MAKAM PAHLAWAN JADI OBYEK WISATA

Makam Pahlawan Nasional BUNG TOMO tidak berada di TMP, tetapi bergabung dengan pusara rakyat Surabaya di TPU Ngagel Surabaya
“]Makam Pahlawan Nasional BUNG TOMO tidak berada di TMP, tetapi bergabung dengan pusara rakyat Surabaya di TPU Ngagel Surabaya[/caption]

caption=”Yousri Nur RA MH”]Yousri Nur RA MH[/caption]

MAKAM PAHLAWAN
JADI OBYEK WISATA
KOTA PAHLAWAN

(Wisata Religi atau Ziarah)

Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)

KEGIATAN wisata dan pariwisata di Kota Pahlawan Surabaya, harus ada yang khas atau spesifik.

Pengertian berwisata, tidak harus hanya bersenang-senang, namun yang paling utama dalam kegiatan wisata adalah kesan dan terkesan. Boleh juga pakai istilah, melancong atau pesiar, di mana tujuannya adalah mencari sesuatu yang baru di alam ini.

Dari hasil kunjungan itu, akan diperoleh suatu kenangan yang indah, sehingga kita akan “terkenang selalu”. Tidak hanya itu, pengertian wisata termasuk di dalamnya berziarah, melakukan kunjungan yang bernilai religius.

Biasanya, dalam suatu perjalanan wisata, selain memperoleh kesan, juga didapatkan hal yang belum pernah diketahui sebelumnya. Dari apa yang dilihat, didengar dan dirasakan, diperoleh pengetahuan dan ilmu yang baru. Dengan demikian, segala yang menjadi ilmu dasar dalam ingatan itu akan dengan mudah disampaikan atau ditularkan kepada orang lain. Kita tidak hanya sekedar mendengar cerita orang lain atau hanya membaca dari buku.

Memang, dengan kita banyak membaca dan mendengarkan cerita dari seseorang, kita akan memperoleh pengetahuan yang banyak. Kendati demikian, yang lebih baik lagi atau dirasa lebih afdhal, kalau kita melihat sendiri, tahu sendiri dan mendengar sendiri dari sumber utamanya. Ada kepuasan batin.

Kunjungan dalam bentuk ziarah, memang ada hal lain yang ditemukan. Perasaan dalam wisata ziarah memberi kesan kedekatan rohani dengan sang tokoh dan Allah Maha Pencipta. Kota Surabaya, juga banyak dikunjungi parawisatawan ziarah ini, yakni ke Masjid Agung Ampel dan ke kawasan pemakaman Sunan Ampel (Cerita tentang Sunan Ampel ditulis tersendiri).

Berbeda dengan ziarah, kegiatan wisata pada umumnya adalah kegiatan rekreasi dan bersenang-senang. Tentu, hasil akhir yang diperoleh adalah kesan senang dan puas.
Nah, bepergian jauh, berwisata, melancong, pesiar atau berdarmawisata, tujuannya adalah untuk memperoleh “kepuasan batin”. Oleh sebab itu, dalam penyediaan obyek kepariwisataan, yang utama adalah menjadikan obyek tersebut meninggalkan kesan yang menghasilkan kepuasan batin.

Kota Surabaya yang berjuluk Kota Pahlawan dan Kota Budi Pamarinda, layak dijual menjadi obyek wisata dalam arti yang sesungguhnya. Seperti yang pernah disajikan sebelumnya, bahwa kegiatan Budimarinda (Budara, Pendidikan, Maritim, Industri dan Perdagangan), dapat dirinci dan dipilah-pilah menjadi obyek “par” atau pariwisata.

Namun, para pendatang ke Kota Pahlawan ini, kadang-kadang “buta”, mereka sulit mengetahui secara pasti apa saja obyek wisata di Surabaya. Belum ada paket wisata yang padu dan terintegrasi antara Dinas Periwisata dengan perusahaan pengelola kepariwisataan. Masing-masing jalan sendiri, sehingga obyek wisata di Surabaya ini lepas dan terpotong-potong sesuai dengan selera masing-masing pula.

Pendatang dari luar daerah tiba di Surabaya, umumnya melalui Bandara Juanda atau Pelabuhan Laut Tanjung Perak, atau di Stasiun Kereta Api Pasar Turi dan Gubeng, atau juga yang turun di terminal bus antarkota Purabaya dan Tambakoso Wilangun. Seharusnya, di peron tempat mendarat itu mereka disambut dengan ramah, melalui bahasa tulisan.

Jadikan pendatang itu memperoleh kesan pertama, bahwa Kota Surabaya ini memang layak disebut “Kota Pahlawan”. Saat matanya terpana melihat gambaran kepahlawanan di Kota Surabaya itu, wisatawan ini kemudian diarahkan untuk menelusuri obyek wisata di Surabaya yang memang bernuansa kepahlawanan.

Jadikan para wisnu (wisatawan nusantara) atau wisman (wisatawan mancanegara) itu memperoleh suatu keasyikan. Kalau semula, mungkin di Surabaya ini mereka hanya sekedar singgah, karena akan melanjutkan perjalanan menuju ke Gunung Bromo, Bali atau Jogjakarta. Tetapi, kita harus menjerat para wisatawan itu “menginap” di Surabaya, sebab salah satu wujud kepariwisataan itu adalah “menginap” dan membelanjakan uangnya di obyek wisata.

Setelah wisnu atau wisman itu melhat ke sana ke mari, sodori informasi sebanyak mungkin tentang kota ini. Sediakan secara gratis kertas informasi dalam bentuk buklet atau mungkin layar monitor informasi yang bicara tentang “Ini lho Surabaya!”. Beri mereka peta wisata, lalu serahkan paket wisata Kota Pahlawan. Kemudian dilanjutkan dengan informasi aktivitas kota ini di bidang Budi (pa)marinda itu.

Saat wisatawan berada di Kota Surabaya, warganya harus ramah menyapa dan menjamu, sehingga kesan secara beruntun dirasakan di hati. Kesan pertama yang memikat akan menjadi kenangan yang takkan terlupakan. Itulah kepuasan batin yang dicari para petualang wisata. Bagi pengaran dan penulis, mereka akan memperoleh ilham yang makin dalam, sehingga dalam buah karyanya akan terwujud gambaran yang nyata.

Mari kita kunjungi “obyek wisata” di Kota Surabaya yang bernuansa kepahlawanan. Di antaranya, Museum Pahlawan dan Taman Makam Pahlawan.

Museum Tugu Pahlawan
Sebagai Kota Pahlawan, di Surabaya berdiri Tugu Pahlawan yang terletak di Taman Tugu Pahlawan di Jalan Pahlawan Surabaya. Di halaman Taman Tugu Pahlawan ditemukan patung pada pahlawan dan orang-orang yang berjasa saat peristiwa bersejarah sekitar tanggal 10 November 1945. Kiprah “Arek Suroboyo” yang memuncak tanggal 10 November 1945 ini, kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan yang diperingati setiap tahun oleh Bangsa Indonesia.

Tidak hanya sekedar tugu pahlawan dan patung-patung yang terdapat di Taman Tugu Pahlawan, tetapi di dalam perut bumi di samping bawah Tugu Pahlawan itu, ada Museum Pahlawan 10 November.

Dulunya di zaman Penjajahan Belanda, di tempat yang sekarang dinamai Taman Tugu Pahlawan ini berdiri gedung pengadilan yang disebut Raad van Justitie. Dalam peristiwa perang kemerdekaan gedung itu hancur dan tahun 1951 benar-benar dihancurkan seluruhnya, sehingga rata dengan tanah.

Presiden RI pertama, Ir.H.Sukarno menetapkan pembangunan Tugu Pahlawan di tempat ini. Tepat pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 1951, Bung Karno meletakkan batu pertama pembangunan Tugu Pahlawan. Setahun kemudian, pada peringatan Hari pahlawan 10 November 1952, Tugu Pahlawan di Kota Surabaya diresmikan.

Saat Pemerintahan Kota dipegang oleh dr.H.Poernomo Kasidi sebagai walikota tahun 1991 yang dilanjut oleh H.Sunarto Sumoprawiro, di bawah Taman Tugu Pahlawan itu dibangun Museum Pahlawan 10 November. Pekerjaan yang terdiri delapan paket itu menghabiskan biaya Rp 32,9 miliar.

Walaupun di tempat ini berbagai jenis peninggalan sejarah dipajang, ditambah dengan diorama yang mampu bercerita tentang peristiwa heroik yang memakan korban ribuan jiwa Arek Suroboyo, namun belum banyak orang yang tahu. Jangankan para pelancong yang disebut wisnu dan wisman, warga kota Surabaya saja, 80 persen belum pernah datang ke sini. Kalau seandainya dihitung warga kota Surabaya ini berjumlah tiga juga jiwa, maka yang diperkirakan sudah masuk ke Museum Pahlawan ini, baru berapa?

Bagaimana mungkin orang luar Surabaya tertarik masuk ke dalam Museum Pahlawan, kalau warga Surabaya sendiri yang ditanyai tamunya juga kurang informasi, bahkan buta informasi.

Makam para pahlawan yang disebut TMP (Taman Makam Pahlawan) di Surabaya ini cukup banyak. Ada yang mengatakan, bahwa makam-makam kampung di Kota Surabaya ini umumnya ditempati oleh para pahlawan, pelaku sejarah 10 November 1945. walaupun demikian, yang diwujudkan sebagai TMP ada tiga: yakni TMP di Jalan Kusuma Bangsa, TMP di Jalan Ngagel Jaya Selatan (Jalan Bung Tomo) dan TMP di Jalan Mayjen Sungkono.

Kecuali itu, di Surabaya juga ada TMP khusus, tempat dimakamkannya Pahlawan Nasional salah seorang pendiri Budi Utomo, Dr.Sutomo di Jalan Bubutan Surabaya dan pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya, Wage Rudolf Supratman, dekat Pemakaman Umum Rangkah di Jalan Kenjeran Surabaya.

Belajar dari Filipina

Pemerintah Kota Surabaya pernah mengadakan studi banding ke Filipina, bagaimana mewujudkan TMP sebagai obyek wisata. Sebab, di Filipina ada sebuah TMP yang dibangun cukup megah dan ternyata mampu menjaring para wisatawan berkunjung ke tempat itu. Bahkan, ada ungkapan, kalau seandainya datang Filipina, tetapi belum berkunjung ke TMP yang bernama “Manila American Cemetery and Memorial” (MACM), itu sama artinya belum pernah ke Filipina.

Nah, adakah ungkapan seperti itu bisa diterapkan di Surabaya? Misalnya, apabila belum berkunjung ke Taman Tugu Pahlawan dan Taman Makam Pahlawan di Surabaya, itu sama artinya anda belum pernah datang ke Surabaya.

Untuk itulah, belajar dari Filipina itu, Pemkot Surabaya bernah mencanangkan akan menjadi TMP di Jalan Mayjen Sungkono dan Taman Tugu Pahlawan sebagai obyek wisata “mutlak” bagi para wisatawan. Namun, ide, keinginan, harapan dan bahlkan apa yang pernah dicanangkan itu tinggal menjadi cerita masa lalu. Wujudnya, nihil. Padahal untuk studi banding ke Filipina itu menggunakan dana besar dari Pemkot Surabaya yang diikuti oleh sebuah tim dari berbagai disiplin ilmu.

TMP yang terletak di Fort Bonifacio, Manila, Filipina itu terletak di Provinsi Rizal yang sebelumnya bernama Fort William Mc.Kinley. Memang, sebagai bekas jajahan Amerika, di Filipina banyak nama tempat yang berbau Amerika.

TMP yang terletak sekitar 6 mil sebelah tenggara pusat kota Manila itu mudah dicapai dengan menggunakan taksi melalui jalan raya Epifanio de Los Santos Avenue (highway 54) dan McKinley Road. Di TMP yang luasnya 152 are atau sekitar 60,8 hektar dimakamkan 17.206 jasad tentara Amerika yang tewas dalam Perang Dunia II tahun 1945. Keanggunan TMP ini terlihat sejak dari gerbangnya, kemudian penataan plaza dengan air muncrat dengan tembok abadi (memorial building) di tengah TMP.

Itu pulalah sebabnya, TMP MACM di Filipina yang merupakan TMP terbesar kedua setelah TMP Arlington, di Washington, Amerika Serikat itu, oleh Pemkot Surabaya dijadikan salah satu model untuk penataan TMP di Jalan Mayjen Sungkono.

Mungkinkah apa yang pernah digagas dan dicanangkan Pemkot Surabaya, menjadikan TMP sebagai obyek wisata dapat diwujudkan? Kalau kita ingin benar-benar menjadikan Surabaya sebagai Kota Pahlawan, tentu wajib hukumnya. Sebab, mubazir dana yang sudah dikeluarkan untuk studi banding ke luar negeri itu.

Makam Belanda dan Jepang
Tidaka ada salahnya pula, sebagai obyek wisata, berkunjung ke makam para pendahulu kita. Tidak saja ke makam Sunan Ampel dan para pengikutnya. Makam bekas penjajah atau kolonial Belanda dan Jepang, sebenarnya bisa dikelola sebagai obyek wisata yang menghasilkan pemasukan ke kas Pemkot Surabaya.
Di Surabaya, salah satu komplek makam penjajah yang dikelola dengan baik adalah Makam Kembang Kuning. Khusus untuk ini, saya tulis dengan rubrik sendiri. Sebab, di sini juga ada beberapa nama tokoh bangsa Balanda.

Selain makam rakyat, juga terdapat makam para pejabat dan “pahlawan” bagi bangsa Belanda. Juga ada makam lama yang kurang mendapat perwatan, di Makam Peneleh. Makam yang sudah dinyatakan penuh.

Nah, di Kota Surabaya, juga tidak sedikit balatentara Jepang yang “gugur” sebagai pahlawan Negara Sakura, yangb tentunya bukan pahlawan bagi bangsa Indonesia. Bagaimana pula cerita tentang makam “saudara tua” dari dai Nippon itu. Juga saya tulis dalam judul tersendiri.

Nah, sekarang Pemerintah Kota Surabaya, maupun Pemerintah Provinsi Jawa Timur harus punya kemauan untuk memanfaatkan TMP atau makam-makam lama dijadikan sebagai obyek wisata, baik wisata religi atau ziarah, maupun sebagai obyek wisata sejarah.

Seyogyanya, mengunjungi TMP, makam-makam lama dan bersejarah, dijadikan paket wisata kota Surabaya, satu-satunya kota di Indonesia yang berjuluk Kota Pahlawan.***

*) Yousri Nur Raja Agam MH – pemerhati sejarah dan Ketua Yayasan Peduli Surabaya.

Sisi Lain Sejarah Surabaya

 Melacak Petilasan

Kerajaan Majapahit

di Surabaya

Oleh” Yousri Nur Raja Agam  MH *)

Yousri Nur RA, MH

Yousri Nur RA, MH

KENDATI hari jadi Surabaya dikaitkan dengan Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit tahun 1293, di Surabaya ini boleh dikatakan tidak ada peninggalan purbakala masa Majapahit. Biasanya, orang beranggapan bahwa peninggalan purbakala kerajaan terbesar di Nusantara itu berupa artefak-artefak, batu bersurat, prasasti, dan candi yang dipengaruhi agama Hindu dan Budha. Sedangkan yang bercorak Islam, adalah akhir masa kejayaan Majapahit.

 Memang, apabila diamati pengaruh Majapahit di Surabaya, mungkin tidak banyak bercerita tentang kepurbakalaan. Setelah dilakukan pelacakan, ternyata di Surabaya sama sekali tidak ditemukan candi dan batu-batu bersurat yang biasa disebut prasasti.

            Dalam buku Negara Kertagama dan kitab Pararaton, dinyatakan pembangunan candi bertalian erat dengan peristiwa wafatnya seorang raja. Sebuah candi didirikan sebagai tempat untuk mengabdikan dharma dan memuliakan roh yang telah bersatu dengan dewa penitisnya.

            Dua pakar arkeologi, Prof.DR.R.Soekomono dan DR.Inajati Adrisijanti Romli dalam buku 700 Tahun Majapahit, mengulas tentang peninggalan purbakala masa Majapahit. Pada umumnya candi-candi itu berdiri di dataran tinggi. Di antara candi yang masih dapat dilihat hingga sekarang, misalnya: Candi Jawi, Candi Sawentar, Candi Penataran dan beberapa candi lainnya.

            Surabaya yang merupakan penjelmaan dari Hujung Galuh, dalam sejarah Majapahit memang hanya sebagai sebuah pelabuhan. Tempat berlabuh kapal antarpulau, maupun sebagai pelabuhan samudera yang menghubungkan antarbenua. Tentunya bentuk pelabuhan masa lalu, tidak sama dengan sekarang, karena kapalnya hanya perahu dan kapal layar.

 

Makam dan Punden

            Walaupun tidak ada candi sebagai lambang peninggalan purbakala, di Surabaya terdapat peninggalan masa lalu berupa punden dan makam yang dikeramatkan. Selain itu ada satu tempat yang unik, yakni persemayaman Patung Joko Dolok di Jalan Taman Apsari Surabaya, berdekatan dengan gedung Balai Wartawan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Jawa Timur. Dalam berbagai ungkapan, diceritakan, patung Joko Dolog ini bukan peninggalan Kerajaan Majopahit.

            Di tengah Kota Surabaya banyak komplek makam yang masih terawat hingga sekarang. Di antaranya makam Mbah Bungkul di Jalan Raya Darmo dan makam Sunan Ampel di komplek Masjid Ampel. Selain itu, makam Raden Kudo Kardono alias Pangeran Yudho Kardhono, makam Pangiran Lanang Dangiran alias Mbah Brondong, makam Oei Sam Hong alias Mbah Buyut Sambongan, makam Pangeran Pekik alias Mbah Pendem, makam Sawunggaling, makam Kiyai Sedho Masjid dan beberapa makam keramat lainnya yang terdapat di kampung-kampung di kota Surabaya.

            Selain itu juga ada tempat yang dikeramatkan berupa punden, di antaranya punden Joko Kuti dan Punden Kendangsari.

Pangeran Yudho Kardhono

            Makam Pangeran Yudho Kardhono terletak di Jalan Cempaka Surabaya. Sang pangeran adalah komandan perang kepercayaan raja Majapahit ke dua setelah Raden Wijaya, yakni: Raja Jayanegara yang memerintah tahun 1309-1328. Nama asli Pangeran Yudho Kardhono adalah Raden Kudo Kardono.

            Pada masa pemerintahan Jayanegara sering terjadi pemberontakan. Salah satu di antara pemberontakan itu terjadi di Surabaya yang dipimpin oleh Kuti. Untuk menghadapi pemberontakan Kuti itu, dikirim panglima perang bernama Kardono. Sebagai penghormatan ia mendapat gelar Raden Kudo Kardono. Ia terkenal sebagai panglima perang yang tangkas dan kuat dalam menanggulangi keamanan.

            Konon waktu itu, kawasan permukiman asli Surabaya, ada di wilayah sungai Kaliasin dekat sebuah taman bernama Tegalsari. Di daerah ini hingga sekarang ada kampung bernama Surabayan. Nah di sanalah Raden Kudo Kardono mendirikan markas pertahanannya. Saat meninggal dunia, ia dimakamkan tidak jauh dari markasnya.

            Makam Raden Yudo Kardono dipugar tahun 1950-an. Sebagai penghormatan kepada panglima perang ini, masyarakat setempat mengganti namanya menjadi Pangeran Yudho Kardhono. Nama ini sebagai terjemahan dari kata panglima sebagai Pangeran, perang disebut Yudho. Sehingga tepatlah namanya menjadi Pangeran Yudho Kardhono.

            Sebenarnya nama Kudo sudah merupakan gelar kehormatan di zaman Majapahit, maupun zaman Singosari. Seorang tokoh sering memperoleh gelar dengan nama hewan, seperti gajah untuk Gajahmada, ayam untuk Hayamwuruk, banyak (bebek) untuk Banyakwide, lembu untuk Lembupeteng dan sebagainya.

           

Pangiran Lanang Dangiran

            Makam Pangiran Lanang Dangiran yang juga disebut Mbah Brondong itu terletak di komplek pemakaman atau pasarean Botoputih Jalan Pegirian, Surabaya. Mbah Brondong ini dalam riwayatnya disebut masih keturunan Sunan Tawangalun alias Pangeran Kedawung dari Kerajaan Blambangan.

            Sahibul hikayat, sebelum sampai di Surabaya ia terdampar di Sedayu, Gresik. Sebelumnya ia hanyut di laut dan saat ditemukan di pantai badannya penuh dengan kerang atau diberondong oleh kerang. Ia berhasil diselamatkan oleh seorang yang bernama Kiyai Kendil Wesi.

            Kiyai Kendil Wesi bersama isterinya memberi nama anak laki-laki asing itu Brondong. Dari keluarga ini pulalah Brondong belajar agama Islam. Setelah dewasa, Brondong menikah dengan dengan puteri Ki Bimocili dari Panembahan Cirebon.

            Sampai tua, Brondong yang kemudian dipanggil sebagai Mbah Brondong menetap di Surabaya. Ia aktif mengaji dan sebagai guru mengaji di Masjid Ampel yang tidak jauh dari tempat tinggalnya di Pegirian. Mbah Brondong ini juga mendapat julukan sebagai Pangiran Lanang Dangiran, dimakamkan di komplek pemakaman Botoputih.

 

Pangeran Pekik

            Makam Pangeran Pekik alias Mbah Pendem terdepat di daerah Pakis, Surabaya. Konon sang pangeran adalah petualang dari Jogjakarta. Namun ada pula yang mengatakan masih dari keraton Majapahit. Peristiwa ini tidak jelas tahunnya. Cerita inipun merupakan cerita dari mulut ke mulut yang sudah menjadi “tutur tinular”.

            Dengan menunggang kuda bersama isterinya Nyi Wandansari, mereka bermaksud menuju Pulau Madura. Sebelum menyeberang ke Madura, mereka singgah di sebuah perkampungan di Surabaya. Mereka disambut warga setempat dengan penuh curiga. Warga kampung berniat membunuh orang asing itu. Rupanya gelagat warga itu diketahui oleh Pangeran Pekik. Dalam pikiran sang pengeran, daripada dibunuh lebih baik bunuh diri.

            Cara bunuh diri yang dilakukan Pangeran Pekik cukup unik. Ia memendam (mengubur) dirinya ke dalam tanah hidup-hidup. Saat ia dalam keadaan sekarat, suaranya terdengar “mengkas-mengkis “ (Bahasa Jawa, artinya: meringis). Akhirnya Pangeran Pekik dijuluki Mbah Pendem, sekarang daerah ini bernama Pakis yang diambil dari kata mengkas-mengkis. Tetapi ada yang menyebut kata Pakis itu berasal dari tanaman pakis, karena dulu di sekitar wilayah ini banyak tanaman pakis. Wallahualam!

 

Mbah Buyut Sambongan

            Nama asli Mbah Buyut Sambongan adalah Oei Sam Hong, seorang keturunan Cina yang diperkirakan hidup pada abad ke-19. Jadi bukan lagi pada zaman Majapahit. Sehari-hari ia dikenal sebagai saudagar kaya dengan sapaan Babah Samhong.

            Oei Sam Hong yang kaya ini memiliki tanah yang luas. Tanah itu disewakan kepada penduduk, sehingga menjadi sebuah kawasan permukiman. Kawasan permukiman ini disebut Samhong-an. Lama kelamaan sebutan itu berubah menjadi Sambongan. Sampai sekarang daerah Sambongan ini masih ada di Surabaya.

            Walaupun Oei Sam Hong seorang keturunan Cina yang kaya, ia mendapat simpati dari Bupati Surabaya, Adipati Cokronagoro. Setelah bersahabat dengan bupati, Oei Sam Hong masuk Islam. Sebagai penghormatan, ia memperoleh gelar: Mas Ngabehi Reksodiwiryo. Bahkan ia kemudian diangkat sebagai mantri pada kantor asisten wedana (kecamatan) di Kabupaten Surabaya.

            Karena pergaulannya dengan warga pribumi, anak keturunannyapun menyatu dengan warga asli Surabaya. Berkat jasanya mendirikan kawasan permukiman atau kampung Sambongan, iapun dijuluki sebagai Mbah Buyut Sambongan. Makamnya hingga sekarang masih terpelihara dengan baik di Gang Bey, Kedunganyar, Surabaya.

            Ada satu versi yang menghubungkan keberadaan makam Mas Ngabehi Reksodiwiryo dengan Sawunggaling. Konon, kabarnya yang dimakamkan di sana adalah Pangeran Sawunggaling, putera Adipati Jayengrono. Namun untuk melindungi makam itu agar tidak dirusak penjajah Belanda, maka disebutlah makam itu sebagai makam cina kaya yang dijuluki Mbah Buyut  Sambongan.

            Cerita di bawah ini lain lagi. Sebab, makam Sawunggaling itu yang benar terletak di kampung Lidah Wetan. Sawunggaling yang juga disebut Joko Berek itu mempunyai nama lengkap Raden Mas Ngabehi Sawunggaling Kulmasostronagoro.

Makam Sawunggaling di Lidah Wetan  hingga sekarang terawat dengan baik. Di komplek pemakaman itu terdapat empat makam lainnya.

            Pertama: makam ibunya Raden Ayu Siti Sangkrah. Kedua: makam neneknya Mbah Buyut Suruh. Ketiga: makam kakeknya bernama Raden Karyosentono. Yang keempat: makam Raden Ayu Pandansari.

Kisah tentang Pandansari ini beragam. Ada yang mengatakan ia adalah peri atau makhluk halus jadi-jadian yang selalu menyertai kemanapun Sawunggaling bepergian. Konon ia adalah lelembut, puteri kesayangan Raja Jin yang menguasai  hutan di wilayah Lidah, Wiyung dan sekitarnya.

Ada pula yang menyatakan wanita cantik itu adalah isteri Sawunggaling. Namun sebagian kisah meyakini, Sawunggaling tidak pernah kawin dan membujang sampai wafat. (Baca: Sawunggaling Tokoh Legendaris)

 

Punden Joko Kuti

            Punden Joko Kuti yang terdapat di Kutisari, Rungkut itu disebut pula merupakan bagian dari cikal-bakal Surabaya di zaman Majapahit. Di sini konon dimakamkan sepasangan suami isteri, Joko Kuti dengan Siti Karomah.

            Saat pertamakali membangun permukiman yang kemudian bernama Kutisari itu, Joko Kuti bersama isterinya sering mendapat gangguan dari wanita jadi-jadian bernama  Sri Sundoro yang mempunyai “pasukan hantu”.

            Dalam adu kesaktian dengan Joko Kuti, akhirnya Sri Sundoro yang berubah menjadi babi atau celeng tewas. Tempat itu kemudian diberi nama Celeng Srenggi. Sedangkan tempat pemakaman massal “pasukan hantu” disebut Kramat Complong.

 

Punden Kendangsari

            Punden Kendangsari juga terdapat di daerah Rungkut. Di sini konon dimakamkan pendiri kampung Kendangsari, bernama: Raden Endang Kamulyaan. Ia adalah puteri Adipati Jayengrono yang sudah memeluk agama Islam. Di tempat ini ia mengajar mengaji. Sebagai ustadzah ia dipanggil Nyai Zamila.

            Dulu dekat punden itu ada sebuah sumur yang disebut Sumur Sanga, karena sumur itu mempunyai sembilan mata air. Warga setempat pernah mengeramatkan sumur itu dan menganggap nilainya sama dengan sumur Zamzam di Makkah. Melihat ulah sebagian penduduk itu sudah mengarah kepada tahayul dan syirik, akhirnya kebiasaan penduduk itu berhasil dicegah. ***

 

*) Yousri Nur Raja Agam  MH – adalah pemerhati sejarah, bermukim di Surabaya.

Riwayat Sunan Ampel – Wali Songo (2)

Riwayat Sunan Ampel – Wali Songo (2) 

Nama Asli Sunan Ampel 

 

 

Bong Swie Hoo

 

 

Oleh:  H.M.YOUSRI NUR RAJA AGAM *)

Yousri Nur RA. MH

Yousri Nur RA.MH.

 

 

Masyarakat sejarah sudah memastikan dan meyakini, bahwa Sunan Ampel memang bukan asli dari Jawa. Ada yang menyebut berasal dari Campa, Cina Selatan dan ada pula yang menyatakan berasal dari Arab. Kendati demikian, pada saat peringatan HUT ke-710 Kota Surabaya, ada peristiwa bersejarah yang terjadi Rabu, 28 Mei 2003. Masjid Muhammad Cheng Ho di Jalan Gading 2 Surabaya diresmikan oleh Menteri Agama RI. Saat upacara peresmian itu dari “bisik-bisik” terungkap kisah lain tentang asal-usul Sunan Ampel. Ia dikatakan berasal dari Cina atau keturunan Tionghoa.

 Sebelumnya diungkapkan asal-usul Sunan Ampel berdasarkan versi Babad Para Wali, Babad Tanah Jawi dan Babad Ngapeldenta. Ada lagi versi lain, versi “Babad Risakipun Majapahit Wiwit Jumenengipun Prabu Majapahit Wekasan Dumugi Demak Pungkasan” yang manuskrip aslinya disimpan di Reksopustoko, Solo.

Berbeda dengan versi sebelumnya, ada lagi versi lain tentang Sunan Ampel, versi Kronik Sam Po Kong, Semarang. Parlindungan dalam bukunya “Tuanku Rao”, terbitan Tanjung Pengharapan, menulis, bahwa Sunan Ampel keturunan Tionghoa atau Cina. Nama asli Sunan Ampel atau Raden Rahmat adalah Bong Swie Hoo, cucu dari Haji Bong Tak Keng dari Campa. Tahun 1447, Bong Swie Hoo di Tuban nikah dengan puteri Haji Gan Eng Tju yang pupular dengan panggilan Nyi Ageng Manila.

Sedangkan Slamet Muljana dalam buku “Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara” terbitan Bhatara, Jakarta, 1968 halaman 103, mengidentifikasikan Haji Gan Eng Tju sebagai Arya Teja.

Berita tentang orang-orang Cina Muslim yang menetap di Jawa, pertama kali diberitakan oleh Ma Huan. Ia berkunjung ke Jawa tahun 1407 dalam suatu rombongan utusan kaisar Tiongkok ke Asia Tenggara. Kisah ini dibukukan dengan judul Yeng-yei Sheng-lan (Catatan umum tentang pantai dan samudera raya).

Berdasarkan data ini, diungkap bahwa Sunan Ampel berdarah Cina, maka dugaan tersebut dikuatkan oleh gambar Sunan Ampel yang disimpan di Amsterdam. Gambar itu ditemukan oleh Lembaga Riset Islam Pesantren Luhur Malang, direproduksi oleh Panitia Lustrum ke-2 Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel, 5 Juli 1975.

Kunjungan Cheng Ho ke Asia Tenggara, diduga sebagai salah satu sebab banyaknya saudagar Cina berimigrasi secara besar-besaran ke berbagai negeri di Asia Tenggara ini, termasuk Indonesia. Di antaranya menetap di Surabaya.

Dua peneliti Bangsa Belanda, De Graaf dan Pigeaud menulis, masyarakat Islam yang ada di Gresik dan Surabaya, banyak yang berasal dari Cina, khususnya Hindia Belakang atau Indo Cina. Nama wilayah yang terkenal waktu itu adalah Campa. Pada waktu dinasti Yuan dan Ming berkuasa di Cina, Campa berada di Provinsi Yunnan. Penguasa terkenal di wilayah ini, tulis Drs.H.Sjamsudduha dalam buku Jejak Kanjeng Sunan, Perjuangan Walisongo (1999) adalah Say Dian Chih.

Campa tahun 1471 dikuasai oleh orang Annam atau Vietnam, kecuali satu daerah yang bernama Pandurangga. Dalam ekspedisinya, Cheng Ho juga sering kali singgah di Campa. Tetapi, Buya Hamka dalam bukunya “Sejarah Umat Islam” penerbit Nusantara, Bukittinggi, menegaskan bahwa Sunan Ampel atau Raden Rahmat bukan berasal dari Campa, Indo Cina, melainkan dari Cempa atau “Jeumpa” di Aceh.

Hingga sekarang “Jeumpa” itu masih ada di Aceh, sebagai nama kecamatan dengan ibukota Bireun, Kabupaten Aceh Utara.

Sebenarnya kisah dan cerita tentang Sunan Ampel ini masih banyak, tetapi tidak sama. Masing-masing punya versi sesuai dengan sumber yang diteliti. Kendati demikian, sebagai obyek wisata suci (ziarah), sangat layak masalah Sunan Ampel ini ditelusuri lebih teliti lagi.

Peninggalan Sunan Ampel terdapat di kawasan Ampel, selain ada masjid Agung dan komplek makam Sunan Ampel, juga terdapat puluhan makam pengikutnya.

Kembang Kuning

Salah satu peninggalan lain Sunan Ampel adalah Masjid Rahmat di daerah Kembang Kuning, Surabaya. Konon ceritanya, saat Raden Rahmat mendapat restu dari Prabu Brawijaya untuk tinggal di Ngampeldenta, Surabaya. Sebelum sampai di tujuan, ia sempat beristirahat dan tinggal di daerah Kembang Kuning.

Selama berada di Kembang Kuning, Raden Rahmat mendirikan rumah dan masjid. Ada yang mengindentikkan perjalanan Raden Rahmat dari pusat kerajaan Majapahit ke Ngampeldenda, seperti Nabi Muhammad hijrah dari Mekah ke Madinah. Di mana, Rasulullah Muhammad SAW, sebelum sampai di kota Madinah berhenti dulu dan tinggal di Quba. Di kota yang jaraknya sekitar 5 kilometer dari Madinah itu, nabi membangun masjid pertama, yakni Masjid Quba.

Sedangkan Raden Rahmat sebelum sampai di Ngampeldenta, singgah dan membangun masjid di Kembang Kuning. Sampai sekarang masjid peninggalan Raden Rahmat itu masih ada di Kembang Kuning yang diberi nama Masjid Rahmat. Letaknya, juga sekitar 5 kilometer dari daerah Ampel.

Tidak hanya itu, di Kembang Kuning ini menurut naskah Badu Wanar dan naskah Drajad, tarikh Auliya, halaman 6, disebutkan bahwa Raden Rahmat sempat menikah dan dua anaknya dari perkawinan itu lahir di sini. Keduanya puteri, yakni: Dewi Mustasiyah dan Dewi Murtasimah.

Versi lain menyebut, waktu itu Raden Rahmat dengan isteri pertama mempunyai delapan orang anak, yaitu: Sunan Bonang, Sakban Gunung Muria alias Pangeran Sobo, Maulana Joko Lor Sunan Kudus, Dewi Murtasiyah, Nyi Ageng Maloko, Maulana Zainuddin Penghulu Demak, Maulana Hasyim Sunan Drajad dan Maulana Abdul Jalil alias Asmara Jepara.

Satu versi lagi menyatakan, bahwa waktu bersiteri dengan wanita dari Kembang Kuning, Raden Rahmat mengumpulkan dua isterinya dalam satu rumah. Dengan dua isteri itu Raden Rahmat mempunyai tujuh orang anak, yakni: Siti Murtasimah, Siti Syari’ah, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Siti Muthmainnah, Siti Murtasiyah dan Siti Hafsyah.

Kecuali versi-versi di atas, ada pula versi lain yang mengungkap Raden Rahmat mempunyai tiga isteri, masing-masing: Nyi Ageng Manila, Nyi Ageng Bela (kemenakan Arya Teja) dan seorang lagi tidak diketahui namanya. Dari isteri pertama punya empat anak, yaitu: Sarifuddin, Makdum Ibrahim, Nyi Ageng Maloko, dan seorang puteri yang dinikahkan dengan Sunan Kalijaga. Dengan isteri kedua, punya dua anak: Hasyim Syahib Drajad dan Muthmainnah. Dari isteri ketiga, empat orang anak, yakni: Murtosiyah, Ratu Asyiqah, Alawiyah (Ibu Danang) dan Maulana Hasanuddin.

Mbah Bungkul

Warga Kota Surabaya pasti mengenal nama Mbah Bungkul. Makamnya terletak di Jalan Raya Darmo, tepatnya di Jalan Progo. Di sana ada tanah lapang yang lazim disebut Taman Bungkul. Sedangkan makam Mbah Bungkul berada di bagian timur taman yang dipagari, serta terlindung di balik tembok. Selain makam Mbah Bungkul, di sana juga ada beberapa makam keluarga dan pengikutnya.

Para penziarah yang berkunjung ke Masjid Agung Ampel dan makam Sunan Ampel, tidak jarang juga melakukan perjalanan ritual berkesinambungan ke Makam Mbah Bungkul.

Nah, apa hubungan Sunan Ampel dengan Mbah Bungkul? Ternyata, Mbah Bungkul adalah besan Sunan Ampel.

Sahibul hikayat, Mbah Bungkul semula bernama Ki Ageng Supa. Sewaktu masuk agama Islam, namanya diganti menjadi Ki Ageng Mahmuddin. Ia mempunyai seorang puteri bernama Siti Wardah.

Suatu hari, Ki Ageng Mahmuddin berkeinginan menikahkan puterinya. Namun ia belum mendapatkan jodoh. Untuk mencari jodoh puterinya itu, Ki Ageng Mahmuddin bernazar melakukan sayembara. Uniknya, sayembara itu tidak terbuka, tetapi hanya diungkapkan dalam hati Ki Ageng Mahmuddin.

Ki Ageng Mahmuddin menghanyutkan satu buah delima ke Kalimas (Mungkin, di pinggir sungai dekat Jalan Darmokali sekarang). Ketika melemparkan delima itu ia mengucapkan nazarnya, siapa yang menemukan buah delima itu, kalau ia laki-laki, maka akan diambil menjadi menantu yang akan dinikahkan dengan Dewi Wardah.

Kebetulan di bagian hilir sungai Kalimas (ya, kira-kira dekat Jalan Pegirian sekarang), seorang santri Sunan Ampel yang sedang mandi menemukan buah delima itu. Si santri menyerahkan buah delima itu kepada gurunya, Sunan Ampel. Oleh Sunan Ampel buah delima itu disimpan.

Besoknya, Ki Ageng Mahmuddin menelusuri bantaran Kalimas. Sesampainya di pinggiran Kalimas dekat Ngampeldenta, ia melihat banyak santri mandi di sungai. Ada keyakinan Ki Ageng Mahmuddin, bahwa yang menemukan buah delima itu adalah salah satu di antara santri Sunan Ampel.

Tanpa pikir panjang, Ki Ageng Mahmuddin menemui Sunan Ampel. Ia bertanya kepada Sunan Ampel, apakah ada dari santrinya yang menemukan buah delima yang hanyut saat mandi di Kalimas? Sunan Ampel menjawab ada, bahkan delima itu ia yang menyimpannya setelah diserahkan oleh seorang santri. Ki Ageng lalu mengungkapkan tentang nazarnya itu kepada Sunan Ampel.

Sunan Ampel lalu mengatakan, santri yang menemukan buah delima itu bernama Raden Paku. Maka sesuai dengan nazarnya, ia minta kepada Sunan Ampel untuk sudi memperkenalkan laki-laki itu kepadanya dan sekaligus diizinkan untuk dinikahkan dengan anaknya, Dewi Wardah.

Sunan Ampel tidak dapat menolak, karena nazar wajib untuk dilaksanakan. Maka disetujuilah pernikahan Raden Paku dengan Dewi Wardah.

Ada keunikan dalam cerita ini, ternyata pada hari yang ditetapkan itu, sebenarnya Sunan Ampel juga menikahkan puterinya Dewi Murtasiyah dengan Raden Paku. Jadi, pada hari yang sama, Raden Paku menikah dengan dua wanita. Pagi hari dengan Dewi Murtasiyah anak Sunan Ampel dan petang harinya dengan Dewi Wardah anak Ki Ageng Mahmuddin alias Mbah Bungkul.

Begitulah ceritanya, karena ada keterkaitan antara Ki Ageng Mahmuddin yang juga dipanggil Mbah Bungkul itu dengan Sunan Ampel dalam hubungan “perbesanan”, maka para penziarah ke kawasan Ampel, juga menyempatkan diri berziarah ke makam Mbah Bungkul. ***

*) Yousri Nur Raja Agam M.H – Pemerhati sejarah bermukim di Surabaya.

**************************************************************

Riwayat Sunan Ampel – Wali Songo (3)

Riwayat Sunan Ampel – Wali Songo (3)

Sunan Ampel

Keturunan Nabi Muhammad

Oleh:

H.M.YOUSRI NUR RAJA AGAM *)

SUNAN Ampel benar-benar sudah diyakini oleh semua peneliti sejarah, “bukan orang Jawa”. Ia adalah pendatang dari Campa atau Cempa atau Jeumpa. Masih belum jelas, di mana tepatnya. Bahkan juga disebutkan bahwa Sunan Ampel, berdarah Arab dan keturunan Cina.

Selain itu semua, ada lagi kisah tentang nasab atau garis keturunan Sunan Ampel. Dalam Babad Tanah Jawi- Galuh Mataram, versi Soewito Santoso, menegaskan bahwa Sunan Ampel berasal dari Arab dan masih keturunan Nabi Muhammad SAW (Shalallahu ‘Alaihi Wasallam).

Azzumardi Azra dalam bukunya “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, 1994,halaman 30, bahwa ayah Sunan Ampel orang Arab bukan sekadar “tutur tinular”, melainkan ada beberapa sumber tertulis yang mendukung. Pendapat umum tersebut juga dikuatkan oleh keterangan GWJ Drewes di depan rektor dan para dosen IAIN Kalijaga Jogjakarta, 21 November 1971, sebagaimana diberitakan pada Bulletin Antara, terbitan LKBN Antara, edisi pagi, 22 November 1971, halaman 1.

Salah satu bangsa di dunia yang senang dan paling rajin mencatat nasab dan silsilah adalah Bangsa Arab, terutama kaum Alawiyyin. Ini karena ciri khas kaum ini yang bangga dan hormat terhadap orang tua dan leluhurnya. Kabilah Arab menyusun cacatan silsilah ini dengan rapi. Syekh Al-Fadil wa al-Tahrir al-Kamil Abi al-Faus al-Bagdadi yang biasa disebut al-Syuwaidiy dalam bukunya: “Sabaik al-Zahab fi Ma’rifati Qabail al-Arab, menulis tentang silsilah dan pecahan kabilah di Arab perantau sampai ke India.

Dalam kitab itu juga diuraikan tentang garis keturunan Nabi Muhammad SAW ke Siti Fatimah yang menjadi penyebar agama Islam sampai ke Timur Jauh, yakni: India, Kamboja, Siam, Annam, Malaysia dan Indonesia.

Dalam beberapa silsilah Nabi Muhammad yang kemudian sampai ke Sunan Ampel, terungkap pada Serat Babad Para Wali Tanah Jawa sebagai versi pertama, silsilah dari 1’Nabi Muhammad terus ke generasi 2.Sayyidah Siti Fatimah az-Zahra + Sayyidina Ali bin Abi Thalib, terus ke 3.Husein — 4.Ali Zainal Abidin — 5.Muhammad al-Baqir — 6.Ja’far Shadiq — 7.Ali — 8.Muhammad — 9.Isa — 10.Ahmad Muhajir — 11.Ubaidullah — 12.Alwi — 13.Muhammad — Alwi — Ali Khaliq — Muhammad — Alwi — Abdul Malik — Abdullah Khan — Ahmad Jamaluddin — Jamaluddin Akbar — Ibrahim dan terus ke Raden Rahmat.

Versi kedua, dari Nabi Muhammad terus ke Siti Fathimah az-Zahra + Sayyidina Ali bin Abi Thalib — S.Husain — Ali Zainal Abidin (wali di Mindanau, Filipina) — Zainal Alim — Zainal Kabir — Zainal Husain — Jumadil Kubra — Ibrahim Asmara dan Raden Rahmat.

Versi ketiga, urutan nasab Syarif Muhammad bin Ali Zainal Abidin, yaitu: dari 1.Nabi Muhammad SAW terus ke 2.Siti Fathimah az-Zahra + Sayyidina Ali bin Abi Thalib — 3.Husain – 4.Ali Zainal Abidin — 5.Muhammad al Baqir — 6.Ja’far Shadiq — 7.Ali — 8.Muhammad — 9.Isa — 10.Ahmad Muhajir — Ubaidullah —Alwi — Abdurrahman — Ahmad — Abdullah — Ali — Muhammad — Abdullah — Muhammad — Ali — Nuhammad — Husen — Ali al Baqir — Ali Zainal Abidin — Muhammad Abdul Malik dan Raden Rahmat.

Versi keempat, berdasarkan silsilah Sunan Giri, sebagai berikut: dari Nabi Muhammad SAW ke Siti Fathimah az-Zahra + Sayyidina Ali bin Abi Thalib – Husain — Ali Zainal Abidin – Muhammad al Baqir — Ja’far Shadiq —Ali — Muhammad — Isa — Ahmad Muhajir — Ubaidullah —Alwi — Muhammad — Alwi — Ali Khaliq — Muhamad — Alwi — Ibrahim — Maulana Ishaq — Raden Rahmat.

Dari empat versi di atas, versi pertama, apabila diperhatikan dari nama, ada perbedaan sebutan nama-nama psds nomor urut keturunannya.

Silsilah lainnya ada empat versi lagi, semua tentang garis nasab Raden Rahmat atau Sunan Ampel dari Nabi Muhammad melalui Siti Fatimah.

Kendati dari berbagai versi itu ada perbedaan, namun pada akhirnya ada kesamaan, yakni keturunan terdekat Raden Rahmat adalah Ibrahim.

Gelar Raden

Biasanya, kalau penyebar agama Islam berasal dari Arab, ia sering dipanggil syekh. Sebagaimana panggilan untuk ulama besar di Sumatera, terutama di Minangkabau atau Sumatera Barat. Tetapi itu sama sekali tidak, pada Sunan Ampel dan beberapa sunan lainnya. Kecuali ada sebutan syekh untuk Syekh Maulana Malik Ibrahim dan Syekh Maulana Yusuf.

Berbagai sumber dan babad, semuanya menyatakan Sunan Ampel pada masa kecilnya bernama Rahmat.

Dalam riwayat berikutnya, setelah menempuh perjalanan panjang dengan menyeberangi samudera dan lautan, Rahmat datang pusat kerajaan Majapahit bersama adiknya Raja Pandhita alias Santri dan anak pamannya bernama Beureurah atau Burerah. Paman Rahmat atau ayah Burerah adalah Raja Cempa. Di keraton Majapahit mereka bertiga diterima sebagai keluarga kerajaan. Sebab, Rahmat dan Raja Pandhita alias Santri adalah kemenakan dari permaisuri Prabu Brawijaya yang bernama Dewi Murtiningrum atau dalam Babad Tanah Jawi – Galuh Mataram disebut Ratu Darawati.

Nah, saat berada di Majapahit inilah, mereka bertiga memperolah gelar “raden”, sehingga Rahmat menjadi Raden Rahmat, Raja Pandhita alias Santri menjadi Raden Santri dan Beureurah menjadi Raden Burerah.

Kemudian, Raden Rahmat sebagai ulama dan oleh Prabu Brawijaya diberi kesempatan untuk menguasai suatu wilayah di Surabaya, tepatnya di Ampel. Tidak hanya itu, dalam buku Oud Soerabaia (1931), karangan G.H.von Faber, halaman 288, disebutkan bahwa Raden Rahmat pindah bersama 3.000 keluarga pengikutnya (drieduizend huisgezinnen).

Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java (1817), halaman 117 menulis kepindahan Raden Rahmad dari keraton Majapahit ke Ampel disertai 3.000 keluarga (three thousand families). Sementara itu menurut Babad Ngampel Denta, jumlah orang yang boyongan bersama Raden Rahmat ke Ampel Surabaya sebanyak 800 keluarga (sun paringi loenggoeh domas). “Domas” menurut S.Prawiroatmodjo dalam buku Bausastra Jawa – Indonesia (1981) artinya delapan ratus.

Jadi, pemberian gelar raden untuk Rahmat sehingga bernama Raden Rahmat, karena ia dianggap sebagai bangsawan dan perlu mendapat penghormatan. Bisa juga, karena dia sebelumnya bergelar asy-Syarif atau as-Syayyid yang merupakan ningrat Arab, tulis G.F.Pijper dalam “Beberapa Studi Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950” terjemahan Tudjimah dan Yessi Augusdin (1984).

Berdasarkan padanan itu, lalu disejajarkanlah Rahmat dengan keturunan raja-raja Jawa, ia diberi gelar raden. Dengan adanya gelar raden itu, ia tidak lagi menjadi orang asing di sini. Apalagi dalam riwayat berikutnya, Raden Rahmat kawin dengan pribumi dan beranak-pinak sebagai “Orang Jawa”.

Sunan dan Wali

Setelah masa lalunya akrab dengan nama Raden Rahmat, kiprahnya dalam menyebarkan agama Islam dari Surabaya, terus berkembang ke seluruh Tanah Jawa. Raden Rahmat tidak sendiri, ia dibantu murid-murid dan anak-anaknya.

Sebagai guru besar agama Islam ia kemudian mendapat julukan “Suhun”. Dalam buku Javaansch-Nedherlansch Handwooenboek (1901) karya J.F.C Gerieke dan T.Roorda, disebutkan bahwa Suhun merupakan kata dasar dari Sunan. Nah, kemudian berubahlah panggilan suhun menjadi sunan. Karena menetap di Ampel, maka Raden Rahmat kemudian popular dengan sapaan Sunan Ampel.

Kata “wali”, berasal dari kalimat waliyullah atau wali Allah. Dalam tradisi Jawa, terutama kalangan orang-orang Islam, tulis Drs.H.Syamsudduha dalam Jejak Kanjeng Sunan (1999), “wali” tidak hanya sekedar sebutan, tetapi ada “roh” atau “geest” di dalamnya.

Sebutan wali di situ tidak bisa dilepaskan dari Al Quran, seperti terdapat dalam Surat Yunus ayat 62-64. Ayat itu mengandung makna wali Allah, ialah orang yang karena iman dan taqwanya tidak merasa takut, tidak mengenal sedih, selalu gembira atau senantiasa optimistik dalam perjuangan, karena yakin dengan janji Allah yang akan memberi kemenangan dan keberhasilan.

Perkembangan zaman dan semakin tumbuhnya kehidupan manusia, maka penyebaran Islam di Tanah Jawa semakin nyata. Sunan Ampel tidak lagi sendiri, tetapi ada delapan lagi penyebar agama Islam yang juga memperoleh gelar yang sama. Dari delapan orang yang bergelar Sunan, satu di antaranya dipanggil Syekh.

Sunan Ampel dengan tujuh Sunan dan satu Syekh ini disebut sebagai Wali yang sembilan atau Wali Sanga atau Wali Songo. Mereka adalah Sunan Ampel di Surabaya, Syekh Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Giri di Gresik, Sunan Drajat di Lamongan, Sunan Bonang di Tuban, Sunan Kalijaga di Demak, Sunan Muria di Gunung Muria, Sunan Kudus di Kudus dan Sunan Gunung Jati di Cirebon.

Museum Wali Songo

Masyarakat Surabaya patut bangga terhadap keberadaan Sunan Ampel. Betapa tidak, sebab dengan adanya kiprah masa lalu Sunan Ampel itu, mengangkat derajat Surabaya sebagai “Kota Relegius”. Kota yang peduli terhadap agama, khususnya Islam. Berkat kiprah Sunan Ampel dengan segala peninggalan sejarah yang dibuatnya, kini Surabaya dapat menjadi pusat sejarah Islam di tanah Jawa.

Sunan Ampel sebagai sunan yang “dituakan” di antara delapan Wali Songo lainnya, menjadi Surabaya sebagai pangkal kegiatan ziarah “Wali Songo”. Dan sudah umum, sebelum melakukan ziarah ke makam-makam Wali Songo, Masjid Agung Ampel dan makam Sunan Ampel dijadikan tempat start. Dari sini baru kemudian menuju ke Gresik, Lamongan, Tuban, Gunung Muria, Kudus, Demak dan finish di Cirebon.

Biasanya, kalau kita akan melakukan perjalanan jauh, maka di awal perjalanan kita membuat perencanaan tentang tujuan selanjutnya. Saat berada di tempat pemberangkatan awal, kita wajib mengetahui peta yang akan dituju kemudian. Artinya, untuk ziarah Wali Songo, ketika masih berada di strat makam Sunan Ampel, maka rencana kunjungan ke delapan wali lainnya sudah dipersiapkan. Bahkan, gambaran tempat yang akan dituju sudah ada di angan-angan.

Angan-angan tentang Wali Songo itu harus berada di Surabaya, bentuk angan-angan itu adalah suatu tempat yang mampu memberi gambaran ke depan. Jadi, apa yang dikatakan mantan Kepala Dinas Pariwisata Kota Surabaya, Drs.H.Muhtadi,MM sangat tepat.

Pemerintah Kota Surabaya, harus dapat menciptakan gambaran keseluruhan tentang Wali Songo itu dalam bentuk “Museum Wali Songo”. Dengan adanya gambaran yang diperagakan dan diinformasikan dari Museum Wali Songo, maka para wisatawan atau peziarah memperoleh bekal yang sangat berguna.

Museum Wali Songo di Surabaya harus mampu memberi gambaran masing-masing aktivitas ke sembilan wali itu.

Selain kiprah Sunan Ampel yang sudah banyak diungkap, di museum itu perlu digambarkan secara jelas tentang Syekh Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Giri di Gresik. Begitu pula dengan Sunan Drajat, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan kalijaga dan Sunan Gunung Jati.

Tentunya, apa yang digagas Muhtadi itu layak memperoleh dukungan dari petinggi Kota Surabaya, yakni Walikota Surabaya bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surabaya, perguruan tinggi serta masyarakat pencinta sejarah. Dengan kebersamaan semua pihak, insya Allah, gagasan tentang pendirian Museum Wali Songo di Surabaya dapat diwujudkan. ***

*) Yousri Nur Raja Agam  M.H —  Pemerhati sejarah bermukim di Surabaya.

Riwayat Sunan Ampel di Surabaya

Riwayat Sunan Ampel – Wali Songo (1)

Surabaya

Tempat Hijrah Sunan Ampel

Oleh:

H.M.YOUSRI NUR RAJA AGAM  *)

 

SURABAYA juga disebut sebagai “Kota Sunan Ampel”.  Lebih tepatnya, Surabaya adalah tempat hijrah Sunan Ampel, satu di antara sembilan wali (Walisongo).

Nah, siapakah sebenarnya Sunan Ampel itu? Seperti telah diungkap sebelumnya, umumnya penduduk Kota Surabaya adalah para pendatang dan perantau dari daerah lain di Nusantara ini. Bahkan, tidak sedikit pula yang berasal dari manacanegara. Selain dari Eropa, juga banyak yang berasal dari Timur Tengah, khususnya Arab, India dan Cina. Sunan Ampel, juga pendatang. Ia merantau atau hijrah ke Surabaya, menetap dan kemudian wafat sebagai “bunga bangsa” di Kota Pahlawan ini..

Nama Sunan Ampel abadi di Surabaya. Karya dan buah tangannya sebagai warga Surabaya masih ada sampai sekarang. Sunan Ampel adalah waliullah, ulama besar yang menumbuhkembangkan ilmu yang sangat bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat. Jadi, Surabaya patut berbangga, sebab sunan yang dituakan di antara Walisongo adalah Sunan Ampel.

Apabila ditelusuri jejak Walisongo di Surabaya cukup banyak, namun yang menonjol ada di tiga tempat. Pertama: kawasan Ampel, kedua: Masjid Rahmat dan ketiga: komplek Makam Mbah Bungkul.

Kawasan Ampel, sebuah kawasan permukiman di sekitar Masjid Agung Ampel di daerah Pegirian, Surabaya Utara. Di sini selain berdiri masjid peninggalan Sunan Ampel, di sekitarnya terdapat makam Sunan Ampel bersama para pengikutnya. Kawasan Ampel ini sudah sejak lama dijadikan obyek “wisata suci” atau ziarah oleh masyarakat dari berbagai daerah di Nusantara, juga dari luar negeri.

Masjid Ampel ini juga biasa dijadikan tempat start untuk kegiatan ziarah Walisongo. Setelah mengunjungi masjid dan makam Sunan Ampel, perjalanan dilanjut ke delapan walisongo lainnya. Makam Maulana Malik Ibrahim dan makam Sunan Giri di Gresik, makam Sunan Drajat di Lamongan, makam Sunan Bonang di Tuban, makam Sunan Kudus di Kudus, makam Sunan Muria di lereng Gunung Muria, makam Sunan Kalijaga di Demak dan makam Sunan Gunung Jati di Cirebon.

 

Siapa Sunan Ampel

Pendapat umum mengatakan, bahwa Sunan Ampel bukan orang Jawa, tetapi orang Campa dan ayahnya berasal dari Arab. Ini memang bukan sekedar “tutur tinular”, melainkan ada beberapa sumber tertulis yang mendukung. Pendapat umum itu juga dikuatkan oleh keterangan G.W.J.Drewes di depan rektor dan para dosen IAIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta bulan November 1971.

Ada beberapa versi tentang siapa dan dari mana asal Sunan Ampel. Dalam penelitian sejarah yang dilakukan para ahli, diakui bahwa informasi tertulis dan prasasti yang digoris di atas batu atau lempengan logam tentang Sunan Ampel sama sekali tidak ada.

Saat dilangsungkan Festival Walisongo I di Surabaya, Juni 1999 lalu, Yayasan Festival Walisongo menerbitkan buku Jejak Kanjeng Sunan – Perjuangan Walisongo. Pada buku itu, juga dijelaskan, para ahli tidak pernah menemukan naskah atau manuskrip yang ditulis pada masa hidupnya atau waktu yang agak dekat sesuadah wafatnya sampai sekarang.

Manuskrip yang mengisahkan serba sedikit tentang Sunan Ampel, baru ada pada zaman Kerajaan Mataram, seperti: “Babad Tanah Jawi”. Naskah yang lain umumnya ditulis pada abad ke 18 dan 19. Padahal kalau kita telusuri, Sunan Ampel hidup pada abad 14 atau sekitar tahun 1331 M – 1400 M. Pada “Babad Ngampeldenta” yang naskah aslinya disimpan di Yayasan Panti Budaya di Jogjakarta baru selesai diturun-tulis (titi tamat noeroen soengging) pada Hari Rabu Legi, tanggal 16 Jumadil Akhir 1830, bertepatan dengan 2 Oktober 1901.

Drs.H.Sjamsudduha yang menjadi narasumber tentang Sunan Ampel dalam buku Jejak Kanjeng Sunan – Perjuangan Walisongo, menyebutkan manuskrip yang bercerita tentang Sunan Ampel yang agak rinci, ada dua naskah tulisan “pegon” yang ditemukan di Dusun Badu, Desa Wanar, Kecamatan Pucuk dan Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Selanjutnya naskah itu disebut: naskah Badu Wanar dan naskah Drajat.

Kecuali itu, juga ada Babad Risakipun Majapahit Wiwit Jumenengipun Prabu Majapahit Wekasan Dumugi Demak Pungkasan yang disimpan di Perpustakaan Reksopustoko Surakarta, Jawa Tengah.

Para ahli sepakat menyebut nama lain Sunan Ampel adalah Raden Rahmat. Saat berusia 20 tahun, waktu itu sekitar tahun 751 H atau 1351 M, pria ini datang ke pusat pemerintahan Kerajaan Majapahit. Tempat Raden Rahmat ini, ada tiga versi. Ada yang menyatakan ia kelahiran Cempa (Jeumpa), Aceh, ada yang menyebut Campa, sebuah kota di Kamboja, Indocina. Bahkan ada yang cukup ekstrim, Sunan Ampel diakui keturunan Cina dengan nama Bong Swie Ho. Dalam kronik Sam Po Kong di bawah angka tahun 1445, dinyatakan Bong Swie Ho adalah cucu Haji Bong Tek Keng dari Campa.

 

Babad Para Wali

Berdasarkan naskah Badu Wanar dan naskah Drajat, dikisahkan, Raden Rahmat datang ke Majapahit bersama kakaknya, bernama Raja Pandhita dan Raden Burerah anak Raja Kamboja. Raden Rahmat dan Raja Pandhita adalah anak kandung seorang guru agama Islam bernama Maulana Ibrahim Asmara dengan isterinya Candrawulan, dari Tulin, Campa.

Kedatangan Raden Rahmat dan Raja Pandhita yang diantar Raden Burerah ke pusat Majalapahit adalah untuk menemui bibinya Dewi Murtiningrum yang menjadi permaisuri raja Brawijaya. Setelah sampai dan menetap di Majapahit, mereka diperlakukan sebagai putera raja Brawijaya. Saat berada di sini, mereka ditertawakan karena melaksanakan shalat, sebab waktu itu Majapahit belum mengenal Islam. Raja Brawijaya tidak melarang mereka menunaikan ibadah secara Islam. Merekapun diminta menetap di Majapahit dan diberi jabatan sebagai tumenggung.

Raden Rahmat menikah dengan Raden Ayu Candrawati anak dari Arya Teja, Mantri di Tuban. Sedangkan Raja Pandhita kawin dengan Raden Ayu Maduretna anak Arya Babirin dari Arosbaya, Madura.

Raden Rahmat yang kemudian menetap di kampung Ampeldenta, mempunyai lima orang anak, yakni: Siti Syari’ah, Siti Muthmainnah, Siti Hasyfah, Ibrahim dan Raden Qasim. Raden Rahmat, juga menikah dengan puteri Ki Bang Kuning, bernama Mas Karimah dan mempunyai dua orang anak perempuan, Mas Murtabiyah dan Mas Murtasimah.

 

Babad Tanah Jawi I

Versi Babad Tanah Jawi (Punika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegi ing Taoen 1647 – W.L.Olthof), disebutkan, raja Cempa kedatangan orang seberang bernama Makdum Ibrahim Asmara. Ia memohon agar raja masuk Islam. Permintaan itu dikabulkan raja dan juga diikuti seluruh rakyatnya.

Raja Cempa menikahkan anak perempuannya dengan dengan Makdum Ibrahim dan mempunyai dua orang putera, Raden Rahmad dan Raden Santri. Sedangkan Raja Cempa ini juga punya anak laki-laki bernama Raden Burerah.

Raden Rahmat bersama adiknya minta izin kepada raja yang juga kakeknya itu untuk pergi ke Majapahit menemui bibinya. Raja Cempa mengizinkan asal ditemani oleh Raden Burerah. Mereka bertiga sampai di Majapahit dan bertemu dengan Raja Brawijaya. Raden Rahmat kemudian menikah dengan puteri Tumenggung Wilatikta, bernama Gede Manila dan bertempat tinggal di Ampeldenda.

Raden Burerah dan Raden Santri menikah dengan puteri Arya Teja. Yang tua dengan Raden Santri dan adiknya dengan Raden Burerah. Mereka berdua bertempat tinggal di Gresik.

 

Babad Tanah Jawi II

Babad Tanah Jawi (BTJ) versi ke dua ini disebut BTJ Galuh Mataram – Suwito Santoso, bercerita seperti berikut. Ada seorang sultan di negeri Arab yang masih keturunan Nabi Muhammad SAW, mempunyai anak laki-laki bernama Syekh Ibrahim. Suatu hari Ibrahim diperintah kakaknya pergi ke Tanah Jawa untuk mengislamkan penduduknya. Setelah berlayar, sampai di negeri Cempa dan bertemu raja Cempa. Dia menetap di sini dan diberi gelar Syekh Wali Lanang dan ia berhasil mengajak raja Cempa masuk Islam. Syekh Wali Lanang kemudian dikawinkan dengan puterinya yang muda, adik Ratu Darawati yang kawin dengan raja Brawijaya V di Majapahit.

Kebetulan datang seorang kemenakan Ratu Darawati dari Cempa, bernama Raden Rahmat putera Syekh Ibrahim alias Wali Lanang. Prabu Brawijaya, mengangkat Raden Rahmat sebagai Sunan di Ngampel, sehingga ia dikenal sebagai Sunan Ampel. Waktu itu Prabu Brawijaya mengizinkan rakyat Majapahit memasuki agama Islam, asal tidak ada paksaan, tetapi baginda sendiri tidak mau memeluk agama Islam.

 

Babad Ngampeldenta

Manuskrip yang disimpan di Panti Budaya, Jogjakarta dengan nomor PB A.200, sekarang disimpan di Perpustakaan Museum Negeri Sonobudoyo Jogjakarta. Alih hurufnya dilakukan Dr.Th.Pigeaud tahun 1939. Di sini diungkapkan, Sang Pandhita, yakni Maulana Ibrahim Asmara menikah dengan Retna Sujinah dari Cempa, juga beristeri dari Aceh. Dengan Ratna Sujinah ia punya dua putera laki-laki diberi nama Raden Rahmat. Adiknya yang lahir kemudian diambil anak oleh isteri yang dari Aceh dan diberi nama Raden Atmaja.

Raden Rahmat dengan dua pengiringnya, berbekal dua surat menghadap raja Majapahit. Surat pertama menyatakan bahwa yang datang adalah kemenakan sang prameswari, dan surat yang satu lagi berisi ajakan Syekh Maulana Ibrahim Asmara beserta isteri dan raja Cempa, serta ibundanya, agar raja Majapahit berkenan memeluk Islam. Apabila raja belum berkenan, ayunda saja yang masuk Islam. Surat itu juga memberitahu, bahwa Raden Rahmat telah paham dan menguasai segala ilmu, sehingga patut menjadi ulama.

Raden Rahmat diberi tempat tinggal di Ngampel dengan pengikut yang banyak. Delapan ratus keluarga atau somah beralih masuk Islam. Raja tidak melarang rakyatnya pindah agama, terserah kesukaannya sendiri.

Ada satu lagi versi tentang siapa Raden Rahmat atau Sunan Ampel, diungkapkan dalam Babad Risakipun Majapahit Wiwit Jumenengipun Prabu Majapahit Wekasan Dumugi Demak Pungkasan. Cerita seperti di bawah ini.

Madum Ibrahim di Cempa berputera dua orang laki-laki, yang tua bernama Raden Rahmat, yang muda bernama Raden Santri, putera raja Cempa bernama Raden Burerah. Raden Rahmat bersama adiknya pergi ke Pulau Jawa untuk menjenguk bibinya di Majapahit. Sesampai di Majapahit menghadap raja dan mereka diterima dengan sangat senang. Mereka di Majapahit sudah setahun.

Raden Rahmat menikah dengan puteri Arya Teja. Puteri Arya teja yang kedua menikah dengan Raden santri, yang tengah menikah dengan Raden Burerah. Putera Arya teja yang bungsu Tumenggung Wilatikta.

Raden Rahmat ditempatkan di dusun Ngampeldernta, dan diberi gelar Sunan Ngampeldenta. Raden Santri dan Raden Burerah diberi sebidang tanah di Gresik sebagai dusun tempat tinggal.

Raden Rahmat memohon kepada raja agar memeluk agama Islam. Raja Brawijaya belum ingin masuk agama Islam, tetapi semua orang Jawa yang ingin masuk agamaq Islam tidak dibatasi, terserah mereka yang menyenanginya.

Adipati Bintara terus datang di Ngampel, menghadap Sunan Ngampelgadhing. Tatkala itu di negeri Surabaya sudah Islam semua. Adipati Bintara memohon izin untuk menyerbu negara Majapahit, karena sekalipun yang memerintah negara itu orangtuanya sendiri, tetapi diua kafir, tidak mau mengikuti Islam. Sunan Ampel melarang, karena ayahandanya tidak pernah mencegah orang masuk Islam. Beliau memberi kebebasan dan memberi sejumlah orang untuk ikut pindah dan menjadi muslim dan mukmin. Di Surabaya mereka membangun agama.

Apa jeleknya paduka raja. Adapun beliau belum mau masuk agama Islam, karena Allah belum menghendakinya. Jangan mendahului takdir, hendaklah menerima kehendak Allah. Adipati Bintara mendengar dengan takzim. Adipati Bintara hanya dua hari di Surabaya, terus pulang ke Demak.

Tatkala Sunan Ngampeldenta wafat, para wali semuanya datang. Mereka memandikan dan mensalatkannya. Para wali sama menangis. Sesuadah dimakamkan di Ngampelgadhing, Sunan Giri hadir dan ditetapkan menjadi imam (pemimpin) para wali. Sunan Bonang juga hadir. Trah (kerabat keturunan) Ngampelghading banyak yang menjadi waliyullah, seperti Murya dan Ngudung. Begitulah negara Demak makin ramai dan para wali sepakat untuk mendirikan kerajaan.

Manuskrip asli dari babad di atas disimpan di Reksopustoko, Solo; alih huruf Martodarmono pada tahun 1988, halaman 8-9, 40 dan 57. ****

BACA LANJUTANNYA

Riwayat Sunan Ampel (2)

*) Yousri Nur Raja Agam M.H  — Pemerhati sejarah, bermukim di Surabaya

 

 

 

**********************************************************************