Balai Wartawan PWI Jatim di Surabaya Pindah Tiga kali

Riwayat Balai Wartawan 

PWI Jawa Timur

Oleh: Yousri Nur Raja Agam  *)

 

Yousri Nur RA,MH

Pada saat PWI dideklarasikan dan berdiri pada Kongres I di Sala, 9 Februari 1946, di Jawa Timur, yang pertama lahir adalah PWI di Kediri, disebut Kring Kediri. Menyusul PWI di Mojokerto, Malang dan Madiun. Di Surabaya sendiri, belum ada PWI, karena wartawannya ikut mengungsi, bersama pindahnya ibukota Jawa Timur ke luar kota, karena berperang melawan tentara Sekutu dan Belanda. Semula Gubernur Jawa Timur bersama staf sebagai pengendali Pemerintahan Provinsi (Pemprov) Jawa Timur tergusur ke Sepanjang Sidoarjo, lalu menyingkir ke Mojokerto, serta pindah ke Kediri. Bahkan kemudian berpindah-pindah lagi ke Malang, Blitar, Gunung Wilis, Lodoyo Blitar Selatan, Madiun dan kemudian baru kembali ke Surabaya.

            Sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI, akhirnya terwujud dengan adanya Perjanjian KMB (Komisi Meja Bundar) di Denhaag Negeri Belanda akhir tahun 1949. Gubernur beserta staf, juga kembali ke Surabaya dan ibukota Jawa Timur yang sempat mengungsi empat tahun ke luar kota, juga kembali ke tempat asalnya di Jalan Pahlawan 110 Surabaya.

Balai Wartawan PWI Pertama

Di Jalan Pahlawan Surabaya

 

            Bersamaan dengan kembalinya Ibukota Jawa Timur ke Surabaya, para wartawan dari Surabaya yang juga ikut melakukan aktivitas jurnalistik di wilayah pengungsian, juga pulang ke Surabaya. Kegiatan organisasi PWI yang sudah berjalan di Kediri, Mojokerto, Malang dan Madiun, juga diaktifkan di Kota Surabaya. Awal tahun 1950, secara resmi PWI Kring Surabaya terbentuk dan mendapat tempat sebagai sekretariat di Jalan Alun-Alun 16-18, kemudian berubah menjadi Jalan Pahlawan 16-18. Saat Jalan Pasar Besar dari arah Baliwerti sampai persimpangan Jalan Tembaan dijadikan Jalan Pahlawan, maka dialakukan penertiban Nomor Jalan Pahlawan, sehingga Nomor 16-18 berubah menjadi Jalan Pahlawan 106-108. Demikian pula dengan Kantor Gubernur Jatim, nomornya berubah dari Jalan Pahlawan 20 menjadi Nomor 110 Surabaya sekarang. Bangunan lama beserta beberapa bangunan lain, termasuk Bioskop dan Restoran Bima sudah dibongkar. Kini di atas lahan itu berdiri bangunan gedung baru, kantor Badan Perencanaan dan Pembangunan Provinsi (Bapepprov) Jatim.

Para wartawan di Balai Wartawan PWI Surabaya yang pertama di Jalan Pahlawan 16-18 (sekarang sudah dibongkar dan dibangun Gedung Bapeprov Jatim)

Para wartawan di Balai Wartawan PWI Surabaya yang pertama di Jalan Pahlawan 16-18 (sekarang sudah dibongkar dan dibangun Gedung Bapeprov Jatim)

            Sekretarian PWI Kring Surabaya, yang kemudian istilahnya berubah menjadi PWI Cabang Surabaya itu satu bangunan dengan KUP (Kantor Urusan Perumahan) Surabaya. Kantor PWI Surabaya yang sekaligus berfungsi sebagai “Balai Wartawan” Surabaya itu menempati bangunan bawah dari dua lantai bangunan. Bangunan lantai dua ditempati oleh KUP Surabaya.

Balai Wartawan PWI Kedua

Di Jalan Pemuda 42 Surabaya

 

            Tahun 1952, PWI Surabaya mendapat tempat di lantai bawah gedung Bioskop Indra, di Jalan Pemuda 42 (sekarang bernama Jalan Gubernur Suryo 42). Pindahnya kantor PWI atau Balai Wartawan Surabaya ke Jalan Pemuda ini, dibuka secara resmi dengan suatu upacara tanggal 11 November 1952. Acaranya cukup meriah, dihadiri banyak pejabat, karena sehari sebelumnya, 10 November 1952, Presiden Sukarno meresmikan Tugu Pahlawan di Surabaya. Mewakili Pemerintah Pusat, hadir Sekjen Kementerian Penerangan RI, Roeslan Abdulgani.

         

Balai wartawan PWI Surabaya di Jalan Pemuda 42 Surabaya tahun 1952-1958

Balai wartawan PWI Surabaya di Jalan Pemuda 42 Surabaya tahun 1952-1958

   Di samping sebagai Kantor PWI Cabang Surabaya, bangunan ini juga digunakan sebagai Balai Wartawan  Surabaya, sekaligus sebagai Perpustakaan Pers. Saat persemian Balai Wartawan itu, di salah satu ruangan sudah lengkap Perpustakaan Pers yang berisi lebih 200 buku, Buku-buku itu diserahkan tanggal 7 November 1952 oleh Kepala LPPU (Lembaga Pers dan Pendapat Umum) Pusat, WA van Goudoever dari Jakarta.

         

Para wartawan berdiri di depan Balai Wartawan PWI Surabaya tahun 1953

Para wartawan berdiri di depan Balai Wartawan PWI Surabaya tahun 1953

   Cukup lama para wartawan menggunakan ruangan yang satu bangunan dengan Bioskop Indra yang berlokasi di seberang Balai Pemuda yang terletak di Jalan Pemuda 15 Surabaya. Namun, karena letak Balai Wartawan ini di pinggir jalan raya, apalagi waktu itu trem (kereta api listrik) masih melewati depan gedung itu, suasananya memang ramai. Suara bising saat trem lewat sering mengganggu saat berlangsung acara jumpa pers.

 

Balai Wartawan PWI Ketiga

(Sampai Sekarang)

Di Jalan Taman Apsari 15-17 Surabaya

 

            Nah, berdasarkan ketidaknyamanan karena lalulintas waktu itu masih “double way trafic” dan trem yang hilir mudik itu, beberapa wartawan mengusulkan Balai wartawan dipindah ke tempat lain. Pada suatu hari, Singgih, Sekretaris I PWI Surabaya memberitahu kepada pengurus PWI, bahwa ada sebuah bangunan rumah “kosong” di Jalan Taman Apsari 15-17 Surabaya. Letaknya dekat arca Joko Dolok. Jadi, tidak terlalu jauh dari Balai Wartawan di Jalan Pemuda itu.

            Ketua PWI Surabaya waktu itu, Ny.Soewarni Moeljono (Pemimpin Redaksi Harian Umum) menugaskan Wakil Ketua PWI Surabaya waktu itu Stefanus RM Moestopo (Wakil Pemimpin Redaksi Harian Java Post) untuk mengurus bagaimana cara mendapatkan gedung itu. Diperoleh informasi, bahwa gedung itu berada di bawah kekuasaan NV Intern Cred & Hvg Rotterdam, sebuah perusahaan Belanda yang diberi kuasa oleh pemilik bangunan di  Gedung Internatio, Jalan Taman Jayengrono 1, kawasan Jembatan Merah Surabaya..

            Sesuai dengan prosedur di masa itu, semua bangunan milik Belanda berada di bawah penguasaan militer yang disebut KMKB (Komando Militer Kota Besar) Surabaya — sekarang disebut Korem (Komanando Resimen Militer). Ny.Soewarni bersama Moestopo menemui Komanda KMKB Surabaya Letkol Soenjoto. Dari pertemuan itu, dinyatakan oleh Soenjoto bahwa bangunan di Jalan Taman Apsari 15-17 boleh digunakan untuk Balai Wartawan PWI Cabang Surabaya dengan cara ruilslag atau tukar-menukar. Kemudian disepakati, PWI menyerahkan Balai Wartawan di Jalan Pemuda 42 kepada KMKB Surabaya dan KMKB Surabaya menyerahkan bangunan di Jalan Taman Apsari 15-17 Surabaya kepada PWI Cabang Surabaya.

            Setelah melalui proses yang cukup rumit, karena waktu itu gedung di Jalan Taman Apsari 15-17 itu masih ditempati oleh tiga keluarga. Dua keluarga adalah karyawan NV.Internatio dan satu keluarga karyawan PLN (Perusahaan Listrik Negara). Ke tiga keluarga itu kemudian memperoleh ganti rumah yang yang lain melalui KUP (Kantor Urusan Perumahaan) Surabaya.

            Akhirnya, berdasarkan Surat Keterangan Penempatan dari KMKB No.632/VIII/1958 tanggal 25 Agustus 1958, keluarlah Surat Izin Penempatan (SIP)  dari Kantor Urusan Perumahan Surabaya No, K.1476 tanggal 12 Desember 1958 yang ditandatangani Kepala KUP Surabaya M.Oeripan Soetopo.

            Sejak diterimanya SIP dari KUP Surabaya itu, maka resmilah gedung di Jalan Taman Apsari 15-17 Surabaya dikuasai PWI Cabang Surabaya (sekarang PWI Jawa Timur) yang digunakan sebagai Sekretariat PWI dan Balai Wartawan Surabaya. Sampai sekarang, gedung ini masih dikelola oleh PWI Jawa Timur dan sejak tanggal 9 Februari 1985 diberi nama Gedung Pers A.Azis.

Status Bangunan

            Untuk diketahui oleh para wartawan dan pengurus PWI Jawa Timur saat ini dan masa yang akan datang, bahwa tahun 1992, penggunaan gedung PWI Jawa Timur ssebagai Balai Wartawan pernah “diungkit-ungkit” sebagai aset PT (Persero) Aneka Gas Industri Cabang Surabaya.

            Dengan surat No.460/CSb-Um/VII/92 tanggal 15 Juli 1992, Kepala PT Aneka Gas Industri Cabang Surabaya, Ir.Iskandar Yuwono mengirim surat kepada Pengurus Balai Wartawan Cabang Surabaya (diterima oleh Pengurus PWI Cabang Jawa Timur). Pada pokok surat itu, PT Aneka Gas Industri “menagih” sewa rumah di Jalan Taman Apsari 15-17 Surabaya itu, terhitung sejak tahun 1958 dengan pembayaran Rp 500,- per bulan sampai tahun 1992 (waktu itu). Waktu itu, sewa yang ditagih sebesar Rp 217 juta.

            Dalam lampiran surat itu disebutkan, dasar penarikan sewa rumah di Jalan Taman Apsari 15-17 Surabaya itu, karena bangunan itu tercatat sebagai aset PT.Aneka Gas Industri. Dinyatakan, bahwa PT.Aneka Gas Industri adalah pengalihan dari PN Asam Arang,  yang di zaman Belanda bernama NV.Javasche Koolzuurfabriek. Juga ada lampiran yang menyebutkan beberapa surat tentang SIP (Surat Izin Penempatan) dari Kantor Urusan Perumahan Surabaya dan Surat dari Dinas Perumahan Daerah Surabaya.

            Nah, setelah menerima surat itu, Ketua PWI Jatim waktu itu Dahlan Iskan  mengadakan rapat pengurus PWI Jatim. Diputuskan untuk mengurus masalah yang disebutkan pada surat dari PT.Aneka Gas Industri, diserahkan kepada dua wakil ketua, yaitu: Hadiaman Santoso (Wk,Ketua Bid.Organisasi) dan Yousri Nur Raja Agam (Wk.Ketua bid.Pendidikan). Saat itu memang PWI tidak mempunyai satu lembar pun bukti tentang status gedung Balai Wartawan. Mungkin karena peralihan kepengurusan yang lama dan situasi administrasi yang belum baik, maka dokumen penting itu tidak ditemukan di dalam arsip inventaris PWI Jawa Timur.

            Hadiaman dan Yousri mempelajari surat itu. Kemudian Hadiaman menugaskan Yousri melakukan konfirmasi kepada Kepala PT.Aneka Gas Industri Cabang Surabaya, Iskandar Yuwono. Dari hasil konfirmasi itu, kemudian dilanjut dengan menghubungi Kepala Dinas Perumahan Daerah Surabaya. Diperoleh penjelasan, bahwa PWI merupakan pemegang SIP yang sah dari Kantor Urusan Perumahan yang berubah namanya menjadi Dinas Perumahan Daerah Kotamadya Surabaya. Dalam catatan yang ada di Dinas Perumahan, tanah dan bangunan di Jalan Taman Apsari 15-17 itu dulu pemiliknya perusahaan Belanda bernama NV.Javasche Kuulzuur Fabriek.

            Ada hikmah yang luar biasa bagi PWI Cabang Jawa Timur dari kasus ini. Memang, sebelumnya pengurus PWI Jawa Timur sama sekali tidak tahu status tanah dan bangunan Jalan Taman Apsari 15-17 Surabaya yang digunakan sebagai Sekretariat dan Balai Wartawan PWI Jawa Timur. Betapa tidak, sebab dengan adanya “kasus” ini, Yousri berhasil memperoleh berkas berupa fotokopi dari Dinas Perumahan Kota Surabaya.

            Dalam berkas itu, ditemukan nama seorang wartawan senior Moestopo (Wartawan Buana Minggu) yang masih aktif. Pada tahun 1958 itu Moestopo adalah Wakil Ketua PWI Cabang Surabaya (Jawa Timur). Setelah diperlihatkan berkas fotokopi itu, Moestopo merasa senang, sebab selama ini berkas tentang status tanah dan bangunan gedung Jalan Taman Apsari 15-17 Surabaya hilang. Mengacu kepada berkas berupa fotokopi itu, Moestopo bernostalgia dan b ersedia memberi kesaksian tentang Balai Wartawan PWI Jawa Timur ini.

            Ketua PWI Jawa Timur Dahlan Iskan menugaskan kepada Hadiaman dan Yousri untuk memberikan informasi tentang surat dari PT.Aneka Gas Industri dan temuan berkas dari Dinas Perumahan Kota Surabaya itu kepada para wartawan. Beberapa mediamassa memberitakan tentang Balai Wartawan PWI Jatim ditagih sewa oleh PT.Aneka Gas Industri Cabang Surabaya. Pengurus PWI Jawa Timur sepakat untuk tidak mananggapi surat dari PT.Aneka Gas Industri itu. Berbagai reaksi muncul, sampai akhirnya Gubernur Jawa Timur (waktu itu) H.Soelarso, memberi jaminan dan minta agar PWI Jatim “mengabaikan” penagihan sewa yang dilakukan PT.Aneka Gas Industri Cabang Surabaya tersebut.

            Dengan adanya ketegasan pengurus PWI Jawa Timur dan jaminan Gubernur Jawa Timur H.Soelarso itu, persoalan surat tagihan sewa dari PT.Aneka Gas Industri itu mereda.

            Tahun 2013 lalu, pengurus melaporkan keadaan dan kondisi bangunan gedung Balai Wartawan PWI Jawa Timur ini kepada Gubernujr Jatim Dr.H.Soekarwo. Pengurus yang dipimpin ketua Akhmad Munir, mengharapkan kepada Pemprov Jatim untuk membantu perbaikan dan renovasi bangunan yang beberapa bagian sudah mulai rusak. Setelah dilakukan penelitian dan penilaian kondisi gedung yang sudah berusia tua, yang diperkirakan dibangun tahun 1930-an,  akhirnya disetujui untuk dilakukan perbaikan dan renovasi. Maka dibuatlah perencanaan dan penyusunan anggaran. Tahun 2014 ini, bangunan Balai Wartawan PWI Jawa Timur diperbaiki dan direnovasi.

            Pesan kami, jangan sampai lahan dan gedung Balai Wartawan PWI Jawa Timur di Jalan Taman Apsari 15-17 yang bernama “Gedung Pers A.Azis” sampai beralih fungsi, apalagi beralih penguasaan dan kepemilikan ke pihak lain. (**)

*) Wartawan Penulis Buku Riwayat Surabaya Rek (2013)

Tragis! Sukarno Hatta “Cerai Paksa” di Kota Pahlawan Surabaya

RENUNGAN DI HARI PAHLAWAN

Tragis!

Dwi Tunggal Sukarno-Hatta

Cerai Paksa di Kota Pahlawan

 

Yousri Nur RA, MH.

 

Oleh: HM Yousri Nur Raja Agam *)

 

 

DULU di bebarapa media, berulangkali saya menulis judul: “Ironis! Kota Pahlawan Miskin Nama Pahlawan” atau “Ironis Nama Sukarno-Hatta Belum Diabadikan di Kota Pahlawan”, dan beberapa judul lagi yang senada.

Memang, di Indonesia, hanya Kota Surabaya satu-satu yang berjuluk Kota Pahlawan, namun perwujudan makna kepahlawanan itu sangat dangkal. Kepahlawanan hanya diterjemahkan dari peristiwa heroik yang terjadi di sekitar tanggal 10 November 1945 yang membawa korban jiwa terhadap ribuan Arek Suroboyo.

Padahal, seyogyanya, pengertian pahlawan itu diwujudkan dengan menjadikan Kota Surabaya ini sebagai “kamus kepahlawanan”. Surabaya dapat dijadikan sebagai museum kepahlawanan yang berskala nasional. Bahkan, kalau memungkinkan diangkat menjadi “Kota Pahlawan Internasional”.

Dalam sejarah, “tewas”-nya salah seorang pimpinan militer Inggeris, Jenderal Mallaby, bagi kita merupakan suatu “kemenangan”. Tetapi, bagi sekutu, dia adalah pahlawan yang “gugur” dalam kancah berjuang demi negaranya dan kepentingan dunia internasional

Suatu hal yang sangat memprihatinkan, adalah kurangnya minat dan perhatian para petinggi di Kota Surabaya ini untuk menampung aspirasi warganya. Salah satu di antaranya, ialah usul-usul warga untuk sebanyak mungkin mangabadikan nama-nama pahlawan di Surabaya. Terlalu berbelitnya prosedur untuk memberi nama pahlawan pada suatu jalan. Bahkan, sangat tidak mudah mengganti nama jalan yang sudah ada dengan nama jalan baru.

Dengan berbagai upaya dan cara, saya sebagai penulis di beberapa suratkabar dan majalah yang terbit di Indonesia, mengungkap kehebatan Surabaya sebagai Kota Pahlawan. Di sana saya menyinggung, sikap abai para petinggi di kota ini untuk menyesuaikan diri dengan julukan Kota Pahlawan itu. Apalagi, sangat lambannya keinginan untuk mengabadikan nama Dwitunggal Sukarno-Hatta selaku Pahlawan Nasional Proklamator Kemerdekaar Repubilik Indonesia di kota kelahiran Bung Karno ini.

Monumen Dwitunggal Sukarno-Hatta di gerbang Taman Tugu Pahlawan Surabaya.

Kendati kemudian terwujud pemberian nama Jalan Sukarno-Hatta untuk jalan baru lingkar timur bagian tengah atau MERR (Midle East Ring Road), di akhir masa jabatan Walikota Surabaya, Bambang DH.  DPRD Kota Surabaya, pada sidang paripurna 17 April 2010 menyetujui nama Jalan Sukarno-Hatta sejak dari pertigaan Jalan Kenjeran menuju ke selatan sampai ke perbatasan Surabaya-Sidoarjo. Peraturan Walikota Surabaya ditandatangani oleh Walikota Surabaya “yang baru” Ir.Tri Rismaharini yang menggantikan Bambang DH tanggal 24 November 2010.

Saya sebagai penulis yang sudah berulangkali menulis artikel dan kritikan ini merasa gembira. Ternyata walikota perempuan pertama di Kota Surabaya ini juga sangat peduli kepada Proklamator kemerdekaan RI itu. Bahkan, secara resmi mengeluarkan Surat Keputusan Walikota Surabaya, memberi nama jalan sejak dari pertigaan Jalan Kenjeran ke selatan sepanjang jalan MERR itu sampai ke perbatasan Surabaya dengan Kabupaten Sidoarjo.

Keputusan Walikota Surabaya Nomor 188.45/501/436.1.2/2010 itu menetapkan  tentang nama Jalan Sukarno-Hatta di Kota Surabaya sepanjang 10.925 meter. Jalan ini berawal di pertigaan Jalan Kenjeran melintasi: Jl. Kalijudan, Jl. Mulyorejo, Jl. Dharmahusada Indah, Jl. Dharmahusada, Jl. Kertajaya Indah, Jl. Kertajaya Indah Timur, Jl Arif Rahman Hakim, Jl. Semolowaru, Jl. Semampir Kelurahan, Jl. Semampir Tengah, Jl. Semampir Selatan, Jl. Medokan Semampir, Jl. Kedung Baruk Raya/Jagir, Jl. Wonorejo/Jagir, Jl. Baruk Utara, Jl. Penjaringan Sari, Jl. Kedung Asem, Jl. Pandugo, Jl. Rungkut Madya, Jl. Gunung Anyar Tambak, berbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo.

Namun, sungguh malang nasib Dwitunggal Sukarno-Hatta itu. Justru di Kota Pahlawan ini, Pahlawan Proklamator lambang pemersatu bangsa itu, dipisah. Walikota melakukan “cerai paksa” terhadap Sukarno-Hatta. Jalan Sukarno-Hatta itu tidak berumur panjang. Perceraian ke dua tokoh sentral Kemerdekaan Indonesia itu dilakukan tanpa persetujuan DPRD Kota Surabaya yang sudah mengesahkan Perda (Peraturan Daerah) tentang pemberian nama jalan Sukarno-Hatta untuk jalan MERR itu. Jalan Sukarno-Hatta itu pun diganti menjadi Jalan Dr.Ir.H.Soekarno, tanpa menyebut nama Hatta atau Muhammad Hatta dengan  Keputusan Walikota Surabaya No.188.45/86/436.1.2/2011.

Dengan janji yang sangat muluk, seolah-olah akan menjadi walikota sepanjang masa, Tri Rismaharini, menyatakan nanti nama Jalan Dr.H.Muhammad Hatta akan dipasangkan di MWRR (Midle West Ring Road), yaitu jalan lingkar barat bagian tengah, di Surabaya Barat. Padahal, jalan itu entah kapan akan digarap, apalagi selesai. Maka, di Kota Pahlawan inilah Bung Karno berjalan sendiri tanpa kehadiran Bung Hatta. Tragis!

Dalih yang tidak masuk akal, konon perubahan nama itu gara-gara nama Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng, Jakarta, sering disingkat “Soeta”. Jadi, khawatir nanti Jalan Sukarno-Hatta di Surabaya itu disingkat Jalan Suta atau Seoata.

Tidak itu saja dalih yang saya dengar, katanya, di Bukittinggi, Sumetera Barat, di kota kelahiran Bung Hatta, nama Soekarno dengan Hatta juga dipisah. Saya tahu persis, justru, di Bukittinggi itu, Jalan Soekarno-Hatta panjang sekali. Jalan raya Sokarno-Hatta itu, mulai dari dekat rumah kelahiran Bung Hatta, di Pasar bawah Bukittinggi, di dalam kota sampai menuju luar kota, ke Kecamatan Baso Kabupaten Agam terus ke Kabupaten Lima Puluh Kota sampai masuk Kota Payakumbuh. Jadi, Jalan Soekarno-Hatta di Bukittinggi itu merupakan jalan raya dari dalam kota Bukittinggi terus sampai ke Payakumbuh. Tidak tanggung-tanggung, jalan raya Soekarno-Hatta di tanah kelahiran Bung Hatta panjangnya sambung-bersambung dari dua kota dan dua kabupaten.

 

Ditolak DPRD Surabaya

Pemaksaan “cerai paksa” yang dilakukan oleh Walikota Surabaya itu ditolak DPRD Surabaya. Dalam rapat Pansus Pengubahan Nama Jalan DPRD Surabaya, Eddy Budi Prabowo anggota pansus dari Fraksi Partai Golkar mengatakan Pemkot sebaiknya tidak terburu-buru mengubah nama jalan itu.

Alasannya, nama dua proklamator secara historis adalah satu kesatuan. Memisahkannya jadi dua nama jalan berbeda dapat menimbulkan polemik, apalagi saat ini tensi politik di Surabaya meninggi.

Maduki Toha, anggota Pansus dari FKB menilai kebijakan Walikota ini terburu-buru karena belum tentu jalan lingkar Barat bisa cepat dibangun.

“Bahkan bisa saja tidak dibangun. Jika ini terjadi, maka hanya ada nama Jl. Bung Karno saja. Kasihan Bung Karno sendirian tidak ada Bung Hatta,” katanya.

Masduki bersikukuh mengusulkan agar nama jalan diubah menjadi Jl. Soekarno-Hatta Timur, sehingga kalau nanti dibangun lingkar Barat, bisa disesuaikan jadi Jl. Soekarno-Hatta Barat.

 

Nama Sukarno-Hatta

Kalau boleh saya mengungkap masa lalu, boleh disebut lebih ironis lagi ketika di masa Orde Baru. Hampir tidak ada upaya dari Pemkot Surabaya untuk mengabadikan nama besar Pahlawan Nasional, Proklamator Sukarno-Hatta di Kota Pahlawan ini. Saat saya, menyampaikan usul kepada Walikota Surabaya, H.Poernomo Kasidi tahun 1986 agar nama Proklamator Sukarno-Hatta diabadikan di Surabaya, sikap saya selaku penulis dianggap terlalu “berani”.

Pak Pur – begitu walikota yang bertitel dokter itu dipanggil – sembari berbisik mengatakan, jangan dulu. Alasannya, menyebut nama Bung Karno di era Orde baru itu cukup sensitif. Namun, pada tahun 1986 itu Presiden Soeharto, justru mengeluarkan penetapan tentang Dr.Ir.H.Sukarno dan Dr.Mohammad Hatta sebagai Pahlawan Nasional dengan Kepres 081/TK/Tahun 1986 tertanggal 23 Oktober 1986.

Sambutan beberapa pejabat pemerintahan di Indonesia cukup positif. Bandara Cengkareng yang merupakan pengalihan dari Bandara Kemayoran diberi nama Bandara Internasional Sukarno-Hatta. Di Ujungpandang yang kembali bernama Makassar, pelabuhan lautnya diberi nama Sukarno-Hatta. Di Bandung, jalan lingkar selatan yang baru dibangun diberi nama Jalan Sukarno-Hatta.

Beberapa kota di Indonesia sertamerrta mengabadikan nama Proklamator Kemerdekaan RI itu sebagai nama jalan maupun nama taman, serta gedung bersejarah lainnya. Tidak ketinggalan pula di Jawa Timur, seperti Kota Malang, mengabadikan nama Sukarno-Hatta untuk jalan baru yang menghubungkan daerah Blimbing ke Dinoyo. Bahkan, di Kota Pasuruan dan di Bangkalan di Madura nama Jalan Sukarno-Hatta diabadikan di poros utama kota itu.

Secara resmi saya menulis surat kepada Walikota Surabaya, langsung ke tangan Pak Pur. Isi surat itu, agar nama Proklamator Sukarno-Hatta diabadikan di Surabaya dengan alternatif pertama mengganti nama Jalan Perak Timur dan Perak Barat sebagai Jalan Sukarno-Hatta. Alasan penulis waktu itu, karena jalan kembar itu menuju gerbang laut Surabaya, yakni Pelabuhan Tanjung Perak.

Ingat, Sukarno-Hatta sebagai Proklamator Kemerdekaan RI adalah Dwitunggal yang mengantar Bangsa Indonesia ke gerbang masa depan yang bebas dari penjajajah. Nah, Surabaya memang hanya punya satu gerbang masuk kota, yakni Tanjung Perak. Gerbang masuk dari udara dan darat Kota Surabaya, ada di Kabupaten Sidoarjo, yakni Bandara Juanda dan sekarang juga terminal Purabaya di Bungurasih, Waru.

Setelah usul itu tenggelam begitu saja di kantong walikota Poernomo Kasidi, penulis berupaya menanyakan dan mendesak. Ternyata, saya dibentak. Tidak puas dengan sikap sang walikota, penulis membuat artikel di Harian “Surabaya Post” pada tanggal 9 November 1989 dalam rangkaian peringatan Hari Pahlawan.

Sebagai penulis artikel, saya berusaha memberi gambaran, bahwa pintu gerbang kota Surabaya ini “hanya satu” yakni dari laut di Tanjung Perak. Sedangkan gerbang kota melalui darat ada di Bungurasih, Waru, Sidoarjo dan gerbang udara ada di Bandara Juanda, Sidoarjo. Untuk itulah, karena Sukarno-Hatta sebagai proklamator yang mengantarkan bangsa Indonesia ke gerbang kemerdekaan, maka penulis mengusulkan nama Jalan Tanjung Perak Barat dan Jalan Tanjung Perak Timur diubah menjadi Jalan Sukarno-Hatta

Setelah tulisan itu turun di koran terbesar di Surabaya waktu itu, saya dipanggil beberapa pejabat Pemda Kodya Surabaya (waktu itu). Ada yang mendukung dan ada yang menolak dengan alasan perlu ada Perda (Peraturan Daerah). Waktu itu, beberapa anggota DPRD Surabaya yang setuju, tetapi ada yang tidak. Alasannya, macam-macam. Di antaranya berdalih belum ada tempat yang pas untuk mengabadikan nama Sukarno-Hatta di Surabaya. Bahkan yang cukup berkesan, saya dipanggil oleh staf intel Kodam V Brawijaya, meminta penjelasan tentang tulisan di Surabaya Post itu.

Ketika ada rencana pembangunan  jalan lintas timur bagian tengah yang disebut MERR (Midel East Ring Road), ada yang menginginkan nantinya apabila proyek MERR itu jadi, maka nama jalan itu adalah Jalan Sukarno-Hatta. Ternyata MERR yang semula terbengkalai alias mangkrak, tahun 2005 lalu sebagian sudah selesai, termasuk jembatan yang melintas di atas Kali Jagir Wonokroromo sampai ke wilayah Kedung Baruk, di Kecamatan Rungkut.

Kabarnya, kalangan veteran pejuang kemerdekaan dan Angkatan 45 juga pernah mengusulkan jalan raya dari ITS sampai ke viaduk Jalan Sulawesi, yakni Jalan Kertajaya Indah, Manyar Kertoarjo sampai Jalan Kertajaya diganti menjadi Jalan Sukarno-Hatta. Itu juga tidak mendapat tanggapan dari eksekutif dan legislatif.

 

Pro-Kontra

Keinginan saya agar nama Sukarno-Hatta diabadikan di Kota Pahlawan ini kembali menggebu-gebu. Setelah di Harian “Surabaya Post”, beberapa tulisan tentang perlunya Surabaya mengabadikan nama Sukarno-Hatta di Surabaya, saya turunkan di Majalah Gapura (majalah resmi Pemkot Surabaya), tabloid Teduh, SKM Palapa Post, tabloid Metropolis dan Majalah DOR. Ketika saya mempunyai kesempatan yang “sangat baik” dengan Walikota Surabaya H.Sunarto Sumoprawiro, kumpulan tulisan dan artikel ini penulis serahkan kepada Cak Narto – panggilan sang walikota.

Luar biasa, Cak Narto menyambut baik ide untuk pengabadian nama proklamator ini. Saking bersemangatnya, Cak Narto sertamerta menginginkan nama jalan yang layak untuk sang Proklamator adalah mengganti nama Jalan Raya Darmo. Cak Narto waktu itu mengabaikan usul saya agar nama Sukarno-Hatta diabadikan dengan alternatif pertama mengganti nama Jalan Tanjung Perak Timur-Barat dan alternatif kedua sebagai pengganti Jalan Prapen Jemursari (mulai dari perempatan di Jembatan Bratang sampai ke Jalan A.Yani di bundaran Dolog.

Akibat keinginan Cak Narto mengganti nama Jalan Raya Darmo menjadi Jalan Sukarno-Hatta, timbul pro-kontra yang luar biasa di mediamassa. Padahal keinginan Cak Narto mendapat dukungan dari tokoh Surabaya, Prof.Dr.H.Roeslan Abdulgani atau Cak Roeslan. Namun upaya saya agar nama Sukarno-Hatta diabadikan di Surabaya kembali terganjal, bersamaan dengan “kasus walikota Surabaya”, sampai akhirnya Cak Narto sakit dan meninggal dunia di Australia tahun 2002. Begitu juga, Cak Roeslan juga sudah wafat, 28 Juni 2005 lalu di Jakarta.

Bagaimanapun juga, ketika Walikota Surabaya dijabat Drs.Bambang Dwi Hartono,MPd, saya mengharapkan carapandang yang berbeda. Mungkin, waktu yang paling tepat untuk mengabadikan nama Sukarno-Hatta di Surabaya, saat Presiden RI masih dijabat oleh Megawati Sukarnoputri dan diresmikan sendiri oleh anak kandung Bung Karno waktu itu.

Saya mengharapkan, sebagai seorang nasionalis, Bambang DH yang waktu itu juga Ketua DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Kota Surabaya, tentu sangat tepat kalau momen peringatan Hari Jadi Surabaya, 31 Mei 2003 atau peringatan Hari Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 2003 atau peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2003 ditandai dengan pengabadian nama Sukarno-Hatta di Kota Pahlawan Surabaya. Namun, waktu yang baik itu berlalu begitu saja. Kelihatan nyali dan kemauan politik Bambang DH sama sekali masa bodoh untuk mengabadikan nama sang Proklamator Soekarno-Hatta.

Padahal, wakt u itu sebenarnya ada dua ikatan emosional yang bisa dibangun. Selain bambang DH yang aktivis PDI-P, wakilnya Arif Afandi berasal dari Blitar, tempat asal orang tua Bung Karno. Perpaduan Bambang DH-Arif Afandi itu bisa dengan mudah mewujudkan pengabadian nama Sukarno-Hatta.

Alhamdulillah, perasaan warga kota Surabaya terobati, di masa akhir jabatannya sebagai walikota, Bambang DH bersama DPRD Kota Surabaya, tanggal 27 April 2010  sepakat memberikan nama jalan lingkar timur bagian tengah atau MERR menjadi Jalan Sukarno-Hatta. Kata-kata “Ironis!” yang selama ini disandang Kota Pahlawan yang lamban mengabadikan nama Sukarno-Hatta menjadi berubah.

Namun, seperti saya tulis di atas, sungguh malang nasib Dwitunggal Sukarno-Hatta itu. Justru di Kota Pahlawan ini, setelah terwujud pasangan pemersatu bangsa itu menjadi satu, lalu dipisah. Walikota melakukan “cerai paksa” terhadap Sukarno-Hatta. Jalan Sukarno-Hatta itu tidak berumur panjang. Tanpa persetujuan DPRD Kota Surabaya yang sudah mengesahkan Perda (Peraturan Daerah) tentang pemberian nama jalan Sukarno-Hatta, sertamerta Jalan Sukarno-Hatta itu pun diubah menjadi Jalan Dr.Ir.H.Soekarno, tanpa menyebut nama Hatta atau Muhammad Hatta.

Tri Rismaharini, menyatakan nanti nama Jalan Dr.H.Muhammad Hatta akan dipasangkan di MWRR (Midle West Ring Road), yaitu jalan lingkar barat bagian tengah, di Surabaya Barat. Padahal, jalan itu entah kapan akan digarap, apalagi selesai.

Sekali lagi saya ulangi, “Sungguh tragis! Justru di Kota Pahlawan inilah Bung Karno berjalan sendiri tanpa kehadiran Bung Hatta.” ***

*) Penulis adalah Wartawan berdomisili di Surabaya

Surabaya Kota Pendidikan

Yousri Nur RA MH

Yousri Nur RA MH

Surabaya Juga Berjuluk

Kota Pendidikan

Oleh: Yousri Nur Raja agam M.H. *)

SURABAYA yang berjuluk Kota Pendidikan, sebagai penjabaran dari Indamardi (Industri, Perdagangan, Maritim dan Pendidikan) atau Budi Pamarinda (Budaya, Pendidikan, Pariwisata, Maritim, Industri dan Perdagangan), memang layak. Tidak dapat dipungkiri, bahwa sejak kelahiran Surabaya, telah berkembang berbagai macam pendidikan di kota ini.

Sejarah pendidikan di Surabaya, cukup panjang. Usianya juga hampir sama dengan usia Kota Surabaya. Pengertian pendidikan cukup luas dan pendidikan itu juga sudah ada sejak zaman prasejarah. Di mana kedua orangtua, ayah dan ibu serta lingkungan keluarga berperan sebagai guru. Pendidikan berkembang di sekitar keraton dengan munculnya empu sebagai guru.

Nah, di Surabaya sebagai tempat bermukim berbagai suku, etnis dan agama, bentuk pendidikan juga mengandung corak yang beragam. Berawal dari sistem pendidikan zaman Hindu dan Budha, lalu berkembang ke pendidikan cara Islam dan model pendidikan zaman Belanda sampai alam merdeka sekarang ini. Dari urut-urutan sejarah pendidikan itu, Surabaya sudah memerankannya sejak awal. Khususnya saat awal kelahiran Surabaya, berkembang pendidikan Islam yang digurui oleh Raden Rahmat atau Sunan Ampel.

Pendidikan model pesantren yang dikembangkan Sunan Ampel telah membuat Surabaya sebagai pusat pendidikan di Tanah Jawa. Dari Surabaya segala macam ajaran dikembangkan melalui delapan sunan lainnya yang tergabung dalam Wali Songo. Sebagai sunan tertua, Sunan Ampel menjadi mahaguru di kalangan sunan dan para pengikut ajaran Islam waktu itu. Keberhasilan Sunan Ampel membina pendidikan umat, mempunyai daya tarik pula bagi daerah lain untuk menimba ilmu dari Surabaya. Inilah awal, Surabaya melandasi keberadaannya sebagai kota pendidikan

Surabaya bak menara gading tempat membina para cendekiawan dan kaum intelektual. Jumlah penduduk Surabaya terus bertambah, selain menimba pendidikan, juga meningkatkan kehidupan melalui dunia industri, perdagangan dan maritim.

Zaman berubah dan musimpun berganti. Kemudian Indonesia memasuki era penjajahan Kolonial Belanda. Di sini, di samping berkembangnya kegiatan ekonomi, kegiatan meningkatkan diri dalam dunia pendidikan juga bermunculan. Kalau masyarakat pribumi sudah dilandasi ilmu pengetahuan yang berkiblat ke Islam, maka tahun 1820, Belanda mendirikan ELS (Europeesche Lagere School) di Surabaya.

ELS adalah sekolah tingkat rendah yang lama pendidikannya 7 tahun. Tidak hanya anak-anak Balanda yang sekolah di ELS, tetapi juga banyak kaum pribumi dari golongan ningrat dan priyayi. Sekolah lanjutan tingkat menengah baru ada setengah abad kemudian, yakni berdirinya HBS (Hogere Burger School) di Surabaya tahun 1875 dengan lama pendidikan 5 tahun. Pada tahun 1893, sekolah untuk penduduk pribumi dipecah menjadi dua jenis. Yang pertama disebut Sekolah Dasar Kelas Satu (De Scholen der eeste Klasse) untuk putera-putera bangsawan tinggi dan Sekolah Dasar Kelas Dua (De Scholen der tweede Klasse) untuk anak-anak bumiptera biasa.

Berkembangnya kegiatan indsutri dan perkebunan di wilayah Jawa Timur, menurut buku Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Timur yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) Jawa Timur 1986, maka berdirilah berbagai jenis pendidikan di Surabaya. Sekolah tukang yang berdiri di Surabaya ini menghasilkan tenaga tukang dan buruh yang mampu mengoperasikan mesin-mesin pabrik. Selain di Surabaya, pada tahun 1878 Pemerintah Belanda mendirikan Sekolah Raja (Hoofen School) di Probolinggo yang dikhususkan untuk anak-anak bumiputera keturunan bangsawa untuk dijadikan pegawai administrasi pendidikan. Sekolah ini berkembang menjadi OSVIA (Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren) tahun 1900 dan kemudian berubah menjadi MOSVIA (Middelbare Opleidings School voor Inlandsche Ambtenaren).

Saat Pemerintahan Kota Surabaya mulai terbentuk, dunia pendidikan menengah sudah mulai berkembang. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan, pada tahun 1913 didirikan Sekolah Dokter Hindia atau NIAS (Nederlands Indische Artsen School) di Surabaya. Inilah cikal bakal Universitas Airlangga (Unair) sekarang ini.

Selain ada sekolah rendah ELS, juga ada HIS (Hollandsch Inlandsche School) dan sekolah menengah umum setingkat SMP, seperti MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) dan setingkat SMU, yakni: HBS (Hoogere Burgere School). Sekolah persiapan untuk memasuki pendidikan tinggi, di antaranya: AMS (Algemene Middelbare School) dan VHO (Voorbereidend Hoger Onderwijs). Sedangkan untuk sekolah kejuruan, cukup banyak, seperti: MHS (Middelbare Handels School) atau sekolah dagang menengah dan STOVIT (School tot Opleiding van Indische Tandartsen) atau Sekolah Kedokteran Gigi. Ada lagi pendidikan teknik bernama Koningen Emma School (KES) dan MTS (Middelbare Technische School).

Untuk mengimbangi perkembangan penduduk dan tumbuhnya berbagai jenis sekolah, terutama yang didirikan kaum pribumi yang beragama Islam, Pemerintah Kolonial Belanda mulai mendirikan sekolah-sekolah Kristen. Ada yang dilakukan pihak Zending untuk Kristen Protestan dan pihak Missie untuk Roma-Katholik.

Di Surabaya lebih banyak sekolah didirikan oleh Missie yang mendirikan sekolah-sekolah dasar. Seperti: SD St.Aloysius tahun 1862, SD St.Angela tahun 1863, SD Stela Ursula tahun 1864. Awalnya yang diterima di sekolah ini adalah anak-anak orang kaya, tetapi lambat laun juga menerima anak-anak orang biasa.

Melihat perkembangan pendidikan di Surabaya pada awal abad 20 itu, gaya pendidikan di Indonesia sudah mengenal gaya Barat. Namun perkembangan untuk pendidikan yang dikelola pribumi atau bumiputera, tetap masih pada pendidikan rendah yang menggunakan bahasa daerah atau Indonesia. Sementara pendidikan menengah dan tinggi menggunakan bahasa pengantan bahasa Belanda.

Sebagai reaksi terhadap sistem pendidikan semacam itu, maka lahirlah pendidikan nasional di kalangan pribumi. Misalnya tahun 1925 lahir lembaga pendidikan Taman Siswa Cabang Surabaya. Begitu pula organisasi-organisasi pergerakan Islam, seperti NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah juga meningkatkan pendidikan umum, selain tetap mengembangkan pendidikan model pesantren.

Namun sistem pendidikan yang membedakan pengajaran model Barat dan pribumi itu berakhir setelah Jepang berkuasa di Indonesia. Pada waktu itu, hanya ada satu jenis sekolah untuk semua lapisan masyarakat, yakni SR (Sekolah Rakyat) 6 tahun (Kakumin Gakko), SMP (Sekolah Menengah Pertama) 3 tahun (Shoto Chu Gakko) dan SMT (Sekolah Menengah Tinggi) 3 tahun (Koto Chu Gakko). Sedangkan sekolah guru ada tiga macam, yakni: Sekolah Guru 2 tahun, Sekolah Guru 4 tahun dan Sekolah Guru 6 tahun.

Pada zaman Jepang ini pendidikan NIAS di Surabaya dihapus dan digabungkan ke Ika Daigaku (semacam Perguruan Tinggi Kedokteran) di Jakarta. Sedangkan STOVIT berlangsung terus dengan nama Shika Gaku. Tujuan pendidikan di zaman ini adalah menghasilkan manusia yang dapat membantu bangsa Jepang dan Asia Timur Raya. Itulah sebabnya ideologi Hakko Ichiu (kemakmuran bersama) dan Hoko Seishin (semangat kebaktian) merupakan isi pengajaran utama dan pendidikan. Kendati demikian, upaya Pemerintah Jepang menanamkan semangat kebaktian rakyat melalui jalur pendidikan gagal, karena proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945.

Setelah kemerdekaan RI, di Surabaya kegiatan pendidikan terus berkembang dan maju. Berbagai lembaga pendidikan peninggalan Belanda dan Jepang segera menyesuaikan dengan ketentuan yang ditetapkan Pemerintah RI.

Presiden Pertama

Kota Surabaya, pernah menghasilkan anak didik yang kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia yang pertama. Dialah Soekarno atau biasa disapa Bung Karno.

Bung Karno bersekolah di HBS (Hoogere Burger School) yang sama dengan SMU atau SMA ini mulai tahun 1916 dan lulus tahun 1921, tepatnya 10 Juni 1921. Awalnya HBS memang hanya dikhususkan untuk anak-anak Belanda yang ada di sini. Mata pelajaran dan ijazahnya sama dengan HBS yang ada di Negeri Belanda. Namun kemudian, anak-anak pribumi pilihan dan keturunan bangsawan atau ningrat dapat masuk di HBS ini.

HBS di Surabaya yang berdiri tahun 1875, tergolong sebagai sekolah menengah tertua di daerah jajahan Belanda setelah Koning Willem III (KW III) di Jakarta yang waktu itu masih bernama Batavia. HBS. Berdirinya sekolah yang setaraf dengan di Negeri Belanda itu tidak lepas dari politik pintu terbuka (open deur politiek) pihak Belanda waktu itu.

Dalam buku Oud Soerabaia yang ditulis Von Faber, semula HBS itu menempati gedung Instituut Buys yang terletak di ujung Jalan Baliwerti dan Alun-alun Contong. Gedung ini kemudian dimiliki oleh Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Pada tahun 1881, HBS dipindah ke gedung bekas rumah kediaman bupati Surabaya, yang sekarang digunakan sebagai Kantor Pos Besar di Jalan Kebunrojo Surabaya.

Tahun 1923, HBS dipindah ke Jalan Wijayakusuma yang di zaman Belanda bernama HBS Straat. Selain Bung Karno, di HBS ini juga menuntut ilmu tokoh Surabaya, Prof.Dr.H.Roeslan Abdulgani.

Saat Bung Karno sekolah di HBS, dia tinggal di rumah tokoh Sarekat Islam, Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Di rumah di Jalan Peneleh VII/29 Surabaya itu, bukan hanya sebagai tempat kos pemuda Soekarno. Di rumah itu pula ia digembleng oleh HOS Tjokroaminoto sebagai calon orator dan politikus ulung.

Tidak hanya itu, Bung Karno juga menjadikan puteri HOS Tjokroaminoto, bernama Utari, sebagai isterinya yang pertama. Kemudian, Bung Karno melanjutkan sekolahnya ke Bandung. Ia masuk ITB, serta di kota ini pula Bung Karno meneruskan aktivitasnya di bidang politik. ***

*) Yousri Nur Raja Agam M.H. adalah Ketua Yayasan Peduli Surabaya.

Sinoman Arek Surabaya

SINOMAN

Kegiatan Amal

Arek Suroboyo

Oleh: Yousri Nur Raja Agam M.H. *)

Yousri Nur RA MH

Yousri Nur RA MH

DALAM kamus Jawa atau “Bausastro Jawi”, karangan WJS Poerwadarminta, kata “Sinom”, artinya: pucuk daun, daun asam muda, bentuk rumah limas yang tinggi dan lancip, nama tambang mocopat, dan nama bentuk keris. Tetapi, jika kata Sinom mendapat tambahan akhiran “an”, menjadi “Sinoman”, maka maknanya menjadi: anak muda yang menjadi peladen di desa saat acara hajatan, peladen pesta atau perhelatan, tolong menolong saat mendirikan rumah, kerukunan atau gotongroyong.

Tetapi di balik semua makna itu, terkandung sesuatu yang amat luhur dan terpuji. Sebab, kegiatan sinoman itu adalah bekerjasama, bergotongroyong yang dilakukan secara sukarela untuk kepentingan orang lain.

Rasanya, di alam serba maju dan kehidupan manusia metropolis, makna gotongroyong dan sinoman itu sudah diabaikan orang. Kendati demikian, ternyata hal yang mustahil itu tetap ada dan tidak pernah hilang. Memang, kalau di desa dan di kampung-kampung kehidupan masyarakatnya sangat guyub dan penuh kekeluargaan. Berbeda dengan di kota, yang masyarakatnya individualis, sudah jauh dari kebiasaan itu.

Di kota kegiatan sinoman sudah lama dipandang sebelah mata. Terutama oleh manusia materialistis. Orang kaya di kota, tidak mau repot. Semua masalah bisa diatur dengan uang dan membayar orang untuk keperluan apa saja. Termasuk urusan pengurusan kematian. Semua bisa diserahkan kepada perusahaan yang “berbisnis” di bidang pengurusan kematian ini.

Kematian adalah peristiwa alam yang pasti ada dan terus terjadi. Sama dengan kelahiran dan perkawinan. Sehingga manusia sebagai bagian dari makhluk hidup di dunia ini pasti akan mengalaminya.Dalam ajaran agama apapun, termasuk pula manusia yang atheis, mengakui adanya kematian.

Firman Allah di dalam Al Quran, menyebutkan bahwa setiap insan akan menemui kematian atau maut. Kalau sudah waktunya, tidak ada yang mampu menolak ajal. Hal yang sama juga diyakini oleh semua orang di dunia ini sejak zaman dulu hingga masa yang akan datang.

Walaupun kematian merupakan peristiwa yang lumrah, tetapi tidak semua orang siap menerima kenyataan itu. Kematian bahkan, dianggap sebagai peristiwa luar biasa. Di saat itu ada orang yang merasakan merasakan kehilangan segala-galanya. Terutama jika yang meninggal dunia itu adalah kepala keluarga yang menjadi tonggak tempat bergantungnya semua kebutuhan rumahtangga.

Bagaimanapun juga, ternyata tidak semua persoalan dapat dilaksanakan dengan “bisnis”, termasuk kegiatan kematian. Rasa kebersamaan masih tetap ada. Tidak pernah terjadi sebuah peristiwa kematian dibiarkan begitu saja. Termasuk di kota-kota besar, seperti Surabaya, misalnya.

Justru, di kota-kota besar itulah muncul kegiatan sosial kemasyarakatan. Berbeda dengan di desa yang masyarakatnya sudah menyatu dalam sebuah lingkungan yang homogen. Dalam pergaulan heterogen, masyarakatnya akan mencari persamaan. Mencari hubungan antarmanusia. Misalnya, berdiri perkumpulan masyarakat di bidang sosial. Mereka berhimpun dengan dasar se-agama, se-asal daerah bagi para perantau, sama-sama satu almamater, se-organisasi, satu kelompok pengajian, sering bertemu dan berbagai alasan lain.

Di Kota Surabaya, kegiatan sosial yang disebut “Sinoman”, ternyata sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Prof.Dr.H.Roeslan Abdulgani, tokoh tua yang berasal dari Surabaya, mengisahkan kepada penulis tentang “Sinoman”. Bahan-bahan ini diperoleh penulis saat mempersiapkan tulisan untuk buku “Cak Narto Peduli Wong Cilik” tahun 1997.

Menurut Cak Roeslan – begitu Roeslan Abdulgani biasa disapa – dalam sejarah kelahiran dan perkembangan Sinoman, adalah bentuk kegotongroyongan sosial. Tujuannya untuk membina dan meningkatkan kerukunan. Semboyannya adalah: “Rukun Anggawe Santoso” – rukun untuk menumbuhkan kesentosaan. Kita bisa kuat kalau kita rukun. Sebaliknya, bangsa yang jiwanya kuat dapat membangun kerukunan.

Dalam bahasa Jawa atau Sangskerta, kuat karena rukun dan rukun karena kuat, disebut: “Dharma Eva, Hato Hanti”. Kuat karena bersatu dan bersatu karena kuat. Jadi, motto “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, adalah sebuah kenyataan.

Nah, mengapa masyarakat Kota Surabaya memerlukan kekuatan dan kesentosaan? Tidak lain karena dalam kehidupan sehari-hari, kita semua menghadapi berbagai macam persoalan yang hanya dapat diselesaikan secara bersama-sama dengan bergotongroyong. Lebih-lebih sesama tetangga dekat. Hal ini sudah dialami warga Surabaya sejak zaman dulu, ketika dijajah Belanda dan Jepang, kemudian saat mempertahankan kemerdekaan yang dikenal dengan peristiwa pertempuran 10 November 1945, hingga sekarang ini.

Melalui Sinoman, warga Kota Surabaya dapat mengatasi berbagai masalah. Sinoman merupakan bentuk tertinggi dari jiwa kegotongroyongan. Dulu kehidupan kota Surabaya, masih sama dengan alam desa. Perubahan zaman membuat kehidupan kota terpengaruh.

Kegiatan Sinoman, awalnya terlihat dari kebersamaan memasang “terop” atau tenda, menyusun kursi dan alat-alat lainnya saat ada hajatan. Peralatan ini, milik bersama warga yang diperoleh dari “urunan”. Termasuk perlengkapan untuk kematian. Biasanya, di samping mushalla atau langgar, diletakkan “penduso” atau keranda jenazah. Juga alat-alat untuk pemandian jenazah, persediaan kain kafan dan wangi-wangian. Ini apabila untuk kematian. Lain lagi dengan pesta perkaiwinan, sunatan dan hajatan selamatan. Peralatan yang disimpan di gudang Sinoman adalah: piring, cangkir, gelas, lampu dan sebagainya.

Masih menurut Cak Roeslan, di tahun 1930-an, sewaktu gerakan toko-toko koperasi muncul di mana-mana, Sinomanpun ikut bergerak dalam kegiatan koperasi konsumsi dan koperasin kredit. Di sini Sinoman menyediakan kebutuhan sehari-hari dan membantu pengusaha kecil dengan kredit dengan bunga rendah.

Sinoman pada zaman Belanda itu, muncul di kampung-kampung. Antar kampung yang berdekatan mendirikan “Raad Sinoman”. Seperti Raad Sinoman kampung Plampitan, Peneleh, Pandean, jagalan, Undaan, Genteng, Bubutan, Maspati, Kawatan, Koblen, Tembok dan sebagainya. Tidak kurang dari 20 Raad Sinoman waktu itu di Kota Surabaya.

Kata “Raad” berasal dari bahasa Belanda, yang artinya: dewan. Waktu itu, masyarakat Belanda di Kota Surabaya mendirikan “Gemeente Raad”, yaitu “Dewan Kotapraja”. Gemeente Raad itu menentukan pajak-pajak yang harus dibayar oleh rakyat di kampung-kampung yang disetorkan ke kantor Gemeente atau Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. Nah, agar rakyat Surabaya tidak diperlakukan sewenang-wenang, maka Raad Sinoman dibentuk untuk mengimbangi dan melawan Gemeente Raad.

Di zaman Jepang, Sinoman dipaksa untuk membantu peperangan. Sekalipun dipaksa menjadi “Tonarigumi”, yaitu Rukun Tetangga, namun usaha membela rakyat menghadapi penindasan Jepang terus dikobarkan. Di balik itu ada hikmahnya, karena di zaman Jepan itulah, Sinoman atau “Tonarigumi” dapat mendirikan pos-pos pemadam kebakaran terhadap bom-bom yang jatuh dan menolong korbannya.

Hal yang sama juga dialami saat pertempuran 10 November 1945. Karena yang tampil selalu anak-anak muda yang berjuang dan bekerja dengan sukarela, disebutlah kelompok anak muda itu “poro nom-noman”, lalu menjadi “Si Nom-an” atau kumpulan anak muda yang suka bergotongroyong untuk kepentingan bersama, ujar Cak Roeslan.

Penggeraknya Anak Muda

Sesuai dengan asal-muasal kata “Sinoman” adalah kumpulan anak muda yang suka bergotongroyong, maka di sini kegiatan amal dan sosial harus diutamakan. Artinya, kegiatan sinoman, harus bertujuan untuk membantu sesama dan demi kepentingan bersama. Kecuali itu, kegiatan sinoman harus mampu menghadapi tantangan zaman yang serba komersial dan bernuansa bisnis.

Berdasar catatan sejarah yang ada, sinoman pada awalnya memang sekedar wadah untuk menampung keinginan sekumpulan anak muda. Mereka ini ingin memperoleh pengakuan sebagai insan yang dipercaya dalam bidang sosial. Nah, karena kegiatan gotongroyong merupakan panggilan hati nurani, maka hal ini tidak sulit untuk diwujudkan. Walaupun demikian, perlu ada pendorong yang mampu menjadi pelopor sebagai penggerak.

Jelas di sini, sinoman sebagai kegiatan anak muda, maka motor penggeraknyapun harus para pemuda. Sudah menjadi hukum alam, bahwa kaum muda merupakan tulang punggung penggerak kegiatan dalam masyarakat. Tidak hanya di bidang sosial dan rumahtangga, tetapi lebih jauh lagi, yakni sebagai patriot pembela bangsa dan negara.

Kembali kepada kegiatan sinoman di Surabaya, sebagaimana dituturkan oleh Cak Roeslan – yang lengkapnya adalah: Prof Dr.H.Roeslan Abdulgani – pada tahun 1920-an saja, kegiatan sinoman sudah tertata rapi. Mempunyai pengurus tetap dan banyak inventaris. Barang-barang milik sinoman itu diperoleh dari sumbangan dan bantuan warga secara sukarela, maupun dibeli dengan uang kas.

Surabaya sebagai bandar pelabuhan dan tempat bertemu para pendatang, lama kelamaan menetap di darat. Dan para pendatang itulah, penduduk asli Surabaya. Sehingga tidak perlu heran, yang disebut “Arek Suroboyo”, berasal dari berbagai etnis dan suku bangsa, ujar Cak Roeslan sesepuh Arek Suroboyo ini.

Nah, Surabaya terus berkembang dengan kehidupan warganya yang mulanya membawa budaya daerah masing-masing. Lama kelamaan masing-masing budaya dari berbagai daerah itu menyatu di Surabaya. Dari penggabungan berbagai adat istiadat itulah, kemudian lahir tradisi baru di Surabaya yang kemudian menjadi “budaya Surabaya”.

Karena budaya Surabaya itu mengadopsi macam-macam tradisi dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan juga dari mancanegara, maka nuansanya sangat dinamis. Di samping warna dominannya adalah budaya Jawa dan Madura, namun pengaruh adat Banjar dan Dayak dari Kalimantan, Bugis dari Sulawesi, serta pengaruh adat Sunda dan Melayu (Minang, Aceh, Riau dan Palembang dari Sumetara) juga terlihat dalam kegiatan seari-hari.

Tradisi masyarakat Surabaya, yang Islami dengan pengaruh kebiasaan umat Islam dan Arab, juga terasa ada dalam beberapa hal, pengaruh budaya Cina atau Tiongkok. Dan harus pula diingat, selama 3,5 abad kita dijajah bangsa Belanda dan Eropa yang membawa ajaran Kristen dan Katholik. Gaya dan pola hidup warganya sebagian seperti mereka itu. Selain itu semua, budaya Hindu dan Budha sebagai agama yang dianut nenek moyang kita dahulu kala juga masih tersisa dalam berbagai aktivitas warga Surabaya di alam modern ini.

Clifford Gertz, menyebut warga Surabaya pribumi bukanlah penganut ajaran agama yang fanatik. Warga Surabaya ini adalah: “masyarakat abangan”. Maksudnya di sini, kendati beragama Islam, mereka tidak sepenuhnya menjalankan syariat agama secara benar. Begitu pula mereka yang bukan penganut Islam. Masyarakat Surabaya di sini memang menjadi masyarakat marjinal. Mereka menentang ras dan etnis yang tidak seiman, tetapi tidak mampu menyatukan diri dengan mereka yang seiman.

Kondisi kejiwaan seperti inilah, ungkap Tom Pires dalam Suma Oriental, yang menjadikan masyarakat Surabaya menjadi masyarakat “kasar”. Dan paling tidak enak, adalah istilah yang diberikan oleh William H.Frederick, bahwa masyarakat Surabaya sebagai bangsa yang keras kepala.

Ada tiga contoh konkrit dalam sejarah yang merefleksikan kekerasan masyarakat Surabaya. Masing-masing tercermin dalam diri pahlawan rakyat Trunojoyo (Madura), Untung Suropati (Pasuruan) dan Sawunggaling (Surabaya). Kendati ke tiganya mewakili tiga daerah, namun ketiganya merupakan mata rantai yang saling terkait di Surabaya ini.

Memang, kegiatan pahlawan rakyat itu dicuatkan namanya dari daerah, tetapi pemberontakan yang menjadi latar belakangnya berawal dari pergolakan hidup di kota ini. Surabaya diibaratkan sebagai “pemilik tali penggerak gasing”. Sedangkan daerah yang menjadi tempat terjadinya pemberontakan berfungsi sebagai tempat berputarnya anak gasing.

Sejak ajaran Islam menjadi bagian kehidupan masyarakat di pantai utara Jawa, sebagai agama yang disebarkan para sunan “Wali Songo”, tradisi Islam mulai berpengaruh dalam kehidupan sosial budaya. Di sinilah, terasa aktivitas anak muda sebagai “peladen” di tengah khalayak. Budaya “Sinoman” terus berkembang dalam bentuk kombinasi berbagai adat dan ajaran yang manusiawi.

Elastisitas manusia Jawa, yang mempunyai kecenderungan sinkretis, memberi kemungkinan menerima pengaruh itu. Sinoman di Surabaya mempunyai akselerasi untuk berkembang cepat. Sebab, sinoman merupakan ruh yang mempersatukan kesamaan asal, rasa senasib dan kesamaan iman antarpendatang atau urbanis. Kehidupan keras yang dilingkupi tradisi hasil asimilasi nilai Islami dengan pranata kedaerahan, memberikan kemungkinan sinoman berkembang subur.

Sinoman Lama

Melalui sinoman, warga kota bisa menyatukan persepsi dan mengekspresikan diri secara bebas. Sebab sinoman merupakan wadah untuk berhimpun, melalar kenangan dan sekaligus sebagai sarana untuk melakukan perlawanan bila dibutuhkan.

Di balik kemajuan dan perkembangan sinoman di masa lalu, ternyata “menyimpan bara”. Penyatuan antarwarga “kasar dan abangan” itu, telah menjauhkan komunikasinya dengan warga lain yang berasal dari etnis Cina, Arab dan India. Bagi masyarakat keturunan Arab, mereka tidak begitu peduli – karena ada semacam pengkultusan – namun tidak demikian halnya dengan warga keturunan Cina, India dan Eropa yang berkuasa waktu itu.

Di zaman penjajahan Belanda, sinoman sempat menjadi “musuh” warga keturunan Cina, karena mereka senang berlindung di balik penguasa. Waktu itu warga pribumi mulai dirangsang dan bangkit untuk merdeka. Kebencian terhadap Belanda, juga menimbulkan antipati terhadap etnis Cina. Warga keturunan ini diasumsikan sebagai warga a-sosial, sosialisasi kerakyatannya lemah dan cenderung tidak mau tahu persoalan yang berkembang di luar diri dan etnisnya. Tidaklah mengherankan, kalau William H.Frederick, melontarkan kalimat “Cina singkek” untuk warga keturunan yang masa bodoh terhadap lingkungan sekitar itu. Konotasinya memang jelek, sehingga dalam hal tertentu sering dijadikan bahan ejekan.

Sejarah memang tidak dapat dipungkiri. Dari zaman ke zaman, situasi dan kondisi mengalami perubahan. Sinoman lama, di masa penjajahan Belanda dan Jepang, memang tidak sama dengan sinoman masa perjuangan kemerdekaan. Lalu, setelah merdeka dan masa kini, juga lain. Bahkan, pola baru sinoman di era kehidupan metropolis tampil beda, tetapi ruh dan cita-citanya tetap sama.

Terancam Kegiatan Bisnis

Kegiatan Sinoman terus berkembang dan juga berubah. Pola tradisional yang hidup di kampung-kampung dalam Kota Surabaya, mulai dipengaruhi gaya hidup masyarakat kota Metropolitan. Kegiatan kemasyarakatan yang biasanya menjadi bagian dari kegiatan sinoman yang sepenuhnya bersifat sosial, ada yang sudah beralih menjadi “ajang” bisnis atau sekurang-kurang bernuansakan pamrih.

Salah satu contoh yang sangat mencolok adalah kegiatan pemakaman. Kalau dulu, setiap orang terpanggil dan berebut untuk menggotong keranda jenazah atau “penduso”, kini banyak yang berpangku-tangan, menyerahkan kegiatan itu kepada perusahaan yang mengurus penguburan. Hal yang sama juga terlihat saat jenazah akan dikuburkan ke liang lahat. Anak-anak dan keluarga terdekat biasanya langsung terjun menunggu jasad almarhum atau almarhumah di dalam lubang kuburan, kini adakalanya dilakukan oleh “orang lain”.

Yang lebih tragis lagi, untuk memandikan dan mendoakan jenazah almarhum atau almarhumah juga ada yang “diserahkan” kepada orang lain. Ini, karena modin tidak ada di kawasan permukiman itu.

Kalau “orang lain” itu adalah tetangga dan kerabat keluarga yang sedang berduka, masih tidak masalah, karena sifatnya masih sosial dan sukarela. Tetapi, kalau yang manggali, menguburkan sampai menimbun kembali tanah ke lubang kuburan semuanya “orang lain” yang dibayar dan berasal dari perusahaan jasa penguburan ata pemakamam, maka akan lenyaplah ajaran agama Islam dan tradisi nenek moyang kita.

Seandainya hanya membawa jenazah karena tempat pemakaman jauh dari rumah duka dengan mobil jenazah harus dibayar, rasanya masih wajar. Begitu pula menggali dan menimbun kembali tanah ke lubang kubur dilakukan oleh para penggali khusus yang sudah ada di lokasi pemakaman, semua itu masih dapat dimaklumi. Tetapi, kalau sampai hal-hal yang khusus sesuai dengan ajaran agama dan tradisi semua “diborongkan” kepada perusahaan pengelola jenazah dan pemakaman, tentu sangat menyedihkan. Sebab tradisi seperti itu, hanya lumrah kita saksikan pada masyarakat non Muslim, seperti warga Tionghoa atau Cina, misalnya.

Kegiatan bisnis pengurusan jenazah dan pemakaman di kalangan umat Islam dan “Arek Suroboyo”, kalau tidak segera dibendung, bisa saja terjadi seperti yang berlaku di masyarakat non Muslim itu. Suatu saat akan kita saksikan pola pengurusan jenazah seperti dalam kehidupan masyarakat Tionghoa. Ada tempat penghimpunan dan upacara seperti yang dikelola Yayasan “Adhi Yasa” di Jalan Demak Surabaya. Bahkan pengurusan jenazah, pengangkutan sampai penguburan juga dilakukan oleh yayasan atau perusahaan.

Dengan Sinoman, seharusnya semua itu tidak terjadi. Tidak usahlah kita meniru pola perusahaan pengurusan jenazah “Carrara” yang berdiri sejak tahun 1948. Juga jangan seperti “Ario” yang memborong segala kebutuhan jenazah. Atau “Tiara” yang mengiklankan ambulance full AC. Juga seperti Yayasan “Gotong Royong” dan “Bagus Abadi” , serta masih banyak lagi yang lain.

Sinoman yang merupakan tradisi bernuansa Islami, harus tetap dipertahankan dan dikembangkan keberadaannya di era modernisasi dan kehidupan kota Metropolitan yang metropolis ini. Sekurang-kurangnya tradisi itu dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman, tanpa harus mengurangi nilai ajaran agama dan leluhur.

Warga Surabaya, ternyata mampu membuktikan ketahanan masyarakatnya membendung dan melakukan antisipasi terhadap gejala global itu. Sinoman mengalami kemajuan dengan adanya peremajaan dan periodesasi kepengurusan. Ini memperlihatkan, bahwa organisasi sinoman sudah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat Surabaya.

Secara organisasi, sinoman dapat menanamkan sendi-sendi berorganisasi. Ini dapat dilihat dengan adanya kesadaran membayar iuran dan sumbangan sukarela pada saat tertentu. Dalam wujud nyata, sinoman yang di zaman pra-kemerdekaan sempat melibatkan diri dalam kegiatan politik, sekarang “sudah bersih” dari pengaruh itu dan murni menjadi paguyuban sosial.

Kalau dulu, pada saat “Sinoman Lama”, warga keturunan Cina, Arab dan India menjadi warga elite yang “dimanjakan” penjajah, setelah Indonesia merdeka, mereka secara bertahap melibatkan diri dalam kegiatan di lingkungan permukiman. Mereka sudah bisa menyatu dan membaur dengan warga sekitar. Di beberapa kawasan permukiman, merekapun duduk sebagai pengurus sinoman.

Untuk menghidupi organisasi sosial sinoman ini, bukan tidak ada yang berbau bisnis. Dari iuran dan sumbangan warga, dibelikan barang-barang keperluan hajatan. Mulai dari terop (tenda), kursi, meja, piring, gelas, sendok, sampai alat pengeras suara (sound system). Agar barang-barang ini tetap utuh dan bisa bertambah, maka kepada yang menggunakannya diharapkan bantuan sukarela. Memang, ada tarif yang ditetapkan untuk masing-masing barang, tetapi bagi keluarga yang tidak mampu dan benar-benar dalam keadaan susah, dipinjamkan secara gratis. Bahkan mendapat bantuan uang duka dari urunan warga.

Dalam sejarahnya, memang sempat terjadi pengaruh dalam perkembangan sinoman di kota Surabaya. Pada tahun 1980-an, saat kegiatan pembangunan kota sudah mengarah pada kegiatan penggusuran. Masyarakat kampung dalam kota Surabaya mulai terpencar ke pinggir atau ke luar kota. Walaupun ada kelompok sinoman yang “bubar” akibat kampungnya tergusur, ternyata di permukiman baru atau kawasan realestat, sudah ada yang mendirikan paguyuban sinoman. Namun, merintis berdirinya sinoman di kawasan permukiman baru tidak gampang. Harus ada yang berani mempelopori, karena awalnya di antara sesama warga baru yang belum saling kenal, tentu mempunyai sikap hati-hati, agar niat luhur itu diterima dengan keterbukaan.

Keberadaan sinoman ini, memang bukan “monopoli” warga Surabaya. Hal yang sama juga ada di tempat lain. Di Jakarta, ibukota negara Republik Indonesia, hidup warga asli yang disebut: masyarakat Betawi. Di sini juga ada tradisi dan adat yang sama. Selain itu juga banyak perantau dan pendatang dari berbagai daerah, suku bangsa di Indonesia, serta yang berasal dari negara lain.

Kehidupan masyarakat metropolitan Jakarta, memang tidak memusnahkan tradisi desa atau kampung asal para perantau. Sebagaimana masyarakat daerah atau suku lain di Indonesia, perantau yang berasal dari Surabaya ternyata berhasil membentuk paguyuban Sinoman Suroboyo.

Sesepuh Surabaya, Cak Roeslan Abdulgani yang sudah lama bermukim di Jakarta, mengatakan, kegiatan sinoman di Jakarta ini sejalan dengan adanya Paguyuban Arek Surabaya. Organisasi sinoman warga Surabaya di Jakarta bernama “Sinoman Keluarga Besar Surabaya Jawa Timur”. Kegiatannya sama dengan sinoman pada umumnya. Namun, yang paling utama adalah apabila ada keluarga yang ditimpa kemalangan, khususnya meninggal dunia.

Semangat sinoman di Jakarta ini begitu kuat pada tahun 1970-an. Sampai-sampai kata Cak Roeslan diciptakan lagu berjudul “Sinoman Suroboyo” Lagu dan syair ini adalah karya H.Nur Azhar yang diciptakannya pada bulan Maret 1979 di Jakarta. Inilah lirik dan syair lagu “Sinoman Suroboyo” tersebut:

Sinoman Suroboyo Rek – paguyuban kanggu kepentingan amal ; kumpulanne sing nduweni timbang roso. Tinggalane wong tuwo Rek – ayo kudu diterusno. Sinoman Suroboyo Cak – gotongroyong sing dadi tujuan utomo. Mulane ojo’ lali Cak – iku prilaku sing mulyo, iku kepribadian bongso.

Kaping pisan: tulung tinulung, kaping pindo: ndaweg sing rukun, kaping telu: tambah sedulur, kaping papat: ojo’ sok mbeda’-beda’no. Kabeh mau margo Sinoman – ilingo sing kerepotan – kapan maneh urip ning ndonyo – sing sok ngadoh – mburine tibo nelongso. Pancen apik seneng bergaul – semboyane mangan ndak mangan nek kumpul.

Sinoman Sidomulyo Rek – sing nom-noman jo’ sembrono. Sinoman Margorukun Cak – sing mbegedut musti getun. Sinoman Sidorame Ning – sing emanan isin dewe. Sinoman Sukolilo Wak – abot enteng lakonono.

Demikian lirik, irama yang syahdu dapat membangkitkan semanat persatuan, kesatuan dan guyub untuk bergotongroyong dalam nyanyian berbahasa Jawa dialeg Surabaya itu. ***

*) Yousri Nur Raja Agam M.H. – Ketua Yayasan Peduli Surabaya

Mallaby “Gugur” di Surabaya

Hari Ini, 30 Oktober 1945

Brigadir Jenderal Mallaby

 “Gugur” Sebagai Pahlawan

 

Tentara Sekutu

 

Yousri Nur RA. MH

Yousri Nur RA. MH

Oleh: Yousri Nur Raja Agam  MH *)

 

 

 

HARI Selasa, 30 Oktober 1945. Menjelang sore, kontak senjata masih terjadi antara pejuang yang dikenal dengan sebutan “arek-arek Suroboyo” melawan tentara Sekutu. Beberapa kali masih terdengar suara tembakan dari gedung Internatio ke arah pejuang yang berada di sekitar Jembatan Merah. Para pejuang sudah bersabar, Namun berusaha mengendalikan diri untuk tidak membalas tembakan dari Sekutu itu.

            Biro-kontak sedang menyiapkan utusan dari pihak Inggris yang akan memerintahkan penghentian penembakan dari gedung Internatio oleh pasukan Sekutu itu.

            Semula, Brigjen Mallaby sendiri yang menyanggupi untuk masuk ke dalam gedung. Tetapi anggota biro-kontak ada yang ragu. Ketika itu, para pejuang kita tidak percaya begitu saja kepada Sekutu-Inggris. Sebab kelicikan mereka sudah berulangkali terjadi. Sudah tiga kali dilakukan perjanjian, tiga kali pula pihak Inggris melakukan pelanggaran.

            Moncong senjata masih terlihat dari lobang jeruji dinding gedung Internatio mengarah ke luar. Sewaktu-waktu dari moncong senapan itu dimuntahkan peluru yang mengarah kepada anak bangsa di Bumi Surabaya. Ketika itu anak-anak muda dari kampung-kampung Surabaya benar-benar siap tempur berada di sekitar gedung Internatio. Gedung kuno itu sudah dikepung dari segala arah.

            Dengan semangat “bonek” (bondho nekad – modal semangat), ada yang menggunakan bambu runcing, senjata rampasan dari serdadu Jepang, ada juga yang membawa gobang, parang dan segala macam senjata tajam, termasuk clurit. Mereka ini menunggu komando. Apabila ada perintah, pasti mereka akan membabibuta menyerbu pasukan bersenjata di dalam gedung Internatio.

            Di dalam gedung, pasukan Inggris khawatir diserbu. Sementara dari luar gedung, para pemuda juga was-was ditembak tentara Sekutu dari dalam gedung.

            Saat rombongan biro-kontak berjalan di dekat gedung itu, kelihatan moncong senjata bergerak ke arah anggota biro-kontak dari Indonesia. Keberadaan Mallaby di sini diperlukan sebagai perisai – semacam tameng agar bisa mengerem kebrutalan tentara Inggris.

            Ketika dilangsungkan perundingan kilat biro-kontak di pinggir jalan, diputuskan anggota  biro-kontak yang akan diutus masuk ke dalam gedung, adalah Kapten Shaw.

            Di antara pemuda yang ikut menyaksikan perundingan itu berteriak, “jangan yang tua Pak, suruh yang muda saja…!”. Maksudnya, jangan Mallaby yang, tetapi perwira yang muda saja. Akhirnya, memang Kapten Shaw yang diutus.

            Kapten Shaw didampingi Moehamad, kemudian sebagai jurubahasa ikut TD Kundan (warganegara keturunan India yang ikut berjuang bersama Arek Suroboyo).  Mereka bertiga berjalan bersama-sama menuju gedung Internatio.

            “Jangan lama-lama ya! Cukup sepuluh menit saja menyampaikan perintah”, ujar Residen Soedirman. Moehammad mengangguk sembari berjalan menuju gedung Internatio.

            Saat ke tiga orang ini berjalan menuju ke dalam gedung, Mallaby menunggu di dalam mobilnya. Ia didampingi Kapten Smith dan Kapten Laughland.

 

Gugur atau Tewas?

            Mobil pimpinan tertinggi tentara Sekutu di Surabaya ini berhenti persis di bawah baliho besar yang memajang gambar bendera merah putih. Di atas gambar sangsaka merah putih itu tertulis dengan huruf kapital ONCE AND FOREVER dan di bawahnya  tertulis THE INDONESIAN REPUBLIC.

Foto mobil sedan Fiat dengan latar belakang baliho itu diabadikan fotografer IPPHOS (Indonesian Press Photo Service) – kelompok wartawan foto pimpinan W.Mendur yang banyak mengabadikan perjuangan rakyat Indonesia dan detik-detik proklamasi kemerdekaan RI, serta peristiwa bersejarah lainnya.

            Mobil rombongan biro-kontak – kecuali mobil yang ditumpangi Moehamad – bergerak  perlahan dan berhenti di tikungan dekat tempat parkir pinggir sungai Jalan Jembatan Merah. Di sini rombongan biro-kontak menunggu kembalinye ke tiga utusan yang masuk ke dalam gedung.

            Sepuluh menit berlalu. TD Kundan keluar sendirian. Di depan pintu ia berteriak, “Kapten Shaw dan Moehamad masih memerlukan beberapa menit lagi”. Kemudian Kundan kembali masuk ke dalam gedung.

            Buuummmmmmmm”, bunyi geranat yang dilemparkan dari dalam gedung menggelegar di depan gedung, tidak jauh dari pintu masuk tempat Kundan berteriak sebelumnya. Suara geranat ini kemudian diiringi tembakan gencar dari lantai bawah gedung, kemudian juga menyusul dari lantai atas. Tembakan tertuju ke arah rombongan biro-kontak dan para pemuda yang berada di tanah lapang dan jalan di depan gedung Internatio.

            Beberapa orang berteriak dan mengerang akibat terkena tembakan. Ada yang langsung tiarap dan ada yang lari tunggang-langgang menyelamatkan diri ke balik gedung lain di sekitar Jembatan Merah. Di antaranya ada yang tergeletak, gugur akibat tembakan serdadu Inggris.

            Terjadi kekacauan, semua berusaha menyelamatkan diri. Rombongan biro-kontak juga berhamburan mencari perlindungan. Ada yang melompat ke pinggir sungai Kalimas di bawah Jembatan Merah.

            Soengkono, Doel Arnowo, Dr.Moersito, Koesnandar dan Roeslan Abdulgani merangkak menuju pinggir sungai Kalimas yang airnya sedang surut. Desingan peluru dari arah gedung Internatio masih terdengar .

            Melihat kebrutalan tentara Inggris itu, beberapa pemuda yang berasenjata dan membawa granat melakukan perlawanan. Di antara mereka, adalah Soetjipto Danoekusumo, komandan Polisi Istimewa (PI). Pasukan PI yang sudah terlatih itu memberi perlindungan kepada Residen Soedirman dan anggota biro kontak.

            Residen Soedirman yang dilindungi pemuda dan PI berhasil menyeberang Jembatan Merah menuju Jalan Kembang Jepun dan terus menyelamatkan sampai ke kediamannya.

            Mallaby bertahan di dalam mobil sedan hitam yang ditumpanginya. Namun mobil komandan Sekutu itupun tidak lepas dari sasaran tembakan. Bahkan, kemudian mobil itu meledak dengan dahsyat. Tembak-menembak semakin seru. Surabaya terus membara.

            Soetjipto bergabung dengan anggota biro-kontak yang juga tokoh pejuang yang berada di pinggir Kalimas. Saat itu, seorang pemuda melompat mendekati Roeslan Abdulgani dan Doel Arnowo.

            “Cak, sudah beres Cak!” Bisik seorang anak muda. “Apa yang sudah beres?” tanya Doel Arnowo kepada anak muda yang sudah dikenalnya itu.

            “Jenderal Inggris, Cak! Mobilnya meledak dan terbakar”, jawab anak muda itu,

            “Siapa yang meledakkan?” tanya Doel Arnowo lagi. Anak muda itu menunjuk dirinya. Melihat pandangan dan kerdipan mata Doel Arnowo yang seolah-olah mengatakan jangan mengaku, kemudian anak muda itu mengatakan, “tidak tahu Cak”.

            Semua yang mendengar laporan anak muda kepada Doel Arnowo itu terkejut dan hanya terdiam.

            “Ya sudah, diam saja. Jangan cerita kepada orang lain,” pesan anggota biro-kontak yang lainnya.

            Memang, sebelum anak muda itu melompat ke pinggir sungai Kalimas mendekat anggota biro-kontak, terdengar tembakan dan bunyi ledakan di deretan mobil yang parkir.

            Itulah sebuah cuplikan dialog catatan sejarah yang mengisahkan “tewasnya” Brigjen Mallaby di Surabaya. Ia dinyatakan gugur sebagai pahlawan tentara Sekutu. Tetapi, bangsa Indonesia, menyebut ia tewas.

           

Dibawa Mati

Sampai di hari tuanya, hingga kemudian wafat, Doel Arnowo tidak mau menyebut nama anak muda yang mengaku menggranat mobil Mallaby itu. Penulis pernah berulangkali menanyakan langsung kepada Cak Doel Arnowo, saat masa tuanya yang secara kebetulan sering dan mudah berkomunikasi dengan penulis.

            Bahkan saat bertanya kepada cak Doel yang mantan walikota Surabaya ini, penulis pernah didampingi anaknya Rahmat, namun  almarhum Doel Arnowo tetap tidak mau menyebut nama anak muda yang “mengaku” meledakkan mobil Mallaby itu. “Biarlah, tidak usah disebarluaskan, karena ini menyangkut masalah hukum perang, hukum internasional ”, kata Cak Doel Arnowo kepada penulis yang waktu itu sebagai wartawan dan wakil pemimpin redaksi Harian “Radar Kota” Surabaya.

            Memang, Cak Doel benar-benar menyimpan rahasia itu hingga akhir hayatnya. Tidak seorangpun yang tahu, siapa nama pemuda yang telah melempar granat ke mobil Mallaby itu. Rahasia itu dibawa mati oleh Cak Doel Arnowo.

            Bung Tomo melalui siaran radio Pemberontak menyiarkan tentang terulangnya kontak senjata di sekitar gedung Internatio. Bung Tomo menyebutkan, banyak pejuang yang terluka dan gugur akibat kebrutalan tentara Inggris. Bahkan, sekarang Moehamad dan TD Kundan terjebak di dalam gedung. Nasibnya belum jelas.

            Mendengar siaran radio itu, ambulans berdatangan ke arah Jembatan Merah. Petugas Palang Merah memberi bantuan dan melarikan mereka yang terluka ke rumahsakit. Raungan serine ambulans ini membuat para tentara Inggris di dalam gedung menghentikan tembakan. Dari balik jeruji serdadu Sekutu itu menonton anggota Palang Merah yang memberi bantuan. 

            Beberapa anggota biro-kontak naik ke jalan, kemudian menyeberang dan berjalan kaki menuju Hoofdbureau atau kantor besar polisi di Jalan Sikatan – sekarang menjadi gedung Markas Polisi Wilayah Kota Besar (Polwiltabes) Surabaya.

            Malam ini Surabaya tegang. Para pemuda pejuang mengatur strategi untuk memaksa Inggris meninggalkan gedung Internatio.

            Sebaliknya pihak Inggris atau Sekutu, benar-benar marah setelah mendapat informasi tewasnya Mallaby. Para pembesar Sekutu di Jakarta betul-betul terpukul. Sebagai pemenang Perang Dunia II, belum pernah ada jenderal yang terluka. Di Surabaya, justru tewas akibat ledakan geranat. Dunia gempar. Perhatian kemudian tertuju kepada Indonesia, khususnya Surabaya. *** 

 

*) Pemerhati Sejarah, bermukim di Surabaya.