Bibit Unggul di Surabaya

Siswa “Bibit Unggul”

Warisan Cak Narto

Kurang Dipedulikan

Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)

Yousri Nur RA MH

Yousri Nur RA MH

DUNIA pendidikan selalu menjadi fenomena kehidupan sejak seorang lahir hingga mengakhiri hidupnya. Sebab menurut tuntunan dan ajaran agama, ilmu pengetahuan dan pendidikan itu wajib dituntut oleh setiap insan tanpa pandang batas usia.

Dalam ajaran Islam, misalnya untuk mencari dan menuntut ilmu itu memang tanpa batas waktu dan wilayah. Dua hadis Nabi Muhammad yang selalu dijadikan pijakan tentang pendidikan, sering diucapkan oleh para da’i dan para pendidik. Hadis itu berbunyi: “Uthlubul ‘ilmi minal mahdi ilal lahdi”, artinya adalah: “Tuntutlah ilmu sejak masih dalam buaian hingga berada di liang lahad”. Hadi yang satu lagi berbunyi: “Thalabul ‘ilmi walau bis Shin” yang bermakna “Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina”.

Tiap tahun masalah pendidikan juga menjadi masalah dan problema kehidupan keluarga. Para orangtua disibukkan untuk memasukkan anak-anaknya ke sekolah pilihan dan favorit. Berbagai cara ditempuh, kendati sudah ada pedoman dan batasan-batasan sesuai dengan kemampuan anak.

Bagi Kota Surabaya, dunia pendidikan sudah menjadi bagian yang rutin. Bahkan sebagai salah satu prioritas kegiatan kota. Ini tidak lepas dengan julukan Surabaya sebagai kota “Budi Pamarinda”, singkatan dari kota Budaya, Pendidikan, Pariwisata, Maritim, Industri dan Perdagangan.

Memang, sejak zaman penjajahan Belanda hingga sekarang berbagai aktivitas pendidiikan ada di Surabaya. bahkan Surabaya juga dijadikan “kiblat” pendidikan tertentu bagi wilayah Indonesia Timur. Misalnya, dua perguruan tinggi negeri di kota Pahlawan ini – Universitas Airlangga (Unair) dan Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) – dijadikan rujukan untuk pendidikan tinggi dan khusus. Kecuali itu, sebagai pusat pangkalan armada laut TNI-Angkatan Laut, kota Surabaya merupakan kancah candradimuka bagi taruna-taruna Angkatan Laut. Dari kota Surabaya inilah perwira muda yang diwisuda dari AAL (Akademi Angkatan Laut) dipersiapkan.

Di balik pancaran kemegahan “menara gading” itu, di Surabaya tidak sedikit anak terlantar dan masyarakat miskin. Mereka tidak sempat membayangkan dunia pendidikan dan sekolah, apalagi mimpi untuk memperoleh gelar kesarjanaan sebagaimana warga kota yang hidup layak.

Tetapi, bukan tidak mungkin semua yang mustahil itu dapat diwujudkan. Asalkan ada kepedulian dari lingkungan dan masyarakat yang peduli. Bahkan, kalau yang peduli itu adalah orang yang berkuasa, hal yang mustahil dan tidak mungkin bisa disulap menjadi kenyataan. Nah, itulah yang dilakukan mantan walikota Surabaya, almarhum DR (HC) H.Sunarto Sumoprawiro yang akrab dengan sapaan Cak Narto.

Cak Narto, membuktikan kepeduliannya terhadap pendidikan. Tetapi dia tidak sekedar mendukung sekolah dan kampus-kampus yang sudah ada. Cak Narto membuat sebuah pola baru dunia pendidikan. Mendirikan asrama “Bibit Unggul”. Nah, apa pula ini dan bagaimana moda yang disebut “bibit unggul” itu?

Istilah “bibit unggul” yang dipopularkan Cak Narto, adalah sebuah istilah yang ditujukan untuk anak-anak pintar yang bakal menjadi pemimpin masa depan. Lebih daripada itu, anak-anak pintar itu berasal dari keluarga miskin dan tidak mampu di bidang ekonomi.

Mereka yang pintar tetapi miskin inilah yang mendapat perhatian khususnya. Caranya, mendata anak-anak pintar tetapi tidak mampu, kemudian dijadikan anak asuh. Mereka harus sekolah hingga jenjang pendidikan tinggi dan biayanya ditanggung bersama melalui sebuah badan atau yayasan.

Itulah yang dilakukan Cak Narto saat ia menduduki jabatan walikota. Menurut almarhum, ia melakukan itu tidak sertamerta atau ujug-ujug. Ada ceritanya, kata Arek Suroboyo kelahiran kampung Wonorejo, Surabaya itu.

Saat dilantik menjadi walikota Surabaya untuk pertamakalinya, 20 Juni 1994, suasananya memang lain daripada yang lain. Upacara pelantikan walikota oleh gubernur Jawa Timur (waktu itu) HM Basofi Soedirman, meriah dan penuh nostaligia. Tamu yang hadir tidak seperti biasanya penatikan pejabat. Sebab, selain tamu resmi dari kalangan pejabat negara sipil dan militer, serta pengusaha dan tokoh masyarakat, juga hadir lapisan masyarakat kebanyakan.

Ala Kampung

Kedatangan Cak Narto memimpin kota Surabaya waktu itu bernuansa lain. Tidak hanya para undangan resmi yang memberikan ucapan selamat kepada Cak Narto, tetapi juga teman-teman masa kecil, konco masa remaja dan kawan waktu sekolah tempo dulu. Belum lagi teman sesama jago kampung yang suka berkelahi. Maklum, Cak Narto muda memang suka bergaul ala kampung kendati hidup di tengah kota.

Saat bersalaman dan acara ramahtamah itulah Cak Narto menanyakan tentang teman-teman masa lalu. Si anu sekarang di mana, si anu sekarang jadi apa dan sebagainya. Di sela-sela nostalgianya itu, Cak Narto bercerita tentang temannya yang selalu diingatnya, bernama Munir.

Munir, adalah teman kecil Cak Narto sewaktu Sekolah Rakyat (SR) – sekarang menjadi Sekolah Dasar (SD) – yang sangat pintar. Ia selalu juara kelas, mulai dari kelas satu hingga kelas enam. “Pokoknya paling pintar, tidak ada yang mampu menyaingi Munir”, ujar Cak Narto sembari menerawang ke langit-langit gedung balaikota di ruang serbaguna yang sekarang disebut “Graha Sawunggaling” itu.

Sayang, Munir tidak dapat melanjutkan sekolah. Orangtua Munir hidup dalam kemiskinan. Ia hanya sebagai bakul (pedagang) sayur. Lebih tragis lagi, kemudian ayah Munir sakit-sakitan dan kesulitan untuk biaya berobat. Tidak lama, ayah Munir meninggal dunia. Munir yang miskin itu berusaha mandiri dengan menjual koran untuk mempertahankan hidup bersama ibunya.

Sejak kejadian itulah, ujar Cak Narto, ia selalu ingat dengan Munir. Dan Cak Narto sangat yakin di Surabaya ini masih banyak, mungkin ribuan jumlahnya “Munir-Munir” yang lain. Mereka yang pintar, tetapi hidup di keluarga miskin. Cak Narto mengatakan, ia punya obsesi, apabila suatu saat menjadi orang yang mampu dan mempunyai kekuasaan akan memperhatikan kehidupan anak pintar yang berada di lingkungan miskin. Ternyata obsesi Cak Narto itu tidak sekedar khayalan. Ia membuktikannya, sehingga hanya dalam waktu singkat, setelah resmi menjadi walikota Surabaya, ia mendirikan Yayasan Tunas Pratama Bhakti (TPB).

Yayasan ini didirikan di depan dan oleh Notaris G.Muchtar Rudy,SH dengan akta No.36 tanggal 10 November 1994. Hari itu, di samping sebagai puncak peringatan Hari Pahlawan, sekaligus juga sebagai hari ulang tahun ke 50 Cak Narto – H.Sunarto Sumoprawiro lahir di Surabaya, 10 November 1944.

Dalam waktu singkat yayasan bekerja menghimpun dana dan melaksanakan berbagai program kerja. Dana awal diminta Cak Narto dari bantuan para camat, kelapa bagian, kepala dinas dan pejabat lain di lingkungan Pemkot Surabaya. Dana awal yang dihimpun itu, digunakan untuk membiayai pendidikan sebanyak 40 orang anak pintar yang diseleksi dari berbagai sekolah di Surabaya. Anak-anak pintar dengan IQ yang bagus itu semuanya berasal dari keluarga tidak mampu.

Waktu itu, ke 40 anak ini sekolahnya dibiayai sepenuhnya oleh yayasan TPB, tetapi masih tetap tinggal bersama orangtuanya di rumah masing-masing.

Setelah setahun kegiatan pembinaan anak-anak pintar yang miskin ini berlangsung, ada seorang pengusaha yang tergerak hatinya untuk membangun asrama bagi anak-anak asuh Cak Narto yang berlindung di bawah yayasan TPB itu. Cak Narto mengatakan: “pengusaha itu adalah Bapak HM Jusuf Kalla. Beliaulah yang menjadi donatur awal pembangunan asrama Anak Asuk Bibit Unggul itu.”

Waktu itu, Jusuf Kalla benar-benar orang swasta yang sukses di Jakarta dan Makassar. Dia itu ujar Cak Narto, sering memberikan bantuan untuk berbagai kegiatan sosial di Jakarta. Cak Narto sangat tahu itu, sebab saat di Jakarta Cak Narto banyak bergaul dan bergelut di bidang sosial. Sehingga perkenalan Cak Narto dengan Jusuf Kalla sudah tak asing lagi, bahkan cukup akrab. Setelah Cak Narto tidak berkuasa lagi dan meninggal dunia, ternyata HM Jusuf Kalla yang menjadi idola Cak Narto itu, sekarang menjadi Wakil Presiden, mendamping Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Asrama “Anak Asuh Bibit Unggul” kemudian dibangun di atas tanah seluas 10 ribu meter-persegi yang terletak di Jalan Villa Kalijudan Indah XV Kaveling 2-4 Surabaya. Bangunan asrama dan kantor yayasan didirikan itu menfghabiskan biaya hampir Rp 2 miliar. Upacara persemiannya cukup istimewa, karena yang hadir adalah para senior Cak Narto saat menjadi TNI aktif di kesatuannya Kopassus (Kamando pasukan Khusus). Tidak hanya itu, teman-teman lama arek Suroboyo tempo dulu sampai yang muda-muda sekarang juga hadir.

Prasasti peresmian ditandatangani oleh Letjen TNI H.Syarwan Hamid (waktu itu jabatannya sebagai Kepala Staf Sosial Politik ABRI) yang disaksikan oleh Letjen TNI Prabowo Subianto (waktu itu sebagai Komandan Jenderal Kopassus).

Dalam waktu singkat yayasan bergerak mendata anak pintar dari keluarga miskin melalui sekolah-sekolah yang ada di Surabaya. Untuk tahap pertama dalam tahun ajaran 1994-1995 calon siswa anak asuh yang berhasil direkrut berjumlah 60 orang dari tingkat SD, SMP dan SMA. Sebanyak 19 orang murid SD, 21 orang SMP dan 20 orang SMA. Tahun berikutnya siswa yang ditampung di asrama terus meningkat.

Setelah sepuluh tahun asrama “Anak Asuh Bibit Unggul” berdiri, ternyata seluruh anak asuh yang dibiayai mengikuti perguruantinggi sudah banyak yang menjadi sarjana dan bekerja. Mereka kini juga menjadi “orangtua dan kakak angkat” dari mereka yang masih berada di asrama. Tetapi, suasana kehidupan, perhatian pejabat Pemkot Surabaya setelah ditinggal Cak Narto yang “lengser dari walikota” dan meninggal dunia tahun 2002, sudah berbeda. Nasib anak-anak “Bibit Unggul” ini tidak seperti dulu lagi.

Terputus

Keadaan anak asuh “Bibit unggul” yang dibina Yayasan Tunas Pratama Bhakti (TPB), memang masih ada. Tetapi kecemerlangannya mulai meredup. Perhatian terhadap anak-anak yang tinggal di asrama di lingkungan perumahan mewah Jalan Villa Kalijudan itu juga berkurang. Hubungan historis dengan Pemkot Surabaya bagaikan terputus. Sebab, ada anggapan bahwa Yayasan TPB itu identik dengan Cak Narto –H.Sunarto Sumoprawiro (alm).

Kendati demikian sebagian pengurus Yayasan TPB tetap setia melaksanakan cita-cita luhur mengangkat martabat anak-anak asuh yang berasal dari keluarga miskin tetapi pintar itu. Bahkan, alumnus “Bibit Unggul” itu kini sudah banyak yang menjadi sarjana. Ibaratnya, bibit unggul yang pernah ditanam sekitar sepuluh tahun lalu, kini sudah banyak buahnya dan berhasil “dipanen”.

Betapa tidak, sebab di antara mantan penghuni asrama “bibit unggul” itu ada yang sudah bekerja sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan di perusahaan swasta. Profesi mereka juga beragam. Ada yang menjadi dokter, insinyur, psikolog, ekonom, apoteker, dosen, kontraktor, penasehat hukum dan berbagai jenis pekarjaan sesuai dengan disiplin ilmu yang berhasil diperolehnya.

Dari “bibit unggul” angkatan pertama yang mulai meraih gelar kesarjaaan tahun 1998 hingga 2000 saja ada 21 orang. Menyusul tahun-tahun berikutnya, sehingga sekarang alumnus asrama “bibit unggul” yang sudah berhasil menyelesaikan kuliahnya di perguruan tinggi sudah lebih 100 orang. Mereka, umumnya lulusan perguruan tinggi negeri: ITS (Institut Teknologi Sepuluh November), Unair (Universitas Airlangga), Unesa (Universitas Negeri Surabaya) dan juga ada dari perguruantinggi swasta.

Nah, ikatan historis dan kekeluargaan yang mereka rasakan selama di asrama “anak miskin” tetapi pintar itu memberikan dorongan para alumnus untuk ikut berperanserta dalam melestarikan keberadaan asrama “bibit unggul” tersebut. Namun demikian, mereka tetap berharap, Pemkot Surabaya tidak melupakan mereka. Bahkan, prioritas yang selama ini diberikan jangan menurun. Justru mereka berharap agar pencarian anak-anak pintar dari keluarga miskin di tengah kota Surabaya itu tetap menjadi perhatian. Apalagi awan gelap dunia pendidikan masih tetap saja menggelantung di langit Surabaya. Tiap awal tahun ajaran peristiwa yang terjadi selalu mencengkam dan membawa was-was para siswa dan orangtua murid.

Gedung dengan berbagai fasilitas yang berdiri di lahan seluas 9.089 meter persegi itu masih terlihat kokoh. Seharusnya, perhatian terhadap keberadaan gedung yang dibangun dengan biaya Rp 2 miliar lebih tahun 1996 itu patut ditingkatkan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa gedung sedang segala fasilitas yang terdapat di dalamnya merupakan aset Pemkot Surabaya yang dikelola Yayasan TPB.

Sistem Pondok

Pola pembinaan dan proses belajar mengajar yang dilaksanakan Yayasan TPB selama ini disesuaikan dengan keadaan siswa. Ada siswa yang tetap bersekolah pada sekolah masing-masing dan pulang ke rumah orangtuanya. Di asrama “bibit unggul” mereka singgah untuk mendapat bimbingan selsai jam pelajaran di sekolah. Anak-anak ini digabungkan belajar bersama dengan anak-anak yang tinggal di asrama. Pola pendidikan dilaksanakan dengan sistem pendidikan asrama atau pondok.

Sistem dan metoda pendidikan asrama atau pondok ini juga banyak mengadopsi pola yang dilaksanakan di STN (Sekolah Taruna Nusantara) di Magelang. Kecuali itu dalam pelaksanaannya, sistem dan medoda pendidikan selalu diadakan penyempurnaan sesuai dengan kemajuan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi). Ini ditujukan untuk mengarahkan anak didik mengikuti perkembangan di era globalisasi. Untuk itulah, pembentukan karakter anak diarahkan pada peningkatan SDM (Sumber Daya Manusia) yang berkualitas.

Pelajaran ekstra kurikuler yang dilaksanakan dengan sistem pondok di asrama, termasuk pendidikan agama, pembudayaan disiplin, serta kesetiaan terhadap bangsa dan negara. Secara khusus anak-anak juga dibekali dengan pendidikan komputer, praktik laboratorium, kursus dan praktik bahasa – sementara ini adalah bahasa Inggris dan bahasa Jawa. Selain itu mereka juga dibekali pengetahuan bermuatan lokal, yakni pengetahuan khsus tentang kota Surabaya.

Ada hari-hari tertentu yang berlaku wajib di asrama, misalnya berbahasa Inggris tiap hari Kamis. Artinya, komunikasi antarsiswa penghiuni asrama pada hari Kamis adalah bahasa Inggris. Menurut Katidjan, salah seorang pengasuh di asrama “bibit unggul” Kalijudan ini, tiap sabtu pagi bagi mahasiswa diselenggarakan diskusi dengan menggunakan bahasa Inggris. Dan, ulas pensiunan staf Dinas Pendidikan Surabaya ini, bagi anak-anak yang umunya besar di kota Surabaya ini, “bahasa Jawa” mereka juga “diperbaiki”. Sebab kita tahu, bahasa sehari-hari anak yang besar di Surabaya adalah bahasa Jawa yang “kasar”.

Bibit Unggul

Pengertian atau istilah “bibit unggul” itu benar-benar menjadi bagian tidak terpisahkan dari lingkungan anak-anak pintar yang berasal dari keluarga miskin ini. Kepada mereka dan masyarakat, dijabarkan secara jelas arti “bibit unggul”. Sebab, banyak masyarakat yang ingin tahu apa sebenarnya di balik makna “bibit unggul” terhadap anak asuh berprestasi ini. Nah, mengapa tidak sebut “anak yang berprestasi” misalnya.

Ada makna yang sangat dalam tentang “bibit unggul” ini. Titik tolaknya adalah pemikiran. Sebab, prestasi adalah bagian dari keunggulan. Jadi pengertian bibit unggul cukup luas. Khusus untuk anak asuh “bibit unggul” ini ada unsur terseleksi dari anak-anak pintar yang berasal dari keluarga tidak mampu di bidang ekonomi.

Dalam bahasa Jawa, bibit: adalah satu kata yang berarti biji atau benih (bahasa Jawa: wiji atau winih) yang dipersiapkan untuk ditanam dan dikembangbiakkan. Ini berlaku untuk keturunan pelanjut kehidupan bagi tanaman atau hewan.

Istilah inilah yang “dipinjam” untuk anak manusia yang bakal tumbuh kembang kelak di kemudian hari. Sama dengan keinginan petani atau peternak terhadap biji yang bermutu, maka bibit itu harus unggul atau terbaik. Sehingga digunakanlah istilah “bibit unggul” sebagai perumpamaan bagi anak-anak asuh ini.

Pakar Bahasa dari Unesa, Prof.Dr.Suripan Sudihutomo, menyebutkan perumpamaan “bibit unggul” yang digagas Cak Narto itu mengambil dari segi sifatnya yang diberikan kepada tingkah manusia. Perumpamaan yang juga sering diberi gambaran terhadap tingkah manusia dari tumbuhan maupun hewan misalnya seperti di bawah ini:

Untune miji timun (giginya bagaikan biji mentimun), artinya: giginya putih dan rata seperti biji mentimun).

Athi-athine ngudup turi (cambangnya seperti kuncup bunga pohon turi).

Lakune kaya macan luwe (jalannya seperti macan kelaparan).

Di samping perumpamaan dengan tumbuhan dan hewan, juga ada perumpamaan dengan benda, contohnya:

Ulate bening leri (raut mukanya tidak lebih daripada air cucian beras).

Surake mbata rubuh (soraknya seperti bunyi tumpukan bata rubuh).

Jadi, bila bibit dikaitkan dengan keunggulan, maka dapat dismpulkan bahwa “bibit unggul”artinya mempunyai kelebihan dibandingkan dengan yang lain. Walaupun “bibit unggul” itu berada di lingkungan yang tidak subur, tetapi kalau diperhatikan dan ditanam di tempat yang layak, maka bibit itu pasti akan menghasilkan buah yang berkualitas.

Berdasarkan falsafah yang diambil untuk memberi nama bagi anak asuh yang menempati asrama “bibit unggul” di Jalanm Villa Kalijudan Indah, Surabaya itu, maka layaklah mereka menjadi perhatian. Tidak hanya oleh Pemkot Surabaya, tetapi juga oleh para dermawan, pendidik dan kita yang peduli. Serta yang sangat diharapkan tentunya perhatian wakil-wakil rakyat yang duduk di DPRD (Dewan Perwakilan rakyat Daerah) Kota Surabaya, sebab mereka inilah yang paling menentukan masa depan anak-anak asuh itu melalui persetujuan anggaran secara rutin.

Tetapi, asrama bibit unggul beserta anak-anak didik yang menjadi warisan “obsesi” Cak Narto itu sekarang jauh dari yang diharapkan. Sekarang, anak-anak pintar yang miskin di Surabaya, semakin banyak yang putus sekolah. Walikota Surabaya, Drs.H.Bambang Dwi Hartono,MPd yang berlatarbelakng guru dan dosen itu, diharapkan memberikan perhatian terhadap warisan Cak Narto itu. Mungkinkah? ***

*) Yousri Nur Raja Agam MH – Ketua Yayasan Peduli Surabaya.