Balada Pedagang Kaki Lima

Bukan Menggusur

Tetapi Menertibkan

Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)

Yousri Nur RA MH

Yousri Nur RA MH

SILIH berganti walikota Surabaya dari zaman ke zaman, selalu menyatakan tidak akan menggusur PKL (Pedagang Kaki Lima). Mereka itu akan dibina, bukan dibinasakan. Untuk itulah, maka kebijakan yang dilakukan para walikota Surabaya adalah memberdayakan PKL. Sehingga, akhirnya komitmen Pemkot Surabaya itu diwujudkan dengan disahkannya Perda (Peraturan Daerah) Pembardayaan Pedagang Kaki Lima sejak Jumat 19 September 2003.

Kendati pernyataan para petinggi di Pemkot Surabaya tidak akan menggusur PKL, pada kenyataannya hampir tiap hari ada berita tentang “obrakan” PKL di jalan-jalan dan tempat-tempat tertentu di Kota Surabaya. Itu memang benar, pengertian obrakan bukanlah penggusuruan, tetapi penertiban, begitu istilah yang lazim kita dengar. Penertiban yang dilakukan aparat Pemkot Surabaya, seperti petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang kadang-kadang dibantu aparat kepolisian, memang bukan menggusur PKL, tetapi menertibkan.

Arti menertibkan di sini, karena banyak PKL yang mengabaikan kepentingan umum atau orang lain di jalan raya atau di sekitar lingkungan permukiman. Tidak jarang, lalulintas terhambat dan bahkan macet total, akibat terhalang oleh PKL yang tumpah ke badan jalan. Padahal, menurut aturan, berdagang di trotoar saja sudah melanggar hukum, apalagi di badan jalan. Kecuali itu, sering pula para PKL itu berdagang di depan rumah atau bangunan toko milik orang yang menghalagi ke luar masuk pemilik rumah atau bangunan. Karena PKL ini mengabaikan pintu masuk dan keluar si pemilik bangunan.

Penertiban yang cukup menonjol berlangsung di Jalan Tunjungan untuk PKL yang menjual kaset VCD dan pakaian jadi, di depan Stasiun Wonokromo dan di sekitar Pasar Keputran terhadap pedagang sayur-mayur. Demikian pula di sepanjang jalan protokol, di Taman Surya dan Sedapmalam untuk berbagai jenis dagangan, di samping secara rutin di berbagai tempat lainnya.

Penertiban yang dilakukan Pemkot Surabaya, selalu dikatakan dilaksanakan sesuai prosedur dan profesional. Jadi, tidak asal gusur atau dengan seenaknya melakukan obrakan terhadap para pelanggar. Sebelumnya sudah berulangkali disosialisasikan dan diperingatkan agar PKL berjualan di tempat yang tidak melanggar ketentuan hukum. Namun, di sinilah permasalahannya. Sebab, PKL mempunyai prinsip yang berbeda dengan teori penertiban.

Berulangkali aparat Pemkot Surabaya melakukan penertiban PKL, mulai di jalan-jalan protokol atau di sebut tujuh jalur utama di Kota Surabaya, ditambah lagi di jalan-jalan arteri yang seharusnya bebas dari hambatan dan lancar digunakan sebagai sarana lalulintas. Sebagai contoh, Jalan Kapasari, mulai dari perempatan Jalan Kalianyar, Kusuma Bangsa dan Ngaglik sampai ke pertigaan Jalan Gembong. Sisi kiri kanan jalan ini biasa digunakan para PKL barang bekas atau loak. Padahal ini adalah salah satu jalan arteri yang selalu ramai menghubungkan kegiatan kendaraan besar jenis truk yang menuju ke Pelabuhan Tanjungperak.

Banyak contoh lain, seperti juga di Jalan Pahlawan di depan perkantoran PT.Pelni, Suratkabar dan majalah, bioskop Surabaya dan bank. Suasana di dekat Tugu Pahlawan ini tiap hari ramai, apalagi di hari Sabtu dan Minggu. Badan jalan sudah dimonopoli oleh PKL, sehingga kendaraan umum yang “paling berhak” menggunakan jalan raya itu “terpaksa” mengalah dan mengalihkan perjalanannya melalui jalan samping.

Tujuh jalur utama di Kota Surabaya, yakni: Jalan Tunjungan, Gubernur Suryo, Yos Sudarso, Panglima Sudirman, Basuki Rachmat, Embong Malang dan Blauran adalah jalan tengah kota yang selalu dinyatakan “bebas PKL”. Akibatnya berulangkali di tempat ini di adakan penertiban PKL. Tetapi, PKL tidak pernah mengalah. Mereka selalu saja kucing-kucingan dengan petugas penertiban dari Satpol PP. Jadi, apabila kemudian pengertian pembinaan berubah menjadi pembinasaan PKL, itu bukan salah yang menertibkan atau membinasakan, namun akibat PKL yang tidak mau tahu dengan aturan yang berlaku.

Membabibuta

Dari kacamata PKL, tindakan aparat Pemkot sering “membabibuta”, mereka mengabaikan jiwa dan rasa kemanusiawian. Di sinilah, timbul dilema dan problema sosial kemasyarakatan hidup “susah” di tengah kota Surabaya.

Sebenarnya pekerjaan Pemkot Surabaya tidak terlalu berat melakukan penertiban PKL ini, andaikata di kedua belah pihak terdapat saling pengertian. Sebab, bagaimanapun juga, adanya PKL merupakan salah satu pemecahan masalah di dalam kota secara universal. Keberadaan PKL mampu mengurangi krisis ekonomi yang berkepanjangan di era reformasi ini. Untuk itulah, seharusnya penataan dan pemberdayaan PKL itu melibatkan berbagai unsur yang ada di dalam masyarakat, termasuk masyarakat PKL itu sendiri.

Seharusnya stake holder yang berkepentingan dengan PKL dapat mencurahkan pikiran yang positif. Dengan demikian penataan PKL prospektif bagi warga kota secara umum, begitu pula bagi PKL itu sendiri. Di sinilah perlunya aparat Pemkot melibatkan secara langsung unsur PKL dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang peduli PKL dalam mencari pemecahan masalah. Sebab, selama ini kenyataannya para PKL itu “dibekingi” oleh LSM yang peduli terhadap PKL.

Penertiban PKL memang mempunyai berbagai masalah, di sini diperlukan pendekatan yang spesifik. Di era keterbukaan ini, dalam menertibkan PKL, aparat Pemkot harus “jujur”, bahwa penertiban PKL itu benar-benar demi kepentingan masyarakat, jadi bukan berdasarkan “order” dari orang atau kelompok tertentu. Kecurigaan inilah yang sering menjadi penghambat kelancaran penertiban PKL.

Di samping masalah penertiban PKL, sebenarnya yang perlu dijadikan landasan oleh Pemkot Surabaya adalah penyediaan lokasi untuk PKL. Sebab, pemberdayaan PKL itu tidak semata-mata melakukan penertiban, namun dicarikan jalan keluar yang tepat. Misalnya, penggusuran PKL dari Taman Surya dan Jalan Sedapmalam ke bagian belakang Mal Surabaya, atau tepatnya di THR (Taman Hiburan Rakyat), menuai protes dari para PKL. Walaupun karena “terpaksa” mereka pindah ke sana. Namun, hati mereka menjerit, hingga kemudian menjadi kenyataan. PKL yang berada di THR itu sepi pembeli. Padahal, PKL itu berjualan bukan mencari kaya dan menumpuk modal, namun sekedar memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari.

Studibanding

Sudah berulangkali ke berbagai tempat di kota-kota lain di Indonesia ini, bahkan sampai ke berbagai negara di luar negeri, aparat Pemkot Surabaya dan anggota DPRD Kota Surabaya melakukan studibanding tentang PKL. Sudah banyak masukan dan perbandingan yang sebenarnya dapat diserap untuk diterapkan di Kota Surabaya. Ditambah lagi, sumbangan pemikiran dari kunjungan wartawan, mahasiswa dan peneliti kampus ke berbagai tempat yang disampaikan kepada Pemkot dan DPRD Kota Surabaya. Tentu masukan itu semua dapat dijadikan landasan berpijak untuk memecahkan segala bentuk problema dan permasalahan.

Beberapa kota di Indonesia, dianggap mampu memecahkan masalah PKL. Sehingga aparat Pemkot dan DPRD, serta wartawan dan peneliti mengunjungi “kota besar” yang berhasil itu. Tetapi, setelah hasil studibanding itu disampaikan, ternyata pemecahan yang dilakukan di Kota Surabaya ini kelihatannya “mengabaikan” temuan dalam studibanding itu. Tidak banyak hasil studibanding yang disampaikan kepada aparat pelaksana di Pemkot Surabaya dilaksanakan. Rasanya hasil-hasil studibanding itu merupakan hal yang sia-sia atau mubazir.

Contoh, pola yang dilakukan Pemkot Makassar, Sulawesi Selatan yang menyediakan tempat khusus untuk PKL makana di pinggir pantai. Selain menikmati makanan, juga mengajak warga kota berekreasi menikmati alam. Penyediaan PKL khusus di berbagai tempat di Jakarta. Pernah pula melakukan studibanding ke Bandung, Semarang, Jogjakarta dan Medan. Bahkan ke Singapura, Malaysia, Thailand, Cina dan negara-negara di Eropa. Namun, tidak banyak perubahan yang terjadi dalam penanganan PKL di Surabaya ini sebagai hasil serapan studibanding yang dibiayai dengan sangat “mahal” itu.

Agar masalah PKL ini tidak selalu menjadi “lingkaran setan”, seyogyanya Pemkot Surabaya merancang dan merekayasa sedemikian rupa lokasi PKL yang strategis di setiap distrik atau wilayah. Pemanfaatan jalan-jalan yang sepi di malam hari sebagai lokasi PKL yang khusus berjualan di malam hari, perlu ditingkatkan. Tidak hanya memusatkan di Jalan kembang Jepun dengan Kya-kya yang sudah ada sejak 2003 lalu, tetapi juga perlu ada tempat lain. Karena, ada kesan, bahwa Kya-Kya mengandung unsur spesifik untuk etnis tertentu. Kya-Kya dalam bahasa Cina artinya: “jalan-jalan”. Walaupun kenyataannya, Kya-Kya melayani kepentingan semua suku dan etnis lain, selain Tionghoa.

Ternyata Kya-Kya yang ada di Kembang Jepun ini sama dan “menjiplak” model yang ada di Kota Medan. Di sana sejak tahun 2002, sudah dilakukan pemusatan pedagang penjual makanan, minuman dan mainan anak-anak di pusat kota. Di Jalan Kesawan yang disebut “Kesawan Squere” atau “pojok Kesawan”. Sejak zaman dulu, Jalan Kesawan itu terkenal sebagai pusat pertokoan elite, seperti Jalan Tunjungan di Surabaya, Jalan Malioboro di Jogjakarta atau Jalan Braga di Bandung. Artinya, Jalan Kesawan ini adalah jalan paling ramai di siang hari, tetapi ditutup total pada malam hari dan berubah menjadi pusat penjualan makanan, minuman dan mainan anak-anak.

Walaupun model Kya-Kya menjiplak dari Kesawan Squere, di Medan ini ada pemisahan yang tegas antara kelompok pedagang makanan Cina dengan kelompok pedagang Indonesia yang disebut Nusantara. Di ujung timur terdapat panggung hiburan lagu-lagu Mandarin dan di bagian barat panggung mobil yang menyajikan lagu-lagu Indonesia. Sedangkan di Kya-kya suasana membaur, tidak ada perbedaan penempatan makanan Cina dengan Nusantara. Ada masakan Jawa, Madura, Sunda, Makassar dan Padang. Ini kelihatan lebih positif, sehingga pemesanan makanan tidak terlalu sulit, karena mudah dijangkau.

Bagi Surabaya, di samping PKL permanen, tidak jarang muncul PKL kagetan, yaitu PKL yang bersifat musiman. PKL kagetan biasanya muncul di hari-hari besar dalam bentuk bazar, sedangkan yang lain muncul di tempat tertentu. Misalnya di sekitar Tugu Pahlawan, di sekitar masjid pada Hari Jumat dan di pagi Minggu di sekitar Masjid Al Akbar, serta di sekitar pabrik di hari Sabtu, biasanya saat buruh atau karyawan menerima bayaran upah. ***

*) Yousri Nur Raja Agam MH, Ketua Yayasan Peduli Surabaya.

2 Tanggapan

  1. kasus antara PKL dan aparat Trantib adalah persoalan klasik sejak dulu dan selalu berulang hingga kini….
    Pedagang selalu merasa hak2nya dirampas sedangkan pemda selalu berkelit atas nama ketertiban dan pembangunan…
    Pemerintah harusnya bisa memberi solusi terlebih dulu sebelum menggusur… sedangkan para pedagang harus bisa memahami pula pihak pemerintah dengan tidak berdagang sembarangan….
    salam

    ————-
    Betul Bung Arsyad. Seharusnya pihak pemerintah melindungi warganya yang menggerakkan ekonomi kerakyatan melalui kegiatan PKL. Memang, “menggusur” mudah, tetapi melakukan penertiban dengan disertai pembinaan lebih diharapkan. (Yousri)

  2. mungkin masalahnya memang ada di kedua belah pihak
    yang pedagang tidak mau diatur
    yang pemerintah tidak mau mendengar

    ujung2nya tidak mau bertemu……
    ———–
    Dinyo, memang kenyataan demikian. Tetapi, seharusnya dalam keadaan ekonomi masyarakat yang “tercekik” ini Pemerintah seharusnya bijaksana melakukan pembinaan terhadap kegiatabn usaha kecil. Bukan “membinasakan”. (Yousri)

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: