HPN Dari Anugerah Adinegoro ke Press Card Number One

Pin Press Card Number One
Press Card Number One yang diterima
HM Yousri Nur Raja Agam
Yousri Nur Raja Agam dan Oki Lukito saat menerima Sertifikat Press Card Number One.
Presiden Joko Widodo membuka HPN 2022 dari Istana Bogor.
Yousri Nur Raja Agam di halaman Masjid terapung Al Alam Kendari

HPN dari Adinegoro ke Press Card  Number One

Catatan: Yousri Nur Raja Agam *)

HARI Pers Nasional (HPN) 2022, baru saja berlangsung. Tahun ini acara puncak HPN dipusatkan di halaman Masjid terapung Al Alam,  Kendari,  Sulawesi Tenggara.

Ada yang istimewa dengan peringatan  HPN ini. Setiap tahun HPN itu dilaksanakan berpindah-pindah dari ibukota provinsi satu ke ibukota provinsi lainnya di Indonesia. Setiap tahun, tanggal 9 Februari, upacara puncak HPN itu, selalu dihadiri oleh Presiden RI. Sehingga HPN dapat dikatakan sebagai pesta masyarakat daerah dengan komponen pers. Sebab, kegiatan-kegiatan HPN ini melibatkan komunitas masyarakat dari daerah penyelenggaraan HPN itu.

Tahun 2022 ini, Presiden Joko Widodo sebelumnya juga sudah dijadwalkan hadir, ternyata batal. Alasannya, karena terjadi peningkatan ancaman Covid-19 dengan varian baru, Omicron. Akhirnya, Jokowi membuka acara HPN 2022 secara virtual dari Istana Presiden Bogor, Rabu (9/2/2022).

Hal yang sama juga terjadi tahun 2021 lalu. Acara puncak yang berlangsung di Ancol, Jakarta Utara, dengan alasan yang sama, masa pandemi Covid-19, Jokowi hadir melalui layar lebar secara virtual dari Istana Negara, Jakarta Pusat.

Kegiatan HPN untuk pertama kali dirayakan tahun 1985. Adanya HPN ini berawal dari keputusan Kongres ke 28 PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) tahun 1978, di Padang,  Sumatera Barat. Keputusan Kongres di Padang itu, akhirnya disetujui dalam Sidang Dewan Pers, 19 Februari 1981.

Dewan Pers, menyampaikan hasil Sidang itu kepada Pemerintah, yang menyetujui hari lahir PWI, tanggal 9 Februari 1946, dijadikan HPN. Sebab PWI sebagai organisasi wartawan tertua di Indonesia  setelah Indonesia merdeka.
Presiden Soeharto,  menyetujui dan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No.5 tahun 1985, tanggal 23 Januari 1985.

Maka mulai tahun 1985, untuk yang  pertama HPN dilangsungkan di Jakarta. Berlanjut tahun berikutnya 1986 di Jogjakarta, 1987 di Jakarta, 1988 di Padang,  1989 di Surabaya, 1990 di Ujungpandang (Makassar), 1991 di Banjarmasin, 1992 di Jakarta,  1993 di Bandung, 1994 di Medan, 1995 di Manado,  1996 di Solo, 1997 di Jakarta, 1998 di Palembang, 1999 di Jakarta, 2000 di Solo, 2001 di Jakarta, 2002 di Banjarmasin,  2003 di Bali,  2004 di Jakarta, 2005 di Pekanbaru,  2006 di Bandung, 2007 di Samarinda,  2008 di Semarang,  2009 di Jakarta, 2010 di Palembang,  2011 di Kupang NTT, 2012 di Jambi, 2013 di Manado, 2014 di Bengkulu, 2015 di Batam, 2016 di Lombok NTB, 2017 di Ambon, 2018 di Padang, 2019 di Surabaya,  2020 di Banjarmasin,  2021 di Jakarta dan 2022 di Kendari, dan HPN 2023 rencananya di Medan, Sumatera Utara.

Kegiatan HPN

Berbagai kegiatan diselenggarakan untuk menyemarakkan HPN. Mulai dari Pameran Pers dan Media yang diikuti oleh seluruh komponen pers nasional, media, serta pendukung lainnya. Selain itu diselenggarakan Konvensi Nasional Media Massa, Seminar-seminar, penyerahan Anugerah Jurnalistik dan Pers, Bakti Sosial, serta  hiburan rakyat.

HPN juga menjadi ajang silahturahmi dan penyatuan pemikiran untuk kemajuan pers khususnya dan bangsa Indonesia umumnya. Kegiatan ini merupakan agenda tahunan terbesar dan paling bergengsi bagi komponen pers Indonesia.

Penyelenggaraannya dilaksanakan secara bersama antara komponen pers, masyarakat, dan pemerintah. Tentunya, pemerintah daerah yang menjadi tuan rumah tempat penyelenggaraan. Landasan ideal HPN ialah sinergi. Sinergi antar komponen pers, antara komponen pers, masyarakat dan pemerintah, seperti tergambar pada untaian pita (umbulumbul) yang membentuk huruf HPN.

Komponen pers itu, awalnya Pemerintah diwakili Departemen Penerangan (Deppen), atau Kanwil Deppen di daerah. Termasuk di sini TVRI (Televisi Republik Indonesia) dan RRI (Radio Republik Indonesia). Sedangkan dari masyarakat pers, selain Dewan Pers dan PWI adalah SPS (Serikat Penerbit Suratkabar), SGP (Serikat Grafika Pers),  P3I (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia) dan PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia).

Pada masa peralihan dari Orde Baru ke Era Reformasi, Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, mengesahkan Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers. Maka kemerdekaan pers itu melahirkan kebebasan mendirikan berbagai organisasi, termasuk organisasi pers. Setelah memasuki era reformasi, Deppen dibubarkan Presiden Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur. Namun pada waktu Megawati jadi Presiden, dibentuk Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), sebagai ganti Deppen. Organisasi pers yang menjadi konstituen Dewan Pers, mulai gabung dengan komponen pers. Di antaranya IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia), ATVSI (Asosiasi Televisi Swasta Indonesia) dan ATVLI (Asosiasi Televisi Lokal Indonesia), SMSI (Serikat Media Siber Indonesia),  AMSI (Asosiasi Media Siber Indonesia), PFI (Pewarta Foto Indonesia) dan JMSI (Jaringan Media Siber Indinesia).

Anugerah Adinegoro

Setiap HPN, juga diselenggarakan penyerahan hadiah untuk lomba karya jurnalistik,  yang disebut Anugerah Adinegoro. Nama ini diambil dari nama pejuang dan perintis pers. Nama aslinya adalah Djamaluddin Gelar Datuk Marajo Sutan.  Adinegoro adalah nama samaran Djamaluddin di zaman Belanda.

Dulu, Anugerah Adinegoro merupakan penghargaan untuk lomba karya jurnalistik PWI Jakarta Raya (Jaya) sejak tahun 1974. Kemudian dialihkan menjadi lomba tingkat nasional oleh PWI Pusat pada HPN. Sedangkan lomba karya jurnalistik PWI Jaya, berubah menjadi Anugerah Jurnalistik MH Thamrin.

Anugerah Jurnalistik Adinegoro,  juga berkembang dari karya tulis, bertambah dengan kategori lainnya. Ada foto dan karikatur, sampai radio dan televisi. Bahkan, terakhir juga kategori media siber atau online.

Kegiatan HPN lainnya, adalah penerbitan buku. Sebab, Indonesia sangat tertinggal dari negara lain dalam penerbitan  buku. Untuk itulah, berdasar data yang disampaikan Ketua IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) Jakarta, HE Afrizal Sinaro, yang menyebut rendahnya jumlah penulis di Indonesia. Nah untuk meningkatkan minat baca masyarakat diadakan kegiatan penerbita buku pada HPN. Ternyata,  setelah adanya ransangan penerbitan buku pada HPN ini, minat wartawan menulis buku kelihatan meningkat.

Press Card Number One

Tradisi lain sejak HPN 2010 di Palembang adalah penganugerahan “Kartu Pers Nomor Satu” atau “Press Card Number One” (PCNO).

Anugerah Kartu Pers Nomor Satu untuk pertamakalinya, diberikan kepada beberapa orang tokoh utama Pers Nasional.

Para tokoh itu di antaranya Rosihan Anwar, Jakob Oetama, Herawati Diah, Dahlan Iskan, Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, Karni Ilyas, Abdullah Alamudi, AJ Muaya, Andy  F.Noya, Ariestides Katoppo, Arswendo Atmodiloto, Atmakusumah Astraatmadja, August Parengkuan,  Azkarmien Zaini,  Bambang Harymurti dan seterusnya, termasuk 21 orang tokoh pers daerah. Jumlahnya sampai nomor 83 di tahun 2010 itu.

Tahun 2011, saat HPN  di Kupang NTT, sebanyak 54 tokoh pers nasional dan daerah. Tahun 2012, pada HPN yang berlangsung di Jambi, ada 43 wartawan terpilih menerima PCNO. Tahun 2013 secara simbolis, di HPN Manado, untuk 18 wartawan senior. Tahun 2014, tidak ada Anugerah PCNO. Tahun 2015, pada HPN di Batam diserahkan kepada 18 orang dan Tahun 2016,  sebanyak 17 orang menerima Kartu Pers Nomor Satu (KPNS) yang diserahkan saat HPN 2017 di Ambon. Sedangkan untuk  Tahun 2017 tidak ada PCNO. Begitu pula saat HPN di Padang Tahun 2018, tanpa penganugerahan PCNO.
Berikutnya Tahun 2019, ketika HPN diselenggarakan di Surabaya,  diserahkan 22 PCNO. Tahun 2020 di Banjarmasin, KPNS diterima oleh 16 wartawan, dan di Tahun 2021 saat HPN di Ancol, Jakarta, sebanyak 10 orang penerima PCNO. Dan Tahun 2022, di Kendari, Sulawesi Tenggara,  terpilih 30 penerima Anugerah PCNO.

PCNO itu berupa kartu berukuran standar KTP (Kartu Tanda Penduduk) yang menampilkan dua bahasa, yakni Indonesia dan Inggris.
Yang bahasa Inggris NUMBER ONE PRESS CARD berwarna Biru dan dibaliknya bahasa Indonesia KARTU PERS NOMOR SATU warna merah muda. Ada foto dan nama pemiliknya. Di bagian bawah tertulis: Pemegang Kartu ini adalah wartawan profesional dengan kompetensi dan Integritas tinggi. Di baliknya yang berbahasa Inggris tertulis: This Card holder is a professional journalist with competence and high integrity.

PCNO atau KPNS ini rencananya diserahkan tiap tahun kepada wartawan senior terpilih dan diusulkan dari berbagai daerah di Indonesia. Hingga tahun 2022, sudah lebih 311 PCNO yang dianugerahkan oleh PWI Pusat bersama Panitia Pusat HPN kepada wartawan senior yang memenuhi syarat.

Salah satu syaratnya adalah wartawan senior berusia 50 tahun ke atas, telah 25 tahun lebih mengabdikan diri di dunia pers dan jurnalistik.

Penghargaan Kartu Pers Nomor Satu adalah penghargaan PWI Pusat bersama Panitia HPN kepada insan pers yang terus berjuang mengabdi dalam kemajuan dunia pers.

Seleksi wartawan senior penerima penghargaan dilakukan tim juri yang dibentuk PWI Pusat kemudian diputuskan dalam rapat pleno PWI Pusat.

Penghargaan Press Card Number One (PCNO) tersebut berupa “pin emas” bertuliskan Press Card Number One. Dilengkapi dengan
Kartu Pers Nomor Satu, di baiknya berbahasa Inggris Press Card Number One. Di samping itu juga  “Sertifikat” dan Surat Keputusan yang ditandatangani langsung oleh Penanggung Jawab HPN. Tahun 2022 ini, SK nya ditandatangani oleh Atal Sembiring Depari dan Ketua Pelaksanaan, Auri Jaya.

Selaku Ketua Umum PWI Pusat, Atal Sembiring Depari, menyatakan bahwa penghargaan PCNO diberikan kepada wartawan profesional dengan kompetensi dan memiliki integritas tinggi. Maja untuk  pemberian penghargaan ini telah melalui seleksi yang  dilakukan oleh tim dan telah disahkan dalam rapat pleno pusat HPN.

Jadi, jelas Atal S Depari, penghargaan ini merupakan bentuk pengakuan kepada orang-orang pers yang telah menunjukkan kinerja profesional. Selain itu, juga berdedikasi, pengorbanan kepada dunia pers, kemerdekaan pers dalam tahun-tahun pengabdiannya di dunia pers.

Kartu utama buat Insan Pers dari PWI Pusat ini, selain sebagai penghargaan kepada orang-orang yang memiliki dedikasi tinggi terhadap dunia pers. Tidak hanya itu, penghargaan ini juga sebagai simbol upaya masyarakat pers, untuk memperhatikan orang – orang yang patut menjadi teladan atas prestasi yang dicapai.

Dengan diberikannya penghargaan tersebut, Atal berharap sebagai motivasi dan aspirasi bagi insan pers untuk meneruskan jejak tokoh-tokoh yang telah menerima penghargaan tersebut.

Anugerah Kebudayaan

Bersamaan dengan acara  penyerahan anugerah kartu Pers nomor satu kepada wartawan senior, juga ada “Anugerah Kebudayaan” kepada pemerintah kabupaten dan kota yang berperan aktif melestarikan budaya.

Ketua Umum PWI Pusat  H.Atal Sembiring Depari mengatakan, anugrah ini sejalan dengan pemikiran Presiden Joko Widodo, yang menganggap budaya sebagai DNA bangsa Indonesia.

Oleh karena itu,  panitia HPN 2022 sekarang ini ingin melihat  praktik-praktik budaya yang membangun bangsa Indonesia itu.

Regulasi Hak Cipta

Sebagai catatan yang juga perlu digarisbawahi pada HPN 2022 ini adalah,  dukungan Presiden Jokowi  tentang regulasi hak cipta jurnalistik. Ia menyebut dalam sambutan pembukaan HPN secara virtual,  bahwa segera diterbitkan regulasi tersebut untuk menjadikan industri pers semakin sehat dan kuat.

Jokowi  menyampaikan ada beberapa pilihan yang bisa diputuskan terkait regulasi hak cipta jurnalistik.

Ke depan, masyarakat Indonesia tidak boleh hanya menjadi pasar bagi produk teknologi digital global.
Secepatnya, harus dibangun dan dikembangkan teknologi inovatif yang membantu memudahkan masyarakat mendapatkan informasi berkualitas, akurat, dan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Untuk itu, Presiden Jokowi meminta Pers Indonesia mampu memperbaiki kelemahan sambil melanjutkan agenda-agenda besar bangsa. Termasuk, menguatkan pijakan untuk melompat lebih tinggi dan mampu berselancar di tengah-tengah perubahan transformasi digital.

*) Yousri Nur Raja Agam
Penerima Press Card Number One
Pada HPN 2022 di Kendari.

STANDAR KOMPETENSI WARTAWAN

Menyambut Hari Pers Nasional 2011

Standar Kompetensi Wartawan

Alat Ukur Profesionalitas Pers

Yousri Nur RA, MH

Oleh: HM Yousri Nur Raja Agam *)

 

Setelah Dewan Pers memfasilitasi perubahan standar kompetensi wartawan bersama masyarakat pers, maka PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) tidak tinggal diam. Organisasi profesi wartawan tertua di Indonesia ini langsung mengambil inisiatif untuk menyosialisasikannya.

Setahun yang lalu, tanggal 9 Februari 2010, saat peringatan HPN (Hari Pers Nasional) 2010 dipusatkan di Palembang, Sumatera Selatan, SKW (Standar Kompetensi Wartawan) diangkat ke pemukaan. SKW ini merupakan salah satu di antara butir “Piagam Palembang” tentang Kesepakatan Perusahaan Pers Nasional.

Dalam kesepakatan perusahaan pers nasional itu ada enam hal yang disetujui. Khusus untuk butir satu, yang disetujui adalah: melaksanakan sepenuhnya Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Standar Perusahaan Pers (SPS), Standar Perlindungan Wartawan (SPW) dan Standar Kompetensi Wartawan (SKW).

Kendati menjadi wartawan merupakan hak asasi seluruh warga negara, namun bukan berarti setiap warga negara bisa melakukan pekerjaan kewartawanan. Ada ketentuan dan “alat ukur” yang perlu dijadikan sebagai pedoman dalam dalam melaksanakan profesi kewartawanan itu.

Pekerjaan wartawan berhubungan langsung dengan kepentingan masyarakat atau publik. Bahkan, dinyatakan bahwa “wartawan adalah bidan sejarah”. Nah, sebagai bidan, artinya ikut secara aktif mengembangkan dan membesarkan  dan mendewasakan sejarah. Sebagai profesi yang terhormat, maka wartawan wajib mengawal kebenaran dan keadilan, melakukan perlindungan terhadap hak-hak pribadi masyarakat, serta menjadi musuh penjahat kemanusiaan seperti koruptor dan politik busuk.

Dalam melaksanakan tugasnya wartawan harus memiliki standar kompetensi yang memadai dan disepakati oleh masyarakat pers. Standar kompetensi itu menjadi alat ukur profesionalitas wartawan.

SKW ini diperlukan untuk melindungi kepentingan publik dan hak pribadi masyarakat guna menjaga kehormatan pekerjaan wartawan. Jadi, bukan untuk membatasi hak-hak warga negara menjadi wartawan. Melalui SKW ini pula wartawan akan diuji kemampuan intelektual dan pengetahuan umumnya. Sebab, di dalam SKW itu melekat pemahaman tentang pentingnya kemerdekaan berkomunikasi, berbangsa dan bernegara yang demokratis.

Kemampuan untuk memahami etika dan hukum pers, konsepsi berita, penyusunan dan penyuntingan berita, serta bahasa tidak dapat dilepaskan dari kaita kompetensi wartawan. Hal ini juga menyangkut kemahiran melakukan kemampuan yang bersifatteknis. Di sinilah dapat diketahui tentang profesionalitas wartawan dalam mencari, memperoleh, menyimpan, memiliki, mengolah, membuat dan menyiarkan berita.

Seorang wartawan harus mengikuti uji kompetensi guna mencapat SKW tersebut. Dewan Pers sudah menetapkan lembaga yang diverifikasi sebagai pelaksana uji kompetensi itu. Selain organisasi wartawan dan perusahaan pers, juga dapat dilaksanakan oleh perguruan tinggi dan lembaga pendidikan jurnalistik.

Jadi, nantinya wartawan yang belum mengikuti uji kompetensi dinilai belum memiliki kompetensi sesuai dengan SKW yang ditetapkan Dewan Pers.

 

Rumusan Kemampuan

Pengertian tentang SKW ini harus baku, sehingga menjadi pegangan ukuran dan dasar. Standar itu juga berarti sebagai model bagi karakter unggulan. Dengan kompetensi itu dapat dilihat kemampuan yang menggambarkan tingktan khusus menyangkut kesadaran, pengetahuan dan keterampilan seorang wartawan.

Sebagaimana sudah sering diungkapkan, bahwa wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik, berupa mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi.  Penyiaran informasi dilaksanakan dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik. Bisanya juga dalam bentuk lain yang menggunakan media cetak, media elektronik, multi media dan segala jenis saluran lainnya.

Dengan kata lain, pengertian kompetensi wartawan adalah kemampuan untuk memahami, menguasai dan menegakkan profesi jurnalistik atau kewartawanan, serta kewenangan untuk menentukan sesuatu di bidang kewartawanan. Hal itu menyangkut kesadaran, pengetahuan dan keterampilan.

Melalui SKW itu akan diperoleh rumusan kemampuan kerja wartawan yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, keahlian dan sikap kerja yang terkait dengan pelaksanaan tugas kewartawanan itu sendiri.

Tujuan SKW ini adalah untuk meningkatkan kualitas dan profesionalitas wartawan. Sekaligus untuk jadi acuan sistem evaluasi kinerja wartawan oleh perusahaan pers. Di samping itu, sebagai  alat untuk menegakkan kemerdekaan pers berdasarkan kepentingan publik.

Dengan adanya SKW ini, maka dapat menjaga harkat dan martabat kewartawanan sebagai profesi khusus penghasil karya intelektual. Selain itu untuk menghindari penyalahgunaan profesi wartawan, serta menempatkan wartawan pada kedudukan strategis dalam industri pers.

 

Model dan Ketegori

Rumusan kompetensi yang sudah disepakati adalah menggunakan model dan kategori, yaitu: kesadaran (awareness), pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skill).

Kesadaran itu mencakup kesadaran tentang etika dan hukum, kepekaan jurnalistik, serta pentingnya jejaring dan lobi.

Pengetahuan meliputi teori dan prinsip jurnalistik, pengetahuan umum dan pengetahuan khusus.

Keterampilan dijabarkan dalam kegiatan 6 M (mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan) informasi, serta melakukan riset dan investigasi, analisis dan prediksi, maupun menggunakan alat dan teknolgi informasi.

Dalam melaksanakan pekerjaan, wartawan dituntut menyadari norma-norma etika dan ketentuan hukum. Garis besar kompetensi kesadaran wartawan diperlukan bagi peningktan kinerja dan profesionalisme wartawan.

Kesadaran akan etika dan hukum sangat penting dalam profesi kewartawanan. Sehingga, setiap langkah wartawan, termasuk dalam mengambil keputusan untuk menulis atau menyiarkan masalah atau peristiwa, akan selalu dilandasi pertimbangan yang matang. Kesadaran etika juga akan memudahkan wartawan dalam mengetahui dan menghindari terjadinya  kesalahan, seperti melakukan plagiat atau menerima imbalan. Dengan kesadaran ini, wartawan akan tepat dalam menentukan kelayakan berita atau menjaga kerahasiaan sumber.

Kurangnya kesadaran akan etika dapat berakibat serius berupa ketiadaan petunjuk moral. Yaitu sesuatu yang dengan tegas mengarahkan dan memandu pada nilai-nilai dan  prinsip yang harus dipegang. Kekurangan kesadaran juga dapat menyebabkan wartawan gagal dalam melaksanakan fungsinya.

Wartawan yang menyiarkan informasi tanpa arah, berarti gagal menjalankan perannya untuk menyebarkan kebenaran suatu masalah dan peristiwa. Tanpa kemampuan menerapkan etika, wartawan rentan terhadap kesalahan. Ini dapat memunculkan persoalan yang berakibat tersiarnya informasi yang tidak akurat dan bias, menyentuh privasi atau tidak menghargai sumber berita. Pada akhirnya hal itu menyebabkan kerja jurnalistik yang buruk.

Untuk menghindari hal-hal di atas, wartawan wajib memiliki integritas, tegas dalam prinsip dan kuat dalam nilai. Dalam melaksanakan misinya wartawan harus beretika, memiliki tekad untuk berpegang pada standar jurnalistik yang tinggi dan memiliki tanggungjawab.

Kecuali itu, wartawan wajib melayani kepentingan publik, mengingatkan mereka yang berkuasa agar bertanggungjawab, serta menyuarakan yang tidak bersuara. Dan wajib pula bagi wartawan untuk bersikap berani dalam keyakinan, independen, mempertanyakan otoritas dan menghargai perbedaan.

Wartawan harus meningkatkan kompetensi etikanya, karena wartawan yang harus melakukan hal itu akan lebih siap dalam menghadapi situasi pelik. Untuk meningkatkan kompetensi etika, wartawan Indonesia perlu memhami Kode Etik Jurnalistik dan kode etik organisasi wartawan masing-masing.

Sebagai pelengkap pemahaman etika, wartawan dituntut untuk memahami dan sadar akan ketentuan hukum yang terkait dengan kerja jurnalistik. Pemahaman tentang hal ini perlu terus ditingkatkan. Wartawan wajib menyerap Dan memahami Undang-undang Pers, menjaga kehormatan dan melindungi hak-haknya.

Wartawan juga perlu tahu hal-hl mengenai penghinaan, pelanggaran terhadap ptivasi dan berbagai ketentuan dengan narasumber, seperti off the record dan confidential sources.

Kompetensi hukum menuntut penghargaan pada hukum, batas-batas hukum dan memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat dan berani untuk memenuhi kepentingan publik dan menjaga demokrasi.

 

Kepekaan Jurnalistik

Kepekaan jurnalistik adalah naluri dan sikap diri yang dimiliki wartawan dalam memahami, menangkap dan mengungkap suatu informasi tertentu yang bisa dikembangkan menjadi suatu karya jurnalistik.

Selain itu, wartawan mengemban tugas kebebasan pers sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat harus sadar kenal memerlukan jejaring dan lobi seluas-luasnya. Sebagai sumber informasi yang kredibel, akurat, terkini dan komprehensif, serta yang dapat mendukung pelaksanaan profesi wartawan.

Untuk itu diperlukan membangun jejaring dengan narasumber, membina relasi, memnafaatkan akses, menambah dan memperbarui relasi, serta menjaga sikap profesional dan integritas sebagai wartawan.

 

Ujian Kompetensi

Seorang wartawan yang dianggap sudah memenuhi ketentuan SKW, ditentukan melalui ujian.

Dewan Pers dudah menetapkan, peserta yang dapat menjalani uji kompetensi adalah wartawan. Bagi wartawan yang belum berhasil dalam uji kompetensi dapat mengulang pada kesempatan berikutnya di lembaga-lembaga penguji kompetensi.

Lembaga kompetensi yang sudah ditentukan adalah: perguruan tinggi komunikasi atau jurnalistik, lembaga pendidikan jurnalistik atau kewartawanan, perusahaan pers dan organisasi wartawan.

Setelah menjalani jenjang kompetensi wartawan muda sekurang-kurangnya tiga tahun, yang bersangkutan berhak mengikuti uji kompetensi wartawan madya. Dua tahun berikutnya berhak mengikuti uji kompetensi wartawan utama.

Sertifikat kompetensi berlaku sepanjang pemegang sertifikat tetap menjalankan tugas jurnalistik. Sedangkan wartawan pemegang sertifikat yang tidak menjalankan tugas jurnalistik minimal selama dua tahun berturut-turut, jika yang bersangkutan akan kembali menjalankan tugas jurnalistik, maka diakui berada pada jenjang kompetensi terakhir.

Pemimpin redasksi, menempati posisi strategis dalam perusahaan pers dan dapat memberi pengaruh yang besar terhadap tingkat profesionalitas pers. Oleh karena itu, pemimpin redaksi haruslah orang yang telah memiliki jenjang kompetensi wartawan utama, sekaligus pengalaman yang memadai. Kendati demikian, tidak boleh ada ketentuan yang bersifat diskriminatif dan melawan pertumbuhan alamiah yang menghalangi seseorang menjadi pemimpin redaksi.

Wartawan yang dapat menjadi pemimpin redaksi, ialah mereka yang telah memiliki kompetensi wartawan utama dan memiliki kualifikasi pengalaman kerja sebagai wartawan minimal 5 (lima) tahun.

Penanggungjawab, sesuai dengan Undang-undang Pers adalah penanggungjawab perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi. Dalam posisi itu penanggungjawab dianggap bertanggungjawab terhadap ke seluruhan proses dan hasil produksi, serta konsekwensi hukum perusahaannya. Oleh karena itu, penanggungjawab harus memiliki syarat pengalaman dan kompetensi wartawan setara dengan pemimpin redaksi.

SKW (Standar Kompetensi Wartawan) ini berlaku selambat-lambatnya dua tahun sejak SKW ini diberlakukan. Perusahaan pers dan perusahaan pers yang telah dinyatakan lulus verifikasi oleh Dewan Pers sebagai lembaga penguji SKW sudah harus menentukan jenjang kompetensi para wartawan di perusahaan atau organisasinya.

Demikian, sepintas tentang Standar Kompetensi Wartawan yang ditetapkan dalam “Piagam Palembang” tanggal 9 Februari 2010 yang kembali diangkat sebagai diskusi utama pada Hari Pers Nasional (HPN) 2011 di Kupang, NTT, 9 Februari 2011 ***

 

*) Eks Sekretaris Dewan Kehormatan  Daerah PWI Jawa Timur.

Menyambut HPN 2009 (3)

HOS Tjokroaminoto

Perintis Pers Nasional dari Surabaya

Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)

HOS Tjokroaminoto selaku pemimpin umum dan pemimpin redaksi Suratkabar Oetoesan Hindia (baca: Utusan Hindia) yang terbit awal abad ke 20, dikenal sebagai seorang wartawan dan penulis tajuk rencana yang tajam. Isi dan gaya penulisannya dapat dicontoh wartawan sekarang, lebih-lebih dalam memilih soal yang dibincangkan, ungkap Soedarjo Tjokrosisworo dalam buku “Memperingati HOS Tjokroaminoto”.

Kiprah pak Tjokro – begitu pendiri perkumpulan Syarikat Islam (SI) biasa dipanggil – benar-benar mampu mengembangkan pers nasional dari Surabaya. Koran yang dipimpinnya beredar luas di kalangan masyarakat, bahkan menjadi bacaan “wajib” bagi para pejuang dan perintis kemerdekaan. Antara tahun 1916-1919, suratkabar yang terkenal dengan singkatan OH ini mencapai puncaknya. Sejumlah tokoh pergerakan terlibat dalam penulisan di suratkabar ini. Di antaranya: H.Agus Salim, Dr.Tjiptomangunkusumo, Alimin, Abdul Muis, Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara dan Suryopranoto.

Ada seorang penulis muda yang menggunakan nama Bima dalam laporan dan tulisannya. Laporan-laporan yang ditulisnya cukup tajam dan dinilai sangat berani di masa penjajahan Belanda itu. Wartawan asuhan Tjokroaminoto ini berulangkali menurunkan berita pemberontakan yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Misalnya, pemberontakan di Jambi, Sumatera pada Agustus-September 1916 yang menewaskan seorang kontrolir Belanda bernama Walter dan sejumlah pegawai pamongpraja setempat.

Tidak hanya itu, Bima yang merupakan nama samaran Soekarno – murid pak Tjokro yang kemudian menjadi Presiden RI pertama — juga menulis pemberontakan di Toli-toli, Sulawesi Tengah. Pembangkangan rakyat ini mengakibatkan tewasnya kontrolir de Kat Angelino dan sejumlah pegawai pamongpraja pada Juni 1919. Dia juga menulis peristiwa pemberontakan yang dipimpin Haji Hasan di Cimareme, Garut tanggal 7 Juli 1919. Peristiwa yang dikenal dengan SI Afdeling B menjadi berita besar di OH.

Akibat pemberitaan ini, pak Tjokro yang biasa juga disebut kiyai-ne ini selaku pemimpin redaksi OH ditangkap, diadili dan dijatuhi hukuman satu tahun penjara. Namun kemudian hukuman terhadap pak Tjokro dibatalkan oleh Hoogerechtshof (Pengadilan Tinggi), kendati sempat meringkuk di penjara Kedungjati.

Saat pak Tjokro berada di balik terali besi, suratkabar OH yang terbit dua hari sekali ini terguncang. Pengelolaan jadi kacau, akibat kesulitan dana untuk membiayai percetakan. Akhirnya, terpaksa menghentikan penerbitannya.

Selain OH, tahun 1915 di Surabaya tercatat ada dua suratkabar berbahasa Indonesia. Satu lagi Mingguan Java Herald. Koran yang terbit perdana, Sabtu, 2 Januari 1915 itu dipipin oleh Kwee Hing Tjiat dengan dua staf redaksinya, Liem Tjhioe dan Tji Tjip Leng. Suratkabar yang banyak memuat iklan ini juga punya tulisan khusus tentang negeri Tiongkok. Namun koran ini hanya bertahan satu tahun (1915-1916). Ada lagi koran mingguan Selompret Hindia, usianya lebih panjang, selama dua tahun. Tahun 1917, koran inipun hilang dari peredaran.

Kendati ada koran yang tenggelam, juga ada koran baru yang terbit. Ini merupakan dinamika kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya di Surabaya pada awal abad ke 20. Sebagai dampak kebangkitan nasional, tahun 1916-1917 terbit pula empat suratkabar baru di Surabaya. Satu berbahasa Belanda dan tiga lainnya berbahasa Melayu. Uniknya suratkabar Tjahaja Selatan (baca: Cahaya Selatan), diterbitkan oleh seorang pengusaha bangsa Jepang, mantan direktur Bank Taiwan di Surabaya, bernama Yanagi. Dia dibantu oleh Kawabata dan Sukimaru. Salah seorang redaktur suratkabar mingguan ini adalah RM Bintarti.

Suratkabat berbahasa Belanda bernama De Schatter dengan edisi terbit dwimingguan. Koran ini hanya bertahan satu tahun (1917-1918). atu lagi koran terbit di Surabaya, suratkabar mingguan Sinar Islam, yang ternyata mampu bertahan setahun (1917-1918). Kemudian muncul suratkabar Soeara Perdamaian yang bertahan selama sepuluh tahun hingga 1927.

Memang, begitulah dunia penerbitan mediamassa. Ada yang terbit dan bertahan lama, ada pula yang terbit tidak menentu. Tahun 1918, tercatat ada suratkabar bernama Pangkal Kemadjoean dan suratkabat Oetoesan Islam, serta majalah Kawan Kita Jang Toeloes (Kawan Kita yang Tulus). Majalah ini dipimpin H.Mas Mansjoer dengan staf redaksi antara lain: RH Mohammad Issam dan M.Sosrosoegondo.

Ada pula peristiwa yang menarik yang patut dicatat. Masyarakat Tionghoa-Melayu menerbitkan majalah Tjhoen Tjhioe di Surabaya, dengan edisi perdananya terbit 15 Oktober 1918. Dalam waktu singkat, suratkabar ini tersebar ke seluruh penjuru tanahair. Agen dan perwakilannnya ada di Semarang, Jakarta, Bandung, Pekalongan, Padang dan Medan. Gerakan kaum muda Tionghoa ini cukup gesit. Selain berbisnis, mereka juga menghimpun kekuatan dengan melempar gagasan pembentukan Journalistenbond Tionghoa di Hindia Belanda.

Pada tahun yang sama terbit pula majalah berbahasa Arab, Al Iqbal dan koran berbahasa Belanda, bernama Anita. Kemudian terbit koran OIBA yang terbit bulanan di bawah pimpinan M.Oeripan dengan stafnya M.Imam Djadjri dan HOS Tjokroaminoto. Suratkabar yang menyalurkan aspirasi kaum pergerakan ini diterbitkan oleh Perserikatan Pegawai Pamongpraja Bumi Putera yang tidak berdiploma Osvia atau Ongediplomeede Inlandsch Bestuur Ambtenaaren (OIBA). Menyusul terbit pula koran As-Salam dan Al-Irsyad. Keduanya berbahasa Arab. Tahun 1920, terbit koran Soeara Boemipoetra yang bertahan sampai tahun 1925.

Selain di Surabaya, koran-koran dan majalah juga terbit di berbagai kota di Jawa Timur, seperti di Malang, Kediri dan Tulungagung. Di Surabaya, salah satu koran yang terbit tahun 1924 adalah Fadjar. Kemudian Soeara Perdamaian dan Sin Jit Po. Koran Sin Jit Po ini semula bernama Sin Po Oost Java Editie yang dipimpin Phoa Tjun Hwat ini bertahan hingga tahun 1942. Di sini salah seorang redakturnya, adalah RM Bintarti.

Atas prakarsa RM Bintarti, tahun sejak tahun 1925 bermunculan berbagai penerbitan pers, baik suratkabar, maupun majalah. Di Surabaya di bawah kordinasi RM Bintarti berdiri organisasi wartawan Asia bernama: Serikat Journalist Asia (SJA). Sedangkan di Jakarta, para aktivis wartawan bergabung dalam organisasi PERDI (Persatoean Djoernalis Indonesia) yang kemudian juga punya cabang di Surabaya.

Berbagai kasus delik pers yang diperjuangkan oleh PERDI, baik di Jakarta maupun di Surabaya. Waktu itu, pemerintah kolonial memang sangat ketat melakukan pengawasan terhadap tulisan wartawan-wartawan pejuang.

*) Yousri Nur Raja Agam MH – Dewan Kehormatan PWI Jatim