Kota Indamardi atau Budi Pamarinda

Surabaya Masih Tetap

Berjuluk Kota Industri


Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)

KOTA Surabaya pernah menggunakan julukan Kota Indamardi (Industri, Perdagangan, Maritim dan Pendidikan). Julukan ini mendampingi kekhasan Surabaya sebagai Kota Pahlawan.

Memang di masa pemerintahan Walikota Surabaya, Drs.H.Bambang Dwi Hartono, MPd sejak tahun 2002 lalu, istilah Indamardi semula diganti dengan Budi Pamarinda (Budaya, Pendidikan, Pariwisata, Maritim, Industri dan Perdagangan). Tetapi pada tahun 2005 lalu, Bambang DH yang berpasangan dengan Drs.H.Arief Afandi sebagai wakil walikota, mempopularkan Surabaya sebagai Kota Jasa dan Perdagangan.


Nah, di sini mungkin fokus kegiatan Kota Surabaya, selain Perdagangan dalam Budi Pamarinda itu diklasifikasikan sebagai bidang “Jasa”.

Tidak hanya itu, Surabaya juga dipublikasikan sebagai kota yang berkilau, bersinar, cingklong atau mengkilap. Dalam Bahasa Inggrisnya “Sprakling”.

Kalau begitu bagaimana dengan julukan Kota Industri, sebagai bagian dari Indamardi atau Budi Pamarinda itu? “Wah, lupakan saja!” Mungkin begitu yang Cak bambang?

Masih Layak

Kendati kegiatan Industri sudah tidak menjadi fokus perhatian, karena lahan untuk industri baru sudah penuh, namun kita tidak boleh melupakan sejarah. Berdasarkan sejarah, majunya Surabaya yang dirasakan saat ini, salah satu yang mengangkatnya ke permukaan adaklah kegiatan industri’

Jadi, julukan sebagai Kota Industri itu, memang layak dan tepat untyuk digunakan. Bukan hanya dari zaman penjajahan Belanda di Surabaya ini ada kegiatan industri. Konon sejak masa kerajaan Majapahit di Surabaya sudah berkembang kegiatan industri. Mulai dari kegiatan pertenunan, pembuatan dokar, perahu, sampai kepada kegiatan pandai besi yang membuat berbagai alat-alat dari logam.

Dengan posisi Surabaya sebagai kota pelabuhan dengan berbagai kegiatan kemaritiman dan perdagangannya, maka kegiatan industri juga berkembang pesat. Nah, kegiatan industri dan perdagangan itulah salah satu penyebab Surabaya ini tumbuh kembang menjadi sebuah kota dengan tingkat hunian yang terus meningkat.

Daya tarik Surabaya semakin tinggi dengan banyaknya kesempatan kerja dan berusaha. Pendatang ke kota Surabaya inipun majemuk. Mulai dari kalangan pengusaha yang ingin menanamkan investasi raksasa, sampai kepada buruh-buruh yang ingin memeras keringat untuk mendapatkan sesuap nasi. Dua kepentingan antara cukong yang punya investasi dan usaha dengan masyarakat kecil yang hanya bermodal dengkul, menyatu menjadi sebuah kegiatan industri.

Di zaman dulu, dengan bukti peninggalan hingga sekarang, kegiatan industri sudah berkembang. Ada kampung bernama Pandean, di sana dulu adalah tempat kegiatan para pandai besi dan industri pengolahan logam. Di kawasan ini dibuat pisau, parang, alat-alat perabot rumahtangga, keperluan pertukangan, sampai kepada perbaikan dokar dan perahu. Pokoknya, macam-macam usaha yang berkaitan dengan tempa menempa besi, ada di kawasan ini.

Nama kampung

Ada lagi kampung yang bernama Pecindilan. Asal katanya bukan cindil, tetapi cinde. Artinya, kain batik motif kembang. Di daerah ini kegiatan masyarakat sampai ke rumahtangga adalah bertenun dan membuat kain batik. Sedangkan bahan baku tenun adalah kapas, gudang penimbunan kapas itu terletak di daerah Kapasan sekarang. Tidak jauh dari Kapasan dan Pecindilan ada daerah yang bernama Ngaglik. Asal katanya adalah agel, kemudian berubah menjadi aglik. Artinya alat pembersih kapas untuk kain yang akan ditenun. Konon adanya daerah Ngagel, juga sama asalnya dulu adalah agel.

Masih di sekitar wilayah ini, ada pula kampung bernama Ketabang yang asalnya adalah ketabagan, yang berarti tempat pengrajin gedeg atau anyaman bambu. Bertetangga dengan kampung ini ada kawasan Ondomohen (sekarang Jalan Walikota Mustajab). Kata ini berasal dari gemoh atau gemohen yang artinya kerajinan tangan atau tempat tinggal para pengrajin. Terus ke arah timur ada perkampungan bernama Gubeng. Berasal dari kata gubengan, yaitu kain penutup kepala yang dililitkan, semacam jubah atau serban yang biasa dipakai para kiyai dan santri. Dulu di daerah inilah terdapat kegiatan usaha pembuatan gubengan yang dipergunakan santri-santri murid Sunan Ampel.

Di sekitar kawasan Masjid Ampel, ada kampung pernama Petukangan. Disini dulu adalah tempat tinggal para tenaga kerja bidang pembangunan perumahan atau tukang. Mulai tukang batu, tukang kayu sampai kepada mandor dan pemborong. Masyarakat Surabaya yang ingin mencari pemborong pembangunan perumahan, biasanya datang ke daerah Petukangan itu. Sedangkan para pekerja atau buruhnya banyak terdapat di Pegirian. Pegirian berasal dari kata giri yang artinya pekerja atau buruh.

Itu sebagian kisah tentang Surabaya tempodulu berdasarkan Babad Surabaya. Adanya kisah masa lalu tentang Surabaya dan kegiatannnya itu, memang tidak tertulis, tetapi berkembang menjadi cerita tutur dari mulut ke mulut. Cerita atau dongeng ayah, ibu atau kakek dan nenek kepada anak-cucunya. Itulah yang berkembang sampai sekarang.

Terlepas dari ia atau tidak tentang cerita masa lalu itu, yang jelas Surabaya sejak zaman dulu sudah mempunyai berbagai kegiatan industri dan kerajinan. Kemudian di zaman penjajahan Belanda, kegiatan industri di Surabaya juga berkembang pesat. Pada awal abad ke 17 mulai dibangun berbagai bengkel untuk perbaikan kapal di sekitar Jembatan Merah dan Kalimas. Sebab, waktu itu, kapal dan perahu dagang yang datang ke Surabaya berlabuh di kawasan itu.

Pabrik dan Bengkel

Beberapa perusahaan besar yang di Negeri Belanda mulai membuka cabang usahanya di Surabaya. Tahun 1808 didirikan perusahaan konstrusi baja bernama Constructie Winkel di Kampementstraat yang sekarang menjadi Jalan KH Mas Mansur. Pabrik dan bengkel baja ini melayani kebutuhan pabrik-pabrik gula yang waktu itu sudah beroperasi di berbagai daerah di Jawa Timur.

Melihat perkembangan perusahaan konstruksi ini, beberapa pengusaha besar dari Belanda juga membuka cabang usahanya di Surabaya. Tahun 1823 berdiri bengkel reparasi kapal bernama NV.Nederland Indische Industrie yang sekarang menjadi PT.Boma Bisma Indra (BBI). Sedangkan BBI itu sendiri adalah gabungan dari perusahaan yang dulunya bernama NV.Boma Stork di Pasuruan, NV Bisma (di Jalan KH Masur) dan NV Indra (di Jalan Ngagel).

Menyusul berdiri pula perusahaan dok kapal di Kalimas tahun 1845. Setahun kemudian, tahun 1846, berdiri pula perusahaan De Volharding atau dikenal juga dengan De Phoenix. Tiga tahun berikutnya (1849) perusahaan ini dikembangkan ke daerah Ujung sebagai perusahaan dok dan pembuatan kapal. Nah, inilah cikal-bakal PT.PAL Indonesia yang pernah berjaya saat dipimpin oleh Prof.Dr.BJ.Habibie.

Perkembangan industri lainnya yang kecil-kecil dan menengah juga cukup pesat. Lokasinya paling banyak di sekitar aliran sungai Kalimas. Mulai dari kawasan Wonokromo, Ngagel, sampai daerah Jembatan Merah terus ke Tanjung Perak.

Tahun 1853 didirikan pabrik penggilingan tebu di wilayah Keputran. Daerah itu sekarang dikenal dengan nama Pandegiling. Tidak lama berdiri lagi cabang perusahaan Belanda bernama De Voeharding yang bergerak di bidang mesin pabrik. Lalu muncul pula industri pembuatan ketel uap di daerah Jembatan Merah. Secara bertahap di daerah kosong dan strategis didirikan berbagai kegiatan industri. Ada pabrik es, penggergajian kayu, pembuatan minuman, penyulingan arak dan sebagainya. Pembangunan pabrik-pabrik ini berkembang terus hingga awal abad ke-20.

Ada yang menarik, ternyata sejak zaman dulu warga Surabaya sudah menggemari minuman dingin. Bayangkan, di abad ke-19 itu di Surabaya sudah berdiri empat pabrik es. Ijsfabriek Petodjo atau Pabrik Es Petojo di Jalan Petojo yang dulu bernama Radersmastraad. Tetapi sekarang pabrik es ini sudah dibongkar dan lahannya dibangun gedung rumahsakit swasta. Ada lagi pabrik es NV.Ijsfabrieken Ngagel di Jalan Ngagel, pertigaan masuk kampung Bagong Ginayan. Pabrik es NV.Ijs en Handel Mij di Pasarturi dan NV.Vereenigde Ijsfabriek di Heerenstraat atau Jalan Rajawali sekarang.

Begitu pesatnya perkembangan kegiatan indsutri di Surabaya, pada tahun 1916, Gemeente Soerabaia (Pemerintah Kota Surabaya), mulai melakukan penataan. Kawasan industri dipusatkan di kawasan Ngagel. Beberapa perusahaan besar yang berdiri di sini antara lain NV.Braat yang sekarang menjadi PT.Barata Indonesia, NV.Philips (PT.Philips-Ralin) yang sudah pindah ke Rungkut, NV.BAT (British American Tobacco), perusahaan rokok yang sudah pindah dan sekarang di atas lahannya berdiri apartemen yang terbengkalai. Masih banyak pabrik lain, seperti pabrik sabun Lux dan Pepsodent yang dikelola oleh PT.Unilever. Pabrik gelas PT.Iglas, Pabrik Kamajaya Tex, Perusahan Makanan dan Minuman, serta Pabrik Bir Bintang yang sekarang juga sudah pindak ke Mojokerto.

Selain di kawasan Ngagel, juga berkembang kegiatan industri di daerah Kenjeran, Wonocolo dan Tandes. Terakhir beberapa perusahan dan pabrik besar itu pindah dan sudah menempati lokasi khusus kawasan industri Rungkut atau SIER (Surabaya Industrial Estate Rungkut) dan Margo Mulyo.

Sekarang, perkembangan industri di Surabaya makin maju dengan peralatan produksi yang serba mutakhir. Menggunakan perangkat canggih serta komputer. Jadi, bagaimanapun juga Surabaya masih tetap menyandang predikat Kota Industri.

Nah, bagaimana menurut anda? ***

*) Yousri Nur Raja Agam MH – Ketua Yayasan Peduli Surabaya

Bukan Masjid Agung

Masjid “Al Akbar

Di Surabaya


Oleh : HM Yousri Nur Raja Agam *)

MASJID Al Akbar yang sebelumnya bernama Masjid Agung Surabaya (MAS) merupakan proyek kebanggaan warga Surabaya dan Jawa Timur. Kendati mengalami hambatan teknis di lapangan saat awal pembangunannya, namun dapat juga terpecahkan. Bahkan, mendapat perhatian khusus dari Pemerintahan.

Masjid Al Akbar

Masjid Al Akbar

Di balik hambatan teknis itu, situasi ekonomi nasional bangsa Indonesia yang mulai dilanda krismon (krisis moneter) tahun 1996 itu, benar-benar membuat Walikota Surabaya H.Sunarto Sumoprawiro alias Cak Narto dan Gubernur Jawa Timur HM Basofi Soedirman (kala itu) harus “putar otak”. Betapa tidak, karena untuk menggali dana di daerah Surabaya dan Jawa Timur sudah tersendat-sendat. Panitia gabungan Pemkot Surabaya dengan Pemprov Jatim tidak mudah mengetuk hati kaum muslimin dan para dermawan. Usaha berbagirasapun sudah dilakukan dengan konglomerat yang ada di Jawa Timur. Namun hasilnya tidak maksimal. Masih dibutuhkan banyak tambahan lagi.

Trio arek Suroboyo” di Jakarta: H.Try Sutrisno, H.Tarmizi Taher dan H.Mar’ie Muhammad yang sudah menyampaikan komitmennya untuk membantu pendanaan pembangunan MAS juga tidak tinggal diam. Mereka bertiga menghadap Presiden RI (waktu itu) H.Muhammad Soeharto dan melaporkan rencana pembangunan MAS di Surabaya.

Mendapat laporan dari tiga “pembantunya” itu, sambutan Pak Harto luar biasa. Pak Harto sertamerta menyatakan dukungannya. Bahkan, pada waktu itu juga, Pak Harto memberikan restu dan sekaligus mengizinkan pembangunan MAS sebagai “proyek nasional”.

Untuk mendukung pelaksanaan “proyek nasional” itu, tanggal 26 Juli 1996 ditetapkan susunan Panitia Pembangunan MAS oleh Menteri Agama, H.Tarmizi Taher. Dalam kepanitiaan itu, Presiden Soeharto duduk sebagai Pelindung Utama dan Wakil Presiden Try Sutrisno sebagai Pelindung. Lima menteri kabinet ditetapkan sebagai Pembina, masing-masing: Dr.H.Tarmizi Taher (Menteri Agama), Drs.H.Mar’ie Muhammad (Menteri Keuangan), Ir.H.Tungki Ariwibowo (Menteri Perindusterian dan Perdagangan), Ir.H.Djamaloeddin (Menteri Kehutanan) dan Ir.H.Radinal Mochtar (Menteri Pekerjaan Umum). Dalam jajaran Pelindung ini juga dicantumkan nama KH.Hasan Basri (sekarang sudah almarhum) yang waktu itu sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Dari puncak menara bisa melihat Kota Surabaya

Dari puncak menara bisa melihat Kota Surabaya

Penasehat ditetapkan: Muspida Jatim waktu itu, masing-masing: H.Trimarjono,SH (ketua DPRD Jatim), Mayjen TNI H.Imam Utomo (Pangdam V Brawijaya), Mayjen Pol. Drs.H.Soemarsono,SH,MBA (Kapolda Jatim) dan A.Rachman,SH (Kajati Jatim). Kepanitiaan ini dilengkapi dengan Pengawas yang terdiri dari: Ketua MUI Jatim KH Misbach (almarhum), dua orang sesepuh Jatim: H.M.Noer (mantan gubernur Jatim) dan H.M.Said (almarhum/mantan Ketua DPD Golkar Jatim). Kemudian Gubernur Jatim HM Basofi Soedirman dan Walikota Surabaya, H.Sunarto Sumoprawiro.

Pelaksana Proyek dipercayakan kepada Ir.Suwono selaku pimpinan dan Ir.Pudjojoko sebagai wakil. Sedangkan Drs.Hoesein Soeropranoto dari Grup Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) dan Drs.HM Zuhdi,MM (almarhum/mantan Wagub Jatim) selaku bendahara dan wakil bendahara. Tim pendukung dari instansi terkait, seperti Pemprov Jatim, Kanwil Depag Jatim, Kanwil PU Jatim (sekarang Dinas PU Binamarga Jatim) dan Pemkot Surabaya, serta Tim RNI dan ITS.

Dengan status “proyek nasional” itu, maka Presiden Soeharto menetapkan dua orang pengawas ahli: arsitek kawakan Ir.H.A.Noe’man dan I.H.Douglas Baadila. Noe’man dikenal sebagai arsitek pembangunan Masjid Salman di komplek ITB Bandung. Arsitek kaliber dunia ini juga arsitek pembangunan Islamic Center (Masjid Al Markaz) di Makasar dan arsitek Masjid “Haji Muhammad Soeharto” di Bosnia.

Sebagai persiapan administrasi dan koordinasi, dilaksanakan perkenalan panitia di gedung Grahadi, Jalan Gubernur Suryo 7 Surabaya. Pertemuan dilanjutkan dengan acara di rumah Wapres Try Sutrisno di Jakarta, 23 Agustus 1996. Pada acara di kediaman Cak Su ini, selain dihadiri tokoh-tokoh masyarakat asal Jawa Timur yang berada di Jakarta, juga dihadiri para konglomerat. Pada acara malam itu, sebanyak 30 konglomerat “berjanji” akan memberikan sumbangan untuk pembangunan MAS. Dan komitmen “janji” konglomerat itu mencapai Rp 20,52 miliar ditambah satu unit perangkat pengeras suara (sound system) untuk MAS.

Setelah proyek berjalan, dalam rapat koordinasi berikutnya dilakukan perubahan perencanaan pembangunan masjid. Menara yang semula dirancang enam buah, diubah menjadi satu menara saja. Pada rapat tanggal 6 September 1996 itu ditetapkan pembangunan MAS selesai akhir Desember 1997. Untuk mengejar waktu, disepakati pelaksanaan pembangunan menggunakan sistem fast track, yaitu perencanaan diselesaikan bersamaan dengan pelaksanaan di lapangan.

Memang akibat krisis moneter yang melanda negara kita ini, dana yang diharapkan masuk kurang lancar, ujar HM Zuhdi saat ditemui seusai rapat panitia pembangunan MAS. Dana yang sudah dianggarkan belum semuanya dapat dicairkan. Kendati sudah ada “janji” dari para konglomerat Rp 20,52 miliar, belum semuanya terkumpul.

Pada awalnya diperkirakan biaya Rp 30 miliar dengan suatu kondisi belum termasuk pekerjaan luar bangunan, fasilitas penunjang dan jasa konsultan. Waktu itu dihitung luas bangunan 18.000 meter per-segi yang biaya pembangunannya diperkirakan Rp 1,5 juta per-meter per-segi atau Rp 27 miliar. Menara yang semula dirancang enam, menjadi satu menara saja dengan biaya Rp 3 miliar. Sehinga, total biaya waktu Rp 30 miliar.

Kemudian dilakukan penyempurnaan dengan perhitungan rinci (detail), akhirnya ditemukan biaya yang benar Rp 49,97 miliar. Kondisinya berubah, luas bangunan dan lapangan menjadi 28.500 meter per-segi. Berdasarkan perhitungan ulang itu, para Pembina yang terdiri dari para menteri kabinet menyanggupi membantu kekurangan dana Rp 9,5 miliar dan Pemprov Jatim Rp 10 miliar.

Begitu sulitnya menggali dana di masa krismon itu, HM Zuhdi yang semula Dirut Bank Jatim, kemudian menjadi Wakil Gubernur Jawa Timur, yang dipercaya sebagai bendahara itu, memang harus putar otak. Hampir tiap hari ia mengadakan rapat dan rapat yang tujuannya mengumpulkan dana untuk penyelesaian pembangunan MAS. Sampai-sampai waktu itu nama Zuhdi tidak dapat dipisahkan dengan MAS. Apabila ada kegiatan rapat atau acara yang dihadiri Zuhdi, orang sertamerta mengaitkannya dengan MAS.

Semula ketika MAS yang dinyatakan sebagai proyek nasional, direncanakan peresmiannya oleh Presiden Soeharto, Februari 1998 atau sebelum berlangsungnya Sidang Umum MPR bulan Maret 1998. Ternyata rencana tinggal rencana. Pelaksanaan pembangunan MAS tersenda-sendat, karena dana yang diharapkan belum tercapai akibat vdampak krisis moneter. Kecuali itu, situasi politik di Bumi Nusantara ini berubah total. Kepemimpinan negara ini beralih kepada Prof.Dr.H.B.J.Habibie. Ada rencana peresmian akan dilakukan oleh BJ Habibie, namun itupun batal. Kemudian baru pada saat Presiden KH Abdurrahman Wahid diresmikan, bersamaan dengan puncak acara Hari Pahlawan 10 November 2000.

Bukan Masjid Agung

Nama Masjid Agung Surabaya pada rapat yang berlangsung, Minggu 10 September 2000, disepakati diganti menjadi Masjid Al Akbar Surabaya. Singkatannya tetap MAS. Rapat yang dilaksanakan di gedung negara Grahadi itu dihadiri mantan Wapres Try Sutrisno.

Alasan penggantian nama itu, karena di Surabaya sudah ada sebutan untuk Masjid Agung Sunan Ampel. Karena MAS yang baru ini, ukurannya jauh lebih besar daripada Masjid Agung Sunan Ampel, maka disepakati nama MAS yang baru ini adalah Masjid Al Akbar Surabaya. Perubahan nama ini sudah mendapat persetujuan presiden waktu itu.

Memang, walaupun nama ini sudah diganti menjadi Masjid Al Akbar, masyarakat sudah terlanjur “fasih” menyebut nama masjid agung. Itu tidak masalah. Lama ke lamaan, apabila kita sudah terbiasa mengucapkan nama Masjid Al Akbar, tentunya akan berubah sendiri. Pada saat pembangunan awal, namanya Masjid Raya Surabaya (MRS), namun setelah diubah menjadi masjid agung, masyarakat melupakan sebutan masjid raya.

Sekarang, MAS sudah difungsikan sebagai tempat shalat berjamaah dan pengajian-pengajian. Melihat besarnya tanggungjawab perawatan dan upaya untuk “memakmurkan” masjid ini, memang harus ada penanganan yang serius. Perlu “takmir profesional” bertangan dingin dan kreatif.

Sebagai masjid terbesar ke dua di Indonesia setelah Masjid Istiqlal di Jakarta, MAS perlu segera dilengkapi dengan sara penunjang di dalam dan sekitarnya. Perlu ada madrasah dan asrama santri di daerah sekitar MAS sebagai penunjang untuk memakmurkan MAS secara rutin pada setiap waktu shalat. Agar pembangunan MAS ini tidak mubazir, maka fungsi masjid ini harus dimanfaatkan secara maksimal. Dan jangan diabaikan, perawatannya harus diatur sedemikian rupa. Perlu dirancang kegiatan perawatan harian, bulanan dan tahunan.

Ternyata sekarang, Alhamdulillah, Masjid Al Akbar sudah ramai dengan jamaah, terutama pada Shalat Jumat. Keculai itu, di hari libur, menara Masjid Akbar ramai didatangi masyarakat untuk melihat Kota Surabaya dari ketinggian.

Tidak hanya itu, kawasan lahan kosong di sekitar Masjid Al Akbar, juga ramai dengan pasar dadakan, Pedagang Kaki Lima yang menjual berbagai kebutuhan sehari-hari.

Oh ya, satu lagi yang perlu dicatat, Masjid Al Akbar juga “laris” untuk acara akad nikah. Silih berganti pasangan yang akan mendirikan rumahtangga berijab kabul di dalam Masjid Al Akbar Surabaya itu. ****

*) HM Yousri Nur Raja Agam – Ketua Yayasan Peduli Surabaya.