YOUSRI BERSAMA ROTARY CLUB SURABAYA DARMO

Keluarga besar Rotary Club Surabaya Darmo, di Hotel JW Marriott, Surabaya

Saya sekarang bergabung dengan organisasi “Pengabdian” bertaraf internasional Rotary Club.  Ikutnya saya di Rotari Club Surabaya Darmo (RCSD) disponsori mantan Presiden Rotari Club Surabaya Darmo, H.Soeharto.

Sebagai anggota RC Internasional, saya sudah mendapat No.ID: 8465592.

Saat saya bergabung di RCSD ini, anggotanya menjadi 29 orang. Rekan-rekan saya itu adalah:

1) Andreas Pitono, 2) Arman Dekanova, 3) Aryani Widagdo, 4) Djoni Yudiyanto, 5) Ferry Loanata, 6) Gandhi Faile Sifianto, 7) Gatut Prasetyo, 8) Handrijanto Tjandrakusuma, 9) Harianto, 10) Hendrik Gunadi, 11) Hendro Siswanto, 12) Hermanto Angka, 13) Herry Wakarie, 14) IB Robin Hartawidjaja, 15)  Irawan Susilo, 16)  Januar Tirtaamidjaja, 17) Kristiono Lokito, 18) Leonardo Gunawan, 19) Lim Tjuwang U, 20) M.YOUSRI NUR RAJA AGAM, 21) Peter Soewondo, 22) Rizya Sunjaya, 23) Soeharto, 24) Subur Hariyono,  25) Virgianto Budi Prabowo, 26) Wiet Owen Panda, 27) Yoelianto Gunawan, 28) Yulianto Ersan, 29) Yuyun Mochtar.

Pertemuan para sahabat saya di RCSD ini berlangsung setiap Hari Senin, pukul 13.00 – 14.00 WIB bertempat di Meeting Room Latani 3 Hotel JW Marriott, Jalan Embong Malang 85 Surabaya. Dengan selalu bersama Sekretaris Eksekutif: Wanda Syahputri.

Dari pengalaman bergabung dengan para senior di bidang Pengabdian untuk bidang-bidang sosial kemasyarakatan ini, saya mengimbau kepada rekan-rekan lain untuk bergabung. Organisasi ini tidak membedakan bangsa,  negara, agama, suku, ras maupun golongan. Yang penting siap dengan jiwa pengabdian demi kemanusiaan.

********

ROTARY CLUB SURABAYA DARMO

SPONSORI PERTUKARAN PELAJAR KE LUAR NEGERI

Senin, 27 Agustus 2012 11:08

Surabayakita.com

Rotary Club International of Surabaya Darmo menggelar program pertukaran remaja/pelajar (Youth Exchange Programe) Kota Surabaya tahun 2012.

Program pertukaran remaja/pelajar ke luar negeri ini sudah berlangsung sejak tahun 1974.  “Tahun 2012 ini kami memberangkatkan dua orang siswa SMA dari kota Surabaya ke Amerika Serikat tanggal 25 Agustus 2012 dan ke Prancis tanggal 27 Agustus 2012 melalui Bandara Juanda,” kata Yousri Nur Raja Agam, PR Rotary,Senin (27/8/2012).

Keberangkatan dua anak dari Surabaya ke luar negeri itu dilepas oleh Presiden RCSD (Rotary Club Surabaya Darmo) Djoni Yudiyanto bersama orangtua ke dua anak tersebut, serta para anggota RCSD.

Adapun dua anak yang akan berangkat ke Amerika Serikat dan Perancis, serta tiga anak dari luar negeri yang akan mengikuti pelajaran selama satu tahun di Kota Surabaya adalah:
Riskia Desi Yudiari dari SMAN 16 Surabaya tujuan Michigan, USA.Satunya lagi Maria Fidelia Susanto dari SMA Santa Maria Surabaya,tujuan Perancis.

Sedangkan tiga anak dari luar negri yang bakal berada di Kota Surabaya adalah Emily Grace Remaly asal  Glen Court, Germansville, PA serta Ana Flavia Silva Gomes asal Praca Joanica Antunes no.58 Piedade,Itauna.Juga Meredith Leslie Bonczuk dari Sault St Marie CANADA.

Youth Exchenge program yang lebih dikenal dengan YEP adalah program pertukaran pelajar remaja yang diselenggarakan oleh Rotary Internasional . Setiap tahun YEP memeberikan kesempatan kepada para remaja pelajar sekolah menengah berusia 16-18 tahun di seluruh dunia untuk saling mengunjungi dan saling merantau ke bagian dunia lain.

Mereka akan tinggal selama 1 tahun dalam lingkungan yang sama sekali berbeda dari mana mereka berasal  yang mungkin tak terbanyangkan sebelumnya.
Rotary Internasional menyakini bahwa cara terbaik untuk mempromosikan saling pengertian antar bangsa dan perdamaian adalah pengenalan sejak dini secara langsung kepada budaya yang berbeda beda. Diharapkan dengan  pengalaman melalui YEP ini akan menyemai bibit dan saling pengertian antar bangsa di dunia.(red)

SUPERSEMAR — SURAT RESMI TANPA NOMOR

Supersemar  

Surat Perintah Tanpa Nomor

Yousri Nur RA  MH

Oleh:  Yousri Nur Raja Agam  MH *)

Hari ini Supersemar berusia 46 tahun, Surat sakti masaPemerintahan Orde Baru.

Sebuah surat resmi, dokumentasi negara yang menjadi “saksi” sejarah,  ternyata tidak selamanya akurat. Biasanya selembar surat resmi, apalagi surat yang dikeluarkan oleh pejabat pengambil keputusan, pasti dikonsep oleh seorang ahli atau pakar. Lalu surat itu ditelaah dan menjalani birokrasi dengan memberikan paraf dan disposisi untuk sampai kepada pejabat tertinggi yang mengeluarkan keputusan.

Kendati demikian, lain halnya dengan Surat Perintah Sebelas Maret  yang dikenal dengan singkatan Supersemar. Surat Perintah dari Presiden Republik Indonesia, Dr.Ir.H. Sukarno tanggal 11Maret tahun 1966. Surat dari pejabat paling tinggi di Negara RI ini, selalu dipermasalahkan setelah era reformasi. Padahal, di zaman Orde Baru, saat Presiden RI, HM Soeharto berkuasa, Supersemar itu adalah surat “paling sakti”.

Begitu istimewanya surat ini,  selama 32 tahun lebih “kelahiran” surat ini diperingati setiap tahun. Surat yang bernama Supersemar ini “ulang tahunnya” dirayakan tiap tahun. Bahkan melebihi perayaan ulangtahun hari bersejarah lainnya.

Nah, mengapa begitu istimewanya tanggal 11 Maret bagi Supersemar? Setelah Soeharto mengakhiri masa kekuasaannya sebagai pemimpin Orde Baru, berbagai komentar dan  silang bertingkah pun menyeruak ke permukaan. Berbagai hujatan juga ditujukan terhadap Supersemar dan peleksana Supersemar itu. Pro-kontra terhadap lahirnya supersemar bermunculan.

Kecaman yang paling tajam terhadap kesaktian Supersemar itu, pasti dari mereka yang menjadi korban akibat Supersemar itu sendiri. Mereka adalah para musuh atau dianggap musuh oleh rezim Orde Baru yang berkuasa sejak tahun 1966 hingga 1999. Walaupun sesungguhnya banyak pula segi positif yang dihasilkan pemerintahan yang memegang kekuasaan dari Supersemar itu.

Sukarno bersama Soeharto

Sukarno bercengkrama dengan Soeharto

Berbicara tentang Supersemar, bayangan kita akan tertuju kepada dua presiden, yakni Presiden Sukarno dan Presiden Soeharto. Sebab dengan Supersemar itulah salah satu penyebab beralihnya kekuasaan di republik ini dari Sukarno kepada Soeharto. Walaupun secara resminya jabatan Presiden RI beralih dari Sukarno kepada Soeharto pada tahun 1968.

Tanpa Nomor

Sudah banyak buku sejarah dan dokumentasi media yang  kita baca. Beraneka opini dan informasi yang tersiar dan tersebar di jagat nyata dan jagat maya. Semua narasumber menyajikan yang terbaik menurut  versinya. Artinya, semua menjual kecap nomor satu.

Tetapi bagaimana dengan Supersemar? Kendati Surat Perintah ini “tanpa nomor”,  larisnya luar biasa. Kecap Nomor Satu, tidak ada apa-apanya dibanding Supersemar. Surat Perintah “Tanpa Nomor” bertanggal 11 Maret 1966 yang ditandatangani Sukarno dengan dengan jabatan paling tinggi di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini yakni: Presiden/PanglimaTertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS,  tidak hanya laris manis, tetapi juga menjadi obat kuat bagi pemerintahan Orde Baru.

Jadi, kalau ada yang bertanya, apa istimewanya Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar itu? Jawaban yang paling pas adalah: “Itulah surat resmi kepala pemerintahan  Republik Indonesia yang berkuasa, yang tidak sah, berdasarkan hukum – saat itu. Mengapa tidak sah? Sebab surat resmi itu tidak diagendakan secara remi. Buktinya, Surat Perintah Presiden itu “Tidak ada Nomornya”.

Untuk menghapus jejak, karena surat resmi itu tidak ada nomor dan tidak diagendakan secara resmi di Sekretariat Negara, maka dipopularkanlah dengan sebutan Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret).

Coba anda perhatikan berbagai kejanggalan dari Supersemar ini. Selain tidak ada nomor suratnya, juga  aneh. Mengapa aneh? Sebab surat ini dikeluarkan di Bogor, tetapi di bawahnya tercantum, Jakarta. Sebuah lagi keanehan yang didiamkan adalah: Surat Perintah itu ditujukan kepada Panglima Angkatan Darat Soeharto yang pangkatnya masih Mayjen (Mayor Jenderal), tetapi pada Supersemar ditulis besar dan jelas Letnan Jenderal (Letjend) Soeharto.

Naskah "asli" Supersemar yang sempat dilipat dan dikantongiIni adalah lembaran Surat Perintah Sebelas Maret yang sudah menguning dan sempat dilipat-lipat

Sebaiknya, mari kita simak ulang peristiwa yang terjadi di Negara ini, saat lahirnya sang bayi bernama Supersemar.
Pangkopkamtib

Dulu ada lembaga bernama Kopkamtib, singkatan dari Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban. Lembaga ini dipimpin oleh seorang komanda yang disebut Panglima. Saat bayi Supersemar ini dilahirkan yang menjadi Panglima Kopkamtib atau pangkopkamtib adalah Letjen TNI Soeharto.

Supersemar yang ditandatangani Presiden Republik Indonesia Sukarno tanggal 11 Maret 1966 itu isinya: menginstruksikan kepada Soeharto, selaku Pangkopkamtib untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu.

Surat Perintah ini adalah versi yang dikeluarkan dari Markas Besar Angkatan Darat (AD) yang juga tercatat dalam buku-buku sejarah. Sebagian kalangan sejarawan Indonesia mengatakan bahwa terdapat berbagai versi Supersemar sehingga masih ditelusuri.

Versi resmi, awalnya keluarnya Supersemar terjadi ketika pada tanggal 11 Maret 1966, terjadi setelah Presiden Sukarno mengadakan sidang pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Kabinet ini dikenal dengan nama “kabinet 100 menteri“.

Pada saat sidang dimulai, Brigadir Jendral Sabur sebagai panglima pasukan pengawal presiden (Paspampres) yang bernama Tjakrabirawa melaporkan bahwa banyak “pasukan liar” atau “pasukan tak dikenal” yang belakangan diketahui adalah Pasukan Kostrad dibawah pimpinan Mayor Jendral Kemal Idris yang bertugas menahan orang-orang yang berada di Kabinet yang diduga terlibat G-30-S di antaranya adalah Wakil Perdana Menteri I Soebandrio.

Mendapat laporan tersebut, Presiden Sukarno bersama Wakil perdana Menteri I Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh berangkat ke Bogor dengan helikopter yang sudah disiapkan. Sementara Sidang akhirnya ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II Dr.J. Leimena yang kemudian menyusul ke Bogor.

Situasi ini dilaporkan kepada Mayor Jendral Soeharto yang pada saat itu selaku Panglima Angkatan Darat menggantikan Letnan Jendral Ahmad Yani yang gugur akibat peristiwa G-30-S/PKI itu. Mayor Jendral (Mayjend) Soeharto saat itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit.

Mayor Jendral Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi (AD) ke Bogor untuk menemui Presiden Sukarno di Istana Bogor yakni Brigadir Jendral M. Jusuf, Brigadir Jendral Amirmachmud dan Brigadir Jendral Basuki Rahmat. Setibanya di Istana Bogor, pada malam hari, terjadi pembicaraan antara tiga perwira tinggi AD dengan Presiden Soekarno mengenai situasi yang terjadi dan ketiga perwira tersebut menyatakan bahwa Mayjend Soeharto mampu mengendalikan situasi dan memulihkan keamanan bila diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberikan kewenangan kepadanya untuk mengambil tindakan.

Presiden Sukarno setuju untuk itu dan dibuatlah surat perintah yang ditujukan kepada Mayjend Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.

Supersemar tersebut tiba di Jakarta pada tanggal 12 Maret 1966 pukul 01.00 waktu setempat yang dibawa oleh Sekretaris Markas Besar AD Brigjen Budiono. Hal tersebut berdasarkan penuturan Sudharmono, saat itu ia menerima telpon dari Mayjend Sutjipto, Ketua G-5 KOTI, 11 Maret 1966 sekitar pukul 10 malam. Sutjipto meminta agar konsep tentang pembubaran PKI disiapkan dan harus selesai malam itu juga. Permintaan itu atas perintah Pangkopkamtib yang dijabat oleh Mayjend Soeharto. Bahkan Sudharmono sempat berdebat dengan Moerdiono mengenai dasar hukum teks tersebut sampai Supersemar itu tiba.

Kemudian setelah Supersemar disiarkan kepada masyarakat, maka secara bertahap tampuk kekuasaan yang sebelumnya berada di tangan Presiden Sukarno secara bertahap, baralih kepada Soeharto.
Membubarkan PKI

Setelah keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966, ditindaklanjuti oleh Mayjen TNI Soeharto sebagai pengemban Supersemar segera mengambil tindakan untuk menata kembali kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

Langkah peling strategis yang dilakukan Soeharto pada tanggal 12 Maret 1966, adalah mengeluarkan surat keputusan yang berisi pembubaran dan larangan PKI beserta ormas-ormasnya yang bernaung dan berlindung atau senada dengannya, beraktivitas dan hidup di seluruh wilayah Indonesia.

Tidak tanggung-tanggung, keputusan tersebut diperkuat dengan Keputusan Presiden/Pangti ABRI/Mandataris MPRS No.1/3/1966 tangal 12 Maret 1966. Keputusan pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya mendapat sambutan dan dukungan dari seluruh rakyat, Sebab, ini merupakan salah satu butir yang diperjuangkan oleh Angkatan 66 melalui aksinya mewujudkan Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat), yakni: Bubarkan PKI, Turunkan Harga dan Reshufle Kabinet.

Berikutnya tanggal 18 Maret 1966 pengemban Supersemar mengamankan 15 orang menteri yang dinilai tersangkut dalam G 30 S/PKI dan diragukan etika baiknya yang dituangkan dalam Keputusan Presiden No. 5 Tanggal 18 Maret 1966. Diteruskan pada tanggal 27 Maret 1966, berdasarkan Supersemar dibentuk Kabinet Dwikora yang disempurnakan untuk menjalankan pemerintahan. Tokoh-tokoh yang duduk di dalam kabinet ini adalah mereka yang jelas tidak terlibat dalam G 30 S/PKI.

Upaya lain yang juga menggunakan kesaktian Supersemar adalah membersihkan lembaga legislatif dimulai dari tokoh-tokoh pimpinan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) dan DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) yang diduga terlibat G 30 S/PKI. Sebagai tindak lanjut kemudian dibentuk pimpinan DPRGR dan MPRS yang baru. Pimpinan DPRGR baru memberhentikan 62 orang anggota DPRGR yang mewakili PKI dan ormas-ormasnya.

Pemagang Supersemar juga melakukan koreksi atas pemerintahan yang menggunakan system Trias Politika. Memisahkan jabatan pimpinan DPRGR dengan jabatan eksekutif sehingga pimpinan DPRGR tidak lagi diberi kedudukan sebagai menteri. MPRS dibersihkan dari unsur-unsur G 30 S/PKI. Seperti halnya dengan DPRGR, keanggotaan PKI dalam MPRS dinyatakan gugur. Sesuai dengan UUD 1945, MPRS mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada lembaga kepresidenan.

Pengamanan Menteri
Mayjen. Soeharto selaku pengemban Supersemar mengambil tindakan dengan “pengamanan” terhadap sejumlah Menteri Kabinet Dwikora yang disempurnakan dan tokoh-tokoh yang terlibat dalam G 30 S/PKI, yaitu sebagai berikut:

1. Dr. Subandrio : Wakil PM I, Menteri Departemen Luar Negeri, Menteri Luar Negeri/Hubungan Ekonomi Luar Negeri.
2. Dr. Chaerul Saleh : Wakil PM III, Ketua MPRS.
3. Ir. Setiadi Reksoprodjo : Menteri Urusan Listrik dan Ketenagaan.
4. Sumardjan : Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan.
5. Oei Tju Tat, S.H. : Menteri Negara diperbantukan kepada presidium kabinet.
6. Ir. Surachman : Menteri Pengairan dan Pembangunan Desa.
7. Jusuf Muda Dalam : Menteri Urusan Bank Sentral, Gubernur Bank Negara Indonesia.
8. Armunanto : Menteri Pertambangan.
9. Sutomo Martopradoto : Menteri Perburuhan.
10. A. Astrawinata, S.H : Menteri Kehakiman.
11. Mayjen. Achmadi : Menteri Penerangan di bawah presidium kabinet.
12. Drs. Moh. Achadi : Menteri Transmigrasi dan Koperasi.
13. Letkol. Imam Sjafei : Menteri Khusus Urusan Pengamanan.
14. J.K Tumakaka : Menteri/Sekretaris Jenderal Front Nasional.
15. Mayjen. Dr. Soemarno : Menteri/Gubernur Jakarta Raya.
Sidang Umum MPRS

Tanggal 20 Juni sampai 5 Juli 1966 diadakan Sidang Umum IV MPRS dengan hasil sebagai berikut.
a. Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 tentang Pengesahan dan Pengukuhan Supersemar.
b. Ketetapan MPRS No. X/MPRS/1966 mengatur Kedudukan Lembaga- Lembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah.
c. Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan Politik Luar Negeri RI Bebas Aktif.
d. Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang Pembentukan Kabinet Ampera.
e. Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Tap. MPRS yang Bertentangan dengan UUD 1945.
f. Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Perundang-undangan di Indonesia.
g. Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Pernyataan PKI dan Ormas-Ormasnya sebagai Organisasi Terlarang di Indonesia.

Dengan berakhirnya Sidang Umum IV MPRS, berarti landasan awal Orde Baru berhasil ditegakkan. Demikian pula dua dari tiga tuntutan rakyat (Tritura) telah dipenuhi, yaitu pembubaran PKI dan pembersihan kabinet dari unsurunsur PKI. Sementara itu, tuntutan ketiga, yaitu penurunan harga yang berarti perbaikan bidang ekonomi belum diwujudkan. Hal itu terjadi karena syarat mewujudkannya perlu dilakukan dengan pembangunan secara terus-menerus dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Pelaksanaan pembangunan agar lancar dan mencapai hasil maksimal memerlukan stabilitas nasional.

Pelurusan lembaga legislatif dan eksekutif pasca-Supersemar Pelurusan lembaga legislatif dan eksekutif oleh pengemban Supersemar meliputi hal-hal berikut ini.
a. Pimpinan DPRGR tidak diberi kedudukan sebagai menteri, sebab DPRGR adalah lembaga legislatif, sedangkan menteri adalah jabatan dalam lembaga eksekutif.
b. Kedudukan presiden dikembalikan sesuai dengan UUD 1945 yakni di bawah MPRS bukan sebaliknya.***
Sumber: Majalah Vidya Yudha No.6 th.1969 Pussemad, Wikipedia dan lain-lain.

*) Yousri Nur Raja Agam  MH  — Wartawan Senior di Surabaya, Jawa Timur, Ketua DPP FKB KAPPI Angkatan 66 dan Alumni Resimen Mahasiswa Indonesia (Mahawarman).

Menyambut HPN 2009 (7) Masa Jaya Surabaya Post Ke Era Gurita Jawa Pos

Masa Jaya Surabaya Post

Ke Era Gurita Jawa Pos


Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)

PENATAAN mediamassa di Surabaya pada awal tahun 1970-an, tidak lepas dari pengaruh politik Pemerintahan Presiden Soeharto. Saat ini pemerintah Orde Baru mulai memperlihatkan kekuasaannya. Penerbitan pers kembali jadi ajang “pembelengguan”.

Situasi politik menjelang dan sesudah peristiwa 15 Januari 1974 yang dikenal dengan Malari (Malapetaka 15 Januari) di Jakarta cukup panas. Surabaya juga merasakan kehangatan suhu politik itu. Gejolak yang terjadi di ibukota berdampak langsung ke seluruh wilayah di Indonesia. Dunia pers dan jurnalistik yang selalu terlibat dalam berbagai kegiatan opini, tidak lepas dari pengaruh kekuasaan.

Salah satu arogansi kekuasaan yang diperlihatkan pemerintahan Orde Baru ini adalah melakukan pembredeilan atau memerintahkan pemberhentian penerbitan beberapa suratkabar di Jakarta. Di antaranya, tiga, yakni “Indonesia Raya” yang dipimpin H.Muchtar Lubis, “Pedoman” yang dipimpin H.Rosihan Anwar dan Harian KAMI yang dipimpin oleh H.Nono Anwar Makarim. Ke tiga SKH ini dilarang terbit, karena pemberitaannya menyudutkan pemerintahan.

Di Surabaya juga ada Harian Kami edisi Jatim yang dipimpin Sunansari Ecip (sekarang sebagai doktor komunikasi yang jadi staf pengajar di UI Jakarta dan Unhas Makasar) yang berafiliasi ke Harian Kami Jakarta. Dengan dibreidelnya Harian Kami di Jakarta, yang di Surabaya juga ikut dihentikan. Waktu itu, Harian Berita Yudha dan Harian Angkatan Bersenjata juga menerbitkan edisi Jatim. Kemudian Berita Yudha mengganti namanya mejadi Harian Bhirawayang dipimpin Kolonel (TNI-AD) H.Moh Said (alm) dan Angkatan Bersenjata menjadi Indonesia Bangun yang dipimpin oleh dr. Abdul Gafur (waktu itu Mayor TNI-AU dan terakhir dikenal sebagai mantan Menteri Pemuda dan Olahraga). Semuanya sudah terbit kecuali Harian Bhirawa.

Tahun 1970-an ini memang masa kritis berbagai suratkabar. Beberapa koran harian berhenti terbit akibat krisis pendanaan dan tekanan politik penguasa. Harian Perdamaian setelah 20 tahun berkiprah di Surabaya, tidak mampu mempertahankan manajemennya. Begitu pula dengan harian suluh Berita dan harian La Patria. Nasib yang sama juga dialami harian Sinar Kota, Bintang Baru, Suara Rakyat dan Pewarta Surabaya.

Koran-koran harian yang bertahan di awal tahun 1970-an hingga tahun 1980-an ini di samping Jawa Pos dan Surabaya Post, adalahBhirawa, Karya Darma dan Memorandum (sebelumnya bernama Mingguan Mahasiswa). Koran Mingguan, adalah: Pelita Kota yang kemudian menjadi Harian Radar Kota, Mingguan Surabaya Ekspres, Mingguan Tri Brata (ganti nama menjadi Ajibrata, kemudian berubah menjadi majalah Fakta hingga sekarang), Mingguan Asas dan Surabaya Minggu. Sedangkan majalahnya adalah: Jaya Baya, Penyebar Semangat, Liberty, Semesta dan Mentari (Putera Harapan).

Timbul-tenggelamnya penerbitan pers di Surabaya, memang tidak lepas dari pengaruh Undang-undang Pokok Pers atau UU No.11 tahun 1966 yang kemudian diubah menjadi UU No.4 tahun 1967, pemerintah menerapkan ketentuan-ketentuan tentang pers. Pengetatan terhadap dunia jurnalistik dilakukan pula dengan penerapan sistem wadah tunggal. Menteri Penerangan dengan SK No.47 tahun 1975, menetapkan bahwa PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) sebagai satu-satunya organisasi wartawan dan SPS (Serikat Penerbitan Suratkabar) sebagai satu-satunya organisasi penerbitan pers di Indonesia. Dengan demikian, organisasi wartawan kampus yang bernama IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia) dan beberapa organisasi wartawan lainnya tidak diakui pemerintah.

Akibat berbagai ekses yang terjadi, UU Pokok Pers mengalami perubahan menjadi UU No.21 tahun 1982. Dalam UU ini ditetapkan pula ketentuan tentang SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) sebagai pengganti SIT (Surat Izin Terbit). Peralihan izin terbit dari SIT menjadi SIUP ditetapkan dengan Peraturan Menteri Penerangan No.1 tahun 1984. Sejak saat itu, terjadi seleksi alam dalam dunia penerbitan. Hanya penerbitan yang mempunyai modal besar yang mampu terbit dengan baik, sedangkan yang pas-pasan banyak yang bangkrut dan hilang dari peredaran.

Bagi masyarakat pers, boleh dikatakan zaman pemerintahan Orde Baru di Kota Surabaya adalah era kejayaan suratkabar harian (SKH) Surabaya Post. Namun, setelah ditinggal pendirinya A.Azis dan Ny.Toety Azis, koran yang terbit sore hari ini, akhirnya gulung tikar.

Sekarang ada koran baru bernama “Surabaya Post”, sama sekali tidak punya hubungan manajemen dengan keluarga A.Azis. Namun para pendiri dan pengasuhnya berasal dari mantan wartawan dan karyawan Surabaya Post. Saat pertama terbit, mantan wartawan dan karyawan Surabaya Post mendirikan penerbitan bernama “Surabaya Pos” tanpa “t”. Tidak lama kemudian “Surabaya Pos” berganti nama menjadi “Surabaya News”. Koran yang berkantor di ruko di Jalan Raya Gubeng ini kemudian pindah ke ruko di Jalan Bukit Darmo Golf Regency Kav.31-32 Surabaya.

Pengelola baru Surabaya Post, mengajukan hak paten ke Departemen Hukum dan HAM di Jakarta. Ternyata berhasil, sehingga pengelola Surabaya Post yang sekarang memperoleh “hak cipta”. Surabaya Post sebagai merek yang dikelola keluarga A.Azis belum terdaftar sebagai sebuah badan hukum dan merek dagang. Konon yang terdaftar di Departemen Kehakiman adalah “PT.Surabaya Post Printing”.

Berbeda dengan “kerajaan” Jawa Pos yang sudah meninggalkan kawasan Kembang Jepun dan bersinggasana di Graha Pena Jalan A.Yani Surabaya, semakin menggurita. Semula Jawa Pos mulai mengambilalih pengelolaan beberapa suratkabar yang terbit di Surabaya dengan sistem kerjasama. Koran dan majalah yang terbitnya mengalami kesulitan dana mendapat subsidi dari Jawa Pos. Dimulai dari SKH Suara Indonesia, kemudian SKH Karya Dharma, SKM Surabaya Minggu dan Majalah Liberty. Setelah itu, di bawah komando Dahlan Iskan, pengambilalihan manajemen SKH meluas ke luar Jawa Timur.

Suratkabar yang pernah berjaya di suatu daerah di berbegai provinsi di Indonesia disuntik dana segar. Tenaga menejemen dan tenaga wartawan yang profesional oleh Jawa Pos yang berada di bawah payung Majalah Tempo dikirim untuk “melatih” tenaga setempat. Koran-koran di daerah yang semula terpuruk, kembali bangkit. Pada awalnya antara lain: Fajar di Makassar, Cahaya Siang di Manado, Semarak Bengkulu di Bengkulu, Suara Maluku di Ambon, Riau Pos di Pekanbaru, Suara Nusa di Mataram, Manungtung di Balikpapan dan Sumatera Ekspress di Palembang.

Sekarang koran-koran itu sudah banyak yang berganti nama dan jumlahnya sudah 100 penerbitan lebih di seluruh ibukota provinsi dan beberapa kota kabupaten di Indonesia. Di bawah manajemen Grup Jawa Pos ini penerbitannya memanfaatkan jaringan teknologi informasi dan komunikasi mutakhir, yang dikenal dengan JPNN (Jawa Pos News Network). Dengan menggunakan sistem ini, Jawa Pos melakukan pula proses cetak jarak jauh. Selain menggunakan nama lama, kini salah satu di antara ciri suratkabar yang bernaung dalam grup Jawa Pos menggunakan nama “Radar”, misalnya: Radar Surabaya, Radar Bogor dan lain-lain disuaikan dengan nama kota aeau daerah koran itu diedarkan. Pengelola “Radar-Radar” ini dikordinasikan oleh sebuah perusahaan, di antaranya: PT.Radar Timur yang mengelola suplemen dalam Radar yang berada di dalam tiras Jawa Pos. Ada Radar Malang, Radar Bojonegoro, Radar Kediri, Radar Bromo, Radar Madiun dan sebagainya.

Melihat kekuatan Jawa Pos yang dulu mempopularkan motto “Koran nasional yang terbit dari Surabaya” semakin menggurita, maka penerbitan besar di Jakarta Grup Kompas Gramedia bersama Grup Pos Kota melakukan kerjasama meningkatkan manajemen Mingguan Surya menjadi Harian Surya. Dalam perjalanannya, Grup Pos Kota menarik diri, sehingga Harian Surya kini hanya dikelola oleh Grup Kompas.

Di akhir masa Orde Baru dan memasuki era Reformasi, Surabaya Post benar-benar kehilangan pamor dan bangkrut, sementara Grup Jawa Pos semakin berjaya dan Harian Surya, tetap eksis. Kendati sempat menjadi grup Jawa Pos, harian Bhirawa akhirnya mampu mandiri.

Majalah yang bertahan dengan manajemen sendiri adalah: Jayabaya, Penyebar Semangat dan Fakta. Sedangkan yang lain melakukan kerjasama manajemen dan diambilalih oleh Grup Jawa Pos, seperti: Suara Indonesia yang berganti nama jadi Radar Surabaya, Harian Memorandum, Harian Karya Darma, Surabaya Minggu, Mingguan Asas, Majalah Mentari dan Majalah Liberty. ***

*) Yousri Nur Raja Agam MH – Wartawan berdomisili di Surabaya.

Bukan Masjid Agung

Masjid “Al Akbar

Di Surabaya


Oleh : HM Yousri Nur Raja Agam *)

MASJID Al Akbar yang sebelumnya bernama Masjid Agung Surabaya (MAS) merupakan proyek kebanggaan warga Surabaya dan Jawa Timur. Kendati mengalami hambatan teknis di lapangan saat awal pembangunannya, namun dapat juga terpecahkan. Bahkan, mendapat perhatian khusus dari Pemerintahan.

Masjid Al Akbar

Masjid Al Akbar

Di balik hambatan teknis itu, situasi ekonomi nasional bangsa Indonesia yang mulai dilanda krismon (krisis moneter) tahun 1996 itu, benar-benar membuat Walikota Surabaya H.Sunarto Sumoprawiro alias Cak Narto dan Gubernur Jawa Timur HM Basofi Soedirman (kala itu) harus “putar otak”. Betapa tidak, karena untuk menggali dana di daerah Surabaya dan Jawa Timur sudah tersendat-sendat. Panitia gabungan Pemkot Surabaya dengan Pemprov Jatim tidak mudah mengetuk hati kaum muslimin dan para dermawan. Usaha berbagirasapun sudah dilakukan dengan konglomerat yang ada di Jawa Timur. Namun hasilnya tidak maksimal. Masih dibutuhkan banyak tambahan lagi.

Trio arek Suroboyo” di Jakarta: H.Try Sutrisno, H.Tarmizi Taher dan H.Mar’ie Muhammad yang sudah menyampaikan komitmennya untuk membantu pendanaan pembangunan MAS juga tidak tinggal diam. Mereka bertiga menghadap Presiden RI (waktu itu) H.Muhammad Soeharto dan melaporkan rencana pembangunan MAS di Surabaya.

Mendapat laporan dari tiga “pembantunya” itu, sambutan Pak Harto luar biasa. Pak Harto sertamerta menyatakan dukungannya. Bahkan, pada waktu itu juga, Pak Harto memberikan restu dan sekaligus mengizinkan pembangunan MAS sebagai “proyek nasional”.

Untuk mendukung pelaksanaan “proyek nasional” itu, tanggal 26 Juli 1996 ditetapkan susunan Panitia Pembangunan MAS oleh Menteri Agama, H.Tarmizi Taher. Dalam kepanitiaan itu, Presiden Soeharto duduk sebagai Pelindung Utama dan Wakil Presiden Try Sutrisno sebagai Pelindung. Lima menteri kabinet ditetapkan sebagai Pembina, masing-masing: Dr.H.Tarmizi Taher (Menteri Agama), Drs.H.Mar’ie Muhammad (Menteri Keuangan), Ir.H.Tungki Ariwibowo (Menteri Perindusterian dan Perdagangan), Ir.H.Djamaloeddin (Menteri Kehutanan) dan Ir.H.Radinal Mochtar (Menteri Pekerjaan Umum). Dalam jajaran Pelindung ini juga dicantumkan nama KH.Hasan Basri (sekarang sudah almarhum) yang waktu itu sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Dari puncak menara bisa melihat Kota Surabaya

Dari puncak menara bisa melihat Kota Surabaya

Penasehat ditetapkan: Muspida Jatim waktu itu, masing-masing: H.Trimarjono,SH (ketua DPRD Jatim), Mayjen TNI H.Imam Utomo (Pangdam V Brawijaya), Mayjen Pol. Drs.H.Soemarsono,SH,MBA (Kapolda Jatim) dan A.Rachman,SH (Kajati Jatim). Kepanitiaan ini dilengkapi dengan Pengawas yang terdiri dari: Ketua MUI Jatim KH Misbach (almarhum), dua orang sesepuh Jatim: H.M.Noer (mantan gubernur Jatim) dan H.M.Said (almarhum/mantan Ketua DPD Golkar Jatim). Kemudian Gubernur Jatim HM Basofi Soedirman dan Walikota Surabaya, H.Sunarto Sumoprawiro.

Pelaksana Proyek dipercayakan kepada Ir.Suwono selaku pimpinan dan Ir.Pudjojoko sebagai wakil. Sedangkan Drs.Hoesein Soeropranoto dari Grup Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) dan Drs.HM Zuhdi,MM (almarhum/mantan Wagub Jatim) selaku bendahara dan wakil bendahara. Tim pendukung dari instansi terkait, seperti Pemprov Jatim, Kanwil Depag Jatim, Kanwil PU Jatim (sekarang Dinas PU Binamarga Jatim) dan Pemkot Surabaya, serta Tim RNI dan ITS.

Dengan status “proyek nasional” itu, maka Presiden Soeharto menetapkan dua orang pengawas ahli: arsitek kawakan Ir.H.A.Noe’man dan I.H.Douglas Baadila. Noe’man dikenal sebagai arsitek pembangunan Masjid Salman di komplek ITB Bandung. Arsitek kaliber dunia ini juga arsitek pembangunan Islamic Center (Masjid Al Markaz) di Makasar dan arsitek Masjid “Haji Muhammad Soeharto” di Bosnia.

Sebagai persiapan administrasi dan koordinasi, dilaksanakan perkenalan panitia di gedung Grahadi, Jalan Gubernur Suryo 7 Surabaya. Pertemuan dilanjutkan dengan acara di rumah Wapres Try Sutrisno di Jakarta, 23 Agustus 1996. Pada acara di kediaman Cak Su ini, selain dihadiri tokoh-tokoh masyarakat asal Jawa Timur yang berada di Jakarta, juga dihadiri para konglomerat. Pada acara malam itu, sebanyak 30 konglomerat “berjanji” akan memberikan sumbangan untuk pembangunan MAS. Dan komitmen “janji” konglomerat itu mencapai Rp 20,52 miliar ditambah satu unit perangkat pengeras suara (sound system) untuk MAS.

Setelah proyek berjalan, dalam rapat koordinasi berikutnya dilakukan perubahan perencanaan pembangunan masjid. Menara yang semula dirancang enam buah, diubah menjadi satu menara saja. Pada rapat tanggal 6 September 1996 itu ditetapkan pembangunan MAS selesai akhir Desember 1997. Untuk mengejar waktu, disepakati pelaksanaan pembangunan menggunakan sistem fast track, yaitu perencanaan diselesaikan bersamaan dengan pelaksanaan di lapangan.

Memang akibat krisis moneter yang melanda negara kita ini, dana yang diharapkan masuk kurang lancar, ujar HM Zuhdi saat ditemui seusai rapat panitia pembangunan MAS. Dana yang sudah dianggarkan belum semuanya dapat dicairkan. Kendati sudah ada “janji” dari para konglomerat Rp 20,52 miliar, belum semuanya terkumpul.

Pada awalnya diperkirakan biaya Rp 30 miliar dengan suatu kondisi belum termasuk pekerjaan luar bangunan, fasilitas penunjang dan jasa konsultan. Waktu itu dihitung luas bangunan 18.000 meter per-segi yang biaya pembangunannya diperkirakan Rp 1,5 juta per-meter per-segi atau Rp 27 miliar. Menara yang semula dirancang enam, menjadi satu menara saja dengan biaya Rp 3 miliar. Sehinga, total biaya waktu Rp 30 miliar.

Kemudian dilakukan penyempurnaan dengan perhitungan rinci (detail), akhirnya ditemukan biaya yang benar Rp 49,97 miliar. Kondisinya berubah, luas bangunan dan lapangan menjadi 28.500 meter per-segi. Berdasarkan perhitungan ulang itu, para Pembina yang terdiri dari para menteri kabinet menyanggupi membantu kekurangan dana Rp 9,5 miliar dan Pemprov Jatim Rp 10 miliar.

Begitu sulitnya menggali dana di masa krismon itu, HM Zuhdi yang semula Dirut Bank Jatim, kemudian menjadi Wakil Gubernur Jawa Timur, yang dipercaya sebagai bendahara itu, memang harus putar otak. Hampir tiap hari ia mengadakan rapat dan rapat yang tujuannya mengumpulkan dana untuk penyelesaian pembangunan MAS. Sampai-sampai waktu itu nama Zuhdi tidak dapat dipisahkan dengan MAS. Apabila ada kegiatan rapat atau acara yang dihadiri Zuhdi, orang sertamerta mengaitkannya dengan MAS.

Semula ketika MAS yang dinyatakan sebagai proyek nasional, direncanakan peresmiannya oleh Presiden Soeharto, Februari 1998 atau sebelum berlangsungnya Sidang Umum MPR bulan Maret 1998. Ternyata rencana tinggal rencana. Pelaksanaan pembangunan MAS tersenda-sendat, karena dana yang diharapkan belum tercapai akibat vdampak krisis moneter. Kecuali itu, situasi politik di Bumi Nusantara ini berubah total. Kepemimpinan negara ini beralih kepada Prof.Dr.H.B.J.Habibie. Ada rencana peresmian akan dilakukan oleh BJ Habibie, namun itupun batal. Kemudian baru pada saat Presiden KH Abdurrahman Wahid diresmikan, bersamaan dengan puncak acara Hari Pahlawan 10 November 2000.

Bukan Masjid Agung

Nama Masjid Agung Surabaya pada rapat yang berlangsung, Minggu 10 September 2000, disepakati diganti menjadi Masjid Al Akbar Surabaya. Singkatannya tetap MAS. Rapat yang dilaksanakan di gedung negara Grahadi itu dihadiri mantan Wapres Try Sutrisno.

Alasan penggantian nama itu, karena di Surabaya sudah ada sebutan untuk Masjid Agung Sunan Ampel. Karena MAS yang baru ini, ukurannya jauh lebih besar daripada Masjid Agung Sunan Ampel, maka disepakati nama MAS yang baru ini adalah Masjid Al Akbar Surabaya. Perubahan nama ini sudah mendapat persetujuan presiden waktu itu.

Memang, walaupun nama ini sudah diganti menjadi Masjid Al Akbar, masyarakat sudah terlanjur “fasih” menyebut nama masjid agung. Itu tidak masalah. Lama ke lamaan, apabila kita sudah terbiasa mengucapkan nama Masjid Al Akbar, tentunya akan berubah sendiri. Pada saat pembangunan awal, namanya Masjid Raya Surabaya (MRS), namun setelah diubah menjadi masjid agung, masyarakat melupakan sebutan masjid raya.

Sekarang, MAS sudah difungsikan sebagai tempat shalat berjamaah dan pengajian-pengajian. Melihat besarnya tanggungjawab perawatan dan upaya untuk “memakmurkan” masjid ini, memang harus ada penanganan yang serius. Perlu “takmir profesional” bertangan dingin dan kreatif.

Sebagai masjid terbesar ke dua di Indonesia setelah Masjid Istiqlal di Jakarta, MAS perlu segera dilengkapi dengan sara penunjang di dalam dan sekitarnya. Perlu ada madrasah dan asrama santri di daerah sekitar MAS sebagai penunjang untuk memakmurkan MAS secara rutin pada setiap waktu shalat. Agar pembangunan MAS ini tidak mubazir, maka fungsi masjid ini harus dimanfaatkan secara maksimal. Dan jangan diabaikan, perawatannya harus diatur sedemikian rupa. Perlu dirancang kegiatan perawatan harian, bulanan dan tahunan.

Ternyata sekarang, Alhamdulillah, Masjid Al Akbar sudah ramai dengan jamaah, terutama pada Shalat Jumat. Keculai itu, di hari libur, menara Masjid Akbar ramai didatangi masyarakat untuk melihat Kota Surabaya dari ketinggian.

Tidak hanya itu, kawasan lahan kosong di sekitar Masjid Al Akbar, juga ramai dengan pasar dadakan, Pedagang Kaki Lima yang menjual berbagai kebutuhan sehari-hari.

Oh ya, satu lagi yang perlu dicatat, Masjid Al Akbar juga “laris” untuk acara akad nikah. Silih berganti pasangan yang akan mendirikan rumahtangga berijab kabul di dalam Masjid Al Akbar Surabaya itu. ****

*) HM Yousri Nur Raja Agam – Ketua Yayasan Peduli Surabaya.