BONEK dan PERSEBAYA

Bonek dan Persebaya

Yousri Nur Raja Agam MH


Oleh: Yousri Nur Raja Agam *)

KOTA Surabaya, terkenal bukan hanya karena ibukota Provinsi Jawa Timur ini berjuluk Kota Pahlawan. Ada yang lain yang lebih popular dan gampang diingat, yakni “kebrutalan” para “bonek”. Bila orang menyebut “bonek”, jelas itu akan disangkutpautkan dengan kesebelasan sepakbola kebanggaan arek-arek Suroboyo, yaitu Persebaya.
Sebagai kesebelasan kebanggaan, maka Persebaya menjadi idola. Bagaimanapun juga sorotan terhadap dampak yang terjadi apabila Persebaya kalah, namun Persebaya tetap merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari para pendukungnya. Pendukung Persebaya, tidak hanya dari kota Surabaya saja, tetapi sudah menjadi satu kesatuan dengan bumi Jawa Timur. Tidaklah mengherankan, apabila Persebaya main di luar kota, pendukungnya berdatangan dari berbagai daerah di Jawa Timur.
Pendukung fanatik Persebaya yang bermaskot “bajul ijo” atau buaya hijau ini, memang sering membuat “berita besar di koran”. Para supporter Persebaya tidak rela kesebelasan kesayangannya ini kalah. Persebaya “harus” menang. Dalam keadaan permainan terburuk sekalipun, pendukung yang disebut “bonekmania”, tetap menghendaki Persebaya menang. Kalau perlu dengan cara culas dan menggunakan non-teknis.
Bonek, adalah singkatan dari dua kata: bandha (dibaca: bondho) nekad. Arti secara harfiah adalah: modal nekad. Para supporter atau pendukung Persebaya itu, selalu mengikuti di manapun kesebelasan kesayangannya ini bermain. Walaupun tidak punya uang sama sekali, mereka tetap nekad, tanpa peduli atau ngotot untuk menyaksikan Persebaya bertanding menghadapi lawannya. Biar tanpa uang sekalipun mereka akan memberi dukungan kepada kesebelasan yang punya kostum kebesaran warna hijau daun ini. Kalau tidak punya karcis tanda masuk, mereka berani menjebol gerbang atau pintu masuk secara massal. Jadi, modalnya adalah modal kemauan semata, tanpa peduli dampak yang terjadi.
Karena modal (bondho) nekad, maka cap “bonek” menjadi bagian tidak terpisahkan dengan supporter Persebaya. Awalnya, di tahun 1970-an, para pendukung fanatik itu tidak rela disebut “bonek’. Namun, di era 1980-an, saat supporter Persebaya bermain di Jakarta, nama “bonek” menjadi konotasi yang sangat miring terhadap supporter Persebaya. Apalagi, waktu itu, sepanjang perjalanan yang dilewati kereta api dari Surabaya ke Jakarta dan sebaliknya, para supporter ini membuat gaduh. Di setiap stasiun mereka menjarah makanan yang dijual di emplaseman stasiun.
Di kala ketua umum Persebaya (1986-1994) dipegang oleh Walikota Surabaya, dr.H.Poernomo Kasidi, kata-kata “bonek” ini membuat pusing sang walikota. Namun, di era ketua umum Persebaya (1994-2002) dipegang oleh Walikota Surabaya, H.Sunarto Sumoprawiro, nama “bonek” diangkat menjadi sebuah “ikon”. Bonek sebagai ciri khas heroisme arek Suroboyo dalam mendukung Persebaya. Bonek dilembagakan. Cak Narto – begitu sang walikota akrab disapa – menjadikan bonek sebagai pemicu semangat para pendukung Persebaya. Saat itu, justru Cak Narto tidak menyenangi apa yang disebutnya “boling” atau bondho maling. Cak Narto sangat marah, apabila ada supporter yang mencuri dan merampok dalam perjalanan menonton Persebaya main.
Untuk mengangkat harkat dan harga diri bonek, Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Cabang Jawa Timur, waktu itu, Dahlan Iskan yang juga pemimpin redaksi Harian Jawa Pos memberikan predikat Green Force , kepada mereka. Seorang berambut lebat kepalanya diikat selempang hijau. Itulah Green Force.
Di masa sekarang ini, jika Persebaya bertanding di stadion Gelora 10 November Jalan Tambaksari Surabaya, boleh dikatakan sejak siang toko-toko di sepanjang jalan menuju Tambaksari tutup. Para pemilik toko khawatir, barang-barangnya bakal dijarah oleh “bonek”. Tidak hanya itu, jalan-jalan dalam kota menjadi sepi. Ulah “bonek” menjadi pergunjingan, karena sering mengganggu pengemudi kendaraan di jalan. Dan yang paling merisaukan di antara mereka ada yang memaksa para pengemudi mobil (terutama pikup dan truk) untuk mengantarkannya secara gratis ke stadion Tambaksari.
Terlepas dari cap “bonek” dan “bonekmania” yang diberikan kepada pendukung Persebaya, namun nama Persebaya “hampir” tak pernah ternoda. Panitia pertandingan dan PSSI, mampu memilah-milah antara kesalahan pemain dengan sikap supporter. Memang, pernah Persebaya mendapat hukuman gara-gara ulah “bonek”. Tetapi hal itu dapat diselesaikan dengan baik.

Dulu Persibaja
Berbicara tentang Persebaya, maka perhatian kita tertuju kepada perkumpulan sepakbola dari berbagai klub atau bond yang ada di kota Surabaya. Nama Persebaya sudah melekat dengan predikat Kota Pahlawan. Masyarakat kota Surabaya begitu bangga dengan sangat menyayangi kesebelasan sepakbola “tertua” di Indonesia ini. Betapa tidak, dalam sejarah, Persebaya mencatatkan kelahirannya tanggal 18 Juni 1927. Sementara Persija Jakarta, lahir tahun 1931, begitu pula perserikatan sepakbola di Solo, Semarang, Bandung dan lain-lainnya di Indonesia ini tidak ada yang menyebutkan kelahirannya di bawah tahun 1927.
Persebaya adalah singkatan dari Persatuan Sepakbola Surabaya. Nama ini dikukuhkan tahun 1960. Sebelumnya, orang tidak menyebut Persebaya, tetapi Persibaja (ejaan lama, baca: Persibaya). Persibaya, kepanjangannya: Persatuan Sepakbola Indonesia Surabaya. Nah, mengapa rapat anggota klub Persibaja menghilangkan “Indonesia” dari namanya?
Salah seorang tokoh sepakbola di Surabaya tahun 1960-an, Anwar Luthan, ketika almarhum masih hidup pernah menyatakan, dihilangkan kata “Indonesia” itu, karena sudah tidak diperlukan lagi. Kita sudah merdeka di bumi Indonesia. Mengapa harus menyebut Indonesia Surabaya? Dengan kemerdekaan yang diproklamasikan 17 Agustus 1945, kata mertua Rusdi Bahalwan (mantan pemain dan pelatih Persebaya), kita sudah tidak perlu menyebut Indonesia dalam skop lokal. Nama Indonesia, sudah diwakili PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia), katanya berargumentasi.
Tidak hanya itu, nama Indonesia waktu itu kita agung-agungkan untuk menghadapi penjajah Belanda dan Jepang. Dan juga diingatkan, kata Indonesia yang ada pada Persibaja waktu itu sebagai terjemahan dari Indische atau Hindia Belanda. Dengan dasar itulah maka rapat anggota klub Persebaya tahun 1960, sepakat mengubah nama Persibaja menjadi Persebaja (sekarang dengan ejaan yang disempurnakan menjadi Persebaya).
Jika napak tilas ke tahun 1920-an, saat negara kita masih dijajah Belanda, sepakbola sudah dikenal. Olahraga sepakbola, memang bukan berasal dari bumi Pertiwi. Olahraga ini dibawa oleh penjajah, yakni sinyo-sinyo Belanda. Anak-anak muda bangsa Belanda dan Indo-Belanda, mendirikan berbagai klub sepakbola. Gabungan klub sepakbola inilah yang berhimpun dalam sebuah perserikatan. Dulu, di Surabaya ada dua perserikatan yang menghimpun klub-klub sepakbola. Yang satu bernama: SVB (Sourabaja Vootbal Bond) dan SIVB (Sourabaja Indische Vootbal Bond).
SVB merupakan gabungan dari klub-klub sepakbola orang-orang Balanda dan Indo-Belanda, serta yang mau bekerjasama dengan pihak Belanda, yakni warga keturunan Arab dan Cina. Klub-klub itu antara lain bernama: HBS, THOR, Exesor, Ayax, Lemax, RKS, GIHO, Menimuriya, Anasar dan Tionghoa.
Sedangkan yang berada di bawah naungan SIVB, adalah klub sepakbola pribumi. Keberadaannya untuk menyaingi SVB. Klub-klub itu di antaranya: SELO, Maruto, PS.HW (Hizbul Wathan) milik perkumpulan Muhammadiyah, Olivio, Tjahaja Laut, Rego dan Radio.
Pada zaman Jepang, nama SVB merdup dan kemudian menghilang. Apalagi waktu itu banyak pemainnya yang ikut melarikan diri dari serangan balatentara Jepang. Nama SIVB juga tidak popular lagi. Sejak zaman Jepang inilah SIVB berganti nama menjadi Persibaja. Setelah bernama Persibaja, klub-klub yang masih ada, baik yang semula di bawah naungan SVB, maupun SIVB bergabung menjadi satu. Ada sepuluh klub waktu itu yang masih bertahan, yakni: SELO, Maruto, PS.HW, Olivio, Tjahaja Laut, Tjahaja Muda, Tionghoa, Alvags, Jonk Ambon (SVJA atau Surabaja Vootbal Jonk Ambon) dan Indo-Belanda.
Baik di zaman penjajahan Belanda, maupun penjajahan Jepang, kegiatan sepakbola tidak lepas dari “alat politik”. Melalui sepakbola dihimpun semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Begitu seterusanya, hingga kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945. Setelah kemerdekaan Indonesia, nama Persibaja semakin melekat di hati arek Suroboyo.
Pada awal kemerdekaan ini, dunia sepakbola tidak pernah absen. Perserikatan Persibaja, didukung 15 anggota klub, yakni: Naga Kuning, PORIS, Bintang Timur, HBS, THOR, POMM, TNH (Taruna Nan Harapan), PSAD (Persatuan Sepakbola Angkatan Darat), PSAL (PS Angkatan Laut), POPS, Angkasa, RKS, IM (Indonesia Muda), PS.HW, Maesa dan Assyabaab. Pada era berikutnya, bertambah lagi dengan PS.Sengkanaung, PS.Colombo, Mitra Utama, PS TEO, PS.Pusparagam, PS.Setia, PS.Surya Putra dan PS.Maluku.
Sekarang ini ada 30 klub yang bernaung di bawah Persebaya. Klub-klub itu adalah: PS.Assyabaab, PO Suryanaga, Reedo Star, PS Untag (Universitas Tujuhbelas Agustus), PS.Putra Gelora 79, PS.KSI (Kedaung Setia Indonesia), PS IM (Indonesia Muda), PS.Fatahillah 354, PS.Sasana Bhakti (Sakti), PS.Putra Surabaya, PS.Teo Dok Perkapalan, PS.Angkasa Laut, PSAD Dam V Brawijaya, PS.Sanana Mitra Surabaya, PS.Ega Putra, PS.Pelabuhan III, PS THOR, PS.Bintang Timur, PS.Fajar Suroboyo FC, PS.Mahasiswa, PS.Maesa, POPS, PS.HBS, PS.HW, PS.Angkasa, PS.Haggana, PS.Bama Putra, IR Unesa, PS.Kinibalu dan PS.Nanggala.
Nama-nama klub sepakbola yang bergabung ke dalam Persebaya itu, ada yang merupakan klub lama yang berganti nama. Misalnya: Bintang Timur, adalah penjelmaan dari SVJA yang kemudian ganti lagi menjadi POMM. Begitu pula dengan PS.Suryanaga, dulu namanya adalah klub Tionghoa, lalu ganti menjadi Naga Kuning. PS.Assyabaab sekarang, dulu namanya Anasar, kemudian berubah jadi Al Vaos. PS.Pelabuhan III sekarang ini adalah jelmaan dari PS.Pusparagam yang sebelumnya bernama PPOM, lalu PS.Maluku. Sakti (Sasana Bhakti) sekarang dulu bernama TNH (Taruna Nan Harapan), sedangkan PS.Sengkanaung berubah menjadi PS.Putra Gelora 79.
PS.Ega Putra, dulu namanya Gersiv, lalu ganti menjadi Surya Putra. Lain lagi dengan Reedo Star, dulu namanya MARS, ganti menjadi MARS BTPN, kemudian STAR. PS.Fatahillah 354 sekarang dulu bernama PORIS dan TEO berubah nama menjadi Teo Carrara, lalu sekarang Teo Dok Perkapalan. Sedangkan PS.Untag asalnya adalah PS.Colombo, lalu ganti nama menjadi PS.Mitra Colombo, terus berubah lagi menjadi PS.Mitra Untag. PS.Mitra Sanana Surabaya sekarang ini dulu namanya Sanana Putra dan Fajar Suroboyo FC dulu bernama PS.Fajar. Demikian pula dengan PS.KSI sebelumnya adalah PS.Setia. ***

*) Yousri Nur Raja Agam – Wartawan di Surabaya

Bibit Unggul di Surabaya

Siswa “Bibit Unggul”

Warisan Cak Narto

Kurang Dipedulikan

Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)

Yousri Nur RA MH

Yousri Nur RA MH

DUNIA pendidikan selalu menjadi fenomena kehidupan sejak seorang lahir hingga mengakhiri hidupnya. Sebab menurut tuntunan dan ajaran agama, ilmu pengetahuan dan pendidikan itu wajib dituntut oleh setiap insan tanpa pandang batas usia.

Dalam ajaran Islam, misalnya untuk mencari dan menuntut ilmu itu memang tanpa batas waktu dan wilayah. Dua hadis Nabi Muhammad yang selalu dijadikan pijakan tentang pendidikan, sering diucapkan oleh para da’i dan para pendidik. Hadis itu berbunyi: “Uthlubul ‘ilmi minal mahdi ilal lahdi”, artinya adalah: “Tuntutlah ilmu sejak masih dalam buaian hingga berada di liang lahad”. Hadi yang satu lagi berbunyi: “Thalabul ‘ilmi walau bis Shin” yang bermakna “Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina”.

Tiap tahun masalah pendidikan juga menjadi masalah dan problema kehidupan keluarga. Para orangtua disibukkan untuk memasukkan anak-anaknya ke sekolah pilihan dan favorit. Berbagai cara ditempuh, kendati sudah ada pedoman dan batasan-batasan sesuai dengan kemampuan anak.

Bagi Kota Surabaya, dunia pendidikan sudah menjadi bagian yang rutin. Bahkan sebagai salah satu prioritas kegiatan kota. Ini tidak lepas dengan julukan Surabaya sebagai kota “Budi Pamarinda”, singkatan dari kota Budaya, Pendidikan, Pariwisata, Maritim, Industri dan Perdagangan.

Memang, sejak zaman penjajahan Belanda hingga sekarang berbagai aktivitas pendidiikan ada di Surabaya. bahkan Surabaya juga dijadikan “kiblat” pendidikan tertentu bagi wilayah Indonesia Timur. Misalnya, dua perguruan tinggi negeri di kota Pahlawan ini – Universitas Airlangga (Unair) dan Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) – dijadikan rujukan untuk pendidikan tinggi dan khusus. Kecuali itu, sebagai pusat pangkalan armada laut TNI-Angkatan Laut, kota Surabaya merupakan kancah candradimuka bagi taruna-taruna Angkatan Laut. Dari kota Surabaya inilah perwira muda yang diwisuda dari AAL (Akademi Angkatan Laut) dipersiapkan.

Di balik pancaran kemegahan “menara gading” itu, di Surabaya tidak sedikit anak terlantar dan masyarakat miskin. Mereka tidak sempat membayangkan dunia pendidikan dan sekolah, apalagi mimpi untuk memperoleh gelar kesarjanaan sebagaimana warga kota yang hidup layak.

Tetapi, bukan tidak mungkin semua yang mustahil itu dapat diwujudkan. Asalkan ada kepedulian dari lingkungan dan masyarakat yang peduli. Bahkan, kalau yang peduli itu adalah orang yang berkuasa, hal yang mustahil dan tidak mungkin bisa disulap menjadi kenyataan. Nah, itulah yang dilakukan mantan walikota Surabaya, almarhum DR (HC) H.Sunarto Sumoprawiro yang akrab dengan sapaan Cak Narto.

Cak Narto, membuktikan kepeduliannya terhadap pendidikan. Tetapi dia tidak sekedar mendukung sekolah dan kampus-kampus yang sudah ada. Cak Narto membuat sebuah pola baru dunia pendidikan. Mendirikan asrama “Bibit Unggul”. Nah, apa pula ini dan bagaimana moda yang disebut “bibit unggul” itu?

Istilah “bibit unggul” yang dipopularkan Cak Narto, adalah sebuah istilah yang ditujukan untuk anak-anak pintar yang bakal menjadi pemimpin masa depan. Lebih daripada itu, anak-anak pintar itu berasal dari keluarga miskin dan tidak mampu di bidang ekonomi.

Mereka yang pintar tetapi miskin inilah yang mendapat perhatian khususnya. Caranya, mendata anak-anak pintar tetapi tidak mampu, kemudian dijadikan anak asuh. Mereka harus sekolah hingga jenjang pendidikan tinggi dan biayanya ditanggung bersama melalui sebuah badan atau yayasan.

Itulah yang dilakukan Cak Narto saat ia menduduki jabatan walikota. Menurut almarhum, ia melakukan itu tidak sertamerta atau ujug-ujug. Ada ceritanya, kata Arek Suroboyo kelahiran kampung Wonorejo, Surabaya itu.

Saat dilantik menjadi walikota Surabaya untuk pertamakalinya, 20 Juni 1994, suasananya memang lain daripada yang lain. Upacara pelantikan walikota oleh gubernur Jawa Timur (waktu itu) HM Basofi Soedirman, meriah dan penuh nostaligia. Tamu yang hadir tidak seperti biasanya penatikan pejabat. Sebab, selain tamu resmi dari kalangan pejabat negara sipil dan militer, serta pengusaha dan tokoh masyarakat, juga hadir lapisan masyarakat kebanyakan.

Ala Kampung

Kedatangan Cak Narto memimpin kota Surabaya waktu itu bernuansa lain. Tidak hanya para undangan resmi yang memberikan ucapan selamat kepada Cak Narto, tetapi juga teman-teman masa kecil, konco masa remaja dan kawan waktu sekolah tempo dulu. Belum lagi teman sesama jago kampung yang suka berkelahi. Maklum, Cak Narto muda memang suka bergaul ala kampung kendati hidup di tengah kota.

Saat bersalaman dan acara ramahtamah itulah Cak Narto menanyakan tentang teman-teman masa lalu. Si anu sekarang di mana, si anu sekarang jadi apa dan sebagainya. Di sela-sela nostalgianya itu, Cak Narto bercerita tentang temannya yang selalu diingatnya, bernama Munir.

Munir, adalah teman kecil Cak Narto sewaktu Sekolah Rakyat (SR) – sekarang menjadi Sekolah Dasar (SD) – yang sangat pintar. Ia selalu juara kelas, mulai dari kelas satu hingga kelas enam. “Pokoknya paling pintar, tidak ada yang mampu menyaingi Munir”, ujar Cak Narto sembari menerawang ke langit-langit gedung balaikota di ruang serbaguna yang sekarang disebut “Graha Sawunggaling” itu.

Sayang, Munir tidak dapat melanjutkan sekolah. Orangtua Munir hidup dalam kemiskinan. Ia hanya sebagai bakul (pedagang) sayur. Lebih tragis lagi, kemudian ayah Munir sakit-sakitan dan kesulitan untuk biaya berobat. Tidak lama, ayah Munir meninggal dunia. Munir yang miskin itu berusaha mandiri dengan menjual koran untuk mempertahankan hidup bersama ibunya.

Sejak kejadian itulah, ujar Cak Narto, ia selalu ingat dengan Munir. Dan Cak Narto sangat yakin di Surabaya ini masih banyak, mungkin ribuan jumlahnya “Munir-Munir” yang lain. Mereka yang pintar, tetapi hidup di keluarga miskin. Cak Narto mengatakan, ia punya obsesi, apabila suatu saat menjadi orang yang mampu dan mempunyai kekuasaan akan memperhatikan kehidupan anak pintar yang berada di lingkungan miskin. Ternyata obsesi Cak Narto itu tidak sekedar khayalan. Ia membuktikannya, sehingga hanya dalam waktu singkat, setelah resmi menjadi walikota Surabaya, ia mendirikan Yayasan Tunas Pratama Bhakti (TPB).

Yayasan ini didirikan di depan dan oleh Notaris G.Muchtar Rudy,SH dengan akta No.36 tanggal 10 November 1994. Hari itu, di samping sebagai puncak peringatan Hari Pahlawan, sekaligus juga sebagai hari ulang tahun ke 50 Cak Narto – H.Sunarto Sumoprawiro lahir di Surabaya, 10 November 1944.

Dalam waktu singkat yayasan bekerja menghimpun dana dan melaksanakan berbagai program kerja. Dana awal diminta Cak Narto dari bantuan para camat, kelapa bagian, kepala dinas dan pejabat lain di lingkungan Pemkot Surabaya. Dana awal yang dihimpun itu, digunakan untuk membiayai pendidikan sebanyak 40 orang anak pintar yang diseleksi dari berbagai sekolah di Surabaya. Anak-anak pintar dengan IQ yang bagus itu semuanya berasal dari keluarga tidak mampu.

Waktu itu, ke 40 anak ini sekolahnya dibiayai sepenuhnya oleh yayasan TPB, tetapi masih tetap tinggal bersama orangtuanya di rumah masing-masing.

Setelah setahun kegiatan pembinaan anak-anak pintar yang miskin ini berlangsung, ada seorang pengusaha yang tergerak hatinya untuk membangun asrama bagi anak-anak asuh Cak Narto yang berlindung di bawah yayasan TPB itu. Cak Narto mengatakan: “pengusaha itu adalah Bapak HM Jusuf Kalla. Beliaulah yang menjadi donatur awal pembangunan asrama Anak Asuk Bibit Unggul itu.”

Waktu itu, Jusuf Kalla benar-benar orang swasta yang sukses di Jakarta dan Makassar. Dia itu ujar Cak Narto, sering memberikan bantuan untuk berbagai kegiatan sosial di Jakarta. Cak Narto sangat tahu itu, sebab saat di Jakarta Cak Narto banyak bergaul dan bergelut di bidang sosial. Sehingga perkenalan Cak Narto dengan Jusuf Kalla sudah tak asing lagi, bahkan cukup akrab. Setelah Cak Narto tidak berkuasa lagi dan meninggal dunia, ternyata HM Jusuf Kalla yang menjadi idola Cak Narto itu, sekarang menjadi Wakil Presiden, mendamping Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Asrama “Anak Asuh Bibit Unggul” kemudian dibangun di atas tanah seluas 10 ribu meter-persegi yang terletak di Jalan Villa Kalijudan Indah XV Kaveling 2-4 Surabaya. Bangunan asrama dan kantor yayasan didirikan itu menfghabiskan biaya hampir Rp 2 miliar. Upacara persemiannya cukup istimewa, karena yang hadir adalah para senior Cak Narto saat menjadi TNI aktif di kesatuannya Kopassus (Kamando pasukan Khusus). Tidak hanya itu, teman-teman lama arek Suroboyo tempo dulu sampai yang muda-muda sekarang juga hadir.

Prasasti peresmian ditandatangani oleh Letjen TNI H.Syarwan Hamid (waktu itu jabatannya sebagai Kepala Staf Sosial Politik ABRI) yang disaksikan oleh Letjen TNI Prabowo Subianto (waktu itu sebagai Komandan Jenderal Kopassus).

Dalam waktu singkat yayasan bergerak mendata anak pintar dari keluarga miskin melalui sekolah-sekolah yang ada di Surabaya. Untuk tahap pertama dalam tahun ajaran 1994-1995 calon siswa anak asuh yang berhasil direkrut berjumlah 60 orang dari tingkat SD, SMP dan SMA. Sebanyak 19 orang murid SD, 21 orang SMP dan 20 orang SMA. Tahun berikutnya siswa yang ditampung di asrama terus meningkat.

Setelah sepuluh tahun asrama “Anak Asuh Bibit Unggul” berdiri, ternyata seluruh anak asuh yang dibiayai mengikuti perguruantinggi sudah banyak yang menjadi sarjana dan bekerja. Mereka kini juga menjadi “orangtua dan kakak angkat” dari mereka yang masih berada di asrama. Tetapi, suasana kehidupan, perhatian pejabat Pemkot Surabaya setelah ditinggal Cak Narto yang “lengser dari walikota” dan meninggal dunia tahun 2002, sudah berbeda. Nasib anak-anak “Bibit Unggul” ini tidak seperti dulu lagi.

Terputus

Keadaan anak asuh “Bibit unggul” yang dibina Yayasan Tunas Pratama Bhakti (TPB), memang masih ada. Tetapi kecemerlangannya mulai meredup. Perhatian terhadap anak-anak yang tinggal di asrama di lingkungan perumahan mewah Jalan Villa Kalijudan itu juga berkurang. Hubungan historis dengan Pemkot Surabaya bagaikan terputus. Sebab, ada anggapan bahwa Yayasan TPB itu identik dengan Cak Narto –H.Sunarto Sumoprawiro (alm).

Kendati demikian sebagian pengurus Yayasan TPB tetap setia melaksanakan cita-cita luhur mengangkat martabat anak-anak asuh yang berasal dari keluarga miskin tetapi pintar itu. Bahkan, alumnus “Bibit Unggul” itu kini sudah banyak yang menjadi sarjana. Ibaratnya, bibit unggul yang pernah ditanam sekitar sepuluh tahun lalu, kini sudah banyak buahnya dan berhasil “dipanen”.

Betapa tidak, sebab di antara mantan penghuni asrama “bibit unggul” itu ada yang sudah bekerja sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan di perusahaan swasta. Profesi mereka juga beragam. Ada yang menjadi dokter, insinyur, psikolog, ekonom, apoteker, dosen, kontraktor, penasehat hukum dan berbagai jenis pekarjaan sesuai dengan disiplin ilmu yang berhasil diperolehnya.

Dari “bibit unggul” angkatan pertama yang mulai meraih gelar kesarjaaan tahun 1998 hingga 2000 saja ada 21 orang. Menyusul tahun-tahun berikutnya, sehingga sekarang alumnus asrama “bibit unggul” yang sudah berhasil menyelesaikan kuliahnya di perguruan tinggi sudah lebih 100 orang. Mereka, umumnya lulusan perguruan tinggi negeri: ITS (Institut Teknologi Sepuluh November), Unair (Universitas Airlangga), Unesa (Universitas Negeri Surabaya) dan juga ada dari perguruantinggi swasta.

Nah, ikatan historis dan kekeluargaan yang mereka rasakan selama di asrama “anak miskin” tetapi pintar itu memberikan dorongan para alumnus untuk ikut berperanserta dalam melestarikan keberadaan asrama “bibit unggul” tersebut. Namun demikian, mereka tetap berharap, Pemkot Surabaya tidak melupakan mereka. Bahkan, prioritas yang selama ini diberikan jangan menurun. Justru mereka berharap agar pencarian anak-anak pintar dari keluarga miskin di tengah kota Surabaya itu tetap menjadi perhatian. Apalagi awan gelap dunia pendidikan masih tetap saja menggelantung di langit Surabaya. Tiap awal tahun ajaran peristiwa yang terjadi selalu mencengkam dan membawa was-was para siswa dan orangtua murid.

Gedung dengan berbagai fasilitas yang berdiri di lahan seluas 9.089 meter persegi itu masih terlihat kokoh. Seharusnya, perhatian terhadap keberadaan gedung yang dibangun dengan biaya Rp 2 miliar lebih tahun 1996 itu patut ditingkatkan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa gedung sedang segala fasilitas yang terdapat di dalamnya merupakan aset Pemkot Surabaya yang dikelola Yayasan TPB.

Sistem Pondok

Pola pembinaan dan proses belajar mengajar yang dilaksanakan Yayasan TPB selama ini disesuaikan dengan keadaan siswa. Ada siswa yang tetap bersekolah pada sekolah masing-masing dan pulang ke rumah orangtuanya. Di asrama “bibit unggul” mereka singgah untuk mendapat bimbingan selsai jam pelajaran di sekolah. Anak-anak ini digabungkan belajar bersama dengan anak-anak yang tinggal di asrama. Pola pendidikan dilaksanakan dengan sistem pendidikan asrama atau pondok.

Sistem dan metoda pendidikan asrama atau pondok ini juga banyak mengadopsi pola yang dilaksanakan di STN (Sekolah Taruna Nusantara) di Magelang. Kecuali itu dalam pelaksanaannya, sistem dan medoda pendidikan selalu diadakan penyempurnaan sesuai dengan kemajuan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi). Ini ditujukan untuk mengarahkan anak didik mengikuti perkembangan di era globalisasi. Untuk itulah, pembentukan karakter anak diarahkan pada peningkatan SDM (Sumber Daya Manusia) yang berkualitas.

Pelajaran ekstra kurikuler yang dilaksanakan dengan sistem pondok di asrama, termasuk pendidikan agama, pembudayaan disiplin, serta kesetiaan terhadap bangsa dan negara. Secara khusus anak-anak juga dibekali dengan pendidikan komputer, praktik laboratorium, kursus dan praktik bahasa – sementara ini adalah bahasa Inggris dan bahasa Jawa. Selain itu mereka juga dibekali pengetahuan bermuatan lokal, yakni pengetahuan khsus tentang kota Surabaya.

Ada hari-hari tertentu yang berlaku wajib di asrama, misalnya berbahasa Inggris tiap hari Kamis. Artinya, komunikasi antarsiswa penghiuni asrama pada hari Kamis adalah bahasa Inggris. Menurut Katidjan, salah seorang pengasuh di asrama “bibit unggul” Kalijudan ini, tiap sabtu pagi bagi mahasiswa diselenggarakan diskusi dengan menggunakan bahasa Inggris. Dan, ulas pensiunan staf Dinas Pendidikan Surabaya ini, bagi anak-anak yang umunya besar di kota Surabaya ini, “bahasa Jawa” mereka juga “diperbaiki”. Sebab kita tahu, bahasa sehari-hari anak yang besar di Surabaya adalah bahasa Jawa yang “kasar”.

Bibit Unggul

Pengertian atau istilah “bibit unggul” itu benar-benar menjadi bagian tidak terpisahkan dari lingkungan anak-anak pintar yang berasal dari keluarga miskin ini. Kepada mereka dan masyarakat, dijabarkan secara jelas arti “bibit unggul”. Sebab, banyak masyarakat yang ingin tahu apa sebenarnya di balik makna “bibit unggul” terhadap anak asuh berprestasi ini. Nah, mengapa tidak sebut “anak yang berprestasi” misalnya.

Ada makna yang sangat dalam tentang “bibit unggul” ini. Titik tolaknya adalah pemikiran. Sebab, prestasi adalah bagian dari keunggulan. Jadi pengertian bibit unggul cukup luas. Khusus untuk anak asuh “bibit unggul” ini ada unsur terseleksi dari anak-anak pintar yang berasal dari keluarga tidak mampu di bidang ekonomi.

Dalam bahasa Jawa, bibit: adalah satu kata yang berarti biji atau benih (bahasa Jawa: wiji atau winih) yang dipersiapkan untuk ditanam dan dikembangbiakkan. Ini berlaku untuk keturunan pelanjut kehidupan bagi tanaman atau hewan.

Istilah inilah yang “dipinjam” untuk anak manusia yang bakal tumbuh kembang kelak di kemudian hari. Sama dengan keinginan petani atau peternak terhadap biji yang bermutu, maka bibit itu harus unggul atau terbaik. Sehingga digunakanlah istilah “bibit unggul” sebagai perumpamaan bagi anak-anak asuh ini.

Pakar Bahasa dari Unesa, Prof.Dr.Suripan Sudihutomo, menyebutkan perumpamaan “bibit unggul” yang digagas Cak Narto itu mengambil dari segi sifatnya yang diberikan kepada tingkah manusia. Perumpamaan yang juga sering diberi gambaran terhadap tingkah manusia dari tumbuhan maupun hewan misalnya seperti di bawah ini:

Untune miji timun (giginya bagaikan biji mentimun), artinya: giginya putih dan rata seperti biji mentimun).

Athi-athine ngudup turi (cambangnya seperti kuncup bunga pohon turi).

Lakune kaya macan luwe (jalannya seperti macan kelaparan).

Di samping perumpamaan dengan tumbuhan dan hewan, juga ada perumpamaan dengan benda, contohnya:

Ulate bening leri (raut mukanya tidak lebih daripada air cucian beras).

Surake mbata rubuh (soraknya seperti bunyi tumpukan bata rubuh).

Jadi, bila bibit dikaitkan dengan keunggulan, maka dapat dismpulkan bahwa “bibit unggul”artinya mempunyai kelebihan dibandingkan dengan yang lain. Walaupun “bibit unggul” itu berada di lingkungan yang tidak subur, tetapi kalau diperhatikan dan ditanam di tempat yang layak, maka bibit itu pasti akan menghasilkan buah yang berkualitas.

Berdasarkan falsafah yang diambil untuk memberi nama bagi anak asuh yang menempati asrama “bibit unggul” di Jalanm Villa Kalijudan Indah, Surabaya itu, maka layaklah mereka menjadi perhatian. Tidak hanya oleh Pemkot Surabaya, tetapi juga oleh para dermawan, pendidik dan kita yang peduli. Serta yang sangat diharapkan tentunya perhatian wakil-wakil rakyat yang duduk di DPRD (Dewan Perwakilan rakyat Daerah) Kota Surabaya, sebab mereka inilah yang paling menentukan masa depan anak-anak asuh itu melalui persetujuan anggaran secara rutin.

Tetapi, asrama bibit unggul beserta anak-anak didik yang menjadi warisan “obsesi” Cak Narto itu sekarang jauh dari yang diharapkan. Sekarang, anak-anak pintar yang miskin di Surabaya, semakin banyak yang putus sekolah. Walikota Surabaya, Drs.H.Bambang Dwi Hartono,MPd yang berlatarbelakng guru dan dosen itu, diharapkan memberikan perhatian terhadap warisan Cak Narto itu. Mungkinkah? ***

*) Yousri Nur Raja Agam MH – Ketua Yayasan Peduli Surabaya.

Sinoman Arek Surabaya

SINOMAN

Kegiatan Amal

Arek Suroboyo

Oleh: Yousri Nur Raja Agam M.H. *)

Yousri Nur RA MH

Yousri Nur RA MH

DALAM kamus Jawa atau “Bausastro Jawi”, karangan WJS Poerwadarminta, kata “Sinom”, artinya: pucuk daun, daun asam muda, bentuk rumah limas yang tinggi dan lancip, nama tambang mocopat, dan nama bentuk keris. Tetapi, jika kata Sinom mendapat tambahan akhiran “an”, menjadi “Sinoman”, maka maknanya menjadi: anak muda yang menjadi peladen di desa saat acara hajatan, peladen pesta atau perhelatan, tolong menolong saat mendirikan rumah, kerukunan atau gotongroyong.

Tetapi di balik semua makna itu, terkandung sesuatu yang amat luhur dan terpuji. Sebab, kegiatan sinoman itu adalah bekerjasama, bergotongroyong yang dilakukan secara sukarela untuk kepentingan orang lain.

Rasanya, di alam serba maju dan kehidupan manusia metropolis, makna gotongroyong dan sinoman itu sudah diabaikan orang. Kendati demikian, ternyata hal yang mustahil itu tetap ada dan tidak pernah hilang. Memang, kalau di desa dan di kampung-kampung kehidupan masyarakatnya sangat guyub dan penuh kekeluargaan. Berbeda dengan di kota, yang masyarakatnya individualis, sudah jauh dari kebiasaan itu.

Di kota kegiatan sinoman sudah lama dipandang sebelah mata. Terutama oleh manusia materialistis. Orang kaya di kota, tidak mau repot. Semua masalah bisa diatur dengan uang dan membayar orang untuk keperluan apa saja. Termasuk urusan pengurusan kematian. Semua bisa diserahkan kepada perusahaan yang “berbisnis” di bidang pengurusan kematian ini.

Kematian adalah peristiwa alam yang pasti ada dan terus terjadi. Sama dengan kelahiran dan perkawinan. Sehingga manusia sebagai bagian dari makhluk hidup di dunia ini pasti akan mengalaminya.Dalam ajaran agama apapun, termasuk pula manusia yang atheis, mengakui adanya kematian.

Firman Allah di dalam Al Quran, menyebutkan bahwa setiap insan akan menemui kematian atau maut. Kalau sudah waktunya, tidak ada yang mampu menolak ajal. Hal yang sama juga diyakini oleh semua orang di dunia ini sejak zaman dulu hingga masa yang akan datang.

Walaupun kematian merupakan peristiwa yang lumrah, tetapi tidak semua orang siap menerima kenyataan itu. Kematian bahkan, dianggap sebagai peristiwa luar biasa. Di saat itu ada orang yang merasakan merasakan kehilangan segala-galanya. Terutama jika yang meninggal dunia itu adalah kepala keluarga yang menjadi tonggak tempat bergantungnya semua kebutuhan rumahtangga.

Bagaimanapun juga, ternyata tidak semua persoalan dapat dilaksanakan dengan “bisnis”, termasuk kegiatan kematian. Rasa kebersamaan masih tetap ada. Tidak pernah terjadi sebuah peristiwa kematian dibiarkan begitu saja. Termasuk di kota-kota besar, seperti Surabaya, misalnya.

Justru, di kota-kota besar itulah muncul kegiatan sosial kemasyarakatan. Berbeda dengan di desa yang masyarakatnya sudah menyatu dalam sebuah lingkungan yang homogen. Dalam pergaulan heterogen, masyarakatnya akan mencari persamaan. Mencari hubungan antarmanusia. Misalnya, berdiri perkumpulan masyarakat di bidang sosial. Mereka berhimpun dengan dasar se-agama, se-asal daerah bagi para perantau, sama-sama satu almamater, se-organisasi, satu kelompok pengajian, sering bertemu dan berbagai alasan lain.

Di Kota Surabaya, kegiatan sosial yang disebut “Sinoman”, ternyata sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Prof.Dr.H.Roeslan Abdulgani, tokoh tua yang berasal dari Surabaya, mengisahkan kepada penulis tentang “Sinoman”. Bahan-bahan ini diperoleh penulis saat mempersiapkan tulisan untuk buku “Cak Narto Peduli Wong Cilik” tahun 1997.

Menurut Cak Roeslan – begitu Roeslan Abdulgani biasa disapa – dalam sejarah kelahiran dan perkembangan Sinoman, adalah bentuk kegotongroyongan sosial. Tujuannya untuk membina dan meningkatkan kerukunan. Semboyannya adalah: “Rukun Anggawe Santoso” – rukun untuk menumbuhkan kesentosaan. Kita bisa kuat kalau kita rukun. Sebaliknya, bangsa yang jiwanya kuat dapat membangun kerukunan.

Dalam bahasa Jawa atau Sangskerta, kuat karena rukun dan rukun karena kuat, disebut: “Dharma Eva, Hato Hanti”. Kuat karena bersatu dan bersatu karena kuat. Jadi, motto “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, adalah sebuah kenyataan.

Nah, mengapa masyarakat Kota Surabaya memerlukan kekuatan dan kesentosaan? Tidak lain karena dalam kehidupan sehari-hari, kita semua menghadapi berbagai macam persoalan yang hanya dapat diselesaikan secara bersama-sama dengan bergotongroyong. Lebih-lebih sesama tetangga dekat. Hal ini sudah dialami warga Surabaya sejak zaman dulu, ketika dijajah Belanda dan Jepang, kemudian saat mempertahankan kemerdekaan yang dikenal dengan peristiwa pertempuran 10 November 1945, hingga sekarang ini.

Melalui Sinoman, warga Kota Surabaya dapat mengatasi berbagai masalah. Sinoman merupakan bentuk tertinggi dari jiwa kegotongroyongan. Dulu kehidupan kota Surabaya, masih sama dengan alam desa. Perubahan zaman membuat kehidupan kota terpengaruh.

Kegiatan Sinoman, awalnya terlihat dari kebersamaan memasang “terop” atau tenda, menyusun kursi dan alat-alat lainnya saat ada hajatan. Peralatan ini, milik bersama warga yang diperoleh dari “urunan”. Termasuk perlengkapan untuk kematian. Biasanya, di samping mushalla atau langgar, diletakkan “penduso” atau keranda jenazah. Juga alat-alat untuk pemandian jenazah, persediaan kain kafan dan wangi-wangian. Ini apabila untuk kematian. Lain lagi dengan pesta perkaiwinan, sunatan dan hajatan selamatan. Peralatan yang disimpan di gudang Sinoman adalah: piring, cangkir, gelas, lampu dan sebagainya.

Masih menurut Cak Roeslan, di tahun 1930-an, sewaktu gerakan toko-toko koperasi muncul di mana-mana, Sinomanpun ikut bergerak dalam kegiatan koperasi konsumsi dan koperasin kredit. Di sini Sinoman menyediakan kebutuhan sehari-hari dan membantu pengusaha kecil dengan kredit dengan bunga rendah.

Sinoman pada zaman Belanda itu, muncul di kampung-kampung. Antar kampung yang berdekatan mendirikan “Raad Sinoman”. Seperti Raad Sinoman kampung Plampitan, Peneleh, Pandean, jagalan, Undaan, Genteng, Bubutan, Maspati, Kawatan, Koblen, Tembok dan sebagainya. Tidak kurang dari 20 Raad Sinoman waktu itu di Kota Surabaya.

Kata “Raad” berasal dari bahasa Belanda, yang artinya: dewan. Waktu itu, masyarakat Belanda di Kota Surabaya mendirikan “Gemeente Raad”, yaitu “Dewan Kotapraja”. Gemeente Raad itu menentukan pajak-pajak yang harus dibayar oleh rakyat di kampung-kampung yang disetorkan ke kantor Gemeente atau Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. Nah, agar rakyat Surabaya tidak diperlakukan sewenang-wenang, maka Raad Sinoman dibentuk untuk mengimbangi dan melawan Gemeente Raad.

Di zaman Jepang, Sinoman dipaksa untuk membantu peperangan. Sekalipun dipaksa menjadi “Tonarigumi”, yaitu Rukun Tetangga, namun usaha membela rakyat menghadapi penindasan Jepang terus dikobarkan. Di balik itu ada hikmahnya, karena di zaman Jepan itulah, Sinoman atau “Tonarigumi” dapat mendirikan pos-pos pemadam kebakaran terhadap bom-bom yang jatuh dan menolong korbannya.

Hal yang sama juga dialami saat pertempuran 10 November 1945. Karena yang tampil selalu anak-anak muda yang berjuang dan bekerja dengan sukarela, disebutlah kelompok anak muda itu “poro nom-noman”, lalu menjadi “Si Nom-an” atau kumpulan anak muda yang suka bergotongroyong untuk kepentingan bersama, ujar Cak Roeslan.

Penggeraknya Anak Muda

Sesuai dengan asal-muasal kata “Sinoman” adalah kumpulan anak muda yang suka bergotongroyong, maka di sini kegiatan amal dan sosial harus diutamakan. Artinya, kegiatan sinoman, harus bertujuan untuk membantu sesama dan demi kepentingan bersama. Kecuali itu, kegiatan sinoman harus mampu menghadapi tantangan zaman yang serba komersial dan bernuansa bisnis.

Berdasar catatan sejarah yang ada, sinoman pada awalnya memang sekedar wadah untuk menampung keinginan sekumpulan anak muda. Mereka ini ingin memperoleh pengakuan sebagai insan yang dipercaya dalam bidang sosial. Nah, karena kegiatan gotongroyong merupakan panggilan hati nurani, maka hal ini tidak sulit untuk diwujudkan. Walaupun demikian, perlu ada pendorong yang mampu menjadi pelopor sebagai penggerak.

Jelas di sini, sinoman sebagai kegiatan anak muda, maka motor penggeraknyapun harus para pemuda. Sudah menjadi hukum alam, bahwa kaum muda merupakan tulang punggung penggerak kegiatan dalam masyarakat. Tidak hanya di bidang sosial dan rumahtangga, tetapi lebih jauh lagi, yakni sebagai patriot pembela bangsa dan negara.

Kembali kepada kegiatan sinoman di Surabaya, sebagaimana dituturkan oleh Cak Roeslan – yang lengkapnya adalah: Prof Dr.H.Roeslan Abdulgani – pada tahun 1920-an saja, kegiatan sinoman sudah tertata rapi. Mempunyai pengurus tetap dan banyak inventaris. Barang-barang milik sinoman itu diperoleh dari sumbangan dan bantuan warga secara sukarela, maupun dibeli dengan uang kas.

Surabaya sebagai bandar pelabuhan dan tempat bertemu para pendatang, lama kelamaan menetap di darat. Dan para pendatang itulah, penduduk asli Surabaya. Sehingga tidak perlu heran, yang disebut “Arek Suroboyo”, berasal dari berbagai etnis dan suku bangsa, ujar Cak Roeslan sesepuh Arek Suroboyo ini.

Nah, Surabaya terus berkembang dengan kehidupan warganya yang mulanya membawa budaya daerah masing-masing. Lama kelamaan masing-masing budaya dari berbagai daerah itu menyatu di Surabaya. Dari penggabungan berbagai adat istiadat itulah, kemudian lahir tradisi baru di Surabaya yang kemudian menjadi “budaya Surabaya”.

Karena budaya Surabaya itu mengadopsi macam-macam tradisi dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan juga dari mancanegara, maka nuansanya sangat dinamis. Di samping warna dominannya adalah budaya Jawa dan Madura, namun pengaruh adat Banjar dan Dayak dari Kalimantan, Bugis dari Sulawesi, serta pengaruh adat Sunda dan Melayu (Minang, Aceh, Riau dan Palembang dari Sumetara) juga terlihat dalam kegiatan seari-hari.

Tradisi masyarakat Surabaya, yang Islami dengan pengaruh kebiasaan umat Islam dan Arab, juga terasa ada dalam beberapa hal, pengaruh budaya Cina atau Tiongkok. Dan harus pula diingat, selama 3,5 abad kita dijajah bangsa Belanda dan Eropa yang membawa ajaran Kristen dan Katholik. Gaya dan pola hidup warganya sebagian seperti mereka itu. Selain itu semua, budaya Hindu dan Budha sebagai agama yang dianut nenek moyang kita dahulu kala juga masih tersisa dalam berbagai aktivitas warga Surabaya di alam modern ini.

Clifford Gertz, menyebut warga Surabaya pribumi bukanlah penganut ajaran agama yang fanatik. Warga Surabaya ini adalah: “masyarakat abangan”. Maksudnya di sini, kendati beragama Islam, mereka tidak sepenuhnya menjalankan syariat agama secara benar. Begitu pula mereka yang bukan penganut Islam. Masyarakat Surabaya di sini memang menjadi masyarakat marjinal. Mereka menentang ras dan etnis yang tidak seiman, tetapi tidak mampu menyatukan diri dengan mereka yang seiman.

Kondisi kejiwaan seperti inilah, ungkap Tom Pires dalam Suma Oriental, yang menjadikan masyarakat Surabaya menjadi masyarakat “kasar”. Dan paling tidak enak, adalah istilah yang diberikan oleh William H.Frederick, bahwa masyarakat Surabaya sebagai bangsa yang keras kepala.

Ada tiga contoh konkrit dalam sejarah yang merefleksikan kekerasan masyarakat Surabaya. Masing-masing tercermin dalam diri pahlawan rakyat Trunojoyo (Madura), Untung Suropati (Pasuruan) dan Sawunggaling (Surabaya). Kendati ke tiganya mewakili tiga daerah, namun ketiganya merupakan mata rantai yang saling terkait di Surabaya ini.

Memang, kegiatan pahlawan rakyat itu dicuatkan namanya dari daerah, tetapi pemberontakan yang menjadi latar belakangnya berawal dari pergolakan hidup di kota ini. Surabaya diibaratkan sebagai “pemilik tali penggerak gasing”. Sedangkan daerah yang menjadi tempat terjadinya pemberontakan berfungsi sebagai tempat berputarnya anak gasing.

Sejak ajaran Islam menjadi bagian kehidupan masyarakat di pantai utara Jawa, sebagai agama yang disebarkan para sunan “Wali Songo”, tradisi Islam mulai berpengaruh dalam kehidupan sosial budaya. Di sinilah, terasa aktivitas anak muda sebagai “peladen” di tengah khalayak. Budaya “Sinoman” terus berkembang dalam bentuk kombinasi berbagai adat dan ajaran yang manusiawi.

Elastisitas manusia Jawa, yang mempunyai kecenderungan sinkretis, memberi kemungkinan menerima pengaruh itu. Sinoman di Surabaya mempunyai akselerasi untuk berkembang cepat. Sebab, sinoman merupakan ruh yang mempersatukan kesamaan asal, rasa senasib dan kesamaan iman antarpendatang atau urbanis. Kehidupan keras yang dilingkupi tradisi hasil asimilasi nilai Islami dengan pranata kedaerahan, memberikan kemungkinan sinoman berkembang subur.

Sinoman Lama

Melalui sinoman, warga kota bisa menyatukan persepsi dan mengekspresikan diri secara bebas. Sebab sinoman merupakan wadah untuk berhimpun, melalar kenangan dan sekaligus sebagai sarana untuk melakukan perlawanan bila dibutuhkan.

Di balik kemajuan dan perkembangan sinoman di masa lalu, ternyata “menyimpan bara”. Penyatuan antarwarga “kasar dan abangan” itu, telah menjauhkan komunikasinya dengan warga lain yang berasal dari etnis Cina, Arab dan India. Bagi masyarakat keturunan Arab, mereka tidak begitu peduli – karena ada semacam pengkultusan – namun tidak demikian halnya dengan warga keturunan Cina, India dan Eropa yang berkuasa waktu itu.

Di zaman penjajahan Belanda, sinoman sempat menjadi “musuh” warga keturunan Cina, karena mereka senang berlindung di balik penguasa. Waktu itu warga pribumi mulai dirangsang dan bangkit untuk merdeka. Kebencian terhadap Belanda, juga menimbulkan antipati terhadap etnis Cina. Warga keturunan ini diasumsikan sebagai warga a-sosial, sosialisasi kerakyatannya lemah dan cenderung tidak mau tahu persoalan yang berkembang di luar diri dan etnisnya. Tidaklah mengherankan, kalau William H.Frederick, melontarkan kalimat “Cina singkek” untuk warga keturunan yang masa bodoh terhadap lingkungan sekitar itu. Konotasinya memang jelek, sehingga dalam hal tertentu sering dijadikan bahan ejekan.

Sejarah memang tidak dapat dipungkiri. Dari zaman ke zaman, situasi dan kondisi mengalami perubahan. Sinoman lama, di masa penjajahan Belanda dan Jepang, memang tidak sama dengan sinoman masa perjuangan kemerdekaan. Lalu, setelah merdeka dan masa kini, juga lain. Bahkan, pola baru sinoman di era kehidupan metropolis tampil beda, tetapi ruh dan cita-citanya tetap sama.

Terancam Kegiatan Bisnis

Kegiatan Sinoman terus berkembang dan juga berubah. Pola tradisional yang hidup di kampung-kampung dalam Kota Surabaya, mulai dipengaruhi gaya hidup masyarakat kota Metropolitan. Kegiatan kemasyarakatan yang biasanya menjadi bagian dari kegiatan sinoman yang sepenuhnya bersifat sosial, ada yang sudah beralih menjadi “ajang” bisnis atau sekurang-kurang bernuansakan pamrih.

Salah satu contoh yang sangat mencolok adalah kegiatan pemakaman. Kalau dulu, setiap orang terpanggil dan berebut untuk menggotong keranda jenazah atau “penduso”, kini banyak yang berpangku-tangan, menyerahkan kegiatan itu kepada perusahaan yang mengurus penguburan. Hal yang sama juga terlihat saat jenazah akan dikuburkan ke liang lahat. Anak-anak dan keluarga terdekat biasanya langsung terjun menunggu jasad almarhum atau almarhumah di dalam lubang kuburan, kini adakalanya dilakukan oleh “orang lain”.

Yang lebih tragis lagi, untuk memandikan dan mendoakan jenazah almarhum atau almarhumah juga ada yang “diserahkan” kepada orang lain. Ini, karena modin tidak ada di kawasan permukiman itu.

Kalau “orang lain” itu adalah tetangga dan kerabat keluarga yang sedang berduka, masih tidak masalah, karena sifatnya masih sosial dan sukarela. Tetapi, kalau yang manggali, menguburkan sampai menimbun kembali tanah ke lubang kuburan semuanya “orang lain” yang dibayar dan berasal dari perusahaan jasa penguburan ata pemakamam, maka akan lenyaplah ajaran agama Islam dan tradisi nenek moyang kita.

Seandainya hanya membawa jenazah karena tempat pemakaman jauh dari rumah duka dengan mobil jenazah harus dibayar, rasanya masih wajar. Begitu pula menggali dan menimbun kembali tanah ke lubang kubur dilakukan oleh para penggali khusus yang sudah ada di lokasi pemakaman, semua itu masih dapat dimaklumi. Tetapi, kalau sampai hal-hal yang khusus sesuai dengan ajaran agama dan tradisi semua “diborongkan” kepada perusahaan pengelola jenazah dan pemakaman, tentu sangat menyedihkan. Sebab tradisi seperti itu, hanya lumrah kita saksikan pada masyarakat non Muslim, seperti warga Tionghoa atau Cina, misalnya.

Kegiatan bisnis pengurusan jenazah dan pemakaman di kalangan umat Islam dan “Arek Suroboyo”, kalau tidak segera dibendung, bisa saja terjadi seperti yang berlaku di masyarakat non Muslim itu. Suatu saat akan kita saksikan pola pengurusan jenazah seperti dalam kehidupan masyarakat Tionghoa. Ada tempat penghimpunan dan upacara seperti yang dikelola Yayasan “Adhi Yasa” di Jalan Demak Surabaya. Bahkan pengurusan jenazah, pengangkutan sampai penguburan juga dilakukan oleh yayasan atau perusahaan.

Dengan Sinoman, seharusnya semua itu tidak terjadi. Tidak usahlah kita meniru pola perusahaan pengurusan jenazah “Carrara” yang berdiri sejak tahun 1948. Juga jangan seperti “Ario” yang memborong segala kebutuhan jenazah. Atau “Tiara” yang mengiklankan ambulance full AC. Juga seperti Yayasan “Gotong Royong” dan “Bagus Abadi” , serta masih banyak lagi yang lain.

Sinoman yang merupakan tradisi bernuansa Islami, harus tetap dipertahankan dan dikembangkan keberadaannya di era modernisasi dan kehidupan kota Metropolitan yang metropolis ini. Sekurang-kurangnya tradisi itu dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman, tanpa harus mengurangi nilai ajaran agama dan leluhur.

Warga Surabaya, ternyata mampu membuktikan ketahanan masyarakatnya membendung dan melakukan antisipasi terhadap gejala global itu. Sinoman mengalami kemajuan dengan adanya peremajaan dan periodesasi kepengurusan. Ini memperlihatkan, bahwa organisasi sinoman sudah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat Surabaya.

Secara organisasi, sinoman dapat menanamkan sendi-sendi berorganisasi. Ini dapat dilihat dengan adanya kesadaran membayar iuran dan sumbangan sukarela pada saat tertentu. Dalam wujud nyata, sinoman yang di zaman pra-kemerdekaan sempat melibatkan diri dalam kegiatan politik, sekarang “sudah bersih” dari pengaruh itu dan murni menjadi paguyuban sosial.

Kalau dulu, pada saat “Sinoman Lama”, warga keturunan Cina, Arab dan India menjadi warga elite yang “dimanjakan” penjajah, setelah Indonesia merdeka, mereka secara bertahap melibatkan diri dalam kegiatan di lingkungan permukiman. Mereka sudah bisa menyatu dan membaur dengan warga sekitar. Di beberapa kawasan permukiman, merekapun duduk sebagai pengurus sinoman.

Untuk menghidupi organisasi sosial sinoman ini, bukan tidak ada yang berbau bisnis. Dari iuran dan sumbangan warga, dibelikan barang-barang keperluan hajatan. Mulai dari terop (tenda), kursi, meja, piring, gelas, sendok, sampai alat pengeras suara (sound system). Agar barang-barang ini tetap utuh dan bisa bertambah, maka kepada yang menggunakannya diharapkan bantuan sukarela. Memang, ada tarif yang ditetapkan untuk masing-masing barang, tetapi bagi keluarga yang tidak mampu dan benar-benar dalam keadaan susah, dipinjamkan secara gratis. Bahkan mendapat bantuan uang duka dari urunan warga.

Dalam sejarahnya, memang sempat terjadi pengaruh dalam perkembangan sinoman di kota Surabaya. Pada tahun 1980-an, saat kegiatan pembangunan kota sudah mengarah pada kegiatan penggusuran. Masyarakat kampung dalam kota Surabaya mulai terpencar ke pinggir atau ke luar kota. Walaupun ada kelompok sinoman yang “bubar” akibat kampungnya tergusur, ternyata di permukiman baru atau kawasan realestat, sudah ada yang mendirikan paguyuban sinoman. Namun, merintis berdirinya sinoman di kawasan permukiman baru tidak gampang. Harus ada yang berani mempelopori, karena awalnya di antara sesama warga baru yang belum saling kenal, tentu mempunyai sikap hati-hati, agar niat luhur itu diterima dengan keterbukaan.

Keberadaan sinoman ini, memang bukan “monopoli” warga Surabaya. Hal yang sama juga ada di tempat lain. Di Jakarta, ibukota negara Republik Indonesia, hidup warga asli yang disebut: masyarakat Betawi. Di sini juga ada tradisi dan adat yang sama. Selain itu juga banyak perantau dan pendatang dari berbagai daerah, suku bangsa di Indonesia, serta yang berasal dari negara lain.

Kehidupan masyarakat metropolitan Jakarta, memang tidak memusnahkan tradisi desa atau kampung asal para perantau. Sebagaimana masyarakat daerah atau suku lain di Indonesia, perantau yang berasal dari Surabaya ternyata berhasil membentuk paguyuban Sinoman Suroboyo.

Sesepuh Surabaya, Cak Roeslan Abdulgani yang sudah lama bermukim di Jakarta, mengatakan, kegiatan sinoman di Jakarta ini sejalan dengan adanya Paguyuban Arek Surabaya. Organisasi sinoman warga Surabaya di Jakarta bernama “Sinoman Keluarga Besar Surabaya Jawa Timur”. Kegiatannya sama dengan sinoman pada umumnya. Namun, yang paling utama adalah apabila ada keluarga yang ditimpa kemalangan, khususnya meninggal dunia.

Semangat sinoman di Jakarta ini begitu kuat pada tahun 1970-an. Sampai-sampai kata Cak Roeslan diciptakan lagu berjudul “Sinoman Suroboyo” Lagu dan syair ini adalah karya H.Nur Azhar yang diciptakannya pada bulan Maret 1979 di Jakarta. Inilah lirik dan syair lagu “Sinoman Suroboyo” tersebut:

Sinoman Suroboyo Rek – paguyuban kanggu kepentingan amal ; kumpulanne sing nduweni timbang roso. Tinggalane wong tuwo Rek – ayo kudu diterusno. Sinoman Suroboyo Cak – gotongroyong sing dadi tujuan utomo. Mulane ojo’ lali Cak – iku prilaku sing mulyo, iku kepribadian bongso.

Kaping pisan: tulung tinulung, kaping pindo: ndaweg sing rukun, kaping telu: tambah sedulur, kaping papat: ojo’ sok mbeda’-beda’no. Kabeh mau margo Sinoman – ilingo sing kerepotan – kapan maneh urip ning ndonyo – sing sok ngadoh – mburine tibo nelongso. Pancen apik seneng bergaul – semboyane mangan ndak mangan nek kumpul.

Sinoman Sidomulyo Rek – sing nom-noman jo’ sembrono. Sinoman Margorukun Cak – sing mbegedut musti getun. Sinoman Sidorame Ning – sing emanan isin dewe. Sinoman Sukolilo Wak – abot enteng lakonono.

Demikian lirik, irama yang syahdu dapat membangkitkan semanat persatuan, kesatuan dan guyub untuk bergotongroyong dalam nyanyian berbahasa Jawa dialeg Surabaya itu. ***

*) Yousri Nur Raja Agam M.H. – Ketua Yayasan Peduli Surabaya

Polemik Jalan Sukarno-Hatta dan Jalan Roeslan Abdulgani

Yousri Nur RA, MH

Yousri Nur RA, MH

 

SETELAH cukup lama penulis memperjuangkan agar nama Sukarno-Hatta diabadikan di Kota Surabaya, akhirnya di masa kepemimpinan Walikota H.Sunarto Sumoprawiro memperoleh sambutan yang sangat positif. Luar biasa, ternyata Cak Narto – panggilan akrab mantan Walikota Surabaya H.Sunarto Sumoprawiro – secara spontan langsung memberikan pernyataan setuju.

Oleh HM Yousri Nur Raja Agam

Usul secara lisan itu penulis sampaikan saat berada di rumah dinas walikota Surabaya di Jalan Walikota Mustajab 61 Surabaya. Pernyataan setuju Cak Narto itu disaksikan oleh Ketua Umum Yayasan Peduli Surabaya, M.Arifin Perdana dan H.Edi Sasmita yang bersama penulis sebagai tim penerbit buku “Cak Narto Peduli Wong Cilik” dan “Cak Narto Komandan para Walikota”.

Kepada Cak Narto, penulis mengungkapkan, pernah mengusulkan kepada Walikota sebelumnya, dr.H.Pornomo Kasidi, untuk mengganti Jalan Tanjung Perak Timur dan Jalan Tanjung Perak Barat sebagai Jalan Sukarno-Hatta. Di samping itu, penulis juga pernah menulis di Suratkabar Harian Sore “Surabaya Post”, 9 November 1987 tentang usulan itu. Tetapi, dengan alasan situasinya waktu itu belum memungkinkan, maka usul itupun tenggelam.

Setelah di Jakarta Bandara Internasional diberi nama Sukarno-Hatta, di Makassar pelabuhan lautnya diberi nama Sukarno-Hatta, dan di Bandung jalan lingkar selatan juga diberi nama Jalan Sukarno-Hatta, bahkan di beberapa kota juga banyak yang mengabadikan nama jalan dengan nama Sukarno-Hatta, maka penulis kembali menhadap walikota dr.H.Poernomo Kasidi dengan usul yang sama. Waktu itu, pak Pur – begitu walikota yang berprofesi dokter ini biasa disapa – menjanjikan akan memberi nama jalan lingkar timur Surabaya sebagai Jalan Sukarno-Hatta. Namun, hingga berakhir masa jabatan pak Pur, jalan lingkar timur bagian tengah yang disebut MERR (Midle East Ring Road) pun belum selesai. Bahkan, hingga akhir tahun 2006, MERR masih megalami hambatan pembebasan lahan di beberapa tempat.

 

Jalan Raya Darmo

Saking semangat dan antusiasnya untuk mengabadikan nama besar Sukarno-Hatta, Cak Narto waktu itu sertamerta menyebut, jalan yang paling tepat untuk mengabadikan nama Sukarno-Hatta di Surabaya adalah mengganti nama Jalan Raya Darmo sampai ke Jalan Embong Malang. Jadi, nama Jalan Raya Darmo, Jalan Urip Sumoharjo, Jalan Basuki Rachmat sampai Jalan Embong Malang diganti menjadi Jalan Sukarno-Hatta, katanya terbata-bata.

Tentang persetujuannya untuk segera mengabadikan nama Sukarno-Hatta sebagai nama jalan utama di Surabaya, perlu ditindaklanjuti. Besoknya Cak Narto sudah sesumbar dan membuat pernyataan di depan wartawan untuk mengganti nama Jalan Raya Darmo menjadi Jalan Sukarno-Hatta. Keinginan Cak Narto, waktu itu tahun 2001, mendapat dukungan Cak Roeslan Abdulgani, sesepuh Kota Surabaya.

Terjadi pro-kontra yang tajam sewaktu dilontarkan agar nama Sukarno-Hatta diabadikan sebagai pengganti nama Jalan Raya Darmo. Pro-kontra berkepanjangan menjadikan gagasan Cak Narto itu polemik di mediamassa. Sebagai “pembisik” dan yang menulis konsep siaran pers tentang rencana mengabadikan Jalan Sukarno-Hatta di Surabaya itu, penulis merasa punya beban dan tanggungjawab.

Prapen-Jemursari

Waktu itu, penulis minta Cak Narto bisa mundur selangkah, yakni mengarahkan yang layak diabadikan sebagai Jalan Sukarno-Hatta adalah mengganti nama Jalan Tanjung Perak Timur-Barat. Alternatif kedua adalah jalan kembar Jalan Prapen sampai Jalan Jemursari.

Ada beberapa alasan, mengapa Jalan Tanjung Perak Timur-Barat dan Jalan Prapen-Jemursari layak diganti dengan nama Sukarno Hatta.

Jalan Tanjung Perak Timur dengan Jalan Tanjung Perak Barat selama ini sudah menyatu. Khusus bagian Timur bernomor genap dan bagian barat nomor ganjil. Jalan Tanjung Perak Timur-Barat ini, adalah jalan menuju pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Pelabuhan samudra dan pelabuhan nusantara, sebagai gerbang laut Kota Surabaya dari seluruh penjuru dunia dan wilayah kepulauan nusantara.

Memang, inilah satu-satunya gerbang masuk Surabaya yang formal saat ini, yakni gerbang dari laut. Sebab, gerbang masuk kota Surabaya dari darat saat ini adalah Terminal Purabaya yang terletak di Bungurasih, Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo. Begitu pula dengan gerbang masuk dari udara, bandaranya juga berada di wilayah Sidoarjo.

Ingat! Naskah proklamasi yang dibacakan 17 Agustus 1945 dan ditandatangani proklamator Sukarno-Hatta adalah gerbang Indonesia menuju kemerdekaan. Nah, bila dikaitkan, sangat tepat jika seandainya jalan menuju gerbang laut Tanjung Perak itu dijadikan Jalan Sukarno-Hatta.

Sedangkan alternatif kedua, adalah Jalan Jemursari sampai Jalan Prapen. Jalan kembar ini, di Surabaya saat ini termasuk jalan yang bagus. Namun, ada kerancuan dalam sistem penomoran jalan ini. Seharusnya sistem penomoran jalan adalah dari arah kota menuju ke luar kota. Untuk Jalan Raya Prapen, sudah benar penomorannya diawali dari perempatan Jalan Panjang Jiwo, Jalan Jagir Wonokromo dan Jalan Nginden (jembatan). Tetapi, untuk Jalan Jemursari, penomorannya dimulai dari arah pertigaan Jalan Jenderal Ahmad Yani di bundaran Dolog dengan nomor besar bertemu dengan nomor besar Jalan Prapen.

Sekarang, karena sudah menjadi satunya Jalan Raya Prapen dengan Jalan Raya Jemursari, timbul kerancuan. Masyarakat pencari alamat bisa bingung, karena tidak ada batas yang jelas antara Jalan Prapen dengan Jalan Jemursari.

Artinya, perlu ada penertiban dan kajiulang untuk sistem penomoran jalan di Jalan Jemursari dan Jalan Raya Prapen, bahkan juga di berbagai jalan lain di Kota Surabaya ini.

Bagaimanapun juga, Jalan Jemursari-Prapen merupakan alternatif yang perlu dipertimbangkan untuk diubah menjadi Jalan Sukarno-Hatta. Karena, jalan ini di samping panjang dan lebar, juga merupakan jalan penghubung dari pintu kota ke tengah kota. Model jalan ini mungkin sama dengan Jalan Sukarno-Hatta di Kota Malang, yakni jalan yang melintas dari Blimbing ke arah Dinoyo.

Cak Narto, masih bersikukuh bahwa yang layak itu adalah Jalan Raya Darmo. Namun, hingga ajal memanggil hayatnya, nama Sukarno-Hatta tetap belum diabadikan di Kota pahlawan Surabaya.

 

Jalan Roeslan Abdulgani

 Prof.Dr.Roeslan Abdulgani, yang sudah wafat 28 Juni 2005, adalah tokoh Surabaya, tokoh pergerakan peristiwa heroik 10 November 1945 di Surabaya. Ia adalah “pahlawan” yang sertamerta dan tanpa harus menunggu persetujuan “siapa-siapa” seharusnya nama besar Cak Roeslan – demikian sapaan akrab Roeslan Abdulgani secara nasional – segera diabadikan di Kota Surabaya. Semua orang tahu, bahwa Cak Roeslan adalah tokoh nasional yang dapat bekerjasama dengan semua rezim pemerintahan sepanjang zaman. Mulai dari pemerintahan perjuangan kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi, tidak dapat dipungkiri Cak Roeslan adalah “pahlawan yang punya nama besar”.

Cak Roeslan adalah kader politik Bung Karno. Di masa pemerintahan Orde Lama, Cak Roeslan duduk dalam berbagai kabinet yang berkuasa, bahkan menjadi duta besar RI dan penasehat presiden. Hampir dalam setiap kegiatan kenegaraan, Bung Karno tidak pernah meninggalkan Cal Roeslan.

Ketika Presiden Soeharto berkuasa selama 32 tahun di masa Orde Baru, Cak Roeslan adalah “suhu” atau gurubesar Pancasila yang menjadi simbul kekuasaan Presiden Soeharto. Cak Roeslan diberi kedudukan sebagai Kepala BP7, suatu badan yang mengelola penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang sangat popular di zaman Orde Baru.

Saat Presiden BJ Habibie berkuasa melanjutkan pemerintahan yang ditinggal Presiden Soeharto, Cak Roeslan menjadi penasehat presiden. Begitu pula di masa pemerintahan Gus Dur – KH Abdurrahman Wahid – di awal Reformasi. Bahkan, ketika Presiden Magawati Soekarnoputri menjadi kepala negara, Cak Roeslan dijadikan Mega sebagai “pengganti Bung Karno”. Kepada Cak Roeslan lah Mega bertanya untuk setiap langkah politik yang akan diayunkannya.

Setelah Susilo bambang Yudhoyono menduduki jabatan presiden bersama pasangannya Jusuf Kalla, peran Cak Roeslan tetap sebagai penasehat politik pemerintahan. Cak Roeslan menjadi “kamus politiknya” SBY-Kalla, khususnya menyangkut Pancasila. Sehingga, di masa SBY-Kalla ini, kegiatan yang bernafaskan pancasila kembali digiatkan.

Cak Roeslan kini telah tiada, dan tidak salah kalau Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan pangkat “Jenderal Kehormatan” dan menempatkan jasatnya di TMP (Taman Makam Pahlawan) Kalibata, Jakarta kepada Cak Roeslan.

Nah, seharusnya nyali para petinggi dan wakil rakyat di Surabaya ini bergetar tatkala Cak Roeslan dipanggil sang Khalik. Getar hati itu sepantasnya dibuktikan dengan segera mengabadikan nama besar Jenderal (Hor) Prof.Dr.H.Roeslan Abdulgani itu di kota kelahiran dan kota perjuangannya, Surabaya. Tetapi, sayang dan sangat sayang, kepergian cak Roeslan berlalu begitu saja, tanpa ada doa “resmi” dari kita.

Penulis telah melakukan berbagai pengamatan di jalan-jalan Surabaya. Maka, Surabaya tidak akan rugi untuk mengganti salah satu nama jalan yang ada di Surabaya ini dengan nama Cak Roeslan. Jalan raya yang cukup panjang, yang layak untuk mengabadikan nama Jenderal Prof.Dr.H.Roeslan Abdulgani adalah: Jalan kembar Undaan Kulon-Wetan. Di sekitar sini sudah ada beberapa nama pahlawan dan tokoh 10 November yang diabadikan, yakni mengganti nama-nama Jalan Taman Baskoro, Taman Akoso dan sebagainya. Kalau itu tidak mungkin, alternatifnya adalah: Jalan Embong Malang atau Jalan Tidar.

 

 

Miskin Nama Pahlawan

Sebenarnya, kita malu dan malu, kalau Kota Pahlawan ini “miskin” mengabadikan nama-nama Pahlawan, tokoh masyarakat dan “orang yang berjasa”. Sudah waktunya, petinggi Kota Surabaya bersama anggota DPRD-nya mengabadikan seluruh nama Pahlawan Nasional dan “orang yang berjasa” kepada bangsa dan Kota Surabaya.

Kita haru berani berbuat, walaupun terlambat. Nama-nama jalan di Surabaya perlu dikoreksi dan diubah, tidak hanya berdasar “selera pengusaha real estate”, tetapi berdasarkan keberanian Pemkot Surabaya untuk menetapkannya. Kita harus mulai sekarang, tidak perlu ditunda lagi.

Kalau sebagian masyarakat Surabaya keberatan mengubah nama-nama jalan di pusat kota di sekitar Jalan Tunjungan menjadi nama-nama pahlawan, karena keterkaitannya dengan sejarah Surabaya, maka alternatif harus dicari. Sekali lagi, nama-nama Pahlawan Nasional dan “orang yang berjasa” harus segera diabadikan di Kota Pahlawan Surabaya ini.

Mungkin, kawasan Dharmahusada Indah, Manyar Kertoarjo dan Kertajaya Indah dapat dijadikan sebagai “proyek percontohan”. Jalan Manyar Kertoarjo bersama jalan-jalan samping diganti menjadi jalan para pahlawan “perjuangan” nasional yang belum diabadikan di Surabaya. Sedangkan kawasan Dharmahusada Indah untuk pahlawan “pergerakan” nasional dan kawasan Kertajaya Indah dengan nama para pahlawan nasional “pembela” kemardekaan.

Kendati kawasan elite di Surabaya Timur itu teratur, namun sistem penomorannya masih belum seragam. Ada yang sudah berpatokan kepada jalan raya yang di kiri bernomor ganjil dan kanan bernomor genap, tetapi secara umum sistem blok masih dipertahankan. Nantinya, kalau nama jalan itu berdasarkan nama pahlwan, tentu sistem blok akan dengan sendirinya terlupakan.

Beranikah Pemkot Surabaya berhadapan dengan pengembang yang membangun kawasan itu, juga warganya. Sebab, bagaimanapun juga untuk mengubah nama jalan perlu pengorbanan dan ada yang menjadi korban. Pengertian korban di sini adalah, perubahan berbagai administrasi, mulai KTP, KK, surat-surat penting lainnya, termasuk berbagai surat yang berkaitan dengan hukum.

Perubahan nama jalan memang bukan yang tidak biasa dilakukan. Jadi, kalau ada kemauan dan kebersamaan dengan semua pihak, niscaya perubahan nama jalan dapat dilaksanakan tanpa hambatan. Memang, untuk itu perlu ada sosialisasi yang tidak akan menimbulkan gejolak, apalagi di era reformasi ini.

Apabila “proyek percontohan” ini dapat dilaksanakan, maka banyak nama jalan lain di Surabaya yang perlu diubah menjadi nama pahlawan dan “orang yang berjasa”. Misalnya kawasan sekitar Balaikota, nama jalannya diubah menjadi nama-nama mantan walikota, seperti nama Jalan Walikota Mustajab yang sebelumnya bernama Ondomohen. Jalan Sedap Malam, Jalan Jimerto, Jalan Pacar, Jalan Kecilung, Jalan Ngemplak dan Jalan Ambengan, bisa diganti.

Nama-nama mantan gubernur Jatim, selain Gubernur Suryo, juga banyak yang layak diabadikan. Misalnya Gubernur Samadikun. Kota Malang dan Sidoarjo, bahkan sudah mengabadikan nama Gubernur Sunandar Prijosoedarmo sebagai nama jalan. Nah, di Surabaya, nama-nama mantan gubernur Jatim dapat diabadikan mengganti nama jalan yang berawal embong, seperti Embong Trengguli, Embong Wungu, Embong Sawo, Embong Tanjung dan lain-lain.

Di sekitar Masjid Al Akbar, bisa diabadikan dengan nama-nama tokoh agama Islam dan juga Kristen. Sebab, di dekat Masjid Al Akbar itu juga berdiri gereja katholik. Kita punya nama besar, yang merupakan tokoh agama Islam, seperti: KH Hasjim Asjari, KH Wahid Hasjim, Prof.Dr.HAMKA, KH Muhammad Natsir, KH Fachruddin, dan masih banyak lagi tokoh agama tingkat nasional maupun regional.

Misalnya, jalan tembus dari Jalan A.Yani ke Masjid Al Akbar dari samping pusat perbelanjaan Alfa, yakni Jalan Menanggal diubah namanya menjadi KH.Hasjim Asjari. Pertimbangannya, jalan ini melewati gedung museum NU (Nahdlatul Ulama) dan gedung Asra Nawa. Sedangkan Jalan Gayung Kebonsari (Injoko) diubah menjadi Jalan Prof.Dr.HAMKA. Pertimbangannya, di jalan itu ada gedung Rumah Gadang, Minangkabau, tempat asal Buya Hamka. Seterusnya jalan-jalan di sekitar masjid Al Akbar, yakni Jalan Gayung Sari Barat hingga Jalan Letjen Haji Sudirman, diubah menjadi nama-nama para pahlawan dan tokoh agama lainnya.

Insya Allah, tidak ada yang keberatan. Dengan demikian perwujudan arti Kota Pahlawan, benar-benar dapat dibuktikan dan diwariskan kepada generasi yang akan datang. ***