Tragis! Sukarno Hatta “Cerai Paksa” di Kota Pahlawan Surabaya

RENUNGAN DI HARI PAHLAWAN

Tragis!

Dwi Tunggal Sukarno-Hatta

Cerai Paksa di Kota Pahlawan

 

Yousri Nur RA, MH.

 

Oleh: HM Yousri Nur Raja Agam *)

 

 

DULU di bebarapa media, berulangkali saya menulis judul: “Ironis! Kota Pahlawan Miskin Nama Pahlawan” atau “Ironis Nama Sukarno-Hatta Belum Diabadikan di Kota Pahlawan”, dan beberapa judul lagi yang senada.

Memang, di Indonesia, hanya Kota Surabaya satu-satu yang berjuluk Kota Pahlawan, namun perwujudan makna kepahlawanan itu sangat dangkal. Kepahlawanan hanya diterjemahkan dari peristiwa heroik yang terjadi di sekitar tanggal 10 November 1945 yang membawa korban jiwa terhadap ribuan Arek Suroboyo.

Padahal, seyogyanya, pengertian pahlawan itu diwujudkan dengan menjadikan Kota Surabaya ini sebagai “kamus kepahlawanan”. Surabaya dapat dijadikan sebagai museum kepahlawanan yang berskala nasional. Bahkan, kalau memungkinkan diangkat menjadi “Kota Pahlawan Internasional”.

Dalam sejarah, “tewas”-nya salah seorang pimpinan militer Inggeris, Jenderal Mallaby, bagi kita merupakan suatu “kemenangan”. Tetapi, bagi sekutu, dia adalah pahlawan yang “gugur” dalam kancah berjuang demi negaranya dan kepentingan dunia internasional

Suatu hal yang sangat memprihatinkan, adalah kurangnya minat dan perhatian para petinggi di Kota Surabaya ini untuk menampung aspirasi warganya. Salah satu di antaranya, ialah usul-usul warga untuk sebanyak mungkin mangabadikan nama-nama pahlawan di Surabaya. Terlalu berbelitnya prosedur untuk memberi nama pahlawan pada suatu jalan. Bahkan, sangat tidak mudah mengganti nama jalan yang sudah ada dengan nama jalan baru.

Dengan berbagai upaya dan cara, saya sebagai penulis di beberapa suratkabar dan majalah yang terbit di Indonesia, mengungkap kehebatan Surabaya sebagai Kota Pahlawan. Di sana saya menyinggung, sikap abai para petinggi di kota ini untuk menyesuaikan diri dengan julukan Kota Pahlawan itu. Apalagi, sangat lambannya keinginan untuk mengabadikan nama Dwitunggal Sukarno-Hatta selaku Pahlawan Nasional Proklamator Kemerdekaar Repubilik Indonesia di kota kelahiran Bung Karno ini.

Monumen Dwitunggal Sukarno-Hatta di gerbang Taman Tugu Pahlawan Surabaya.

Kendati kemudian terwujud pemberian nama Jalan Sukarno-Hatta untuk jalan baru lingkar timur bagian tengah atau MERR (Midle East Ring Road), di akhir masa jabatan Walikota Surabaya, Bambang DH.  DPRD Kota Surabaya, pada sidang paripurna 17 April 2010 menyetujui nama Jalan Sukarno-Hatta sejak dari pertigaan Jalan Kenjeran menuju ke selatan sampai ke perbatasan Surabaya-Sidoarjo. Peraturan Walikota Surabaya ditandatangani oleh Walikota Surabaya “yang baru” Ir.Tri Rismaharini yang menggantikan Bambang DH tanggal 24 November 2010.

Saya sebagai penulis yang sudah berulangkali menulis artikel dan kritikan ini merasa gembira. Ternyata walikota perempuan pertama di Kota Surabaya ini juga sangat peduli kepada Proklamator kemerdekaan RI itu. Bahkan, secara resmi mengeluarkan Surat Keputusan Walikota Surabaya, memberi nama jalan sejak dari pertigaan Jalan Kenjeran ke selatan sepanjang jalan MERR itu sampai ke perbatasan Surabaya dengan Kabupaten Sidoarjo.

Keputusan Walikota Surabaya Nomor 188.45/501/436.1.2/2010 itu menetapkan  tentang nama Jalan Sukarno-Hatta di Kota Surabaya sepanjang 10.925 meter. Jalan ini berawal di pertigaan Jalan Kenjeran melintasi: Jl. Kalijudan, Jl. Mulyorejo, Jl. Dharmahusada Indah, Jl. Dharmahusada, Jl. Kertajaya Indah, Jl. Kertajaya Indah Timur, Jl Arif Rahman Hakim, Jl. Semolowaru, Jl. Semampir Kelurahan, Jl. Semampir Tengah, Jl. Semampir Selatan, Jl. Medokan Semampir, Jl. Kedung Baruk Raya/Jagir, Jl. Wonorejo/Jagir, Jl. Baruk Utara, Jl. Penjaringan Sari, Jl. Kedung Asem, Jl. Pandugo, Jl. Rungkut Madya, Jl. Gunung Anyar Tambak, berbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo.

Namun, sungguh malang nasib Dwitunggal Sukarno-Hatta itu. Justru di Kota Pahlawan ini, Pahlawan Proklamator lambang pemersatu bangsa itu, dipisah. Walikota melakukan “cerai paksa” terhadap Sukarno-Hatta. Jalan Sukarno-Hatta itu tidak berumur panjang. Perceraian ke dua tokoh sentral Kemerdekaan Indonesia itu dilakukan tanpa persetujuan DPRD Kota Surabaya yang sudah mengesahkan Perda (Peraturan Daerah) tentang pemberian nama jalan Sukarno-Hatta untuk jalan MERR itu. Jalan Sukarno-Hatta itu pun diganti menjadi Jalan Dr.Ir.H.Soekarno, tanpa menyebut nama Hatta atau Muhammad Hatta dengan  Keputusan Walikota Surabaya No.188.45/86/436.1.2/2011.

Dengan janji yang sangat muluk, seolah-olah akan menjadi walikota sepanjang masa, Tri Rismaharini, menyatakan nanti nama Jalan Dr.H.Muhammad Hatta akan dipasangkan di MWRR (Midle West Ring Road), yaitu jalan lingkar barat bagian tengah, di Surabaya Barat. Padahal, jalan itu entah kapan akan digarap, apalagi selesai. Maka, di Kota Pahlawan inilah Bung Karno berjalan sendiri tanpa kehadiran Bung Hatta. Tragis!

Dalih yang tidak masuk akal, konon perubahan nama itu gara-gara nama Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng, Jakarta, sering disingkat “Soeta”. Jadi, khawatir nanti Jalan Sukarno-Hatta di Surabaya itu disingkat Jalan Suta atau Seoata.

Tidak itu saja dalih yang saya dengar, katanya, di Bukittinggi, Sumetera Barat, di kota kelahiran Bung Hatta, nama Soekarno dengan Hatta juga dipisah. Saya tahu persis, justru, di Bukittinggi itu, Jalan Soekarno-Hatta panjang sekali. Jalan raya Sokarno-Hatta itu, mulai dari dekat rumah kelahiran Bung Hatta, di Pasar bawah Bukittinggi, di dalam kota sampai menuju luar kota, ke Kecamatan Baso Kabupaten Agam terus ke Kabupaten Lima Puluh Kota sampai masuk Kota Payakumbuh. Jadi, Jalan Soekarno-Hatta di Bukittinggi itu merupakan jalan raya dari dalam kota Bukittinggi terus sampai ke Payakumbuh. Tidak tanggung-tanggung, jalan raya Soekarno-Hatta di tanah kelahiran Bung Hatta panjangnya sambung-bersambung dari dua kota dan dua kabupaten.

 

Ditolak DPRD Surabaya

Pemaksaan “cerai paksa” yang dilakukan oleh Walikota Surabaya itu ditolak DPRD Surabaya. Dalam rapat Pansus Pengubahan Nama Jalan DPRD Surabaya, Eddy Budi Prabowo anggota pansus dari Fraksi Partai Golkar mengatakan Pemkot sebaiknya tidak terburu-buru mengubah nama jalan itu.

Alasannya, nama dua proklamator secara historis adalah satu kesatuan. Memisahkannya jadi dua nama jalan berbeda dapat menimbulkan polemik, apalagi saat ini tensi politik di Surabaya meninggi.

Maduki Toha, anggota Pansus dari FKB menilai kebijakan Walikota ini terburu-buru karena belum tentu jalan lingkar Barat bisa cepat dibangun.

“Bahkan bisa saja tidak dibangun. Jika ini terjadi, maka hanya ada nama Jl. Bung Karno saja. Kasihan Bung Karno sendirian tidak ada Bung Hatta,” katanya.

Masduki bersikukuh mengusulkan agar nama jalan diubah menjadi Jl. Soekarno-Hatta Timur, sehingga kalau nanti dibangun lingkar Barat, bisa disesuaikan jadi Jl. Soekarno-Hatta Barat.

 

Nama Sukarno-Hatta

Kalau boleh saya mengungkap masa lalu, boleh disebut lebih ironis lagi ketika di masa Orde Baru. Hampir tidak ada upaya dari Pemkot Surabaya untuk mengabadikan nama besar Pahlawan Nasional, Proklamator Sukarno-Hatta di Kota Pahlawan ini. Saat saya, menyampaikan usul kepada Walikota Surabaya, H.Poernomo Kasidi tahun 1986 agar nama Proklamator Sukarno-Hatta diabadikan di Surabaya, sikap saya selaku penulis dianggap terlalu “berani”.

Pak Pur – begitu walikota yang bertitel dokter itu dipanggil – sembari berbisik mengatakan, jangan dulu. Alasannya, menyebut nama Bung Karno di era Orde baru itu cukup sensitif. Namun, pada tahun 1986 itu Presiden Soeharto, justru mengeluarkan penetapan tentang Dr.Ir.H.Sukarno dan Dr.Mohammad Hatta sebagai Pahlawan Nasional dengan Kepres 081/TK/Tahun 1986 tertanggal 23 Oktober 1986.

Sambutan beberapa pejabat pemerintahan di Indonesia cukup positif. Bandara Cengkareng yang merupakan pengalihan dari Bandara Kemayoran diberi nama Bandara Internasional Sukarno-Hatta. Di Ujungpandang yang kembali bernama Makassar, pelabuhan lautnya diberi nama Sukarno-Hatta. Di Bandung, jalan lingkar selatan yang baru dibangun diberi nama Jalan Sukarno-Hatta.

Beberapa kota di Indonesia sertamerrta mengabadikan nama Proklamator Kemerdekaan RI itu sebagai nama jalan maupun nama taman, serta gedung bersejarah lainnya. Tidak ketinggalan pula di Jawa Timur, seperti Kota Malang, mengabadikan nama Sukarno-Hatta untuk jalan baru yang menghubungkan daerah Blimbing ke Dinoyo. Bahkan, di Kota Pasuruan dan di Bangkalan di Madura nama Jalan Sukarno-Hatta diabadikan di poros utama kota itu.

Secara resmi saya menulis surat kepada Walikota Surabaya, langsung ke tangan Pak Pur. Isi surat itu, agar nama Proklamator Sukarno-Hatta diabadikan di Surabaya dengan alternatif pertama mengganti nama Jalan Perak Timur dan Perak Barat sebagai Jalan Sukarno-Hatta. Alasan penulis waktu itu, karena jalan kembar itu menuju gerbang laut Surabaya, yakni Pelabuhan Tanjung Perak.

Ingat, Sukarno-Hatta sebagai Proklamator Kemerdekaan RI adalah Dwitunggal yang mengantar Bangsa Indonesia ke gerbang masa depan yang bebas dari penjajajah. Nah, Surabaya memang hanya punya satu gerbang masuk kota, yakni Tanjung Perak. Gerbang masuk dari udara dan darat Kota Surabaya, ada di Kabupaten Sidoarjo, yakni Bandara Juanda dan sekarang juga terminal Purabaya di Bungurasih, Waru.

Setelah usul itu tenggelam begitu saja di kantong walikota Poernomo Kasidi, penulis berupaya menanyakan dan mendesak. Ternyata, saya dibentak. Tidak puas dengan sikap sang walikota, penulis membuat artikel di Harian “Surabaya Post” pada tanggal 9 November 1989 dalam rangkaian peringatan Hari Pahlawan.

Sebagai penulis artikel, saya berusaha memberi gambaran, bahwa pintu gerbang kota Surabaya ini “hanya satu” yakni dari laut di Tanjung Perak. Sedangkan gerbang kota melalui darat ada di Bungurasih, Waru, Sidoarjo dan gerbang udara ada di Bandara Juanda, Sidoarjo. Untuk itulah, karena Sukarno-Hatta sebagai proklamator yang mengantarkan bangsa Indonesia ke gerbang kemerdekaan, maka penulis mengusulkan nama Jalan Tanjung Perak Barat dan Jalan Tanjung Perak Timur diubah menjadi Jalan Sukarno-Hatta

Setelah tulisan itu turun di koran terbesar di Surabaya waktu itu, saya dipanggil beberapa pejabat Pemda Kodya Surabaya (waktu itu). Ada yang mendukung dan ada yang menolak dengan alasan perlu ada Perda (Peraturan Daerah). Waktu itu, beberapa anggota DPRD Surabaya yang setuju, tetapi ada yang tidak. Alasannya, macam-macam. Di antaranya berdalih belum ada tempat yang pas untuk mengabadikan nama Sukarno-Hatta di Surabaya. Bahkan yang cukup berkesan, saya dipanggil oleh staf intel Kodam V Brawijaya, meminta penjelasan tentang tulisan di Surabaya Post itu.

Ketika ada rencana pembangunan  jalan lintas timur bagian tengah yang disebut MERR (Midel East Ring Road), ada yang menginginkan nantinya apabila proyek MERR itu jadi, maka nama jalan itu adalah Jalan Sukarno-Hatta. Ternyata MERR yang semula terbengkalai alias mangkrak, tahun 2005 lalu sebagian sudah selesai, termasuk jembatan yang melintas di atas Kali Jagir Wonokroromo sampai ke wilayah Kedung Baruk, di Kecamatan Rungkut.

Kabarnya, kalangan veteran pejuang kemerdekaan dan Angkatan 45 juga pernah mengusulkan jalan raya dari ITS sampai ke viaduk Jalan Sulawesi, yakni Jalan Kertajaya Indah, Manyar Kertoarjo sampai Jalan Kertajaya diganti menjadi Jalan Sukarno-Hatta. Itu juga tidak mendapat tanggapan dari eksekutif dan legislatif.

 

Pro-Kontra

Keinginan saya agar nama Sukarno-Hatta diabadikan di Kota Pahlawan ini kembali menggebu-gebu. Setelah di Harian “Surabaya Post”, beberapa tulisan tentang perlunya Surabaya mengabadikan nama Sukarno-Hatta di Surabaya, saya turunkan di Majalah Gapura (majalah resmi Pemkot Surabaya), tabloid Teduh, SKM Palapa Post, tabloid Metropolis dan Majalah DOR. Ketika saya mempunyai kesempatan yang “sangat baik” dengan Walikota Surabaya H.Sunarto Sumoprawiro, kumpulan tulisan dan artikel ini penulis serahkan kepada Cak Narto – panggilan sang walikota.

Luar biasa, Cak Narto menyambut baik ide untuk pengabadian nama proklamator ini. Saking bersemangatnya, Cak Narto sertamerta menginginkan nama jalan yang layak untuk sang Proklamator adalah mengganti nama Jalan Raya Darmo. Cak Narto waktu itu mengabaikan usul saya agar nama Sukarno-Hatta diabadikan dengan alternatif pertama mengganti nama Jalan Tanjung Perak Timur-Barat dan alternatif kedua sebagai pengganti Jalan Prapen Jemursari (mulai dari perempatan di Jembatan Bratang sampai ke Jalan A.Yani di bundaran Dolog.

Akibat keinginan Cak Narto mengganti nama Jalan Raya Darmo menjadi Jalan Sukarno-Hatta, timbul pro-kontra yang luar biasa di mediamassa. Padahal keinginan Cak Narto mendapat dukungan dari tokoh Surabaya, Prof.Dr.H.Roeslan Abdulgani atau Cak Roeslan. Namun upaya saya agar nama Sukarno-Hatta diabadikan di Surabaya kembali terganjal, bersamaan dengan “kasus walikota Surabaya”, sampai akhirnya Cak Narto sakit dan meninggal dunia di Australia tahun 2002. Begitu juga, Cak Roeslan juga sudah wafat, 28 Juni 2005 lalu di Jakarta.

Bagaimanapun juga, ketika Walikota Surabaya dijabat Drs.Bambang Dwi Hartono,MPd, saya mengharapkan carapandang yang berbeda. Mungkin, waktu yang paling tepat untuk mengabadikan nama Sukarno-Hatta di Surabaya, saat Presiden RI masih dijabat oleh Megawati Sukarnoputri dan diresmikan sendiri oleh anak kandung Bung Karno waktu itu.

Saya mengharapkan, sebagai seorang nasionalis, Bambang DH yang waktu itu juga Ketua DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Kota Surabaya, tentu sangat tepat kalau momen peringatan Hari Jadi Surabaya, 31 Mei 2003 atau peringatan Hari Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 2003 atau peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2003 ditandai dengan pengabadian nama Sukarno-Hatta di Kota Pahlawan Surabaya. Namun, waktu yang baik itu berlalu begitu saja. Kelihatan nyali dan kemauan politik Bambang DH sama sekali masa bodoh untuk mengabadikan nama sang Proklamator Soekarno-Hatta.

Padahal, wakt u itu sebenarnya ada dua ikatan emosional yang bisa dibangun. Selain bambang DH yang aktivis PDI-P, wakilnya Arif Afandi berasal dari Blitar, tempat asal orang tua Bung Karno. Perpaduan Bambang DH-Arif Afandi itu bisa dengan mudah mewujudkan pengabadian nama Sukarno-Hatta.

Alhamdulillah, perasaan warga kota Surabaya terobati, di masa akhir jabatannya sebagai walikota, Bambang DH bersama DPRD Kota Surabaya, tanggal 27 April 2010  sepakat memberikan nama jalan lingkar timur bagian tengah atau MERR menjadi Jalan Sukarno-Hatta. Kata-kata “Ironis!” yang selama ini disandang Kota Pahlawan yang lamban mengabadikan nama Sukarno-Hatta menjadi berubah.

Namun, seperti saya tulis di atas, sungguh malang nasib Dwitunggal Sukarno-Hatta itu. Justru di Kota Pahlawan ini, setelah terwujud pasangan pemersatu bangsa itu menjadi satu, lalu dipisah. Walikota melakukan “cerai paksa” terhadap Sukarno-Hatta. Jalan Sukarno-Hatta itu tidak berumur panjang. Tanpa persetujuan DPRD Kota Surabaya yang sudah mengesahkan Perda (Peraturan Daerah) tentang pemberian nama jalan Sukarno-Hatta, sertamerta Jalan Sukarno-Hatta itu pun diubah menjadi Jalan Dr.Ir.H.Soekarno, tanpa menyebut nama Hatta atau Muhammad Hatta.

Tri Rismaharini, menyatakan nanti nama Jalan Dr.H.Muhammad Hatta akan dipasangkan di MWRR (Midle West Ring Road), yaitu jalan lingkar barat bagian tengah, di Surabaya Barat. Padahal, jalan itu entah kapan akan digarap, apalagi selesai.

Sekali lagi saya ulangi, “Sungguh tragis! Justru di Kota Pahlawan inilah Bung Karno berjalan sendiri tanpa kehadiran Bung Hatta.” ***

*) Penulis adalah Wartawan berdomisili di Surabaya

Mengapa Walikota “Baru” Surabaya Menolak Jalan Tol Tengah Kota?

Mengapa Walikota “Baru” Surabaya

Menolak Jalan Tol Tengah Kota?

Senin, 20-12-2010 13:28:23 oleh: Yousri Nur Raja Agam
Kanal: Layanan Publik

Sungguh aneh! Kota Surabaya yang sedang menuju kota modern, kota metropolitan, dan dipimpin oleh seorang sarjana teknik, ternyata berpola pikir “pendek”. Demikian guman dan celoteh lebih separuh wakil rakyat yang duduk di DPRD Kota Surabaya.

Adalah seorang perempuan bernama Ir.Tri Rismaharini,MT yang baru tiga setengah bulan menduduki jabatan walikota Surabaya, membuat pertikaian masyarakat. Walikota yang seharusnya menjadi penyegar, apalagi seorang ibu yang muslimah, ternyata berhati keras. Pergunjingan panjang tiada henti dan polemik di mediamassa juga menjadi-jadi. Belum lagi, obrolan dan debat kusir di warung kopi.

Risma – begitu walikota perempuan pertama di Surabaya itu akrab disapa – tanpa melihat “ukuran baju” yang dipakainya, seolah-olah sudah menjadi orang kuat. Entah “bisikan” apa yang didengar dari orang-orang di sekitarnya, ia “berani menantang tembok besar”.

Wanita yang sekarang mengenakan jilbab ini dengan gaya “gagah” melawan “kebijakan pemerintah pusat,  pemerintah Provinsi Jawa Timur, Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Timur dan Perda Kota Surabaya, serta suara mayoritas rakyat Kota Surabaya yang diwakili DPRD Kota Surabaya”.

Alumnus ITS (Institut Teknologi Sepuluh November) Surabaya ini “mengajak” akademisi dari kampusnya berdemonstrasi menolak persetujuan sidang paripurna DPRD Kota Surabaya tentang persetujuan pembangunan jalan tol di tengah kota Surabaya. Dalam barisan insinyur itu, terlihat mantan Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur Prof.Dr.Ir. Daniel M.Rasjid, pakar permukiman Prof.Dr.Johan Silas dan mantan rektor ITS Prof.Dr.Soegiono.

Namun, belasan akademisi yang mengatasnamakan diri “Masyarakat Surabaya Menggugat” itu kalah dalam argumentasi di kantor DPRD Kota Surabaya. Bahkan, yang cukup memalukan, ucapan dua anggota delegasi, Sulistyanto Santoso dan Isa Anshori dinilai melecehkan dan mencemarkan lembaga DPRD Surabaya. Serta merta, dua orang intelektual ini diusir dari ruang sidang. Mereka digelandang empat petugas keamanan saat demo hari Jumat, 17 Desember 2010 itu.

Pemerintah Pusat

Pembangunan jalan tol di tengah kota Surabaya sudah dicanangkan cukup lama, saat Surabaya dipimpin Walikota Surabaya DR.H.Sunarto Sumoprawiro, tahun 1999. Proyek penanggulangan kemacetan lalulintas di Surabaya itu sebagai hasil studi para ahli dalam dan luar negeri yang peduli Surabaya. Pemerintah Pusat, melalui Kementerian Pekerjaan Umum – dulu Departemen PU – setelah mempertimbangkan berbagai hal sebelum memberi persetujuan pembangunan jalan tol di tengah kota Surabaya.

Wakil Walikota Surabaya, waktu itu Drs.H.Bambang Dwi Hartono,MPd yang mendampingi Cak Narto – panggilan akrab Sunarto Sumoprawiro – dan kemudian menjadi walikota Surabaya tahun 2002 – 2005 dan 2005 – 2010, pada awal tahun 2006 menerima surat persetujuan resmi dari Menteri PU. Surat Keputusan Menteri PU No.369/2005 itu bahkan menetapkan PT.Margaraya Jawa Tol (MJT) sebagai investor pelaksana jalan tol tengah kota Surabaya itu.

Berdasarkan Surat persetujuan Menteri PU No.369/2005 itu, kemudian DPRD Kota Surabaya mengesahkan Perda No.3 tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Surabaya.  Perda ini pun sudah mendapat persetujuan Pemerintah Provinsi Jawa Timur, sebelum disahkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri).

Menteri PU kemudian menyempurnakan SK No.369/2005 dengan mengubahnya dengan Keputusan Menteri (Kepmen) PU No.360 tahun 2008..Namun, pelaksanaan pembangunan tak kunjung dilaksanakan. Dalihnya, investor masih kesulitan dana.

Pertengahan tahun 2010 ini, PT.MJT berhasil membentuk konsorsium , sehingga masalah pendanaan dapat diatasi. Proyek jalan tol tengah kota Surabaya yang bakal menghabiskan dana Rp 9,2 triliun itu bakal dibiayai perusahaan konsorsium. Dengan tetap menggunakan nama PT.MJT, saham perusahaan dibagi menjadi: PT.Jasa Marga 55 persen, PT DGI 20 persen, PT.PP 20 persen dan PT.Elnusa 5 persen.

Dengan perusahaan konsorsium dan dana segar yang bakal dikucurkan untuk pembangunan jalan tol tengah kota yang sudah lama dirancang itu, PT.MJT menghubungi Pemkot Surabaya dan juga Pemprov Jatim. Pertemuan dengan Pemkot Surabaya dihadiri Walikota Surabaya, Bambang DH yang saat itu berada pada akhir masa jabatannya.

Bambang DH didampingi Plt.Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya Ir.Hendro – sebab saat itu Kepala Bappeko Tri Rismaharini sudah mengundurkan diri, karena mempersiapkan diri menjadi calon walikota Surabaya. Pejabat lain yang juga mendampingi Bambang DH adalah, Asisten I Sekretaris Kota Surabaya bidang Pemerintahan Hadi Siswanto Anwar,SH, Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Ir.Arief Darmansyah, serta staf ahli walikota Dr.Ir.Djamhadi yang juga Ketua Kadinda Kota Surabaya.

Risma Menolak

Nah, begitu Pemerintah Pusat menyatakan pembangunan jalan tol tengah kota di Surabaya tidak lama lagi akan dilaksanakan, walikota “baru” Tri Rismaharini merasa dilangkahi. Ia tersinggung dan “kebakaran jenggot”.

Berulang-ulang Risma menyatakan menolak rencana Pemerintah Pusat untuk membangun jalan tol di tengah kota Surabaya. Gubernur Jawa Timur Dr.H.Soekarwo sebagai kepala pemerintahan yang merupakan kepanjangtangan pemerintah pusat, berada pada posisi “serba salah”. Betapa tidak, sebagai gubernur Pakde Karwo – begitu Soekarwo akrab disapa – harus menjadi pengaman kebijakan pusat. Sedangkan sebagai kepala daerah Jawa Timur, mantan Sekda Jatim ini harus mengayomi para kepala daerah di Jawa Timur.

Risma bersikukuh menolak rencana pembangunan tol tengah kota Surabaya itu. Mantan Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Surabaya itu, mengharapkan yang ditindaklanjuti adalah pembangunan jalan lingkar timur dan lingkar barat Surabaya. Ia melihat, pembangunan tol tengah kota tidak akan memecahkan masalah kemacetan lalu-lintas di Surabaya. Justru, kalau jalan lingkar yang diprioritaskan, maka akan membuat kemacetan tengah kota akan berkurang. Sebab, kemacetan yang terjadi di tengah kota, akibat masih kurangnya jalur jalan raya di pinggir kota.

Dr.Ir.Djamhadi yang menjadi mantan staf ahli walikota Surabaya, menyatakan seharusnya walikota Tri Rismaharini bisa berpikir jernih. Proyek pembangunan jalan tol itu, merupakan pemecahan masalah lalu-lintas jangka panjang di tengah kota.

Mantan Gubernur Jatim HM Basofi Soedirman, juga menyatakan heran, mengapa proyek yang dibiayai dengan uang pemerintah pusat di lahan yang juga milik pemerintah pusat, kok ditolak Walikota Surabaya. Memang, katanya, sewaktu menjadi gubernur Jatim, ia merasakan pembangunan jalan tol tengah kota Surabaya itu perlu.

“Tetapi, kalau sekarang dianggap tidak perlu, saya juga tidak mengerti”, ujar pelantun lagu “Tidak Semua Laki-laki” itu.

Beberapa anggota DPRD Kota Surabaya, yang mayoritas menyetujui jalan tol tengah kota, menyatakan pembangunan jalan tol tengah kota Surabaya sebagai alternatif terbaik menjelang tahun 2025 mendatang. Sementara itu, jalan lingkar timur dan lingkar barat juga tetap dibangun. Surabaya masa depan, harus memperhitungkan jumlah kendaraan dengan ruas jalan yang ada. Artinya, walikota sebagai pengambil kebijakan tidak hanya berpikir jangka pendek. ***.

Sudah dimuat pada http://www.wikimu.com  Senin, 20 Desember 2010

Tag/Label

jalan tol tengah kota, Tri Rismaharini, walikota surabayasurabaya, kemacetan lalulintas, DPRD Kota Surabaya, Djamhadi, PT.Margaraya Jawa Tol

Siapa Walikota “Pertama” Surabaya

Radjamin Nasution

Walikota Pertama Surabaya

Oleh: Yousri Nur Raja Agam M.H.

SAAT Surabaya dinyatakan sebagai sebuah permukiman resmi pada abad ke-13 sebagaimana disebutkan Surabaya lahir 31 Mei 1293, penduduknya mungkin belum mencapai seribu orang. Namun, dengan makin berkembangnya Kerajaan Majapahit di bawah Raden Wijaya dan seterusnya mencapai puncak saat Raja Hayamwuruk didampingi perdanamenterinya, Mahapatih Gajah Mada, pelabuhan Hujunggaluh semakin ramai.

Kesibukan di pelabuhan Hujunggaluh yang merupakan nama asal Surabaya, menjadi daya tarik warga daerah lain datang ke sini. Ada yang datang dari daratan pedalaman Pulau Jawa, ada pula yang menyeberang dari pulau-pulau lain di Nusantara. Bahkan, tidak sedikit yang semula sebagai saudagar dari Arab, India dan Cina, menetap di sini.

Bercampurbaurlah masyarakat pendatang dari berbagai suku, ras dan keturunan di Surabaya ini, yang kemudian menetap, lalu menjadi “Arek Suroboyo”.

Perkembangan penduduk Surabaya ini memang unik dan menarik, kata sesepuh Kota Surabaya, Prof.DR.H.Roeslan Abdulgani. Kendati hidup berkelompok menurut asalnya, tapi dalam kegiatan bermasyarakat untuk kepentingan Surabaya, mereka bersatu. Lihat saja, mereka yang berada di sekitar pantai dan pelabuhan, umumnya mereka berasal dari Madura, Bugis, Ambon dan Banjar. Sedangkan yang berada di tengah kota asal, yaitu sekitar pusat perdagangan Kembang Jepun sampai Tunjungan, kebanyakan warga keturunan Arab, Cina dan India, serta warga pendatang dari pedalaman Jawa dan perantau dari Sumatera.

Saat Belanda menjajah dan memerintah di Indonesia, termasuk Kota Surabaya, semula mereka bekerjasama dengan pemerintahan Kerajaan Majapahit. Di Surabaya ada keadipatian atau Kadipaten Surabaya, terus sampai kemudian Indonesia merdeka.

Surabaya sebagai sebuah pusat perdagangan yang mempunyai pelabuhan tempat sandar kapal-kapal dagang, maju dan berkembang. Surabaya menjadi kabupaten yang wilayahnya termasuk Gresik. Awal abad ke-20 Kabupaten Surabaya dibagi menjadi Kota Surabaya dan Kabupaten Surabaya – Kabupaten Surabaya kemudian berganti nama menjadi Kabupaten Gresik.

Burgemeester

Hari lahir atau ditetapkannya Surabaya sebagai kota, oleh Pemerintah Kolonial Belanda, bersamaan dengan beberapa kota lain di Indonesia, tanggal 1 April 1906. Dulunya, tanggal 1 April itulah Hari Ulang Tahun (HUT) Kota Surabaya, namun sejak tahun 1975 diubah menjadi 31 Mei.

Sejak Surabaya menjadi kota dan berpemerintahan sendiri, Kota Surabaya ini pemimpinnya dirangkap oleh Residen Surabaya. Pemerintahan Dalam Negeri Hindia Belanda menetapkan status Surabaya sebagai Kotapaja dengan Hak Otonom (Zelfstaandige Stadsgemeente). Perangkapan jabatan oleh Residen Surabaya berlangsung 10 tahun sebagai masa peralihan. Baru 21 Agustus 1916, diserahkan kepada kepala pemerintahan kota yang disebut Burgemeester.

Orang pertama yang ditunjuk sebagai burgemeester adalah Mr.A.Mey Roos. Empat tahun kemudian, tahun 1920 ia diganti oleh Ir.G.J.Dijkerman. Selama enam tahun memerintah sampai tahun 1926, ia digantikan oleh H.J.Bussemaker (1926-1932). Berturut-turut berikutnya burgemeester adalah:: Ter Poorten (1932-1936), MHW Van Helsdingen (1936-1942). Pada bulan Januari 1942, burgemeester Surabaya diserahterimakan kepada Mr.W.A.H.Fuchter. Namun, hanya satu bulan memerintah, Balatentara Jepang masuk ke Indonesia. Belanda, pada Februari 1942 meninggalkan pemerintahan kota Surabaya.

Begitu Belanda angkat kaki dari Indonesia, pemerintahan Kota Surabaya diambilalih oleh para pegawai di lingkungan Pemerintah Kota Surabaya. Pada masa transisi ini berdasarkan kesepakatan bersama ditetapkan, karyawan pribumi yang cukup berwibawa waktu itu Radjamin Nasution Gelar Sutan Komala Pontas, sebagai Pejabat Walikota. Di bawah suasana Perang Dunia II itu, pengaruh kekuasaan Balatentara Jepang semakin terasa. Selama delapan bulan sejak Februari hingga September 1942, Radjamin Nasution mengendalikan Pemerintahan Kota Surabaya.

Jepang yang sudah berkuasa secara penuh di persada Nusantara, kemudian ikut menata pemerintahan. Namun Jepang bersikap kooperatif. Kendati kekuasaan tertinggi di Kota Surabaya diambilalih, dengan menetapkan Takahashi Ichiro sebagai walikota yang disebut Shi Tyo , namun mereka menetapkan Radjamin Nasuition menjadi wakil walikota yang disebut Asisten Shi Tyo.

Walikota Pertama

Saat Pemerintahan Jepang menyatakan “kalah” dalam Perang Dunia II, setelah bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, bulan Agustus 1945, kemudian Indonesia juga memproklamasikan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945. Takahashi Ichiro kemudian menyerahkan sepenuhnya kepala pemerintahan Kota Surabaya kepada wakilnya, Radjamin Nasution.

Pemerintah Balatentara Jepang kalah dan Indonesia merdeka. Maka terhitung sejak Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, Radjamin Nasution Gelar Sutan Komala Pontas ditetapkan sebagai Walikota Surabaya.

Radjamin Nasution yang bertempat tinggal di Jalan Alun-alun Rangkah No.3 Surabaya atau Jalan Taman Putroagung No.9 Surabaya itu, memerintah Kota Surabaya dalam suasana perang. Betapa tidak, menurut orang-orang tuawarga di kampung Rangkah, saat menjadi walikota itu, Radjamin lebih banyak disibukkan dengan urusan perang. Sebab, setelah Indonesia merdeka dan Jepang kalah, ternyata orang-orang Balanda yang ada di Surabaya bangkit. Belanda yang ada di Surabaya seolah-olah ikut menang, sehingga mereka berusaha untuk kembali memerintah. Di tambah lagi dengan gencarnya serangan tentara Sekutu untuk merebut kekuasaan di Indonesia, termasuk Surabaya.

Setelah Indonesia dinyatakan merdeka, Radjamin Nasution sebagai seorang pejabat karir berusaha memperbaiki administrasi pemerintahan kota. Ia berkoordinasi dengan Residen Surabaya, waktu itu, R.Soedirman dan Gubernur Jatim RM Soeryo.

Saat terjadi pertempuran sengit antara pejuang Arek Suroboyo melawan Sekutu yang dikendalikan tentara Inggris, korban berjatuhan. Ratusan dan mungkin ribuan orang gugur di medan perang Surabaya. Patriot bangsa ini dikuburkan di berbagai makam. Salah satu di antaranya, lapangan olahraga pelajar juru rawat yang terletak di belakang Rumah Sakit Simpang dijadikan kuburan.

Atas gagasan Walikota Surabaya, Rajamin Nasution, kemudian pemakaman para pejuang yang gugur itu dipindahkan ke lapangan “Canna” (di Jalan Kusuma Bangsa, sekarang). Untuk pertamakalinya dimakamkan 26 orang pejuang. Upacara pemakaman ini dipimpin langsung oleh Rajamin Nasution selaku Kepala Pemerintahan Kota (Walikota).

Saat berpidato mengantarkan para pejuang ke tempat peristirahatannya yang terakhir itulah tercetus untuk menjadikan lapangan Canna itu menjadi “Taman Bahagia” dankemudian berubah menjadi TMP (Taman Makam Pahlawan) Kusuma Bangsa.

Masih menurut penuturan orang-orang tua, warga Kelurahan Rangkah, Kecamatan Tambaksari, kepemimpinan Radjamin Nasution itu cukup bagus. Ia sangat memperhatikan karyawan. Bahkan, saat pemerintahan Kota Surabaya “terpaksa” mengungsi ke Mojokerto dan Tulungagung, ia mengendalikan Surabaya dengan wira-wiri antara Surabaya, Mojokerto dan Tulungagung.

Ketika menjadi walikota itu, Radjamin juga sibuk menghimpun kekuatan perlawanan terhadap gempuran sekutu. Ia bersama pemuda dan karyawan yang masih bertahan di Surabaya, bahu membahu menyediakan keperluan pejuang. Ada satu yang tidak pernah dilupakan oleh ibu-ibu tua warga kampung Rangkah yang ikut mengungsi ke Tulungagung, Radjamin mengumpulkan pakaian bekas dan karung goni untuk bahan pakaian para pejuang di Surabaya.

Perhatian Radjamin di masa “sulit” itu kepada pegawai Pemkot Surabaya yang mengungsi sangat besar. Dari Surabaya, ia membawa sendiri uang untuk membayar gaji para karyawan yang berada di tempat pengungsian, di Mojokerto, Jombang dan Tulungagung.

Belanda “sempat merebut” pemerintahan di Kota Surabaya, dengan menetapkan Mr.O.J.C.Becht sebagai Kepala Urusan Haminte selama dua bulan. Sehingga, berakhirlah masa pemerintahan Radjamin Nasution sebagai walikota pertama Surabaya.

Pemakaman Rangkah

Radjamin Nasution Gelar Sutan Komala Pontas menjadi arek Suroboyo sejak tahun 1930-an dan terakhir bertempat tinggal di Jalan Alun Alun Rangkah No.3 Surabaya. Setelah melepas jabatan walikota Surabaya, Radjamin duduk sebagai anggota DPRD Kota Surabaya sampai tahun 1955.

Saat menjadi anggota DPRD Kota Surabaya itu, Rajamin Nasution ikut mendirikan YKP (Yayasan KasPembangunan) Kota Surabaya. YKP adalah sebuah yayasan yang sudah banyak mendirikan perumahan untuk pegawai dan masyarakat umum dengan sitem menabung. Hingga sekarang YKP masih ada dan sudah mempunyai anak perusahaan bernama PT.Yekape yang juga bergerak di bidang real estat (pengembang kawasan perumahan) di dalam kota Surabaya dan sekarang bahkan sudah sampai ke luar kota.

Setelah Pemilu 1955, Radjamin terpilih mewakili Jawa Timur di DPR Pusat di Jakarta. Radjamin meninggal dunia 10 Februari 1957 dan dimakamkan di Kota Surabaya.

Radjamin Nasution yang lahir di Desa Barbaran Julu, Panyabungan, Mandailing, Sumatera Utara tanggal 15 Agustus 1892, saat meninggal dunia, ia meninggalkan delapan orang anak. Salah satu di antaranya adalah Irsan Radjamin, suami dari wanita pejuang Surabaya, Hj.Lukitaningsih Irsan Radjamin, Ketua Umum Wirawati Catur Panca (Ibu-ibu Kelasyakaran Pejuang Eksponen Angkatan 45).

Menurut warga Rangkah, saat jenazah disemayamkan di rumah duka ada yang mengusulkan almarhum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa. Sebab, dalam kegiatannya menjelang dan setelah Kemerdekaan RI, selalu berada di garis perjuangan. Namun atas “wasiat” almarhum, kata anak-anaknya, ia ingin dimakamkan di tengah-tengah warga Surabaya. Maka, Radjamin Nasution, dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Rangkah, di Jalan Kenjeran. TPU Rangkah ini adalah TPU terbesar ke dua setelah TPU Tembok. Dan di TPU Rangkah ini pulalah dimakamkan Pahlawan Nasional Pencipta Lagu Indonesia Raya, Wage Rudolf Soepratman.

Mr.Indrakoesoema dan Mr.Soerjadi

Pada bulan Desember 1945, pemerintahan kota Surabaya kembali direbut Arek-arek Suroboyo dan menunjuk Mr.Indrakoesoema sebagai walikota. Tidak lama memang, Mr.Indrakoesoema menjadi walikota, hanya tiga bulan dari bulan Desember 1945 hingga Februari 1946. Walikota Indrakoesoema diganti oleh Mr Soerjadi. Cukup lama,lima tahun masa pemerintahan dipegang Mr.Soerjadi.

Pada awal pemerintahan Walikota Surabaya, Mr.Soerjadi, suasana kota masih mencekam. Tentara Inggris dan Sekutu masih berada di Surabaya. Di beberapa tempat masih terdengar denduman bom dan mortis, serta desingan peluru senapan. Menurut Sutjipto Danukusumo yang waktu itu menjadi komandan pasukan Polisi Istimewa dengan pangkat Inspektur Polisi, tentara Inggris masih mengejar-ngejar pejuang sampai ke Karangpilang dan Sepanjang.

Walaupun situasi masih gawat, Mr.Soerjadi berusaha mengendalikanberbagai kegiatan pembangunan kota. Puing-puing sisa perang melawan Sekutu dan anteknya Belanda mulai dibenahi. Para pejuang yang mengungsi ke berbagai kota, mulai kembali secara bertahap ke kota Surabaya. Soerjadi juga melakukan pembenahan administrasi dan kantor Pemkot Surabaya. Gedung balaikota sebagai pusat pemerintahan difungsikan sebagai pusat pengendalian pemerintahan.

Suhu politik di ibukota Pemerintah Republik Indonesia (waktu itu di Jogjakarta) pada awal tahun 1946 kian memanas. Berbagai kegiatan yang mendukung persatuan nasional semakin meningkat di kalangan pelajar dan mahasiswa. Begitu pula dengan wartawan. Sampai-sampai di saat yang genting itu, para wartawan dari seluruh Indonesia, khususnya dari Jawa dan Sumatera, berkumpul di Solo. Di sana bahkan dideklarasikan berdirinya organisasi wartawan Indonesia yang bernama PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), tepatnya tanggal 9 Februari 1946.

Pak Wiwiek yang punya nama asli Said Hidayat, kelahiran Rembangan, Jember, Jawa Timur tanggal 22 April 1922 itu mengisahkan, sebagai wartawan dan pendiri Kantor Berita Antara di Surabaya, ia sering mendampingi Mr. Soerjadi. Tidak jarang, ia duduk berlama-lama bersama Soerjadi membicarakan pasca perang di Surabaya itu.

Masa kepemimpinan Mr. Soerjadi ini keadaan negara dalam keadaan genting, sebab terjadi agresi pertama tahun 1947. Perselisihan dengan pihak Belanda semakin meruncing sehingga mempengaruhi stabilitas ekonomi dan pemerintahan. Saat beberapa kali Pemerintah Republik Indonesia yang disebut Pemerintah Pusat melakukan perundingan dengan pihak Belanda mengalami kegagalan, kejadian inipun menimbulkan ketegangan internal dalam Pemerintahan Kota Surabaya.

Berkat tangan dingin Mr. Soerjadi yang ahli hukum pemerintahan itu, situasi Kota Surabaya dapat dikendalikan. Inipun tidak lepas dari kordinasi dan kerjasama sesama mantan pejuang. Bahkan, kerjasama dengan pihak kepolisian, khusunya waktu itu Polisi Istimewa dan tentara (BKR, kemudian menjadi TKR, TRI dan terakhir menjadi TNI) berjalan sangat harmonis.Waktu itu, Komandan Komando Pertahanan Kota Surabaya dijabat oleh Kolonel Soengkono dan Kepala Kepolisian Surabaya adalah Komisaris Polisi Budiman.

Tanggal 21 Juli 1947, Belanda melakukan serangan bersenjata melalui darat, laut dan udara. Perang Kemerdekaan I yang disebut Agresi I melawan Belanda berlangsung di mana-mana. Belanda dengan tuntutan Gandarmerry tidak mengakui kemerdekaan RI.Namun peperangan itu berakhir dengan gencatan senjata, 4 Agustus 1947. Pemerintah Pusat mulai melakukan perundingan dan menempuh jalur diplomatik. Sebagaimana diungkap dalam sejarah, terjadi perundingan KTN (Komisi Tiga Negara) sebagai pendamai. Indonesia diwakili Australia, Belanda oleh Belgia dan Amerika mewakili negara-negara lain di dunia.

Perundingan berlanjut dengan “Perjanjian Renvile”, karena perundingan dilaksanakan di atas kapal Renvile yang sedang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Perundingan demi perundingan berlangsung, sampai terlaksana Perjanjian Linggarjati. Tetapi sayang, pihak Belanda igkar janji, perjanjian Linggarjati dilanggar. Akhirnya terjadilah Perang Kemerdekaan II atau Agresi Belanda II bulan Desember 1948.

Keadaan ini sangat berpengaruh kepada pemerintahan kota Surabaya. Mr.Soerjadi terus melakukan koordinasi dengan staf dan jajaran pegawai. Urusan administrasi dan keperluan warga terus dilayani. Waktu itu, yang sangat dibutuhkan adalah kartu pengenal dan surat jalan. Waktu itu, lalulintas manusia dari dalam ke luar kota menimbulkan saling curiga. Di samping adanya mata-mata Belanda, juga ada kegiatan pemberontakan PKI di Madiun.

Tidak jarang sesama mantan pejuang tahun 1945 itu terdengar pekik “merdeka”, apabila mereka bertemu. Namun keadaan tidak sepenuhnya kondusif, karena juga ada yang saling curiga. Di beberapa tempat di Surabaya ini terjadi tindakan anarkis.

Setelah masa tegang mulai mengendur, kehidupan warga Surabaya mulai membaik. Kegiatan ekonomi di pasar-pasar mulai bergairah. Kantor-kantor juga mulai melakukan penataan. Tetapi di balik itu semua, tidak dapat dipungkiri, bahwa para pemuda pejuang yang merasa punya peran menghadapi Jepang dan Sekutu, melakukan perampasan barang-barang peninggalan Belanda dan Jepang. Rumah-rumah di kawasan elite, seperti di sekitar daerah Darmo, Ketabang, Genteng, Embong Kaliasin, Undaan, Raya Gubeng dan wilayah lainnya diduduki. Lama kelamaan, rumah itu dikuasai dan ditempati oleh keluarga. Bahkan, sekarang sudah menjadi milik mereka.

Walikota Surabaya, Mr. Soerjadi juga sangat berperan dalam pengaturan barang-barang milik Belanda yang ditinggal saat terjadi perang perjuangan tahun 1945 itu. Dinas perumahan bekerjasama dengan pihak militer, melakukan inventarisasi dan pengaturan. Walaupun awalnya mendapatkan rumah-rumah itu secara “gratis”, namun Pemerintahan di bawah Mr. Soerjadi ini berusaha menjaring pemasukan keuangan untuk Pemkot Surabaya. Ada yang dengan sistem sewa, izin pemakaian dan izin menghuni, sehingga ada pemasukan untuk kas Pemkot Surabaya. Tarifnya memang tidak mahal, sehingga terjangkau oleh warga kota Surabaya yang umumnya adalah para pegawai di kantor-kantor pemerintah maupun perusahaan besar waktu itu.

Mr.Soerjadi juga banyak melakukan pendidikan hukum bagi warga kota tatkala terjadi perselesihan dan sengketa antarwarga. Adakalanya, rumah yang ditempati bekas pejuang itu adalah inventaris kantor perusahaan perkebunan, pelabuhan, pabrik atau swasta lainnya. Dengan sikap kepemimpinan yang bijaksana, perselisihan dapat didamaikan, kata Wiwiek Hidayat (alm), mantan kepala kantor LKBN Antara Surabaya langsung kepada penulis.

Banyak cerita tentang Mr.Soerjadi ini yang penulis peroleh Wiwiek Hidayat yang tinggal di Jalan Jimerto 23 A atau Jalan Jaksa Agung Suprapto 31 Surabaya itu. Pak Wiwiek – begitu wartawan senior ini biasa disapa – banyak tahu tentang Surabaya, sehingga tidak mengherankan kalau Walikota Surabaya R. Soekotjo mempercayakan kepadanya untuk memimpin tim penyusunan sejarah Surabaya tahun 1973.

Tahun 1947 hingga 1949, katanya, situasi negara kita ini dalam keadaan menegangkan. Konfrontasi secara nasional dengan pihak Belanda masih terjadi. Belanda masih berusaha untuk mencengkamkan kembali kekuasaannya di tanahair tercinta ini. Kerajaan Belanda tidak mengakui kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945.

Kordinasi dengan Pemerintahan Provinsi Jawa Timur pada zaman Mr. Soerjadi berjalan baik, di samping dengan Residen Sudirman. Ada tiga gubernur yang menjadi atasan langsung Mr. Soerjadi. Pertama, RT Soerjo yang memerintah sejak tahun 1945 hingga 1948. Belanjut yang kedua dengan gubernur Jatim, Dr. Moerdjani tahun 1948-1949 dan yang ketiga, saat pemerintahan gubernur Jatim R. Samadikoen.

Sebagai walikota Surabaya dalam keadaan negara yang bergolak, kepemimpinan Mr. Soerjadi layak dicatat sebagai penegak kedaulatan pemerintahan sipil di Surabaya, kata Wiwiek Hidayat yang pernah dinobatkan Panglima Besar Jenderal Sudirman sebagai “wartawan perang” itu.

Kepada penulis saat di akhir hayatnya, Pak Wiwiek sempat mengeluh. Ia merasa heran terhadap beberapa pejabat di kantor Pemkot Surabaya, mengapa dalam pemerintahan kota Surabaya terjadi “diskriminasi” sejarah. Jasa yang begitu besar dari para walikota di zaman perang kemerdekaan, seolah-olah tidak pernah ada. Menurut Pak Wiwiek, ia tahu persis bagaimana kiprah walikota Radjamin Nasution dan Mr.Soerjadi. Sebagai seorang wartawan, ia sering hanya berdua dengan sang walikota. Wawancara khusus, katanya.

Sebagai pejabat pemerintahan kota Surabaya, kiprah ke dua walikota ini patut diabadikan. Apalagi hingga akhir hayatnya ke dua orang itu masih tetap peduli dengan kota Surabaya. Merekapun meninggaldunia dan dimakamkan di bumi Surabaya, kata mantan Kepala LKBN Antara di Filipina itu.

Namun ujar Wiwiek Hidayat, ia tidak tahu persis bagaimana dengan walikota Indra Koesoema, sebab, dia hanya sebentar menjabat. Saat itu Indra Koesoema adalah hakim di Pengadilan Surabaya. Dia menggantikan Mr.C.J.C. Becht, Kepala Urusan Haminte saat Belanda kembali mengambilalih pemerintahan. Tiga bulan di sejak Desember 1945 dan berakhir Februari 1946. Setelah itu, walikota dijabat oleh Mr.Soerjadi sampai tahun 1950.

H.Doel Arnowo

Lima tahun menjadi walikota Surabaya, bagi Mr.Soerjadi adalah merupakan pengabdian yang cukup sebagai abdi negara. Apalagi waktu itu adalah masa penataan kembali bangsa ini sehabis diobrak-abrik oleh penjajah yang ingin mencengkeramkan kembali kuku kolonilaismenya di bumi Pertiwi.

Tahun 1950, setelah “Penyerahan Kedaulatan” , walikota Surabaya dijabat oleh Doel Arnowo. Doel Arnowo adalah tokoh Surabaya yang sebelumnya menduduki jabatan Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Keresidenan Surabaya yang terbentuk tanggal 27 Agustus 1945.

Hanya dua tahun Doel Arnowo menjadi walikota Surabaya, yakni hingga 1952.

Dalam masa pemerintahan Doel Arnowo ini, ada sejarah luar biasa yang dicatat Pemkot Surabaya. Di tahun 1950 itu, Presiden Soekarno menetapkan Surabaya sebagai Kota Pahlawan. Pada upacara peringatan peristiwa bersejarah 10 November 1945 yang pertamakalinyaberlangsung di Surabaya, 10 November 1950, Bung Karno menyatakan tanggal 10 November sebagai “Hari Pahlawan”.

Bersamaan dengan itu, Bung Karno juga melaksanakan peletakan batu pertama pembangunan Tugu Pahlawan di bekas lahan gedung Raad van Justitie (pengadilan tinggi) zaman Belanda dan markas Kenpetai pada zaman Jepang. Tanggal 17 Agustus 1952, pembangunan Tugu Pahlawan selesai dan diresmikan sebagai monumen bersejarah untuk memperingati perjuangan heroik Arek Suroboyo melawan Sekutu dan Inggris, serta Belanda.

Tahun 1952, arek kampung Genteng ini diganti Moestadjab Soemowidagdo. Di masa pemerintahan Moestadjab Soemowidagdo inilah secara bertahap pembangunan Surabaya ditata. Sebab, sejak walikota pertama (Radjamin Nasution), hingga walikota hingga walikota ke empat (Doel Arnowo), pemerintahan lebih terfokus kepada perjuangan kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan.

Berikutnya, pemerintahan kota Surabaya berjalan di bawah kendali Pemerintah Republik Indonesia. Setelah lima tahun memerintah, Moestadjab sebagai walikota tahun 1956 diganti oleh walikota R.Istidjab Tjokrokoesoemo (1956-1958). Kemudian berturut-turut Kota Surabaya dipimpin walikota Dr.R.Satrio Sastrodiredjo (1958-1964), Moerachman,SH (1964-1965), Kolonel R.Soekotjo (1965-1974).

Saat walikota dijabat R.Soekotjo, sebutan walikota ditambah menjadi Walikota Kotamadya Surabaya. Sewaktu walikota berikutnya, Kolonel HR Soeparno (1974-1979), sebutan untuk walikota diubah menjadi Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II (KDH) Tk.II Surabaya. Begitu pula saat kursi walikota diduduki Kolonel CPM Drs.Moehadji Widjaja (1979-1984).

Tahun 1984, walikotamadya Surabaya beralih kepada Kolonel dr.H.Poernomo Kasidi yang memerintah dua kali masa jabatan hingga tahun 1994. Dalam pemerintahan Poernomo Kasidi ini, tahun 1988 ditetapkan adanya jabatan Wakil Walikota untuk Kotamadya Surabaya. Orang yang mendapat kepescayaan sebagai wakil walikotamadya itu adalah Drs.H.Soenarjo (1988-1992). Tahun 1992, Soenarjo diganti oleh Drs.Istijono Soenarto.

Setelah habis masa jabatan dr.H.Peornomo Kasidi, tahun 1994, terpilihlah Kolonel H.Sunarto Sumoprawiro sebagai walikotamadya Surabaya dengan wakil walikotamadya tetap Drs.Istijono Soenarto. Tahun 1995, Istijono diganti oleh Drs.Wardji sampai tahun 2000. Masa jabatan Cak Narto – panggilan akrab untuk Sunarto Sumoprawiro – habis tahun 1998. Namun, karena suasana politik Indonesia di awal masa Reformasi, pemilihan walikota tak mungkin dilaksanakan, maka masa jabatan Cak Narto diperpanjang hingga Juni 2000.

Sewaktu dilaksanakan pemilihan walikota – sesuai dengan Undang-undang No.22 Tahun 1999, sebutan walikotamadya KDH Tk.II diubah menjadi walikota – terpilihlah pasangan Cak Narto bersama Drs.Bambang Dwi Hartono,MPd sebagai walikota dan wakil walikota Surabaya untuk masabakti 2000-2005. Dalam perjalanan pemerintahannya, pada tanggal 15 Januari 2002, H.Sunarto Sumoprawiro, diberhentikan oleh DPRD Kota Surabaya sebagai walikota. Kemudian, sejak Juni2002, Wakil Walikota Drs.Bambang Dwi Hartono,MPd diangkat sebagai Walikota Surabaya untuk menghabiskan sisa masabakti pasangan Cak Narto-Bambang DH hingga 2005.

Tanggal 7 Maret 2005, masajabatan Bambang DH berakhir. Ia diberhentikan dengan hormat. Pada hari itu Gubernur Jawa Timur, H.Imam Utomo melantik Asisten I (Bidang Tatapraja) Sekretaris Provinsi Jatim , Drs.H.Chusnul Arifien Damuri,MM,Msi sebagai Pejabat (Pj) Walikota Surabaya.

Sesuai dengan perundang-undang baru, yakni Undang-undang No.32 tahun 2004, penggantian kepala daerah dilaksanakan dengan pemilihan langsung. Kepala daerah, yakni: gubernur, walikota dan bupati. Untuk pertamakalinya Pilkada (pemilihan kepala daerah) langsung diselenggarakan 27 Juni 2005.

Dalam Pilkada langsung pemilihan walikota langsung berpasangan dengan wakil walikota. Empat pasang calon walikota-wakil walikota yang dipilih warga kota Surabaya itu adalah:

(1) Ir.H.Erlangga Satriagung berpasangan dengan Drs.A.Hermas Thony. (2) Drs.Bambang Dwi Hartono,MPd berpasangan dengan Drs.Arif Afandi. (3) Drs.H.Gatot Sudjito,MSi berpasangan dengan Ir.Benyamin Hilly,MSi. (4) Ir.H.Alisjahbana,MA berpasangan dengan Drs.H.Wahyudin Husein.

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung, 27 Juni 2005, dimenangkankan pasangan Bambang DH dengan Arif Afandi. Kemudian pasangan Bambang DH dengan Arif Afandi dilantik 31 Agustus 2005 dan sekaligus pada hari itu berakhir masa jabatan Chusnul Arifin Damuri sebagai Pj.Walikota Surabaya.

Pasangan walikota dengan wakil walikota hasil Pilkada 2005, Bambang DH denganArief Afandi, memimpin Kota Surabaya untuk masabakti 2005-2010.

Fotonya Tak Dipajang

Pemerintah Kota Surabaya perlu diingatkan, dalam gedung-gedung resmi Pemerintah Kota Surabaya, tiga walikota sejak Indonesia merdeka tidak terpajang seluruhnya. Tiga foto mantan walikota pertama sampai ke tiga, yakni Radjamin Nasution, Mr.Indrakoesoema dan Mr.Soerjadi, tak terpanjang di tempat-tempat resmi di lingkungan Pemkot Surabaya. Seharusnya foto mereka itu dipasang dan digantung di gedung balaikota, gedung Pemerintahan Kota Surabaya dan rumah dinas walikota, serta di tempat lain yang layak.

Kecuali itu, foto mantan walikota Surabaya, Murachman,SH (1964-1965) karenaterlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September (G.30.S)/PKI (Partai Komunis Indonesia), juga tidak pernah dipajang. Ini mungkin pertimbangan politis.

Generasi muda memang layak mempertanyakan, mengapa yang dipajang, hanya mulai dari Walikota Doel Arnowo? Seolah-olah terjadi diskriminasi dan“pembohongan publik”, Selama ini, seolah-olah walikota pertama Surabaya itu adalah Doel Arnowo. Tetapi, kemudian untuk sekedar berkelit, maka disebutkanlah bahwa Doel Arnowo adalah walikota Surabaya pertama setelah “Penyerahan Kedaulatan”. Apakah memang ketentuannya demikian?

Sejarah harus diluruskan dan terbuka secara jujur. Jadi mengapa harus berat mengatakan bahwa walikota Surabaya yang pertama itu adalah “orang Batak” yang bernama Radjamin Nasution gelar Sutan Komala Pontas.

Kalau mau jujur, di berbagai kota dan kabupaten, foto-foto walikota dan bupati berkebangsaan Belanda dan Jepang juga ikut dipajang dan ditulis dalam prasasti. Sebagai contoh lagi, di kantor Gubernur Jawa Timur, foto-foto gubernur sejak zaman Belanda sampai Gubernur Jatim saat ini, H.Imam Utomo terpasang dan dipajang dengan rapi.

Lima foto gubernur Belanda yang dipajang di kantor Gubernur Jatim, adalah: M.Ch.Handerman (1928-1931), Ch de Man (1931-1933), JHB Kuneman (1933-1936), Ch.O.Van Der Plas (1936-1941), Mr.Ch.Hartevelt (1941-1942). Juga disebutkan nama Penguasa Perang di Jawa Timur oleh Pemerintahan Jepang yang bernama Syuchokan dijabat oleh Yasaoka Masaomi dengan wakilnya Soedirman – dikenal kemudian sebagai Residen Sudirman (1942-1945).

Berikut juga dipajang foto-foto gubernur Jatim di zaman merdeka, yaitu: RT Soeryo (1945-1948), Dr.Moerdjani (1948-1949), R.Samadikoen (1949-1957), RTA Milano (1957-1959), R.Soewondo R (1959-1963), Moch Wijono (1963-1967), RP Moh.Noer (1967-1976), R.Soenandar Prijosoedarmo (1976-1983), H.Wahono (1983-1988), H.Soelarso (1988-1993), HM Basofi Soedirman (1993-1998) dan H.Imam Utomo (1998-2008), serta begitu pula seterusnya nanti.

Dari Burgemeester ke Walikota

Selengkapnya inilah nama-nama Burgemeester, Kepala Pemerintahan Kota sampai ke Walikota Surabaya sejak 1 April 1906 hingga sekarang:

No.:Nama:Sebutan Jabatan : Masa Jabatan

1 : Mr.A.Meyroos : Burgermeester:1916-1920

2 : Ir.G.J.Dijkermen: Burgermeester:1920-1926

3 : H.J.Bussemaker: Burgermeester:1926-1932

4 : Ter Poorten: Burgermeester:1932-1936

5 : MHW Van Helsdingen: Burgermeester:1936-1942

6 : Mr.W.A.H.Fuchter: Burgermeester:1942(Jan-Feb)

7 : Radjamin Nasution: Pejabat Walikota:1942-1943

8 : Takahashi Ichiro: Shi Tyo:1943-1945

– Radjamin Nasution: Asisten Shi Tyo:1943-1945

9 : Radjamin Nasution: Walikota:1945(Ags-Nov)

10 : Mr.C.J.C. Becht: Kepala Urusan Haminte: 1945 (Nov)

11 : Mr.Indrakoesoema: Walikota:1945-1946

12 : Mr.Soerjadi: Walikota:1946-1950

13 : Doel Arnowo: Walikota:1950-1952

14 : Moestadjab Soemowidigdo: Walikota:1952-1956

15 : R.Istidjab Tjokrokoesoemo: Walikota:1956-1958

16 : dr.R.Satrio Sastrodiredjo: Walikota:1958-1964

17 : Moerachman, SH: Walikota:1964-1965

18 : R.Soekotjo: Walikota:1965-1969

19 : R.Soekotjo: Walikota Kotamadya:1969-1974

20 : HR Soeparno: Walikotamadya:1974-1979

21 : Drs.Moehadji Widjaja: Walikotamadya: 1979-1984

22 : dr.Poernomo Kasidi: Walikotamadya:1984-1989

– Drs.H.Soenarjo: Wakil Walikotamadya:1988-1989

23 : dr.H.Poernomo Kasidi: Walikotamadya:1989-1994

– Drs.H.Soenarjo: Wakil Walikotamadya:1994-1992

– Drs.Istiono Sunarto: Wakil Walikotamadya:1992-1994

24 : H.Sunarto Sumoprawiro: Walikotamadya:1994-2000

– Drs.Istiono Sunarto: Wakil Walikotamadya:1994-1995

– Drs.H.Wardji: Wakil Walikotamadya:1995-2000

25 : H.Sunarto Sumoprawiro: Walikota:2000-2002

– Drs.Bambang Dwi Hartono,MPd: Wakil Walikota:2000-2002

26 : Drs.Bambang Dwi Hartono,MPd: Walikota:2002-2005

27 : Drs.H.Chusnul Arifien Damuri,MSi: Pj.Walikota:2005(7 Maret- 30 Agst)

28 : Drs.H.Bambang Dwi Hartono,MPd: Walikota:2005-2010

– Drs.H.Arif Afandi: Wakil Walikota:2005-2010

29: Ir.Tri Rismaharini,MT: Walikota:2010-2015

-Drs.H.Bambang Dwi Hartono,MPd:Wakil Walikota:2010-2015

Dari urutan kepala pemerintahan Kota Surabaya sejak berbentuk gemeente yang dipimpin burgermeester di zaman penjajahan Belanda, hinggaShi Tyo pada penjajahan Jepang, kemudian Walikota mulai zaman kemerdekaan sampai sekarang, walikota pertama Surabaya adalah Radjamin Nasution.

Ternyata, Pemkot Surabaya menyadari hal ini. Dalam “buku kerja” tahun 2006, pada halaman 23, nama Radjamin Nasution sudah diletakkan pada urutan pertama nama-nama walikota Surabaya sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Berikut nama walikota kedua dan ketiga, Mr Indra Koesoema dan Mr Soerjadi. Begitu pula dengan nama dr.Satrio dan Moerachman,SH.

Diperoleh informasi, saat ini Pemkot Surabaya sedang berusaha mencari foto ke empat orang itu untuk dipajang di tempat-tempat resmi di balaikota dann kantor Pemkot Surabaya.

Tidak hanya foto-foto mantan walikota Surabaya yang seharusnya dilengkapi, tetapi juga perlu menelusuri jejak langkah kepemimpinan mereka. Para saksi mata dan saksi sejarah yang masih hidup sekarang ini, selayaknya memberi masukan ke Pemerintah Kota Surabaya.

Warga kota Surabaya juga menginginkan, apabila pada peringatan Hari Jadi Surabaya, tiap tanggal31 Mei, dilaksanakan ziarah ke makam-makam mantan walikota Surabaya yang terpencar di tiga tempat. Ada yang di pemakaman Rangkah, ada yang di TPU Ngagel dan TMP 10 November Jalan Mayjen Sungkono. ***