Bioskop Dulu “Primadona” Hiburan
dan Rekreasi Di Kota Surabaya
Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)
BIOSKOP dulu merupakan “primadona” sarana pariwisata dan tempat hiburan di Kota Surabaya. Sebagaimana di kota-kota lain, bioskop menjadi tempat hiburan favorit. Remaja, muda-mudi dan bahkan suatu keluarga menjadikan bioskop sebagai tempat hiburan utama. Bahkan bioskop juga merupakan tempat “adu prestise”. Kehebatan seseorang, juga sering dikaitkan dengan bioskop. Seorang pemuda diuji “isi kantongnya” oleh sang pacar dan teman-temannya dengan mengajak nonton di bioskop. Keberanian seseorang juga sering dilihat dari kemampuannya menaklukkan “preman” dan calo bioskop. Banyak cerita orang dulu, bagaimana bioskop dijadikan sebagai “lambang kejantanan”. Maka tidak jarang, di bioskop dan sekitarnya berkumpul anak-anak muda dengan geng-gengnya. Lalu, era berubah. Bioskop kemudian benar-benar sebagai tempat hiburan untuk menyaksikan filem-filem baru. Ada empat golongan utama jenis filem yang diputar di bioskop-bioskop. Pertama: filem Eropa dan Amerika; kedua: filem Asia, khususnya India; ketiga: filem Mandarin yang dikenalnya sebagai filem Hongkong; terakhir atau keempat: filem nasional. Di samping itu, ada juga sekali-sekali muncul filem-filem dari Timur Tengah dan Afrika. Penonton filem waktu itu seleranya juga tidak sama. Ada yang menyukai filem-filem Eropa dan Amerika, ada yang senang filem Hongkong dan Mandarain, ada yang suka filem India dan tentunya ada yang senang filem nasional. Peran filem di bioskop pada masa lalu, dapat dilihat dari “monopoli” pemasangan iklan di suratkabar. Suratkabar yang terbit di waktu itu, sempat pula menjadikan banyaknya iklan filem bioskop yang dipasang di korannya merupakan prestasi dan prestise. Banyaknya iklan dan besarnya kolom iklan filem bioskop di suatu suratkabar, dapat pula menjadi standar oplah atau tiras koran itu.Di Kota Surabaya, zaman keemasan iklan filem bioskop banyak dinikmati oleh Harian Surabaya Post, menyusul kemudian koran Jawa Pos dan koran-koran bertiras kecil, serta koran mingguan.
Ini adalah bioskop MAXIM yang kemudian berubah namanya menjadi Bioskop Indra di Jalan Gubernur Suryo 42
Tidak jarang, Surabaya Post dan Jawa Pos yang waktu itu terbit rata-rata 12 halaman tiap hari, iklan filem bioskopnya mencapai dua sampai tiga halaman. Begitu hebatnya peran filem sekitar tahun 1970-1980-an di bioskop-bioskop, Departemen Penerangan (Deppen) waktu itu, membuat bidang tersendiri untuk mengawasi iklan di koran dan reklame gantung yang dipajang di dinding gedung bioskop. Deppen yang sekarang sudah tidak ada itu juga mengendalikan kegiatan BSF (Badan Sensor Filem). Di daerahpun ada Baperfilda (Badan Pertimbangan Filem Daerah) yang fungsinya sebagai BSF di daerah. Jumlah bioskop di Surabaya pernah melampaui jumlah 50. Karena luas gedung dan fasilitas bioskop tidak sama, maka Pemkot Surabaya membagi gedung bioskop menjadi lima golongan. Golongannya adalah: AA, A, B, C dan D. Golongan AA, ada 16 bioskop, yaitu: Mitra, President, International, Surabaya, Star, Wijaya, King, Indra, Ria, Intan, Ultra, Aurora, Arjuna, Gita, Jaya dan Drive In. Golongan A, enam bioskop, yakni: Queen, Bima, Irama, Garuda, Istana dan Nusantara. Golongan B, delapan biskop, yaitu: Kusuma, Purnama, Dana, Bayu, Gedung Utama, Satriya, Chandra dan Surya Baru. Golongan C ada enam, yaitu: Darmo, Suzanna, Bahari Jaya, Kalisosok, Seno dan Megah Ria. Golongan D ada 15 bioskop, yaitu: Cantik, Moelyo, Andhika, Stadion Gelora, Kantin KKO, Rejo Slamet, Putra, Juwita, Sari Mulyo, Paulus, Baruna, Srikandi, Taman Remaja, Tandes dan Widodo. Sekarang bioskop-bioskop itu banyak yang hanya tinggal “kenangan”. Banyak muda-mudi zaman itu yang kini sudah beranak-cucu punya kesan indah di bioskop itu. Kadang-kadang ada kerinduan untuk bernostalgia. Tetapi, ah, tentu tidak mungkin. FFI di Surabaya Tahun 1970-an hingga menjelang 1990-an dunia filem di Indonesia juga bangkit. Tidak hanya bangkit dalam memutar filem impor, tetapi juga memproduksi filem-filem nasional. Bahkan, di era ini, aktor dan aktris filem benar-benar disanjung, dipuja dan dimanjakan. Puncaknya, ada FFI (Festival Filem Indonesia). Kota Surabaya juga pernah menjadi tuan rumah FFI tahun 1981.
Pemerintah yang mendirikan TVRI di tahun 1962, terus berkembang dan memancarluaskan tayangan programnya ke seluruh Nusantara. Peran bioskop “diambil sedikit”, karena TVRI mulai memutar filem yang dapat ditonton di rumah. Tetapi kehadiran TVRI tidak banyak pengaruhnya bagi bioskop. Sebab, filem yang diputar di bioskop, berbeda dengan di TV, Deppenpun menetapkan filem yang diputar di TV tidak boleh filem baru. Kemajuan teknologi perfileman terus meningkat, mulai dari ukuran layar, dimensi dan suara. Namun, pengunjung bioskop terus menurun. Pengelola bioskop dengan pola baru membagi ruangan bioskop yang luas itu dengan sekat-sekat yang lebih kecil. Era ini dikenal dengan era “Sineplex 21”. Rata-rata bioskop yang besar dibagi menjadi dua sampai empat ruangan yang lebih kecil tetapi nyaman. Di era ini ada tambahan gedung bioskop sineplex baru yang terletak di Plaza Surabaya bernama “Plaza” dan Plaza Tunjungan bernama “Studio”. Primadona pajak begitu hebatnya, di samping peran bioskop sebagai tempat hiburan, waktu itu, Pemkot Surabaya menarik hasil yang cukup besar dari pajak tontonan. Bioskop menjadi penghasil dana PAD (Pendapatan Asli Daerah) antara tahun 1970-an hingga 1980-an. Pemasukan dana yang dihimpun melalui pajak tontonan dan hiburan, selalu berada pada deretan teratas sumber dana APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) Kota Surabaya dalam kurun waktu yang cukup panjang. Selain bioskop menjadi :”primadona” tempat hiburan warga kota, pajak tontonan juga menjadi “primadona” PAD Kota Surabaya. Itu adalah masa lalu. Musim berganti dan zamanpun berubah. Kemajuan teknologi yang begitu cepat mampu pula mengubah segalanya. Kehadiran televisi diikuti oleh teknologi rekaman video. Filem-filem yang diputar dan bakal diputar di bioskop juga sudah ada rekaman videonya di pasaran. Walaupun ada kenetantuan, bahwa rekaman video hanya untuk filem lama, namun tidak jarang pelanggaran dilakukan. Dan, sepandai-pandainya aparat melakukan pengawasan, namun tidak mampu membendung banjirnya rekaman video di pasaran. Terdesak oleh filem-filem rekaman video, gedung bioskop mulai sepi penonton. Apalagi, kemudian teknologi antena parabola mulai masuk. Masyarakat berduit yang biasa nonton di bioskop kelas utama, mulai beralih ke TV luar negeri yang bisa ditonton langsung dari rumah. Di tanahair, stasiun televisi swasta terus bertambah. Teknologi video digeser oleh VCD (Video Compack Disc) dan DVD (Digital Video Disc). Dan, akhirnya penonton bioskop bisa dihitung dengan jari setiap kali pertonjukan. Kecuali, kalau betul-betul ada filem bagus yang belum ada VCDnya. Sejak 1990-an, satu-persatu gedung bioskop tutup dan gedungnya berubah fungsi.
Bioskop kini tidak lagi “primadona”. Tidak popular lagi, keadaan sudah berubah. Bioskop yang memutar filem nasional dan impor, makin hari makin sepi. Menonton di bioskop sekarang, juga makin tidak popular. Hal ini tidak hanya dirasakan di Surabaya, tetapi juga di kota-kota lain di Indonesia. Selain makin banyaknya jenis tempat hiburan dan santai, bioskop tersingkir akibat makin maraknya filem yang diputar di berbagai stasiun televisi. Di samping itu rekaman video, VCD dan DVD, serta aneka keunggulan teknologi informasi, seperti internet misalnya. Akibatnya bioskop makin sepi. Banyak bioskop yang terpaksa tutup dan gedungnya dialihfungsikan untuk kegiatan lain.
Bioskop REX tahun 1930-1960 di Jalan Kombespol M.Duriat ini kemudian ganti nama menjadi Bioskop RIA, sekarang beralih fungsi menjadi restoran.
Memang masih ada bioskop di Surabaya yang bertahan. Justru di pusat perbelanjaan, plaza dan mal, bioskop masih digemari pencandu filem layar lebar. Kalau dulu bioskop favorit terpisah dari pusat perbelanjaan, sekarang bioskop kelas AA berada di plaza. Di Tunjungan Plaza, ada bioskop sineplex Studio 1,2,3,4,5 dan Tunjungan 1,2,3. Di Plaza Surabaya, ada bioskop Delta 1,2,3,4. Di Mal Galaxy ada bioskop Galaxy 1,2,3,4. Bioskop Mitra merupakan bioskop kelas AA yang paling strategis letaknya di kota Surabaya, di gedung Balai Pemuda Jalan Gubernur Suryo 15. Namun 25 Mei 2004 lalu, bioskop yang terakhir bernama “Mitra 21” yang terbagi menjadi Mitra 1,2,3,4 “terpaksa” tutup. Bagaimana tidak gulungtikar, belakangan ini pengunjung yang menonton filem di bioskop kebanggaan warga kota ini, boleh dihitung dengan jari. Kendati penontonnya hanya lima hingga sepuluh orang, filem tetap diputar sesuai jadwal.
Dinding samping Gedung Bioskop Mitra di Balai Pemuda menghadap Jalan Yos Sudarso, sekarang berubah fungsi menjadi gedung Kesenian Kota Surabaya.
Menurut Manager Bioskop Mitra, Nur Sholeh, merosotnya penonton itu sudah terasa sejak tahun 1989. Sejak terjadinya krisis moneter (krismon) secara nasional tahun 1997, pemasukan bioskop terus menurun. “Kami benar-benar kesulitan untuk biaya operasional. Biaya yang mutlak dianggarkan adalah untuk gaji 60 orang karyawan, bayar listrik, air, sewa filem dan pajak”, katanya. Seharusnya pemasukan minimal itu sekitar Rp 300 juta per-bulan, namun angka sekian tidak pernah terpenuhi. Sebenarnya ada pemasukan yang cukup besar, yaitu iklan rokok. Tetapi, sejak adanya peraturan pemerintah yang membatasi iklan rokok dan harus disiarkan setelah pukul 22.00, para produsen rokok ramai-ramai membatalkan kontrak. Dan, sekarang perusahaan rokok beralih ke televisi, internet dan koran tabloid. Realita yang dialami Mitra 21 ini sebuah cermin “kelabu” dari nasib dan masa depan bioskop. Sehingga tidak akan mungkin lagi ada dalam catatan BPS (Biro Pusat Statistik) yang mencatat secara rutin jumlah penonton bioskop seperti sebelum tahun 2000. Ternyata bioskop Mitra 21, tidak jadi tutup selamanya, sejak pertengahan 2005, bioskop itu kembali memutar filem seperti biasa. Tetapi, ajal bioskop Mitra, akhirnya benar-benar habis. Pertengahan tahun 2009, bioskop itu tutup dan dibongkar. Bekas bioskop Mitra di Jalan Pemuda 15 atau berubah jadi Jalan Gubernur Suryo 15 – kini dibangun itu menghadap Jalan Yos Sudarso – sebagai Gedung Kesenian Surabaya. Masa Lalu Sekedar mengenang masa lalu bioskop di Surabaya, tahun 1987 misalnya, di Surabaya ada 54 bioskop. Bioskop kelas AA sebanyak 20 buah dengan 15.353 tempat duduk (td). Bioskop kelas A ada 5 gedung dengan 4.011 td, kelas B sebanyak 18 gedung dengan 7.802 td, kelas C dengan 9.084 td dan kelas D 1.120 td. Tahun 1993, jumlah bioskop bertambah 20, sehingga jumlah bioskop di Surabaya waktu itu menjadi 74 buah. Bioskop kelas AA menjadi 26 buah dengan 61.572 td, kelas A naik menjadi 11 buah dengan 2.643 td, kelas B menjadi 18 gedung dengan 12.130 td, kelas C turun menjdi 10 gedung menjadi 7.246 td dan kleas D menjadi 9 tempat dengan 4.284 td. Berdasarkan jumlah penonton, tahun 1987, misalnya, penonton filem Amerika paling banyak di banding penonton filem lainnya, termasuk filem nasional. Tahun itu tercatat penonton bioskop yang membeli karcis untuk menyaksikan filem Amerika sebanyak 2,36 juta orang lebih. Penonton filem nasional (Indonesia) 1,94 juta orang lebih. Filem Hongkong (waktu itu istilah untuk filem Cina yang menggunakan bahasa Mandarin, karena banyak diproduksi di Hongkong, maka disebut filem Hongkong). Penontonnya mencapai 1,08 juta orang. Menyusul penonton filem India sebanyak 198 ribu orang dan filem Eropa dan lainnya sekitar 30 ribu orang. Tahun 1993 jumlah penonton tetap didominasi penonton filem Amerika yang naik menjadi 2,57 juta lebih, penonton filem Indonesia 2,03 juta orang dan filem Hongkong juga naik menjadi 1,33 juta orang. Penonton filem India turun menjadi 191 ribu orang dan lainnya tidak lebih dari 25 ribu orang. Sineplex 21 Berakhirnya kejayaan pemerintahan Orde Baru, perbioskopan di Indonesia, termasuk di Surabaya merosot tajam. Walau ada pembukaan bioskop baru di beberapa plaza, banyak bioskop lama yang tidak mampu lagi bertahan dan tutup. Tahun 1997, jumlah bioskop di Surabaya masih bertahan sebanyak 48 bioskop. Itupun setelah satu bioskop disekat-sekat menjadi empat sampai lima bagian yang disebut sineplex. Bioskop-bioskop yang disekat tahun 1997 ini menjadi sineplex, di antaranya: Mitra (1,2,3,4), Wijaya (1,2), Irama (1,2,3), Surabaya (1,2,3,4,5), Golden (1,2,3,4), Oscar (1,2,3,4), Arjuna (1,2,3), Studio (1,2,3,4,5), Delta (1,2,3), Odeon (1,2,3,4) dan Kedurus (1,2,3). Bioskop Metropole 1940 berubah menjadi Bioskop Bima di Jalan Pahlawan, sudah dibongkar dan menjadi Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Provinsi (Bappeprov) Jatim.
ini bioskop Aurora di Jalan Tunjungan di pojok Jalan Tanjung Anom. Sekarang sudah dibongkar dan bakal diganti dengan bangunan bertingkat.
Bioskop Jaya di jalan Tembaan, sekarang sudah berubah fungsi
Bioskop King (atas) dan Bioskop Quin (bawah) di Alun-alun Contong. antara Jalan Gemblongan dengan Jalan Baliwerti. Sekarang menjadi pertokoan.
Bioskop President di Jalan Embong Malang 39 berdampingan dengan Bioskop Arjuna. Sekarang ke dua bioskop itu sudah dibongkar. Tahun 2000-an pernah digunakan sebagai pusat penjualan pakaian dari pabrik bernama UFO.
Bioskop menggunakan Pie Oen Kie tulisan Cina di Jalan Panggung.
Ini adalah gedung Wijaya Shooping Center, atau Pertokoan Wijaya, di Jalan Bubutan 1 Surabaya. Di gedung ini dulu ada bioskop bernama Wijaya Theatre dan juga ada Bowling Center dan Bilyar, di samping pusat perbelanjaan. Setelah terbakar awal tahun 1990-an, kemudian dibangun kembali menjadi BG Jonction.
Kembali untuk mengenang masa lalu bioskop di Surabaya, yang umumnya sudah tidak berbekas lagi, antara lain: bioskop President dan Arjuna di Jalan Embong Malang 39- 43 dan 45-47. Bioskop Wijaya di Jalan Bubutan 1-3, International di Pecindilan 50, Gita di Gentengkali 97-99, Bioskop Ultra di Urip Sumoharjo 58, Jaya dan Bima di Jalan Pahlawan, Ria di Jalan Kombes M.Duryat 2, Indra di Jalan Panglima Sudirman 2, Aurora di Jalan Tunjungan 12, King dan Queen di Jalan Alun-alun Contong 1, Istana di jalan Kapasari 1, Drive In di Jalan Mayjen Sungkono (Darmo Park), Kusuma di Jalan Tembaan, Dana di Jalan Pandegiling, Bayu di Jalan Basuki Rachmat, Chandra di Jalan Kapas Krampung. Dan masih banyak lagi, bioskop kelas B,C dan D. Ada beberapa bioskop kecil dan berada di pinggiran kota, ternyata masih mampu bertahan. Namun, keadaan bioskopnya sangat memprihatinkan, kumuh dan terkesan asal-asalan. Hanya status gedungnya yang masih “dianggap” sebagai bioskop. Pemutaran filemnya sudah tidak rutin, bahkan adakalanya tidak ada pemutaran filem sama sekali. Tidak hanya itu, gedung yang pengap itupun sering difungsikan untuk kegiatan lain. Sekedar catatan, jika dulu iklan bioskop menjadi perhatian pembaca suratkabar harian, sekarang sudah tidak lagi. Koran Jawa Pos saja misalnya, walau masih memasang iklan filem bioskop, ditempatkan di halaman dalam ukuran kecil. Pada hari Kamis, 8 Juli 2004 misalnya, iklan bioskop ditempatkan di halaman 24 dari 40 halaman yang terbit hari itu. Tempatnyapun kurang strategis, di bagian bawah dengan ukuran kecil. Untuk 24 bioskop sineplex yang memutar delapan filem, hanya diiklankan dengan menggunakan warna hitam-putih ukuran 7 cm x 7 kolom. Kapling dengan ukuran mini ini dibagi untuk Filem “The Prince & Me” yang dibintangi Julia Stiles diputar di bioskop Studio 5, Tunjungan 3, Delta 1, Galaxi 3 dan Surabaya 1, dengan ukuran 7 x 8cm. Filem “Spiderman-2” yang diputar di tujuh bioskop di Surabaya dan tiga bioskop di Malang, diiklankan dengan ukuran 5 x 8 cm. Filem “The Punisher” yang dibintangi Tom Jane dan John Travolta yang diputar di lima bioskop mendapat kapling iklan 7 x 8 cm. Filem “Harry Potter” yang diputar di enam bioskop di Surabaya dan tiga bioskop di Malang diiklankan dengan ukuran 3,5 x 8 cm. Tiga filem lain: “Kill Bill”, ”Troy” dan “Shrek-2” hanya diberi tempat masing-masing dengan ukuran iklan 2 x 4 cm. Satu lagi, filem “Eiffel I’m In Love” yang dibintangi Samuel Rizal dan Shandy Aulia yang diputar di tiga bioskop di Surabaya dan tiga bioskop di Malang, menempati iklan ukuran 4 x 9 cm. Ini sangat berbeda dengan iklan filem yang tahun 1980-an hingga 1990-an. Di Harian Sore Surabaya Post dan Harian Pagi Jawa Pos, rata-rata iklan filem mendominasi satu hingga tiga halaman. Bahkan di antaranya iklan berwarna. Memang, menonton di bioskop pada zaman sekarang, tidak se popular masa lalu. Apakah kelak, bioskop masih mampu bertahan. Sekedar mengingatkan dan bernostalgia bagi yang tua-tua dan sebagai informasi bagi yang muda-muda, di bawah ini saya coba menelusuri buku-buku lama tentang nama dan alamat bioskop di Surabaya. Ada 61 bioskop, tetapi ada yang tempatnya sama dan namanya berubah. Mungkin, di antara pembaca mempunyai data yang lebih lengkap, mohon kiranya membantu melengkapinya.
Inilah Di Antara Bioskop di Surabaya dari Dulu:
1 Bioskop Arjuna, Jl. Embong Malang 39 Tahun : 1969, sekarang sudah beralih fungsi
2 Bioskop President, Jl Embong Malang 43 tahun 1969, sekarang sudah bealih fungsi
3 Bioskop Ria, Jl. Kombes M.Duryat 3 Tahun : 1961, sekarang menjadi restoran
4 Bioskop Kalisosok di Jl Kalisosok (Kasuari) Tahun : 1971
5 Bioskop Star di Taman Remaja Jl. Kusuma Bangsa Tahun : 1972
6 Bioskop Broadway Jl. Embong Malang No. 39-41-43 Tahun : 1951, sama atau berganti nama menjadi President dan Arjuna.
7 Bioskop Capital Concern Alamat Jalan Kranggan: Tahun : 1957
8 Bioskop Rex Jl. Panglima Sudirman Tahun : 1958
9 Bioskop Bima Jl. Pahlawan Tahun : 1961
10 Bioskop Djaja Jalan Tembaan – Tahun : 1961
11 Bioskop Widjaja Jl Bubutan 1-3 Tahun : 1961
12 Bioskop Kusuma Jl Tembaan Tahun : 1961
13 Bioskop Surya Jl. Wonokromo Tahun : 1961
14 Bioskop Purnama Jl. Dinoyo 4 Tahun : 1968
15 Bioskop Mitra di Balai Pemuda Jl. Pemuda (Gubernur Suryo) 15 Tahun : 1968
16 Bioskop Susteran Jl. Kepanjen No. 5 Tahun : 1968
17 Bioscoopprijzen (Bahasa Belanda) Alamat : – Tahun : 1940
18 Bioskop Amelto Jl. Kapasan 88 Tahun : 1954 s/d 1968
19 Bioskop Garuda Jl. Kranggan No 73 Tahun 1955
20 Bioskop India Jl. Jagalan Tahun : 1959
21 Bioskop Alhambra & Nusantara Alamat : – Tahun : 1959
22 Bioskop Rivoli Alamat : – Tahun : 1959
23 Bioskop Maxim (Indra) Jalan Pemuda 42 Tahun : 1959
24 Bioskop Citra Alamat : Jl. Pahlawan Tahun : 1960
25 Bioskop Nusantara Baru Alamat : Tahun : 1961
26 Bioskop Satrya Alamat : – Tahun : 1968
27 Bioskop King & Queen Jl. Alun-Alun Contong Tahun : 1968
28 Bioskop Titra Jaya (Bioskop Sambongan) Jl. Waspada 1 Tahun : 1969
29 Bioskop Ratna Jaya Alamat : – Tahun : 1970
30 Bioskop Ampera Alamat : – Tahun : 1971
31 Bioskop Apollo -Mengganti
32 Bioskop Amura Jl. Tanjung Anom Tahun : 1971
33 Bioskop Bedrijjfsreg Lementering Alamat : Tahun : 1951
34 Bioskop Venus Jl. Panggung III / 27 – 29 Tahun : 1957
35 Bioskop Metropole Jl. Pahlawan No.6 Tahun : 1957
36 Bioskop Gita Jl Gentengkali Tahun 1987
37 Bioskop Istana Jalan Kapasari 5 Tahun 1978
38 Bioskop Surabaya Jalan Pahlawan 118 Tahun 1957
39 Bioskop Ultra Jl Urip Sumahardjo No. 58 Tahun : 1970
40 Bioskop Lucky Alamat : – Tahun : 1951
41 Bioskop Alhambra Jl. Sumatera Tahun : 1951
42 Bioskop Apollo Angkasa Jl. Alun-Alun Contong Tahun : 1970
43 Bioskop Hora Jl Bubutan No. 127 Tahun : 1952
44 Bioskop Dana Pandegiling Tahun : 1971
45 Bioskop Surya Baru di Wonokromo Tahun : 1972
46 Bioskop Darmo Jalan Pandegiling: 1958
47 Bioskop Alhambra Jl. Pegirian No. 116 Tahun : 1959
48 Bioskop Kingdlon Alamat : – Tahun : 1970
49 Bioskop Sampoerna Jl. Taman Sampurna No. 6 Tahun : 1954
50 Bioskop Rama Alamat : Jl. Girilaya Tahun 1968
51 Bioskop Chandra Jl.Kapas Krampung Tahun 1970
52 Bioskop Irama Jalan Kedungdoro Tahun 1979
53 Bioskop Golden Jalan Kapasan Tahun 1985
54 Bioskop ”Drive In Theatre” di Darmo Park Jl.Mayjen Sungkono Tahun 1978, kemudian dipindah ke Pantai Ria Kenjeran 1984 (tetapi tidak pernah aktif).
55 Bioskop Oscar Jl.Mayjen Sungkono 1988
56 Bioskop Delta Jl Pemuda (Plaza Surabaya) Tahun 1996
57 Bioskop Studio Jl Tunjungan (Plaza Tunjungan) tahun 1995
58 Bioskop Kedurus di Kedurus Tahun 1985
59 Bioskop Bayu Jl Basuki Rachmat Tahun 1967
60 Bioskop International Jl Pecindilan Tahun 1968
61 Bioskop Aurora Jl Tunjungan 12 tahun 1972. ***
(Sumber dari buku-buku lama dan pengamatan penulis)
*) Yousri Nur Raja Agam MH – Wartawan, pemerhati bermukim di Surabaya.
Filed under: Budaya, KOTA, PARIWISATA, SEJARAH, UMUM | Tagged: Badan Sensor film, Bafilda, Bioskiop Bima, bioskop, Bioskop AlHamra, bioskop Arjuna, Bioskop Bima, Bioskop Broadway, Bioskop di Surabaya, Bioskop garuda, Bioskop Jaya, Bioskop KLuxor, Bioskop Metropole, Bioskop Mitra, Bioskop Nostalgia masa lalu, Bioskop Purnama Bioskiop Kusuma, Bioskop REX, Bioskop Ria, Bioskop STAR, Bioskop Tidak populer Lagi, Bioskop Wijaya., BSF, Departemen Penerangan, Festival Film Indonesia, FFI, Filem India, Film Amerika, Film Asia, Film Eropa, Film Hongkong, Hiburan di Surabaya, Menpen, Pajak Tontonan, Pariwisata di Surabaya, President, Primadona hiburan, Rekreasi, Sineplex 21, Surabaya, VCD |
Tahun yang tertera itu tahun berdirinya bangunan atau pemutaran perdana di bioskop tersebut ?
Apakah anda memiliki data bioskop yang dibangun sebelum tahun 1945 ?
——————
Maaf, tahun yang ada di belakang nama bioskop itu bukan tahun berdirinya, tetapi masa operasional penggunaan bioskop sesuai dengan “nama bioskop” itu. Sebab, ada juga bangunan tetap, nama bioskopnya diganti. Sedangkan yang ada fotonya, tahun itu adalah tahun pemotretan. Nah, tentang data bioskop yang dibangun sebelum tahun 1945, cukup banyak. Misalnya yang operasionalnya sekitar tahun 1950-an dan nama bioskopnya masih nama lama. (yousri)
apakah bapak punya foto dan data mengenai bioskop Ria di kombes M duryat itu Pak? seperti tahun berdirinya pemiliknya apakah sama dengan restoran Ria yang ada dibawahnya bioskop tsb? matur suwun.
———————-
Dik Andre!
Saya pernah punya foto Bioskop Ria di Jalan Kombes M.Duryat. Nanti akan saya tampilkan dalam jajaran foto-foto bioskop di Surabaya masa lulu dan kini. Restoran itu dan bangunan itu sudah renovasi dari bioskop yang lama. Pemiliknya juga sudah beralih. (Yousri)
Selamat siang, saya ingin menanyakan tahun yang tertera di belakang itu maksudnya apa ya? habisnya masa operasional ?
Dimanakah saya bisa mendapatkan foto-foto tentang bioskop tersebut ? terima kasih.
———————–
Tahun itu, sebagai tahun lagi aktifnya bioskop iti. Ada yang kemudian ganti nama dengan alamat masih sama. Foto-fotonya, bisa dilihat di majalah, koran dan buku-buku lama. Saya sendiri sedang mengumpulkan, kemudian saya scan dan ada juga yang difoto ulang (re produksi). Deminia Dik Anthony. (Yousri)
arjuna dan broadway terletak di tempat yang sama ya? tapi kenapa kok alamat nya berbeda ya? terima kasih sebelumnya atas jawaban yang diberikan.
———————-
Dik Anthony, anda benar. Alamatnya, sama kok, di Jalan Embong Malang (Yousri)
The best pooooll bioskop in surabaya.
———
Ya, kalau anda punya koleksi foto-foto tempo dulu, ayo bantu saya mengleksi dan kita bagikan kepada yang membutuhkan. (Yousri)
mohon info, untuk no. 38 Bioskop Surabaya Jalan Pahlawan 118 Tahun 1957, apa nama asli gedung tsb, tahun brp dibangun serta siapa arsiteknya? terimakasih.
—– Wah, di Adi? Saya terpaksa buka bolak-balik buku lama dan agenda kuno. Belum ketemu. Maaf, karena bahannya juga ngrepek. ha he ha
Tulisan tentang sejarah bioskop Surabaya yang bagus sekali, tapi masih ada bioskop yang belum di sebutkan, yaitu bioskop Sambongan dan bioskop Kalianyar, mungkin keduanya tergolong kelas C, karena interiornya sekelas degan Seno dan Kalisosok. Lalu ada satu bioskop lagi yang saya lupa namanya. Letaknya di kanan Bioskop Wijaya lama sebelum berubah menjadi pertokoan. Kemudian tentang bangsal susteran di Jl. Kepanjen 5, setahu saya hanya dipakai untuk memutar film pada acara-acara tertentu saja dan terhitung jarang. Jadi kurang pas rasanya kalau digolongkan sebagai salah satu bioskop yang konotasinya memutar film setiap hari dengan jadwal jam yang rutin. Terima kasih.
——————-
Mas Djohan, terimakasih informasinya yang cukup melengkapi. Pengetahuan anda mungkin lebih banyak dari saya. Saya hanya menemui sebagian, sekitar tahun 1970-an hingga sekarang. Mudah-mudahan ini berguna bagi generasi yang akan datang, termasuk pula bagi pengamat kepariwisataan, khususnya perfilman dan bioskop. (Yousri)
Maaf Pak, saya kurang cermat ternyata bioskop Sambongan sudah ada di daftar nomor 28, tetapi bioskop Kalianyar memang belum disebut.Juga bioskop THR (bukan yang Taman Remaja) dan bioskop Kranggan yang letaknya persis di kanan bioskop Wijaya lama (tiba-tiba ingat kembali). Saya senang bisa bernostalgia melalui tulisan Anda. Salam hormat dan sekali lagi terima kasih.
Masih ada lagi gedung bioskop Repka, jalan Kalisosok kalau tidak salah, dekat pesapen tengah, dan sampurna,… lantainya masih dari tanah (tidak dilapisi tegel), sekitar tahun 1967/8/9/1970, hampir tiap hari saya diajak ibu saya nonton di sana, karena murah sekali
Salam hormat,
Seingat saya didaerah Pacarkeling ada juga bioskop, kalau tidak salah namanya Sirene. Biokop Maxim mulanya besar tetapi setelah kebakaran, balkon Maxim dipakai sebagai bioskop benama Maxim Sky.
Di Embong Malang – Broadway, di Blauran Kranggan dan Capitol, di perempatan Jl Pahlawan/Pasar Besar, Rivoli, Metropole.
Jl. Urip Sumoharjo/Pandegiling, Lucky. Pasti sik ono sing lali mergo uwis nggal iling. Ini sekedar hasil galian otak saya sekitar tahun 1955. Rob di Amsterdam
—————
Ya Bung Robby, terimakasih informasinya. Semua itu sekarang tinggal kenangan. Bioskop model lama sudah tidak ada lagi. Sekarang bioskop ada di Mall dan Plaza, berupa cineplax. (Yousri)
Kalau baca tulisan ini jadi nostalgia jaman dulu.. waktu kecil saya sering diajak ibu nonton di bioskop surya baru, ada hal2 yang lucu kalau kita menonton bioskop pada jaman itu, misalnya kalau jagoannya mau diserang dari belakang maka penonton ramai2 teriak “awas mburimu..!!” awas belakangmu..!! hahaha ramai sekali.. kalau jaman sekarang mana ada nonton bioskop penontonnya bisa teriak2 ramai seperti itu ya..
Saya juga ingat waktu itu, setelah selesai nonton bioskop di surya baru bersama ibu dan kakak, saya melihat jembatan layang mayangkara, yang posisinya di depan bioskop, sedang dibangun.
No. 17, bioskoopprijzen bisa diterjemahkan “harga-harga bioskop” mungkin maksudnya daftar harga karcis bioskop. Dengan demikian, kemungkinan ini bukan gedung bioskop dan tentu tidak ada alamatnya. Ini hanya perkiraan saya, belum tentu benar.
No. 32 Amura, apa bukan sebetulnya Aurora?
Saya senang melihat foto2 lama kota Surabaya, walaupun khusus bioskop saja. Terima kasih sudah berbagi info.
Betul: tarif atau harga karcis bioskop.
Ya Aurora, bukan Amura Terimakasih.