Tragis! Sukarno Hatta “Cerai Paksa” di Kota Pahlawan Surabaya

RENUNGAN DI HARI PAHLAWAN

Tragis!

Dwi Tunggal Sukarno-Hatta

Cerai Paksa di Kota Pahlawan

 

Yousri Nur RA, MH.

 

Oleh: HM Yousri Nur Raja Agam *)

 

 

DULU di bebarapa media, berulangkali saya menulis judul: “Ironis! Kota Pahlawan Miskin Nama Pahlawan” atau “Ironis Nama Sukarno-Hatta Belum Diabadikan di Kota Pahlawan”, dan beberapa judul lagi yang senada.

Memang, di Indonesia, hanya Kota Surabaya satu-satu yang berjuluk Kota Pahlawan, namun perwujudan makna kepahlawanan itu sangat dangkal. Kepahlawanan hanya diterjemahkan dari peristiwa heroik yang terjadi di sekitar tanggal 10 November 1945 yang membawa korban jiwa terhadap ribuan Arek Suroboyo.

Padahal, seyogyanya, pengertian pahlawan itu diwujudkan dengan menjadikan Kota Surabaya ini sebagai “kamus kepahlawanan”. Surabaya dapat dijadikan sebagai museum kepahlawanan yang berskala nasional. Bahkan, kalau memungkinkan diangkat menjadi “Kota Pahlawan Internasional”.

Dalam sejarah, “tewas”-nya salah seorang pimpinan militer Inggeris, Jenderal Mallaby, bagi kita merupakan suatu “kemenangan”. Tetapi, bagi sekutu, dia adalah pahlawan yang “gugur” dalam kancah berjuang demi negaranya dan kepentingan dunia internasional

Suatu hal yang sangat memprihatinkan, adalah kurangnya minat dan perhatian para petinggi di Kota Surabaya ini untuk menampung aspirasi warganya. Salah satu di antaranya, ialah usul-usul warga untuk sebanyak mungkin mangabadikan nama-nama pahlawan di Surabaya. Terlalu berbelitnya prosedur untuk memberi nama pahlawan pada suatu jalan. Bahkan, sangat tidak mudah mengganti nama jalan yang sudah ada dengan nama jalan baru.

Dengan berbagai upaya dan cara, saya sebagai penulis di beberapa suratkabar dan majalah yang terbit di Indonesia, mengungkap kehebatan Surabaya sebagai Kota Pahlawan. Di sana saya menyinggung, sikap abai para petinggi di kota ini untuk menyesuaikan diri dengan julukan Kota Pahlawan itu. Apalagi, sangat lambannya keinginan untuk mengabadikan nama Dwitunggal Sukarno-Hatta selaku Pahlawan Nasional Proklamator Kemerdekaar Repubilik Indonesia di kota kelahiran Bung Karno ini.

Monumen Dwitunggal Sukarno-Hatta di gerbang Taman Tugu Pahlawan Surabaya.

Kendati kemudian terwujud pemberian nama Jalan Sukarno-Hatta untuk jalan baru lingkar timur bagian tengah atau MERR (Midle East Ring Road), di akhir masa jabatan Walikota Surabaya, Bambang DH.  DPRD Kota Surabaya, pada sidang paripurna 17 April 2010 menyetujui nama Jalan Sukarno-Hatta sejak dari pertigaan Jalan Kenjeran menuju ke selatan sampai ke perbatasan Surabaya-Sidoarjo. Peraturan Walikota Surabaya ditandatangani oleh Walikota Surabaya “yang baru” Ir.Tri Rismaharini yang menggantikan Bambang DH tanggal 24 November 2010.

Saya sebagai penulis yang sudah berulangkali menulis artikel dan kritikan ini merasa gembira. Ternyata walikota perempuan pertama di Kota Surabaya ini juga sangat peduli kepada Proklamator kemerdekaan RI itu. Bahkan, secara resmi mengeluarkan Surat Keputusan Walikota Surabaya, memberi nama jalan sejak dari pertigaan Jalan Kenjeran ke selatan sepanjang jalan MERR itu sampai ke perbatasan Surabaya dengan Kabupaten Sidoarjo.

Keputusan Walikota Surabaya Nomor 188.45/501/436.1.2/2010 itu menetapkan  tentang nama Jalan Sukarno-Hatta di Kota Surabaya sepanjang 10.925 meter. Jalan ini berawal di pertigaan Jalan Kenjeran melintasi: Jl. Kalijudan, Jl. Mulyorejo, Jl. Dharmahusada Indah, Jl. Dharmahusada, Jl. Kertajaya Indah, Jl. Kertajaya Indah Timur, Jl Arif Rahman Hakim, Jl. Semolowaru, Jl. Semampir Kelurahan, Jl. Semampir Tengah, Jl. Semampir Selatan, Jl. Medokan Semampir, Jl. Kedung Baruk Raya/Jagir, Jl. Wonorejo/Jagir, Jl. Baruk Utara, Jl. Penjaringan Sari, Jl. Kedung Asem, Jl. Pandugo, Jl. Rungkut Madya, Jl. Gunung Anyar Tambak, berbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo.

Namun, sungguh malang nasib Dwitunggal Sukarno-Hatta itu. Justru di Kota Pahlawan ini, Pahlawan Proklamator lambang pemersatu bangsa itu, dipisah. Walikota melakukan “cerai paksa” terhadap Sukarno-Hatta. Jalan Sukarno-Hatta itu tidak berumur panjang. Perceraian ke dua tokoh sentral Kemerdekaan Indonesia itu dilakukan tanpa persetujuan DPRD Kota Surabaya yang sudah mengesahkan Perda (Peraturan Daerah) tentang pemberian nama jalan Sukarno-Hatta untuk jalan MERR itu. Jalan Sukarno-Hatta itu pun diganti menjadi Jalan Dr.Ir.H.Soekarno, tanpa menyebut nama Hatta atau Muhammad Hatta dengan  Keputusan Walikota Surabaya No.188.45/86/436.1.2/2011.

Dengan janji yang sangat muluk, seolah-olah akan menjadi walikota sepanjang masa, Tri Rismaharini, menyatakan nanti nama Jalan Dr.H.Muhammad Hatta akan dipasangkan di MWRR (Midle West Ring Road), yaitu jalan lingkar barat bagian tengah, di Surabaya Barat. Padahal, jalan itu entah kapan akan digarap, apalagi selesai. Maka, di Kota Pahlawan inilah Bung Karno berjalan sendiri tanpa kehadiran Bung Hatta. Tragis!

Dalih yang tidak masuk akal, konon perubahan nama itu gara-gara nama Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng, Jakarta, sering disingkat “Soeta”. Jadi, khawatir nanti Jalan Sukarno-Hatta di Surabaya itu disingkat Jalan Suta atau Seoata.

Tidak itu saja dalih yang saya dengar, katanya, di Bukittinggi, Sumetera Barat, di kota kelahiran Bung Hatta, nama Soekarno dengan Hatta juga dipisah. Saya tahu persis, justru, di Bukittinggi itu, Jalan Soekarno-Hatta panjang sekali. Jalan raya Sokarno-Hatta itu, mulai dari dekat rumah kelahiran Bung Hatta, di Pasar bawah Bukittinggi, di dalam kota sampai menuju luar kota, ke Kecamatan Baso Kabupaten Agam terus ke Kabupaten Lima Puluh Kota sampai masuk Kota Payakumbuh. Jadi, Jalan Soekarno-Hatta di Bukittinggi itu merupakan jalan raya dari dalam kota Bukittinggi terus sampai ke Payakumbuh. Tidak tanggung-tanggung, jalan raya Soekarno-Hatta di tanah kelahiran Bung Hatta panjangnya sambung-bersambung dari dua kota dan dua kabupaten.

 

Ditolak DPRD Surabaya

Pemaksaan “cerai paksa” yang dilakukan oleh Walikota Surabaya itu ditolak DPRD Surabaya. Dalam rapat Pansus Pengubahan Nama Jalan DPRD Surabaya, Eddy Budi Prabowo anggota pansus dari Fraksi Partai Golkar mengatakan Pemkot sebaiknya tidak terburu-buru mengubah nama jalan itu.

Alasannya, nama dua proklamator secara historis adalah satu kesatuan. Memisahkannya jadi dua nama jalan berbeda dapat menimbulkan polemik, apalagi saat ini tensi politik di Surabaya meninggi.

Maduki Toha, anggota Pansus dari FKB menilai kebijakan Walikota ini terburu-buru karena belum tentu jalan lingkar Barat bisa cepat dibangun.

“Bahkan bisa saja tidak dibangun. Jika ini terjadi, maka hanya ada nama Jl. Bung Karno saja. Kasihan Bung Karno sendirian tidak ada Bung Hatta,” katanya.

Masduki bersikukuh mengusulkan agar nama jalan diubah menjadi Jl. Soekarno-Hatta Timur, sehingga kalau nanti dibangun lingkar Barat, bisa disesuaikan jadi Jl. Soekarno-Hatta Barat.

 

Nama Sukarno-Hatta

Kalau boleh saya mengungkap masa lalu, boleh disebut lebih ironis lagi ketika di masa Orde Baru. Hampir tidak ada upaya dari Pemkot Surabaya untuk mengabadikan nama besar Pahlawan Nasional, Proklamator Sukarno-Hatta di Kota Pahlawan ini. Saat saya, menyampaikan usul kepada Walikota Surabaya, H.Poernomo Kasidi tahun 1986 agar nama Proklamator Sukarno-Hatta diabadikan di Surabaya, sikap saya selaku penulis dianggap terlalu “berani”.

Pak Pur – begitu walikota yang bertitel dokter itu dipanggil – sembari berbisik mengatakan, jangan dulu. Alasannya, menyebut nama Bung Karno di era Orde baru itu cukup sensitif. Namun, pada tahun 1986 itu Presiden Soeharto, justru mengeluarkan penetapan tentang Dr.Ir.H.Sukarno dan Dr.Mohammad Hatta sebagai Pahlawan Nasional dengan Kepres 081/TK/Tahun 1986 tertanggal 23 Oktober 1986.

Sambutan beberapa pejabat pemerintahan di Indonesia cukup positif. Bandara Cengkareng yang merupakan pengalihan dari Bandara Kemayoran diberi nama Bandara Internasional Sukarno-Hatta. Di Ujungpandang yang kembali bernama Makassar, pelabuhan lautnya diberi nama Sukarno-Hatta. Di Bandung, jalan lingkar selatan yang baru dibangun diberi nama Jalan Sukarno-Hatta.

Beberapa kota di Indonesia sertamerrta mengabadikan nama Proklamator Kemerdekaan RI itu sebagai nama jalan maupun nama taman, serta gedung bersejarah lainnya. Tidak ketinggalan pula di Jawa Timur, seperti Kota Malang, mengabadikan nama Sukarno-Hatta untuk jalan baru yang menghubungkan daerah Blimbing ke Dinoyo. Bahkan, di Kota Pasuruan dan di Bangkalan di Madura nama Jalan Sukarno-Hatta diabadikan di poros utama kota itu.

Secara resmi saya menulis surat kepada Walikota Surabaya, langsung ke tangan Pak Pur. Isi surat itu, agar nama Proklamator Sukarno-Hatta diabadikan di Surabaya dengan alternatif pertama mengganti nama Jalan Perak Timur dan Perak Barat sebagai Jalan Sukarno-Hatta. Alasan penulis waktu itu, karena jalan kembar itu menuju gerbang laut Surabaya, yakni Pelabuhan Tanjung Perak.

Ingat, Sukarno-Hatta sebagai Proklamator Kemerdekaan RI adalah Dwitunggal yang mengantar Bangsa Indonesia ke gerbang masa depan yang bebas dari penjajajah. Nah, Surabaya memang hanya punya satu gerbang masuk kota, yakni Tanjung Perak. Gerbang masuk dari udara dan darat Kota Surabaya, ada di Kabupaten Sidoarjo, yakni Bandara Juanda dan sekarang juga terminal Purabaya di Bungurasih, Waru.

Setelah usul itu tenggelam begitu saja di kantong walikota Poernomo Kasidi, penulis berupaya menanyakan dan mendesak. Ternyata, saya dibentak. Tidak puas dengan sikap sang walikota, penulis membuat artikel di Harian “Surabaya Post” pada tanggal 9 November 1989 dalam rangkaian peringatan Hari Pahlawan.

Sebagai penulis artikel, saya berusaha memberi gambaran, bahwa pintu gerbang kota Surabaya ini “hanya satu” yakni dari laut di Tanjung Perak. Sedangkan gerbang kota melalui darat ada di Bungurasih, Waru, Sidoarjo dan gerbang udara ada di Bandara Juanda, Sidoarjo. Untuk itulah, karena Sukarno-Hatta sebagai proklamator yang mengantarkan bangsa Indonesia ke gerbang kemerdekaan, maka penulis mengusulkan nama Jalan Tanjung Perak Barat dan Jalan Tanjung Perak Timur diubah menjadi Jalan Sukarno-Hatta

Setelah tulisan itu turun di koran terbesar di Surabaya waktu itu, saya dipanggil beberapa pejabat Pemda Kodya Surabaya (waktu itu). Ada yang mendukung dan ada yang menolak dengan alasan perlu ada Perda (Peraturan Daerah). Waktu itu, beberapa anggota DPRD Surabaya yang setuju, tetapi ada yang tidak. Alasannya, macam-macam. Di antaranya berdalih belum ada tempat yang pas untuk mengabadikan nama Sukarno-Hatta di Surabaya. Bahkan yang cukup berkesan, saya dipanggil oleh staf intel Kodam V Brawijaya, meminta penjelasan tentang tulisan di Surabaya Post itu.

Ketika ada rencana pembangunan  jalan lintas timur bagian tengah yang disebut MERR (Midel East Ring Road), ada yang menginginkan nantinya apabila proyek MERR itu jadi, maka nama jalan itu adalah Jalan Sukarno-Hatta. Ternyata MERR yang semula terbengkalai alias mangkrak, tahun 2005 lalu sebagian sudah selesai, termasuk jembatan yang melintas di atas Kali Jagir Wonokroromo sampai ke wilayah Kedung Baruk, di Kecamatan Rungkut.

Kabarnya, kalangan veteran pejuang kemerdekaan dan Angkatan 45 juga pernah mengusulkan jalan raya dari ITS sampai ke viaduk Jalan Sulawesi, yakni Jalan Kertajaya Indah, Manyar Kertoarjo sampai Jalan Kertajaya diganti menjadi Jalan Sukarno-Hatta. Itu juga tidak mendapat tanggapan dari eksekutif dan legislatif.

 

Pro-Kontra

Keinginan saya agar nama Sukarno-Hatta diabadikan di Kota Pahlawan ini kembali menggebu-gebu. Setelah di Harian “Surabaya Post”, beberapa tulisan tentang perlunya Surabaya mengabadikan nama Sukarno-Hatta di Surabaya, saya turunkan di Majalah Gapura (majalah resmi Pemkot Surabaya), tabloid Teduh, SKM Palapa Post, tabloid Metropolis dan Majalah DOR. Ketika saya mempunyai kesempatan yang “sangat baik” dengan Walikota Surabaya H.Sunarto Sumoprawiro, kumpulan tulisan dan artikel ini penulis serahkan kepada Cak Narto – panggilan sang walikota.

Luar biasa, Cak Narto menyambut baik ide untuk pengabadian nama proklamator ini. Saking bersemangatnya, Cak Narto sertamerta menginginkan nama jalan yang layak untuk sang Proklamator adalah mengganti nama Jalan Raya Darmo. Cak Narto waktu itu mengabaikan usul saya agar nama Sukarno-Hatta diabadikan dengan alternatif pertama mengganti nama Jalan Tanjung Perak Timur-Barat dan alternatif kedua sebagai pengganti Jalan Prapen Jemursari (mulai dari perempatan di Jembatan Bratang sampai ke Jalan A.Yani di bundaran Dolog.

Akibat keinginan Cak Narto mengganti nama Jalan Raya Darmo menjadi Jalan Sukarno-Hatta, timbul pro-kontra yang luar biasa di mediamassa. Padahal keinginan Cak Narto mendapat dukungan dari tokoh Surabaya, Prof.Dr.H.Roeslan Abdulgani atau Cak Roeslan. Namun upaya saya agar nama Sukarno-Hatta diabadikan di Surabaya kembali terganjal, bersamaan dengan “kasus walikota Surabaya”, sampai akhirnya Cak Narto sakit dan meninggal dunia di Australia tahun 2002. Begitu juga, Cak Roeslan juga sudah wafat, 28 Juni 2005 lalu di Jakarta.

Bagaimanapun juga, ketika Walikota Surabaya dijabat Drs.Bambang Dwi Hartono,MPd, saya mengharapkan carapandang yang berbeda. Mungkin, waktu yang paling tepat untuk mengabadikan nama Sukarno-Hatta di Surabaya, saat Presiden RI masih dijabat oleh Megawati Sukarnoputri dan diresmikan sendiri oleh anak kandung Bung Karno waktu itu.

Saya mengharapkan, sebagai seorang nasionalis, Bambang DH yang waktu itu juga Ketua DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Kota Surabaya, tentu sangat tepat kalau momen peringatan Hari Jadi Surabaya, 31 Mei 2003 atau peringatan Hari Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 2003 atau peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2003 ditandai dengan pengabadian nama Sukarno-Hatta di Kota Pahlawan Surabaya. Namun, waktu yang baik itu berlalu begitu saja. Kelihatan nyali dan kemauan politik Bambang DH sama sekali masa bodoh untuk mengabadikan nama sang Proklamator Soekarno-Hatta.

Padahal, wakt u itu sebenarnya ada dua ikatan emosional yang bisa dibangun. Selain bambang DH yang aktivis PDI-P, wakilnya Arif Afandi berasal dari Blitar, tempat asal orang tua Bung Karno. Perpaduan Bambang DH-Arif Afandi itu bisa dengan mudah mewujudkan pengabadian nama Sukarno-Hatta.

Alhamdulillah, perasaan warga kota Surabaya terobati, di masa akhir jabatannya sebagai walikota, Bambang DH bersama DPRD Kota Surabaya, tanggal 27 April 2010  sepakat memberikan nama jalan lingkar timur bagian tengah atau MERR menjadi Jalan Sukarno-Hatta. Kata-kata “Ironis!” yang selama ini disandang Kota Pahlawan yang lamban mengabadikan nama Sukarno-Hatta menjadi berubah.

Namun, seperti saya tulis di atas, sungguh malang nasib Dwitunggal Sukarno-Hatta itu. Justru di Kota Pahlawan ini, setelah terwujud pasangan pemersatu bangsa itu menjadi satu, lalu dipisah. Walikota melakukan “cerai paksa” terhadap Sukarno-Hatta. Jalan Sukarno-Hatta itu tidak berumur panjang. Tanpa persetujuan DPRD Kota Surabaya yang sudah mengesahkan Perda (Peraturan Daerah) tentang pemberian nama jalan Sukarno-Hatta, sertamerta Jalan Sukarno-Hatta itu pun diubah menjadi Jalan Dr.Ir.H.Soekarno, tanpa menyebut nama Hatta atau Muhammad Hatta.

Tri Rismaharini, menyatakan nanti nama Jalan Dr.H.Muhammad Hatta akan dipasangkan di MWRR (Midle West Ring Road), yaitu jalan lingkar barat bagian tengah, di Surabaya Barat. Padahal, jalan itu entah kapan akan digarap, apalagi selesai.

Sekali lagi saya ulangi, “Sungguh tragis! Justru di Kota Pahlawan inilah Bung Karno berjalan sendiri tanpa kehadiran Bung Hatta.” ***

*) Penulis adalah Wartawan berdomisili di Surabaya

BONEK dan PERSEBAYA

Bonek dan Persebaya

Yousri Nur Raja Agam MH


Oleh: Yousri Nur Raja Agam *)

KOTA Surabaya, terkenal bukan hanya karena ibukota Provinsi Jawa Timur ini berjuluk Kota Pahlawan. Ada yang lain yang lebih popular dan gampang diingat, yakni “kebrutalan” para “bonek”. Bila orang menyebut “bonek”, jelas itu akan disangkutpautkan dengan kesebelasan sepakbola kebanggaan arek-arek Suroboyo, yaitu Persebaya.
Sebagai kesebelasan kebanggaan, maka Persebaya menjadi idola. Bagaimanapun juga sorotan terhadap dampak yang terjadi apabila Persebaya kalah, namun Persebaya tetap merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari para pendukungnya. Pendukung Persebaya, tidak hanya dari kota Surabaya saja, tetapi sudah menjadi satu kesatuan dengan bumi Jawa Timur. Tidaklah mengherankan, apabila Persebaya main di luar kota, pendukungnya berdatangan dari berbagai daerah di Jawa Timur.
Pendukung fanatik Persebaya yang bermaskot “bajul ijo” atau buaya hijau ini, memang sering membuat “berita besar di koran”. Para supporter Persebaya tidak rela kesebelasan kesayangannya ini kalah. Persebaya “harus” menang. Dalam keadaan permainan terburuk sekalipun, pendukung yang disebut “bonekmania”, tetap menghendaki Persebaya menang. Kalau perlu dengan cara culas dan menggunakan non-teknis.
Bonek, adalah singkatan dari dua kata: bandha (dibaca: bondho) nekad. Arti secara harfiah adalah: modal nekad. Para supporter atau pendukung Persebaya itu, selalu mengikuti di manapun kesebelasan kesayangannya ini bermain. Walaupun tidak punya uang sama sekali, mereka tetap nekad, tanpa peduli atau ngotot untuk menyaksikan Persebaya bertanding menghadapi lawannya. Biar tanpa uang sekalipun mereka akan memberi dukungan kepada kesebelasan yang punya kostum kebesaran warna hijau daun ini. Kalau tidak punya karcis tanda masuk, mereka berani menjebol gerbang atau pintu masuk secara massal. Jadi, modalnya adalah modal kemauan semata, tanpa peduli dampak yang terjadi.
Karena modal (bondho) nekad, maka cap “bonek” menjadi bagian tidak terpisahkan dengan supporter Persebaya. Awalnya, di tahun 1970-an, para pendukung fanatik itu tidak rela disebut “bonek’. Namun, di era 1980-an, saat supporter Persebaya bermain di Jakarta, nama “bonek” menjadi konotasi yang sangat miring terhadap supporter Persebaya. Apalagi, waktu itu, sepanjang perjalanan yang dilewati kereta api dari Surabaya ke Jakarta dan sebaliknya, para supporter ini membuat gaduh. Di setiap stasiun mereka menjarah makanan yang dijual di emplaseman stasiun.
Di kala ketua umum Persebaya (1986-1994) dipegang oleh Walikota Surabaya, dr.H.Poernomo Kasidi, kata-kata “bonek” ini membuat pusing sang walikota. Namun, di era ketua umum Persebaya (1994-2002) dipegang oleh Walikota Surabaya, H.Sunarto Sumoprawiro, nama “bonek” diangkat menjadi sebuah “ikon”. Bonek sebagai ciri khas heroisme arek Suroboyo dalam mendukung Persebaya. Bonek dilembagakan. Cak Narto – begitu sang walikota akrab disapa – menjadikan bonek sebagai pemicu semangat para pendukung Persebaya. Saat itu, justru Cak Narto tidak menyenangi apa yang disebutnya “boling” atau bondho maling. Cak Narto sangat marah, apabila ada supporter yang mencuri dan merampok dalam perjalanan menonton Persebaya main.
Untuk mengangkat harkat dan harga diri bonek, Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Cabang Jawa Timur, waktu itu, Dahlan Iskan yang juga pemimpin redaksi Harian Jawa Pos memberikan predikat Green Force , kepada mereka. Seorang berambut lebat kepalanya diikat selempang hijau. Itulah Green Force.
Di masa sekarang ini, jika Persebaya bertanding di stadion Gelora 10 November Jalan Tambaksari Surabaya, boleh dikatakan sejak siang toko-toko di sepanjang jalan menuju Tambaksari tutup. Para pemilik toko khawatir, barang-barangnya bakal dijarah oleh “bonek”. Tidak hanya itu, jalan-jalan dalam kota menjadi sepi. Ulah “bonek” menjadi pergunjingan, karena sering mengganggu pengemudi kendaraan di jalan. Dan yang paling merisaukan di antara mereka ada yang memaksa para pengemudi mobil (terutama pikup dan truk) untuk mengantarkannya secara gratis ke stadion Tambaksari.
Terlepas dari cap “bonek” dan “bonekmania” yang diberikan kepada pendukung Persebaya, namun nama Persebaya “hampir” tak pernah ternoda. Panitia pertandingan dan PSSI, mampu memilah-milah antara kesalahan pemain dengan sikap supporter. Memang, pernah Persebaya mendapat hukuman gara-gara ulah “bonek”. Tetapi hal itu dapat diselesaikan dengan baik.

Dulu Persibaja
Berbicara tentang Persebaya, maka perhatian kita tertuju kepada perkumpulan sepakbola dari berbagai klub atau bond yang ada di kota Surabaya. Nama Persebaya sudah melekat dengan predikat Kota Pahlawan. Masyarakat kota Surabaya begitu bangga dengan sangat menyayangi kesebelasan sepakbola “tertua” di Indonesia ini. Betapa tidak, dalam sejarah, Persebaya mencatatkan kelahirannya tanggal 18 Juni 1927. Sementara Persija Jakarta, lahir tahun 1931, begitu pula perserikatan sepakbola di Solo, Semarang, Bandung dan lain-lainnya di Indonesia ini tidak ada yang menyebutkan kelahirannya di bawah tahun 1927.
Persebaya adalah singkatan dari Persatuan Sepakbola Surabaya. Nama ini dikukuhkan tahun 1960. Sebelumnya, orang tidak menyebut Persebaya, tetapi Persibaja (ejaan lama, baca: Persibaya). Persibaya, kepanjangannya: Persatuan Sepakbola Indonesia Surabaya. Nah, mengapa rapat anggota klub Persibaja menghilangkan “Indonesia” dari namanya?
Salah seorang tokoh sepakbola di Surabaya tahun 1960-an, Anwar Luthan, ketika almarhum masih hidup pernah menyatakan, dihilangkan kata “Indonesia” itu, karena sudah tidak diperlukan lagi. Kita sudah merdeka di bumi Indonesia. Mengapa harus menyebut Indonesia Surabaya? Dengan kemerdekaan yang diproklamasikan 17 Agustus 1945, kata mertua Rusdi Bahalwan (mantan pemain dan pelatih Persebaya), kita sudah tidak perlu menyebut Indonesia dalam skop lokal. Nama Indonesia, sudah diwakili PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia), katanya berargumentasi.
Tidak hanya itu, nama Indonesia waktu itu kita agung-agungkan untuk menghadapi penjajah Belanda dan Jepang. Dan juga diingatkan, kata Indonesia yang ada pada Persibaja waktu itu sebagai terjemahan dari Indische atau Hindia Belanda. Dengan dasar itulah maka rapat anggota klub Persebaya tahun 1960, sepakat mengubah nama Persibaja menjadi Persebaja (sekarang dengan ejaan yang disempurnakan menjadi Persebaya).
Jika napak tilas ke tahun 1920-an, saat negara kita masih dijajah Belanda, sepakbola sudah dikenal. Olahraga sepakbola, memang bukan berasal dari bumi Pertiwi. Olahraga ini dibawa oleh penjajah, yakni sinyo-sinyo Belanda. Anak-anak muda bangsa Belanda dan Indo-Belanda, mendirikan berbagai klub sepakbola. Gabungan klub sepakbola inilah yang berhimpun dalam sebuah perserikatan. Dulu, di Surabaya ada dua perserikatan yang menghimpun klub-klub sepakbola. Yang satu bernama: SVB (Sourabaja Vootbal Bond) dan SIVB (Sourabaja Indische Vootbal Bond).
SVB merupakan gabungan dari klub-klub sepakbola orang-orang Balanda dan Indo-Belanda, serta yang mau bekerjasama dengan pihak Belanda, yakni warga keturunan Arab dan Cina. Klub-klub itu antara lain bernama: HBS, THOR, Exesor, Ayax, Lemax, RKS, GIHO, Menimuriya, Anasar dan Tionghoa.
Sedangkan yang berada di bawah naungan SIVB, adalah klub sepakbola pribumi. Keberadaannya untuk menyaingi SVB. Klub-klub itu di antaranya: SELO, Maruto, PS.HW (Hizbul Wathan) milik perkumpulan Muhammadiyah, Olivio, Tjahaja Laut, Rego dan Radio.
Pada zaman Jepang, nama SVB merdup dan kemudian menghilang. Apalagi waktu itu banyak pemainnya yang ikut melarikan diri dari serangan balatentara Jepang. Nama SIVB juga tidak popular lagi. Sejak zaman Jepang inilah SIVB berganti nama menjadi Persibaja. Setelah bernama Persibaja, klub-klub yang masih ada, baik yang semula di bawah naungan SVB, maupun SIVB bergabung menjadi satu. Ada sepuluh klub waktu itu yang masih bertahan, yakni: SELO, Maruto, PS.HW, Olivio, Tjahaja Laut, Tjahaja Muda, Tionghoa, Alvags, Jonk Ambon (SVJA atau Surabaja Vootbal Jonk Ambon) dan Indo-Belanda.
Baik di zaman penjajahan Belanda, maupun penjajahan Jepang, kegiatan sepakbola tidak lepas dari “alat politik”. Melalui sepakbola dihimpun semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Begitu seterusanya, hingga kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945. Setelah kemerdekaan Indonesia, nama Persibaja semakin melekat di hati arek Suroboyo.
Pada awal kemerdekaan ini, dunia sepakbola tidak pernah absen. Perserikatan Persibaja, didukung 15 anggota klub, yakni: Naga Kuning, PORIS, Bintang Timur, HBS, THOR, POMM, TNH (Taruna Nan Harapan), PSAD (Persatuan Sepakbola Angkatan Darat), PSAL (PS Angkatan Laut), POPS, Angkasa, RKS, IM (Indonesia Muda), PS.HW, Maesa dan Assyabaab. Pada era berikutnya, bertambah lagi dengan PS.Sengkanaung, PS.Colombo, Mitra Utama, PS TEO, PS.Pusparagam, PS.Setia, PS.Surya Putra dan PS.Maluku.
Sekarang ini ada 30 klub yang bernaung di bawah Persebaya. Klub-klub itu adalah: PS.Assyabaab, PO Suryanaga, Reedo Star, PS Untag (Universitas Tujuhbelas Agustus), PS.Putra Gelora 79, PS.KSI (Kedaung Setia Indonesia), PS IM (Indonesia Muda), PS.Fatahillah 354, PS.Sasana Bhakti (Sakti), PS.Putra Surabaya, PS.Teo Dok Perkapalan, PS.Angkasa Laut, PSAD Dam V Brawijaya, PS.Sanana Mitra Surabaya, PS.Ega Putra, PS.Pelabuhan III, PS THOR, PS.Bintang Timur, PS.Fajar Suroboyo FC, PS.Mahasiswa, PS.Maesa, POPS, PS.HBS, PS.HW, PS.Angkasa, PS.Haggana, PS.Bama Putra, IR Unesa, PS.Kinibalu dan PS.Nanggala.
Nama-nama klub sepakbola yang bergabung ke dalam Persebaya itu, ada yang merupakan klub lama yang berganti nama. Misalnya: Bintang Timur, adalah penjelmaan dari SVJA yang kemudian ganti lagi menjadi POMM. Begitu pula dengan PS.Suryanaga, dulu namanya adalah klub Tionghoa, lalu ganti menjadi Naga Kuning. PS.Assyabaab sekarang, dulu namanya Anasar, kemudian berubah jadi Al Vaos. PS.Pelabuhan III sekarang ini adalah jelmaan dari PS.Pusparagam yang sebelumnya bernama PPOM, lalu PS.Maluku. Sakti (Sasana Bhakti) sekarang dulu bernama TNH (Taruna Nan Harapan), sedangkan PS.Sengkanaung berubah menjadi PS.Putra Gelora 79.
PS.Ega Putra, dulu namanya Gersiv, lalu ganti menjadi Surya Putra. Lain lagi dengan Reedo Star, dulu namanya MARS, ganti menjadi MARS BTPN, kemudian STAR. PS.Fatahillah 354 sekarang dulu bernama PORIS dan TEO berubah nama menjadi Teo Carrara, lalu sekarang Teo Dok Perkapalan. Sedangkan PS.Untag asalnya adalah PS.Colombo, lalu ganti nama menjadi PS.Mitra Colombo, terus berubah lagi menjadi PS.Mitra Untag. PS.Mitra Sanana Surabaya sekarang ini dulu namanya Sanana Putra dan Fajar Suroboyo FC dulu bernama PS.Fajar. Demikian pula dengan PS.KSI sebelumnya adalah PS.Setia. ***

*) Yousri Nur Raja Agam – Wartawan di Surabaya

Siapa Walikota “Pertama” Surabaya

Radjamin Nasution

Walikota Pertama Surabaya

Oleh: Yousri Nur Raja Agam M.H.

SAAT Surabaya dinyatakan sebagai sebuah permukiman resmi pada abad ke-13 sebagaimana disebutkan Surabaya lahir 31 Mei 1293, penduduknya mungkin belum mencapai seribu orang. Namun, dengan makin berkembangnya Kerajaan Majapahit di bawah Raden Wijaya dan seterusnya mencapai puncak saat Raja Hayamwuruk didampingi perdanamenterinya, Mahapatih Gajah Mada, pelabuhan Hujunggaluh semakin ramai.

Kesibukan di pelabuhan Hujunggaluh yang merupakan nama asal Surabaya, menjadi daya tarik warga daerah lain datang ke sini. Ada yang datang dari daratan pedalaman Pulau Jawa, ada pula yang menyeberang dari pulau-pulau lain di Nusantara. Bahkan, tidak sedikit yang semula sebagai saudagar dari Arab, India dan Cina, menetap di sini.

Bercampurbaurlah masyarakat pendatang dari berbagai suku, ras dan keturunan di Surabaya ini, yang kemudian menetap, lalu menjadi “Arek Suroboyo”.

Perkembangan penduduk Surabaya ini memang unik dan menarik, kata sesepuh Kota Surabaya, Prof.DR.H.Roeslan Abdulgani. Kendati hidup berkelompok menurut asalnya, tapi dalam kegiatan bermasyarakat untuk kepentingan Surabaya, mereka bersatu. Lihat saja, mereka yang berada di sekitar pantai dan pelabuhan, umumnya mereka berasal dari Madura, Bugis, Ambon dan Banjar. Sedangkan yang berada di tengah kota asal, yaitu sekitar pusat perdagangan Kembang Jepun sampai Tunjungan, kebanyakan warga keturunan Arab, Cina dan India, serta warga pendatang dari pedalaman Jawa dan perantau dari Sumatera.

Saat Belanda menjajah dan memerintah di Indonesia, termasuk Kota Surabaya, semula mereka bekerjasama dengan pemerintahan Kerajaan Majapahit. Di Surabaya ada keadipatian atau Kadipaten Surabaya, terus sampai kemudian Indonesia merdeka.

Surabaya sebagai sebuah pusat perdagangan yang mempunyai pelabuhan tempat sandar kapal-kapal dagang, maju dan berkembang. Surabaya menjadi kabupaten yang wilayahnya termasuk Gresik. Awal abad ke-20 Kabupaten Surabaya dibagi menjadi Kota Surabaya dan Kabupaten Surabaya – Kabupaten Surabaya kemudian berganti nama menjadi Kabupaten Gresik.

Burgemeester

Hari lahir atau ditetapkannya Surabaya sebagai kota, oleh Pemerintah Kolonial Belanda, bersamaan dengan beberapa kota lain di Indonesia, tanggal 1 April 1906. Dulunya, tanggal 1 April itulah Hari Ulang Tahun (HUT) Kota Surabaya, namun sejak tahun 1975 diubah menjadi 31 Mei.

Sejak Surabaya menjadi kota dan berpemerintahan sendiri, Kota Surabaya ini pemimpinnya dirangkap oleh Residen Surabaya. Pemerintahan Dalam Negeri Hindia Belanda menetapkan status Surabaya sebagai Kotapaja dengan Hak Otonom (Zelfstaandige Stadsgemeente). Perangkapan jabatan oleh Residen Surabaya berlangsung 10 tahun sebagai masa peralihan. Baru 21 Agustus 1916, diserahkan kepada kepala pemerintahan kota yang disebut Burgemeester.

Orang pertama yang ditunjuk sebagai burgemeester adalah Mr.A.Mey Roos. Empat tahun kemudian, tahun 1920 ia diganti oleh Ir.G.J.Dijkerman. Selama enam tahun memerintah sampai tahun 1926, ia digantikan oleh H.J.Bussemaker (1926-1932). Berturut-turut berikutnya burgemeester adalah:: Ter Poorten (1932-1936), MHW Van Helsdingen (1936-1942). Pada bulan Januari 1942, burgemeester Surabaya diserahterimakan kepada Mr.W.A.H.Fuchter. Namun, hanya satu bulan memerintah, Balatentara Jepang masuk ke Indonesia. Belanda, pada Februari 1942 meninggalkan pemerintahan kota Surabaya.

Begitu Belanda angkat kaki dari Indonesia, pemerintahan Kota Surabaya diambilalih oleh para pegawai di lingkungan Pemerintah Kota Surabaya. Pada masa transisi ini berdasarkan kesepakatan bersama ditetapkan, karyawan pribumi yang cukup berwibawa waktu itu Radjamin Nasution Gelar Sutan Komala Pontas, sebagai Pejabat Walikota. Di bawah suasana Perang Dunia II itu, pengaruh kekuasaan Balatentara Jepang semakin terasa. Selama delapan bulan sejak Februari hingga September 1942, Radjamin Nasution mengendalikan Pemerintahan Kota Surabaya.

Jepang yang sudah berkuasa secara penuh di persada Nusantara, kemudian ikut menata pemerintahan. Namun Jepang bersikap kooperatif. Kendati kekuasaan tertinggi di Kota Surabaya diambilalih, dengan menetapkan Takahashi Ichiro sebagai walikota yang disebut Shi Tyo , namun mereka menetapkan Radjamin Nasuition menjadi wakil walikota yang disebut Asisten Shi Tyo.

Walikota Pertama

Saat Pemerintahan Jepang menyatakan “kalah” dalam Perang Dunia II, setelah bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, bulan Agustus 1945, kemudian Indonesia juga memproklamasikan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945. Takahashi Ichiro kemudian menyerahkan sepenuhnya kepala pemerintahan Kota Surabaya kepada wakilnya, Radjamin Nasution.

Pemerintah Balatentara Jepang kalah dan Indonesia merdeka. Maka terhitung sejak Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, Radjamin Nasution Gelar Sutan Komala Pontas ditetapkan sebagai Walikota Surabaya.

Radjamin Nasution yang bertempat tinggal di Jalan Alun-alun Rangkah No.3 Surabaya atau Jalan Taman Putroagung No.9 Surabaya itu, memerintah Kota Surabaya dalam suasana perang. Betapa tidak, menurut orang-orang tuawarga di kampung Rangkah, saat menjadi walikota itu, Radjamin lebih banyak disibukkan dengan urusan perang. Sebab, setelah Indonesia merdeka dan Jepang kalah, ternyata orang-orang Balanda yang ada di Surabaya bangkit. Belanda yang ada di Surabaya seolah-olah ikut menang, sehingga mereka berusaha untuk kembali memerintah. Di tambah lagi dengan gencarnya serangan tentara Sekutu untuk merebut kekuasaan di Indonesia, termasuk Surabaya.

Setelah Indonesia dinyatakan merdeka, Radjamin Nasution sebagai seorang pejabat karir berusaha memperbaiki administrasi pemerintahan kota. Ia berkoordinasi dengan Residen Surabaya, waktu itu, R.Soedirman dan Gubernur Jatim RM Soeryo.

Saat terjadi pertempuran sengit antara pejuang Arek Suroboyo melawan Sekutu yang dikendalikan tentara Inggris, korban berjatuhan. Ratusan dan mungkin ribuan orang gugur di medan perang Surabaya. Patriot bangsa ini dikuburkan di berbagai makam. Salah satu di antaranya, lapangan olahraga pelajar juru rawat yang terletak di belakang Rumah Sakit Simpang dijadikan kuburan.

Atas gagasan Walikota Surabaya, Rajamin Nasution, kemudian pemakaman para pejuang yang gugur itu dipindahkan ke lapangan “Canna” (di Jalan Kusuma Bangsa, sekarang). Untuk pertamakalinya dimakamkan 26 orang pejuang. Upacara pemakaman ini dipimpin langsung oleh Rajamin Nasution selaku Kepala Pemerintahan Kota (Walikota).

Saat berpidato mengantarkan para pejuang ke tempat peristirahatannya yang terakhir itulah tercetus untuk menjadikan lapangan Canna itu menjadi “Taman Bahagia” dankemudian berubah menjadi TMP (Taman Makam Pahlawan) Kusuma Bangsa.

Masih menurut penuturan orang-orang tua, warga Kelurahan Rangkah, Kecamatan Tambaksari, kepemimpinan Radjamin Nasution itu cukup bagus. Ia sangat memperhatikan karyawan. Bahkan, saat pemerintahan Kota Surabaya “terpaksa” mengungsi ke Mojokerto dan Tulungagung, ia mengendalikan Surabaya dengan wira-wiri antara Surabaya, Mojokerto dan Tulungagung.

Ketika menjadi walikota itu, Radjamin juga sibuk menghimpun kekuatan perlawanan terhadap gempuran sekutu. Ia bersama pemuda dan karyawan yang masih bertahan di Surabaya, bahu membahu menyediakan keperluan pejuang. Ada satu yang tidak pernah dilupakan oleh ibu-ibu tua warga kampung Rangkah yang ikut mengungsi ke Tulungagung, Radjamin mengumpulkan pakaian bekas dan karung goni untuk bahan pakaian para pejuang di Surabaya.

Perhatian Radjamin di masa “sulit” itu kepada pegawai Pemkot Surabaya yang mengungsi sangat besar. Dari Surabaya, ia membawa sendiri uang untuk membayar gaji para karyawan yang berada di tempat pengungsian, di Mojokerto, Jombang dan Tulungagung.

Belanda “sempat merebut” pemerintahan di Kota Surabaya, dengan menetapkan Mr.O.J.C.Becht sebagai Kepala Urusan Haminte selama dua bulan. Sehingga, berakhirlah masa pemerintahan Radjamin Nasution sebagai walikota pertama Surabaya.

Pemakaman Rangkah

Radjamin Nasution Gelar Sutan Komala Pontas menjadi arek Suroboyo sejak tahun 1930-an dan terakhir bertempat tinggal di Jalan Alun Alun Rangkah No.3 Surabaya. Setelah melepas jabatan walikota Surabaya, Radjamin duduk sebagai anggota DPRD Kota Surabaya sampai tahun 1955.

Saat menjadi anggota DPRD Kota Surabaya itu, Rajamin Nasution ikut mendirikan YKP (Yayasan KasPembangunan) Kota Surabaya. YKP adalah sebuah yayasan yang sudah banyak mendirikan perumahan untuk pegawai dan masyarakat umum dengan sitem menabung. Hingga sekarang YKP masih ada dan sudah mempunyai anak perusahaan bernama PT.Yekape yang juga bergerak di bidang real estat (pengembang kawasan perumahan) di dalam kota Surabaya dan sekarang bahkan sudah sampai ke luar kota.

Setelah Pemilu 1955, Radjamin terpilih mewakili Jawa Timur di DPR Pusat di Jakarta. Radjamin meninggal dunia 10 Februari 1957 dan dimakamkan di Kota Surabaya.

Radjamin Nasution yang lahir di Desa Barbaran Julu, Panyabungan, Mandailing, Sumatera Utara tanggal 15 Agustus 1892, saat meninggal dunia, ia meninggalkan delapan orang anak. Salah satu di antaranya adalah Irsan Radjamin, suami dari wanita pejuang Surabaya, Hj.Lukitaningsih Irsan Radjamin, Ketua Umum Wirawati Catur Panca (Ibu-ibu Kelasyakaran Pejuang Eksponen Angkatan 45).

Menurut warga Rangkah, saat jenazah disemayamkan di rumah duka ada yang mengusulkan almarhum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa. Sebab, dalam kegiatannya menjelang dan setelah Kemerdekaan RI, selalu berada di garis perjuangan. Namun atas “wasiat” almarhum, kata anak-anaknya, ia ingin dimakamkan di tengah-tengah warga Surabaya. Maka, Radjamin Nasution, dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Rangkah, di Jalan Kenjeran. TPU Rangkah ini adalah TPU terbesar ke dua setelah TPU Tembok. Dan di TPU Rangkah ini pulalah dimakamkan Pahlawan Nasional Pencipta Lagu Indonesia Raya, Wage Rudolf Soepratman.

Mr.Indrakoesoema dan Mr.Soerjadi

Pada bulan Desember 1945, pemerintahan kota Surabaya kembali direbut Arek-arek Suroboyo dan menunjuk Mr.Indrakoesoema sebagai walikota. Tidak lama memang, Mr.Indrakoesoema menjadi walikota, hanya tiga bulan dari bulan Desember 1945 hingga Februari 1946. Walikota Indrakoesoema diganti oleh Mr Soerjadi. Cukup lama,lima tahun masa pemerintahan dipegang Mr.Soerjadi.

Pada awal pemerintahan Walikota Surabaya, Mr.Soerjadi, suasana kota masih mencekam. Tentara Inggris dan Sekutu masih berada di Surabaya. Di beberapa tempat masih terdengar denduman bom dan mortis, serta desingan peluru senapan. Menurut Sutjipto Danukusumo yang waktu itu menjadi komandan pasukan Polisi Istimewa dengan pangkat Inspektur Polisi, tentara Inggris masih mengejar-ngejar pejuang sampai ke Karangpilang dan Sepanjang.

Walaupun situasi masih gawat, Mr.Soerjadi berusaha mengendalikanberbagai kegiatan pembangunan kota. Puing-puing sisa perang melawan Sekutu dan anteknya Belanda mulai dibenahi. Para pejuang yang mengungsi ke berbagai kota, mulai kembali secara bertahap ke kota Surabaya. Soerjadi juga melakukan pembenahan administrasi dan kantor Pemkot Surabaya. Gedung balaikota sebagai pusat pemerintahan difungsikan sebagai pusat pengendalian pemerintahan.

Suhu politik di ibukota Pemerintah Republik Indonesia (waktu itu di Jogjakarta) pada awal tahun 1946 kian memanas. Berbagai kegiatan yang mendukung persatuan nasional semakin meningkat di kalangan pelajar dan mahasiswa. Begitu pula dengan wartawan. Sampai-sampai di saat yang genting itu, para wartawan dari seluruh Indonesia, khususnya dari Jawa dan Sumatera, berkumpul di Solo. Di sana bahkan dideklarasikan berdirinya organisasi wartawan Indonesia yang bernama PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), tepatnya tanggal 9 Februari 1946.

Pak Wiwiek yang punya nama asli Said Hidayat, kelahiran Rembangan, Jember, Jawa Timur tanggal 22 April 1922 itu mengisahkan, sebagai wartawan dan pendiri Kantor Berita Antara di Surabaya, ia sering mendampingi Mr. Soerjadi. Tidak jarang, ia duduk berlama-lama bersama Soerjadi membicarakan pasca perang di Surabaya itu.

Masa kepemimpinan Mr. Soerjadi ini keadaan negara dalam keadaan genting, sebab terjadi agresi pertama tahun 1947. Perselisihan dengan pihak Belanda semakin meruncing sehingga mempengaruhi stabilitas ekonomi dan pemerintahan. Saat beberapa kali Pemerintah Republik Indonesia yang disebut Pemerintah Pusat melakukan perundingan dengan pihak Belanda mengalami kegagalan, kejadian inipun menimbulkan ketegangan internal dalam Pemerintahan Kota Surabaya.

Berkat tangan dingin Mr. Soerjadi yang ahli hukum pemerintahan itu, situasi Kota Surabaya dapat dikendalikan. Inipun tidak lepas dari kordinasi dan kerjasama sesama mantan pejuang. Bahkan, kerjasama dengan pihak kepolisian, khusunya waktu itu Polisi Istimewa dan tentara (BKR, kemudian menjadi TKR, TRI dan terakhir menjadi TNI) berjalan sangat harmonis.Waktu itu, Komandan Komando Pertahanan Kota Surabaya dijabat oleh Kolonel Soengkono dan Kepala Kepolisian Surabaya adalah Komisaris Polisi Budiman.

Tanggal 21 Juli 1947, Belanda melakukan serangan bersenjata melalui darat, laut dan udara. Perang Kemerdekaan I yang disebut Agresi I melawan Belanda berlangsung di mana-mana. Belanda dengan tuntutan Gandarmerry tidak mengakui kemerdekaan RI.Namun peperangan itu berakhir dengan gencatan senjata, 4 Agustus 1947. Pemerintah Pusat mulai melakukan perundingan dan menempuh jalur diplomatik. Sebagaimana diungkap dalam sejarah, terjadi perundingan KTN (Komisi Tiga Negara) sebagai pendamai. Indonesia diwakili Australia, Belanda oleh Belgia dan Amerika mewakili negara-negara lain di dunia.

Perundingan berlanjut dengan “Perjanjian Renvile”, karena perundingan dilaksanakan di atas kapal Renvile yang sedang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Perundingan demi perundingan berlangsung, sampai terlaksana Perjanjian Linggarjati. Tetapi sayang, pihak Belanda igkar janji, perjanjian Linggarjati dilanggar. Akhirnya terjadilah Perang Kemerdekaan II atau Agresi Belanda II bulan Desember 1948.

Keadaan ini sangat berpengaruh kepada pemerintahan kota Surabaya. Mr.Soerjadi terus melakukan koordinasi dengan staf dan jajaran pegawai. Urusan administrasi dan keperluan warga terus dilayani. Waktu itu, yang sangat dibutuhkan adalah kartu pengenal dan surat jalan. Waktu itu, lalulintas manusia dari dalam ke luar kota menimbulkan saling curiga. Di samping adanya mata-mata Belanda, juga ada kegiatan pemberontakan PKI di Madiun.

Tidak jarang sesama mantan pejuang tahun 1945 itu terdengar pekik “merdeka”, apabila mereka bertemu. Namun keadaan tidak sepenuhnya kondusif, karena juga ada yang saling curiga. Di beberapa tempat di Surabaya ini terjadi tindakan anarkis.

Setelah masa tegang mulai mengendur, kehidupan warga Surabaya mulai membaik. Kegiatan ekonomi di pasar-pasar mulai bergairah. Kantor-kantor juga mulai melakukan penataan. Tetapi di balik itu semua, tidak dapat dipungkiri, bahwa para pemuda pejuang yang merasa punya peran menghadapi Jepang dan Sekutu, melakukan perampasan barang-barang peninggalan Belanda dan Jepang. Rumah-rumah di kawasan elite, seperti di sekitar daerah Darmo, Ketabang, Genteng, Embong Kaliasin, Undaan, Raya Gubeng dan wilayah lainnya diduduki. Lama kelamaan, rumah itu dikuasai dan ditempati oleh keluarga. Bahkan, sekarang sudah menjadi milik mereka.

Walikota Surabaya, Mr. Soerjadi juga sangat berperan dalam pengaturan barang-barang milik Belanda yang ditinggal saat terjadi perang perjuangan tahun 1945 itu. Dinas perumahan bekerjasama dengan pihak militer, melakukan inventarisasi dan pengaturan. Walaupun awalnya mendapatkan rumah-rumah itu secara “gratis”, namun Pemerintahan di bawah Mr. Soerjadi ini berusaha menjaring pemasukan keuangan untuk Pemkot Surabaya. Ada yang dengan sistem sewa, izin pemakaian dan izin menghuni, sehingga ada pemasukan untuk kas Pemkot Surabaya. Tarifnya memang tidak mahal, sehingga terjangkau oleh warga kota Surabaya yang umumnya adalah para pegawai di kantor-kantor pemerintah maupun perusahaan besar waktu itu.

Mr.Soerjadi juga banyak melakukan pendidikan hukum bagi warga kota tatkala terjadi perselesihan dan sengketa antarwarga. Adakalanya, rumah yang ditempati bekas pejuang itu adalah inventaris kantor perusahaan perkebunan, pelabuhan, pabrik atau swasta lainnya. Dengan sikap kepemimpinan yang bijaksana, perselisihan dapat didamaikan, kata Wiwiek Hidayat (alm), mantan kepala kantor LKBN Antara Surabaya langsung kepada penulis.

Banyak cerita tentang Mr.Soerjadi ini yang penulis peroleh Wiwiek Hidayat yang tinggal di Jalan Jimerto 23 A atau Jalan Jaksa Agung Suprapto 31 Surabaya itu. Pak Wiwiek – begitu wartawan senior ini biasa disapa – banyak tahu tentang Surabaya, sehingga tidak mengherankan kalau Walikota Surabaya R. Soekotjo mempercayakan kepadanya untuk memimpin tim penyusunan sejarah Surabaya tahun 1973.

Tahun 1947 hingga 1949, katanya, situasi negara kita ini dalam keadaan menegangkan. Konfrontasi secara nasional dengan pihak Belanda masih terjadi. Belanda masih berusaha untuk mencengkamkan kembali kekuasaannya di tanahair tercinta ini. Kerajaan Belanda tidak mengakui kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945.

Kordinasi dengan Pemerintahan Provinsi Jawa Timur pada zaman Mr. Soerjadi berjalan baik, di samping dengan Residen Sudirman. Ada tiga gubernur yang menjadi atasan langsung Mr. Soerjadi. Pertama, RT Soerjo yang memerintah sejak tahun 1945 hingga 1948. Belanjut yang kedua dengan gubernur Jatim, Dr. Moerdjani tahun 1948-1949 dan yang ketiga, saat pemerintahan gubernur Jatim R. Samadikoen.

Sebagai walikota Surabaya dalam keadaan negara yang bergolak, kepemimpinan Mr. Soerjadi layak dicatat sebagai penegak kedaulatan pemerintahan sipil di Surabaya, kata Wiwiek Hidayat yang pernah dinobatkan Panglima Besar Jenderal Sudirman sebagai “wartawan perang” itu.

Kepada penulis saat di akhir hayatnya, Pak Wiwiek sempat mengeluh. Ia merasa heran terhadap beberapa pejabat di kantor Pemkot Surabaya, mengapa dalam pemerintahan kota Surabaya terjadi “diskriminasi” sejarah. Jasa yang begitu besar dari para walikota di zaman perang kemerdekaan, seolah-olah tidak pernah ada. Menurut Pak Wiwiek, ia tahu persis bagaimana kiprah walikota Radjamin Nasution dan Mr.Soerjadi. Sebagai seorang wartawan, ia sering hanya berdua dengan sang walikota. Wawancara khusus, katanya.

Sebagai pejabat pemerintahan kota Surabaya, kiprah ke dua walikota ini patut diabadikan. Apalagi hingga akhir hayatnya ke dua orang itu masih tetap peduli dengan kota Surabaya. Merekapun meninggaldunia dan dimakamkan di bumi Surabaya, kata mantan Kepala LKBN Antara di Filipina itu.

Namun ujar Wiwiek Hidayat, ia tidak tahu persis bagaimana dengan walikota Indra Koesoema, sebab, dia hanya sebentar menjabat. Saat itu Indra Koesoema adalah hakim di Pengadilan Surabaya. Dia menggantikan Mr.C.J.C. Becht, Kepala Urusan Haminte saat Belanda kembali mengambilalih pemerintahan. Tiga bulan di sejak Desember 1945 dan berakhir Februari 1946. Setelah itu, walikota dijabat oleh Mr.Soerjadi sampai tahun 1950.

H.Doel Arnowo

Lima tahun menjadi walikota Surabaya, bagi Mr.Soerjadi adalah merupakan pengabdian yang cukup sebagai abdi negara. Apalagi waktu itu adalah masa penataan kembali bangsa ini sehabis diobrak-abrik oleh penjajah yang ingin mencengkeramkan kembali kuku kolonilaismenya di bumi Pertiwi.

Tahun 1950, setelah “Penyerahan Kedaulatan” , walikota Surabaya dijabat oleh Doel Arnowo. Doel Arnowo adalah tokoh Surabaya yang sebelumnya menduduki jabatan Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Keresidenan Surabaya yang terbentuk tanggal 27 Agustus 1945.

Hanya dua tahun Doel Arnowo menjadi walikota Surabaya, yakni hingga 1952.

Dalam masa pemerintahan Doel Arnowo ini, ada sejarah luar biasa yang dicatat Pemkot Surabaya. Di tahun 1950 itu, Presiden Soekarno menetapkan Surabaya sebagai Kota Pahlawan. Pada upacara peringatan peristiwa bersejarah 10 November 1945 yang pertamakalinyaberlangsung di Surabaya, 10 November 1950, Bung Karno menyatakan tanggal 10 November sebagai “Hari Pahlawan”.

Bersamaan dengan itu, Bung Karno juga melaksanakan peletakan batu pertama pembangunan Tugu Pahlawan di bekas lahan gedung Raad van Justitie (pengadilan tinggi) zaman Belanda dan markas Kenpetai pada zaman Jepang. Tanggal 17 Agustus 1952, pembangunan Tugu Pahlawan selesai dan diresmikan sebagai monumen bersejarah untuk memperingati perjuangan heroik Arek Suroboyo melawan Sekutu dan Inggris, serta Belanda.

Tahun 1952, arek kampung Genteng ini diganti Moestadjab Soemowidagdo. Di masa pemerintahan Moestadjab Soemowidagdo inilah secara bertahap pembangunan Surabaya ditata. Sebab, sejak walikota pertama (Radjamin Nasution), hingga walikota hingga walikota ke empat (Doel Arnowo), pemerintahan lebih terfokus kepada perjuangan kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan.

Berikutnya, pemerintahan kota Surabaya berjalan di bawah kendali Pemerintah Republik Indonesia. Setelah lima tahun memerintah, Moestadjab sebagai walikota tahun 1956 diganti oleh walikota R.Istidjab Tjokrokoesoemo (1956-1958). Kemudian berturut-turut Kota Surabaya dipimpin walikota Dr.R.Satrio Sastrodiredjo (1958-1964), Moerachman,SH (1964-1965), Kolonel R.Soekotjo (1965-1974).

Saat walikota dijabat R.Soekotjo, sebutan walikota ditambah menjadi Walikota Kotamadya Surabaya. Sewaktu walikota berikutnya, Kolonel HR Soeparno (1974-1979), sebutan untuk walikota diubah menjadi Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II (KDH) Tk.II Surabaya. Begitu pula saat kursi walikota diduduki Kolonel CPM Drs.Moehadji Widjaja (1979-1984).

Tahun 1984, walikotamadya Surabaya beralih kepada Kolonel dr.H.Poernomo Kasidi yang memerintah dua kali masa jabatan hingga tahun 1994. Dalam pemerintahan Poernomo Kasidi ini, tahun 1988 ditetapkan adanya jabatan Wakil Walikota untuk Kotamadya Surabaya. Orang yang mendapat kepescayaan sebagai wakil walikotamadya itu adalah Drs.H.Soenarjo (1988-1992). Tahun 1992, Soenarjo diganti oleh Drs.Istijono Soenarto.

Setelah habis masa jabatan dr.H.Peornomo Kasidi, tahun 1994, terpilihlah Kolonel H.Sunarto Sumoprawiro sebagai walikotamadya Surabaya dengan wakil walikotamadya tetap Drs.Istijono Soenarto. Tahun 1995, Istijono diganti oleh Drs.Wardji sampai tahun 2000. Masa jabatan Cak Narto – panggilan akrab untuk Sunarto Sumoprawiro – habis tahun 1998. Namun, karena suasana politik Indonesia di awal masa Reformasi, pemilihan walikota tak mungkin dilaksanakan, maka masa jabatan Cak Narto diperpanjang hingga Juni 2000.

Sewaktu dilaksanakan pemilihan walikota – sesuai dengan Undang-undang No.22 Tahun 1999, sebutan walikotamadya KDH Tk.II diubah menjadi walikota – terpilihlah pasangan Cak Narto bersama Drs.Bambang Dwi Hartono,MPd sebagai walikota dan wakil walikota Surabaya untuk masabakti 2000-2005. Dalam perjalanan pemerintahannya, pada tanggal 15 Januari 2002, H.Sunarto Sumoprawiro, diberhentikan oleh DPRD Kota Surabaya sebagai walikota. Kemudian, sejak Juni2002, Wakil Walikota Drs.Bambang Dwi Hartono,MPd diangkat sebagai Walikota Surabaya untuk menghabiskan sisa masabakti pasangan Cak Narto-Bambang DH hingga 2005.

Tanggal 7 Maret 2005, masajabatan Bambang DH berakhir. Ia diberhentikan dengan hormat. Pada hari itu Gubernur Jawa Timur, H.Imam Utomo melantik Asisten I (Bidang Tatapraja) Sekretaris Provinsi Jatim , Drs.H.Chusnul Arifien Damuri,MM,Msi sebagai Pejabat (Pj) Walikota Surabaya.

Sesuai dengan perundang-undang baru, yakni Undang-undang No.32 tahun 2004, penggantian kepala daerah dilaksanakan dengan pemilihan langsung. Kepala daerah, yakni: gubernur, walikota dan bupati. Untuk pertamakalinya Pilkada (pemilihan kepala daerah) langsung diselenggarakan 27 Juni 2005.

Dalam Pilkada langsung pemilihan walikota langsung berpasangan dengan wakil walikota. Empat pasang calon walikota-wakil walikota yang dipilih warga kota Surabaya itu adalah:

(1) Ir.H.Erlangga Satriagung berpasangan dengan Drs.A.Hermas Thony. (2) Drs.Bambang Dwi Hartono,MPd berpasangan dengan Drs.Arif Afandi. (3) Drs.H.Gatot Sudjito,MSi berpasangan dengan Ir.Benyamin Hilly,MSi. (4) Ir.H.Alisjahbana,MA berpasangan dengan Drs.H.Wahyudin Husein.

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung, 27 Juni 2005, dimenangkankan pasangan Bambang DH dengan Arif Afandi. Kemudian pasangan Bambang DH dengan Arif Afandi dilantik 31 Agustus 2005 dan sekaligus pada hari itu berakhir masa jabatan Chusnul Arifin Damuri sebagai Pj.Walikota Surabaya.

Pasangan walikota dengan wakil walikota hasil Pilkada 2005, Bambang DH denganArief Afandi, memimpin Kota Surabaya untuk masabakti 2005-2010.

Fotonya Tak Dipajang

Pemerintah Kota Surabaya perlu diingatkan, dalam gedung-gedung resmi Pemerintah Kota Surabaya, tiga walikota sejak Indonesia merdeka tidak terpajang seluruhnya. Tiga foto mantan walikota pertama sampai ke tiga, yakni Radjamin Nasution, Mr.Indrakoesoema dan Mr.Soerjadi, tak terpanjang di tempat-tempat resmi di lingkungan Pemkot Surabaya. Seharusnya foto mereka itu dipasang dan digantung di gedung balaikota, gedung Pemerintahan Kota Surabaya dan rumah dinas walikota, serta di tempat lain yang layak.

Kecuali itu, foto mantan walikota Surabaya, Murachman,SH (1964-1965) karenaterlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September (G.30.S)/PKI (Partai Komunis Indonesia), juga tidak pernah dipajang. Ini mungkin pertimbangan politis.

Generasi muda memang layak mempertanyakan, mengapa yang dipajang, hanya mulai dari Walikota Doel Arnowo? Seolah-olah terjadi diskriminasi dan“pembohongan publik”, Selama ini, seolah-olah walikota pertama Surabaya itu adalah Doel Arnowo. Tetapi, kemudian untuk sekedar berkelit, maka disebutkanlah bahwa Doel Arnowo adalah walikota Surabaya pertama setelah “Penyerahan Kedaulatan”. Apakah memang ketentuannya demikian?

Sejarah harus diluruskan dan terbuka secara jujur. Jadi mengapa harus berat mengatakan bahwa walikota Surabaya yang pertama itu adalah “orang Batak” yang bernama Radjamin Nasution gelar Sutan Komala Pontas.

Kalau mau jujur, di berbagai kota dan kabupaten, foto-foto walikota dan bupati berkebangsaan Belanda dan Jepang juga ikut dipajang dan ditulis dalam prasasti. Sebagai contoh lagi, di kantor Gubernur Jawa Timur, foto-foto gubernur sejak zaman Belanda sampai Gubernur Jatim saat ini, H.Imam Utomo terpasang dan dipajang dengan rapi.

Lima foto gubernur Belanda yang dipajang di kantor Gubernur Jatim, adalah: M.Ch.Handerman (1928-1931), Ch de Man (1931-1933), JHB Kuneman (1933-1936), Ch.O.Van Der Plas (1936-1941), Mr.Ch.Hartevelt (1941-1942). Juga disebutkan nama Penguasa Perang di Jawa Timur oleh Pemerintahan Jepang yang bernama Syuchokan dijabat oleh Yasaoka Masaomi dengan wakilnya Soedirman – dikenal kemudian sebagai Residen Sudirman (1942-1945).

Berikut juga dipajang foto-foto gubernur Jatim di zaman merdeka, yaitu: RT Soeryo (1945-1948), Dr.Moerdjani (1948-1949), R.Samadikoen (1949-1957), RTA Milano (1957-1959), R.Soewondo R (1959-1963), Moch Wijono (1963-1967), RP Moh.Noer (1967-1976), R.Soenandar Prijosoedarmo (1976-1983), H.Wahono (1983-1988), H.Soelarso (1988-1993), HM Basofi Soedirman (1993-1998) dan H.Imam Utomo (1998-2008), serta begitu pula seterusnya nanti.

Dari Burgemeester ke Walikota

Selengkapnya inilah nama-nama Burgemeester, Kepala Pemerintahan Kota sampai ke Walikota Surabaya sejak 1 April 1906 hingga sekarang:

No.:Nama:Sebutan Jabatan : Masa Jabatan

1 : Mr.A.Meyroos : Burgermeester:1916-1920

2 : Ir.G.J.Dijkermen: Burgermeester:1920-1926

3 : H.J.Bussemaker: Burgermeester:1926-1932

4 : Ter Poorten: Burgermeester:1932-1936

5 : MHW Van Helsdingen: Burgermeester:1936-1942

6 : Mr.W.A.H.Fuchter: Burgermeester:1942(Jan-Feb)

7 : Radjamin Nasution: Pejabat Walikota:1942-1943

8 : Takahashi Ichiro: Shi Tyo:1943-1945

– Radjamin Nasution: Asisten Shi Tyo:1943-1945

9 : Radjamin Nasution: Walikota:1945(Ags-Nov)

10 : Mr.C.J.C. Becht: Kepala Urusan Haminte: 1945 (Nov)

11 : Mr.Indrakoesoema: Walikota:1945-1946

12 : Mr.Soerjadi: Walikota:1946-1950

13 : Doel Arnowo: Walikota:1950-1952

14 : Moestadjab Soemowidigdo: Walikota:1952-1956

15 : R.Istidjab Tjokrokoesoemo: Walikota:1956-1958

16 : dr.R.Satrio Sastrodiredjo: Walikota:1958-1964

17 : Moerachman, SH: Walikota:1964-1965

18 : R.Soekotjo: Walikota:1965-1969

19 : R.Soekotjo: Walikota Kotamadya:1969-1974

20 : HR Soeparno: Walikotamadya:1974-1979

21 : Drs.Moehadji Widjaja: Walikotamadya: 1979-1984

22 : dr.Poernomo Kasidi: Walikotamadya:1984-1989

– Drs.H.Soenarjo: Wakil Walikotamadya:1988-1989

23 : dr.H.Poernomo Kasidi: Walikotamadya:1989-1994

– Drs.H.Soenarjo: Wakil Walikotamadya:1994-1992

– Drs.Istiono Sunarto: Wakil Walikotamadya:1992-1994

24 : H.Sunarto Sumoprawiro: Walikotamadya:1994-2000

– Drs.Istiono Sunarto: Wakil Walikotamadya:1994-1995

– Drs.H.Wardji: Wakil Walikotamadya:1995-2000

25 : H.Sunarto Sumoprawiro: Walikota:2000-2002

– Drs.Bambang Dwi Hartono,MPd: Wakil Walikota:2000-2002

26 : Drs.Bambang Dwi Hartono,MPd: Walikota:2002-2005

27 : Drs.H.Chusnul Arifien Damuri,MSi: Pj.Walikota:2005(7 Maret- 30 Agst)

28 : Drs.H.Bambang Dwi Hartono,MPd: Walikota:2005-2010

– Drs.H.Arif Afandi: Wakil Walikota:2005-2010

29: Ir.Tri Rismaharini,MT: Walikota:2010-2015

-Drs.H.Bambang Dwi Hartono,MPd:Wakil Walikota:2010-2015

Dari urutan kepala pemerintahan Kota Surabaya sejak berbentuk gemeente yang dipimpin burgermeester di zaman penjajahan Belanda, hinggaShi Tyo pada penjajahan Jepang, kemudian Walikota mulai zaman kemerdekaan sampai sekarang, walikota pertama Surabaya adalah Radjamin Nasution.

Ternyata, Pemkot Surabaya menyadari hal ini. Dalam “buku kerja” tahun 2006, pada halaman 23, nama Radjamin Nasution sudah diletakkan pada urutan pertama nama-nama walikota Surabaya sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Berikut nama walikota kedua dan ketiga, Mr Indra Koesoema dan Mr Soerjadi. Begitu pula dengan nama dr.Satrio dan Moerachman,SH.

Diperoleh informasi, saat ini Pemkot Surabaya sedang berusaha mencari foto ke empat orang itu untuk dipajang di tempat-tempat resmi di balaikota dann kantor Pemkot Surabaya.

Tidak hanya foto-foto mantan walikota Surabaya yang seharusnya dilengkapi, tetapi juga perlu menelusuri jejak langkah kepemimpinan mereka. Para saksi mata dan saksi sejarah yang masih hidup sekarang ini, selayaknya memberi masukan ke Pemerintah Kota Surabaya.

Warga kota Surabaya juga menginginkan, apabila pada peringatan Hari Jadi Surabaya, tiap tanggal31 Mei, dilaksanakan ziarah ke makam-makam mantan walikota Surabaya yang terpencar di tiga tempat. Ada yang di pemakaman Rangkah, ada yang di TPU Ngagel dan TMP 10 November Jalan Mayjen Sungkono. ***

Tumenggung Raden Mas Ngabehi Sawunggaling

 Sawunggaling

Tokoh Legendaris

Surabaya Tempo Dulu    

Yousri Nur RA  MH

Yousri Nur RA MH

 

 

Oleh: Yousri Nur Raja Agam  MH

KEHEBATAN Adipati Jayeng Rono dalam kisah masa lalu Surabaya, juga sering dikaitkan dengan “tokoh legendaris” Surabaya lainnya, di antaranya: Sawunggaling. Berbagai versi tentang keberadaan dan ketokohan Sawunggaling ini.

Dari cerita tutur mulut ke mulut dan turun terumurun yang kemudian menjadi dongeng, serta disajikan dalam “Babad Surabaya”. Ada tiga versi tentang Sawunggaling yang diperoleh penulis. Versi masyarakat Wiyung dan versi warga Lidah Kulon, serta versi semi sejarah.

Versi Wiyung

Masyarakat daerah Wiyung sangat meyakini, bahwa Sawunggaling adalah putera asli daerah itu. Dikisahkan, nama Sawunggaling itu berasal dari dua kata, “Sawang” dan “Galing”. Sawang artinya lihat dan Galing berasal dari kata “aling” atau terhalang. Jadi artinya: penglihatan yang terhalang.

Ceritanya begini: Adipati Jayeng Rono hidup bahagia dengan anak isterinya di kepatihan. Sebagai kepala pemerintahan ia sering melakukan perjalanan kelililing. Sama dengan pejabat zaman sekarang, di hari-hari tertentu dimanfaatkan untuk santai dan menyalurkan hobi. Zaman dulu belum ada golf maupun tenis.

Nah, hobi dan kegemaran Adipati Jayeng Rono adalah pergi berburu ke hutan. Dengan kendaraan istimewa, kuda. Salah satu hutan, tempat sang adipati berburu adalah rawa-rawa dan hutan Wiyung di sebelah barat Surabaya. Sekarang Wiyung sudah menjadi salah satu kecamatan di Kota Surabaya.

 

Ternyata saat pergi berburu dengan menunggang kuda itu, setiap akan memasuki hutan mata sang adipati selalu “singgah” di sebuah gubuk. Di dalam gubuk itu tinggal keluarga yang mempunyai seorang gadis cantik. Lama kelamaan perburuan sang adipati, tidak lagi tertuju kepada binatang-binatang dalam hutan. Tetapi, justru kemudian menancapkan panah asmaranya kepada si gadis cantik dari Wiyung itu.

Dalam kisah ini, nama sang gadis dianggap tidak penting. Yang jelas, gadis ini merupakan kembang desa dan primadona di kampung pinggir hutan itu.

Dari kunjungan tidak rutin itu terjadilah hubungan rahasia antara sang adipati dengan gadis Wiyung ini. Hanya para pengawal dan mungkin sebagian warga desa yang mengetahui permainan asmara ke dua insan ini. Si ayah dari putri desa inipun tidak menghalangi, anaknya dipacari orang kaya. Dan mungkin pada mulanya si ayahpun tidak tahu, kalau pria itu adalah Adipati Jayeng Rono.

“Perselingkuhan” sang pejabat ini memang sangat rahasia, sehingga sama sekali tidak bocor di keraton. Keintiman sang adipati dengan gadis Wiyung itu akhirnya  mendapat restu ayah si gadis. Jadilah gadis desa itu “isteri simpanan” sang adipati. Dari perkawinan itu lahir seorang anak laki-laki yang dikenal dengan nama Sawunggaling.

Demi menjaga keutuhan keluarga keraton, Adipati Jayeng Rono melarang Sawunggaling dan keluarganya ke wilayah keraton. Nasihat sang ayah ini benar-benar dipatuhi Sawunggaling, maupun ibunya. Sawunggaling tumbuh menjadi remaja dan dewasa. Salah satu kegemaran Sawunggaling adalah memelihara ayam jago dan sering mengikuti adu ayam di kampungnya.

Pemerintahan Adipati Jayeng Rono terus mengalami kemajuan. Suatu hari untuk menetapkan seorang Temenggung, adipati kesulitan. Adipati Jayeng Rono yang juga punya hobi sabung ayam menyelenggarakan pertandingan sabung ayam terbuka. Hadiahnya, kepada pemilik ayam jago yang menang dan dapat mengalahkan ayam jago sang adipati, akan dinobatkan sebagai Tumenggung.

Sawunggaling yang mendengar ada pertandingan sabung ayam itu, minta izin kepada ibunya untuk ikut pertandingan sabung ayam di alun-alun keraton Surabaya. Ternyata dalam pertarungan itu, ayam jago Sawunggaling berhasil mengalahkan ayam jago Jayeng Rono. Sesuai dengan janji sang adipati, maka kemudian dinobatkanlah Sawunggaling menjadi Tumenggung di keraton Surabaya.

Setelah dinobatkan menjadi Tumenggung, Sawunggaling bersama ibunya tinggal di ketemang-gungan, tidak jauh dari keraton adipati. Namun, bagai-mana kemudian peran temenggung dalam pemerintahan Adipati Jayeng Rono tidak jelas. Bahkan, bagaimana kehidupan dan kelanjutan kisah Sawunggaling, tidak jelas juga.

Begitulah kisah versi masyarakat Wiyung. Cerita versi ini juga berkembang di kampung Kranggan, Surabaya lama. Di sini disebutkan, Kranggan ini adalah kampung para Ronggo. Jadi Kranggan itu berasal kata Ke-Ranggaan, yang terucap menjadi Kranggan. Rangga artinya keluarga keraton.

Versi Lidah Wetan

Kisah Sawunggaling di desa Lidah Wetan, lain lagi. Keberadaan Sawunggaling dibuktikan dengan adanya komplek makam yang disebut Makam Keluarga Sawunggaling. Letaknya di desa (sekarang kelurahan)  Lidah Wetan, Kecamatan Lakarsantri, Surabaya Barat.

Beberapa kali, saya ikut rombongan Walikota Surabaya H.Sunarto Sumoprawiro ke Lidah Wetan antara tahun 1996 hingga 2001. Kami melihat dari dekat komplek makam keluarga Sawunggaling. Atas prakarsa Cak Narto — panggilan akrab Sunarto — komplek makam itu dipugar. Saya bersama Cak Arifin Perdana dan Cak Eddy Sasmita saat itu memang sedang menyusun buku kedua tentang Cak Narto.

Makam keluarga Sawunggaling di Lidah Wetan itu hingga sekarang terawat dengan baik. Di komplek pemakaman itu terdapat lima makam, yakni:

Pertama: makam kakeknya bernama Wangsadrana alias  Raden Karyosentono.

Kedua: makam neneknya Mbah Buyut Suruh.

Ketiga: makam ibunya Raden Ayu Dewi Sangkrah.

Keempat: makam Raden Sawunggaling

Kelima: makam Raden Ayu Pandansari.

R.Karyo Sentono alias Wangsdrana

 

Lokasi tepatnya komplek makam  Sawunggaling adalah di belakang masjid Al-Qubro Jalan Lidah Wetan Gang III Surabaya. Nah, karena di gang III ini terletak komplek makam Sawunggaling, maka Jalan Lidah Wetan III disebut juga Jalan Lidah Wetan Sawunggaling.

 

Kisah tentang Pandansari ini beragam. Ada yang mengatakan ia adalah peri atau makhluk halus jadi-jadian yang selalu menyertai kemanapun Sawunggaling bepergian. Konon ia adalah lelembut, puteri kesayangan Raja Jin yang menguasai  hutan di wilayah Lidah, Wiyung dan sekitarnya.

Mbah Buyut Suruh

Ada pula yang menyatakan wanita cantik itu adalah isteri Sawunggaling. Namun masyarakat Lidah sebagian meyakini, Sawunggaling tidak pernah kawin dan membujang sampai wafat.

Sahibulhikayat, ketika seorang puteri keraton Jogjakarta bernama Raden Rara Blengoh datang ke Surabaya, ia tersesat ke desa Lidah. Di desa itu, ia ditampung oleh mbah Buyut Suruh yang tinggal bersama suaminya, Kepala Desa Lidah bernama Wangsadrana bergelar Raden Karyosentono. Rara Blengoh yang cantik itu diangkat sebagai anaknya sendiri.

Raden Ayu Dewi Sangkrah alias Rara Blengoh

Konon suatu hari, dalam perjalanan dinasnya, Adipati Jayeng Rono tertegun saat berada di Desa Lidah. Sang Adipati tidak menyangka di desa itu ada gadis cantik berdarah “biru”.  Setelah beberapa kali melakukan lawatan ke desa di pinggiran Surabaya itu, Adipati Jayeng Rono selalu menyempatkan singgah di rumah keluarga mbah Buyut Suruh dan Raden Karyosentono. Tujuannya tidak lain yaitu “mengapeli” anak angkat keluarga ini yang bernama Raden Rara Blengoh.

 

Gelora asmara benar-benar sudah tidak terbendung lagi. Tanpa banyak pertimbangan, pada suatu hari mengutus asisten khusus Adipati Jayeng Rono bernama Arya Suradireja untuk melamar Raden Rara Blengoh menjadi isterinya melalui Raden Karyosentono. Lamaran itu diterima oleh Raden Karyosentono setelah menyampaikan langsung kepada Rara Blengoh.

Setelah berunding ditetapkan waktu pernikahan. Acara perkawinan ini tidak besar-besar dan berlangsung agak “rahasia” tanpa sepengetahuan keluarga keraton itu. Setelah resmi menjadi isteri Adipati Jayeng Rono, Raden Rara Blengoh berganti nama dengan mendapat gelar menjadi Raden Ayu Dewi Sangkrah.

Nah, dari perkawinan itu, lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Jaka Berek yang kemudian mendapat nama atau gelar Raden Mas Sawunggaling.

Raden Mas Sawunggaling

Kepada Dewi Sangkrah, Adipapati Jayeng Rono berpesan agar menjaga dan mengasuh anaknya sampai dewasa. Demi menjaga kerukunan keluarga keraton, RA Dewi Sangkrah bersama keluarganya tetap tinggal di desa. Pesan lainnya, kalau nanti Sawunggaling sudah dewasa, beritahu bahwa ayahnya adalah Jayeng Rono dan menemuinya di keraton Surabaya. Sebagai tanda, Jayeng Rono meninggalkan sehelai selendang yang disebut “cinde” kepada Dewi Sangkrah. Dengan bukti selendang atau “cinde” itu nantinya Sawunggaling menemui ayahnya di keraton.

Raden Ayu Pandansari

Ketika Sawungggaling memasuki usia remaja, Dewi Sangkrah memberitahu anaknya, bahwa ia adalah anak Raden Adipati Jayeng Rono. Sesuai pesan ayahnya, apabila kelak sudah dewasa, agar menemui ayahnya di keraton Surabaya. Namun untuk menuju keraton tidak mudah, sebab waktu itu wilayah sekitar Lidah masih hutan belantara dan rawa-rawa. Ada ungkapan di kala itu: “jalmo moro, jalmo mati”, artinya: siapa yang berani masuk hutan, akan menemui ajal atau mati.

Dengan tekad yang bulat, Sawunggaling ditemani kakeknya Raden Karyosentono berangkat menuju keraton melintasi semak, rawa-rawa dan hutan belantara. Waktu itu, daerah Lidah, Wiyung, Lakarsantri dan Tandes masih merupakan rawa dan hutan lebat. Nah, saat memasuki hutan itu banyak gangguan. Di samping gangguan para punggawa, juga gangguan makhluk halus.

Bahkan, upaya untuk menggagalkan rencana Sawunggaling menemui ayah kandungnya di keraton Surabaya, juga dilakukan oleh dua adik tirinya, Sawungrono dan Sawungsari. Konon, saat Sawunggaling masih anak-anak dan  tidak pernah lagi didatangi Adipati Jayeng Rono, maka Dewi Sangkrah kawin dengan laki-laki lain dan melahirkan dua anak, bernama Sawungrono dan Sawungsari  Ke dua adik tirinya ini merasa iri terhadap Sawunggaling yang dikatakan ibunya masih berdarah biru itu.

Akhirnya berkat kesungguhan Sawunggaling bersama kakeknya Raden Karyosentono, mereka berhasil menerobos hutan dan rawa-rawa, hingga akhirnya sampai di keraton Surabaya. Dari pinggir hutan menuju ke keraton Surabaya, jalannya masih tanah, rawa-rawa dan melintasi berbagai perkampungan. Di antaranya daerah Tandes, Simo, Kupang, Pandegiling, Surabayan dan Kaliasin. Jalan lain, menyusuri jalan ke Wiyung, sisi Kali Surabaya dan Kalimas dari Gunungsari, Wonokromo, Gubeng, Keputran, Ketabang hingga Genteng.        Yousri Nur Raja Agam di tengah pemakamam Komplek Sawunggaling

Konon di balik tekad bulat dan kesungguhan Sawunggaling itu ada hal gaib yang menyertai. Peran magis dari Raden Ayu Pandansari, puteri cantik yang dipercaya sebagai keturunan lelembut tak bisa diabaikan. Perempuan jadi-jadian ini kabarnya adalah anak raja jin penguasa hutan Wiyung.

Keraton Adipati Surabaya lokasinya diperkirakan di gedung Balai Budaya Cak Durasim Jalan Gentengkali Surabaya (sekarang). Di sanalah Sawunggaling bersama Raden Karyosentono diterima Raden Adipati Jayeng Rono. Sawunggaling memperkenalkan diri dengan panggilan sehari-harinya, yakni: Joko Berek.

Setelah Joko Berek memperlihatkan selendang “wasiat” titipan ibunya, Adipati Jayeng Rono sertamerta merangkul Joko Berek yang tiada lain adalah anak kandungnya sendiri.

Sejak saat itu, Sawunggaling diberi tugas menjadi pendamping adipati sebagai Tumenggung dengan gelar Raden  Mas Ngabehi Sawunggaling Kulmosostronagoro.

Nah, mana di antara dongeng dan kisah Sawunggaling itu yang “sahih”, tidak ada yang berani memberi kepastian. Sebab, semua itu didasari pada konon dan konon. Kisah di atas, penulis dapat dari beberapa sumber warga Lidah Wetan yang saling melengkapi.

Gelar Doa dan Angkat Budaya

Masih dari Lidah Wetan, lain lagi dengan kisah yang diungkap Cak Mulyadi, salah seorang Panitia Gelar Doa dan Angkat Budaya Mengenang Keluarga Besar Joko Berek alias Raden Sawunggaling yang berlangsung 12-14 September 2012.

Mulyadi mengakui, memang kisah di Lidah Wetan ini hanyalah legenda, cerita dari orang-orang tua kepada anak cucunya. Dari tutur tinular itu dikisahkan, tentang seorang tumenggung yang sakti bernama Jayengrono. Dia tidak mau bersekutu dan mengikuti perintah kolonial Belanda yang selalu menyengsarakan rakyat kecil.

Melihat situasi Belanda  mulai bersimaharajalela di tanah Jawa, beliau prihatin. Banyak bupati dan tumenggung yang bersekutu dengan Belanda. Beliau sadar kalau Belanda semakin kuat dan akan menguasai tanah Jawa dan tentunya Surabaya.

Yousri Nur Raja Agam bersama Dr.Tjuk Sukiadi, DR.Suko Widodo dan Mulyadi saat acara Gelar Doa dan Angkat Budaya Sawunggaling, 12 September 20123 di Lidah Wetan, Surabaya

Atas kondisi itu, kata Mulyadi yang berulang-ulang menyebut dirinya sebagai “arek Lidah asli”, Tumenggung Jayengrono bersemedi di hutan rawa Wiyung guna mendapatkan kesaktian lebih dan minta petunjuk untuk melawan Belanda. Karena ketulusan dan kesungguhannya, saat bersemedi beliau berubah wujud menjadi pohon bambu atau carang.

Adalah seorang puteri keturunan darah biru yang tinggal di Lidah Donowati bernama Raden Ayu Dewi Sangkrah. Ke sehariannya dia selalu mencuci dan mandi di rawa Wiyung. Saat mandi, tanpa sengaja RA Dewi Sangkrah selalu meletakkan pakaiannya di pohon bambu yang tidak lain adalah jelmaan Tumenggung Jayengrono.

Tumenggung Jayengrono berusaha bertahan dan menganggap itu sebagai ujian atau godaan dalam semedinya. Namun, suatu ketika Tumenggung Jayengrono tergoda kecantikan RA Dewi Sangkrah. Semedi sang tumenggung gugur. Beliau merasa gagal. Dia sangat menyesal atas gugurnya semedi yang dilakukan.

Tiba-tiba ia mendapat wangsit. Dia tidak gagal mendapat kesaktian yang dia harapkan. Kesaktian itu akan dianugerahkan kepada anak yang kemudian dikandung oleh wanita yang meletakkan pakaiannya di pohon bambu atau carang yang merupakan jelmaan dirinya. Kelak dialah yang akan melawan kolonial Belanda. Selanjutnya bayi yang lahir dari hubungan Tumenggung Jayengrono dengan RA Dewi Sangkrah itu diberi nama Joko Berek.

Pada mulanya Joko Berek tumbuh sebagai pemuda desa yang bodoh dan bicaranya tidak jelas atau pelo. Sejalan berputarnya waktu dan peristiwa yang dialami, Joko Berek tumbuh sebagai satria gagah berani yang mempunyai kesaktian dan keistimewaan lebih. Dia mampu babat alas Nambas Kelingan dan mendirikan kota Surabaya. Dia juga membuat Belanda berang karena membunuh banyak pasukan Belanda, sementara Belanda tidak mampu menangkapnya.

Mulyadi didampingi empat orang panitia “gelar doa dan angkat budaya” dan dua warga Lidah dan Lakarsantri yang sengaja mengundang saya ke Lidah Wetan itu, mengatakan sampai sekarang belum ada data sejarah yang mengungkap tertangkapnya Joko Berek oleh Belanda. Karena kesaktian dan keistimewaannya Joko Berek mendapat gelar Raden Sawunggaling.

Joko Berek  ketika memasuki masa remaja sering diejek kawan-kawannya tidak punya bapak. Tidak kuat dengan ejekan itu  Joko Berek mendesak ibunya untuk menunjukkan siapa bapaknya. Karena sudah dianggap dewasa, Raden Ayu Dewi Sangkrah menceritakan riwayat dirinya dan memberitahu bahwa bapaknya adalah Jayengrono, Tumenggung Surabaya.

Dengan bekal cinde (selendang) yang diberikan Jayengrono dan disimpan Ayu Dewi Sangkrah, sang ibu melepas Joko Berek mencari bapaknya ke Surabaya. Joko Berek juga ditemani ayam kesayangannya yang diberi nama Bagong.

Sesampai di kabupaten atau ketemanggungan, meski mengaku anak Jayengrono, Joko Berek tetap dilarang masuk oleh penjaga. Pada saat yang bersamaan datanglah Sawungrono dan Sawungsari. Satria ini adalah putera Jayengrono yang merupakan adik tiri Joko Berek, Mereka adalah hasil perkawinan dengan seorang puteri dari Jawa Tengah yang sama-sama penggemar sabung ayam. Mereka marah atas pengakuan Joko Berek. Mereka berusaha menghalangi Joko Berek agar tidak bertemu dengan ayahandanya. Setelah melihat Joko Berek membawa ayam, timbul niatan Sawungrono dan Sawungsari menggunakan sabung ayam sebagai cara untuk menyuruh Joko Berek pulang. Mereka mengajak Joko Berek sabung ayam. Kalau menang, Joko Berek boleh masuk ke ketemanggungan, tetapi jika kalah Joko Berek harus pulang ke Lidah Wetan.

Ternyata si Bagong, ayam Joko Berek menang. Untuk menghalangi Joko Berek masuk, maka ayam milik Joko Berek dibawa lari. Joko Berek marah dan mengejar Sawungrono dan Sawungsari tanpa mempedulikan siapa yang menghalanginya. Merasa takut dikejar Joko Berek, Sawungrono dan Sawungsari minta perlindungan kepada ayahnya, Tumenggung Jayengrono.

Sesampai di ketemanggungan, Joko Berek menyampaikan tujuannya meminta kembali ayamnya dan dia juga mengatakan akan mencari bapaknya yang bernama Jayengrono. Sebagai bukti ia memperlihatkan cinde yang diberikan ibunya. Mendengar itu, Jayengrono tidak percaya begitu saja. Untuk membuktikannya Joko Berek diberi tugas merawat 144 ekor kuda. Selama merawat kuda-kuda itu tidak boleh ada satupun bulu kuda yang rontok. Jika sampai rontok, maka Joko Berek dianggap mengaku-aku saja sebagai anak Jayengrono. Ternyata diam-diam Jayengrono merasa yakin, Joko Berek memang anaknya.

Tidak hanya itu, ada kisah lain, ulas Mulyadi. Ketika Jayengrono dianggap tidak mau bersekutu dengan Belanda, maka Belanda berusaha melengserkan dia dari jabatan Tumenggung Surabaya. Bekerjasama dengan sekutunya Surohadiningrat yang menjabat adipati di Jawa Tengah, Belanda mengadakan lomba sodor. Barangsiapa yang mampu menyodor cinde puspita, maka ia akan diangkat menjadi Tumenggung Surabaya. Sebagai penyelenggara ditunjuk Cakraningrat adipati di Madura yang merupakan sesepuh Jawi Wetan (Jawa Timur).

Adipati Cakraningrat yang bersahabat dengan Tumenggung Jayengrono menyetujui siasat Belanda itu, karena yakin Sawungrono dan Sawungsari mampu memenangkan lomba tersebut, sehingga pimpinan ketemanggungan Surabaya tetap dipegang keluarga Jayengrono. Lomba sodor diselenggarakan dengan syarat pesertanya hanya para satria dan bangsawan.    Bersama tokoh dan masyarakat Lidah Wetan Kota Surabaya pada acara Gelar Doa dan Angkat Budaya Sawunggaling, 12 September 2012

Setelah beberapa hari lomba dilaksanakan, tidak seorangpun satria dan bangsawan yang mampu menyodor cinde puspita, termasuk Sawungrono dan Sawungsari. Tumenggung Jayengrono mulai gelisah. Melihat kenyataan ini, Joko Berek ingin menolong bapaknya sebagai darmabakti seorang anak kepada orangtuanya.

Akhirnya Joko Berek menghadap Cakraningrat dan menyampaikan keinginannya mengikuti lomba sodor. Cakraningrat yang tidak tahu jika Joko Berek putera Jayengrono marah dan menolak keikutsertaan Joko Berek.  Joko Berek ngotot. Berita kengototan Joko Berek ini didengar Jayengrono. Kepada Cakraningrat Jayengrono berterusterang, mengatakan bahwa Joko Berek memang anak kandungnya. Kemudian Joko Berek diperkenankan ikut lomba. Sebelum melaksanakan lomba, Joko Berek menjalani ritual doa dengan menyebut beberapa nama leluhur. Ungkapan ini dikenal dengan “Suluk Joko Berek”. Alhasil, Joko Berek mampu menyodor cinde puspita.

 

Melihat keberhasilan Joko Berek, Belanda dan Sosrohadiningrat bersama Sawungrono berusaha menghalangi Joko Berek sebagai Tumenggung Surabaya. Mereka membuat syarat tambahan kepada Joko Berek. Syarat itu adalah membabat alas Nambas Kelingan yakni hutan yang terkenal angker. Sebab, selama ini tidak pernah ada orang yang selamat keluar dari hutan tersebut.

Joko Berek yang lugu menyetujui syarat tambahan itu. Berangkatlah Joko Berek ke alas Nambas Kelingan. Dengan berbekal tombak Beliring Lanang dia berusaha membabat hutan itu dan meratakannya dengan tanah. Karena luasnya alas Nambas Kelingan, ditambah banyaknya dari jin-jin penunggu hutan itu, maka upaya Joko Berek tak kunjung selesai. Tiba-tiba muncul seorang peri bernama Ayu Pandansari. Karena tertarik dengan Joko Berek, Ayu Pandansari menawarkan bantuan membabat alas Nambas Kelingan itu. Jika berhasil Ayu Pandansari mengajukan syarat harus mengawininya. Joko Berek menolak tawaran itu dengan alasan mereka hidup di alam yang berbeda, yakni alam gaib dan alam nyata.

Joko Berek tidak mempedulikan Ayu Pandansari, namun pekerjaannya membabat hutan itu tak kunjung selesai. Di tengah perasaan keputusasaan itu, Joko Berek akhirnya mau dibantu Ayu Pandansari dengan janji akan mengawininya di alam nyata. Merekapun membuat kesepakatan dan saling menyetujui. Ayu Pandansari yang merupakan peri sakti itu masuk dan menyatu ke dalam tombak Beliring Lanang yang dimiliki Joko Berek. Dalam waktu sekejap, alas Nambas Kelingan rata dengan tanah.

Mendengar keberhasilan Joko Berek menjalani syarat tambahan itu, Cakraningrat merasa gembir, karena kursi ketemanggungan tidak lepas dari keluarga Jayengrono. Dia menyiapkan penyambutan untuk Joko Berek sebagai Tumenggung Surabaya. Cakraningrat juga mempersembahkan kepada Joko Berek gelar bangsawan Raden Sawunggaling.

Dalam upacara penyambutan itu, diam-diam pejabat Belanda, Sosrohadiningrat dan Sawungrono menyiapkan siasat licik dengan memasukkan racun ke dalam minuman Raden Sawunggaling. Tetapi karena Cakraningrat mengetahuinya, sebelum diminum Raden Sawunggaling, Cakraningrat menampiknya sehingga  gelas tersebut terjatuh. raden Sawunggaling marah dan mengejar Cakraningrat yang dianggapnya berusaha menggagalkan penobatannya sebagai Tumenggung Surabaya. Setelah dijelaskan oleh Cakraningrat bahwa minuman dalam gelas itu mengandung racun, maka Sawunggaling berbalik mengejar pejabat Belanda dan Sosrohadiningrat. Selanjutnya dikisahkan Sawunggaling membunuh Belanda yang ada di Surabaya dan mengejar pejabat Belanda beserta Sosrohadiningrat sampai ke Jawa Tengah.

Di akhir cerita, Sawunggaling menyampaikan, dia akan selalu memusuhi Belanda dalam generasi yang berbeda. Dengan semangat keberanian, kepahlawanan dan kejujuran, akan selalu tumbuh generasi yang akan datang.

Tokoh ini mampu muncul dalam abad yang berbeda dalam melawan Belanda. Padahal usia manusia tidak mungkin mencapai dua abad. “Bisakah misteri ini terungkap?” Karena ini sekedar legenda, masih perlu adanya penelusuran berdasarkan data sejarah yang akurat.

Dengan menyelenggarakan gelar doa bersama mengenang keluarga besar Joko Berek alias Raden Sawunggaling ini, kami berharap terka-teki tersebut terkuak kebenarannya. Paling tidak kita sudah mengakui bahwa di Lidah Donowati — sekarang disebut Lidah Wetan — pernah lahir seorang pahlawan di era atau masanya yang sangat gigih dan berani melawan penjajah Belanda, kata Mulyadi.

Versi Semi Sejarah

Ada lagi kisah Sawunggaling yang sudah mirip dengan cerita sesungguhnya, semi sejarah. Di sini diungkapkan tahun dan beberapa nama yang terdapat dalam buku-buku sejarah.

Suatu peristiwa diceritakan terjadi pertengahan tahun 1686. Rombongan Adipati Surabaya Raden Mas Jayengrana (dibaca: Jayengrono) yang menunggang kuda singgah di wilayah  pinggiran Kadipaten Surabaya, yakni di Desa Lidah Wetan. Waktu itu kawasan ini masih berupa hutan dan daerah rawa-rawa yang tidak begitu jauh dengan aliran sungai Kali Brantas.

Saat tiba di desa Lidah Wetan itu, sang adipati berhenti di depan rumah Kepala Desa Lidah Wetan, Wangsadrana. Raden Mas Jayengrana yang didampingi penasehat kadipaten Surabaya Arya Suradireja masuk dan beristirahat di rumah kepala desa itu. Sedangkan pengawalnya tetap berada di luar bersama warga desa sembari memberi makan kuda-kuda yang sebelumnya  mereka tunggangi.

Saat jamuan makan siang, Adipati Jayengrana dan Arya Suradireja dilayani anak semata wayang kepala desa bernama Rara Blengoh yang berusia 19 tahun.

Melihat perawan desa yang diperkenalkan Kades Wangsadrana sebagai anaknya, membuat hati Jayengrana bergelora. Kebekuan hati selama empat tahun menduda ditinggal isterinya yang meninggal dunia benar-benar mencair, bahkan memanas. Paman Arya Suradireja dan Kades Wangsadrana yang melihat pandangan mata sang adipati, bisa menebak gejolak hati “raja” Surabaya itu.

Kendati terbayang almarhumah isterinya yang sudah melahirkan lima orang putera, namun hasrat untuk menjadikan anak gadis Kades Wangsadrana sebagai pendamping hidupnya tak terbendung. Kegelisahan sang adipati dipahami oleh Wangsadrana dan Arya Suradireja. Tetapi Wangsadrana berpura-pura tidak tahu dan pergi ke luar rumah. Saat itulah Jayengrana menyampaikan hasratnya kepada Arya Suradireja untuk meminang  Rara Blengoh sebagai calon  isterinya.

Singkat cerita, lamaran sang Adipati Jayengrana yang sertamerta itu disampaikan dengan sangat hati-hati oleh Arya Suradireja kepada Wangsadrana. Dengan perasaan hati gembira, tetapi ragu-ragu menghadapi situasi itu yang mendadak itu, akhirnya Wangsadrama minta izin untuk menyampaikan kepada anaknya. Rara Blengoh benar-benar terkejut menerima informasi dari ayahnya. Namun setelah   diberi pengertian dan status adipati yang sudah empat tahun menduda, Rara Blengoh  menerima pinangan itu.

Setelah ditentukan waktunya, upacara pernikahan pun diselenggarakan di desa Lidah Wetan. Sengaja tidak dilaksanakan di Kadipaten Surabaya, untuk menjaga hati dan perasaan lima putera Jayengrana.

Ke lima putera Jayengrana waktu itu adalah Raden Mas Sawungkarna berusia 9 tahun, adiknya Raden Mas Sawungsari (7 tahun), Raden Mas Jaya Puspita (6 tahun) dan dua anak bungsu lahir kembar, Raden Mas Suradirana dan Raden Mas Umbulsangga (4 tahun).

Setelah pernikahan dan resmi menjadi isteri Raden Mas Jayengrana, Rara Blengoh mendapat gelar kehormatan Raden Ayu Dewi Sangkrah. Namun, sang adipati tetap tidak membawa isterinya ke kadipaten. Justru sang Adipati lah yang sering menginap di rumah kepala desa Lidah Wetan itu. Hampir setiap minggu, Jayengrana menyempatkan diri mengunjungi isteri mudanya itu.

Kasih sayang yang dipadu kedua insan ini membuahkan kehamilan Raden Ayu Dewi Sangkrah. Karena kesibukan di kadipaten, Jayengrana makin jarang ke Lidah Wetan. Sehingga sang adipati tidak menyaksikan kelahiran jabang bayi yang diberi nama Jaka Berek. Nah, andaikata dibuat sebuah hitung-hitungan secara normal, berdasarkan masa-masa  berseminya cinta Jayengrana dengan Raden Ayu Dewi Sangkrah, maka diperkirakan tahun kelahiran sang bayi yang kemudian dikenal dengan nama Sawunggaling itu adalah tahun 1687.

 

Zaman itu, keadaan situasi membuat kesibukan Jayengrana sebagai adipati Surabaya luar biasa. Inilah yang membuat sang adipati tidak sempat lagi mendatangi isterinya, karena situasi yang cukup gawat dampak dari pemberontakan Untung Surapati terhadap Belanda. Situasi ini berdampak buruk bagi Surabaya. Jayangrana benar-benar tak ada waktu berkunjung ke Lidah Wetan.

ari berganti bulan, bulan berganti tahun, usia Jaka Berek pun meningkat remaja. Pertengahan tahun 1704, saat Jaka Berek memasuki usia 17 tahun, ia meminta izin kepada ibunya, untuk menemui sang ayah di kadipaten Surabaya. Melihat kesungguhan hati si anak, maka kakeknya Wangsadrana berusaha meningkatkan ilmu dan kemampuan Jaka Berek. Di samping mengaji Al Quran dan taat menunaikan ibadah shalat, Jaka Berek juga dibekali ilmu beladiri silat dan kanoragan, serta tatakrama di lingkungan kadipaten.

Setelah dianggap matang, Jaka Berek diizinkan berangkat ke kadipaten dengan berjalan kaki menyusuri jalan di pinggir anak sungai Kali Brantas, yakni Kali Surabaya, sampai ke Kalimas. Ada peristiwa aneh yang ditemui Jaka Berek, saat dia melewati jalan desa sekitar Gunungsari. Seekor kuda lewat dengan membawa seorang laki-laki berkulit putih dalam keadaan pingsan di punggungnya. Kuda itu berhenti tatkala melihat Jaka Berek. Seolah-olah minta tolong, kuda itu menghampiri Jaka Berek. Tidak menunggu lama, Jaka Berek mengangkat tubuh laki-laki berhidung mancung itu ke bawah pohon. Kemudian Jaka Berek memberi minum dan membaca mantera yang pernah diajarkan kakeknya. Tak lama kemudian, bule itu siuman. Dia berterimakasih kepada jaka Berek yang sudah membantunya. Kedua anak muda yang berbeda ini berkenalan. Nama saya Van Jannsen, kata anak muda itu dengan Bahasa Jawa. Jaka Berek terkejut, ternyata Belanda ini sudah belajar Bahasa Jawa di Semarang.

 

Saat duduk berdua di pinggir Kali Surabaya, anak Kali Brantas itu, kedua anak muda ini semakin akrab. Apalagi, Van Jannsen telah banyak tahu dengan Surabaya dari pelajaran intelejen yang diterimanya. Van Jannsen, ternyata perwira muda yang sedang mengikuti wajib militer dari negaranya. Sebelum ke Indonesia, mereka sudah dibekali pengetahuan tentang daerah tujuannya, Jawa dan belajar bahasa Jawa.

Menurut Van Jannsen, dia bersama tiga temannya diutus ke Surabaya untuk menemui Adipati Jayengrana. Tetapi, saat berada di sekitar Lamongan, mereka diserang warga setempat. Mereka dikeroyok, namun Van Jannsen berhasil menyelamatkan diri. Namun mendekati Gresik, dia sudah tidak kuat menahan sakit akibat pentungan. Saat berada di punggung kuda itulah dia tidak sadarkan diri. Ternyata, kuda yang membawanya, bertemu dengan Jaka Berek.

Kendati tujuannya sama, yaitu sama-sama menuju Kadipaten Surabaya dan juga sama-sama akan menghadap Adipati Jayengrana, tetapi Jaka Berek tidak memberitahu tujuannya. Setelah saling bersalaman, Van Jannsen pamit untuk meneruskan perjalannya menuju Kadipaten Surabaya dengan menunggang kuda. Tidak lama kemudian, Jaka Berek juga berjalan menyusuri sungai Kali Surabaya. Ia berjalan terus sesuai petunjuk, berjalan menyusuri sungai Kalimas. Jaka Berek akhirnya  sampai juga di Alun-alun Contong, tidak jauh dari kadipaten. Di sana ia duduk-duduk dengan melepaskan lelah sembari memberi makan ayam jago yang dibawanya. Ayam jago itu diberi nama si Galing.

Karena kelelahan, Jaka Berek sempat tertidur di bawah pohon besar di Alun-alun Contong. Beberapa pemuda mencurigai orang asing itu. Malam itu ia ditangkap dan dibawa ke kadipaten. Sesampainya di kadipaten, Jaka Berek diinterogasi oleh petugas keamanan. Ketika diinterogasi itu, Jaka Berek menyatakan dia berasal dari Lidah Wetan. Kakeknya Wangsadrana mantan kepala desa di sana dan ibunya bernama Rara Blengoh dan juga dikenal dengan nama Raden Ayu Dewi Sangkrah. Maksud kedatangannya ke Surabaya untuk mencari ayahnya yang bekerja di kadipaten.

Antara percaya dan tidak mendengar jawaban anak bernama Jaka Berek itu, akhirnya petugas keamanan melapor kepada staf ahli kadipaten Arya Suradireja. Melihat pancaran sinar dari wajah Jaka Berek, Arya Suradireja terhenyak. Ia teringat kepada peristiwa di Lidah Wetan 19 tahun yang silam. Ia melihat bayangan wajah Wangsadrana dan gadis bernama Rara Blengoh.

Tanpa berpikir panjang, Arya Suradireja melapor kepada Adipati Jatengrana yang sedang memimpin rapat di pendapa kadipaten. Sang Adipati terkejut dan juga terharu saat melihat seorang anak muda tampan di depannya. Jaka Berek dibawa ke dalam kamar kerja Adipati diiringi oleh Arya Suradireja. Dari dialog singkat di kamar pribadi sang adipati itu, diyakini bahwa Jaka Berek adalah anak kandung Raden Mas Jayengrana. Di kamar itu mereka berangkulan dan saling melepas rindu disaksikan Arya Suradireja.

Suatu hal cukup membuat Jayengrana terkejut adalah, ketika Jaka Berek membuka baju dan celana luar yang dikenakannya. Ternyata di balik pakaian yang lusuh itu, Jaka Berek mengenakan pakaian yang rapi. Busana itu adalah pakaian Jayengrana yang ditinggal di rumah sang isteri Rara Blengoh yang bergelar Raden Ayu Dewi Sangkrah di Lidah Wetan. Suasana haru makin menjadi-jadi, Jayengrana kembali merangkul Jaka Berek, begitu pula dengan Arya Suradireja.

Tanpa basa-basi, Jaka Berek diajak ke pendapa kadipaten yang sedang ramai dengan pejabat kadipaten.  Jayengrana menyatakan kegembiraannya pada hari itu, karena dipertemukan dengan anak bungsunya, bernama Jaka Berek. Semua yang hadir terkejut. Anak-anak Jayengrana, sertamerta protes. Suasana menjadi tegang, karena Sawungkarna memperlihatkan kemarahan kepada ayahnya.

Ayahnya berterus terang, setelah menduda karena isteri pertamanya meninggal, ia pernah menikah di Desa Lidah Wetan dengan Raden Ayu Dewi Sangkrah, ibunda dari Jaka Berek. Kecuali Sawungkarna, ke empat putera Jayengrana tidak mempermasalahkan kehadiran Jaka Berek di kadipaten.

Kehadiran Jaka Berek di lingkungan keraton mendapat tantangan dari Sawungkarna. Secara kasar dia menyatakan tidak setuju. Bahkan Sawungkarna menantang Sawunggaling untuk menguji kesaktiannya. Sawungkarna mengajak Sawunggaling menuju alun-alun. Dia mengatakan, kalau engkau benar-benar anak ramanda Adipati Jayengrana, buktikan kesaktianmu. Sawunggaling hanya diam. Dengan merunduk dia berfikir untuk tidak melayani. Namun batinnya berkata dan seolah-olah menerima bisikan dari kakeknya Wangsdrana.

Kemudian Jaka Berek menengadah, lalu melihat ke arah sang adipati. Dengan penuh kasih sayang dan yakin kalau Jaka Berek adalah anak desa yang sudah terlatih ilmu beladirinya, Jayengrana menganggukkan kepala ketika Jaka Berek berdiri, seolah-olah minta izin kepada ayahnya. Memang benar, Jaka Berek sudah terlatih dalam ilmu silat. Dia sudah menguasai berbagai jurus apabila menghadapi tantangan. Apalagi satu kalimat yang selalu dipesankan oleh kakeknya: “Musuh jangan dicari, bertemu pantang dielakkan”.

 

Sama dengan putera Adipati Jayengrana lainnya, Jaka Berek, memang sudah dikenal sakti mandraguna, ora tedhas tapak paluning pandhe sisaning gurinda (sakti dan kebal menghadapi segala jenis senjata)

 

Sawungkarna juga mengajak adik-adiknya ke alun-alun.  Akhirnya dengan gerakan menunduk minta izin kepada sang Adipati, Jaka Berek mengikuti ajakan Sawungkarna. Bahkan, Adipati Jayengrana beserta pejabatan yang hadir dalam rapat itu ikut berdiri menuju alun-alun. Di antaranya, ada tamu bangsa Belanda, bernama Letnan Cornelis van Jannsen. Walaupun Jannsen sudah kenal dengan Jaka Berek, tetapi ia berusaha diam. Hal yang sama, juga terlihat dari sikap Jaka Berek ketika melihat jannsen yang ternyata benar-benar menjadi tamu ayahnya.

 

Perkelahian satu lawan satu antara Sawungkarna dengan Jaka Berek berlangsung seru. Akibat kemarahan Sawungkarna yang memuncak, ia lepas kendali. Berulangkali pukulan dan tendangannya dielakkan oleh Jaka Berek. Justru di sana Sawungkarna terjerembab. Beberapa kali Sawungkarna berusaha memukul, tetapi ia bagaikan memukul angin. Dalam sekejap, saat Sawungkarna lengah, Jaka Berek berhasil menangkap tubuh Sawungkarna dan mengunci gerakannya. Dalam keadaan terjepit itu, Sawungkarna minta tolong kepada adik-adiknya. Adik-adiknya hanya diam saja, takut serba salah. Namun, saat sdik-adiknya mendekat untuk membantu, Jaka Berek bergerak cepat. Empat saudara tirinya itu disapu dengan sebelah kaki, sembari ia masih tetap memegang salah satu tangan Sawungkarna. Mereka terjengkang.

 

Melihat kesaktian Jaka Berek dan khawatir anak-anaknya cedera, adipati memberi isyarat agar perkelahian itu dihentikan. Semua yang melihat pun kagum atas kesaktian Jaka Berek. Mereka semua kemudian diajak ke pendapa kadipaten. Hanya Sawungkarna yang tidak mau, saudara tirinya yang lain menyalami Berek sebagai tanda  pernyataan bersaudara.

 

Sore harinya, di pendapa Kadipaten Surabaya  diselenggarakan acara pengangkatan secara resmi Jaka Berek menjadi putera ke 6 Adipati Jayengrana. Empat saudara tirinya ikut menyaksikan, kecuali Sawungkarna. Mungkin karena malu, ia tidak menampakkan dirinya sama sekali. Pada upacara di sore hari itu, secara resmi Jaka Berek mendapat kehormatan menggunakan nama dan gelar Raden Mas Sawunggaling.

Setelah hidup di lingkungan kadipaten, peran Sawunggaling dalam jajaran pemerintahan semakin matang. Ia pun sering mendapat tugas pemerintahan dan mewakili Adipati Jayengrana dalam berbagai rapat dan pertemuan resmi. Baik dengan staf dan pejabat kadipaten, maupun dengan Raja Kartasura di Surakarta, serta dengan utusan Kompeni Belanda.

 

 

 

Menikahi Putri Solo BRA Pambayun

 

 

 

            SAWUNGGALING tidak pernah menikah sampai akhir hayatnya. Demikian cerita rakyat yang disampaikan secara lisan dan turun temurun atau tutur tinular selama ini. Justru, pada legenda Surabaya versi semi sejarah yang ditulis Febricus Indri (2010) — bukan  versi Lidah dan versi Wiyung — disebutkan, Sawunggaling kawin atau menikah secara sah dan resmi.

 

Tidak tanggung-tanggung, Adipati Raden Mas Sawunggaling, bahkan berhasil menikahi puteri bungsu Susuhunan Pakubuwana I penguasa keraton Kartasura, bernama Bendara Raden Ayu (BRA) Pembayun. Dari pernikahan resmi yang meriah itu, lahir seorang anak laki-laki bernama Raden Mas Arya Bagus Narendra.

 

Pesta pernikahan  Sawunggaling dengan putri Solo BRA Pembayun itu berlangsung selama dua hari dua malam pada tanggal 17 hingga 19 Agustus 1715 di keraton Kartasura. Upacara pernikahan dipimpin oleh Patih Nerang Kusuma dari Semarang dan dihadiri para adipati dan tokoh masyarakat dari berbagai daerah di Pulau Jawa.

 

Kisahnya begini. Pertengahan tahun 1715, Adipati Jayengrana merasa sudah tua, karena usianya lebih 70 tahun.  Suatu hari Adipati mengirim surat kepada Susuhunan Pakubuwana I di Surakarta. Isi surat itu, meminta pertimbangan pencarian penggantinya sebagai Adipati Surabaya. Jayengrana kesulitan untuk memilih salah satu di antara enam anaknya. Apalagi di antara anaknya itu, belum ada kesepakatan. Bahkan ada dua anaknya, Raden Mas Sawungkarna dengan Raden Mas Sawunggaling selalu bertentangan. Mereka berdua tidak pernah mau bekerjasama.

 

Setelah membaca surat dari Adipati Surabaya itu, Susuhunan Pakubuwana I berunding dengan patihnya Raden Mas Nerangkusuma. Akhirnya diputuskan untuk menyelenggarakan sayembara berupa lomba memanah dengan panah pusaka kerajaan bernama Gendhewa Sakti. Tanpa kesaktian, tidak mungkin seorang mampu mengangkat busur, apalagi menarik tali busur untuk meluncurkan anak panah menuju selembar cindhe puspita. Siapa yang berhasil memenangkan lomba ini, akan diangkat menggantikan Adipati Jayengrana selaku penguasa di Surabaya. Tidak hanya itu, sang pemenang juga berhak menjadi menantu Susuhunan Pakubuwana I, mempersunting Bendara Raden Ayu (BRA) Pembayun, putri bungsu penguasa keraton Kartasura.

 

Pada tanggal 17 Agustus 1715, lomba memanah  dengan menggunakan pusaka kerajaan Mataram yang bernama, Gendhewa Sakti siap dilaksanakan. Dalam suatu upacara yang diikuti 30 peserta yang berasal dari 17 kadipaten di tanah Jawa. Mereka adalah putera para adipati yang masih bujangan, termasuk putra Adipati Jayengrana.

 

Disaksikan Susuhunan Pakubuwana I yang duduk di panggung kehormatan didampingi putri bungsunya BRA Pembayun dan Patih Nerang Kusuma, serta petinggi Kompeni Belanda. Setelah 25 peserta maju dan berupaya melaksanakan lomba, semuanya gagal. Tibalah giliran putera-putera Adipati Jayengrana, dimulai dari yang bungsu, Raden Mas Umbulsangga, Raden Mas Suradirana,  Raden Mas Jaya Puspita, Raden Mas Sawungsari, dan yang terakhir Raden Mas Sawungkarna. Semuanya pun gagal.

 

Akibat ulah dan kelicikan Sawungkarna, memang Sawunggaling, tidak diikutkan dalam rombongan Adipati Jayengrana. Kendati demikian, Sawunggaling menyusul dan mendaftar pada giliran kedua. Ia menyamar dengan menggunakan nama Pangeran Menak Ludra, kesatria dari ujung timur Pulau Jawa, sebagai putera keturunan Adipati Blambangan, Menak Jingga. Sawunggaling dengan berpakaian kesatria, dan mengenakan topeng, maju ke tengah gelanggang. Dengan tenang pemuda yang menyamar dengan nama Pangeran Menak Ludra itu mengangkat busur dan memegang anak panah. Berbeda dengan peserta sebelumnya, Menak Ludra memberi hormat dengan membungkuk kepada pejabat di panggung kehormatan, juga kepada para penonton yang berdiri di tribun umum.

 

Yang lebih unik lagi, kalau peserta sebelumnya setelah mengambil busur dan anak panah, dengan berdiri tegak lalu mengarahkan bidikan ke cindhe puspita. Tidak demikian dengan Menak Ludra, dia mengambil posisi duduk bersila. Kemudian dia membidik tali pengikat cindhe puspita yang tergantung pada ketinggian 17 meter dengan jarak 45 meter. Seolah-olah tidak merasakan berat busur pusaka Mataram itu, dia menarik tali busur yang sudah dipasangi anak panah. Dengan mata terpejam, anak panah dilepas dan tepat mengenai tali pengikat cindhe puspita. Kain selendang warna merah-putih itu melayang ditiup angin dan jatuh persis di pangkuan Menak Ludra. Tepuk tangan dan sorak-sorai membahana memuji keterampilan anak muda yang mengaku dari Ujung Blambangan, Banyuwangi itu.

 

Patih Nerang Kusuma, berdiri dan dengan suara penuh wibawa berteriak. Suasana menjadi hening. “Hai Pangeran Menak Ludra, tunjukkan wajahmu sebenarnya! Kami sudah mengakui kemenanganmu, ayo silakan maju ke sini”, ujar sang patih sembari melambaikan tangannya.

 

Pemuda yang mengaku Pangeran Menak Ludra itu berdiri dan dengan langkah tegap ia mendekati panggung kehormatan. Sesampainya di depan  para tamu VIP yang duduk di panggung kehormatan, anak muda yang mengaku bernama Menak Ludra itu membuka topengnya. Adipati Jayengrana yang duduk di samping Susuhunan Pakubuwana I benar-benar terkejut. Begitu juga rombongan dari Surabaya lainnya. “Mohon ampun gusti Patih, hamba sesungguhnya adalah Sawunggaling, putera ramanda Adipati Jayengrana”, katanya terbata-bata menghadap kepada pemimpin upacara Patih Nerang Kusuma.

 

Antara terkejut bercampur gembira, Adipati Jayengrana menyatakan rasa syukur, karena yang bakal menjadi penggantinya, bukan dari luar Surabaya, tetapi  adalah putera dan darah dagingnya sendiri.

Setelah Sawunggaling berada di mimbar utama, Patih Nerang Kusuma mengumumkan, bahwa pengganti Adipati Jayengrana sebagai Adipati Surabaya,  adalah Raden Mas Sawunggaling.

Tidak hanya itu, Susuhunan Pakubuwana I juga berdiri dan berkata: “Hai anakmasku Sawunggaling, bersyukurlah dan berbahagialah, engkau terpilih sebagai pengganti ramandamu. Da sebagai hadiahnya, engkau akan kunikahkan dengan putri bungsuku, BRA Pembayun. Bagaimnana, apakah engkau setuju?” Pertanyaan Susuhunan Pakubuwana I itu sesungguhnya tidak perlu dijawab. Tertapi dengan suatu sikap kesungguhan, sembari menunduk kepala, Sawunggaling menjawab: “Sendika dawuh, Gusti,”  katanya.

Adipati dan Pengantin Baru

Raden Mas Sawunggaling kemudian dinobatkan menjadi Adipati Surabaya menggantikan ayahnya Raden Mas Jayengrana. Selesai upacara prosesi pengukuhan itu, Raden Mas Sawunggaling mempersiapkan diri untuk mengikuti upacara sakral berikutnya, pernikahan dengan Bendara Raden Ayu Pembayun.

Pesta pernikahan itu tanggal 17 Agustus 1715 dilangsungkan di keraton Kartasura. Upacara dipimpin Patih Nerang Kusuma dan dihadiri para adipati dan tokoh masyarakat dari berbagai daerah di Pulau Jawa dan perwakilan petinggi Kompeni Belanda.

Walaupun hanya dua hari dua malam tanggal 17 hingga 19 Agustus 1715, suasana pesta pernikahan Sawunggaling dengan BRA Pembayun, sangat meriah, Biasanya memang, upacara pernikahan anak-anak susuhunan berlangsung tujuh hari tujuh malam. Hal ini mengingat Adipati Jayengrana bersama penggantinya, terlalu lama meninggalkan keraton Surabaya. Apalagi yang diberi kuasa sebagai pejabat ad-interim adalah paman Arya Suradireja yang sudah terlalu tua.

Pada tanggal 20 Agustus 1715, Adipati Surabaya yang baru Raden Mas Sawunggaling dilepas Susuhunan Pakubuwana I dari Kartasura berangkat menuju ke Surabaya. Dengan penuh kasih sayang, Pakubuwana I memeluk puteri bungsunya sebelum menaiki kereta kuda  yang sudah disiapkan di halaman keraton. Duduk bersanding di dalam kereta kencana, Sawunggaling dengan isterinya, BRA Pembayun tampak bahagia.

Saat melewati hutan di kawasan Sragen, rombongan Sawunggaling diserang oleh gerombolan perampok Gagak Mataram yang dipimpin Gagak Lodra. Walaupun kewalahan menghadapi gerombolan yang tidak seimbang dengan rombongan kecil Sawunggaling ini, akhirnya berkat kesaktian Sawunggaling, mereka menang. Perjalanan diteruskani ke Surabaya melewati Magetan, Madiun, Nganjuk, Jombang, Mojokerto, dan akhirnya sampai di keraton Surabaya pada tanggal 23 Agustus 1715.

Sejak hari itu, resmilah Raden Mas Sawunggaling melaksanakan tugasnya sebagai adipati di Kadipaten Surabaya.

Didampingi isterinya, BRA Pembayun kehidupan di kadipaten semakin hidup. Apalagi, sejak saat itu ibunda Sawunggaling Raden Ayu Sangkrah secara resmi  dijemput dari Lidah Wetan. Sejak pertengahan tahun 1918 Raden Ayu Dewi Sangkrah dengan penuh kasih sayang mendampingi menantunya yang sudah hamil. Dengan perasaan kasih sayang Raden Ayu Dewi Sangkrah menunggu kelahiran cucunya, yang juga cucu dari Susuhunan Pakubuwana I, sang penguasa keraton Kartasura di Jawa Tengah.

Pada tanggal 4 Januari 1719, BRA Pembayun melahirkan anak laki-laki. Bayi mungil yang sehat ini atas anugerah dari kakeknya Susuhunan Pakubuwana I, diberi nama Raden Mas Arya Bagus Narendra.

Sebagai seorang adipati, Sawunggaling tetap membina hubungan dengan mertuanya yang menjadi penguasa keraton Kartasura. Saat itu, sikap Susuhunan Pakubuwana I sudah berubah. Dia mulai menjaga jarak dengan pihak kompeni Belanda. Apalagi, sebelumnya terjadi peristiwa pihak Belanda yang menjadi penyebab wafatnya ayahanda Sawunggaling Raden Mas Jeyengrana mantan Adipati Surabaya.

Ada dua versi tentang meninggalnya Jayengrana di Kartasura. Versi pertama ia dibunuh dengan 25 tikaman keris oleh penjaga keraton Kartasura. Saat itu Jayengrana yang diundang ke keraton Kartasura ketika  melewati bangunan Srimenganti dikeroyok oleh gerombolan berpakaian penjaga keraton atas perintah G.Knol pimpinan pasukan Belanda di Semarang. Kendati mendapat 25 tikaman, namun Jayengrana masih bertahan hidup, kemudian dibawa ke Desa Lawean. Di sanalah Jayengrana menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ada yang menyatakan, jenazah almarhum dimakamkan di Lawean, ada pula yang menyebut dibawa ke Surabaya.

Versi lain, Jayengrana dibunuh Belanda dengan mengundangnya ke Keraton Kartasura “mencatut” nama Susuhunan Pakubuwana I. Saat berada di tengah pesta yang dihadiri petinggi kompeni Belanda itu, ternyata minuman yang diberikan kepada Jayengrana diberi racun sejenis bahan kimia “arsenik“. Ini adalah atas perintah Van Hoogendorf komisaris Kompeni Belanda yang berkedudukan di Semarang. Racun yang tidak langsung mematikan, tetapi secara berangsur-angsur. Seusai pesta Jayengrana merasa badannya tidak enak. Dalam perjalanan pulang dari Kartasura ke Surabaya, rombongan singgah di Lawean untuk beristirahat. Kabarnya di Lawean inilah Jayengrana wafat.

Ada dua versi tentang di mana jenazah almarhum dimakamkan. Ada yang menyatakan di Lawean, ada pula yang mengatakan dibawa ke Surabaya dan dimakamkan di komplek pemakaman Botoputih, Pegirian, Surabaya. Nah, yang cukup unik, makam Adipati Jayengrana itu ditandai dengan nama Pangeran Lanang Dangiran atau Mbah Brondong. Konon ini suatu taktik, agar tidak diketahui pihak Kompeni Belanda.

Peristiwa yang sama juga nyaris dialami Adipati Sawunggaling. Seminggu setelah kelahiran anaknya Raden Mas Arya Bagus Narendra, Adipati Sawunggaling diundang ke keraton Kartasura untuk menghadiri upacara pemberian penghargaan atas keberhasilan Sawunggaling menghentikan pemberontakan Cakraningrat III di Madura. Walaupun ada rasa curiga dan kejanggalan, setelah berunding dengan staf ahli Kadipaten Surabaya Arya Suradireja, Sawunggaling tetap berangkat ke Kartasura.  Di keraton Kartasura Sawunggaling langsung menghadap sang mertua Susuhunan Pakubuwana I dan   melaporkan tentang kelahiran anak yang dikandung BRA Pembayun. Saat itulah, penguasa keraton Kartasura itu mempersembahkan nama untuk cucunya dengan nama Raden Mas Arya Bagus Narendra.

 

Ternyata, inisiatif dan acara mengundang Adipati Sawunggaling ke Kartasura tanggal 11 januari 1719 itu bukan dari Pakubuwana I. Acara ini dirancang oleh Van Hoogendorf bersama Adipati Semarang Sastradiningrat, serta saudara tertua Sawunggaling yang selama ini bekerjasama dengan Belanda, Raden Sawungkarna.

 

Benar saja, pesta yang seolah-olah memberi penghargaan kepada Adipati Sawunggaling, tidak lain adalah jebakan. Begitu acara akan dimulai, masing-masing tamu sudah memegang sloki berisi anggur, Van Hoogendorf sebagai tuan rumah maju ke depan. Ia mengajak seluruh undangan bersulang, “toast” dengan mengangkat sloki sembari disentuhkan sesama yang hadir. Berdasarkan gerak hati dari ilmu yang diberikan oleh kakeknya waktu kecil di Desa Lidah, sertamerta gelas itu disodorkan kepada Van Hoogendorf.

 

Dengan suara terbata-bata setengah berteriak Sawunggaling menyodorkan gelas kecil itu kepada Van Hoogendorf.  “Hai Van Hoogendorf, kamu licik. Ayo kamu yang minum isi gelas yang saya pegang ini”. Bentakan Sawunggaling sembari menyodorkan ke dekat mulut Van Hooegendorf membuatnya terkejut. Wajah komisaris Belanda itu merah padam dan merasa dipermalukan. Apalagi, perbuatan jahatnya memberi “racun” pada minuman Sawunggaling terbongkar.

 

Merasa dipermalukan, Van Hoogendorf setengah berlari masuk ke sebuah ruangan.  Di sana ia mengambil pistol dan kembali ke ruang utama menuju Sawunggaling  dengan mengarahkan moncong pistol yang siap tembak.  Begitu jari telunjuk Hoogendorf memegang pelatuk, seorang perwira muda Belanda bernama Van Jannsen  melompat ke tengah antara Sawunggaling dengasn Van Hoogendorf. “Dor”, suara pistol itu menyalak. Peluru pistol Van Hoogendorf menembus dada letnan Van Jannsen. Saat melihat Jannsen terkapar, Van Hoogendorf, kembali mengokang pistolnya.

 

Bersamaan dengan itu dengan gerak reflek Sawunggaling mencabut keris dan menghunuskan ke dada Van Hoogendorf. Setelah menembus jantung Hoogendorf, keris itu langsung dicabut. Hal yang tidak diduga itu membuat Van Hoogendorf limbung dan terjerembab dekat tubuh Van Jannsen. Para petinggi kompeni Belanda yang hadir berlarian meninggalkan ruangan untuk menyelamatkan diri. Sawunggaling merangkul dan mengangkat tubuh Cornelis van Jannsen, yang tidak lain adalah “sahabat” lamanya  saat menyusuri Sungai Kali Brantas, ketika akan menemui ayahnya Adipati Jayengrana di kadipaten Surabaya 26 tahun sebelumnya. “Terimakasih sahabat, kata Sawunggaling kepada Cornelis van Jannsen yang sudah mengorbankan nyawanya. Dalam keadaan meregang nyawa, dengan kerdipan mata, Jannsen menghembuskan nafas terakhir di pangkuan Sawunggaling.

 

Tidak larut dengan menyaksikan dua jasad tak bernyawa di ruangan itu, Sawunggaling berdiri dan  bersama rombongan menuju ke tempat parkir kuda. Tanpa pamit kepada sang mertua, Susuhunan Pakubuwana I, Sawunggaling yang didampingi Arya Suradireja segera meninggalkan Kartasura.

 

Sesampainya di Surabaya, Adipati Sawunggaling benar-benar menaruh dendam kepada kompeni Belanda. Menyadari, perbuatannya “membunuh” Van Hoogendorf akan berbuntut pada penyerangan Belanda ke Surabaya, Sawunggaling langsung mengatur strategi. Adipati mengumpulkan para pejabat pemerintahan kadipaten Surabaya untuk menghadapi segala kemungkinan.

 

 

Gugur sebagai Pahlawan

 

Benar saja, kematian dua perwira Belanda di Kartasura itu membuat Gubernur Jenderal Belanda di Batavia Hendrik Zwaardeckroom marah besar. Ia langsung mengangkat Pieter Speelman sebagai pengganti Van Hoogendorf. Saat itu juga ia mengeluarkan Surat Perintah untuk menangkap Sawunggaling.

 

Walaupun berduka, atas mangkatnya Ingkang Sinuwun Susuhunan Pakubuwana I, tanggal 13 Maret 1719, Sawunggaling maupun BRA Pembayun terpaksa tidak bisa menghadiri upacara pemakaman di Kartasura.  Kalau datang ke sana pasti ditangkap Belanda. Gerakan Belanda untuk menggempur Kadipaten Surabaya sudah terdengar. Pasukan Belanda juga sudah bergerak menuju Surabaya dari Batavia melalui darat dan laut.

 

Tidak kurang selama empat tahun terjadi peperangan dengan pihak Belanda di beberapa tempat di sekitar Surabaya. Belanda memang belum mengerahkan pasukan yang banyak. Hanya upaya melakukan gertakan dan intimidasi. Kadipaten Surabaya yang meliputi Surabaya, Sidoarjo dan Gresik, kemudian meluas ke Mojokerto dan Lamongan. Pasukan yang disebut Laskar Sawunggaling dipimpin oleh Raden Mas umbulsangga, kakak tiri Sawunggaling. Laskar ini berjaga di perbatasan Lamongan dan Mojokerto, serta dari arah Madura. Jadi kekuasaan Adipati Sawunggaling waktu itu sama dengan wilayah Gerbang Kertosusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan).

 

Kompeni Belanda waktu itu memang tidak hanya menghadapi Surabaya, tetapi juga pemberontakan yang terjadi di berbagai kota. Apalagi setelah Pakubuwana I mangkat, terjadi perebutan takhta. Juga di beberapa daerah memproklamasikan dirinya sebagai kerajaan sendiri dan bergerak malawan penjajah Belanda. Selain berhadapan dengan Belanda, beberapa kerajaan baru itu juga saling bermusuhan, sehingga perang saudara tidak terelakkan.

 

Pieter Speelman yang ditunjuk menggantikan Van Hoogendorf, mendapat laporan tentang kehebatan Laskar Sawunggaling menumpas anak buahnya di perbatasan Lamongan dan Mojokerto. Salah satu peperangan yang seru terjadi tanggal 10 Februari  1723. Pasukan Belanda yang dikomandani  Letnan Bernard van Aken benar-benar terpukul. Kalah telak. Pasukan yang dipimpinnya berhasil terpaksa mundur sampai Bojonegoro dan Tuban.

 

Apalagi waktu itu, Adipati Sawunggaling berhasil menjalin kerjasama dengan pasukan laut Portugis pimpinan Kapten Laut Francisco Santos Rodriguez yang berada di Laut Jawa. Dalam pertempuran di sekitar pelabuhan Sedayu Gresik, pasukan gabungan Laskar Sawunggaling dengan pasukan Portugis, berhasil mengalahkan armada laut Belanda. Seluruh pasukan Belnada di kapal dinyatakan tewas, kecuali ABK (Anak Buah Kapal) yang berada di ruang kemudi dan kamar mesin.

Tidak tahan mendengar laporan kekalahan demi kekalahan yang diderita pasukannya dari pembantaian  Laskar Sawunggaling, Speelman langsung mengambialih pasukan. Ia memimpin sendiri divisi tempur yang didatangkan dari Eropa, Batavia dan Semarang menyerbu pertahanan Laskar Sawunggaling di Lamongan dan Mojokerto. Dalam pertempuran sengit itu di pinggir Bengawan Solo, di wilayah Lamongan, Raden Mas Umbulsangga bersama 20 orang pasukannya gugur sebagai pahlawan. Komandan Laskar Sawunggaling diserahkan kepada Raden Mas Suradirana, saudara kembar Raden Mas Umbulsangga. Namun, dalam pertempuran akhir Maret 1723, Raden Mas Suradirana juga gugur sebagai pahlawan. Ia menghembuskan nafas terakhir saat terkepung musuh dan tubuhnya dihujani puluhan ujung bayonet pasukan Belanda yang haus darah.

Dari hari ke hari pasukan Kompeni Belanda terus bertambah. Pertempuran atara pasukan Kompeni dengan Laskar Sawunggaling semakin gencar. Adipati Sawunggaling yang kehilangan dua saudaranya di medan tempur makin terdesak. Ia berunding dengan staf ahli kadipaten Surabaya Arya Suradireja. Mereka  sepakat meninggalkan kadipaten untuk menyelamatkan keluarganya. Tempat berlindung yang dianggap cukup aman waktu itu adalah Benteng Providentia di daerah Ujung Surabaya, dekat muara Sungai Kalimas. Adipati Sawunggaling membawa ibundanya Raden Ayu Dewi Sangkrah bersama isterinya Bendara Raden Ayu Pembayun, serta puteranya Raden Mas Arya Bagus Narendra ke Benteng Providentia. Tentunya disertai pula dengan logistik dan kebutuhan sehari-hari yang cukup.

Dalam serangan besar-besar yang dilakukan pasukan Pieter Speelman ke Benteng Providentia, Adipati Sawunggaling yang memimpin sendiri Laskar Sawunggaling terkepung. Di sinilah, akhirnya sang adipati mendapat hadiah “timah panas” dari senapan pasukan Speelman. Anehnya,  tubuh Sawunggaling yang sempoyongan “lenyap” saat tersandar di dinding benteng.

Konon beberapa prajurit setia Laskar Sawunggaling yang semula sempat menyembunyikan jenazah Sawunggaling,  kemudian melarikan jasadnya menuju desa Lidah Wetan. Agar tidak diketahui Belanda, Sang Adipati dimakamkan malam hari di tanah kelahirannya, berdampingan dengan kakeknya Wangsadrana alias Raden Mas Karyosentono.

Paman Arya Suradireja menyelamatkan Raden Ayu Dewi Sangkrah ibunda Sawunggaling beserta BRA Pembayun dan Raden Mas Arya Bagus Narendra yang saat itu berusia empat tahun.          Tatkala BRA Pembayun keluar dari gerbang  benteng Providentia sembari mengendong Arya Bagus Narendra menuju kereta kuda, para petinggi Kompeni Belanda yang berbaris di depan benteng sertamertra memberi hormat dengan membuka topinya. Di antara petinggi kompeni Belanda itu adalah Pieter Speelman yang mengetahui BRA Pembayun adalah puteri almarhum Susuhunan Pakubuwana I.

Konon, waktu dalam perjalanan diberitahu kalkau jasad Sawunggaling sudah dibawa ke Lidah Wetan, Raden Ayu Sangkrah minta diantarkan ke rumahnya di Lidah Wetan. Sedangkan BRA Pembayun bersama Raden Mas Arya Bagus Narendra dibawa ke Kartasura.

Dengan gugurnya Adipati Sawunggaling sebagai pahlawan bangsa di benteng Providentia itu, maka pimpinan pemerintahan Kadipaten Surabaya kosong. Kekuasaan sementara diambilalih oleh pihak Belanda. Tidak berapa lama, Kadipaten  Surabaya dipimpin oleh Ki Tumenggung Panatagama.

Perjuangan Sawunggaling sampai titik darah penghabisan itu tidak dilupakan oleh Arek Suroboyo. Bahkan nama Sawunggaling melegenda hingga sekarang. *Y*

 

 

(*)