Berita Detik-Detik Proklamasi di Surabaya

Berita Detik-detik  Proklamasi

Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945


Catatan: Yousri Nur Raja Agam *)      Yousri Nur RA MH


Walaupun sensor pers sangat ketat oleh Pemerintahan Balatentara Jepang, namun Berita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 yang berlangsung di Jakarta tersiar 15 menit setelah dibaca Bung Karno di Surabaya.

BERITA tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia yang terjadi di Jakarta hari Jumat, 17 Agustus 1945, diterima di Surabaya 15 menit setelah Soekarno-Hatta membacakan naskah proklamasi.

Bukan mudah seperti zaman sekarang, pengiriman berita kala itu. Beda dengan sekarang, bisa langsung via HP atau komputer di internet. Kala itu teknologi belum secanggih saat ini. Pengiriman berita masih menggunakan telegram dan telepon.

Kendati mengalami hambatan, berita proklamasi kemerdekaan RI itu berhasil diterima di kantor berita Domei Cabang Surabaya dari kantor berita Domei pusat di Jakarta dalam bentuk morse.

Isi lengkap morse yang disalin ke dalam huruf latin adalah:

bra djam 12.00 aug tg.17

domei 007 djakarta – (proklamasi)

kami bangsa indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan indonesia titik hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan dll diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja titik

djakarta hari toedjoeh belas boelan delapan 2605 titik

atas nama bangsa indonesia soekarno-hatta

rd at 1205

Berita yang diterima markonis Jacob dan Soemadi itu diserahkan ke bagian redaksi. Kantor berita Domei yang dipimpin seorang Jepang bernama Ohara itu, anggota redaksinya adalah: Soetomo (Bung Tomo), RM Bintarti, Soemadji Adji Wongsokeosoemo (dikenal dengan panggilan Pak Petruk), Wiwik Hidayat dan Fakih. Bagian telekomunikasi diketuai Hidayat yang dibantu oleh Soejono, Jacob, Soemadi, Soewadji, Anwar Idris, Koesnindar, Soedarmo dan Koentojo.

Begitu berita yang diserahkan Jacob ke redaksi diterima, suasana di kantor Domei itu manjadi ramai. Perbincangan tentang kemerdekaan dan proklamasi itu menjadi berkepanjangan. Tetapi, sesuai prosedur berita itu diteruskan ke Hodokan (dinas Sensor). Petugas Hodokan marah dan menyatakan bahwa berita itu tidak benar. Berita itu ditahan dan tidak boleh disiarkan. Namun secara diam-diam, Jacob petugas kantor berita Domei meneruskannya ke harian Soeara Asia. Kebetulan kantornya bersebelahan, sama-sama di Aloon-aloon straat (kini gedung PT.Pelni Jalan Pahlawan).

Ternyata, Hodokan juga menyampaikan bantahan ke Soeara Asia, sehingga membuat redakturnya Mohammad Ali menjadi ragu-ragu. Padahal berita itu sudah diset untuk halaman 1 dengan judul “Proklamasi Indonesia Merdeka”. Tidak kehabisan akal, Mohamad Ali menginterlokal ke kantor berita Domei pusat di Jakarta. Dari Jakarta, penerima telepon yang bernama Ahmad, mengatakan berita itu benar dan valid. Teruskan saja, berita itu sudah betul. Namun konfirmasi itu dianggap terlambat, sedangkan halaman koran itu sudah terisi berita lain, sehingga berita “Proklamasi” itu hanya dimuat sebagai “Stop Press”, hari itu.

Berita Proklamasi Kemerdekaan RI dengan naskah lengkap disiarkan harian Soeara Asia, Sabtu, 18 Agustus 1945 yang dimuat di halaman pertama. Berita kemerdekaan tersiar dengan cepat, apalagi bersamaan dengan itu di mana-mana ditempel selebaran tentang proklamasi itu.

Sensor Ketat

Memang, sejarah mencatat, setelah Balatentara Jepang berkuasa di Indonesia, kegiatan pers di Indonesia, termasuk Kota Surabaya masih tetap semarak. Para wartawan dan pekerja pers tetap bersemangat. Sebagai tenaga profesional yang independen, mereka terus mengembangkan cakrawala jurnalistiknya.

Perkembangan perang pasifik yang berkecamuk antara Balatentara Jepang dengan Sekutu dan kegiatan para pejuang kemerdekaan saling mendukung dalam pemberitaan suratkabar dan radio.

Saat pertama kali Jepang menginjakkan kakinya di bumi Indonesia, terhitung sejak 1 April 1942, diberlakukan ketentuan penggunaan waktu yang sama dengan waktu di Negara Sakura itu. Berikutnya Pemerintahan Jepang di Indonesia mengeluarkan Maklumat No.15 tanggal 29 April 1942 yang isinya kewajiban menggunakan tahun Nippon. Tahun 1942 diganti menjadi tahun 2602  atau sering disingkat 02.

Bagi masyarakat pers Indonesia, juga di Surabaya, sensor yang ketat dari Hodokan, yakni Dinas Pers Balatentara Dai Nippon juga sangat dirasakan. Waktu itu, mendengarkan siaran radio “musuh” atau Sekutu dilarang. Sensor diberlakukan untuk seluruh barang cetakan, terutama suratkabar harian, mingguan, bulanan dan berkala. Termasuk barang cetakan majalah, buku bacaan, buku pelajaran, selebaran, pengumuman, merek dagang, program bioskop dan undangan. Bahkan, studio foto diwajibkan mengirim film hasil cetakannya ke badan sensor sebelum diserahkan kepada yang memesan foto tersebut.

Untuk membatasi gerak pers, pembesar Balatentara Jepang di Jakarta, secara resmi mengeluarkan Undang-undang No.18 tanggal 25 Mei 1942 tentang “Pengawasan badan-badan pengumuman dan penerangan dan penilikan pengumuman dan penerangan”. Undang-undang yang memuat 11 pasal itu menjabarkan ketentuan tentang pengumuman dan penerangan kepada masyarakat umum. Selain berisi petunjuk untuk mendapatkan izin penerbitan dan larangan dalam penyiaran, juga ditetapkan pada pasal 11 tentang ancaman hukuman bagi pelanggar UU No.18 itu.

Selain ada suratkabar “Soeara Asia”, awal pendudukan Jepang di Surabaya, juga terbit suratkabar “Pewarta Perniagaan” dengan alamat di Aloon-aloon straat 30 (sekarang Jalan Pahlawan 116). Saat bersamaan muncul perwakilan suratkabar Jepang di Surabaya, namanya harian “Osaka Mainichi” dan “Tokyo Nichi-nichi Simbun” yang ke duanya menggunakan alamat redaksi di Jalan Tunjungan 100 Surabaya (persis di pokok Jalan Tunjungan dengan Jalan Embong Malang, sekarang dikenal sebagai Monumen Pers Perjuangan dan gedung ini digunakan oleh perusahaan jam Seiko).

Perubahan di dunia pers juga terjadi di kantor berita. Kantor berita “Aneta” oleh Jepang dilarang beroperasi, sedangkan kantor berita “Antara” boleh beroperasi dengan ketentuan ganti nama menjadi “Yashima”. Namun, kemudian menjadi kantor berita “Domei” bagian Indonesia. Suratkabar yang terbit, untuk berita luarnegeri hanya boleh mengambil dari kantor berita Domei.

Pengawasan yang ketat juga diberlakukan terhadap wartawan. Untuk memperoleh kartu wartawan, terlebih dahulu dilakukan penataran dan hanya yang lulus berhak mendapat kartu pers yang dikeluarkan oleh Jawa Shinbun Kai (organisasi sejenis Serikat Penerbit Suratkabar atau SPS di Jawa waktu itu). Salah satu data yang diungkap A.Latief dalam bukunya “Pers Indonesia di zaman Jepang”, menyebut wartawan suratkabar Soeara Asia yang lulus hanya 16 orang.

Ke 16 wartawan itu adalah: R.Toekoel Soerohadinoto, Abdoel Wahab, Imam Soepardi, Sie Tjin Goan, Mohammad Ali, Ronggodanoekoesoemo, Moch Sofwan Hadi, Sie Pek Ho, R.Abdoel Azis, JAA Pattiradjawane, A Dermawan Loebis, Mohammed, Sarif Roesdi, R.Soenarjo, Ibnoe Soejahman dan R.Koesen.

Walaupun pemerintahan Balatentara Jepang sangat ketat dalam sensor, mereka melakukan pembinaan kepada pemuda Indonesia dengan semangat Asia Raya. Dari itu diperoleh manfaat untuk menggalang semangat menuju Indonesia merdeka. Akhirnya setelah Jepang “bertekuk lutut” akibat jatuhnya bom atom di Hirosyima dan Nagasaki. **

*) Yousri Nur Raja Agam, wartawan senior di Surabaya

Sukarno atau Soekarno Lahir di Surabaya

Lintas Juang Bung Karno

Catatan: Yousri Nur Raja Agam MH *)

BULAN Juni adalah bulannya “Bung Karno”. Se-abad yang lalu,  Bung Karno lahir di Bumi Pertiwi, Nusantara, tepatnya tanggal 6 Juni 1901.

Kemudian di bulan Juni pula Bung Karno pergi ke alam baka, menemui sang Khaliq, yakni tanggal 21 Juni 1970.

Bung Karno, yang sudah tiada, tetapi semangat juangnya “masih hidup” di dalam jiwa dan sanubari Rakyat Indonesia.

Di bawah ini, saya punya catat tentang Bung Karno, tentang “lintas juang Bung Karno”.  Saya sajikan tulisan ini, sebagai cermin masa depan bagi kami dan anak cucu kami.

Memang, tak dapat dipungkiri, bagaimanapun juga, ternyata Bung Karno tetap abadi. Nama Presiden Republik Indonesia yang pertama, Dr.Ir.H.Soekarno, selalu dikenang. Betapapun gonjang-ganjingnya bumi ini akibat gempa politik, namun sejarah tak pernah bohong. Sehingga benar apa yang dikatakannya sendiri: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tak melupakan jasa pahlawannya”.

Bung Karno adalah pahlawan. Dia adalah pejuang dan pembuat sejarah di negara yang kini sudah bebas merdeka. Terlepas dari belenggu penjajahan kolonial Belanda selama tiga setengah abad dan cengkeraman kekejaman balatentara Jepang selama tiga setengah tahun. Kita merdeka. Merdeka dari segala derita. Indonesia merdeka dan merdeka.

Bung Karno dan Bung Hatta atas nama Bangsa Indonesia, 17 Agustus 1945, memproklamasikan Kemerdekaan Republik Indonesia, di Jakarta.

Itu semua, bukan hadiah, tetapi perjuangan. Perjuangan para pemuda dan anak bangsa dari seluruh pelosok Nusantara. Bukan sekejap, tetapi sejak berabad-abad lamanya. Proses demi proses, akhirnya sampailah kita di alam merdeka, membangun dan menuju keadilan, kemakmuran yang merata. Semua itu, cita-cita kita semua. Termasuk, keinginan, kehendak dan cita-citamu Bung Karno.

Kau pimpin kami, rakyatmu sejak merdeka hingga akhirnya kau tiada. Kau bawa bangsa ini ke alam nyata, di mata dunia. Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika berdasarkan Pancasila, melepasmu ke alam baqa.

Lahir di Surabaya

Raden Sukemi Sostrodihardjo, seorang bapak dari Kota Blitar, Jawa Timur adalah manusia yang penuh disiplin. Ia ningrat dari garis keturunan Raja Kadiri. Laki-laki ini mempersunting gadis Bali, Idayu Nyoman Rai “Srimben”. Srimben ini adalah panggilan waktu kecil Ida Ayu Nyoman Rai.

Wanita ini juga berdarah biru, keturunan raja di Singaraja Pulau Dewata. Dari perpaduan dua etnis, Jawa dan Bali ini, lahirlah seorang anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Yang perempuan diberi nama Sukarmini dan adiknya  diberi nama: Kusno. Kusno lahir di Surabaya, Jawa Timur, tanggal 6 Juni 1901.

Pada akhir tahun 1899 Raden Sukemi pindah mengajar ke Surabaya. Ia mengajar di Sekolah Rendah (setingkat SD atau Sekolah Dasar) di Jalan Sulung Surabaya (Sekolah ini sekarang bernama SD Negeri Alun-alun Contong 1 Jalan Sulung Sekolahan). Raden Sukemi bersama isterinya, tinggal di kampung Pandean, kawasan Peneleh Surabaya. Tepatnya di Jalan Pandean IV/40 Surabaya. Kawasan ini, terletak di seberang sungai Kalimas, tidak jauh dari Sulung, tempat Sukemi mengajar.

Pada waktu itu, memang banyak masyarakat Bali yang bermukim di kawasan Peneleh. Konon pada masa lalu, dermaga Peneleh adalah tempat berlabuhnya kapal dan perahu layar dari Bali.

Memang, kawasan Peneleh sampai sekarang masih “terkesan” sebagai daerah persinggahan orang Bali. Di daerah ini banyak bermukim para perantau dari Bali. Di daerah ini pula hingga sekarang banyak berdiri hotel (di antaranya Hotel Bali dan Hotel Singaraja), penginapan dan travel untuk melayani masyarakat yang datang dari Bali. Bahkan, pasar buah di pinggir Kalimas di Jalan Peneleh menjadi pasar buah yang berasal dari Bali. Terutama salak dan jeruk Bali. Tetapi sejak awal 2010, pasar buah ini “digusur” karena mempersempit lalulintas di Jalan Peneleh, Awalnya dipindah ke Jalan Koblen, namun pedagang menolak, akhirnya disepakati pada tanggal 19 Juli 2010, pedagang bersedia pindah ke Jalan Tanjungsari.

Sewaktu tinggal di rumah kontrakan Jalan Pandean IV/40, Peneleh, Surabaya itu, Ida Nyoman Rai sedang mengandung anak keduanya. Nah, di saat sang surya menanjak naik dari ufuk timur Surabaya, tanggal 6 Juni 1901, seorang bayi laki-laki lahir ke bumi. Raden Sukemi memberi nama anak kedua dari isterinya itu, Kusno. Namun, hingga sekarang belum ada yang memberi kepastian apakah Kusno lahir dengan pertolongan bidan atau dukun bayi.

Jadi, Sukarno atau Soekarno, lahir di Kota Surabaya sebagaimana ditulis pada buku-buku dan Ensiklopedia lama. Bukan lahir di Blitar, seperti yang ditulis beberapa orang di masa Orde Baru.

Kusno yang masih bayi itu, kemudian dibawa pindah oleh Raden Sukemi bersama isterinya ke Blitar.  Karena Sukemi ditugaskan mengajar di Kota Blitar. Di Kota Blitar inilah Kusno kecil hidup bersama keluarga besar Raden Sukemi.

Gunung Kelud Meletus

Saat pindah ke Kota Blitar itu, suasana di Blitar masih mencekam. Sebagian penduduk masih mengungsi akibat meletusnya Gunung Kelud. Dari kawahnya masih mengalirkan lava. Lereng gunung ini dilanda banjir bandang . Galodo itu meleluluhlantakkan segala tanaman dan menghanyutkan lumpur kawah sampai ke Sungai Kali Brantas. Kabupaten dan Kota Blitar, serta Kabupaten dan Kota Kediri, bahkan sampai ke Trenggalek dan Tulungagung langitnya tertutup awan abu.

Nah, akibatnya, Kusno yang masih bayi itu terkena dampaknya. Ia sakit dan sering sakit-sakitan. Ayahnya, Raden Sukemi yang beragama Islam dan mempercayai budaya Jawa, mempunyai firasat, bahwa salah memberikan nama kepada anaknya. Nama Kusno yang diberikan kepada anak laki-lakinya ini dianggap tidak cocok. Mungkin juga salah.

Agar terhindar dari sakit akibat salah memberi nama, sesuai dengan tradisi Orang Jawa, maka nama Kusno diganti menjadi: Sukarno. Jadi mirip dengan mbakyunya, Sukarmini (lebih dikenal dengan panggilan Bu Wardoyo)..

Sukarno kecil kemudian menjadi besar. Disekolahkan, menjadi pandai dan cerdik. Ia berkembang terus menjadi dewasa. Setelah menjadi manusia dewasa yang cerdik-pandai, Sukarno mampu menggali ilmu dan menantang zaman. Ia menjadi pemimpin. Ia mampu memimpin dirinya menjadi manusia berakal dan berakhlak. Iapun dapat jatuh cinta. Sukarno kemudian  berkeluarga:  mempunyai isteri, kemudian punya anak dan ia menjadi bapak.

Kebesaran dirinya menjadikan ia bukan hanya bapak dari anak-anaknya, tetapi ia menjadi “Bapak Bangsa”. Ia menjadi pemimpin negara. Ia menjadi pemimpin bangsa. Bangsa kita Indonesia. Namanya berkibar dan terkenal. Ejaan yang U menjadi OE, mempengaruhi pula pada nama Sukarno. Akibatnya orang menulis namanya menjadi: Soekarno. Konon “Bung Karno sendiri lebih senang kalau namanya ditulis Sukarno”, bukan Soekarno.

Untung namanya berganti dari Kusno menjadi Sukarno. Mengapa? Sebab, di zaman perjuangan kemerdekaan tahun 1940-an, para pemuda saling menyapa dengan panggilan “bung”. Soekarno dipanggil Bung Karno. Mohammad Hatta, dipanggil Bung Hatta. Sutan Sahrir disapa sebagai Bung Sahrir. Pokoknya sesama pejuang yang muda-muda kala itu, kalau berjumpa selalu berteriak dengan tangan dikepalkan: Merdeka bung! Apa kabarnya Bung! Dan begitulah bung.

Enak dan tepat panggilan untuk Soekarno menjadi Bung Karno. Andaikan namanya tak diganti, tetap Kusno. Panggilannya tentu Bung Kusno. Bisa-bisa ada yang salah terima, dikira disuruh membungkus. Sebab, dalam Bahasa Jawa “bungkusno” itu artinya bungkuskan atau tolong dibungkus. Tetapi, kalau Bung Karno, salah-salah dengar bisa diarti “bongkarno” atau artinya bongkarlah. Nah, kalau ini tidak masalah. Artinya bagus. Begitu guyonan masa lalu tentang alihnama Bung Karno yang semula bernama Kusno menjadi Sukarno.

Adipati Ngawonggo, tokoh pewayangan yang dikenal sebagai kesatria yang berpegang teguh pada prinsip. Sampai seorang pujangga kenamaan, Mangkunegoro IV, melukiskan jiwa kesatria Ngawonggo agar menjadi teladan bagi kerabat Mangkunegaran. Ada bentuk tembang Dandanggula yang dirangkum dalam Tripama.

Nama asli Adipati Ngawonggo adalah Suryaputra dan juga dikenal dengan nama Basukarno putra Dewi Kunti. Waktu Dewi Kunti masih perawan, tetapi karena kesalahan menjalankan mantera pemberian Bathara Surya, hamillah dia. Betapa malunya anak raja hamil sebelum menikah. Harus dicarikan jalan ke luar. Tetapi, dewa selalu serba mungkin. Anak Kunti yang pertama tidak dilahirkan lewat rahim, namun melalui telinga. Maka dari itu, dinamakan Basu Karno. Ia kelak dikenal sebagai Adipati Karno yang berjiwa kesatria, pantang mundur dan berpegang pada prinsip.

Masyarakat Jawa masih dikuasai cerita-cerita pewayangan. Banyak yang hafal luar kepala cerita Mahabarata, Ramayana dan kisah-kisah carangan lainnya. Sebagai seorang priyayi, Raden Sukemi yang juga guru Sekolah Rendah (SD), sangat hafal cerita-cerita tentang kepahlawanan itu. Dia sangat terkesan dengan Adipati Karno. Itulah dasar yang akhirnya nama anaknya Kusno diubah menjadi Sukarno. Tentu harapannya, kelak anaknya akan memiliki jiwa kesatriat seperti Adipati karno. Disiplin kuat dan tidak mudah patah semangat.

Adipati Karno dalam pewayangan masih merupakan saudara Pandawa, Sama-sama anak Kunti, hanya dari ayah yang berbeda. Untuk melenyapkan aib kerajaan, begitu Basu Karno lahir, dibuang. Ditemukan oleh seorang kusir dan dibesarkan. Akhirnya ia diberi kedudukan oleh Kurawa. Waktu perang Barata Yudha, anatara Kurawa dengan Pandawa, maka Adipati karno memihak Kurawa, sebagai balas budi karena Kurawa yang mengakat derajatnya, meskipun ia tahu pihk Kurawa salah.

Pada perang Barata Yudha itu Adipati karno gugur di medan laga. Dengan gugurnya Adipati karno, Kurawa juga tertumpas. Pandawa kembali mendapatkan haknya untuk menduduki tahta di Kerajaan Astina.

Dari alur cerita pewayangan itu, apakah harapan raden Sukemi kemudian terwujud? Apakah ada kesamaan antara Adipati Karno dengan Bung Karno? Hanya ahli sejarah yang bisa menjawabnya.

Akal Bulus sang Ayah

Umur lima tahun, Sukarno masuk sekolah di SR (Sekolah Rendah) Bumiputera. Sebagai seorang guru, Raden Sukemi berusaha mencari jalan agar anaknya bisa melanjutkan sekolah ke sekolah Belanda. Untuk itulah pada saat Sukarno duduk di kelas lima, ayahnya berusaha memasukkan Sukarno ke kelas enam ELS (Eurpeesche Lagera School), sekolah untuk anak-anak Belanda. Karena dari sini, ayahnya ingin kelak Sukarno melanjutkan ke HBS (Hogere Burger School).

Prosedur resmi sulit dilakukan, akhirnya dengan jurus “akal bulus”, Raden Sukemi mencoba mengontak temannya. Lalu kasak-kusuk  ke sana kemari. Ternyata berhasil, dan jadilah Sukarno sebagai anak Indonesia yang luar biasa waktu itu masuk ke ELS.  Sukarno sekolah sampai tamat di ELS. Kemudian melanjutkan ke HBS di Surabaya. Waktu itu, baru ada 78 orang anak Indonesia yang sekolah di sana, yang lainnya anak-anak Belanda dan Eropa.

Keinginan ayahnya agar Sukarno meningkatkan kepandaiannya ternyata tidak sia-sia. Sukarno ternyata punya otak yang cerdas. Bahkan anak keluarga miskin yang waktu kecil sakit-sakitan itu, berhasil lulus dengan baik. Sukarno yang semasa sekolah di Surabaya mondok  atau kost di rumah HOS Cokroaminoto, melanjutkan sekolahnya ke Bandung. Di Kota Kembang itu, Sukarno masuk di Tehnische Hoge School (THS) atau Sekolah Tinggi teknik yang sekarang bernama ITB (Institut Teknologi Bandung). Di sinipun sedikit sekali kaum pribumi yang sekolah. Mereka pasti anak-anak petinggi atau ningrat di suatu daerah, selain anak-anak Belanda atau Eropa.

Pada masa sekolah di Surabaya, maupun ketika kuliah di Bandung, Sukarno senang membaca dan banyak menulis untuk suratkabar atau majalah. Ia selalu menulis nama samaran “Bima” untuk tiap tulisannya. Di antaranya ia menjadi penulis tetap di Majalah “Oetoesan Hindia” pimpinan HOS Cokroaminoto.

Nama Bima yang ada di majalah itu selalu menjadi perhatian Pemerintah Belanda. Ia pernah menulis dengan judul “Hancurkan segera Kapitalisme yang dibantu oleh budak Imperialisme. Insya Allah itu segera dapat dilaksanakan”. Tulisan itu benar-benar berani dan tajam. Cokroaminoto geleng-geleng kepala membaca tulisan itu. Ia bangga melihat adanya bakat terpendam dari anak muda Sukarno yang mondok di rumahnya itu. Anak itu terus dibina dan akhirnya terus berkembang.

Ternyata bukan hanya Cokroaminoto yang terkesan terhadap karyatulis Sukarno. Tokoh pergerakan, Dr.Douwes Dekker Setyabudi, juga memperhatikan bakat anak muda itu. Apalagi kemudian ia tahu, ternyata Sukarno juga cerdas dan pandai berpidato.

Ada satu pegangan yang menjadi prinsip Sukarno, yaitu pendapat seorang ahli filsafat yang theosofis, Swami Vivekananda. Pendapat yang selalu dihafal Sukarno adalah: “Janganlah membuat otakmu menjadi perpustakaan, tetapi pakailah pengetahuannmu secara aktif”.

Dengan dasar itu, Sukarno melakukan perbandingan antara apa yang dibaca dari buku dengan apa yang dia dengar dari pidato. Ada pula yang dilihatnya dari alam sekitar dan kehidupan masyarakat di sekelililingnya.

Selain menjadi guru, Cokroaminoto bagi Sukarno kemudian juga menjadi mertuanya. Utari yang waktu itu masih gadis remaja usia 16 tahun dinikahinya. Tak lama setelah itu, Sukarno melanjutkan sekolahnya ke Bandung dan mondok di rumah H.Sanusi  dengan isterinya Inggit Garnasih. Inggit kemudian cerai dengan H.Sanusi dan Sukarno juga cerai dengan Utari. Janda Inggit dengan duda Sukarno akhirnya menjalin perkawinan. (Cerita tentang percintaan Utari dan Inggit, baca pada bagian lain—Red).

Petani Itu Namanya Marhaen

Saat kuliah di Bandung, semangat kejuangan Sukarno semakin membara. Ia selalu tampil di panggung, kalau ada kegiatan berpidato. Terbukti ia kemudian terkenal sebagai jago pidato dan digelari “singa podium”. Ia juga berani menyampai kritik tajam kepada Pemerintah Kolonial Belanda yang berkuasa dan menjajah tanahair kita ini.

Sukarno berhasil meraih gelar insinyur tanggal 25 Mei 1926, Kemudian dua bulan kemudian, tepatnya 26 Juli 1926, ia bersama Ir.Anwari teman sekuliahnya dulu mendirikan Biro Teknik. Tetapi, akibat waktunya banyak digunakan untuk kegiatan politik, apalagi ia juga sudah mendirikan partai bernama PNI (Partai Nasional Indonesia).

Ada suatu cerita yang cukup unik, kemudian malah membawa berkah sendiri bagi kehidupan politik Sukarno. Dengan sepeda yang dimilikinya – waktu itu sepeda merupakan barang luks – ia sering keliling kota Bandung. Bahkan tidak jarang sampai ke luar kota. Tak dinyana saat mengayuh sepedanya menuju Bandung Selatan, ia terbawa angin sejuk ke pinggir sawah yang menghijau. Di sebuah hamparan ladang ia melihat seorang petani yang asyik bekerja.

Sukarno memperhatikan petani pribumi dengan pakaian yang compang camping itu. Ia sandarkan sepedanya di pinggir pematang, ia terus memperhatikan petani yang asyik mencangkul ladangnya. Saat Sukarno masih meneawang memperhatikan alam sekitar yang subur, laki-laki yang mencangkul itu menghentikan pekerjaannya. Ia pergi ke pematang dan duduk dengan santai. Diambilnya rokok dari kantongnya, dilinting dan dibakarnya. Kelihatan sekali ia menikmati asap tembakau itu.

Sukarno mendekat dan mengucapkan selamat siang, Betapa terkejutnya, petani itu melihat seorang anak muda berpakaian necis  mendekatinya di tengah sawah. Bung Karno ikut duduk di atas rumput sembari berdialog dengan petani itu.

Saat ditanya Bung Karno, ia menyebut namanya: Marhaen. Dari tanya jawab itu Bung karno tertarik akan keluguan petani itu. Ia adalah pemilik sawah itu, juga cangkul yang digunakannya. Tetapi, setelah ia panen, hasilnya dijual untuk keperluan isteri dan anak-anaknya. Namun, kenyataannya petani itu tetap saja miskin. Tidak hanya satu orang petani seperti Marhaen itu. Masih banyak lagi. Mungkin tidak hanya di bandung, Jawa Barat, tetapi juga di seluruh Jawa, Sumatera dan seluruh bumi Nusantara.

Saat kembali ke rumahnya di Bandung, sembari mengayuh sepeda timbul berbagai khayalan dan bayangan tentang rakyat, petani dan bangsa Indonesia di benak Sukarno. Bung Karno sangat yakin, kendati sebagai pemilik di Bumi Pertiwi ini, tidak sedikit kaum pribumi ini yang nasibnya sama dengan Marhaen yang ditemuinya di bandung Selatan itu. Banyak dan banyak Marhaen lainnya, kata otak kecil Sukarno membisikkan.

Sembari mengangguk-angguk dan senyum-senyum kecil, Bung karno mendapat inspirasi. Ia akan memperjuangkan kehidupan orang seperti Marhaen itu, Orang kecil pemilik bangsa ini, tetapi tetap saja miskin dan terjajah. Mereka harus diangkat semangat juang dan semangat kebangsaannya.  Dengan memperjuangkan orang yang melarat dan menderita itu, Sukarno memberi nama konsep naskah yang akan dikembangkannya kelak itu: Marhaenisme. Paham ini kemudian menjadi azas partai yang didirikannya.

Bahkan dengan Marhaenisme itu pula, Bung Karno kemudian menjadikan PNI menjadi partai yang besar dengan pengikut yang banyak. Kebesaran partainya mengangkat nama Bung karno menjadi besar. Dan, Pemerintah Kolonial Belanda akhirnya memperhitungkan potensi insinyur jurusan arsitek, tetapi mendapat gemblengan politik dari mertuanya Cokroaminito itu.

Sukarno akhirnya mengikuti jejak para pejuang di negara ini. Ia dijebloskan ke penjara Sukamiskin di Bandung Timur. Bersama dia juga ditahan Gatot Mangkuprojo, Supriadinata dan Maskun. Waktu itu, Bung Karno sudah menjadii suami Inggit Garnasih.  Janda muda inilah yang rajin mengunjungi Bung Karno ke penjara. Termasuk menyelundupkan buku-buku, yang akhirnya menjadi inspirasi Bung Karno untuk melakukan pembelaan di depan Landraad, yang mengadilinya. Naskah pembelaan yang ditulis Bung Karno di dalam sel penjara Sukamiskin beralaskan pispot yang dibalik sebagai meja itu, karena tidak ada meja. Pispot itu tidak pernah digunakan untuk buang air, tetapai dijadikan untuk menyimpan buku. Akhirnya naskah yang disusunnya di dalam sel itu menggemparkan dunia.

Bung Karno yang didakwa melakukan tindak pidana yang melanggar Pasal 169 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dan menyalahi Pasal 161, 171 dan 153 de Haatzaai Artikelen. Pada pokoknya, Sukarno bersama teman-temannya di PNI dianggap menghasut rakyat dan akan melakukan pemerontakan tahun 1930. Pidato pembelaan Bung Karno di depan pengadilan itu dikenal dengan judul : “Indonesia Menggugat”.

Inilah tonggak sejarah perjuangan kaum pergerakan yang benar-benar mengganggu stabilitas keamanan dan pertahanan Pemerintah Belanda waktu itu. Sebab, “Indonesia Menggugat” itu tidak hanya sekedar pembelaan diri pribadi Sukarno dan teman-temannya, tetapi juga merupakan pembelaan bagi Bangsa Indonesia yang dijajah Pemerintahan Hindia Belanda.

Dalam penutup uraian pembelaannya Bung Karno memberi ceramah politik yang isinya antara lain:

“Memang, kami beridiri di hadapan Mahkamah Tuan-tuan ini bukanlah sebagai Sukarno, bukanlah sebagai Gatot Mangkuprojo, bukannya sebagai Maskun atau Supriadinata. Kami orang berdiri di sini ialah sebagai bagian dari rakyat Indonesia yang berkeluh kesah itu, sebagai putera-putera Ibu Indonesia yang setia dan bakti kepadanya. Suara yang kami keluarkan di dalam gedung mahkamah sekarang ini, tidaklah tinggal di dalam tembok dan dinding-dinding saja. Suiara kami ini didengar dengarkan pula oleh rakyat yang kami abdi, mengumandang ke mana-mana, melintasi tanah datar dan gunung dan samodra, ke Kotaraja sampai Fakfak, ke Ulu Siau dekat Manado sampai ke Timor. Rakyat Indonesia yang mendengar suara kami ini adalah merasa mendengarkan suaranya sendiri.”

Panjang pidato dan ceramah politik yang dibaca Sukarno. Hakim yang mengadilinya hanya diam dan mendengar. Begitu pula jaksa dan para polisi Belanda yang menjaga. Sehingga tidak mengherankan banyak yang berdecak kagum atas pembelaan Bung Karno itu.

Ternyata bilik dan sel penjara bukan membuat Bung Karno dan para pejuang trauma. Justru di tempat itulah mereka ditempa dan menjadikan penjara sebagai kawah Candradimuka yang membuat mereka semakin gigih dan berani.

Setelah menjalani kurungan selama 330 hari atau dua setengah tahun di penjara Sukamiskin, Bandung itu, tanggal 31 Desember 1931 Bung Karno keluar dari penjara. Ada kejadian unik terjadi di penghujung tahun itu. Semua taksi, angkutan kota di Bandung yang waktu itu jumlahnya 50 buah semua dicarter masyarakat yang ingin menjemput Bung Karno di gerbang penjara. Tidak hanya itu, dokar-dokar pun berarak-arak menuju perbatasan kota Bandung ke arah Sukamiskin. Begitu juga para pemilik mobil pribadi, serta sepeda. Semuanya menuju ke arah Sukamiskin. Total hari itu tercatat 98 mobil, 320 dokar dan puluhan lagi sepeda.

Polisi kalangkabut. Akhirnya, di perbatasan Kota (Gemente) Bandung, semua distop. Hanya mobil yang ditumpangi Inggit dan keluarganya, serta Husni Thamrin yang datang dari Jakarta yang boleh mendekat ke pintu penjara.

Bung Karno kemudian menaiki mobil bersama Inggit Garnasih sekeluarga, di belakangnya mobil Husni Thamrin. Sesampainya di pintu gerbang kota, suara hiruk menyambut Bung Karno tak henti-hentinya. “Hidup Bung Karno, Hidup Bung Karno”, demikian pekik dan suara tak henti-hentinya seopanjang jalan dari Sukamiskin sampai masuk Kota bandung di halaman rumah Inggit Garnasih.

Perjuangan Dwitunggal

Perjuangan pemuda Indonesia semakin gigih. Angin-angin kemerdekaan semakin terbayang di depan mata. Dari hari ke hari sinar-sinar terang mulai dirasakan. Selain Soekarno yang berjuang di Bandung dengan PNI-nya, di Jakarta Mohammad Hatta, Syahrir, Husni Thamrin dan kawannya melakukan aksi terhadap Pemerintahan Belanda.

Nasib para pejuang itu bukannya enak. Namun penuh pengorbanan dan tantangan. Di tahun 1934, banyak pemimpin pergerakan yang ditangkap dan dibuang jauh dari Pulau jawa. Mereka diasingkan ke daerah yang masih asing. Ada yang dibuang ke Digul di Irian, tempat yang jauh dari hububngan dan bahkan di sinilah rawa-rawa tempat berkembangnya penyakit malaria. Moh.Hatta dan Syahrir, dibuang ke Banda Neira.  Tidak lama menyusul Soekarno dibuang ke Ende di Nusatenggara, kemudian dipindah ke Bengkulu di Sumatera.

Kehadiran Balatentara Jepang di Indonesi tahun 1942, membawa harapan bagi pejuang kemerdekaan. Apalagi, Jepang dengan semboyan “Asia Timur Raya Merdeka”, mengajak dan mengatur strategi untuk menghancurkan penjajahan Bangsa Eropa.

Jepang sudah lama mencatat nama-nama pejuang yang anti Belanda. Nama Sukarno, Hatta dan Syahrir, merupkan tiga nama yang selalu menjadi incaran Jepang. Bahkan pihak Jepang berusaha mengambil ke tiga orang ini jangan sampai lepas ke tangan Belanda. Sebab, saat Jepang masuk Indonesia, tidak sedikit tahanan politik dilarikan Belanda ke Australia.

Moh.Hatta bersama Syahrir diciduk Jepang dan diamankan di Sukabumi. Bung Karno yang sedang berada di Bukittinggi sudah dikontak. Dengan rombongan kecil setelah melewati jalan darat melalui Jambi, Bengkulu dan Palembang, Bung karno bersama keluarganya tiba di Jakarta dijemput oleh Anwar anak HOS Cokroaminoto, kakak mantan isteri Bung Karno, Utari.

Dua tokoh, Bung karno dan Bung Hatta, merupkan dua nama yang tak mungkin dipisahkan. Pihak Jepang selalu melakukan kesepakatan dan perundingan dengan kedua orang ini. Sehingga, sejak saat itu tercetuslah sebutan untuk kedua orang ini sebagai “dwitunggal”.

Dwitunggal Sukarno-Hatta melakukan pembicaraan terang-trengan untuk persiapan kemerdekaan bersama pihak Jepang. Di balik itu, Syahrir bersama kawan-kawannya melakukan gerakan bawah tanah, berusaha menggoyang kedudukan Jepang yang berkuasa.

Berdasarkan informasi “radio gelap” yang dipantau Syahrir dan Amir Sarifuddin bersama anak buahnya, diketahui kedudukan Jepang semakin terdesak oleh Tentara Sekutu. Dwitunggal yang memperoleh informasi A-1 (pasti) dari Syahrir dan Amir, maka diaturlah siasat untuk segera membentuk pemerintahan apabila Jepang benar-benar menyerah kepada Sekutu.

Kerjasama yang dilakukan Dwitunggal dengan pihak Jepang, terus dikembangkan untuk membentuk barisan pemuda. Digalanglah beberapa pemuda pejuang dan organisasi pejuang yang sudah ada sebelumnya. Bersama tokoh perjuangan lainnya seperti, Ki Hajar Dewantoro dan KH Mas Mansur, Dwitunggal Sukarno-Hatta mendirikan Putera (Pusat Tenaga Rakyat).

Jepang melihat kehadiran Putera itu sebagai kawan yang dapat membantu kepentingannya, sebaliknya bagi kaum pergerakan, yang kemudian dikenal dengan sebutan “Empat Serangkai”, yakni Sukarno, Hatta, Ki Hajar Dewantoro dan KH Mas Mansur, merupakan persiapan untuk menyambut datangnya fajar kemerdekaan.

Selain empat serangkai itu, ada pula kelompok pejuang lainnya. Mereka terdiri dari empat kelompok. Kelompok pertama pimpinan Amir Sarifuddin, kelompok kedua pimpinan Syahrir, kelompok ketiga kelompok mahasiswa, serta kelompok keempat kelompoknya Adam Malik bersama Sukarni, Chairul Saleh dan Pandui Kertawiguna. Di samping itu ada kelompok lain yang juga bergerak di bawah tanah yang dikendalikan Muhammad Natsir dan Sjafrudin Prawiranegara.

Perang Timur Raya terus berkobar. Tentara Jepang akhirnya melatih para pemuda Indonesia menjadi kader-kader pejuang untuk membantu mereka. Didirikan PETA (Pembela Tanah Air), salah satu pimpinannya Supriadi. Pro-kontra terjadi atas pembentukan Peta itu. Tetapi setelah Bung Karno meyakinkan, maka Peta berkembang. Bung Karno mengatakan, memang tujuan Jepang membentuk Peta, untuk kepentingannya, Namun, bagi kita, adalah sebagai lembaga pendidikan untuk pemuda pejuang. Jadi, yang masuk Peta harus dipilih dari para pemuda yang berjiwa patriot  dan cinta bangsa.

Akhirnya, memang terbukti, Tentara Dai Nippon semakin terdesak. Pada saat Jepang mulai loyo, semangat pemuda kita terus berkobar. Bangkit untuk menyongsong era merdeka.

Dwitunggal Sukarno-Hatta semakin berperan. Apalagi saat 1 April 1945, Tentara Amerika mendarat di Okinawa. Jepang yang berada di Indonesia berusaha merahasiakan detik-detik kekalahannya itu. Kegiatan Dwitunggal bersama para pemuda pejuang, akhirnya mendapat restu pengusa Jepang. Kaisar menyetujui dibentuknya Panitia Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan  Indonesia (PPUPKI). Anggotanya, selain Bung Karno dan Bung Hatta, adalah KRT Rajiman Wediodiningrat dan lain-lain.

Tidak hanya itu kemurahan hati yang diperlihatkan Jepang. Rakyat juga dibolehkan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan mengibarkan bendera Merah Putih di samping bendera Jepang.

Bung Karno dan Bung Hatta di tempat terpisah sama-sama membuat perencanaan dan konsep-konsep pemerintahan yang bakal lahir, Indonesia merdeka.

Jenderal Terauchi, Panglima Tertinggi Pasukan Jepang di Asia Tenggara, tanggal 8 Agustus 1945, mengundang Dwitunggal Sukarno-Hatta ke Saigon. Tiga hari dua tokoh bangsa ini berada di negeri penghasil beras ini. Sekembalinya ke Jakarta, Bung Karno benar-benar membawa angin segar. Dalam pidatonya tanggal 14 Agustus 1945, Bung karno mengatakan: “Sebelum jagung berbunga Indonesia sudah merdeka”.

Jepang akhirnya benar-benar “bertekuk lutut” kepada Tentara Sekutu setelah Bom Atom membumihanguskan Hiroshima dan Nagasaki.

Detik-detik menjelang 17 Agustus 1945, saat Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Dwitunggal Sukarno-Hatta, ceritanya cukup mencekam. Bayangkan, rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diselenggarakan tanggal 16 Agustus 1945 siang di Pejambon, tanpa kehadiran Bung Karno dan Bung Hatta. Tidak ada yang tahu kemana Dwitunggal itu pergi. Ternyata, mereka diculik kelompok pemuda pimpinan Sukarni ke Rengasdengklok, di pinggir Kota Jakarta. Baru malamnya, Bung Karno dan Bung Hatta diizinkan kembali ke Jakarta setelah menyanggupi untuk menyampaikan proklamasi kemerdekaan republik Indonesia.

Tengah malam, 16 Agustus 1945, di rumah Panglima Angkatan Laut Jepang, Maeda, di Jalan Imam Bonjol diselenggarakan rapat dibuatlah tek Proklamasi Kemerdekaan.

Dan, paginya, hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945, pukul 10.00, “Proklamasi Kemerdekaan Indonesia” berkumandang ke seluruh dunia.

Bung Karno membaca teks itu dengan penuh wibawa, sehingga ada yang menyebut suara Bung Karno menggelegar di corong radio. Disusul kemudian dengan pengibaran Bendera Merah Putih.

Demikian “lintas juang” Bung Karno, sang putera fajar kelahiran Surabaya, hingga Indonesia merdeka.

*) Yousri Nur Raja Agam MH – Ketua Yayasan Peduli Surabaya.

(bahan dihimpun dari berbagai sumber)

Wage Rudolf Soepratman Pencipta Lagu Indonesia Raya

Patung WR Soepratman sedang menggesek biola di TMP Khusus Rangkah, Jalan Kenjeran Surabaya

Patung WR Soepratman sedang menggesek biola di TMP Khusus Rangkah, Jalan Kenjeran Surabaya

Makam WR Soepratman di TMP Khusus Rangkah, Jalan Kenjeran Surabaya

Makam WR Soepratman di TMP Khusus Rangkah, Jalan Kenjeran Surabaya

MEMPERINGATI SUMPAH PEMUDA:

WR Soepratman
Pencipta Lagu Indonesia Raya
Dimakamkan di TMP Khusus Rangkah Surabaya

Oleh: Yousri Nur RA MH *)

Berkaitan dengan peringatan HUT ke-64 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 2009 ini, berukutnya memperingati Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2009, kami menurunkan sebuah tulisan tentang Pahlawan Nasional, pencipta Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, Wage Rudolf Soepratman. Nah siapa dan bagaimana kiprah perjuangan WR Soepratman?

WAGE Rudolf Soepratman adalah pencipta lagu kebangsaan “Indonesia Raya” yang wafat di Surabaya. Sama dengan Dr.Soetomo, almarhum tidak dimakamkan di TMP (Taman Makam Pahlawan) yang ada di Surabaya, tetapi dimakamkan di TMP khusus. Tepatnya, dekat TPU (Taman Pemakaman Umum) Rangkah, Jalan Kenjeran Surabaya. Sebelum dipindah ke tempat yang sekarang, dulu jenazah WR Soepratman memang dimakamkan di TMP Khusus Rangkah, Surabaya.

WR Soepratman ditetapkan sebagai pahlawan nasional berkat jasanya menciptakan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”. Selain itu, nama WR Soepratman lekat dengan peringatan Sumpah Pemuda setiap tanggal 28 Oktober. Karena pada Kongres Pemuda Indonesia II tanggal 28 Oktober 1928 itulah untuk pertamakalinya WR Soepratman memperkenalkan dan memperdengar kan lagu “Indonesia Raya”.

Kecuali peristiwa-peristiwa bersejarah itu, ada satu kebetulan yang luar biasa. Tanggal wafatnya WR Soepratman adalah 17 Agustus 1938. Tepat tujuh tahun sebelum tanggal 17 Agustus 1945 yang menjadi tanggal keramat bagi Bangsa Indonesia. Jadi, peringatan hari prokmalasi kemerdekaan RI itu, juga bersamaan dengan tanggal wafatnya WR Soepratman.

WR Soepratman menghembuskan nafasnya yang terakhir di rumah kakaknya di Jalan Mangga 21, Tambaksari Surabaya. Dari rumah duka inilah, jenazah almarhum WR Soepratman diusung ke tempat peristirahatannya yang terakhir di pemakaman umum Rangkah, Jalan Kenjeran Surabaya. Rumah duka itu, kini dijadikan “museum” WR Soepratman.

Bagi warga kota Surabaya, nama WR Soepratman memang tidak asing. Namun demikian belum semua warga kota mengetahui siapa sesungguhnya WR Soepratman. Untuk itulah, berkaitan dengan peringatan 60 tahun Kemerdekaan RI, 17 Agustus 2005 yang sekaligus bersamaan dengan peringatan wafatnya 67 tahun wafatnya WR Soepratman, kami ungkap agak lebih rinci tentang pencipta lagu Indonesia Raya ini.

Lahir di Jakarta

Soepratman lahir hari Senin tanggal 9 Maret 1903 pukul 11 siang di Jatinegara, Jakarta – waktu itu masih bernama Batavia. Berdasarkan perhitungan kalender Jawa, hari Senin itu nama hari pasarannya disebut: Wage. Itulah sebabnya di depan nama Soepratman ada tambahan Wage. Sedangkan nama Rudolf, adalah pemberian dari kakak iparnya WM van Eldik.

Pancantuman nama Rudolf itu adalah siasat dari WM Van Eldik untuk memasukkan Soepratman bisa masuk ke sekolah Belanda. Maka lengkaplah nama pria berbintang Pisces ini: Wage Rudolf Soepratman.

Soepratman kecil menjadi kesayangan keluarganya. Ini mungkin disebabkan karena dialah satu-satunya anak laki-laki dari pasangan suami-isteri Djumeno Senen Sastrosoehardjo dengan Siti Senen.

Perkawinan Djumeno dengan Siti Senen, ayah dengan ibu kandung Soepratman ini melahirkan enam orang anak. Soepratman adalah anak ke lima. Kakak tertua Soepratman bernama Ny.Roekiyem Soepratiyah. Kakak nomor dua: Ny.Roekinah Soepratirah. Nomor tiga: Ny.Ngadini Soepratini. Nomor empat: Ny.Sarah. Sedangkan si bungsu adik Soepratman bernama Ny.Giyem Soepratinah, kata Ir Oerip Soedarman.

Ir.H.Oerip Soedarman, pensiunan PNS Kantor Gubernur Jawa Timur yang terakhir menjabat sebagai Kepala BKPMD (Badan Koordinasi Penanaman Modal Dalam Negeri) Jawa Timur adalah sahabat penulis. Pada tahun 2007 lalu menerbitkan buku revisi Sejarah Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan WR Soeprtaman Penciptanya. Tahun ini direncakan akan menyempurnakan dan revisi ulang lagi buku yang awalnya ditulis oleh Oerip Kasansengari, ayahanda Oerip Soedarman.

Saat berusia 6 tahun, Soepratman masuk sekolah Budi Utomo di Jakarta. Namun di masa-masa sekolah yang memerlukan kasih sayang seorang ibu itu, justru Soepratman kehilangan. Ibunya meninggal dunia, sehingga ayahnya yang bekerja sebagai tentara KNIL dengan pangkat sersan waktu itu menjadi duda.

Tahun 1914, Soepratman dibawa oleh kakaknya Roekiyem Soepratiyah yang sudah menikah dengan WM van Eldik ke Makassar, Sulawesi Selatan. Di sana kakak iparnya yang nama aslinya adalah Sastromihardjo itu berstatus sebagai administrateur gewapende politie atau pegawai adminitrasi di kantor polisi. Namun ia masuk sebagai anggota koprs musik. Jadi WM van Eldik itu adalal pribumi Jawa Asli, bukan berdarah Belanda, jelas Oerip Soedarman.

Saat berada di Makassar itu Soepratman berhasil dimasukkan ke sekolah Belanda bernama ELS (Europese Lagare School). Karena waktu itu kaum pribumi tidak mudah masuk ke sekolah Belanda, maka WM van Eldik menyiasati dengan menambah Rudolf di depan nama Soepratman. Tidak hanya itu, van Eldik juga membuat keterangan bahwa Rudolf Soepratman adalah anaknya.

Namun akhirnya ketahuan kalau Rudolf Soepratman bukan anak WM van Eldik, sehingga ia dikeluarkan dari sekolah Belanda itu. Hal ini tidak mengurangi semangat Soepratman dan iapun kemudian masuk Sekolah Melayu.

Selain belajar di sekolah, Soepratman juga belajar musik dengan kakak iparnya van Eldik. Soepratman lebih tertarik memegang gitar dan biola. Berkat bimbingan van Eldik, akhirnya Soepratman benar-benar mampu menyalurkan bakatnya di bidang petik gitar dan gesek biola.

Tamat di Sekolah Melayu tahun 1917, Soepratman mendalami Bahasa Belanda. Dua tahun kemudian ia berhasil lulus ujian dan mendapatkan diploma KAE (Klein Amtenaar Examen). Setelah itu Soepratman masuk Normaal School, yakni sekolah guru. Tamat di sekolah guru, Soepratman diangkat sebagai guru di Makassar.

Di samping menjadi guru, Soepratman juga terjun dalam kegiatan musik. Tahun 1920 ia mendirikan jazz band yang diberi nama “Black and White”. Band pimpinan Soepratman ini di waktu itu terkenal di Makassar. Bahkan hampir setiap ada acara perkawinan dan ulangtahun, band “Black and White” selalu tampil. Apalagi ia popular di kalangan militer di Kazerne, kala itu.

Suatu ketika ada rencana Soepratman akan dipindahkan menjadi guru di Singkang. Ternyata kakak-kakaknya tidak setuju, sebab waktu itu situasi daerah itu dianggap gawat. Soepratman berhenti jadi guru dan kemudian bekerja sebagai klerk di Firma Nedem. Tidak lama di situ kemudian Soepratman bekerja di kantor Advokat Mr.Schulten, teman WM van Eldik.

Sekitar sepuluh tahun di Makassar, tahun 1924, Soepratman ingin melepas kerinduan terhadap keluarganya di Jawa. Iapun berangkat meninggalkan Makassar menuju Surabaya. Di Surabaya ia tinggal dengan kakaknya yang nomor dua Roekinah Soepratirah yang bersuamikan R.Koesnendar Kartodiredjo, karyawan kantor pelayaran KPM di Surabaya.

Tidak berapa lama, Soepratman menyusul ayahnya Djumeno Senen Sastrosoehardjo di Cimahi, Jawa Barat. Berbeda dengan di Makassar, di Cimahi kehidupan Soepratman tidak menentu. Ia tidak lagi main band seperti di Makassar.

Menjadi Wartawan

Dalam keadaan yang demikian, Soepratman melamar dan diterima menjadi wartawan di Suratkabar “Kaum Muda” di Bandung. Hanya sebentar menjadi wartawan, kemudian Soepratman bergabung dengan grup musik di rumah bola (societeit).

Setahun kemudian, tahun 1925, Soepratman berkenalan dengan Harun Harahap. Dalam perkenalan itu, Harun menyarankan agar Soepratman pindah ke Jakarta dan menemui Parada Harahap yang akan mendirikan kantor berita. Soepratman akhirnya mendapat izin dari ayahnya untuk pindah ke Jakarta.

Di Jakarta waktu itu situasi perjuangan pemuda sangat terasa. Semangat persatuan antarsuku bangsa yang ada di kalangan pemuda semakin kuat. Waktu itulah, Parada Harahap mendirikan kantor berita yang diberi nama “Alpena”. Namun usia kantor berita ini tidak lama, dan kemudian tutup.

Tahun 1926, Soepratman bergabung ke suratkabar “Sin Po”. Ia menjadi wartawan yang ditugaskan mengikuti pertemuan-pertemuan para pemuda dan berbagai organisasi. Soepratman akhirnya sering mengikuti rapat-rata yang diadakan para pemuda di gedung pertemuan Jalan Kenari, Jakarta.

Tulisan yang disajikan Soepratman di koran “Sin Po” makin tajam dan berkualitas, sehingga namanya dikenal sebagai wartawan kawakan. Bahkan tidak jarang tulisannya yang tajam itu menjadi catatan penguasa Belanda.

Bayarannya sebagai wartawan tidak mencukupi kehidupan Soepratman di Batavia atau Jakarta. Ia tinggal di rumah kecil berdinding bambu di gang becek Kampung Rawamangun. Untuk menambah penghasilan iapun melakukan pekerjaan sambilan berdagang kecil-kecilan, menjual buku bekas. Kehidupannya di Jakarta ini sangat berbeda dengan suasana ketika ia berada di Makassar yang penuh gemerlapan mengiringi sinyo-sinyo Belanda berdansa.

Tetapi, perbadaan itu memompa semangat Soepratman semakin mencintai negara dan bangsanya. Apalagi waktu itu ia sering mengikuti acara-acara dengan pidato politik oleh politikus ulung kala itu. Di antaranya: Bung Karno, Bung Hatta, Muhammad Husni Thamrin dan lain-lainnya. Jiwanya sudah terbakar oleh semangat perjuangan kemerdekaan. Soepratman semakin rajin memburu narasumber kaliber besar, sehingga tulisannya di koran “Sin Po” tambah berkualitas dan berbobot.

Makin Keras

Sebagai seorang wartawan di koran “Sin Po” Jakarta, tulisan yang menjadi bahan-bahan pemberitaan WR Soepratman, makin hari makin keras. Ia benar-benar menjadi penyambung lidah dan aspirasi perjuangan rakyat yang dikobarkan oleh para politikus kawakan. Ia tidak lagi sekedar mencatat hasil rapat dan pidato para tokoh politik kaliber besar bangsa Indonesia waktu itu.

WR Soepratman mulai menggali pola pikir dan cita-cita kemerdekaan yang diimpikan para pemimpin pemuda perjuangan. Ia mewawancarai dan memancing semangat yang bergelora di hati para patriot bangsa. Sehingga, tulisan yang disajikan WR Soepratman di koran “Sin Po” itu mulai membakar dan membuat “panas” telinga penguasa Belanda waktu itu.

Pengalaman sebagai wartawan itu sekaligus menjadikan WR Soepratman mengerti tentang politik. Perbincangan dan pembicaraannya dengan tokoh perjuangan, tidak semuanya dituangkan WR Soepratman menjadi bahan beritanya di koran. Banyak hal yang ia serap menjadi pokok pikiran yang ia simpan di otaknya. Dan, WR Soepratman kemudian sudah menyatu dengan politikus. Ia tidak lagi sekedar memburu berita, namun ia sudah terjun bersama para perintis kemerdekaan.

Dunia kewartawanan yang diwarnai jiwa seni benar-benar sudah melekat dan menyatu dalam diri WR Soperatman. Kemudian ditambah lagi dengan semangat patriotik dari lingkungan politik perjuangan bangsa. Dari alam fikir yang paripurna itu, menjelmalah sebuah karakter baru pada diri WR Soepratman. Ia menjadi wartawan yang kritis dan berwawasan luas.

Walaupun bergelut dan semakin matang di bidang politik, karena ia berada di lingkungan para politikus, namun WR Soepratman tetap menempatkan dirinya sebagai seorang wartawan profesional. Ia berusaha tidak hanyut terbawa gelombang politik. Tetapi ia tidak pernah absen mengikuti arus politik. Namun, demi bangsa dan tanahairnya, WR Soepratman menyerasikan dirinya dengan para pejuang.

Mencipta Lagu

Nah, kemudian jiwa seni yang terpendam mulai mengalir dengan deras. Ia tidak hanya sekedar menyanyikan lagu-lagu ciptaan orang lain. Dengan memetik biola kesayangannya, WR Soperatman mulai menaburkan benih yang bakal dipanen bangsa Indonesia kelak. Satu demi satu, lagu ciptaannya lahir. Umumnya yang dipersembahkan WR Soepratman adalah lagu mars yang mempunyai makna kejuangan dan mengandung arti politik.

Lagu mars pertama ciptaan WR Soepratman, sudah mampu memberi semangat juang bagi para pemuda. Lagu itu adalah lagu “Dari Barat sampai ke Timur”. Lagu ini menjadi inspirasi para pemuda pejuang untuk bersatu dalam wadah “Indonesia”. Syairnya dan iramanya cukup menyentuh, sehingga sering menjadi pembakar semangat juang para pemuda yang berasal dari berbagai pelosok Nusantara. Dan lagu “Dari barat sampai ke timur” ini sering dinyanyikan pada acara rapat-rapat.

Inilah syair lagu itu:

Dari barat sampai ke timur
Berjajar pulau-pulau
Sambung menyambung menjadi satu
Itulah Indonesia

Indonesia tanahairku
Aku berjanji padamu
Menjunjung tanahairku
Tanaiairku Indonesia

Sampai sekarang lagu ini masih berkumandang di bumi pertiwi dan menjadi salah satu lagu wajib. Namun, kalimat dari barat sampai ke timur diubah menjadi: “Dari Sabang sampai Merauke”.

Setelah lagi ciptaannya yang pertama ini mulai popular di kalangan pemuda dan anak-anak, WR Soepratman menciptakan lagu-lagu yang lain. Salah satu di antaranya, adalah: lagu “Indonesia Raya”.

Menjadi Lagu Kebangsaan

Semangat pemuda untuk meneruskan cita-cita perjuangan generasi Budi Utomo 1908 semakin merasuk ke dalam jiwa pemuda tahun 1926-an. Apalagi, di berbagai daerah sudah bermunculan perkumpulan politik. Bahkan, secara terang-terangan para pemuda pejuang itu mendirikan partai politik. Berbagai perkumpulan pemuda dari berbagai suku di Nusantara lahir di Jakarta.

Perkumpulan ini bergerak mempelopori pertemuan yang bersifat nasional. Perkumpulan itu adalah Jong Java, Jong Sumatra dan Jong Celebes (Sulawesi). Menyusul kemudian bergabung pula Jong Ambon (Maluku), Jong Batak dan lain-lainnya.

Pada tanggal 30 April hingga 2 Mei 1926 perkumpulan pemuda itu mengadakan pertemuan yang kemudian disebut Kongres Pemuda I. Dalam kongres ini disepekati, bahwa bahasa resmi yang digunakan adalah: Bahasa Indonesia.

Rapat-rapat pemuda pejuang semakin gencar untuk membangun semangat persatuan. Setelah Bahasa Indonesia resmi menjadi “bahasa persatuan”, dua tahun kemudian diselenggarakan Kongres Pemuda II, tepatnya 28 Oktober 1928.

Ternyata, WR Soepratman membuat kejutan. Kalau sebelumnya lagu “Dari barat sampai ke timur” sudah memasyarakat, saat Kongres Pemuda II ini, WR Soepratman memperkenalkan lagu ciptaannya yang terbaru: “Indonesia Raya”.

Bersama orkes “Indonesia Merdeka” yang dipimpinnya WR Soepratman menggesek biola, bergemalah irama yang sangat menusuk. Suasanapun menjadi hening tatkala koor pelajar menyanyikan syair lagu Indonesia Raya. Hadirin terkesima dan sertamerta berdiri tegap tanpa komando.

Saat sampai ke refrein yang mengumandangkan kalimat terakhir: “Hiduplah Indonesia Raya”, hadirin menjadi historis. Ada yang mengacungkan kepalan tangan, karena semangatnya benar-benar sudah terbakar.

Kongres Pemuda Indonesia II, 28 Oktober 1928 itu, akhirnya sepakat menetapkan lagu “Indonesia Raya” sebagai lagu kebangsaan Indonesia.

Walaupun demikian, dibentuk suatu panitia untuk melakukan kajian yang mendalam tentang syair lagu yang diperdengarkan itu. Salah satu yang mengganjal saat itu adalah kata-kata “Indones”, bukan Indonesia yang dilafalkan oleh para pelajar saat menyuarakan kalimat “Indones, Indones, Merdeka, Merdeka”.

Panitia yang dipimpin Bung Karno itu dengan anggota: Ki Hajar Dewantara, Achiar, Soedibjo, Darmawidjaja, Koesbini, KHM Mansjur, Mr.Muhammad Yamin, Mr.Sastromoeljono, Sanusi Pane, C.Simandjuntak, Mr.Achmad Soebardjo dan Mr.Oetojo.

Dalam penyempurnaan yang dilakukan oleh panitia itu, kemudian diketahui terjadi beberapa perubahan. Di antaranya: kata “Indones, Indones, Merdeka, Merdeka” menjadi: “Indonesia Raya Merdeka, Merdeka”

Sedangkan Kongres Pemuda Indonesia II, 28 Oktober 1928 itu secara resmi menghasilkan “Sumpah Pemuda”. Para pemuda Indonesia yang disebut sebagai putera-puteri Indonesia, menyatakan: satu tanahair, satu bangsa dan satu bahasa, yakni: Indonesia.

Andaikata waktu itu Indonesia bukan negara terjajah, seorang komponis dan pencipta lagu kebangsaan sekaliber WR Soepratman, pasti sudah menjai idola. Ia akan mendapat sanjungan dari mana-mana. Tetapi tidak demikian halnya dengan WR Soepratman.

Justru, karena ia sebagai pencipta lagu Indonesia Raya yang mulai membakar semangat juang untuk merdeka, membuat WR Soeprtaman tidak tenteram. Gerak-geriknya selalu diikuti oleh mata-mata dan polisi rahasia Belanda.

Disapa Bung Karno

Sebagai wartawan koran “Sin Po”, tahun 1930 WR Soepratman ditugaskan meliput persidangan perkara Ketua PNI (Partai Nasional Indonesia), Ir.Soekarno di Pengadilan Negeri Bandung. Ketika berada di depan pintu masuk ruang sidang, Soekarno melihat WR Soepratman.
Sertamerta Soekarno menunjuk dan berusaha menjabat tangan wartawan itu, sembari berkata: “Daar hebt je de komponis van Indonesia Raya? Strijdt voort voor onze vrijheid Meneer Soepratman. Merdeka!”. Semua yang hadir terkejut, pandangan orang di ruang sidang pengadilan itu tertuju kepada WR Soeprtaman, termasuk orang Belanda.

Sapaan Bung Karno yang diucapkan dengan bahasa Belanda itu artinya: “Bukankah anda pencipta lagu Indonesia Raya? Berjuang teruslah demi kemerdekaan kita Tuan Soepratman. Merdeka!”. WR Soepratman membalas dengan senyum dan anggukan.

Sidang pengadilan di Bandung itu, Bung Karno divonis hukuman penjara. Saat pulang ke Jakarta, pikiran WR Soepratman tidak tenang. Ia sangat sadar, gerak-geriknya diikuti oleh polisi rahasia Belanda.

Hari demi hari dilalui WR Soepratman. Di dalam dirinya sudah menyatu sebuah profesi wartawan dengan jiwa seni. Tetapi jangan disamakan dengan wartawan dan seniman besar masa kini. Ia tetap hidup miskin dengan bayaran honor yang kecil.

Tahun 1929, lagu Indonesia Raya ciptaan WR Soepratman direkam pada piringan hitam oleh perusahaan rekaman Lokananta di Surakarta (Solo). Dengan demikian, lagu Indonesia Raya semakin meluas dan diperdengarkan di mana-mana, bahkan sampai ke luar negeri.

Pemerintahan Belanda tersinggung dengan peredaran piringan hitam lagu Indonesia Raya itu. WR Soepratman dipanggil oleh Procureur General yang menanyakan tentang maksud dan tujuan mengarang lagu Indonesia Raya. Kemudian secara tegas pihak Belanda “melarang” kata: “Merdeka, Merdeka” dalam lagu Indonesia Raya itu.

Situasi politik semakin memanas. Aktivitas WR Soperatman sebagai wartawan koran “Sin Po” mulai tidak tenang. Kemanan dirinya terancam. WR Soepratman tidak leluasa bepergian ke mana-mana. Ia sering menyendiri, termenung dalam rumahnya yang sempit.

Aktif Berorganisasi

Di samping sebagai wartawan koran “Sin Po”, WR Soepratman juga aktif dalam organisasi kepemudaan. Salah satu organisasi yang diterjuninya secara langsung adalah Angkatan Muda Betawi (AMB). WR Soepratman bergabung ke AMB setelah berkenalan dengan M.Tabrani, redaktur suratkabar Melayu “Hindia Baru” yang terbit di Jakarta.

Aktivitas WR Soepratman selain menjadi wartawan, pencipta lagu Indonesia Raya, serta lagu-lagu perjuangan, pihak intelejen Belanda juga mengawasi kegiatan WR Soeprataman dalam organisasi kepemudaan yang juga sebagai salah satu pelopor Kongres Pemuda 28 Oktober 1928 yang menghasilkan Sumpah Pemuda itu.

Dalam keadaan tertekan dan selalu menghindar dari intaian pihak penjajah itu, WR Soepratman yang kurus itu sering sakit-sakitan. Awal tahun 1934 ia dibawa pulang oleh saudaranya ke rumah ayahnya di Jalan warung Contong Cimahi, Jawa Barat.

Ternyata, masyarakat Cimahi sudah mendengar kalau pencipta lagu Indonesia Raya dan lagu-lagu perjuangan itu berada di rumah ayahnya di Cimahi. Hampir tiap hari anak-anak muda berkunjung ke rumahnya. Mereka minta WR Soepratman mendemonstrasikan keahliannya menggesek biola. Tanpa dikomando, saat ada irama yang mereka ketahui, sertamerta pemuda itu menyanyikan lagu-lagu tersebut. Saat itu lagu yang menjadi favorit adalah Indonesia Raya dan Dari Barat sampai ke Timur.

Pemerintah Hindia Belanda gerah juga melihat aktivitas anak muda yang selalu mendatangi WR Soepratman. Kecurigaan terhadap WR Soepratman memuncak. Dalam keadaan sakit itu, Soepratman makin tidak tenang. Akhirnya, keluarganya mengungsikan WR Soepratman ke Jawa Tengah. Tetapnya di rumah kakaknya Ny.Roekinah Soepratirah yang tinggal di Randudongkal, Kabupaten Pemalang. Ny.Roekinah hidup bersama suaminya Menang Koesnendar Kertoredjo yang menjadi pegawai kantor Pamongpraja Pekalongan.

Selama berada di Pemalang ini, WR Soeprtaman boleh dikatakan benar-benar dapat beristirahat. Penyakit yang dideritanya berangsur-angsur dirasakan berkurang. Bahkan tahun 1936 ia merasa agak sembuh. Kemudian ia diajak kakaknya Roekijem Soepratijah ke Surabaya yang dulu membesarkan WR Soepratman saat berada di Makassar bersama suaminya WM van Eldik.

Di Surabaya mereka tinggal di Jalan Mangga 21, Kelurahan Tambaksari, Kecamatan Tambaksari, Kota Surabaya.
Masyarakat Surabaya, juga sudah lama mengenal nama WR Soepratman. Saat diketahui wartawan yang juga pencipta lagu Indonesia Raya itu berada di Surabaya, beberapa wartawan dan tokoh perjuangan mendatanginya.

Berkenalan dengan Dr.Sutomo

Menurut Oerip Kasansengari dalam bukunya Lagu Indonesia Raya dan WR Soepratman Penciptanya (masih ejaan lama, terbitan tahun 1967) . Sekarang buku ini sudah mengalami revisi dan dicetak ulang tahun 2007 oleh Ir.H.Oerip Soedarman putera almarhum Oerip Kasansengari.

WR Soepratman krasan (betah) tinggal di Surabaya. Secara kebetulan saat itu Dr.Sutomo, salah seorang tokoh Budi Utomo sedang mengadakan berbagai kegiatan di Surabaya, di antaranya menyelenggarakan kursus-kursus.

Dr.Sutomo saat itu juga sebagai ketua Pengurus Besar Parindra (Partai Indonesia Raya) dan pembina Kwartir Kepanduan Surya Wirawan. Di sini berhimpun anak muda Surabaya. Bahkan, sejak lagu Indonesia Raya diperdengarkan dalam Kongres Pemuda tahun 1928, lagu itupun menjadi “lagu wajib” bagi Parindra.

WR Soepratman berulangkali minta kepada keluarganya untuk diizinkan keluar rumah dan berkenalan dengan Dr.Sutomo. Tetapi selalu saja ditolak, karena kesehatannya belum memungkinkan. Kalangan pemuda yang menjadi anggota Parindra dan kepanduan Surya Wirawan pun, silih berganti datang menemui WR Soepratman di Jalan Magga 21 Surabaya itu.

“Guna menghibur hatinya dan memenuhi keinginannya, Soepratman saya ajak jalan-jalan. Sebenarnya kami berdua menuju ke rumah Dr.Sutomo. Dalam perkenalan pertama dan ramah-tamah ini, Soepratman diminta menghadiri kursus yang diadakan tiap minggu di Gedung Nasional Indonesia (GNI) Jalan Bubutan Surabaya. Soepratman menyanggupi ajakan Dr.Sutomo itu”, kata Oerip Kasansengari.

Oerip Kasansengari adalah kakak ipar Ny.Giyem Soepratinah kakak kandung WR Soepraman yang juga tinggal di Surabaya itulah yang sering menemani WR Soepratman selama berada di Surabaya hingga akhir hayatnya.

Saat kursus akan dimulai, Dr.Sutomo yang baru saja menerima kehadiran WR Soepratman, langsung diperkenalkan kepada peserta kursus. Semua yang hadir di ruang GNI yang penuh sesak itu, mengalu-elukan WR Soeprataman. Ternyata warga Surabaya khususnya keluarga besar Parindra sudah hafal betul lagu Indonesia Raya. Mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya disaksikan oleh sang penciptanya. WR Soepratman benar-benar terharu.

Sejak waktu itu, nama WR Soepratman tidak dapat dipisahkan dengan Parindra dan kepanduan Surya Wirawan. Kendati masih dalam keadaan sakit, WR Soepratman menggubah lagu mars untuk Parindra dan Surya Wirawan. Lagu mars itu terus diperdengarkan di mana-mana setiap ada acara Parindra dan Surya Wirawan.

Selain lagu Indonesia Raya, Dari Barat sampai ke Timur, mars Parindra dan mars Surya Wirawan, WR Soepratman juga pencipta lagu: Ibu Kita Kartini, mars KBI (Kepanduan bangsa Indonesia), Di Timur Matahari, Bangunlah Hai Kawan dan Matahari Terbit.

Kecuali itu, bakat menulis yang ditimbanya di dunia kewartawanan mendorong WR Soepratman menulis buku. Buku karangan WR Soepratman yang pernah diterbitkan antara lain, buku berjudul: “Perawan Desa”, “Darah Muda” dan “Kaum Fanatik”. Buku Perawan Desa, peredarannya dilarah Pemerintah Hindia Belanda tahun 1930. Buku itu antara lain menyingkap kekejaman para tengkulak dan dianggap mempengaruhi keamanan.

Wafat di Jalan Mangga 21

Berada di Kota Surabaya, bagi Soepratman merupakan akhir perjuangan dan baktinya untuk bangsa Indonesia. Sakit yang dideritanya, terus menggerogoti dari dalam.

Kendati dalam keadaan sakit, semangat perjuangan WR Soepratman tetap menggebu-gebu. Suatu hal yang tidak diduga akhirnya datang jua. Pada Minggu, pukul 17.00, tanggal 7 Agustus 1938 saat sedang memimpin anggota pandu KBI menyanyikan lagu ciptaannya yang terakhir “Matahari Terbit” yang disiarkan langsung di NIROM (sekarang RRI), waktu itu di Jalan Embong Malang, ia ditangkap polisi PID. Sepasukan PID (Polisi Militer) Belanda itu menggiring WR Soepratman ke luar gedung dan ditahan langsung dimasukkan ke penjara Kalisosok.

Namun, karena penyakitnya tambah parah saat berada di penjara, sepekan kemudian WR Soepratman diizinkan dibawa pulang oleh keluarganya, ke rumah di Jalan Mangga 21, Kecamatan Tambaksari Surabaya. Dengan penuh kesabaran, WR Soepratman melalui masa-masa sepinya di rumah Jalan Mangga 21 Surabaya ini. Di sini ia hanya ditunggui dan dirawat oleh saudara-saudaranya saja.

Salah satu di antara sahabatnya yang sering datang menjenguknya adalah Imam Soepardi, salah seorang wartawan pergerakan di Surabaya, zaman itu.

Dua hari sebelum wafat, kakak ipar uang juga teman seperjuangannya, Oerip Kasansengari mengunjungi WR Soepratman yang bertubuh kurus itu terbujur di tempat tidurnya. Saat itu WR Soepratman mengucapkan kalimat yang selalu diingat oleh Oerip Kasansengari, yakni: “Mas nasibku sudah begini. Inilah yang disukai pemerintah Hindia Belanda. Biarlah aku meninggal, aku ikhlas. Aku sudah beramal, berjuang dengan caraku, dengan biolaku. Aku yakin mas, Indonesia pasti merdeka”.

Menurut Oerip Kasansengari, suara WR Soepratman waktu itu keluar sangat lembut, tetapi penuh dengan keyakinan. Itulah kata-katanya yang terakhir.

Innalillahi wa Inna Ilaihi Raji’un! Pada hari Rabu, Wage, pukul 12 malam, tanggal 17 Agustus 1938, WR Soepratman menghembuskan nafasnya yang terakhir. Sang pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya itu berpulang ke Rakhmatullah. Di rumah bersejarah, Jalan Mangga 21 Surabaya itu.

Selain keluarga Roekijem Soepratijah bersama suaminya WM van Eldik yang menempati rumah di Jalan Mangga 21 Surabaya itu, puluhan warga bersama anggota Parindra, kepanduan Surya Wirawan, KBI dan HW (Hizbul Wathan), serta beberapa wartawan mengantarkan jenazah ke TPU Kapas, sebelah utara Jalan Kenjeran Surabaya. WR Soepratman dimakamkan secara agama Islam sesuai agama yang dianutnya.

Tanggal 20 Mei 1953 dibentu panitia pemindahan makam WR Soepratman dipindahkan ke pojok Jalan Tambak Segaran Wetan, Kelurahan Rangkah, Kecamatan Tambaksari, di sebelah selatan Jalan Kenjeran Surabaya. Makam baru WR Soepratman itu diresmikan tanggal 25 Oktober 1953 oleh Gubernur Jawa Timur, Samadikun.

Pada saat kepemimpinan Walikota Surabaya, H.Sunarto Sumoprawiro, mulai tanggal 15 September 2000 dan selesai pada tanggal 9 Maret 2003 dilakukan pemugaran makam WR Soepratman. Sekarang makam WR Soepratman terletak pada tanah yang ditinggikan, serta berada di bawah rumah joglo khas Jawa Timur.

Di komplek makam itu juga berdiri patung WR Soepratman dan “biola” kesayangannnya. Bahkan, rumah di Jalan Mangga 21, tempat WR Soepratman meninggal dunia kini dijadikan Museum WR Soepratman. Di rumah ini juga disimpan “biola” duplikat milik WR Soepratman.

Tanda Jasa

Sudah tidak dapat dipungkiri, sebagai pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya, WR Soepratman akan dikenang sepanjang masa. Sungguh tepat berbagai penghargaan dan tanda jasa dianugerahkan kepadanya.

Bertepatan dengan peringatan hari ulang tahun kemerdekaan RI, 17 Agustus 1960, Presiden Soekarno atas nama Pemerintah Republik Indonesia memberikan “Bintang Mahaputera Anumerta III” kepada almarhum WR Soepratman.

Presiden Soeharto dengan Kepres No.16/SK/1971 tanggal 20 Mei 1971 menganugerahkan gelar “Pahlawan Nasional” kepada Wage Rudolf Soepratman.

Dengan Kepres No.017/TK/1974 tanggal 19 Juni 1974, Presiden Soeharto kembali mempersembahkan Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Utama kepada almarhum WR Soepratman.

Sebelum tanda-tanda jasa yang dianugerahkan Pemerintah Republik Indonesia itu, pada tanggal 28 Oktober 1953, Gubernur Jawa Timur, Samadikun, memberikan “Piagam Penghargaan” kepada almarhum WR Soepratman yang diterima keluarganya di Surabaya.

Penghargaan yang diberikan kepada WR Soepratman tidak hanya berhenti sampai di sana, selain diabadikan menjadi nama jalan di berbagai kota. Namanya juga diabadikan sebagai nama universitas di Surabaya, yakni Universitas WR Soepratman (Unipra) dan Perguruan Soepratman di Medan, Sumatera Utara.

Saat ini, salah satu penghargaan terhadap WR Soepratman adalah hiasan fotonya yang terpampang di halaman muka lembaran uang kertas Rp 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan beredar mulai 1 Juli 1999.

Balada “Janda” Salamah

Sewaktu menjadi wartawan koran “Sin Po” tahun 1926 hingga tahun 1930-an, WR Soepratman sering membonceng seorang wanita dengan sepedanya. Wanita yang bernama Salamah itu ikut ke mana Soepratman pergi mewawancarai narasumbernya. Juga bersama Salamah ini pula WR Soepratman tinggal di rumah yang sangat sederhana di Jakarta.

Salamah “pernah” disebut sebagai “janda” WR Soepratman, sehingga dialah yang menjadi “ahli waris” sang pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya itu. Ketika Pemerintah RI menganugerahkan Bintang Mahaputera Anumerta III tanggal 19 Juni 1961, yang menerima adalah Ny.Salamah.

Kebaradaan atau status Ny.Salamah sebagai “janda” WR Soepratman itu awalnya berdasarkan surat dari Bupati Rembang, Jawa Tengah, R.Soekardji Mangoenkoesoemo. Dalam surat tanggal 16 Juli 1951 itu dijelaskan tentang Ny.Salamah yang waktu itu berusia sekitar 30 tahun, menerangkan bahwa ia adalah janda WR Soepratman. Setelah WR Soepratman meninggal dunia, ia pulang ke kampungnya, kampung Kesaran, Desa Tasikagung, Kota Rembang. Di sini Ny.Salamah bekerja di Rumah Sakit Rembang.

Sebagai “ahli waris”, janda almarhum WR Soepratman mendapat pengesahan dari Departeman Sosial RI, sebagaimana ditetapkan oleh Winoto, Kabinet Presiden RI tanggal 6 Agustus 1951. Kemudian atas nama Mensos, Jusuradi Danudiningrat, juga menegaskan sebagai janda almarhum WR Soepratman, Ny.Salamah mendapat bantuan sebesar f.50,- hingga f.100 (lima puluh gulden hingga seratus gulden) tiap bulannya melalui Kantor Sosial Pati, Jawa Tengah (gulden adalah mata uang Belanda yang waktu itu berlaku sebagai pembayaran yang sah di Indonesia, sebelum Indonesia merdeka).

Kepala Kantor Sosial Daerah Pati, Soekandi Handjojosoesanto, akhirnya menetapkan memberikan bantuan f.75 kepada Ny.Salamah tiap bulan terhitung sejak 1 Juli 1950.

Majalah Jakarta

Majalah Violeta Jakarta No.288 yang terbit 13 Desember 1977, menurunkan tulisan berjudul: “Ny.Salamah Janda Pahlawan WR Soepratman”. Karya jurnalistik yang oleh Narjo itu menyebutkan tentang kisah cinta Salamah dengan Soepratman. Berawal ketika Salamah berkenalan dengan Soepratman di Jalan Kwitang, Jakarta. Waktu itu Salamah hendak mencari adiknya ke Cimahi dan mereka sama-sama berangkat.

Setelah dari Cimahi itu, mereka berdua kembali ke Jakarta. Dalam tulisan itu, diungkap tentang “surat nikah” Soepratman dengan Salamah yang ditandatangani KHA Sjukur Chairi dengan saksi-saksi Morullah bin Solihin (pegawai PTT) dan R,Umar said (pensiunan militer).

Surat nikah itu kemudian dikukuhkan oleh Pengadilan Agama dengan SK No.619 tahun 1962. Surat nikah inipun dilampirkan untuk melengkapi berkas Keputusan Presiden RI No.016/TK/1971 tanggal 25 Juni 1971 tentang pengangkatan WR Soepratman sebagai Pahlawan Nasional.

Majalah Variasi edisi No.225 tanggal 14-30 Maret 1987, juga menurunkan tulisan berjudul “Ny.Salamah Janda Pahlawan WR Soepratman”. Dalam tulisan itu dijelaskan tentang Salamah yang dilahirkan tahun 1904, anak seorang agen polisi bernama Soerodihardjo.

Salamah semula dikawinkan orangtuanya dengan seorang guru desa, lalu pindah ke Semarang. Di sana suaminya sakit dan kemudian meninggal dunia. Setelah menjanda, Salamah ingin menemui adiknya Soepardjan yang tinggal di Bandung. Saat akan ke Bandung dari Jakarta itulah Salamah bertemu Soepratman di stasiun.

Kebetulan waktu itu Soepratman bermaksud akan ke Cimahi. Ternyata, Salamah tidak bertemu dengan adiknya di Bandung. Akhirnya, ia bersama Soepratman kembali ke Jakarta.

Setelah berada di Jakarta, mereka hidup bersama. Menurut Salamah, mereka menikah di Gang Sentiong dan menempati rumah kontrakan milik Solichin di Gang Tengah dekat Pasar Genjing, Rawasari.

Kepada wartawan majalah Variasi, Muchtar Nasution, Salamah menceritakan pula penderitaan dan keadaan Soepratman sebagai wartawan koran Sin Po waktu itu. “Gaji Soepratman waktu itu dihitung berdasarkan banyaknya berita yang dimuat. Untuk dua kolom berita waktu itu, mereka bisa membeli dua liter beras”, kisah Salamah.

Setelah Soepratman meninggal dunia, Salamah pulah ke Jawa Tengah, ia bekerja di Rumah Sakit di Rembang. Surat nikah Salamah ditemukan dalam bungkusan kertas koran di lemari. Ternyata sudah berlobang-lobang dimakan rayap. Berkat usaha dr.Djarot, diperoleh salinan surat nikah yang kemudian disahkan oleh Komwil 75 Kampung Melayu. Surat inilah yang menjadi salah satu bukti, bahwa Ny.Salamah selalu janda WR Soepratman.

Majalah Femina, No.170 tanggal 6 November 1979, menurunkan tulisan yang mengisahkan Ny.Salamah, dengan judul “WR Soepratman Dalam Kenangan Saya”.

Salamah mengisahkan waktu berusia 15 tahun ia menikah dengan seorang guru. Namu setahun kemudian suaminya meninggal dunia. Ia menjadi janda tanpa anak. Saat berada di Jakarta saat akan berangkat ke Cimahi, Jawa Barat, ia bertemu dengan WR Soepratman. Mereka sama-sama dengan keretaapi menuju Bandung. Setelah itu, mereka sama-sama kembali ke Jakarta dan tidak lama kemudian mereka menikah.

Sewaktu Soepratman sakit, keluarganya membawanya ke Surabaya. Salamah mengaku tidak boleh ikut, karena sejak perkawinan itu hubungannya dengan keluarga Soepratman tidak mesra. Sampai Soepratman meninggal dunia, Salamah mengakui, memang ia tidak dapat kesempatan sama sekali untuk bertemu.

Majalah Kartini No.178 tanggal 31 Agustus-13 September 1981, menurunkan tulisan berjudul “Janda WR Soepratman Seorang Diri Menempuh Masa Tua”. Pada masa tuanya itu, Ny.Salamah tinggal di sebuah rumah mungil hadiah dari Ny.Tien Soeharto di kawasan Kelapa Gading Permai, Jakarta.

Puluhan tahun Ny.Salamah terlunta-lunta dalam keadaan hidup sernba kekurangan, karena status perkawinannya dengan WR Soepratman diragukan. Akibatnya, semua bintang jasa dan perhargaan yang diterimanya ditarik kembali.

Pada edisi khusus tahun 1989, Majalah Kartini No.379 kembali menurunkan tulisan tentang Ny.Salamah. Tulisan itu berjudul “Segenggam Kebahagiaan di Ujung Senja”. Di sini diceritakan kisah pertemuan pertamanya dengan WR Soepratman, sampai kemudian hidup bersama di Jakarta.

Ketika Soepratman dalam keadaan sakit, tulis Ln di majalah Kartini itu, kakak perempuannya Ny.Roekijem Soepratijah yang kaya, membawanya ke Surabaya. Sampai Soepratman meninggal dunia, keluarga Soepratman tidak mengakui keberadaan Ny.Salamah sebagai saudara iparnya. Mereka tidak mengakui adanya pernikahan. Justru, keberadaan Ny.Salamah di rumah WR Soepratman di Jakarta waktu itu hanya berstatus “pembantu rumah tangga”.

Masih pada Majalah Kartini edidi khusus tahun 1989 itu, ada tulisan yang diturunkan oleh wartawan dengan inisial RH. Tulisan itu berjudul “Soepardjo: Saya Berani Sumpah, Salamah itu Bukan Isteri Sah WR Soepratman”. Saat tulisan itu diturunkan Soepradjo berusia 81 tahun dan Ny.Salamah 85 tahun.

Salamah Minta Maaf

Kendati banyak cerita tentang kedekatan Ny.salamah dengan WR Soepratman, namun dengan tegas keluarga besar WR Soepratman tidak mengakui Ny.Salamah sebagai “isteri” dan “janda” dari WR Soepratman.

Sesuai dengan keputusan Pengadilan Negeri Surabaya tanggal 12 Agustus 1958, oleh hakim Ismu Sumbaga ditetapkan empat orang ahli waris sah WR Soepratman. Ke empat orang itu (waktu itu) adalah: Ny.Roekijem Soepratijah, Ny.Roekinah Soepratirah, Ny.Ngadini Soepratini dan Ny.Gijem Soepratinah.

Ke empat orang itu adalah saudara-saudara WR Soepratman yang masih hidup pada saat putusan PN Surabaya tanggal 12 Agustus 1958. Sekarang ke empat orang ini semuanya sudah meninggal dunia, sehingga ahliwaris WR Soepratman diberikan kepada keturunannya, yakni cucu dan cicitnya.

Di hari-hari terakhir menjelang meninggal dunia, Ny.Salamah dirawat di Rumah sakit Sumber Waras, Jakarta. Tiga hari sebelum mengalami “koma” tulis Anthoni C.Hutabarat, ada keluarga WR Soepratman dari Warung Contong Cimahi, Jawa Barat yang datang menjenguk. Ocok Batubara, adalah salah seorang cucu Ny.Ngadini Soepratini, kakak perempuan WR Soepratman yang sebelumnya sudah kenal baik dengan Ny.Salamah.

Menurut Ucok, saat itu Ny.Salamah menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga besar WR Soepratman yang pernah “mengaku” sebagai janda Soepratman. Bahkan ujar Ucok, ia juga dipesankan agar berziarah ke makam almarhumah Ny. Roekijem Soepratijah (kakak WR.Soepratman) di pemakaman umum Karet, Jakarta.

Ny.Salamah meninggal dunia tanggal 14 Januari 1992 dalam usia 85 tahun. Ia meninggalkan seorang anak angkat WNI keturunan Cina, bernama Pomiaty (waktu tahun 1992 berusia 36 tahun). Perkawinan Pomiaty dengan Sarianto yang juga keturunan Cina, melahirkan anak perempuan yang tahun 1992 itu berusia delapan tahun.***

*) Yousri Nur Raja Agam MH Wartawan Senior dan Pemerhati Sejarah bermukim di Surabaya