Timur dari kasus ini. Memang, sebelumnya pengurus PWI Jawa Timur sama sekali tidak tahu status tanah dan bangunan Jalan Taman Apsari 15-17 Surabaya yang digunakan sebagai Sekretariat dan Balai Wartawan PWI Jawa Timur. Betapa tidak, sebab dengan adanya “kasus” ini, Yousri berhasil memperoleh berkas berupa fotokopi dari Dinas Perumahan Kota Surabaya.

            Dalam berkas itu, ditemukan nama seorang wartawan senior Moestopo (Wartawan Buana Minggu) yang masih aktif. Pada tahun 1958 itu Moestopo adalah Wakil Ketua PWI Cabang Surabaya (Jawa Timur). Setelah diperlihatkan berkas fotokopi itu, Moestopo merasa senang, sebab selama ini berkas tentang status tanah dan bangunan gedung Jalan Taman Apsari 15-17 Surabaya hilang. Mengacu kepada berkas berupa fotokopi itu, Moestopo bernostalgia dan b ersedia memberi kesaksian tentang Balai Wartawan PWI Jawa Timur ini.

            Ketua PWI Jawa Timur Dahlan Iskan menugaskan kepada Hadiaman dan Yousri untuk memberikan informasi tentang surat dari PT.Aneka Gas Industri dan temuan berkas dari Dinas Perumahan Kota Surabaya itu kepada para wartawan. Beberapa mediamassa memberitakan tentang Balai Wartawan PWI Jatim ditagih sewa oleh PT.Aneka Gas Industri Cabang Surabaya. Pengurus PWI Jawa Timur sepakat untuk tidak mananggapi surat dari PT.Aneka Gas Industri itu. Berbagai reaksi muncul, sampai akhirnya Gubernur Jawa Timur (waktu itu) H.Soelarso, memberi jaminan dan minta agar PWI Jatim “mengabaikan” penagihan sewa yang dilakukan PT.Aneka Gas Industri Cabang Surabaya tersebut.

            Dengan adanya ketegasan pengurus PWI Jawa Timur dan jaminan Gubernur Jawa Timur H.Soelarso itu, persoalan surat tagihan sewa dari PT.Aneka Gas Industri itu mereda.

            Tahun 2013 lalu, pengurus melaporkan keadaan dan kondisi bangunan gedung Balai Wartawan PWI Jawa Timur ini kepada Gubernujr Jatim Dr.H.Soekarwo. Pengurus yang dipimpin ketua Akhmad Munir, mengharapkan kepada Pemprov Jatim untuk membantu perbaikan dan renovasi bangunan yang beberapa bagian sudah mulai rusak. Setelah dilakukan penelitian dan penilaian kondisi gedung yang sudah berusia tua, yang diperkirakan dibangun tahun 1930-an,  akhirnya disetujui untuk dilakukan perbaikan dan renovasi. Maka dibuatlah perencanaan dan penyusunan anggaran. Tahun 2014 ini, bangunan Balai Wartawan PWI Jawa Timur diperbaiki dan direnovasi.

            Pesan kami, jangan sampai lahan dan gedung Balai Wartawan PWI Jawa Timur di Jalan Taman Apsari 15-17 yang bernama “Gedung Pers A.Azis” sampai beralih fungsi, apalagi beralih penguasaan dan kepemilikan ke pihak lain. (**)

*) Wartawan Penulis Buku Riwayat Surabaya Rek (2013)

Asal Usul Kota Surabaya Berasal dari Lumpur Gunung Kelud