Mengapa HUT Surabaya Diubah Jadi 31 Mei?

Yousri-jashitam07Dulu HUT Kota Surabaya

Diperingati Setiap 1 April

 

Oleh: HM Yousri Nur Raja Agam *)

 

 

DULUHari Jadi Kota Surabaya diperingati setiap tanggal 1 April. Sebab pada tanggal 1 April 1906 itulah Pemerintah Kota Surabaya terbentuk. Tetapi, mengapa sekarang warga kota Surabaya merayakan hari jadi Kota Pahlawan ini menjadi tanggal 31 Mei.?

Seandainya, HUT Surabaya diperingati setiap tanggal 1 April, maka tahun 2009 ini Surabaya baru berusia 106 tahun. Namun dengan diubah menjadi tanggal 31 Mei, maka usianya menjadi tujuh abad lebih. Sebab, hari lahir Surabaya dianggap tanggal 31 Mei 1293.

Peubahan hari ulang tahun Kota Surabaya itu terjadi sejak tahun 1975. Artinya pada tahun 1974, Surabaya masih memperingati HUT ke 68 pada tanggal 1 April 1974. Setahun kemudian, pada tahun 1975, HUT itu berubah menjadi tanggal 31 Mei dan sertamerta Surabaya menjadi sangat tua, yakni berusia 682 tahun.

Nah, generasi muda dan generasi yang akan datang perlu mengetahu sejarah Kota Surabaya. Termasuk sejarah perubahan hari jadi Surabaya dari tanggal 1 April menjadi 31 Mei.

Beginilah kisahnya:

Berdirinya Pemerintahan Kota Surabaya, bersamaan dengan empat kota di Hindia Belanda atau Indonesia waktu. Ini adalah pembentukan pemerintahan kota yang pertama kali di Nusantara ini. Ke empat kota itu adalah: Surabaya, Bandung, Medan, dan  Makassar. Selanjut tiap tanggal 1 April berdiri kota-kota lain di Indonesia.

Pemerintahan Kota umumnya didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda di kota yang banyak ditinggali oleh warga Belanda. Demi keamanan dan terpisah dari Pemerintahan Kabupaten yang dipimpin oleh bupati yang berasal dari warga pribumi. Sedangkan Pemerintah Kota dinyatakan bersifat otonom dan dipimpin oleh bangsa Belanda. Pemerintahan Kota disebut Gemeente.

Status yang diberikan kepada Surabaya oleh Pemerintahan Hindia Belanda tahun 1906 adalah “Zelfstaandige Stadsgemeente” atau Kotapraja dengan hak otonom.

Peringatan HUT (Hari Ulang Tahun) Kota Surabaya yang selalu dirayakan setiap tanggal 1 April itu dirasa kurang sregatau kurang pas. Rasanya kurang pas kalau Surabaya yang sudah ada sejak zaman Kerajaan Mojopahit, ternyata dalam peringatan HUT-nya masih “terlalu muda”.

Dalam berbagai legenda dan cerita lama, nama Surabaya tidak lepas dari sejarah berdirinya Karajaan Majapahit. Maka disepakatilah, bahwa hari lahir Surabaya hamper bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Majapahit.

Citra dan imagesudah terbentuk, bahwa Surabaya sudah berusia “tua sekali”, yakni tujuh abad. Hari ulang tahunnya diperingati setiap tanggal 31 Mei, karena disepakati Surabaya ada dan berdiri sebagai sebuah permukiman resmi pada tanggal 31 Mei 1293.

Ceritanya dulu, beberapa orang yang peduli terhadap Surabaya, menyampaikan kepada Walikota Surabaya, R.Soekotjo (waktu itu), agar hari lahir atau hari jadi Surabaya, tidak berdasarkan pembentukan pemerintahan kota atau Gemeente, tetapi berdasarkan sejak kapan adanya nama Surabaya disebutkan sebagai suatu kawasan permukiman. Dengan demikian, usia Surabaya tidak terlalu muda, namun sudah sekian abad.

Para tokoh masyarakat, ahli sejarah, pengamat dan para wakil rakyat waktu itu bersepakat untuk melakukan pengkajian tentang sejarah Surabaya. Dari penelusuran sejarah yang diperoleh dari berbagai buku bacaan, prasasti dan temuan-temuan lainnya, termasuk cerita rakyat dan legenda, ditemukan beberapa tanggal yang mempunyai kaitan dengan sejarah Surabaya

Berdasarkan keputusan Walikota Surabaya tahun 1973, dibentuklah tim khusus untuk melakukan penelitian. Tim itu melakukan penelitian secara ilimiah, selama satu tahun lebih. Akhirnya, ada empat tanggal yang ditetapkan sebagai alternatif hari jadi Surabaya. Dari empat tanggal yang diusulkan itu, ditetapkan tiga tanggal yang cukup layak dan satu tanggal dinyatakan minderheids nota, oleh anggota tim.

Alternatif pertamayang diajukan tim adalah tanggal 31 Mei 1293. Disebutkan, bahwa pada tanggal itu, tentara Raden Wijaya dari Mojopahit memenangkan peperangan melawan tentara Tar-tar yang dikomandani Khu Bilai Khan dari Cina dan berhasil mengusirnya dari Hujunggaluh, nama desa di muara Kalimas.

Alternatif kedua, tanggal 11 September 1294, waktu itu Raden Wijaya menganugerahkan tanda jasa kepada Kepala Desa Kudadu dan seluruh rakyatnya atas jasa mereka membantu tentara Raden Wijaya mengusir tentara Tar-tar.

Alternatif ketiga, tanggal 7 Juli 1358, yaitu tanggal yang terdapat pada Prasasti Trowulan I yang menyebut untuk pertamakalinya nama Surabaya dipakai sebagai naditira pradeca sthaning anambangi(desa di pinggir sungai tempat penyeberangan).

Alternatif keempatadalah tanggal 3 November 1486, tanggal yang terdapat pada Prasasti Jiuyang menjelaskan, bahwa Adipati Surabaya untuk pertamakalinya melakukan pemerintahan di daerah ini.

Dari empat alternatif tentang hari yang bakal ditetapkan sebagai hari jadi Surabaya, dilakukan pengkajian menyangkut data sejarah, pertimbangan yang ideal dan nilai serta jiwa kepahlawanan sebagai ciri khas Surabaya. Walikota Surabaya, R.Soekotjo waktu itu mengusulkan kepada DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Kota Surabaya untuk menetapkan Hari Jadi Surabaya tanggal 31 Mei 1293.

Dalam rapat-rapat DPRD Kota Surabaya, setelah melakukan kajiulang dari berbagai aspek, DPRD Kota Surabaya dengan Surat Keputusan No.02/DPRD/Kep/75 tertanggal 6 Maret 1975, mengesahkan dan menetapkan Hari Jadi Surabaya tanggal 31 Mei 1293. Berdasarkan itu, Walikota Surabaya R.Soekotjo menindaklanjuti dengan mengeluarkan Surat Keputusan No.64/WK/75 tanggal 18 Maret 1975, yang menetapkan tanggal 31 Mei 1293 sebagai Hari Jadi Surabaya.

Dengan ditetapkannya tanggal 31 Mei 1293 sebagai hari jadi Surabaya, maka sejak tahun 1975, peringan HUT Surabaya berubah dari tanggal 1 April menjadi 31 Mei, hingga sekarang ini.

Diprotes Ahli Sejarah

Saat peringatan tujuh abad atau 700 tahun Berdiri Kerajaan Majapahit, penetapan Hari Jadi Surabaya, 31 Mei 1293, yang disebutkan  sebagai hari bersejarah, yaitu saat kemenangan tentara Raden Wijaya mengusir tentara Tar Tar pimpinan Khu Bilai Khan, dan meninggalkan Hujunggaluh, ternyata “diprotes” ahli sejarah.

Dalam Buku 700 Tahun Majapahit, Suatu Bunga Rampai, tentang sejarah perkembangan Majapahit, halaman 53, oleh Dr.Riboet Darmosutopo dari Universitas Gadjah Mada, menegaskan, bahwa tentara Khu Bilai Khan, meninggalkan Jawa, yakni pantai Hujung-galuh adalah tanggal 19 April 1293 M. Pasukan Tar Tar itu dihancurkan oleh pasukan Raden Wijaya, dan sebagian lagi melarikan diri dan selamat sampai di Cina. (W.P.Groeneveldt, 1960: 20-24)

Setelah berhasil mengusir tentara Tar Tar, Raden Wiijaya melakukan persiapan mendirikan kerajaan baru, namanya Majapahit. Berdirinya Majapahit, ditandai dengan naik tahtanya Raden Wijaya tanggal 12 November 1293.

Nah, kalau tanggal kemenangan Raden Wijaya itu yang dijadikan patokan Hari Lahir atau Hari Jadi Surabaya, kata beberapa ahli sejarah dalam perdebatannya saat memperingati 700 tahun Majapahit itu, maka tanggal yang benar adalah 19 April 1293, bukan tanggal 31 Mei 1293.

            Yang jelas, apapun dalilnya, sejak tahun 1975, Surabaya memperingati hari jadi tiap tanggal 31 Mei dan sebelumnya tiap tanggal 1 April. Tetapi, apakah mungkin diubah lagi? Ah, rasanya tidak perlu. Tua atau muda sebuah kota seperti Surabaya ini, yang penting penataan kota itu bermanfaat bagi warganya.

Raden Wijaya

Kelahiran Surabaya selalu dikaitkan dengan Raden Wijaya. Siapakah sebenarnya Raden Wijaya? Warga kota Surabaya dan pemerhati Surabaya, layak mengetahui tentang siapa sebenarnya Raden Wijaya.

Banyak sumber yang membicarakan tentang tokoh Raden Wijaya. Kitab-kitab kidung Pararaton, Nagarakertagamadan prasasti adalah sumber pokok yang mengungkap peranan Raden Wijaya sebagai pendiri Kerajaan Majapahit.

Raden Wijaya adalah anak Dyah Lembu Tal, cucu Mahisa Cempaka atau Narasinghamurti, buyut Mahisa Wongateleng, piut (canggah) dari Ken Arok-Ken Dedes.

Raden Wijaya mula-mula mengabdi kepada raja Kertanegara dan dipercaya memimpin prajurit Singasari. Maka tidak aneh ketika Singasari diserang Jayakatwang, Raden Wijaya diperintah untuk menghadapinya.

Ketika Singasari diduduki prajurit Kadiri, puteri-puteri Kertanegara yang akan dikawinkan dengan Raden Wijaya ditawan mereka. Dengan usaha yang gigih puteri yang tua berhasil direbut Raden Wijaya, meskipun Raden Wijaya beserta teman-temannya terus dikejar tentara Kadiri.

Prasasti Kudadu menyebutkan bahwa Raden Wijaya kemudian berunding dengan ke-12 prajuritnya yang setia. Mereka sepakat mengungsi ke madura untuk berlindung kepada Arya Wiraraja. Raden Wijaya keluar dari hutan menuju Pandakan, dan karena Gajah Panggon sakit, ia ditinggal di rumah kepala desa Pandakan. Raden Wijaya dan prajuritnya menuju ke Datar dan malam harinya menyeberang dengan perahu ke Madura.

Setiba di Madura Raden Wijaya menghadap Arya Wiraraja. Dia dinasehati agar menghamba kepada Jayakatwang di Kadiri. Tujuan pokoknya ialah untuk melihat kekuatan kerajaan Kadiri. Ketika penghambaan telah diterima dan juga diberi kepercayaan oleh oleh Jayakatwang, Raden Wijaya dianjurkan Arya Wiraraja agar minta huta Terik untuk dijadikan kota. Arya Wiraraja membantu dengan mengerahkan orang Madura sebagai tenaga kerja.

Setelah Terik sudah jadi kota dan Raden Wijaya tinggal di sana, ia berhasrat menyerang Jayakatwang. Tetapi atas nasehat Arya Wiraraja, maksud Raden Wijaya itu ditangguhkan sambil menunggu datangnya tentara Tar Tar.

Tentara Tar Tar yang dipimpin Shih-pi, Ike Mase, dan Kau Hsing datang ke Jawa dengan maksud menghukum raja Kertanegara yang telah berani merusak muka Meng Chi utusan Kaisar Khubhilai Khan. Mereka tidak tahun kalau Kertanegara sudah wafat karena serangan Jayakatwang. Atas nasehat Arya Wiraraja, Raden Wijaya bersekutu dengan tentara Tar Tar untuk menghantam tentara Jayakatwang. (W.P.Groeneveldt, 1960: 20-30). Karena kalah Jayakatwang kemudian lari ke Junggaluh, tetapi ia tertangkap dan ditahan di Junggaluh ini. Di tempat tahanan, Jayakatwang menulis kidung Wukir Polaman. Disebutkan ia meninggal di Junggaluh pula.

Tentara Tar Tar Kalah

Setelah Jayakatwang mangkat, Raden Wijaya melihat peluang untuk menghancurkan tentara Tar Tar. Dengan kekuatan dan taktik yang jitu, Raden Wijaya dengan pasukan setianya berhasil memporakporandakan tentara Tar Tar. Tentara Tar Tar kalah dan diusir dari Junggaluh. Sebagian di antara mereka meninggal dunia, sebagian lagi terpencar lari menyelamatkan diri menuju pelabuhan Tuban dan kembali ke Cina.

Peristiwa kekalahan tentara Tar Tar oleh pasukan Raden Wijaya terjadi tanggal 19 April 1293. Jadi bukan tanggal 31 Mei 1293 yang dijadikan sebagai rujukan untuk menetukan lahirnya Surabaya – belum disebut kota – karena pemerintahan waktu itu masih setingkat desa.

Pararatondan Nagarakertagamamemberi data yang sama. Pararatonmemberitakan bahwa Raden Wijaya naik takhta pada tahun 1216 C atau sama dengan 1294 M: …. samangka raden wijaya ajejeneng prabbu i caka rasa rupa dwi citangcu, 1216 ….  (Par). Demikian pula Nagarakertagamamemberitakan bahwa setelah Jayakatwang maninggal dunia, pada tahun 1216 C sama dengan 1294 AD, Raden Wijaya naik takhta di Majapahit bergelar Kertarajasa Jayawardhana. Berita tersebut dikutip sebagai berikut:

……. ri pjah nrpa jayakatwan awa tikang jagat alilan masa rupa rawi cakabda rika nararyya sira ratu siniwin pura ri majapahit tanuraga jayaripu tinlah nrpa krtarajasa jayawardhana nrpati (Nag..45:1)

Menurut kidung Harsawijaya, Raden Wijaya naik takhta tepat pada purneng kartika masa panca dasi 1215 C, yaitu tanggal 15 saat rembulan purnama bulan Kartika tahun 121 C yang bertepatan dengan 12 November 1293. Bardasarkan pada prasasti Kudadu, pada bulan Bhadrawapada 1216 C (1294 M), Raden Wijaya telah disebut Kartarajasa Jayawardhananamarajabhiseka. Dan di sini ditegaskan pula, bahwa tentara Khubilai Khan meninggalkan Jawa tanggal 19 April 1293 dan Raden Wijaya naik takhta tanggal 12 November 1293, serta Raden Wijaya yang sudah bergelar Kertarajasa Jayawardhana memberi anugerah sima kepada ramadi Kudadu.                                                                                          

 

Membalik Telapak Tangan

Tidak mudah menentukan dan menetapkan tanggal 31 Mei 1293 Masehi sebagai Hari Jadi Surabaya. Sebagaimana bunyi pepatah, “tidak semudah membalik telapak tangan”. Artinya, untuk menentukan tanggal yang dianggap paling mendekati, melalui proses panjang dan cukup rumit.

Ceritanya, pada tahun 1970-an, peringatan Hari Jadi Kota Surabaya yang diperingati tiap tanggal 1 April dirasakan kurang mantap. Sebab, tanggal 1 April 1906  yang dijadikan pedoman peringatan hari jadi atau hari ulang tahun, adalah tanggal pembentukan Pemerintah Kota Surabaya yang di zaman Hindia Belanda disebut GemeenteSurabaya. Jadi, bukan tanggal lahir atau berdirinya Surabaya sebagai satu ranah permukiman. Secara tegas dinyatakan, bahwa 1 April 1906 adalah hari pembentukan Pemerintahan Kota Surabaya, bukan hari jadi atau berdirinya Surabaya. Artinya, Surabaya sudah ada sebelum Pemerintahan Kota Surabaya dibentuk.

Setelah menerima berbagai saran, usul dan bahkan kritik dari warga kota yang disampaikan secara langsung, melalui surat dan menulis opini di mediamassa, tentang Hari Jadi Surabaya, akhirnya Pemerintah Kota Surabaya, memutuskan membentuk sebuah tim.

Wiwiek Hidayat, wartawan senior yang waktu itu sebagai Kepala Kantor LKBN Antara Surabaya, mengatakan kepada penulis, saat peringatan HUT ke-67 Kota Surabaya tanggal 1 April 1973, ia secara pribadi mendesak Walikota Surabaya, R.Soekotjo, waktu itu untuk melakukan tinjauan ulang terhadap HUT Surabaya berdasarkan pembentunkan GemeenteSurabaya, 1 April 1906 itu. Untuk metakinkan Pak Koco – panggilan akrab Walikota Surabaya R.Soekotjo – ujar ujar Wiwek Hidayat, ia juga membawa tulisan-tulisannya yang dimuat di Bulletin Antara dan juga dikutip di berbagai suratkabar dan majalah tentang sejarah Surabaya.

“Pak Koco benar-benar bersemangat. Beliau  langsung mengajak saya bertemu di ruang kerjanya. Bahan-bahan berupa kliping berita dan tulisan tentang Sejarah Surabaya itu saya serahkan kepada Pak Koco. Setelah membaca sejenak, beliau memanggil ajudan agar menelepon beberapa orang stafnya. Hadir empat orang menyertai Pak Koco.Yang saya ingat waktu itu salah satu stafnya Pak Pakiding. Sebab dia yang diserahi untuk mempersiapkan pembentukan Tim Peneliti Sejarah Surabaya, khususnyya untuk menentukan tanggal yang pantas untuk Hari Jadi Kota Surabaya”, kata Wiwik Hidayat dalam suatu wawancara khusus dengan penulis.

Sehari setelah peringatan Hari Jadi atau HUT (Hari Ulang Tahun) ke-67 Kota Surabaya, yakni tanggal 2 April 1973, Walikota Kepala Daerah Kotamadya Surabaya R.Soekotjo mengeluarkan Surat Keputusan No.99/WK/73 tentang perlunya diadakan kaji ulang penentuan Hari Jadi Kota Surabaya.

Untuk melengkapi SK Walikota Surabaya  No.99/WK/73 itu, Walikota Surabaya, R.Soekotjo kemudian menerbitkan SK No.109/WK/73 tanggal 10 April 1973  tentang Pembentukan Tim Penelitian Hari Jadi Kota Surabaya.

Salah satu alasan dibentuknya tim, diungkap pada dasar SK tersebut, yaitu: bahwa hari ulang tahun Kota Surabaya pada tanggal 1 April, adalah saat peresmiannya sebagai Gemeente Surabaya pada tanggal 1 April 1906 oleh Pemerintah Belanda. Tanggal hari ulang tahun Kota Surabaya tersebut di atas (1 April) selain berbau kolonial juga tidak sesuai dengan kenyataan, karena Surabaya sudah ada jauh sebelum tanggal tersebut, yaitu sudah ada pada zaman Pemerintah Prabu Kartanegara sekitar abad ke-13.

Begitu seriusnya Pak Koco – begitu walikota R.Soekotjo akrab disapa – menyambut harapan warga Kota Surabaya untuk melakukan kaji ulang  hari jadi Surabaya, maka diundanglah para ahli sejarah, peneliti, pemerhati, wartawan, penulis dan tokoh masyarakat. Dari sekian banyak yang berkumpul, akhirnya disepakati menunjuk 13 orang yang dinilai layak dan patut, yaitu:

1.    Prof.A.G.Pringgodigdo,SH – pensiunan Rektor Universitas Airlangga (Unair) Surabaya selaku Penasihat merangkap anggota.

2.    Prof.Drs.S.Wojowasito – Guru besar IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Malang, sekarang menjadi UM (Universitas Negeri Malang) selaku Ketua I merangpap anggota.

3.    Prof.Koentjoro Poerbopranoto,SH – Guru besar Fakultas Hukum Unair Surabaya selaku Ketua II merangkap anggota.

4.    Drs.Prayoga – Kepala Pembinaan Museum Jawa Timur selaku Ketua III merangkap anggota.

5.    Kolonel Laut Dr.Sugiyarto – Kepala Staf Kekaryaan Daerah Angkatan Laut 4 Surabaya sebagai anggota.

6.    Drs.M.D.Pakiding – Staf Pemerintah Kotamadya Surabaya selaku Sekretaris merangkap anggota.

7.    Drs.Issatrijadi – Dosen Fakultas Sosial IKIP Surabaya (sekarang bernama Universitas Negeri Surabaya disingkat Unesa) selaku anggota.

8.    Drs.Heru Soekadri K – Dosen Fakultas Sosial IKIP Surabaya. Selaku anggota.

9.    Banoe Iskandar – Pensiunan Kepala Inspeksi Kebudayaan Jawa Timur selaku anggota.

10.  Wiwiek Hidayat – Pimpinan LKBN Antara Cabang Surabaya dan Anggota Dewan Kesenian Surabaya (DKS) selaku anggota.

11.  Tajib Ermadi – Redaksi Majalah Jayabaya selaku anggota.

12.  Soenarto Timoer – selaku anggota.

13.  Soeroso – Pensiunan Komisaris Polisi selaku anggota.

Setelah tim terbentuk, maka diselenggarakan rapat-rapat untuk menentukan pembagian tugas dan kegiatan masing-masing anggota tim. Untuk menghimpun data faktual, relevan dan valid, maka tim membentuk tiga Panitia Ad-Hok.

Proses dan Historis Surabaya, penelitiannya diketuai oleh Prof.Drs.Suwoyo Woyowasito. Hal yang berhubungan dengan Mitos Surabaya, diketuai oleh Drs.Heru Soekadri K. Untuk menghimpun data tentang lokasi Surabaya, diketuai oleh Wiwiek Hidayat.

Ketiga panitia Ad-Hokmelakukan penelitian yang mendalam, Metoda penelitian sebagaimana lazimnya, dilakukan secara ilmiah, yaitu  library research(riset perpustakaan), field research(riset lapangan) dan intervieuw(wawancara).

Tim peneliti bertugas merumuskan tanggal yang tepat berdasarkan sejarah tentang hari jadi Surabaya. Jadwal yang ditetapkan untuk anggota tim adalah tanggal  16 April 1973 hingga 16 September 1973.

Tiga Alternatif

Dari berbagai sumber penelitian yang dilakukan secara cermat selama lima bulan itu, tim sampai pada suatu kesimpulan. Ada tiga tanggal yang ditetapkan sebagai alternatif. Ke tiga tanggal itu diajukan kepada Walikota Surabaya untuk ditetapkan sebagai Hari Jadi Surabaya. Ke tiga tanggal tersebut mempunyai peristiwa dan riwayat sendiri-sendiri, tetapi satu sama lain ada pertautan dan kaitannya. Selain itu diajukan pula satu “minderheids nota” yang berisi pendapatdari  Soeroso.

Tanggal-tanggal yang diajukan itu adalah:

1.   Tanggal 31 Mei 1293Masehi,

Yaitu: saat kemenangan tentara Raden Wijaya atas tentara Tartar.  (berdasarkan laporan penelitian ilmiah Drs.Heru Soekadri, Kol.Laut.Dr.Sugiyarto dan Wiwiek Hidayat).

2.   Tanggal 11 September 1294Masehi,

Yaitu saat penganugerahan tanda jasa kepada kepala desa dan rakyat desa Kudadu atas jasanya menyelamatkan Raden Wijaya.

3.   Tanggal  7 Juli 1358Masehi,

Yaitu suatu tanggal pada Prasasti Trowulan, di mana disebutkan untuk pertamakalinya nama Surabaya dengan tulisan SURABAYA (menurut transkripsi dari huruf Jawa kuno ke huruf Latin). Surabaya dinyatakan selaku naditira pradecasebagai salah satu tempat penambangan ke pulau-pulau Nusantara atau pelabuhan intersuler. (laporan ilmiah itu disampikan oleh Issatrijadi dan Soenarto Timoer).

4.   Tanggal 3 November 1486Masehi,

Yaitu tanggal pada Prasasti Jiu di mana Adipati Surabaya menuirut pakemmelakukan pemerintahan (Laporan dari Soeroso).

Laporan Soeroso ini diajukan oleh tim sebagai “minderheids nota”, karena dianggap muda.

Tim Peneliti Hari Jadi Kota Surabaya dengan seberkas data menyampaikan laporan hasil kerja mereka kepada Walikota Surabaya. Dengan surat resmi  No.36/II/73/TP.HJKS tanggal 27 September 1973 tim mengharapkan Pemerintah Kota Surabaya menetapkan satu di antara tiga alternatif tanggal di atas, karena yang satu sudah dinyatakan “minderheids nota”.

Tim melampirkan tujuh makalah (kertas kerja) anggota tim dengan judul masing-masing, yaitu:

1.   “Sekitar Legende Mythos Surabaya” disusun oleh Drs.M.D.Pakiding.

2.   “Tentang hal Hari Jadi Kota Surabaya”  disusun oleh Prof.Drs.S.Wojowasito.

3.   “Usia Surabaya” disusun oleh Prof.Koentjoro Poerbopranoto,SH.

4.   “Lokasi Surabaya di Waktu Kapan”  disususn oleh Wiwiek Hidayat.

5.   “Surabaya, suatu pendekatan dalam meneliti Hari Jadi Surabaya” disusun oleh Drs.Issatrijadi.

6.   “Dari Hujung Galuh ke Surabaya” disusun oleh Heru Soekadri.

7.   “Surabaya, manifestasi ehidupan rakyat Kahuripan, Jawa Timur” disusun oleh Kolonel Laut.Dr.Sugiyarto.

Setelah menerima laporan dari panitia bersama lampiran penelitiannya, maka Walikota Surabaya, R.Soekotjo dengan suratnya No.0.104/20 tanggal 27 Desember 1973, mengusulkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat daerah (DPRD) Kota Surabaya, dengan tidak mengurangi kebebasan mengeluarkan pendapat dari pihak legislatif, agar dapatnya dipilih tanggal 31 Mei 1293 Masehi sebagai Hari Jadi Kota Surabaya, sebagai pengganti 1 April 1906, dengan alasan:

Kemenangan Raden Wijaya atas tentara Tartar (tentara kolonial Khu Bi Lai Khan) merupakan suatu kebanggaan (pride) rakyat Surabaya khusunya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Karena apabila dihubungkan dengan peristiwa 10 November 1945, membuktikan kepada kita bahwa sejak dari dahulu bangsa Indonesia bertekad untuk tidak mau dijajah.

 

Sulit Ditentukan

DPRD Kota Surabaya yang menerima usulan perubahan peringatan Hari Jadi Surabaya dari tanggal 1 April 1906 menjadi tanggal 31 Mei 1293, tidak  sertamerta menyetujui. Pimpinan DPRD menugaskan Komisi A untuk melakukan kajian dan pembahasan. Beberapa kali diselenggarakan rapat khusus untuk menentukan tanggal yang dapat ditetapkan atau dipilih.

Pada rapat tanggal 17 Februari 1974, Komisi A membuat kesimpulan yang isinya:

Sulit ditentukan tangal mana dari tiga alternatif tanggal yang diajukan oleh tim untuk ditetapkan sebagai tanggal Hari Jadi Kota Surabaya. Sebab ke tiga tanggal tersebut sama-sama merupakan hasil penemuan ilmiah”.

Masalah tersebut dikembalikan kepada Pimpinan DPRD Surabaya, dengan permintaan agar diadakan suatu pertemuan kembali dengan eks tim Peneliti Hari Jadi Kota Surabaya. Di mana unsur Pimpinan Komisi yang lain diikutsertakan.

Di bawah  pimpinan Ketua DPRD Kotamadya Surabaya, Komisi A dan unsur pimpinan lainnya, pada tanggal 28 Maret 1974, diadakan pertemuan dengan eks Tim Peneliti Hari jadi Kota Surabaya. Pertemuan itu tidak banyak menghasilkan kemajuan. Komisi A tetap pada pendirian semula dan menyerahkan kembali masalahnya kepada Pimpinan DPRD Surabaya.

Ada yang menarik di tahun 1974 ini, peringatan HUT ke-67 Kota Surabaya tanggal 1 April 1974 tidak semeriah tahun-tahun sebelumnya. Rencana perubahan Hari Jadi Surabaya sudah mempengaruhi opini masyarakat warga kota. Apalagi waktu itu, tulisan tentang sejarah dan hari jadi Surabaya banyak muncul di mediamassa. Secara kebetulan walikota Surabaya juga baru diganti. Masa jabatan R.Soekotjo sudah berakhir. Sejak tanggal 23 Januari 1974, tampuk pimpinan kota Surabaya sebagai Walikotamadya Surabaya beralih kepada Kolonel R.Soeparno.

Kendati demikian, DPRD Surabaya tidak berhenti membahas masalah kaji ulang penetuan hari Jadi Kota Surabaya. Sesuai dengan jenjang pembahasan berikutnya, permasalahan itu diajukan oleh Pimpinan dalam forum Panmus (Panitia Musyawarah) yang diadakan tanggal 29 Mei 1974.

Kesimpulan rapat Panmus disampaikan dengan surat Pimpinan DPRD Surabaya No.84/DPRD/SK tanggal 26 Juni 1974 yang ditujukan kepada Walikota Surabaya.

Walikotamadya Surabaya R.Soeparno (walikota Surabaya R.Soeparno menggantikan jabatan R.Soekotjo, terhitung sejak 23 Januari 1974) tidak langsung membalas surat dari DPRD Surabaya itu. Baru tiga bulan kemudian dengan surat No.01000/23 tanggal 25 September 1974, Walikotamadya Surabaya, R.Soeparno, memberikan penegasan bahwa, kembali mengusulkan dapat kiranya tangal 31 Mei 1293 untuk ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Surabaya. Alasannya sama dengan surat yang dikirim ke DPRD tanggal  27 Desember 1973.

Tidak cukup dengan surat, Walikotamadya  Suarabaya Drs.R. Soeparno kemudian menyampaikan penjelasan lisan dalam forum Rapat Peleno Terbuka DPRD Surabaya tanggal 7 November 1974.

Dari Rapat Pleno DPRD Surabaya itu, kemudian dibentuk Pansus (Panitia Khusus) untuk mengadakan penilaian terhadap usul yang disampaikan oleh Walikota Surabayas tersebut.

Anggota Pansus DPRD Kotamadya Surabaya yang membahas usulan tentang penetapan Hari jadi Kota Surabaya itu sebanyak 15 orang dengan ketua Eddy Sutrisno dan wakil ketua H.A.Zakky Ghoefron. Anggotanya adalah: Sutrisno BA, Hasan Ibrahim SH, Muchsin SH, Munahir, Bambang Rudjito, J.Sugiyanto, Anas Thohir Syamsudin, R.Sumono Hs, Drs.J.Karmeni, Ahadin Mintarum, Umar Buang, Kaptiyono, Drs.Nana Sumantri.

Delapan kali dilakukan rapat untuk membahas secara khusus untuk menetapkan Hari Jadi Surabaya itu. Secara berturut-turut tanggal 8, 9, 13, 16, 18 dan 30 Januari 1975, serta dilanjutkan tanggal 3 dan 10 Februari 1975. Rapat-rapat yang dipimpin langsung oleh Ketua DPRD DPRD Surabaya itu selalu mencapai quorum, sesuai tatatertib, sehingga dinyatakan sah.

Tidak begitu mudah DPRD Surabaya menyetujui usul Walikotamadya Surabaya agar menetapkan tanggal 31 Mei 1293 sebagai hari jadi Surabaya. Pansus DPRD Surabaya itu lebih dahulu menetapkan pedoman yang dipakai.

Diawali dengan kalimat: “Mencari Hari Jadi Kota Surabaya dengan jiwa kepahlawanan yang diridloiTuhan Yang Maha Esa menuju kerukunan dan pembangunan nasional”, bahwasanya yang hendak dicapai adalah: Hari Jadi sebuah kota yang idiil merupakan Kota Pahlawan. Hari jadi sebuah kota yang cukup memenuhi ketentuan ketatanegaraan sesuai dengan kondisi pada saat ini..

Terhadap masalah ini Panitia telah menetapkan bahwa materi yang menjadi pokok pembahasan adalah “Penjelasan Walikotamadya Kepala daerah Tingkat II Surabaya pada Sidang Pleno DPRD Surabaya tanggal 7 November 1974.

Pembahasan masih terus berlanjut. Bahan-bahan kajian dan penelitian yang dilakukan oleh Tim Penelitian Hari Jadi Kota Surabaya diplototi.“Bagaimanapun juga, hasil yang diperoleh dari tim ini merupakan bahan-bahan komplementer yang berfungsi sebagai barometer. Penjabaran dari tema itu menghasilkan landasan berpijak yang kokoh sebagai fondasi yang sangat prinsip dalam menentukan Hari Jadi Surabaya”, ujar Ahadin Mintarum  salah seorang anggota Pansus DPRD Surabaya yang  sangat berhati-hati untuk menyetujui tanggal 31 Mei 1293 sebagai hari jadi yang diusulkan tim  dan walikota Surabaya.

Hasil Pembahasan

Anggota DPRD Suarabaya dengan seksama menyimak peristiwa abad XIII sesudah pemerintahan Prabu Kartanegara. Saat itu terjadi suatu peristiwa sejarah yang membanggakan. Peristiwa itu adalah kemenangan pasukan Raden Wijaya yang dibantu rakyatnya mengusir tentara Tartar. Dipandang dari segi tinjauan nasional, peristiwa pengusiran tentara Tartar itu merupakan peristiwa terbebasnya kepulauan Indonesia dari penjajahan atau intervensi tentara asing.

Pelaku peristiwa itu adalah Raden Wijaya yang menurut bukti sejarah diakui sebagai pahlawan besar. Sebagai ilustrasi, kita perlihatkan di sini faktanya sebagai berikut:

a.   Dalam Prasasti Gunung Butak tahun 1216 Caka atau 1294 AD, Raden Wijaya disebut sebagai “Raja yang dipujikan sebagai pahlawan besar yang utama”.

b.   Dalam Prasasti Gunung Pananggungan oleh Kertarajasa tahun 1218 Caka atau 1296 AD, Raden Wijaya disebut sebagai “Pahlawan di antara Pahlawan”.

Dari uraian singkat di atas sudah dapat disimpulkan bahwa apa yang disebut nilai idiil yang mengandung sifat kepahlawanan dapat terpenuhi.

Pembahasan mengenai lokasi terjadinya peristiwa kepahlawanan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

a.   Pendapat Prof.Dr.N.J.Krom dan lebih diperkuat lagi dengan pendapat Drs.Oei Soen Nio, dosen sejarah Tiongkok dari Seksi Sinologi Jurusan Asia Timur, Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang menerangkan bahwa menurut pembacaan tulisan Cina, kata Sugalu,harus dibaca Jung Ya Lu.Dengan demikian, maka ucapannya lebih mendekati Junggaluh daripada Sedayu.

b.   Prof Dr. Suwoyo Woyowasito dengan dasar perkembangan bunyi, dapat membuktikan bahwa Suyaluadalah perubahan bunyi lafal Tionghoa dari kata Hujungaluh.

c.   Suatu data lagi, bahwa Shihpi, salah seorang panglima tentara Tartar yang semula men-darat di Tuban, setelah tiba di Su-ya-lumemerintahkan tiga pejabat tinggi dengan naik perahu cepat ke jembatan terapung Majapahit (the floating bridge of Majapahit).. Ke tiga pejabat tinggi yang berangkat dari Su-ya-lutersebut tentunya melalui  sungai menuju ke pusat kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto. Dengan demikian dapat dibuktikan sungai yang dilalui adalah Kali Brantas, bukan Bengawan Solo. Bahkan dapat dikatakan bahwa Su-ya-luterdapat di pantai dan muara Kali Brantas. Kenyataan ini sesuai dengan faktor dari sumber Prasasti Kelagen (1037 AD) yang dilengkapi dengan faktor dari buku Chu-fan-Chi-kua(1220 AD), yang menyatakan bahwa Hujunggaluh terletak di pantai dan muara Kali Surabaya. Maka dengan demikian, kuatlah suara pendapat bahwa:

Su-ya-lu sama dengan Hujunggaluh yang terletak di pantai, di muara Kali Surabaya dan tidak sama dengan Sedayu yang sekarang terletak di tepi Bengawan Solo, dengan                  muaranya yang baru di Ujung Pangkah.

d.   Fakta itu diperkuat lagi  behubungan dengan Kidung Harsa Wijaya yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut::

“Mangke wus wonten Jung Galuh sampun akukuto lor ikang Tegal Bobot Sekar sampun cirno linurah punang deca tepi siring ing Canggu”

Artinya:

“Sekarang (tentara Tartar) sudah ada di Jung Galuh dan sudah membuat benteng sebelah utara Tegal Bobot Sekar (sari) para lurah desa di wilayah Canggu sudah musnah.”

Dengan demikian Panitia Khusus (Pansus) DPRD dapat menerima, bahwa lokasi Hujunggaluh ada di wilayah Surabaya.

Menganai persyaratan hukum ketatanegaraan sebagai kota, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

Berdasarkan tinjauan sosial ekonomis, Drs.JBA Mayor Polak menentukan dua ukuran yang dipakai sebagai penentu ciri kota, yaitu:

a.   Ukuran pertama berhubngan dengan sifat ekonomis kota, yaitu tidak agraris. Penduduk kota mendatangkan makanannya dari tempat lain. Orang kota bukan orang tani. Berhubungan dengan lapangan pekerjaan, ini menimbulkan adanya sebutan-sebutan seperti kota dagang, kota industri, kota pegawai dan lain-lain.

b.   Ukuran yang kedua, berdasarkan tinjauan sosiologis yang menitikberatkan pada sifat hubungan antara anggota masyarakat. Penduduk kota kurang menitikberatkan pada antar hubungan primer, tetapi lebih mengutamakan antar hubungan kepentingan sehingga mempunyai ikatan yang agak longgar. Hal ini menurut Dr.Bouman, disebabkan karena penduduknya yang heterogen.

Berdasarkan dua kriteria kota tersebut, Drs.JBA Mayor Polak, lalu membedakan adanya dua macam kota asli di Indonesia.

Pertama: kota ang punya corak sebagai kota keraton di pedalaman.

Kedua,sebagai kota dagang di pantai. Kota keraton timbul karena adanya pusat pemerintahan di suatu tempat. Sedangkan kota dagang, biasanya timbul di tempat-tempat yang cocok bagi perdagangan, misalnya muara sungai besar atau di mana ada pertemuan jalan lalulintas yang amat penting.

Berpijak kepada pendapat  Drs.JBA Mayor Polak itu, maka dapatlah dibuktikan bahwa Hujunggaluh dalam abad XIII sudah merupakan kota pelabuhan dagang.

Dari Prasasti Kalagen (1037 AD) dapatlah diketahui bahwa Hujunggaluh adalah pelabuhan dagang dwipantaraatau interinsuler.  Pada zaman sekarang, istilah yang digunakan Departemen Perhubungan (Dephub) adalah pelabuhan nusantara (antarpulau) dan pelabuhan samudera untuk pelayaran antar benua.

Karena pengertian ketatanegaraan itu sangat luas, maka di sini dikaitkan dengan negara kerajaan yang membawahi Hujunggaluh yang kemudian menjadi Kota Surabaya. Fakta sejarah menunjukkan, bahwa kota pelabuhan Hujunggaluh pada abad XIII merupakan wilayah kerajaan Singasari (sampai Juni 1292) dan kemudian menjadi daerah dari kerajaan Kediri  (sampai April 1293). Setelah itu, menjadi kota pelabuhan Surabaya yang berada di bawah kerajaan Majapahit.

Berdasarkan sumber data dari prasasti, kitab Pararaton dan kitab Negarakertagama, dapat dpastikan bahwa Singasari, Kediri dan Majapahit berbentuk negara kerajaan (monarkhi). Pemegang kekuasaan dan penjunjung tinggi kedaulatan adalah raja.

Dengan demikian, dapat dibuktikan secara ilmiah berdasarkan fakta-fakta sejarah, metoda riset “logical acontrario” atau pembuktian “crossing system”, serta pertimbangan akal yang sehat, bahwa Hujunggaluh sebagai suatu “kota pelabuhan dan kota dagang”. Unsur-unsur yang dimliki dan persyaratan ketatanegaraan sudah terpenuhi, walaupun dalam bentuk dan kadar yang paling sederhana.

Dapat Berubah Lagi

Memang, jika dibaca pendapat dan tanggapan, serta kesimpulan tentang penetapan tanggal Hari Jadi Kota Surabaya, masih lemah.

Diakui secara faktual bahwa tanggal yang pasti dengan pembuktian data sejarah belum ditemukan. Oleh karena itu, faktor idiil dalam penetapan tanggal Hari Jadi Kota Surabaya menjadi dominan.

Dengan pertimbangan itulah, maka tanggal Hari Jadi Kota Surabaya, diambil dari tanggal terjadinya peristiwa sejarah kepahlawanan sebagai pembahasan di atas. Sesuai pembahasan dan menurut penelitian tersebut, jatuhnya pada tanggal 31 Mei 1293 Masehi.

Setelah melalui tahap pembahasan, maka landasan tema yang telah ditentukan, Pansus (Panitia Khusus) DPRD Kotamadya Surabaya dapat menerima dan menyetujui usul Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya, untuk menetapkan Hari Jadi Kota Surabaya tanggal 31 Mei 1293 M. Dengan catatan, bahwa penetapan Hari Jadi Kota Surabaya masih memungkinkan untuk dapat ditinjau kembali, bilamana di kemudian hari berdasarkan fakta sejarah yang lebih kuat ditemukan tanggal yang pasti.

Setelah melalui pembahasan yang rumit dalam waktu yang cukup panjang, pada sidang paripurna DPRD Surabaya, 6 Maret 1975, dilaksanakan sidang khusus untuk menetapkan tanggal Hari Jadi Kota Surabaya.

Pada sidang pleno itu DPRD Kotamadya Surabaya secara resmi setelah seluruh fraksi menyampaikan stemotivoring(pendapat akhir), maka menyetujui usul Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya untuk menetapkan Hari Jadi Kota Surabaya: tanggal 31 Mei 1293.

Persetujuan resmi DPRD Kotamadya Surabaya itu dituangkan dengan dikeluarkannya Surat Keputusan DPRD Kotamadya Surabaya Nomor 02/DPRD/Kep/75 tanggal 6 Maret 1975.

Keputusan DPRD itu ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Walikota Surabaya No.64/WK/75 tanggal 18 Maret 1975.

Pada pertimbangan SK Walikota Surabaya tersebut, dinyatakan Hari Jadi Kota Surabaya yang diperingati setiap tanggal 1 April, saat diresmikannya Gemeente Surabaya tahun 1906 oleh Pemerintah Belanda pada saat itu, adalah tidak sesuai dengan kenyataan. Sebab, selain penetapan tanggal tersebut berbau kolonial, Surabaya sebenarnya sudah ada jauh sebelum tanggal tersebut, yaitu sekitar abad XIII.

Berdasarkan pertimbangan itu, dirasa perlu untuk menetapkan tanggal Hari Jadi Kota Surabaya yang sesuai dengan data faktual yang diperoleh dari hasil penelitian, sejarah dan ciri khas Kota Surabaya sebagai Kota Pahlawan.

Dari hasil penelitian tim dan pertimbangan DPRD Kotamadya Surabaya, diperoleh kesimpulan bahwa tanggal yang sesuai dengan keinginan, adalah tanggal 31 Mei 1293.

Maka pada bagian akhir SK Walikota Surabaya yang ditandatangani oleh Walikotamadya Kepala daerah Tingkat II Surabaya, H.Soeparno, tertanggal 18 Maret 1975 itu, diputuskan bahwa tanggal 31 Mei 1293 sebagai Hari Jadi Kota Surabaya.

Hingga sekarang, peringatan Hari Jadi Kota Surabaya tetap dilaksanakan setiap tanggal 31 Mei. Belum ada pihak yang secara tegas untuk mengubahnya. Kendati ada protes-protes “ringan” ari ahli sajarah dalam beberapa kali seminar. Dalam persetujuan Pansus DPRD Kota Surabaya tanggal 6 Maret 1975 ada klausal yang berbunyi “bahwa penetapan Hari Jadi Kota Surabaya tanggal 31 Mei 1293 ini masih dimungkinkan untuk ditinjau kembali, bilamana di kemudian hari berdasarkan fakta-fakta sejarah yang lebih kuat ditemukan tanggal yang pasti”.

Begitulah catatan yang berhasil penulis temukan dari dokumen sidang DPRD Kota Surabaya. ***

*) HM Yousri Nur Raja Agam – Wartawan berdomisili di Surabaya

Asal Usul Surabaya

Asal Usul dan


Cikal Bakal

KotaSurabaya

Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)

Yousri Nur RA MH

Yousri Nur RA MH

PENELITI dan beberapa ahli sejarah, mengungkapkan, dulu Surabaya ini adalah muara sungai dan terbentuk oleh gugusan kepulauan. Muara Sungai Kali Brantas dengan anaknya Kali Surabaya masih di Wonokromo. Sedangkan Surabaya sekarang merupakan pulau-pulau kecil yang terjadi akibat lumpur yang hanyut dari letusan Gunung Kelud. Namun, lama-kelamaan terus terjadi pendangkalan di muara sungai yang terletak di Selat Madura ini.

Akibat sedimen yang terus bertambah, endapan lumpur semakin meninggi, sehingga selat-selat yang terletak di antara gugus pulau-pulau kecil itu menyempit. Di antara pulau-pulau kecil itu banyak yang menyatu, sementara ada pula selat di antara pulau-pulau kecil itupun berubah menjadi anak sungai atau kali.

Kejadian yang unik itu ditopang pula dengan proses tektonik. Permukaan daratan Surabaya naik 5 sampai 8 centimeter per-abad. Sementara itu daratan atau garis pantai bertambah ke arah laut rata-rata 7,5 centimeter per-tahun.

Dalam catatan sejarah, Gunung Kelud rata-rata meletus setiap 15 tahun sekali. Memang, apabila Kelud meletus, dua wilayah yang menjadi sasaran utama, yaitu Blitar dan Kediri. Tetapi, karena Sungai kali Brantas mengalir dari arah Kediri sampai ke Surabaya, maka semburan gunung yang membawa lava, lahar dan lumpur itu hanyut sampai ke muara sungai. Selain membuat pendangkalan di badan sungai, endapan terbanyak justru di muaranya Selat Madura, yaitu Surabaya dan Sidoarjo.

Data yang berhasil dicatat dari Proyek Penanggulangan Bencana Alam Gunung Kelud, secara berturut-turut Gunung Kelud meletus tahun 1311, 1334, 1376, 1385, 1395, 1411, 1451, 1462, 1481, 1586, 1752, 1771, 1811, 1826, 1835, 1848, 1851, 1864, 1901, 1919, 1951, 1966, 1990 dan 2005.

Sebagai contoh, letusan tahun 1966 dan 1990, tidak kurang satu kali letusan memuntahkan lahar 28 juta meter kubik. Lahar yang dimuntahkan itu, selain menimbun kawasan di sekitar gunung, juga mengalir di lereng gunung terus ke sungai. Lahar yang berubah menjadi pasir dan lumpur itu mengalir melalui Sungai Kali Brantas hingga muara. Akibat yang terjadi, juga mendangkalkan permukaan sungai, mempersempit lebar sungai dan menambah endapan di muara sungai, laut di Selat Madura.

Begitulah asal-usul dan cikal-bakal kejadian daratan di muara Kali Surabaya, sehingga daerah yang semula bernama Junggaluh atau Ujunggaluh atau Hujunggaluh, kemudian bernama Surabaya. Tidaklah mengherankan, kalau sampai sekarang Surabaya berada di dataran rendah dan terletak pada ketinggian hanya 0 sampai 6 meter di atas permukaan laut. Jadi, kalau Surabaya banjir atau pasang naik mencapai bibir daratan, tidak perlu heran dan sebenarnya tidak perlu dirisaukan.

Dari gugus pulau-pulau kecil yang disebut pulo di muara sungai Kalimas yang berinduk ke sungai Kali Brantas itu, ada selat-selat yang dulu diberi nama kali. Jadi tidaklah mengherankan ada nama tempat di Surabaya ini yang disebut pulo dan kali. Di sini pola hidup dan kehidupan warga asli adalah memancing dan berburu. Rumah-rumah penduduk kampung asli Surabaya dulunya berada di atas tiang dan di atas permukaan air, sebagaimana umumnya permukiman pantai.

Seiring dengan perkembangan ruang dan waktu, pola kehidupan berubah. Kehidupan di dunia pantai yang berubah menjadi pelabuhan itulah yang mendorong terjadinya kegiatan kemaritiman. Dunia maritim ini saling tunjang dengan perdagangan dan industri. Inilah ciri khas Surabaya pada awalnya, yang kemudian berkembang ke arah pendidikan, budaya dan pariwisata seperti sekarang ini.

Sebagai wilayah berada di muara sungai yang berkembang menjadi pelabuhan, keberadaannya diakui oleh pemerintah penjajah Belanda di awal abad ke 16. Evolusi menjadi kota besar mulai terjadi setelah dilakukan pemetaan wilayah oleh Muller tahun 1746. Pemetaan wilayah Surabaya itu atas perintah Gubernur Jenderal Belanda wilayah Hindia Belanda yang mendarat 11 April 1746 di utara Surabaya.

Awalnya luas kota Surabaya yang secara otonom diserahkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat pembentukan kota 1 April 1906 di bawah pemerintahan walikota (burgermeester), sekitar 5.170 hektar atau 51,70 kilometer per-segi.

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan tahun 1945, Pemerintahan Kota Surabaya dikukuhkan dengan Undang-undang No.22 tahun 1948 dengan luas wilayah 67,20 kilometer per-segi atau 6.720 hektar.

Kemudian terjadi perluasan kota dengan penambahan wilayah dari lima kecamatan dari Kabupaten Surabaya (sekarang bernama Kabupaten Gresik). Luas kota bertambah 15.461,124 hektar atau 15,46 kelometer persegi, sehingga luas kota Surabaya menjadi 22.181,12 hektar atau 221,18 kilometer per-segi.

Entah apa dasarnya, setelah tahun 1965 pada keterangan dan dalam buku agenda resmi Pemerintahan Kota Surabaya terjadi perubahan luas wilayah Kota Besar Surabaya menjadi 29.178 hektar

Sejak tahun 1992, berdasarkan pemotretan udara, ternyata luas Surabaya 32.636,68 hektar.

Memang, begitulah kenyataannya, konon hingga sekarang, luas daratan kota Surabaya terus bertambah. Dinas Tatakota Pemkot Surabaya, Senin, 12 Mei 2003, pernah mengungkap pertambahan luas daratan itu disebabkan lumpur yang hanyut ke muara sungai, terutama di hilir Kali Jagir sampai daerah Wonorejo. Akibatnya, selain muara sungai menyempit, juga semakin dangkalnya laut di muara sungai, bahkan menimbulkan tanah oloran baru.

Kalau kita amati dan kita cermat melakukan jalan keliling kota, pertambahan daratan Surabaya itu, juga akibat kegiatan reklamasi pantai dan pengurukann laut. Kegiatan yang dilakukan pihak swasta ini, pertama di daerah pertambakan, pembangunan perumahan di pinggir pantai serta perluasan daratan yang dilakukan pengelola Pantai Ria Kenjeran.

Kalau dalam buku agenda tahun 1980-an, luas Surabaya tertulis 29 ribu hektar. Kemudian pada tahun 1990-an dari hasil pemotretan udara, luas Kota Surabaya 32,63 ribu hektar. Namun, di tahun 2003, Kepala Dinas Tatakota Pemkot Surabaya Ir.Erlina Soemartomo (waktu itu) menyebut luas Kota Surabaya, 35 ribu hektar lebih. Kendati demikian, pada buku kerja (agenda) resmi terbitan Pemkot Surabaya tahun 2002, 2003, 2004, 2005 dan 2006, luas wilayah kota Surabaya tetap dicetak 326,37 km2 atau 32,63 ribu hektar lebih.

Tutur Tinular

Kembali cerita tentang kapan Surabaya mulai disebut dan mulai ada, atau “lahir” , versinya macam-macam. Dalam cerita lama, seperti yang terdapat, dalam buku Kumpulan Cerita Rakyat Jawa Timur yang diterbitkan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977, ada dongeng tentang Surabaya.

Perkampungan tua dalam kota Surabaya tempo dulu (foto.Dok Humas Pemkot Surabaya)

Perkampungan tua dalam kota Surabaya tempo dulu (foto.Dok Humas Pemkot Surabaya)

Selain dongeng, juga ada cerita dari cerita yang disampaikan secara berkesinambungan dari nenek moyang kepada kakek, dari kakek atau nenek kepada ayah dan ibu, kemudian dari ibu kepada anak dan cucu, terus pula kepada cicit dan buyut, begitu seterusnya sampai sekarang ini. Kalau boleh dikatakan seperti tutur tinular, yakni penuturan yang kemudian ditularkan atau disebarluaskan kepada generasi berikutnya Tentu cerita dan cerita itu sudah tidak orisinal lagi, dipoles di sana-sini, bahkan ditaburi bumbu penyedap, sehingga rasanya menjadi asyik.

Surabaya yang dulunya hutan belantara di muara sungai Kali Brantas, kemudian melahirkan sungai yang berasal dari selat-selat yang terdapat dari tanah oloran yang kemudian menjadi pulau. Sungai-sungai itu tidak kurang dari 50 sungai yang disebut kali. Mulai dari kali yang cukup besar, yakni Kali Surabaya dari Mojokerto sampai Gunungsari. Kemudian, terpecah menjadi dua kali yang agak besar, Kali Mas yang mengalir dari Wonokromo ke arah Tanjung Perak dan yang kedua Kali Wonokromo yang mengalir ke arah Rungkut. Ada lagi Kali Anak yang mengalir ke arah perbatasan Surabaya-Gresik. Dan, sisanya, kali-kali yang kecil, seperti: Kali Asin, Kali Sosok, Kali Pegirian, Kali Kundang, Kali Ondo, Kali Rungkut, Kali Waron, Kali Kepiting, Kali Judan, Kali Mir, Kali Dami, Kali Lom, Kali Deres, Kali Jagir, Kali Wonorejo dan masih puluhan kali lagi yang kecil-kecil.

Sebagai muara sungai besar, di muara itu mengendaplah lumpur, apalagi berulangkali lumpur letusan Gunung Kelud, hanyut ke muara dan membentuk pulau-pulau. Dari berbagai pulau yang merupakan kepulauan itu, lahirlah Surabaya. Pulau-pulau itu memang tidak begitu menonjol, kecuali Pulau Wonokromo dan Pulau Domas. Sedangkan yang lainnya berbentuk rawa dan danau-danau kecil yang disebut kedung, serta sebagian dijadikan tambak. Ada lagi yang masih berbentuk karang.

Maka, tidak heran kalau di seantero Kota Surabaya saat ini nama tempat diawali dengan nama kedung, tambak dan karang. Contoh, Tambaksari, Tambakasri, Tambakoso Wilangun, Tambakbayan, Tambakjati, Tambakrejo, Tambakmadu, Kedungdoro, Kedungsari, Kedungasem, Kedung Baruk, Kedung klinter, Kedungsroko, Kedungcowek, Kedungmangu, Karangmenjangan, Karangasem, Karangrejo, Karang Tembok, Karanggayam dan lain-lain.

Juga ada yang berbentuk tegal, seperti Tegalsari. Konon di Tegalsari atau daerah Surabayan inilah cikal-bakal penduduk daratan Surabaya yang kemudian berkembang sampai ke daerah Bubutan dan sekitar yang kemudian menjadi pusat pemerintahan Adipati Surabaya.

Asal Nama Surabaya

Pada umumnya, masyarakat Kota Surabaya menyebut asal nama Surabaya adalah dari untaian kata Sura dan Baya atau lebih popular dengan sebutan Sura ing Baya, dibaca Suro ing Boyo. Paduan dua kata itu berarti “berani menghadapi tantangan”.

Namun berdasarkan filosofi kehidupan, warga Surabaya yang hidup di wilayah pantai menggambarkan dua perjuangan hidup antara darat dan laut. Di dua alam ini ada dua penguasa dengan habitat bertetangga yang berbeda, tetapi dapat bertemu di muara sungai. Dua makhluk itu adalah ikan Sura (Suro) dan Buaya (Boyo).

Perlambang kehidupan darat dan laut itu, sekaligus memberikan gambaran tentang warga Surabaya yang dapat menyatu, walaupun asalnya berbeda. Begitu pulalah warga Surabaya ini, mereka berasal dari berbagai suku, etnis dan ras, namun dapat hidup rukun dalam bermasyarakat.

Hasil penelitian menunjukkan, ejaan nama Surabaya awalnya adalah: Curabhaya. Tulisan ini di antaranya ditemukan pada prasasti Trowulan I dari tahun Caka 1280 atau 1358 M. Dalam prasasti itu tertulis Curabhaya termasuk kelompok desa di tepi sungai sebagai tempat penambangan yang dahulu sudah ada (nadira pradeca nguni kalanyang ajnahaji pracasti).

Nama Surabaya muncul dalam kakawin Negarakartagama tahun 1365 M. Pada bait 5 disebutkan: Yen ring Janggala lok sabha n rpati ring Surabhaya terus ke Buwun. Artinya: Jika di Jenggala ke laut, raja tinggal di Surabaya terus ke Buwun.

Cerita lain menyebutkan Surabaya semula berasal dari Junggaluh, Ujunggaluh atau Hujunggaluh. Ini, terungkap pada pemerintahan Adipati Jayengrono. Kerabat kerajaan Mojopahit ini diberi kekuasaan oleh Raden Wijaya untuk memerintah di Ujunggaluh. Di bawah pemerintahan Jayengrono, perkembangan pesat Ujunggaluh sebagai pelabuhan pantai terus manarik perhatian bangsa lain untuk berniaga di sini.

Suatu keanehan, ternyata sejarah Surabaya ini terputus-putus. Kalau sebelumnya Surabaya dianggap sebagai penjelmaan dari Hujunggaluh atau Ujunggaluh, namun belum satupun ahli sejarah menemukan sejak kapan nama Hujunggaluh itu “hilang” dan kemudian sejak kapan pula nama Surabaya, benar-benar mulai dipakai sebagai pengganti Hujunggaluh. Perkiraan sementara, hilangnya nama Hujunggaluh itu pada abad ke-14.

Mitos Cura-bhaya

Ada lagi sumber lain yang mengungkap tentang asal-usul nama Surabaya. Buku kecil yang diterbitkan PN.Balai Pustaka tahun 1983, tulisan Soenarto Timoer, mengungkap cerita rakyat sebagai sumber penelitian sejarah. Bukunya berjudul: Menjelajahi Jaman Bahari Indonesia “Mitos Cura-Bhaya”. Dari tulisan sepanjang 61 halaman itu, Soenarto Timoer membuat kesimpulan, bahwa hari jadi Surabaya harus dicari antara tahun-tahun 1334, saat meletusnya Gunung Kelud dan tahun 1352 saat kunjungan Raja Hayam Wuruk ke Surabhaya (sesuai Nagarakrtagama, pupuh XVII:5).

Surabaya tidak bisa dilepaskan dari nama semula Hujunggaluh, karena perubahan nama menunjukkan adanya suatu motif. Motif dapat pula menunjukkan perkiraan kapan perubahan itu terjadi. Bahwa Hujunggaluh itu adalah Surabaya yang sekarang dapat diteliti dan ditelusuri berdasarkan makna namanya, lokasi dan arti kedudukannya dalam percaturan negara.

Ditilik dari makna, nama “Hujung” atau ujung tanah yang menjorok ke laut, yakni tanjung, dapat dipastikan wilayah ini berada di pantai. “Galuh” artinya emas. Dalam bahasa Jawa tukang emas dan pengrajin perak disebut: Wong anggaluh atau kemasan seperti tercantum dalam kamus Juynboll dan Mardiwarsito. Dalam purbacaraka galuh sama artinya dengan perak.

Hujunggaluh atau Hujung Emas, bisa disebut pula sebagai Hujung Perak, dan kemudian menjadi “Tanjung Perak” yang terletak di muara sungai atau Kali Emas (Kalimas). Nah, bisa jadi Tanjung Perak sekarang itulah yang dulu bernama Hujung galuh.

Dilihat dari lokasi Surabaya sekarang, berdasarkan prasasti Klagen, lokasi Hujunggaluh itu sebagai jalabuhan. Artinya, tempat bertemu para pedagang lokal dan antarpulau yang melakukan bongkarmuat barang dengan perahu. Diperkirakan, kampung Galuhan sekarang yang ada di Jalan Pawiyatan Surabaya, itulah Hujunggaluh, Di sini ada nama kampung Tembok. Konon tembok itulah yang membatasi laut dengan daratan.

Tinjauan berdasar arti kedudukannya, pada tahun 905, Hujunggaluh tempat kedudukan “parujar i sirikan” (prasati Raja Balitung, Randusari, Klaten). Parujar adalah wali daerah setingkat bupati. Bisa diartikan, bahwa Hujunggaluh pernah menjadi ibukota sebuah daerah setingkat kabupaten, satu eselon di bawah kedudukan “raka i sirikan”, pejabat agung kerajaan setelah raja.

Nah, sejak kapan Hujunggaluh berubah menjadi Surabaya? Mamang, perubahan nama tidak sama dengan penggantian tanggal lahir atau hari jadi. Namun, hingga sekarang belum ada satupun prasasti atau data otentik yang resmi menyebut perubahan nama Hujunggaluh menjadi Surabaya.

Mitos dan mistis sejak lama mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk di Pulau Jawa. Maka mitos Cura-bhaya yang dikaitkan dengan nama Surabaya sekarang ini tentunya dapat dihubungkan pula dengan mitologi dalam mencari hari jadi Surabaya. Perubahan nama dari Hujunggaluh menjadi Surabaya dapat direkonstruksi dari berbagai sudut pandang.

Bencana alam meletusnya gunung Kelud tahun 1334 membawa korban cukup banyak. Peristiwa itu mengakibatkan terjadinya perubahan di muara kali Brantas dengan anaknya Kalimas. Garis pantai Hujunggaluh bergeser ke utara. Timbul anggapan pikiran mistis yang mengingatkan kembali kepada pertarungan penguasa lautan, yakni ikan hiu yang bernama cura, melawan penguasa darat, buaya (bhaya). Dalam dunia mistis kemudian menjadi mitos, bahwa untuk menghentikan pertikaian antara penguasa laut dengan darat itu, maka digabungkan namanya dalam satu kata Cura-bhaya atau sekarang Surabaya.

Mitos ikan dengan buaya ini sudah ada pada abad XII-XIII, sebagai pengaruh ajaran Budha Mahayana melalui cerita Kuntjarakarna. Reliefnya terpahat di dinding gua Selamangleng, Gunung Klotok, Kediri.

Bagaimanapun juga, mitos ikan dan buaya yang sekarang menjadi lambang Kota Surabaya, hanyalah merupakan sepercik versi lokal, tulis Soenarto Timoer. Jadi mitos cura-bhaya, hanya berlaku di Hujunggaluh. Cura-bhaya adalah nama baru pengganti Hujunggaluh sebagai wujud pujian kepada sang Cura mwang Bhaya yang menguasai lautan dan daratan.

Asal-usul Penduduk

Penduduk Surabaya boleh dikatakan berasal dari pendatang. Para pendatang mulai menatap dan mendirikan perkampungan di sekitar pelabuhan dan berkembang sampai ke darat, terutama di pinggir Sungai Kalimas yang merupakan anak Sungai Kali Brantas. Lama kelamaan, nama Ujunggaluh mulai dilupakan, dan namanya berubah menjadi Surabaya di bawah pemerintahan Adipati Jayengrono. Pusat Pemerintahan Adipati Jeyangrono ini diperkirakan di sekitar Kramat Gantung, Bubutan dan Alun-alun Contong saat ini.

Ada temuan sejarah yang mencantumkan pada abad ke-15, bahwa waktu itu di Surabaya sudah terjadi kehidupan yang cukup ramai. Tidak kurang 1.000 (seribu) KK (Kepala Keluarga) bermukim di Surabaya. Orang Surabaya yang dicatat pada data itu umumnya keluarga kaya yang bertempat tinggal di sekitar pelabuhan. Mereka melakukan kegiatan bisnis dan usaha jasa di pelabuhan.

Dari hari ke hari penduduk Surabaya terus bertambah, para pendatang yang menetap di Surabaya umumnya datang melalui laut. Ada yang berasal dari Madura, Kalimantan, Sulawesi dan Sumetera. Di samping ada yang berasal dari daratan Jawa datang terbanyak melalui sungai Kali Brantas dan jalan darat melewati hutan. Tidak hanya itu, para pelaut itu juga banyak yang berasal dari Cina, India dan Arab, serta Eropa.

Warga pendatang di Surabaya itu, hidup berkelompok. Misalnya, mereka yang berasal dari Madura, Kalimantan, Sulawesi atau suku Melayu dari Sumatera, di samping bermukim di pantai, juga banyak yang membangun perumahan di daerah Pabean dan Pegirian. Sedangkan pendatang dari ras Arab banyak bermukim di sekitar Masjid Ampel.

Etnis Cina menempati kawasan Kembang Jepun, Bongkaran dan sekitarnya. Ini terkait dengan dermaga pelabuhan waktu itu berada di sungai Kalimas, di sekitar Jembatan Merah sekarang. Jumlah warga pendatang terus-menerus terjadi, akibat semakin pesatnya kegiatan dagang dan perkembangan budaya di Surabaya.

Pengikut Sunan Ampel

Khusus masyarakat di sekitar Ampel, sebagian besar adalah rombongan yang ikut bersama Sunan Ampel dari wilayah Mojopahit pada abad 14. Berdasarkan Babad Ngampeldenta, Sunan Ampel melakukan aktivitas di Surabaya sekitar tahun 1331 M hingga 1400 M. Jumlah rombongan Sunan Ampel itu berkisar antara 800 hingga 1.000 keluarga.

Dalam buku Oud Soerabaia (1931) karangan GH von Faber, halaman 288 dinyatakan Raden Rahmat pindah bersama 3.000 keluarga (drieduezend huisgezinnen}

Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java (1817), halaman 117 menulis saat kepindahan Raden Rahmad dari keraton Majapahit ke Ampel, ia disertai 3.000 keluarga (three thousand families). Sementara itu menurut Babad Ngampel Denta, jumlah orang yang boyongan bersama Raden Rahmat ke Ampel Surabaya sebanyak 800 keluarga (sun paringi loenggoeh domas). “Domas” menurut S.Prawiroatmodjo dalam buku Bausastra Jawa – Indonesia (1981) artinya delapan ratus.

Sejak berdirinya permukiman di Surabaya, pertumbuhan penduduk berkembang cukup pesat. Ada yang datang melalui laut maupun transportasi melalui sungai. Umumnya yang melewati sungai adalah warga yang datang dari arah Blitar, Madiun, Tulungagung, Kediri dan lain-lainnya. Mojokerto yang merupakan pusat kerajaan Majapahit, menjadikan Surabaya sebagai pelabuhan lautnya. Mereka mendirikan permukiman di sepanjang Kalimas, anak Kali Brantas yang dijadikan poros lalulintas utama saat itu. Kemudian menyebar sampai ke Keputran, Kaliasin, Kedungdoro, Kampung Malang, Surabayan dan Tegalsari.

Setelah koloni dagang dari Eropa yang dimotori bangsa Portugis, Spanyol dan Belanda datang dan menetap di Surabaya, di tahun 1500-an, mereka mendirikan gudang dan tempat tinggal di sekitar pusat pemerintahan Adipati Surabaya, yakni di sekitar Alun-alun Contong, Bubutan, Gemblongan, Blauran, Pasar Besar dan wilayah sekitarnya.

Belanda yang merupakan koloni dagang rempah-rempah terbesar saat itu, mulai membentuk pemerintahan. Tanpa disadari oleh Bangsa Indonesia, Belanda mulai mencengkeramkan “kukunya” di Bumi Pertiwi ini sebagai penjajah. Termasuk di Surabaya.

Jumlah Penduduk

Ketika pemerintahan kota pertama kali dibentuk tanggal 1 April 1906, penduduk Kota Surabaya berjumlah 150 ribu orang lebih. Limabelas tahun kemudian, dalam cacah jiwa atau sensus penduduk tahun 1920, penduduk Surabaya tercatat 192.180 orang. Sepuluh tahun kemudian pada sensus penduduk tahun 1930, warga Kota Surabaya sudah berkembang menjadi 341.675 orang.

Pada zaman Jepang, di bulan September 1943 diselenggarakan cacah jiwa (sensus penduduk) Kota Surabaya (Surabaya Syi). Jumlah penduduk Surabaya waktu itu tercatat 518.729 orang.

Dalam sensus penduduk tahun 1961 tercatat resmi 1.007.945 jiwa dan tahun 1971 naik lagi menjadi 1.556.255 jiwa. Tahun 1980 penduduk resmi yang terdaftar sebagai penduduk Surabaya berkembang menjadi 2.027.913 jiwa dan tahun 1990 naik menjadi 2.473.272 jiwa.

Anehnya, data dari Dinas Kependudukan Kota Surabaya yang dikeluarkan pada bulan Mei 2004, seolah-olah jumlah penduduk Surabaya dari tahun 1990 hingga tahun 1999 “berkurang”. Padahal ini tidak mungkin, justru sebaliknya. Manakah data kependudukan yang akurat? Mustahil penduduk Surabaya berkurang, yang pasti, penduduk Surabaya terus bertambah.

Data resmi yang disajikan memang begitu kenyataannya. Tahun 1999 penduduk Surabaya tercatat 2.406.944 jiwa. Tahun 2000 sebanyak 2.443.558 jiwa, tahun 2001 bertambah jadi 2.473.461 jiwa, tahun 2002 naik lagi jadi 2.504.128 jiwa dan akhir tahun 2003 menjadi 2.656.420 jiwa. Data pada akhir April 2004, warga kota Surabaya berjumlah 2.659.566 jiwa.

Data inipun dikutip oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil berikutnya, yakni saat dikepalai oleh Drs.H.Hartojo. Sama dengan sebelumnya, sensus penduduk tahun 2000, penduduk Surabaya berjumlah 2.443.558 orang.

Secara rinci, dinas kependudukan dalam buku Informasi Kependudukan Kota Surabaya tahun 2004 berturut-turut disebutkan, penduduk Surabaya tahun 2001 sebanyak: 2.473.461 orang, tahun 2002 bertambah jadi: 2.504.128, tahun 2003 tambah lagi menjadi: 2.656.420 orang dan tahun 2004 menjadi: 2.859.655 orang.

Tahun 2006 hingga Agustus, tercatat jumlah penduduk Surabaya: 2.987.456 orang. Pada awal tahun 2007 diperkirakan sudah mencapai 3,3 juta orang.

Dari BPS (Biro Pusat Statistik) lain lagi. Tahun 1992 penduduk Surabaya berjumlah 2.259.283 jiwa, kemudian tahun berikutnya ditulis sebagai berikut: 1993 (2.286359 jiwa), 1994 (2.306.474 jiwa), 1995 (2.339.335 jiwa), 1996 (2.347.520 jiwa), 1997 (2.356.487 jiwa), 1998 (2.373.282 jiwa), 1999 (2.407.146 jiwa), 2000 (2.444.956 jiwa), 2001 (2.599.512 jiwa).

Data tentang jumlah penduduk Kota Surabaya, dalam “Resume” RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kota Surabaya yang diterbitkan Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya, berbeda lagi.

Penduduk Surabaya tahun 2001 hingga 2005, kemudian proyeksi penduduk Surabaya tahun 2006 hingga 2013 adalah sebagai berikut:

Tahun 2001 (2.452.222 jiwa), 2002 (2.471.557 jiwa), 2003 (2.485.761 jiwa), 2004 (2.509.833 jiwa), 2005 (2.528.777 jiwa). Proyeksi tahun 2006 (2.547.586 jiwa), 2007 (2.566.257 jiwa), 2008 (2.584.894 jiwa), 2009 (2.603.258 jiwa), 2010 (2.621.558 jiwa), 2011 (2.639.724 jiwa), 2012 (2.657.766 jiwa) dan tahun 2013 (2.675.671 jiwa).

Umumnya para pejabat dan politisi di Surabaya dewasa ini menyebut angka rata-rata penduduk Surabaya adalah sekitar 3 juta jiwa lebih.

Di samping penduduk tetap, ada penduduk tetap tetapi tidak terdaftar. Di kota Surabaya juga bermukim penduduk musiman. Akhir 2008 jumlahnya mencapai 20 ribu jiwa. Kecuali itu, sebagai sebuah kota dengan kegiatan ekonomi dan pemerintahan di berbagai sektor, ada penduduk siang dan penduduk malam. Penduduk pada siang hari di bisa mencapai 5 sampai 6 juta jiwa. Pada malam hari, penduduk Surabaya sebagian besar pulang dan tidur di Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, Lamongan, Bangkalan, Pasuruan, bahkan di Malang***

*) Yousri Nur Raja Agam MH, Ketua Yayasan Peduli Surabaya

Siapa Walikota “Pertama” Surabaya

Radjamin Nasution

Walikota Pertama Surabaya

Oleh: Yousri Nur Raja Agam M.H.

SAAT Surabaya dinyatakan sebagai sebuah permukiman resmi pada abad ke-13 sebagaimana disebutkan Surabaya lahir 31 Mei 1293, penduduknya mungkin belum mencapai seribu orang. Namun, dengan makin berkembangnya Kerajaan Majapahit di bawah Raden Wijaya dan seterusnya mencapai puncak saat Raja Hayamwuruk didampingi perdanamenterinya, Mahapatih Gajah Mada, pelabuhan Hujunggaluh semakin ramai.

Kesibukan di pelabuhan Hujunggaluh yang merupakan nama asal Surabaya, menjadi daya tarik warga daerah lain datang ke sini. Ada yang datang dari daratan pedalaman Pulau Jawa, ada pula yang menyeberang dari pulau-pulau lain di Nusantara. Bahkan, tidak sedikit yang semula sebagai saudagar dari Arab, India dan Cina, menetap di sini.

Bercampurbaurlah masyarakat pendatang dari berbagai suku, ras dan keturunan di Surabaya ini, yang kemudian menetap, lalu menjadi “Arek Suroboyo”.

Perkembangan penduduk Surabaya ini memang unik dan menarik, kata sesepuh Kota Surabaya, Prof.DR.H.Roeslan Abdulgani. Kendati hidup berkelompok menurut asalnya, tapi dalam kegiatan bermasyarakat untuk kepentingan Surabaya, mereka bersatu. Lihat saja, mereka yang berada di sekitar pantai dan pelabuhan, umumnya mereka berasal dari Madura, Bugis, Ambon dan Banjar. Sedangkan yang berada di tengah kota asal, yaitu sekitar pusat perdagangan Kembang Jepun sampai Tunjungan, kebanyakan warga keturunan Arab, Cina dan India, serta warga pendatang dari pedalaman Jawa dan perantau dari Sumatera.

Saat Belanda menjajah dan memerintah di Indonesia, termasuk Kota Surabaya, semula mereka bekerjasama dengan pemerintahan Kerajaan Majapahit. Di Surabaya ada keadipatian atau Kadipaten Surabaya, terus sampai kemudian Indonesia merdeka.

Surabaya sebagai sebuah pusat perdagangan yang mempunyai pelabuhan tempat sandar kapal-kapal dagang, maju dan berkembang. Surabaya menjadi kabupaten yang wilayahnya termasuk Gresik. Awal abad ke-20 Kabupaten Surabaya dibagi menjadi Kota Surabaya dan Kabupaten Surabaya – Kabupaten Surabaya kemudian berganti nama menjadi Kabupaten Gresik.

Burgemeester

Hari lahir atau ditetapkannya Surabaya sebagai kota, oleh Pemerintah Kolonial Belanda, bersamaan dengan beberapa kota lain di Indonesia, tanggal 1 April 1906. Dulunya, tanggal 1 April itulah Hari Ulang Tahun (HUT) Kota Surabaya, namun sejak tahun 1975 diubah menjadi 31 Mei.

Sejak Surabaya menjadi kota dan berpemerintahan sendiri, Kota Surabaya ini pemimpinnya dirangkap oleh Residen Surabaya. Pemerintahan Dalam Negeri Hindia Belanda menetapkan status Surabaya sebagai Kotapaja dengan Hak Otonom (Zelfstaandige Stadsgemeente). Perangkapan jabatan oleh Residen Surabaya berlangsung 10 tahun sebagai masa peralihan. Baru 21 Agustus 1916, diserahkan kepada kepala pemerintahan kota yang disebut Burgemeester.

Orang pertama yang ditunjuk sebagai burgemeester adalah Mr.A.Mey Roos. Empat tahun kemudian, tahun 1920 ia diganti oleh Ir.G.J.Dijkerman. Selama enam tahun memerintah sampai tahun 1926, ia digantikan oleh H.J.Bussemaker (1926-1932). Berturut-turut berikutnya burgemeester adalah:: Ter Poorten (1932-1936), MHW Van Helsdingen (1936-1942). Pada bulan Januari 1942, burgemeester Surabaya diserahterimakan kepada Mr.W.A.H.Fuchter. Namun, hanya satu bulan memerintah, Balatentara Jepang masuk ke Indonesia. Belanda, pada Februari 1942 meninggalkan pemerintahan kota Surabaya.

Begitu Belanda angkat kaki dari Indonesia, pemerintahan Kota Surabaya diambilalih oleh para pegawai di lingkungan Pemerintah Kota Surabaya. Pada masa transisi ini berdasarkan kesepakatan bersama ditetapkan, karyawan pribumi yang cukup berwibawa waktu itu Radjamin Nasution Gelar Sutan Komala Pontas, sebagai Pejabat Walikota. Di bawah suasana Perang Dunia II itu, pengaruh kekuasaan Balatentara Jepang semakin terasa. Selama delapan bulan sejak Februari hingga September 1942, Radjamin Nasution mengendalikan Pemerintahan Kota Surabaya.

Jepang yang sudah berkuasa secara penuh di persada Nusantara, kemudian ikut menata pemerintahan. Namun Jepang bersikap kooperatif. Kendati kekuasaan tertinggi di Kota Surabaya diambilalih, dengan menetapkan Takahashi Ichiro sebagai walikota yang disebut Shi Tyo , namun mereka menetapkan Radjamin Nasuition menjadi wakil walikota yang disebut Asisten Shi Tyo.

Walikota Pertama

Saat Pemerintahan Jepang menyatakan “kalah” dalam Perang Dunia II, setelah bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, bulan Agustus 1945, kemudian Indonesia juga memproklamasikan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945. Takahashi Ichiro kemudian menyerahkan sepenuhnya kepala pemerintahan Kota Surabaya kepada wakilnya, Radjamin Nasution.

Pemerintah Balatentara Jepang kalah dan Indonesia merdeka. Maka terhitung sejak Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, Radjamin Nasution Gelar Sutan Komala Pontas ditetapkan sebagai Walikota Surabaya.

Radjamin Nasution yang bertempat tinggal di Jalan Alun-alun Rangkah No.3 Surabaya atau Jalan Taman Putroagung No.9 Surabaya itu, memerintah Kota Surabaya dalam suasana perang. Betapa tidak, menurut orang-orang tuawarga di kampung Rangkah, saat menjadi walikota itu, Radjamin lebih banyak disibukkan dengan urusan perang. Sebab, setelah Indonesia merdeka dan Jepang kalah, ternyata orang-orang Balanda yang ada di Surabaya bangkit. Belanda yang ada di Surabaya seolah-olah ikut menang, sehingga mereka berusaha untuk kembali memerintah. Di tambah lagi dengan gencarnya serangan tentara Sekutu untuk merebut kekuasaan di Indonesia, termasuk Surabaya.

Setelah Indonesia dinyatakan merdeka, Radjamin Nasution sebagai seorang pejabat karir berusaha memperbaiki administrasi pemerintahan kota. Ia berkoordinasi dengan Residen Surabaya, waktu itu, R.Soedirman dan Gubernur Jatim RM Soeryo.

Saat terjadi pertempuran sengit antara pejuang Arek Suroboyo melawan Sekutu yang dikendalikan tentara Inggris, korban berjatuhan. Ratusan dan mungkin ribuan orang gugur di medan perang Surabaya. Patriot bangsa ini dikuburkan di berbagai makam. Salah satu di antaranya, lapangan olahraga pelajar juru rawat yang terletak di belakang Rumah Sakit Simpang dijadikan kuburan.

Atas gagasan Walikota Surabaya, Rajamin Nasution, kemudian pemakaman para pejuang yang gugur itu dipindahkan ke lapangan “Canna” (di Jalan Kusuma Bangsa, sekarang). Untuk pertamakalinya dimakamkan 26 orang pejuang. Upacara pemakaman ini dipimpin langsung oleh Rajamin Nasution selaku Kepala Pemerintahan Kota (Walikota).

Saat berpidato mengantarkan para pejuang ke tempat peristirahatannya yang terakhir itulah tercetus untuk menjadikan lapangan Canna itu menjadi “Taman Bahagia” dankemudian berubah menjadi TMP (Taman Makam Pahlawan) Kusuma Bangsa.

Masih menurut penuturan orang-orang tua, warga Kelurahan Rangkah, Kecamatan Tambaksari, kepemimpinan Radjamin Nasution itu cukup bagus. Ia sangat memperhatikan karyawan. Bahkan, saat pemerintahan Kota Surabaya “terpaksa” mengungsi ke Mojokerto dan Tulungagung, ia mengendalikan Surabaya dengan wira-wiri antara Surabaya, Mojokerto dan Tulungagung.

Ketika menjadi walikota itu, Radjamin juga sibuk menghimpun kekuatan perlawanan terhadap gempuran sekutu. Ia bersama pemuda dan karyawan yang masih bertahan di Surabaya, bahu membahu menyediakan keperluan pejuang. Ada satu yang tidak pernah dilupakan oleh ibu-ibu tua warga kampung Rangkah yang ikut mengungsi ke Tulungagung, Radjamin mengumpulkan pakaian bekas dan karung goni untuk bahan pakaian para pejuang di Surabaya.

Perhatian Radjamin di masa “sulit” itu kepada pegawai Pemkot Surabaya yang mengungsi sangat besar. Dari Surabaya, ia membawa sendiri uang untuk membayar gaji para karyawan yang berada di tempat pengungsian, di Mojokerto, Jombang dan Tulungagung.

Belanda “sempat merebut” pemerintahan di Kota Surabaya, dengan menetapkan Mr.O.J.C.Becht sebagai Kepala Urusan Haminte selama dua bulan. Sehingga, berakhirlah masa pemerintahan Radjamin Nasution sebagai walikota pertama Surabaya.

Pemakaman Rangkah

Radjamin Nasution Gelar Sutan Komala Pontas menjadi arek Suroboyo sejak tahun 1930-an dan terakhir bertempat tinggal di Jalan Alun Alun Rangkah No.3 Surabaya. Setelah melepas jabatan walikota Surabaya, Radjamin duduk sebagai anggota DPRD Kota Surabaya sampai tahun 1955.

Saat menjadi anggota DPRD Kota Surabaya itu, Rajamin Nasution ikut mendirikan YKP (Yayasan KasPembangunan) Kota Surabaya. YKP adalah sebuah yayasan yang sudah banyak mendirikan perumahan untuk pegawai dan masyarakat umum dengan sitem menabung. Hingga sekarang YKP masih ada dan sudah mempunyai anak perusahaan bernama PT.Yekape yang juga bergerak di bidang real estat (pengembang kawasan perumahan) di dalam kota Surabaya dan sekarang bahkan sudah sampai ke luar kota.

Setelah Pemilu 1955, Radjamin terpilih mewakili Jawa Timur di DPR Pusat di Jakarta. Radjamin meninggal dunia 10 Februari 1957 dan dimakamkan di Kota Surabaya.

Radjamin Nasution yang lahir di Desa Barbaran Julu, Panyabungan, Mandailing, Sumatera Utara tanggal 15 Agustus 1892, saat meninggal dunia, ia meninggalkan delapan orang anak. Salah satu di antaranya adalah Irsan Radjamin, suami dari wanita pejuang Surabaya, Hj.Lukitaningsih Irsan Radjamin, Ketua Umum Wirawati Catur Panca (Ibu-ibu Kelasyakaran Pejuang Eksponen Angkatan 45).

Menurut warga Rangkah, saat jenazah disemayamkan di rumah duka ada yang mengusulkan almarhum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa. Sebab, dalam kegiatannya menjelang dan setelah Kemerdekaan RI, selalu berada di garis perjuangan. Namun atas “wasiat” almarhum, kata anak-anaknya, ia ingin dimakamkan di tengah-tengah warga Surabaya. Maka, Radjamin Nasution, dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Rangkah, di Jalan Kenjeran. TPU Rangkah ini adalah TPU terbesar ke dua setelah TPU Tembok. Dan di TPU Rangkah ini pulalah dimakamkan Pahlawan Nasional Pencipta Lagu Indonesia Raya, Wage Rudolf Soepratman.

Mr.Indrakoesoema dan Mr.Soerjadi

Pada bulan Desember 1945, pemerintahan kota Surabaya kembali direbut Arek-arek Suroboyo dan menunjuk Mr.Indrakoesoema sebagai walikota. Tidak lama memang, Mr.Indrakoesoema menjadi walikota, hanya tiga bulan dari bulan Desember 1945 hingga Februari 1946. Walikota Indrakoesoema diganti oleh Mr Soerjadi. Cukup lama,lima tahun masa pemerintahan dipegang Mr.Soerjadi.

Pada awal pemerintahan Walikota Surabaya, Mr.Soerjadi, suasana kota masih mencekam. Tentara Inggris dan Sekutu masih berada di Surabaya. Di beberapa tempat masih terdengar denduman bom dan mortis, serta desingan peluru senapan. Menurut Sutjipto Danukusumo yang waktu itu menjadi komandan pasukan Polisi Istimewa dengan pangkat Inspektur Polisi, tentara Inggris masih mengejar-ngejar pejuang sampai ke Karangpilang dan Sepanjang.

Walaupun situasi masih gawat, Mr.Soerjadi berusaha mengendalikanberbagai kegiatan pembangunan kota. Puing-puing sisa perang melawan Sekutu dan anteknya Belanda mulai dibenahi. Para pejuang yang mengungsi ke berbagai kota, mulai kembali secara bertahap ke kota Surabaya. Soerjadi juga melakukan pembenahan administrasi dan kantor Pemkot Surabaya. Gedung balaikota sebagai pusat pemerintahan difungsikan sebagai pusat pengendalian pemerintahan.

Suhu politik di ibukota Pemerintah Republik Indonesia (waktu itu di Jogjakarta) pada awal tahun 1946 kian memanas. Berbagai kegiatan yang mendukung persatuan nasional semakin meningkat di kalangan pelajar dan mahasiswa. Begitu pula dengan wartawan. Sampai-sampai di saat yang genting itu, para wartawan dari seluruh Indonesia, khususnya dari Jawa dan Sumatera, berkumpul di Solo. Di sana bahkan dideklarasikan berdirinya organisasi wartawan Indonesia yang bernama PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), tepatnya tanggal 9 Februari 1946.

Pak Wiwiek yang punya nama asli Said Hidayat, kelahiran Rembangan, Jember, Jawa Timur tanggal 22 April 1922 itu mengisahkan, sebagai wartawan dan pendiri Kantor Berita Antara di Surabaya, ia sering mendampingi Mr. Soerjadi. Tidak jarang, ia duduk berlama-lama bersama Soerjadi membicarakan pasca perang di Surabaya itu.

Masa kepemimpinan Mr. Soerjadi ini keadaan negara dalam keadaan genting, sebab terjadi agresi pertama tahun 1947. Perselisihan dengan pihak Belanda semakin meruncing sehingga mempengaruhi stabilitas ekonomi dan pemerintahan. Saat beberapa kali Pemerintah Republik Indonesia yang disebut Pemerintah Pusat melakukan perundingan dengan pihak Belanda mengalami kegagalan, kejadian inipun menimbulkan ketegangan internal dalam Pemerintahan Kota Surabaya.

Berkat tangan dingin Mr. Soerjadi yang ahli hukum pemerintahan itu, situasi Kota Surabaya dapat dikendalikan. Inipun tidak lepas dari kordinasi dan kerjasama sesama mantan pejuang. Bahkan, kerjasama dengan pihak kepolisian, khusunya waktu itu Polisi Istimewa dan tentara (BKR, kemudian menjadi TKR, TRI dan terakhir menjadi TNI) berjalan sangat harmonis.Waktu itu, Komandan Komando Pertahanan Kota Surabaya dijabat oleh Kolonel Soengkono dan Kepala Kepolisian Surabaya adalah Komisaris Polisi Budiman.

Tanggal 21 Juli 1947, Belanda melakukan serangan bersenjata melalui darat, laut dan udara. Perang Kemerdekaan I yang disebut Agresi I melawan Belanda berlangsung di mana-mana. Belanda dengan tuntutan Gandarmerry tidak mengakui kemerdekaan RI.Namun peperangan itu berakhir dengan gencatan senjata, 4 Agustus 1947. Pemerintah Pusat mulai melakukan perundingan dan menempuh jalur diplomatik. Sebagaimana diungkap dalam sejarah, terjadi perundingan KTN (Komisi Tiga Negara) sebagai pendamai. Indonesia diwakili Australia, Belanda oleh Belgia dan Amerika mewakili negara-negara lain di dunia.

Perundingan berlanjut dengan “Perjanjian Renvile”, karena perundingan dilaksanakan di atas kapal Renvile yang sedang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Perundingan demi perundingan berlangsung, sampai terlaksana Perjanjian Linggarjati. Tetapi sayang, pihak Belanda igkar janji, perjanjian Linggarjati dilanggar. Akhirnya terjadilah Perang Kemerdekaan II atau Agresi Belanda II bulan Desember 1948.

Keadaan ini sangat berpengaruh kepada pemerintahan kota Surabaya. Mr.Soerjadi terus melakukan koordinasi dengan staf dan jajaran pegawai. Urusan administrasi dan keperluan warga terus dilayani. Waktu itu, yang sangat dibutuhkan adalah kartu pengenal dan surat jalan. Waktu itu, lalulintas manusia dari dalam ke luar kota menimbulkan saling curiga. Di samping adanya mata-mata Belanda, juga ada kegiatan pemberontakan PKI di Madiun.

Tidak jarang sesama mantan pejuang tahun 1945 itu terdengar pekik “merdeka”, apabila mereka bertemu. Namun keadaan tidak sepenuhnya kondusif, karena juga ada yang saling curiga. Di beberapa tempat di Surabaya ini terjadi tindakan anarkis.

Setelah masa tegang mulai mengendur, kehidupan warga Surabaya mulai membaik. Kegiatan ekonomi di pasar-pasar mulai bergairah. Kantor-kantor juga mulai melakukan penataan. Tetapi di balik itu semua, tidak dapat dipungkiri, bahwa para pemuda pejuang yang merasa punya peran menghadapi Jepang dan Sekutu, melakukan perampasan barang-barang peninggalan Belanda dan Jepang. Rumah-rumah di kawasan elite, seperti di sekitar daerah Darmo, Ketabang, Genteng, Embong Kaliasin, Undaan, Raya Gubeng dan wilayah lainnya diduduki. Lama kelamaan, rumah itu dikuasai dan ditempati oleh keluarga. Bahkan, sekarang sudah menjadi milik mereka.

Walikota Surabaya, Mr. Soerjadi juga sangat berperan dalam pengaturan barang-barang milik Belanda yang ditinggal saat terjadi perang perjuangan tahun 1945 itu. Dinas perumahan bekerjasama dengan pihak militer, melakukan inventarisasi dan pengaturan. Walaupun awalnya mendapatkan rumah-rumah itu secara “gratis”, namun Pemerintahan di bawah Mr. Soerjadi ini berusaha menjaring pemasukan keuangan untuk Pemkot Surabaya. Ada yang dengan sistem sewa, izin pemakaian dan izin menghuni, sehingga ada pemasukan untuk kas Pemkot Surabaya. Tarifnya memang tidak mahal, sehingga terjangkau oleh warga kota Surabaya yang umumnya adalah para pegawai di kantor-kantor pemerintah maupun perusahaan besar waktu itu.

Mr.Soerjadi juga banyak melakukan pendidikan hukum bagi warga kota tatkala terjadi perselesihan dan sengketa antarwarga. Adakalanya, rumah yang ditempati bekas pejuang itu adalah inventaris kantor perusahaan perkebunan, pelabuhan, pabrik atau swasta lainnya. Dengan sikap kepemimpinan yang bijaksana, perselisihan dapat didamaikan, kata Wiwiek Hidayat (alm), mantan kepala kantor LKBN Antara Surabaya langsung kepada penulis.

Banyak cerita tentang Mr.Soerjadi ini yang penulis peroleh Wiwiek Hidayat yang tinggal di Jalan Jimerto 23 A atau Jalan Jaksa Agung Suprapto 31 Surabaya itu. Pak Wiwiek – begitu wartawan senior ini biasa disapa – banyak tahu tentang Surabaya, sehingga tidak mengherankan kalau Walikota Surabaya R. Soekotjo mempercayakan kepadanya untuk memimpin tim penyusunan sejarah Surabaya tahun 1973.

Tahun 1947 hingga 1949, katanya, situasi negara kita ini dalam keadaan menegangkan. Konfrontasi secara nasional dengan pihak Belanda masih terjadi. Belanda masih berusaha untuk mencengkamkan kembali kekuasaannya di tanahair tercinta ini. Kerajaan Belanda tidak mengakui kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945.

Kordinasi dengan Pemerintahan Provinsi Jawa Timur pada zaman Mr. Soerjadi berjalan baik, di samping dengan Residen Sudirman. Ada tiga gubernur yang menjadi atasan langsung Mr. Soerjadi. Pertama, RT Soerjo yang memerintah sejak tahun 1945 hingga 1948. Belanjut yang kedua dengan gubernur Jatim, Dr. Moerdjani tahun 1948-1949 dan yang ketiga, saat pemerintahan gubernur Jatim R. Samadikoen.

Sebagai walikota Surabaya dalam keadaan negara yang bergolak, kepemimpinan Mr. Soerjadi layak dicatat sebagai penegak kedaulatan pemerintahan sipil di Surabaya, kata Wiwiek Hidayat yang pernah dinobatkan Panglima Besar Jenderal Sudirman sebagai “wartawan perang” itu.

Kepada penulis saat di akhir hayatnya, Pak Wiwiek sempat mengeluh. Ia merasa heran terhadap beberapa pejabat di kantor Pemkot Surabaya, mengapa dalam pemerintahan kota Surabaya terjadi “diskriminasi” sejarah. Jasa yang begitu besar dari para walikota di zaman perang kemerdekaan, seolah-olah tidak pernah ada. Menurut Pak Wiwiek, ia tahu persis bagaimana kiprah walikota Radjamin Nasution dan Mr.Soerjadi. Sebagai seorang wartawan, ia sering hanya berdua dengan sang walikota. Wawancara khusus, katanya.

Sebagai pejabat pemerintahan kota Surabaya, kiprah ke dua walikota ini patut diabadikan. Apalagi hingga akhir hayatnya ke dua orang itu masih tetap peduli dengan kota Surabaya. Merekapun meninggaldunia dan dimakamkan di bumi Surabaya, kata mantan Kepala LKBN Antara di Filipina itu.

Namun ujar Wiwiek Hidayat, ia tidak tahu persis bagaimana dengan walikota Indra Koesoema, sebab, dia hanya sebentar menjabat. Saat itu Indra Koesoema adalah hakim di Pengadilan Surabaya. Dia menggantikan Mr.C.J.C. Becht, Kepala Urusan Haminte saat Belanda kembali mengambilalih pemerintahan. Tiga bulan di sejak Desember 1945 dan berakhir Februari 1946. Setelah itu, walikota dijabat oleh Mr.Soerjadi sampai tahun 1950.

H.Doel Arnowo

Lima tahun menjadi walikota Surabaya, bagi Mr.Soerjadi adalah merupakan pengabdian yang cukup sebagai abdi negara. Apalagi waktu itu adalah masa penataan kembali bangsa ini sehabis diobrak-abrik oleh penjajah yang ingin mencengkeramkan kembali kuku kolonilaismenya di bumi Pertiwi.

Tahun 1950, setelah “Penyerahan Kedaulatan” , walikota Surabaya dijabat oleh Doel Arnowo. Doel Arnowo adalah tokoh Surabaya yang sebelumnya menduduki jabatan Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Keresidenan Surabaya yang terbentuk tanggal 27 Agustus 1945.

Hanya dua tahun Doel Arnowo menjadi walikota Surabaya, yakni hingga 1952.

Dalam masa pemerintahan Doel Arnowo ini, ada sejarah luar biasa yang dicatat Pemkot Surabaya. Di tahun 1950 itu, Presiden Soekarno menetapkan Surabaya sebagai Kota Pahlawan. Pada upacara peringatan peristiwa bersejarah 10 November 1945 yang pertamakalinyaberlangsung di Surabaya, 10 November 1950, Bung Karno menyatakan tanggal 10 November sebagai “Hari Pahlawan”.

Bersamaan dengan itu, Bung Karno juga melaksanakan peletakan batu pertama pembangunan Tugu Pahlawan di bekas lahan gedung Raad van Justitie (pengadilan tinggi) zaman Belanda dan markas Kenpetai pada zaman Jepang. Tanggal 17 Agustus 1952, pembangunan Tugu Pahlawan selesai dan diresmikan sebagai monumen bersejarah untuk memperingati perjuangan heroik Arek Suroboyo melawan Sekutu dan Inggris, serta Belanda.

Tahun 1952, arek kampung Genteng ini diganti Moestadjab Soemowidagdo. Di masa pemerintahan Moestadjab Soemowidagdo inilah secara bertahap pembangunan Surabaya ditata. Sebab, sejak walikota pertama (Radjamin Nasution), hingga walikota hingga walikota ke empat (Doel Arnowo), pemerintahan lebih terfokus kepada perjuangan kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan.

Berikutnya, pemerintahan kota Surabaya berjalan di bawah kendali Pemerintah Republik Indonesia. Setelah lima tahun memerintah, Moestadjab sebagai walikota tahun 1956 diganti oleh walikota R.Istidjab Tjokrokoesoemo (1956-1958). Kemudian berturut-turut Kota Surabaya dipimpin walikota Dr.R.Satrio Sastrodiredjo (1958-1964), Moerachman,SH (1964-1965), Kolonel R.Soekotjo (1965-1974).

Saat walikota dijabat R.Soekotjo, sebutan walikota ditambah menjadi Walikota Kotamadya Surabaya. Sewaktu walikota berikutnya, Kolonel HR Soeparno (1974-1979), sebutan untuk walikota diubah menjadi Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II (KDH) Tk.II Surabaya. Begitu pula saat kursi walikota diduduki Kolonel CPM Drs.Moehadji Widjaja (1979-1984).

Tahun 1984, walikotamadya Surabaya beralih kepada Kolonel dr.H.Poernomo Kasidi yang memerintah dua kali masa jabatan hingga tahun 1994. Dalam pemerintahan Poernomo Kasidi ini, tahun 1988 ditetapkan adanya jabatan Wakil Walikota untuk Kotamadya Surabaya. Orang yang mendapat kepescayaan sebagai wakil walikotamadya itu adalah Drs.H.Soenarjo (1988-1992). Tahun 1992, Soenarjo diganti oleh Drs.Istijono Soenarto.

Setelah habis masa jabatan dr.H.Peornomo Kasidi, tahun 1994, terpilihlah Kolonel H.Sunarto Sumoprawiro sebagai walikotamadya Surabaya dengan wakil walikotamadya tetap Drs.Istijono Soenarto. Tahun 1995, Istijono diganti oleh Drs.Wardji sampai tahun 2000. Masa jabatan Cak Narto – panggilan akrab untuk Sunarto Sumoprawiro – habis tahun 1998. Namun, karena suasana politik Indonesia di awal masa Reformasi, pemilihan walikota tak mungkin dilaksanakan, maka masa jabatan Cak Narto diperpanjang hingga Juni 2000.

Sewaktu dilaksanakan pemilihan walikota – sesuai dengan Undang-undang No.22 Tahun 1999, sebutan walikotamadya KDH Tk.II diubah menjadi walikota – terpilihlah pasangan Cak Narto bersama Drs.Bambang Dwi Hartono,MPd sebagai walikota dan wakil walikota Surabaya untuk masabakti 2000-2005. Dalam perjalanan pemerintahannya, pada tanggal 15 Januari 2002, H.Sunarto Sumoprawiro, diberhentikan oleh DPRD Kota Surabaya sebagai walikota. Kemudian, sejak Juni2002, Wakil Walikota Drs.Bambang Dwi Hartono,MPd diangkat sebagai Walikota Surabaya untuk menghabiskan sisa masabakti pasangan Cak Narto-Bambang DH hingga 2005.

Tanggal 7 Maret 2005, masajabatan Bambang DH berakhir. Ia diberhentikan dengan hormat. Pada hari itu Gubernur Jawa Timur, H.Imam Utomo melantik Asisten I (Bidang Tatapraja) Sekretaris Provinsi Jatim , Drs.H.Chusnul Arifien Damuri,MM,Msi sebagai Pejabat (Pj) Walikota Surabaya.

Sesuai dengan perundang-undang baru, yakni Undang-undang No.32 tahun 2004, penggantian kepala daerah dilaksanakan dengan pemilihan langsung. Kepala daerah, yakni: gubernur, walikota dan bupati. Untuk pertamakalinya Pilkada (pemilihan kepala daerah) langsung diselenggarakan 27 Juni 2005.

Dalam Pilkada langsung pemilihan walikota langsung berpasangan dengan wakil walikota. Empat pasang calon walikota-wakil walikota yang dipilih warga kota Surabaya itu adalah:

(1) Ir.H.Erlangga Satriagung berpasangan dengan Drs.A.Hermas Thony. (2) Drs.Bambang Dwi Hartono,MPd berpasangan dengan Drs.Arif Afandi. (3) Drs.H.Gatot Sudjito,MSi berpasangan dengan Ir.Benyamin Hilly,MSi. (4) Ir.H.Alisjahbana,MA berpasangan dengan Drs.H.Wahyudin Husein.

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung, 27 Juni 2005, dimenangkankan pasangan Bambang DH dengan Arif Afandi. Kemudian pasangan Bambang DH dengan Arif Afandi dilantik 31 Agustus 2005 dan sekaligus pada hari itu berakhir masa jabatan Chusnul Arifin Damuri sebagai Pj.Walikota Surabaya.

Pasangan walikota dengan wakil walikota hasil Pilkada 2005, Bambang DH denganArief Afandi, memimpin Kota Surabaya untuk masabakti 2005-2010.

Fotonya Tak Dipajang

Pemerintah Kota Surabaya perlu diingatkan, dalam gedung-gedung resmi Pemerintah Kota Surabaya, tiga walikota sejak Indonesia merdeka tidak terpajang seluruhnya. Tiga foto mantan walikota pertama sampai ke tiga, yakni Radjamin Nasution, Mr.Indrakoesoema dan Mr.Soerjadi, tak terpanjang di tempat-tempat resmi di lingkungan Pemkot Surabaya. Seharusnya foto mereka itu dipasang dan digantung di gedung balaikota, gedung Pemerintahan Kota Surabaya dan rumah dinas walikota, serta di tempat lain yang layak.

Kecuali itu, foto mantan walikota Surabaya, Murachman,SH (1964-1965) karenaterlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September (G.30.S)/PKI (Partai Komunis Indonesia), juga tidak pernah dipajang. Ini mungkin pertimbangan politis.

Generasi muda memang layak mempertanyakan, mengapa yang dipajang, hanya mulai dari Walikota Doel Arnowo? Seolah-olah terjadi diskriminasi dan“pembohongan publik”, Selama ini, seolah-olah walikota pertama Surabaya itu adalah Doel Arnowo. Tetapi, kemudian untuk sekedar berkelit, maka disebutkanlah bahwa Doel Arnowo adalah walikota Surabaya pertama setelah “Penyerahan Kedaulatan”. Apakah memang ketentuannya demikian?

Sejarah harus diluruskan dan terbuka secara jujur. Jadi mengapa harus berat mengatakan bahwa walikota Surabaya yang pertama itu adalah “orang Batak” yang bernama Radjamin Nasution gelar Sutan Komala Pontas.

Kalau mau jujur, di berbagai kota dan kabupaten, foto-foto walikota dan bupati berkebangsaan Belanda dan Jepang juga ikut dipajang dan ditulis dalam prasasti. Sebagai contoh lagi, di kantor Gubernur Jawa Timur, foto-foto gubernur sejak zaman Belanda sampai Gubernur Jatim saat ini, H.Imam Utomo terpasang dan dipajang dengan rapi.

Lima foto gubernur Belanda yang dipajang di kantor Gubernur Jatim, adalah: M.Ch.Handerman (1928-1931), Ch de Man (1931-1933), JHB Kuneman (1933-1936), Ch.O.Van Der Plas (1936-1941), Mr.Ch.Hartevelt (1941-1942). Juga disebutkan nama Penguasa Perang di Jawa Timur oleh Pemerintahan Jepang yang bernama Syuchokan dijabat oleh Yasaoka Masaomi dengan wakilnya Soedirman – dikenal kemudian sebagai Residen Sudirman (1942-1945).

Berikut juga dipajang foto-foto gubernur Jatim di zaman merdeka, yaitu: RT Soeryo (1945-1948), Dr.Moerdjani (1948-1949), R.Samadikoen (1949-1957), RTA Milano (1957-1959), R.Soewondo R (1959-1963), Moch Wijono (1963-1967), RP Moh.Noer (1967-1976), R.Soenandar Prijosoedarmo (1976-1983), H.Wahono (1983-1988), H.Soelarso (1988-1993), HM Basofi Soedirman (1993-1998) dan H.Imam Utomo (1998-2008), serta begitu pula seterusnya nanti.

Dari Burgemeester ke Walikota

Selengkapnya inilah nama-nama Burgemeester, Kepala Pemerintahan Kota sampai ke Walikota Surabaya sejak 1 April 1906 hingga sekarang:

No.:Nama:Sebutan Jabatan : Masa Jabatan

1 : Mr.A.Meyroos : Burgermeester:1916-1920

2 : Ir.G.J.Dijkermen: Burgermeester:1920-1926

3 : H.J.Bussemaker: Burgermeester:1926-1932

4 : Ter Poorten: Burgermeester:1932-1936

5 : MHW Van Helsdingen: Burgermeester:1936-1942

6 : Mr.W.A.H.Fuchter: Burgermeester:1942(Jan-Feb)

7 : Radjamin Nasution: Pejabat Walikota:1942-1943

8 : Takahashi Ichiro: Shi Tyo:1943-1945

– Radjamin Nasution: Asisten Shi Tyo:1943-1945

9 : Radjamin Nasution: Walikota:1945(Ags-Nov)

10 : Mr.C.J.C. Becht: Kepala Urusan Haminte: 1945 (Nov)

11 : Mr.Indrakoesoema: Walikota:1945-1946

12 : Mr.Soerjadi: Walikota:1946-1950

13 : Doel Arnowo: Walikota:1950-1952

14 : Moestadjab Soemowidigdo: Walikota:1952-1956

15 : R.Istidjab Tjokrokoesoemo: Walikota:1956-1958

16 : dr.R.Satrio Sastrodiredjo: Walikota:1958-1964

17 : Moerachman, SH: Walikota:1964-1965

18 : R.Soekotjo: Walikota:1965-1969

19 : R.Soekotjo: Walikota Kotamadya:1969-1974

20 : HR Soeparno: Walikotamadya:1974-1979

21 : Drs.Moehadji Widjaja: Walikotamadya: 1979-1984

22 : dr.Poernomo Kasidi: Walikotamadya:1984-1989

– Drs.H.Soenarjo: Wakil Walikotamadya:1988-1989

23 : dr.H.Poernomo Kasidi: Walikotamadya:1989-1994

– Drs.H.Soenarjo: Wakil Walikotamadya:1994-1992

– Drs.Istiono Sunarto: Wakil Walikotamadya:1992-1994

24 : H.Sunarto Sumoprawiro: Walikotamadya:1994-2000

– Drs.Istiono Sunarto: Wakil Walikotamadya:1994-1995

– Drs.H.Wardji: Wakil Walikotamadya:1995-2000

25 : H.Sunarto Sumoprawiro: Walikota:2000-2002

– Drs.Bambang Dwi Hartono,MPd: Wakil Walikota:2000-2002

26 : Drs.Bambang Dwi Hartono,MPd: Walikota:2002-2005

27 : Drs.H.Chusnul Arifien Damuri,MSi: Pj.Walikota:2005(7 Maret- 30 Agst)

28 : Drs.H.Bambang Dwi Hartono,MPd: Walikota:2005-2010

– Drs.H.Arif Afandi: Wakil Walikota:2005-2010

29: Ir.Tri Rismaharini,MT: Walikota:2010-2015

-Drs.H.Bambang Dwi Hartono,MPd:Wakil Walikota:2010-2015

Dari urutan kepala pemerintahan Kota Surabaya sejak berbentuk gemeente yang dipimpin burgermeester di zaman penjajahan Belanda, hinggaShi Tyo pada penjajahan Jepang, kemudian Walikota mulai zaman kemerdekaan sampai sekarang, walikota pertama Surabaya adalah Radjamin Nasution.

Ternyata, Pemkot Surabaya menyadari hal ini. Dalam “buku kerja” tahun 2006, pada halaman 23, nama Radjamin Nasution sudah diletakkan pada urutan pertama nama-nama walikota Surabaya sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Berikut nama walikota kedua dan ketiga, Mr Indra Koesoema dan Mr Soerjadi. Begitu pula dengan nama dr.Satrio dan Moerachman,SH.

Diperoleh informasi, saat ini Pemkot Surabaya sedang berusaha mencari foto ke empat orang itu untuk dipajang di tempat-tempat resmi di balaikota dann kantor Pemkot Surabaya.

Tidak hanya foto-foto mantan walikota Surabaya yang seharusnya dilengkapi, tetapi juga perlu menelusuri jejak langkah kepemimpinan mereka. Para saksi mata dan saksi sejarah yang masih hidup sekarang ini, selayaknya memberi masukan ke Pemerintah Kota Surabaya.

Warga kota Surabaya juga menginginkan, apabila pada peringatan Hari Jadi Surabaya, tiap tanggal31 Mei, dilaksanakan ziarah ke makam-makam mantan walikota Surabaya yang terpencar di tiga tempat. Ada yang di pemakaman Rangkah, ada yang di TPU Ngagel dan TMP 10 November Jalan Mayjen Sungkono. ***