Rakyat Malaysia Akui Batik Warisan Budaya Indonesia

Batik  Warisan Budaya Indonasia

Batik di Surabaya, Indonesia membatik dengan menggunakan canting

Batik

Catatan: Yousri Nur Raja Agam

Yusri mengenakan batik Indonesia

RAMAI-RAMAI masalah batik Indonesia yang konon “dipatenkan” sebagai produk budaya Malaysia, ternyata tidak ditanggapi oleh masyarakat di negeri jiran kita itu. Justru  masyarakat Malaysia mengakui dan menyampaikan ucapan selamat kepada Indonesia. Umumnya para produsen dan pengrajin batik di Malaysia, mengakui asal-usul batik adalah tanah Jawa, di Indonesia.

Batik dari Surabaya, Indonesia

Kami yang membuat batik dan para pengrajin batik di Malaysia ini umumnya berasal dan keturunan dari Indonesia, kata beberapa pengusaha butik dan took batik di Kuala Lumpur, Shah Alam dan Putrajaya. Mereka pun menyatakan bangga atas pengukuhan batik oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia yang berasal dari Indonesia.

Mereka bangga mengenakan busana batik Indonesia

Menurut mereka, delegasi Malaysia yang belum menjadi delegasi resmi di UNESCO  sewaktu datang ke Abu Dhabi, juga memberi selamat setelah batik dikukuhkan sebagai warisan budaya Indonesia.

Saat rombongan wartawan dari Surabaya melakukan studibanding dan meninjau dari dekat kegitan pembuatan dan bisnis batik di Kota Putrajaya, Selangor, Malaysia, ternyata pembatiknya memang keturunan yang berasal dari Indonesia. Walaupun mererka mengakui, sudah menjadi WN Malaysia. Namun darah dan budaya mereka masih tetap seperti orang Indonesia, hanya bicaranya logat Melayu, Malaysia.

Batik Malaysia di Putrajaya ditulis tanpa cantingIni adalah batik Malaysia yang dibuat du Kota Putrajaya.

Batik Surabaya, Indonesia

UNESCO telah mengetuk palu pengukuhan batik sebagai warisan budaya dunia yang berasal dari Indonesia di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab disaksikan 114 negara delegasi UNESCO. Selain batik, sekarang  Indonesia sedang memproses angklung dan gamelan, sebagai warisan budaya dunia yang berasal dari Indonesia.

Perlu diketahui, sebelumnya tahun 2003  Wayang dan tahun 2005 Keris telah lebih dulu dikukuhkan UNESCO  sebagai karya nasional  bangsa Indonesia di daftarkan ke UNESCO. **

Cak dan Ning Panggilan Akrab Arek Surabaya

Cak dan Ning

Sapaan Akrab Arek Suroboyo 

Oleh: Yousri Nur Raja Agam  MH  *)

 

INDONESIA sangat kaya dengan budaya panggil memanggil atau sapa menyapa. Dalam Bahasa Indonesia, panggilan resmi untuk orangtua adalah: bapak-ibu, ayah-mak atau emak. Berikut ada panggilan berikutnya kakek-nenek, kakak-adik, paman-bibi. Di samping itu ada lagi panggilan-panggilan yang “diimpor” dari mancanegara. Panggilan yang berasal dari luar negeri, di antaranya: om-tante, papa-mama, buya, abah-ummi, ana, anta-anti atau antum yang di Jakarta menjadi ente.Cak dan Ning Surabaya 2006

  Cak dan Ning Surabaya 2006

           Kecuali itu, di tiap daerah di Indonesia ada bahasa suku yang panggilan dan sapaan yang cukup beragam. Masyarakat suku Jawa secara umum, menyapa kakak laki-laki: mas dan kakak perempuan: mbak. Ada daerah yang menambah dengan kang mas dan mbak yu. Belum lagi sebutan atau panggilan untuk yang lain, seperti: Eyang, eyang putri, eyang kakung, mbah, mbok, nduk, tole, dan sebagainya. Masyarakat Sunda, menyapa anak mudanya dengan neng untuk mojang (gadis) dan kang untuk kakak laki-laki dan mang untuk paman, nyai untuk nenek.

            Di berbagai daerah di Indonesia, panggilan juga berbeda-beda. Panggilan abang untuk kakak laki-laki sangat popular di kalangan masyarakat Melayu, dari Sumatera, Kalimantan sampai ke negeri jiran Malaysia. Kendati demikian padanan abang ini untuk perempuan tidak ada. Sehingga, masyarakat Jakarta memasangkan abang dengan none (berasal dari nona). Namun kalau perempuan itu sudah bersuami, statusnya naik menjadi nyonya. Panggilan untuk laki-laki, tuan. Sedangkan bagi orang Melayu, tuan dipadankan dengan puan. Puan adalah asan kata untuk perempuan. Jadi perempuan berarti empu (seperti menyebut jari yang besar).

            Ladies and gentlement dalam bahasa Inggris diartikan sebagai tuan-tuan dan puan-puan atau tuan-tuan dan nyonya-nyonya. Bisa juga  bapak dan ibu atau saudara dan saudari.

Khusus panggilan hormat yang cukup popular, di masa perjuangan dulu adalah panggilan: bung. Tidak banyak yang melekat dengan panggilan bung ini. Kita kenal: Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Bung Tomo dan kemudian generasi setelah itu, Bung Akbar (untuk Akbar Tandjung).

Sebenarnya, panggilan bung secara umum sudah dicoba untuk dimasyarakatkan. Ketika Harmoko menjadi Menteri Penerangan RI, dia mencoba memasangkan panggilan bung dengan mbak. Jadi, siapa saja laki-laki, tanpa pandang umumr, dapat dipanggil bung. Dermikian pula dengan perempuan, tanpa pandang usia disapa dengan: mbak.

Ada lagi panggilan hormat kepada orang tertentu,  orang tua atau yang dituakan, juga kepada guru agama bagi Islam, dipanggil buya. Kata panggilan yang berasal dari bahasa Arab, Abuyya. Panggilan itu, terkenal untuk para tokoh agama sekaliber Hamka, dipanggil Buya Hamka.

Ini ada panggilan hormat yang sangat langka, yakni: Ebes. Masyarakat Kota Malang, punya seorang yang diapnggil ebes, yaitu almarhum Sugiyono. Mantan Walikota Malang, yang kemudian menjadi wakil gubernur Irian Jaya. Memang, istilah ebes ini hanya popular di Malang. Dari segi etimologi, kata ebes sebenarnya dirujuk dari bahasa Arab, “Syebe” yang artinya bapak atau sama dengan abah.

Masyarakat Malang memang suka bahasa prokem walikan, yaitu setiap kata dibalik membacanya. Nah, jadilah syebe menjadi ebes. Uniknya, panggilan ebes itupun tidak menyeluruh, hanya populer untuk ebes Sugiyono, ebesnya Kera Ngalam – bahasa gaul di Malang, yang artinya bapaknya arek Malang. Arek menjadi kera dan Malang disebut Ngalam,.

 

Cak dan Ning

            Nah, bagaimana dengan masyarakat Kota Surabaya? Di Kota pahlawan ini, panggilan akrab untuk laki-laki adalah: Cak dan untuk perempuan Ning. Cak berasal dari kata cacak atau kakak. Sehingga, panggilan Cak itu sama dengan abang, mas atau kakak laki-laki dan Ning untuk perempuan muda, bisa sebagai panggilan untuk kakak atau adik.

            Cak, bagi masyarakat Surabaya adalah panggilan akrab yang merakyat. Sapaan Cak bisa ditujukan kepada setiap laki-laki – terutama yang belum tua – yang belum kita kenal, maupun yang sudah kita kenal. Bagi masyarakat Surabaya, kalau disapa dengan Cak, ada rasa keakraban dan rasa pertemanan. Bahkan, bagi orang tertentu, ia merasakan sebagai orang asli Surabaya.

            Memang, panggilan Cak itu, nuansa keakraban Surabaya-nya sangat terasa. Maka tidak salah, kalau ada yang menyatakan, Cak itu adalah sapaan akrab Arek Suroboyo. Nah, di sini ada dua pengertian. Pertama: Cak-nya sendiri dan yang kedua: Arek Suroboyo-nya. Sebagaimana tulisan terdahulu, pengertian Arek Suroboyo itu mengandung semangat ke daerahan. Artinya, Arek Suroboyo itu adalah “orang Surabaya”. Namun, Arek Suroboyo, tidak harus asli berasal dari Surabaya. Para sesepuh  Surabaya sangat sadar  bahwa warga kota Surabaya berasal dari berbagai suku bangsa, ras dan etnis.

            Tidaklah mengherankan, kalau panggilan Cak itu tidak semata-mata ditujukan kepada warga Surabaya “asli”. Tetapi juga kepada warga pendatang, baik yang berasal dari suku Jawa, Madura, maupun dari luar Jawa.

            Panggilan Cak sebagai pengganti mas untuk suku Jawa sudah biasa, begitu pula sapaan Cak untuk yang berasal dari Madura. Cak Joko, Cak Naryo, Cak Narto, Cak No, Cak Pardi, Cak Parman, Cak Ucup (Yusuf) atau Cak-cak lain bagi nama-nama yang bernuansa Islam. Cak Kasan (Hasan), Cak Brahim (Ibrahim), Cak Musa, Cak Dahlan, Cak Mahmud dan sebagainya, terdengar pas. Hal yang sama juga tidak masalah dengan yang berasal dari Madura yang nama-namanya juga bernuansa Islam, seperti Cak Kadir, Cak Rahman, Cal Dul (Abdul), Cak Dullah (Abullah) atau Cak Sakerah.

            Bagi warga Surabaya yang berasal dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara, juga banyak yang disapa dengan Cak. Ternyata tidak masalah. Pokoknya, mereka laki-laki yang ada di Surabaya, sapaan akrabnya adalah: Cak.

            Tidak mengherankan kalau ada warga kota Surabaya yang bernama Sahat, disapa dengan Cak Sahat. Sabron disapa Cak Sabron. Bonar dipanggil Cak Bonar atau Togar dengan Cak Togar. Binsar juga ditegur dengan panggilaan Cak Binsar Padahal sudah sangat jelas yang bernama Sahat, Sabron, Bonar, Togar dan Binsar itu adalah dari suku Batak yang di belakang nama itu masih ada nama marga, misalnya: Simbolon, Pasaribu, Sitorus, Siahaan, Gultom, Silaban, Panggabean  atau Simanjuntak.

            Begitu pula dengan Cak Jalil, Cak Sam dan Cak Yamin, misalnya. Ke tiga orang ini adalah warga Surabaya yang berasal dari Maluku atau Ambon. Namun, tidak pernah ada kejanggalan apalagi protes bila Jalil Latuconsina dipanggil Cak Jalil, Prof.Dr.H.Sam Abede Pareno dipanggil Cak Sam dan Yamin Akhmad disapa Cak Yamin.

            Hal yang sama, misalnya panggilan Cak Binseh untuk H.Binsyeh Abuyani, warga Surabaya keturunan Arab. Hal yang sama juga berlaku bagi masyarakat keturunan Arab yang banyak bermukim di sekitar Ampel. Di samping sapaan khas asal daerah, suku dan etnis, panggilan Cak untuk mereka tidak pernah dipermasalahkan.

            Sapaan bang, mas, kang atau sebutan dari masing-masing daerah, biasanya dilakukan oleh yang mengetahui asal daerah orang yang disapa. Bagi orang yang mengenal Agil H.Ali sebagai wartawan senioar yang juga mantan ketua PWI Jatim itu, jarang menyapanya Cak Agil. Mereka lebih akrab dengan sapaan Bang Agil atau Pak Agil. Sedangkan Sam Abede Pareno – yang nama aslinya adalah: Hasan Abdullah Attamimi itu, karena aktif sebagai seniman yang bermarkas di DKS (Dewan Kesenian Surabaya), lebih biasa disapa Bung Sam dibandingkan dengan Cak Sam.

            Lain halnya dengan H.Kadaruslan, ketua Pusura (Putera Surabaya) yang merupakan organisasi masyarakat Surabaya yang berkantor di Jalan Yos Sudarso 9 Surabaya. Panggilan Cak untuk Cak Kadar sudah sangat melekat. Hampir tidak pernah orang memanggilnya Mas Kadar atau Pak Kadar.

            Panggilan atau sapaan Cak, umumnya melekat pada tokoh dan sesepuh Surabaya. Prof.Dr.H.Roeslan Abdulgani, sangat akrab dengan sapaan Cak Rus atau Cak Ruslan. Mantan Walikota Surabaya, H.Sunarto Sumoprawiro, hampir tak pernah dipanggil bapak. Ia lebih akrab dengan sapaan Cak Narto. Bagi masyarakat Surabaya, mantan Wakil Presiden H.Try Soetrisno yang lahir dan besar di Jalan Genteng Bandar Surabaya, akrab disapa dengan Cak Su. Sapaan Cak juga khas untuk mantan walikota Surabaya H.Doel Arnowo yang disapa dengan Cak Dul. 

            Banyak tokoh yang dipanggil Cak Naryo. Di antaranya pada almarhum H.Soenarjo Oemarsidiq – sesepuh Surabaya dulu – dengan sapaan Cak Naryo. Tatkala Wakil Gubernur Jawa Timur Dr.H.Soenarjo,MSi  menjabat sebagai Sekwilda dan wakil walikota Surabaya, “dalang kondang” ini juga akrab disapa Cak Naryo. Kepopularannya sama dengan Sunarjo, pelawak Srimulat yang juga dipanggil Cak Naryo.

            Sapaan untuk anak perempuan atau kaum ibu, memang popular dengan Ning. Di kalangan ibu-ibu yang berada di perkampungan lama Surabaya, misalnya: Maspati, Bubutan, Kawatan, Blauran, Kranggan, Peneleh dan daerah lainnya, sapaan Ning masih sering terdengar. Tetapi di permukiman baru, jarang sapaan Ning ini dipergunakan. Panggilan atau sapaan mbak lebih melekat untuk perempuan muda.

            Nah, untuk menggali dan memasyarakatkan tradisi lama, sapaan Cak dan Ning kembali dibangkitkan. Agar sapaan Cak dan Ning itu melekat dan bergengsi, sejak tahun 1981, di Surabaya diselenggarakan pemilihan putera-puteri duta wisata dengan nama “Pemilihan Cak dan Ning Surabaya”.

 

Duta Wisata

Selain sebagai sapaan akrab untuk arek Suroboyo secara umum, Cak dan Ning sekarang dijadikan  sebagai  “Duta Wisata” Kota Surabaya. Predikat Cak dan dan Ning diberikan secara khusus kepada laki-laki dan perempuan muda pilihan. Mereka diseleksi melalui pemilihan yang berlangsung dengan ketat.

            Sama dengan pemilihan “raja dan ratu” yang pernah menjadi trend di kota-kota dunia, juga pernah menjadi bagian dari lomba yang diadakan di Indonesia. Pemilihan “ratu”, apalagi dengan embel-embel “kecantikan” memang lebih dominan, apabila dibanding pemilihan “raja”. Untuk pemilihan raja, mungkin bisa saja pemilihan “raja perkasa”.

             Walaupun sempat terjadi pro-kontra pemilihan “ratu-ratuan”, tahun 1970-an sampai 1980-an pernah diselenggarakan pemilihan ratu daerah di Indonesia. Mulai dari ratu tingkat kabupaten dan kota, provinsi sampai “ratu Indonesia”. Perempuan yang memperoleh predikat “Ratu Indonesia” dikirim ke mancanegara mengikuti pemilihan “Ratu Dunia” atau Miss Universe.

            Istilah “ratu”, kemudian diubah menjadi “puteri”. Pemilihan “wanita cantik” tidak lagi diselenggarakan oleh Pemerintah, tetapi diambilalih oleh swasta, khususnya perusahaan yang bergerak di bidang kosmetik dan alat-alat kecantikan. Kendati secara resmi Indonesia tidak lagi mengirim wakilnya ke pemilihan Miss Universe, tetapi secara “diam-diam” ada yang ikut.

            Pro dan kontra di tahun 1980-an sampai 1990-an memuncak, apalagi waktu itu Menteri Negara Peranan Wanita-nya tegas-tegas mengecam pengiriman wanita Indonesia ikut kontes ratu dunia itu. Masalah yang dipersoalkan adalah penampilan wanita muda, cantik di depan umum dengan pakaian renang dan mini.

            Namun, dengan pola baru, tidak menampilkan “pakaian minim” itu, berlangsung pemilihan ratu kecantikan yang disebut Pemilihan “Puteri Indonesia”. Walaupun di bumi Nusantara ini, “Puteri Indonesia” itu tampil dengan busana tertutup, dalam seleksi pemilihan Miss Universe, tetap harus menyesuaikan. Artinya, tetap buka-bukaan tampil dengan renang.

            Ternyata, di daerah-daerah di Indonesia tetap diselenggarakan pemilihan “raja dan ratu”, biasanya dinobatkan pada saat ulangtahun daerah itu. Pesertanya anak-anak muda, laki-laki dan perempuan atau muda-mudi. Namanya di tiap daerah tidak sama. Untuk tingkat provinsi, misalnya: di Jakarta disebut pemilihan “Abang dan None” atau abang dan nona. Di Jawa Barat disebut pemilihan “Jajaka dan Mojang” artinya jejaka dan perawan. Di Jawa Tengah, namanya pemilihan Mas dan Mbak. Di Kalimantan Selatan, disebut pemilihan Anang dan Galih . Dan berbagai istilah lainnya.

            Di wilayah Jawa Timur sendiri, istilahnya juga berbeda-beda. Kalau di Surabaya disebut Cak dan Ning, di Sidoarjo: Guk dan Yuk, di Malang: Kang Mas dan Mbak Yu, di Madura: Tor dan Cebing, serta sebutan lain di kota dan kabupaten yang ada di Jatim. Kemudian, untuk memilih wakil Jawa Timur, istilahnya Pemilihan “Raka dan Raki”.

            Pemilihan muda-mudi yang dikordinasikan Dinas Pariwisata daerah dengan predikat Cak dan Ning atau sejenisnya, tidak hanya mengandalkan tampan, gagah dan perkasa untuk laki-laki, kecantikan dan kemolekan tubuh untuk perempuan. Untuk menetapkan seorang yang berpredikat Cak dan Ning, misalnya, dia harus mempunyai kemampuan dalam bidang keilmuan, kecakapan, kualitas fisik dan kejiwaan. Artinya, ia harus pandai, cerdik dan trengginas. Dan yang cukup penting, ia menguasai budaya dan permasalahan daerah.

            Jadi, persyaratan untuk memperoleh predikat Cak dan Ning Surabaya, dia harus mampu menunjukkan kebolehannya dalam segala hal. Di samping gagah dan tampan untuk Cak, serta cantik dan molek untuk Ning, dia harus pintar. Harus tahu budaya asli Surabaya, lancar menggunakan dialek Suroboyoan, tahu sejarah atau seluk-beluk kelahiran kota sampai perkembangannya hingga sekarang.

            Cak dan Ning, biasanya dinobatkan setiap peringatan hari jadi Surabaya, sekitar 31 Mei tiap tahun. Seorang Cak maupun Ning, harus mempersiapkan diri menjadi “alat” Pemerintah Kota Surabaya, terutama yang berhubungan dengan bidang keperiwisataan dan budaya. Di samping sebagai penerima tamu, juga harus mampu menjadi PR (public relation) atau Humas (Hubungan Masyarakat) Kota Surabaya, di luar pejabat resmi.

            Cak dan Ning, harus mampu tampil sebagai wakil anak muda pilihan dan menjadi teladan bagi muda-mudi lainnya. Sebagai PR, Cak dan Ning juga mempunyai kemampuan menggunakan bahasa asing, sebab tamu-tamu yang datang ke Surabaya, juga banyak yang dari mancanegara.

 

Busana khas

            Cak dan Ning mempunyai busana yang khas. Untuk Cak: berpakaian bentuk jas bertutup yang dikenal beskap, berukuran pas badan. Untuk pemilihan Cak, warnanya ditentukan warna muda: putih, krem atau putih tulang. Sedangkan untuk pekaian kebesaran digunakan warna coklat.

            Jas Cak itu lengkapnya menggunakan lima buah kancing tengah. Dua kancing krah dengan ukuran lebih kecil. Kancing lengan bawah sama dengan kancing krah sebanyak tiga buah. Kantong atas sebelah kiri diberi saputangan bentu segitiga, warna merah. Dari kantong digantung rantai jam dengan bandul hiasan taring atau logam emas.

            Bagian bawah jas, tidak pakai celana panjang, tetapi mengenakan kain panjang wanita yang disebut “jarit parikesit” dengan gringsing (sogan) wiron lebar 5 centimeter.

            Kepala ditutup dengan udeng batik dengan hiasan pinggir modang putih, dan pocot miring. Udeng adalah sejenis ikat kepala yang sudah dibentuk.

            Alas kaki Cak, adalah sandal terompa.

            Untuk Ning, pakaiannya menggunakan kebaya dengan selendang atau kerudung yang diberi renda-renda, dibordir dengan  warna muda. Kebaya dan kerudung, warnanya sama. Kain kebaya tidak boleh tembus pandang, sehingga tidak memperlihatkan pakaian dalam. Lalu memakai peniti renteng.

            Bagian bawahnya, busana Ning menggunakan kain sarung batik pesisir, kemiren harus terlihat dengan tumpal yang diletakkan di bagian depan.

            Telinga dihiasi anting-anting panjang, kaki memakai binggel dan tanga memakai  gelang emas. Mata diberi celak, jari-jari diberi pacar (warna).

            Alas kaki berupa selop bertutup depan, runcing dan tinggi minimal 7 sampai 9 centimeter.

            Apabila terpilih sebagai juara Cak dan Ning, maupun wakil Cak dan wakil Ning, serta predikat lainnya, misalnya: Favorit atau Persahabatan, saat dinobatkan diberi selendang nama sesuai dengan predikat yang diraih.

            Pakaian yang sudah dibakukan sebagai busana Cak dan Ning itu, sekarang juga dimasyarakatkan. Pada hari-hari tertentu, terutama pada resepsi perhelatan peringatan Hari Jadi Surabaya, pejabat dan undangan dianjurkan menggunakan busana Cak dan Ning tersebut.

            Walaupun bakunya untuk Cak menggunakan jarit atau kain panjang, sudah lazim pula diganti dengan celana panjang. Sedangkan udeng diganti dengan kopiah atau songkok. Warnanya juga macam-macam, bahkan ada organisasi massa dan partai politik yang menyesuaikan dengan warna kebanggaan organisasi atau partainya. **

 

*) Yousri Nur Raja Agam MH  — Ketua  Yayasan Peduli Surabaya.

Bersama Megawati di Shanghai

Yousri di depan bangunan kuno cagar budaya di kota lama Shanghai

Yousri di depan bangunan kuno cagar budaya di kota lama Shanghai

Rumah bergonjong di Shanghai

Bangunan cagar budaya di kota lama Shanghai, China ini menjadi obyek wisata paling ramai di Kota Shanghai.

Atap rumah kuno di taman Yuyuan ini mirip dengan atap rumah gadang Minangkabau di Sumatera Barat yang dikenal dengan atap bergonjongnya. (yous)

<!–[if gte mso 9]> Normal 0 MicrosoftInternetExplorer4 <![endif]–> <!–[endif]–>

Shanghai


Surga Belanja

Catatan perjalanan:

Yousri Nur Raja Agam MH *)

UDARA kota Shanghai di China, masih dingin. Seorang gadis berusia 25 tahun yang mengenakan jaket tebal berjejer di antara para penjemput penumpang yang baru turun dari pesawat terbang China Eastern di bandara Hongqiao, Shanghai. Wanita kulit kuning mata sipit itu mengacung-acungkan papan nama seseorang di depan pintu keluar bandara domestik China itu.

Nama yang diacungkan itu adalah satu-satunya nama yang menggunakan huruf Latin. Beberapa di antara puluhan penjemput lainnya, mengacungkan nama beraksara China.

“Wah, yang menjemput cewek ayu”, kata Fery Is Mirza sembari menunjuk ke arah gadis yang memegang papan nama bertulis “Hadiaman Santoso” itu.

Fery, sertamerta mendekati gadis itu. Tanpa ragu-ragu si gadis menyapa Fery dengan ucapan “selamat datang Bapak Hadiaman Santoso di Shanghai”. Fery dengan senyum menyalami gadis itu. Kemudian Fery mengatakan, nama saya Fery, dan yang itu om Hadiaman Santoso, serta yang satu lagi saudara saya, namanya Yousri. Gadis itu menyambut jabat tangan kami begantian.

“Oh ya, nama saya Megawati, biasa dipanggil Mega”, ujarnya.

Dengan ramah Mega yang menjemput kami yang sudah sepuluh hari bertualang di beberapa kota negara Tirai Bambu itu. Kami sudah berkunjung ke Tiongkok bagian Utara, mulai dari ibukota negara itu, sampai ke Yantai dan Qindau.

Mega mempersilakan naik ke mobil yang sudah menunggu di dekat pintu keluar. Sesampai di luar bandara, gadis itu memperkenalkan seorang perempuan muda di dekat mobil, yang ternyata dia sopir minibus pariwisata yang akan membawa tiga pria asal Indonesia ini. Dengan cekatan, wanita muda itu menutup pintu dorong mobil warna biru tua itu setelah ke tiga penumpangnya naik.

Wanita yang mengemudikan mobil stir kiri ini mengenalkan namanya,Loui. Mobil minibus yang cukup mewah itu meluncur di tengah keramaian kota Shanghai.

Sebagaimana kebiasaan pemandu wisata, gadis yang mengaku bernama Mega itu, langsung berceloteh. “Terlebih dahulu saya ucapkan selamat datang di kota Shanghai”, katanya dengan bahasa Indonesia cukup fasih, walaupun iramanya masih terasa kaku.

“Kamu kok bisa bahasa Indonesia. Apakah kamu pernah di Indonesia?” Tanya Hadiaman. “Oh ya, saya bisa bahasa Indonesia setelah belajar sekitar delapan tahun di Universitas Beijing. Tapi, saya belum pernah ke Indonesia. Mungkin, nanti kalau ada tugas ke sana”, jawab Mega.

“Kita makan dulu di restoran China. Semua halal, tidak ada babi. Saya sudah dapat informasi, kalau tiga tamu yang saya ini adalah Muslim”, katanya tanpa ditanya.

Usai makan, perjalanan dilanjutkan ke beberapa obyek wisata di kota Shanghai. Tidak mau kehilangan informasi, selama dalam perjalanan itu, justru kami banyak bertanya tentang hal-hal yang unik dan aneh. Berbagai pertanyaan mengalir begitu lancar. Silih berganti, di antara kami, Fery dan om Hadiaman betanya dan saling komentar. .

Mega menceritakan tentang masa kecil, masa sekolah, sampai ia menamatkan perguruan tinggi. Megawati adalah nama pemberian dosen bahasa Indonesia-nya sewaktu kuliah di Beijing. Nama asli saya Wang Xielie, lahir di kota Shanghai ini 25 tahun yang lalu, katanya. Karena Wang itu artinya raja atau penguasa, maka nama saya dipanggil Megawati. “Mega kata dosen saya itu artinya awan, tetapi nama saya tidak ada hubungannya dengan awan.

“Nah, kebetulan waktu saya diberi nama itu, presiden Indonesia bernama Megawati. Karena nama keluarga saya Wang yang berarti penguasa, maka diberikanlah nama Megawati kepada saya”, jelasnya.

Menurut Mega, ia juga pernah diberi nama Wigati oleh guru bahasa Indonesia yang memberi kursus sebelumnya. Tetapi, kemudian diganti menjadi Megawati. Nama itu selalu saya pergunakan kalau bertemu orang dari Indonesia,” katanya.

“Oh, kalau begitu, kamu ini masih seusia anak saya”, kata Hadiaman.

 

Wanita Shanghai Manja

Megawati

Megawati

Biasa, pertanyaan sudah menjurus. Termasuk menanyakan, apakah Mega sudah punya pacar atau belum. Mega hanya tersenyum.

Sewaktu pembicaraan menyinggung masalah budaya dan pergaulan masyarakat Shanghai, Mega menjelaskan tentang hal unik dalam kehidupan di kota Shanghai. Di sini, gadis dan wanitanya manja-manja. Laki-laki tidak mudah menjadi suami di sini. Sebab adat atau budaya kota Shanghai yang memanjakan wanita. Seorang suami di Shanghai tidak bisa enak-enak seperti di daerah lain, misalnya menyuruh isteri untuk memasak dan mencuci pakaian. Di Shanghai, justru yang memasak dan mencuci pakaian itu adalah pekerjaan suami. Si isteri serba tahu beres. Kerjanya lebih banyak bersolek dan belanja.

“Tetapi itu masa lalu, zaman sekarang sudah berubah. Ada kesetaraan antara suami dengan isteri. Sama-sama bertanggungjawab dalam membangun keluarga”, katanya.

Contohnya, kata Mega adalah keluarganya sendiri. Megawati mengaku sebagai anak tunggal dari ayahnya yang berprofesi sebagai dokter dan ibunya ahli farmasi (obat-obatan). Kedua orangtuanya sama-sama bekerja di rumahsakit milik Pemerintah China di Kota Shanghai.

Bagi Megawati, profesi sebagai pemandu wisata ini hanyalah sambilan, pekerjaan paruh waktu (part-timer) agen pariwisata (tourist agency) di kota ini. Biasanya kalau ada tamu dari Indonesia, Mega dapat order. Sebab yang bisa berbahasa Indonesia masih sedikit”, ujarnya.

Sedangkan bagi Mega, menjadi pemandu wisata bagi para pendatang dari Indonesia sebagai latihan agar tidak lupa pelajaran bahasa Indonesia yang dipelajarinya hampir satu tahun itu. Bahkan dengan banyak erkenalan dengan orang Indonesia, ia semakin banyak tahun tentang Indonesia. Di samping, perbendaharaan kata-kata dan istilah-istilah yang popular di Indonesia juga terus bertambah.

Mega yang lulusan fakultas sastra dan budaya di Beijing University itu, juga mengetahui banyak tentang sejarah Indonesia dan beberapa negara di Asia. Sehingga banyak hal yang bisa didiskusikan dengannya.

Ia juga banyak tahu tentang budaya leluhur dan agama-agama di dunia. Terutama tentang agama di China, yakni Budha. Saat kepadanya ditanyakan tentang Khong Hu Chu, secara tegas mega menyatakan, bahwa Khong Hu Chu bukan merupakan agama. Khong Hu Chu adalah ajaran filsafat. Sebab, Khong Hu Chu tidak pernah mengajarkan masalah dunia yang berhubungan dengan kehidupan akhirat, jelasnya.

Ketika ditanya, agamanya, dengan santai dia menjawab, di China orang bebas. Boleh beragama, boleh tidak jawabnya. “Nah, agamamu apa?” desak Fery. “Bebas, saya tidak pernah belajar agama”, jawabnya enteng.

 

Pengaruh Televisi

Menyinggung kehidupan anak muda dan remaja di kota Shanghai, Mega mengatakan, sejak era keterbukaan di China tahun 1990-an, suasananya cukup bebas. Masyarakat kota Shanghai sudah terbuka cakrawala pandangnya, setelah berbagai saluran televisi dunia tanpa batas menyiarkan berbagai acara. Begitu juga dengan kemudahan mengakses internet. Dunia ini tidak lagi tertutup seperti masa lalu, ujarnya.

Shanghai juga dijuluki sebagai “kota budaya”. Di kota ini memang berbagai macam peninggalan budaya lama masih utuh dan terpelihara. Kawasan cagar budaya terawat dengan rapi. Situs-situs budaya masa lalu dijadikan obyek wisata di samping tetap menjadi pusat bisnis dan pemerintahan.

Shanghai memang kota besar di China masa lalu. Dulu disebut sebagai kota terbesar kedua setelah Beijing atau dulu dikenal dengan sebutan Peking ibukota RRT (Republik Rakyat Tiongkok). Kendati sebagai kota ke dua setelah Beijing, penduduk kota Shanghai hampir 19 juta orang, jauh melebihi jumlah penduduk Beijing yang tahun 2007 ini berjumlah 15 juta jiwa.

Shanghai kini sedang berubah dan meluaskan wilayahnya timur, ke seberang sungai Huangpu. Wilayah seberang ini dulu merupakan kawasan pedesaan dengan berbagai kegiatan rakyat secara tradisional. Disamping usaha kerajinan, di sana ada pabrik-pabrik kecil dan sebagian hamparan persawahan. Tetapi, kini wilayah yang disebut distrik Pudong itu sudah menjadi sebuah “kota baru”.

Menara televisi, menjulang tinggi di antara gedung-gedung bertingkat di Shanghai

Menara televisi, menjulang tinggi di antara gedung-gedung bertingkat di Shanghai

Di wilayah Pudong ini terdapat bangunan-bangunan modern masa kini dan masa yang akan datang. Di kawasan seberang sungai Huangpu itu bertengger gedung-gedung pencakar langit yang mampu mengalahkan bangunan termodern di dunia. Jalan-jalan raya baru dirancang lebar-lebar seperti jalan tol. Setiap jalan dua jalur dan masing-masing jalur ada empat sampai lima lajur.

Sekarang ada dua jalan utama menuju Pudong yang dihubungkan dengan tiga jembatan besar dan panjang melintas sungai Huangpu, yakni jembatan Ningguo dan jembatan Zhongshan. Selain itu, ada pula jalan besar berupa terowongan yang melewati bawah sungai dari Jalan Yanan di barat menuju Jalan Lujiazui di timur. Jembatan di atas sungai dan terowongan melewati bawah sungai Huangpu ini akan terus bertambah, sesuai dengan rancangan pembangunan kota.

Kota Shanghai merupakan kota terpadat di China. Luas wilayah kota Shanghai mencapai 6.350 kilimeter per-segi, kata Megawati.

Selesai melakukan perjalanan ke berbagai obyek wisata di Shanghai, kami diantar ke hotel New Century grup Best Western di Li Yang Road, Shanghai. Di hotel bintang lima ini tamunya kebanyakan dari Eropa, Israel, Jepang, Malaysia dan Korea.

 

Surga Belanja

Megawati bercerita banyak tentang kota kelahirannya ini. Sebenarnya, Shanghai lebih dikenal sebagai kota perekonomian dibandingkan dengan kota budaya. Bahkan, dunia mengenal Shanghai sebagai “surga untuk belanja”. Di Shanghai segala macam produk yang dibutuhkan manusia tersedia seluruhnya. Mulai dari kualitas terbaik, hingga yang rendah. Tidak hanya itu, di Shanghai juga banyak barang bermerk terkenal. Tetapi, harus waspada,ujar Mega, karena hampir semua merek terkenal itu juga ada palsu.

Kalau tidak awas, sulit membedakan barang asli dengan yang palsu. Bentuknya sangat mirip. Namun dari harganya yang miring dan dapat ditawar, memberikan isyarat kalau barang itu adalah palsu. Sebab, barang dengan merek terkenal dan asli, harganya mahal dan hampir tidak pernah dijual dengan tawar-menawar.

Barang-barang bermerek itu, hampir untuk seluruh jenis produk. Ada tas, koper, jam, arloji, sepatu, bahan-bahan jaket, tekstil, pakaian, kacamata, pulpen dan sebagainya. Barang-barang elektronika juga banyak yang palsu dengan berbagai mereka. Di antaranya ada televisi, radio dan handphone Perhiasan, batu permata, batu giok dan mutiaraa, serta jenis lainnya pun ada yang palsu.

Kendati dijual dan ditawarkan secara terbuka dan terang-terangan, kelihatannya pemerintahan di China, “tutup mata” atas kreativitas industri dan bisnis barang jiplakan itu.

 

Wilayah Baru

Yang menarik, kendati di kota Shanghai sejak lama sudah dikenal ada bandar udara (bandara) bernama Hongqiao di wilayah barat, kini justru yang ramai adalah bandara baru Pudong di wilayah timur. Hampir semua penerbangan internasional, kini menggunakan bandara Pudong.

Memang, bandara Pudong Shanghai tidak sesibuk bandara Beijing. Di Beijing, walaupun sudah ada dua landasan pacu, namun pergerakan pesawat terbang yang tinggal landas dan mendarat, interval waktunya sangat singkat. Hampir tiap lima menit, ada saja dua pesawat terbang yang bersamaan mendarat dan dua lagi yang hampir bersamaan tinggal landas dari dua landasan pacu itu.

Kawasan Shanghai timur, memang beda dengan kota lama di Shanghai barat. Kalau di Shanghai barat, dikenal dengan pusat-pusat perbelanjaan dengan bangunan berarsitektur Eropa, di timur arsitekturnya benar-benar modern. Hampir seluruhnya dalam bentuk pencakar langit dan berbalut kaca.

Untuk menuju bandara Pudong, pemerintah kota Shanghai menyediakan fasilitas angkutan cepat berupa kereta api ekspres. Anda tahu kecepatannya? Saat kami mencoba naik KA ekspres itu dari stasiun kota Shanghai timur ke Pudong yang berjarak 40 kilometer, hanya ditempuh 7 menit. Kecepatannya, mencapai 431 kilometer per-jam.

Tidak hanya naik keretaapi ekstracepat yang disebut Shanghai Transrapid yang saya rasakan bersama dua teman, H.Hadiaman Santoso mantan wartawan Harian Surya dan Ferry Is Mirza mantan wartawan Jawa Pos di Shanghai. Kami juga naik ke menara pencakar langit yang juga sebagai pemancar televisi Shanghai di pinggir sungai Huangpu. Dari tingkat tertinggi terlihat kota Shanghai dan bangunan-bangunan pencakar langit lainnya.

Sama dengan merasakan naik kereta api berkecepatan maksimal 431 kilometer per-jam, naik ke puncak gedung menara TV Shanghai itu juga dijadikan obyek wisata yang ramai dikunjungi turis dari mancanegara.

Di seberang gedung menara televisi itu, ada Jin Mao Tower dan sedang dibangun pula gedung pencakar langit 101 lantai yang bakal tertinggi di dunia, Shanghai World Financial Center.Kecuali itu, bangunan tinggi 30 hingga 80 lantai sudah tidak terhitung.

 

Kota Lama

Yousri, Ferry dan Hadiaman di depan museum kota lama Shanghai

Yousri, Ferry dan Hadiaman di depan museum kota lama Shanghai

Di kawasan barat kota Shanghai, bangunan model di Surabaya, juga masih banyak, baik gedung perkantoran, hotel, pertokoan, maupun rumah-rumah penduduk model ruko lama seperti di kawasan Kembang Jepun.

Beberapa kawasan permukiman lama, sudah banyak yang digusur, dibangun apartemen, plaza dan mal. Hotel kuno terkenal yang masih bertahan di antaranya: Hotel Ruijin, Hotel Fujiang dan Hotel Dongfeng. Di samping itu ratusan hotel bintang lima hingga penginapan murah pun banyak di Shanghai.

Di wilayah ini masih tersisa situs budaya lama yang diyakini sebagai “Cikal-bakal Kota Shanghai” yang disebut kota lama. Kota lama ini diperkirakan berusia lebih 700 tahun, letaknya di tenggara pusat kota Shanghai sekarang. Lahan seluas 200 hektar dikepung oleh dinding pembatas itu berada di dua sisi jalan raya Renming dan jalan Zhonghua.

Umumnya, para pemandu wisata menyebut kawasan kota tua ini Taman Yuyuan (Yuyuan Garden). Di dalam kota tua yang bangunan atapnya khas, bergonjong mirip model rumah Minangkabau di Sumatera Barat. Selain itu terdapat pula berbagai bangunan gedung, rumah, kantor, perpustakaan, tempat persembahyangan Budha, taman, candi dan sebagainya yang mempunyai cerita-cerita menarik. Di kawasan ini terdapat peninggalan dari dinasti Yuan, Ming, Qing sampai periode republik sekarang ini.

Rumah-rumah di Shanghai sekarang ini umumnya dibangun berupa apartemen, seperti di kota-kota lain di China. Nantinya, di seluruh kota, rumah-rumah dibangun berbentuk apartemen dengan membebaskan seluruh bangunan yang rendah. Seluruh warga kota “wajib” tinggal di apartemen yang disediakan pemerintah. Tiap keluarga mendapat fasilitas tiga kamar tidur, satu ruang tamu dan satu dapur, serta kamarmandi yang dilengkapi kakus (wc), kata Mega yang mengaku menempati lantai 30 di apartemen orangtuanya..

Selain banyak apartemen seperti sekarang ini, di Shanghai ada apartemen terkenal Changde Apartment di Jalan Changde. Inilah apartemen termewah di kota Shanghai. Tetapi dengan pembangunan yang pesat di distrik Pudong, sekarang bangunan pencakar langit itu sudah mengalahkan popularitas Changde.

Pemerintah kota Shanghai masih mempertahankan khasnya, sebagai kota produsen film-film China. Berbagai studio dan teater film terus melebarkan sayapnya untuk menguasai layar-layar lebar bioskop maupun televisi. Sebut saja studio filem terkenal di Shanghai, seperti Star Film, Kun Lun Film, Lian Hua Film, Nanking Theatre, Cathai Theatre, Lyceum Theatre dan Grand Theatre. ***

 

*) Yousri Nur Raja Agam MH – pengembara yang berdomisili di Surabaya.

10 November 1945

Surabaya Banjir Darah 

 

“Neraka Bagi Sekutu”

 

Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)

Yousri Nur RA  MH

Yousri Nur RA MH

 

 

BERBEKAL pidato radio Gubernur Soerjo, Jumat 9 November 1945 malam, pemuda pejuang dan rakyat Surabaya sudah melakukan berbagai persiapan. Rakyat Surabaya sudah menafsirkan, penolakan terhadap ultimatum Sekutu oleh Gubernur Soerjo itu, berarti “perang”. Segala kekuatan harus dikerahkan menghadapi ancaman Sekutu tersebut.

Ultimatum pihak Sekutu yang disampaikan Komandan Tentara Sekutu, Jenderal EC Mansergh, benar-benar dilaksanakan, Sabtu pagi, 10 November 1945. Seluruh kekuatan angkatan perangnya, baik darat, laut dan udara dikerahkan menggempur pertahanan Arek Suroboyo di Kota Surabaya.

Walaupun terjadi pertempuran yang tidak berimbang, perlawanan dari pejuang Indonesia tidak pernah surut. Berbagai kesatuan pejuang dan laskar yang sudah membuat “Sumpah Kebulatan Tekad” tanggal 9 November 1945, malamnya, pada pagi hari 10 November itu sudah siaga di segala lini pertahanan.

 Pasukan pejuang sudah bersiap menghadapi senjata modern milik Sekutu yang baru saja memenangkan pertempuran dalam Perang Dunia II. Alat dan armada perang yang membuat Jepang bertekuk lutut di Asia dan Jerman bersama Italia di Eropa itu dipergunakan membombardir Kota Surabaya.

Kota Surabaya diserang dengan meriam-meriam yang ditembakkan dari armada kapal yang berelabuh di Tanjung Perak. Tank-tank dan panser, serta truk serdadu Inggris dan Gurkha bergerak dari Tanjung Perak menuju jantung Kota Surabaya. Tembakan mitraliur dan senapan mesin tiada henti dimuntahkan ke segala penjuru tempat pertahan Arek Suroboyo. Dari udara, pesawat terbang yang meraung-raung menjatuhkan bom ke gedung-gedung dan posko pertahanan pasukan kita.

Sesuai dengan kesepakatan rapat koordinasi yang dipimpin Kolonel Soengkono dari TKR sebagai Komandan Pertahanan Surabaya, membagi pertahanan Kota Surabaya dari empat sektor. Sektor barat dipimpin Koenkiyat, Sektor Tengah dipimpin Kretarto, Sektor Timur oleh Mahardi dan Sektor Selatan dipimpin Kadim Prawirodirdjo.

Pertempuran Surabaya ini berawal dari gerakan tentara Sekutu dari Tanjung Perak menuju tengah kota. Arak-arakan tank, panser dan truk itu dihadang oleh PRI-AL (Pemuda Republik Indonesia- Angkatan Laut) yang memiliki senjata ringan rampasan dari tentara Jepang di Jalan Jakarta, daerah Sawahpulo, Semampir dan Pegirian. PRI-AL ini dibantu oleh PRI Sulawesi yang tergabung dalam PRI Utara yang dipimpin Warrow dengan kekuatan sekitar 30 orang. Pasukan ini juga dibantu laskar Hisbullah yang berjumlah sekitar 50 orang.

Pasukan Inggris terus menyerbu ke pos pertahanan pemuda yang berjumlah sekitar 100 orang di sekitar bioskop Sampoerna dan komplek pabrik rokok Liem Sing Tee (Dji Sam Soe). Dengan tekad membara, pejuang yang berasal dari kampung Kebalen, Lebuan, Pesapen dan Tambak Bayan itu terus menembakkan senjatanya ke arah truk dan pasukan yang berjalan kaki.

Pukul 11.00 tentara Sekutu menembakkan destroyer cavalier sebanyak 57 kali meriam 45 inci. Begitu juga destroyer Carron sekitar 350 kali menggunakan meriam 45 inci. Tidak sedikit gedung di sepanjang jalan yang dilewati rusak akibat tembakan membabibuta itu.

Gerakan tentara Inggris dan Gurkha yang sudah terlatih itu terus menuju ke arah markas polisi (Hoofd Bureau) di Jalan Sikatan. Belasan pemuda gugur dan beberapa bagian gedung mengalami kerusakan akibat tembakan dan granat yang dilemparkan musuh. Gencarnya serangan yang dilakukan Sekutu, membuat pejuang kita mundur masuk ke kampung-kampung sekitar di seberang Kalimas.

Serangan Gila-gilaan

Mendapat serangan yang gila-gilaan itu, membuat pertahanan pemuda kacau. Mereka berlarian menyelamatkan diri, karena tidak mungkin melawan senjata modern itu. Kalau semula PRI-AL dapat bertahan di stasiun KA Sidotopo, akhirnya terpaksa mundur sampai ke daerah Kenjeran.

Para pemuda yang bertahan di sepanjang rel kereta api dari Pasarturi, viaduck dekat kantor gubernur sampai ke Sidotopo yang jumlahnya mencapai 400 orang itu, mampu membuat pasukan Inggris kalangkabut. Korban berjatuhan di kedua belah pihak.

Warga kota Surabaya, terutama anak laki-laki dan pemuda yang mendengar suara Bung Tomo yang terus menerus membakar semangat melalui corong radio yang disiarkan dari studio Radio Surabaya yang di zaman Belanda bernama NIROM di Jalan Embong Malang. Tanpa pikir panjang berhamburan dengan senjata yang mereka miliki ke luar rumah. Mereka bukannya menggunakan senapan atau senjata api, tetapi justru ada yang membawa keris, parang, pedang, bambu runcing, serta clurit.

Tindakan “konyol” itu membuat tentara Sekutu ketakutan akibat ada yang tewas kena gorok dan tusuk senjata tajam, namun pada umumnya kemudian mereka dihabisi oleh tembakan senapan mesin. Tubuh-tubuh bergelimpangan dan banjir darah di mana-mana.

Menurut komandan PI (Polisi Istimewa), Inspektur Soetjipto Danoekusumo, sejak pagi ia berkeliling dengan panser dan memberikan briefing (pengarahan singkat) di depan kantor besar polisi. Tiba-tiba, pesawat terbang Inggris menjatuhkan bom. Peluru kanon pasukan Sekutu itupun berjatuhan di sekitar kantor polisi. Belasan anggota PPI (Pembantu Polisi Istimewa) berguguran.

Pasukan Inggris terus maju, namun tidak mudah, karena jalan raya sudah dipasangi rintangan oleh para pemuda dengan menumbangkan pohon-pohon dan juga balok-balok kayu dan tumpukan batu.

Tidak hanya kantor besar polisi yang menjadi sasaran tentara Inggris, tetapi juga markas besar TKR di gedung HVA yang dipimpin Dr.Moestopo. Gedung Borsumij dan bekas kantor Kempetai yang dijadikan markas TKR pimpinan Jenosewojo juga digempur habis-habisan.

Wartawan senior, almarhum Wiwiek Hidayat dalam tulisannya di Harian Jawa Pos, 4 November 1990, mengungkap beberapa catatan berdasarkan pengamatannya sebagai seorang jurnalis. Tanggal 10 November 1945, menurut mantan kepala kantor berita Antara itu adalah prolog dan eposnya Arek-arek Suroboyo.

Pengertian arek ini “benar-benar arek”, karena para pejuang ini rata-rata memang “masih anak-anak muda” yang usianya 13 hingga 25 tahun. Mereka ini masih pelajar SMP hingga SMA yang bergabung dalam TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar). Di antaranya ada yang sudah kuliah di perguruan tinggi, bahkan sarjana seperti drg (dokter gigi) Moestopo, serta ada pula yang sudah dilatih sebagai tentara Heiho dan Peta. Di samping yang terbanyak adalah anak muda pengangguran.

Peristiwa 10 November ini benar-benar didominasi pemuda. Jadi, “gerakan” pemudalah yang sangat menonjol pada hari-hari pertama itu. Gerakan ini pada mulanya ada pada pemuda “salon” dan intelektual. Tetapi secara cepat berubah menjadi gerakan yang lebih radikal. Sehingga perlawanan terhadap Sekutu benar-benar tidak terkendali. Sampai-sampai pihak musuh kehilangan akal menghadapi tindakan sporadis dan membabibuta “ala bonek” itu, kisah Wiwiek suatu ketika kepada penulis.

Pertempuran yang diawali 10 November 1945 itu terus berlanjut. Pertahanan Arek Suroboyo semakin terdesak ke arah selatan. Sampai akhirnya, terjadi pengungsian ke luar kota. Kalau semula garis pertahanan adalah viaduck dan jalan kereta api dari Sidotopo hingga Pasarturi, akhirnya mundur sampai ke Ngagel, Wonokromo, Gunungsari hingga Sepanjang, bahkan Mojokerto.

Bagaimanapun juga, perjuangan Arek Suroboyo membuat Sekutu kalangkabut. Berita di mediamassa luar negeri, ternyata memberikan salut kepada pejuang Indonesia di Surabaya. Sejak Mallaby tewas, kemudian perang berkecamuk dari darat, laut dan udara, seolah-olah merupakan kelanjutan dari Perang Dunia II. Artinya, Perang Dunia II belum berakhir dengan kekalahan Jepang, Jerman dan Italia. Sekutu masih punya lawan berat sebagai musuh, yaitu Arek Suroboyo.

Perang di Surabaya ini hingga sekarang masih diabadikan di Imperial War Museum di London, Inggris. Ada sebuah foto yang menarik, anak usia sekitar 11 tahun digiring oleh serdadu Gurkha dengan bayonet terhunus. Penjelasan foto itu adalah: “Anak ini tertangkap setelah terkena tembakan pada kakinya dan pincang. Sebelumnya anak ini menembaki tentara Sekutu dan melemparkan granat”.

Ini adalah laporan sebuah regu dari pasukan Sekutu di Surabaya. Ada lagi sebuah foto, dua orang serdadu Inggris sedang menggali tanah untuk perlindungan dari serangan hebat pejuang Surabaya. Di belakang ke dua tentara itu asap hitam menjulang ke udara, dari rumah penduduk yang terbakar. Dan masih banyak foto-foto lain yang menggambarkan kejuangan Arek Suroboyo yang diabadikan di museum perang Inggris itu.

Siang malam pertempuran berlangsung tiada henti. Bantuan dari pemuda dan laskar juga terus berdatangan dari luar kota. Ada yang naik truk, berjalan kaki dan menumpang kereta api. Tanpa disadari tidak kurang 16 ribu nyawa pejuang melayang sebagai kusuma bangsa. Surabaya benar-benar banjir darah. DI mana-mana mayat bergelimpangan.

Kota Neraka

Korban di pihak Inggris pun tidak sedikit. Sampai-sampai dalam catatan sejarah Inggris, menulis pertempuran 10 November 1945 di Surabaya itu benar-benar perang dahsyat luar biasa. Mereka menyebut Kota Surabaya sebagai “inferno” atau kota “neraka” bagi pasukan Inggris.

Bagi Bangsa Indonesia, para pejuang yang gugur dalam pertempuran itu diberi predikat sebagai pahlawan bangsa. Mereka dimakamkan di berbagai TPU (Taman Pemakaman Umum), seperti di Ngagel, Tembok, Pegirian, Tembaan, serta makam umum lainnya di kampung-kampung Surabaya. Banyak di antara mereka adalah pahlawan tidak dikenal.

Kesibukan luar bisa terjadi di Rumah sakit, karena banyak pejuang yang terluka. Sementara yang meninggal dunia, bergelimpangan di jalan-jalan dan gang kampung. Tidak hanya kaum laki-laki yang bergerak, kaum perempuan yang bergabung dalam PPRI (Pemuda Puteri Republik Indonesia) Surabaya juga terjun ke medan pertempuran. Di bawah pimpinan ketua PPRI Surabaya, Lukitaningsih, terhimpun sekitar 60 puteri yang disebar menjadi petugas kesehatan dan palang merah. Mereka ini berusaha menyelamatkan korban yang terluka ke rumah-rumah penduduk, di samping mendirikan pos-pos perawatan.

Sebagian yang terluka parah diangkut ke Rumah Sakit Simpang. Sekarang RSU Simpang sudah tidak berbekas, dan di atasnya sudah berdiri gedung WTC (World Trade Center), Gedung Medan Pemuda dan Plaza Surabaya.

Begitu banyaknya korban, lebih dari seribu orang yang rawat inap, maka dokter Sutopo yang manangani korban, terpaksa kontajk dan minta bantuan dokter ke Jakarta dan kota-kota di Jawa Timur. Dari Jakarta datang bantuan tim dokter dan mahasiswa kedokteran yang dipimpin oleh dr.Azis Saleh. Mereka bergabung dengan tim medis di Surabaya. Karena ruang di RSU Simpang dan rumah sakit lainnya di Surabaya sudah penuh, maka dengan bantuan PMI (Palang Merah Indonesia), sebagian pasien dikirim ke rumah sakit di Sidoarjo, Mojokerto, Mojowarno, Jombang dan Malang. Mereka diangkut dengan kereta api dari stasiun Gubeng. Ada juga yang diangkut dengan truk maupun cikar.

Korban yang gugur terus bertambah. Walikota Surabaya Radjamin Nasution, menggagas perlunya TMP (Taman Makam Pahlawan) untuk para pejuang yang gugur. Dijadikanlah lapangan Canna di Jalan Canna (sekarang Jalan Kusuma Bangsa) yang terletak di depan THR (Taman Hiburan Rakyat) menjadi TMP. Untuk pertamakalinya dimakamkan sebanyak 26 orang korban pertempuran di Surabaya yang jenazahnya diambil dari Rumah Sakit Umum (RSU) Simpang. Korban yang gugur bertambah terus. Dalam waktu singkat TMP di Jalan Canna, diubah namanya menjadi TMP Kusuma Bangsa dan Jalan Canna menjadi Jalan Kusuma Bangsa.

Pertempuran seru berlangsung sampai sampai akhir November 1945. Para pejuang tidak lagi menghitung hari, sebab mereka sibuk bertempur melawan Sekutu. Surabaya menjadi neraka. Inferno bagi Inggris. Namun menjadi kawah candradimuka bagi pejuang yang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Perang yang “dahsyat” berlangsung selama 20 hari di Surabaya ini menjadi catatan bagi dunia, khususnya Sekutu dan Inggris. Bahkan, bagi bangsa Indonesia, peristiwa heroik di Surabaya ini tidak akan pernah dilupakan. Sejarah mencatat dan mengabadikannya sebagai “Hari Pahlawan” yang diperingati setiap tanggal 10 November. Dan, Kota Surabaya memperoleh predikat sebagai “Kota Pahlawan”. ***

 

*) Yousri Nur Raja Agam MH – pemerhati sejarah, bermukim di Surabaya

 

Datuk Raja Agam dan Negeri Meulaboh, Aceh


Pasir Karam pun

Jadi Meulaboh.

Oleh: HM Yousri Nur Raja Agam

SERING kali, ketika saya masih anak-anak, di tahun 1960-an nenek saya bercerita tentang peristiwa perang Paderi dan perang Aceh. Perang Paderi yang dalam sejarah pemimpinnya disebut Tuanku Imam Bonjol dengan para panglima perang lainnya yang disebut Harimau nan Salapan (Harimau yang delapan). Perang paderi itu, dalam buku sejarah disebutkan terjadi tahun 1825 hingga 1837.

Sedangkan perang Aceh dipimpin oleh Teuku Umar bersama Cut Nyak Dien, Cik Di Tiro dan lain-lain, terjadi tahun 1884 sampai 1904.

Begitu asyiknya mendengar cerita yang berulang-ulang itu, membuat saya di masa kecil menjadi penasaran. Saya akhirnya menyenangi cerita-cerita perang.

Secara kebetulan pula, di tahun 1958 hingga tahun 1961, daerah kami di Bukittinggi, Kabupaten Agam, Sumetera Barat memang sedang dilanda peperangan. Perang saudara antara rakyat Sumatera Barat yang mendirikan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) melawan Pemerintah Pusat. Perang itu, mulai mereda di tahun 1960-an.

Waktu itu usia saya masih sekitar 10 hingga 15 tahunan. Nenek saya, Siti Arab yang saat itu berusia sekitar 80 tahun, lancar bercerita tentang perang Paderi. Bahkan berlanjut pula dengan cerita tentang Perang Aceh yang dipimpin oleh Teuku Umar bersama Cut Nyak Dien. Cerita nenek saya ini bukan pengalamannya secara langsung, tetapi juga cerita dari ibunya, moyang atau buyut kami, bernama Siti Arafah.

Nenek moyang kami Siti Arafah itulah yang tahu banyak tentang cerita perang Paderi dan perang Aceh. Sebab beliau mengalami peristiwa pengungsian saat perang Paderi, maupun perang Aceh. Nenek saya kakak-beradik, Siti Arab dan Siti Syariah bagaikan pita rekaman (tape recorder) yang diputar ulang, berceritakan tentang kisah perjalanan Siti Arafah dari Luhak Agam di Minangkabau bersama rombongan ke Pasir Karam di Aceh Barat.

Nenek moyang kami itu, terpaksa mengungsi, menghindari pertumpahan darah dengan saudara sendiri sesama orang Minang dan sama-sama beragama Islam. Waktu itu, kaum Paderi membawa ajaran pembaruan Islam beraliran Wahabi dari Arab. Tiga orang ulama pulang dari mengikuti pendidikan si Arab. Mereka adalah Haji Piobang, Haji Miskin dan Haji Sumanik. Ajaran pembaruan Islam yang dibawa tiga orang haji ini, membuat gundah masyarakat Minangkabau yang waktu itu sudah menganut ajaran Islam, yang disebut beraliran Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Mungkin seperti terlihat sekarang ini, antara Muhammadiyah (yang menganut ajaran Wahabi) dengan NU (Nahdlatul Ulama) yang menyatakan diri sebagai Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dan ada pula yang menyebut seperti ajaran Syi’ah.

Pokoknya, kira-kira demikian, ujar nenek Siti Arab (yang kami panggil amai gaek) dan adiknya Siti Syariah (yang akrab kami panggil amai Iyah).

Nah, inti cerita adalah tentang makin kuatnya garakan Paderi melakukan penyerangan terhadap kaum adat yang menguasai Kerajaan Minangkabau di istana Pagaruyung. Dampaknya berpengaruh kepada para penghulu pemangku adat, yakni para datuk yang menjadi kepala suku di luhak nan tigo. Luhak Agam, Luhak Tanah Datar dan Luhak Limapuluh Koto. (Luhak-luhak tersebut sekarang disebut kabupaten).

Salah seorang datuk yang merupakan kaum bangsawan dari keluarga Kerajaan Minangkabau itu, adalah Datuk Rajo Agam, penghulu suku Sikumbang di Luhak Agam. Bersama Datuk Rajo Alam dari Luhak Tanah Datar dan Datuk Makhudum Sati dari Luhak Limopuluh Koto, mereka bersepakat menghindari pertumpahan darah, mengungsi ke arah Utara. Dengan menaiki beberapa perahu di pelabuhan Tanjung Mutiara rombongan berlayar ke arah Utara. Dan berlabuh di suatu negeri pantai yang waktu itu bernama Pasir Karam.

Nenek saya mengatakan, kita punya banyak saudara dan keluarga di Aceh. Terutama di Meulaboh dan Tapak Tuan. Di kedua negeri yang berada di Aceh Barat itu banyak orang Minang, termasuk keturunan dari kakek moyangmu Datuk Raja Agam yang sudah turun temurun di sana. Dan, nama Meulaboh itu berasal dari kata melabuh atau berlabuh.

Sewaktu saya kuliah di Bandung, saya punya sahabat bernama Zulkifli M.Din Malik yang berasal dari Meulaboh. Kami sama-sama kuliah di Akademi Tekstil dan tinggal bersama pula di rumah kontrakan di Jalan Tamansari Bandung. Zulkifli mengatakan, ia merasakan berkumpul dengan saudara sendiri, sebab dalam kisah keluarganya, disebutkan nenek moyangnya berasal dari Minangkabau.

Ternyata belum lama ini, kisah yang diceritakan nenek saya itu saya temukan di salah satu situs di internet. Ceritanya, sangat mirip dengan kisah dalam buku Tarikh Aceh dan Nusantara, karangan HM Zainuddin mengungkap tentang asal usul Kota Meulaboh.

Nyak Kaoey, menurunkan tulisan tentang riwayat negeri Meulaboh. Secara utuh, tulisan itu saya sajikan seperti di bawah ini.

Riwayat Negeri Meulaboh

Meulaboh dulu dikenal sebagai Negeri Pasir Karam. Kedatangan orang Minangkabau yang lari dari negerinya membuat perkebunan di daerah itu maju. Ungkapan “Disikolah kito berlaboh” disebut-sebut sebagai asal mula nama Meulaboh.

Menurut H M Zainuddin dalam buku Tarikh Aceh dan Nusantara (1961) asal mula Meulaboh adalah Negeri Pasir Karam. Negeri itu dibangun dibangun pada masa Sultan Saidil Mukamil (1588-1604). Pada masa Kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636) negeri itu ditambah pembangunannya.

Di negeri itu dibuka perkebunan merica, tapi negeri ini tidak begitu ramai karena belum dapat menandingi Negeri Singkil yang banyak disinggahi kapal dagang untuk mengambil muatan kemenyan dan kapur barus. Kemudian pada masa pemerintahan Sultan Djamalul Alam, Negeri Pasir Karam kembali ditambah pembangunannya dengan pembukaan kebun lada.

Untuk mengolah kebun-kebun itu didatangkan orang-orang dari Pidie dan Aceh Besar disusul kemudian dengan kedatangan orang-orang Minangkabau yang lari dari negerinya akibat pecahnya perang Padri (1805-1836). Sampai di Teluk Pasir Karam pendatang dari Minangkabau itu sepakat untuk berlabuh “Disikolah kito berlaboh,” kata mereka. Semenjak itulah Negeri Pasir Karam dikenal dengan nama Meulaboh dari asal kata berlaboh.

Pendatang dari Minangkabau itu kemudian hidup berbaur dengan masyarakat setempat. Diantara mereka malah ada yang menjadi pemimpin diantaranya: Datuk Machadum Sakti dari Rawa, Datuk Raja Agam dari Luhak Agam. Datuk Raja Alam Song Song Buluh dari Sumpu.

Mereka menebas hutan mendirikan pemukiman yang menjadi tiga daerah, Datuk Machdum Sakti membuka negeri di Merbau, Datuk Raja Agam di Ranto Panyang dan Datuk Raja Alam Song Song Buluh di Ujong Kala yang menikah dengan anak salah seorang yang berpengaruh di sana.

Sama dengan masyarakat setempat, ketiga Dtuk tersebut juga memerintahkan warganya untuk membuka lading, sehingga kehidupan mereka jadi makmur. Ketiga Datuk itu pun kemudian sepakat untuk menghadap raja Aceh, Sultan Mahmud Syah yan dikenal dengan sebutan Sultan Buyung (1830-1839) untuk memperkenalkan diri.

Ketika menghadap Sultan masing-masing Datuk membawakan satu botol mas urai sebagai buah tangan. Mereka meminta kepada raja Aceh agar memberikan batas-batas negeri mereka. Permintaan itu dikabulkan, Raja Alam Song Song Buluh kemudian diangkat menjadi Uleebalang Meulaboh dengan ketentuan wajib mengantar upeti tiap tahun kepada bendahara kerajaan.

Para Datuk itu pun setiap tahun mengantar upeti untuk Sultan Aceh, tapi lama kelamaan mereka merasa keberatan untuk menyetor langsung ke kerajaan, karena itu mereka meminta kepada Sultan Aceh yang baru Sultan Ali Iskandar Syah (1829-1841) untuk menempatkan satu wakil sultan di Meulaboh sebagai penerima upeti. Permintaan ketiga Datuk itu dikabulkan oleh Sulthan, dikirimlah ke sama Teuku Tjiek Purba Lela. Wazir Sultan Aceh untuk pemerintahan dan menerima upeti-upeti dari Uleebalang Meulaboh.

Para Datuk itu merasa sangat senang dengan kedatangan utusan Sultan yang ditempatkan sebagai wakilnya di Meulaboh itu. Mereka pun kemudian kembali meminta pada Sultan Aceh untuk mengirim satu wakil sultan yang khusus mengurus masalah perkara adat dan pelanggaran dalam negeri. Permintaan itu juga dikabulkan, Sultan Aceh mengirim kesana Penghulu Sidik Lila Digahara yang menyidik segala hal yang berkaitan dengan pelanggaran undang-undang negeri.

Permintaan itu terus berlanjut. Kepada Sultan Aceh para Datuk itu meminta agar dikirimkan seorang ulama untuk mengatur persoalan nikah, pasahah dan hokum Syariat. Maka dikirimlah ke sana oleh Sultan Aceh Teungku Tjut Din, seorang ulama yang bergelar Almuktasimu-binlah untuk menjadi kadhi Sultan Aceh di Meulaboh.

Meulaboh bertambah maju ketika Kerajaan Aceh dipimpin Sultan Ibrahim Mansjur Sjah (1841-1870) karena semakin banyaknya orang-orang dari Minangkabau yang pindah ke sana, karena Minangkabau saat itu sudah dikuasai Belanda. Di sana mereka tidak lagi bebas berkebun setelah Belanda menerapkan peraturan oktrooi dan cultuurstelsel yang mewajibkan warga menjual hasil kebunnya kepada Belanda.

Di Meulaboh para pendatang dari Minangkabau itu membuka perkebunan lada yang kemudian membuat daerah itu disinggahi kapal-kapak Inggris untuk membeli rempah-rempah. Karena semakin maju maka dibentuklah federasi Uleebalang yang megatur tata pemerintahan negeri. Federasi itu kemudian dinamai Kaway XVI yang diketuai oleh Uleebalang Keudruen Tjiek Ujong Kala.

Disebut Kaway XVI karena fedrasi itu dibentuk oleh enam belas Uleebalang, yaitu Uleebalang Tanjong, Ujong Kala, Seunagan, Teuripa, Woyla, Peureumbeu, Gunoeng Meuh, Kuala Meureuboe, Ranto Panyang, Reudeub, Lango Tangkadeuen, Keuntjo, Gume/Mugo, Tadu, serta Seuneu’am.

Selain federasi Kaway XVI, di perbatasan Aceh Barat dan Pidie juga terbentuk federasi XII yang terdiri dari 12 Uleebalang yaitu: Pameu, Ara, Lang Jeue, Reungeuet, Geupho, Reuhat, Tungkup/Dulok, Tanoh Mirah/Tutut, Geumpang, Tangse, Beunga, serta Keumala. Federasi XII ini dipalai oleh seorang Kejruen yang berkedudukan di Geumpang.***