BONEK dan PERSEBAYA

Bonek dan Persebaya

Yousri Nur Raja Agam MH


Oleh: Yousri Nur Raja Agam *)

KOTA Surabaya, terkenal bukan hanya karena ibukota Provinsi Jawa Timur ini berjuluk Kota Pahlawan. Ada yang lain yang lebih popular dan gampang diingat, yakni “kebrutalan” para “bonek”. Bila orang menyebut “bonek”, jelas itu akan disangkutpautkan dengan kesebelasan sepakbola kebanggaan arek-arek Suroboyo, yaitu Persebaya.
Sebagai kesebelasan kebanggaan, maka Persebaya menjadi idola. Bagaimanapun juga sorotan terhadap dampak yang terjadi apabila Persebaya kalah, namun Persebaya tetap merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari para pendukungnya. Pendukung Persebaya, tidak hanya dari kota Surabaya saja, tetapi sudah menjadi satu kesatuan dengan bumi Jawa Timur. Tidaklah mengherankan, apabila Persebaya main di luar kota, pendukungnya berdatangan dari berbagai daerah di Jawa Timur.
Pendukung fanatik Persebaya yang bermaskot “bajul ijo” atau buaya hijau ini, memang sering membuat “berita besar di koran”. Para supporter Persebaya tidak rela kesebelasan kesayangannya ini kalah. Persebaya “harus” menang. Dalam keadaan permainan terburuk sekalipun, pendukung yang disebut “bonekmania”, tetap menghendaki Persebaya menang. Kalau perlu dengan cara culas dan menggunakan non-teknis.
Bonek, adalah singkatan dari dua kata: bandha (dibaca: bondho) nekad. Arti secara harfiah adalah: modal nekad. Para supporter atau pendukung Persebaya itu, selalu mengikuti di manapun kesebelasan kesayangannya ini bermain. Walaupun tidak punya uang sama sekali, mereka tetap nekad, tanpa peduli atau ngotot untuk menyaksikan Persebaya bertanding menghadapi lawannya. Biar tanpa uang sekalipun mereka akan memberi dukungan kepada kesebelasan yang punya kostum kebesaran warna hijau daun ini. Kalau tidak punya karcis tanda masuk, mereka berani menjebol gerbang atau pintu masuk secara massal. Jadi, modalnya adalah modal kemauan semata, tanpa peduli dampak yang terjadi.
Karena modal (bondho) nekad, maka cap “bonek” menjadi bagian tidak terpisahkan dengan supporter Persebaya. Awalnya, di tahun 1970-an, para pendukung fanatik itu tidak rela disebut “bonek’. Namun, di era 1980-an, saat supporter Persebaya bermain di Jakarta, nama “bonek” menjadi konotasi yang sangat miring terhadap supporter Persebaya. Apalagi, waktu itu, sepanjang perjalanan yang dilewati kereta api dari Surabaya ke Jakarta dan sebaliknya, para supporter ini membuat gaduh. Di setiap stasiun mereka menjarah makanan yang dijual di emplaseman stasiun.
Di kala ketua umum Persebaya (1986-1994) dipegang oleh Walikota Surabaya, dr.H.Poernomo Kasidi, kata-kata “bonek” ini membuat pusing sang walikota. Namun, di era ketua umum Persebaya (1994-2002) dipegang oleh Walikota Surabaya, H.Sunarto Sumoprawiro, nama “bonek” diangkat menjadi sebuah “ikon”. Bonek sebagai ciri khas heroisme arek Suroboyo dalam mendukung Persebaya. Bonek dilembagakan. Cak Narto – begitu sang walikota akrab disapa – menjadikan bonek sebagai pemicu semangat para pendukung Persebaya. Saat itu, justru Cak Narto tidak menyenangi apa yang disebutnya “boling” atau bondho maling. Cak Narto sangat marah, apabila ada supporter yang mencuri dan merampok dalam perjalanan menonton Persebaya main.
Untuk mengangkat harkat dan harga diri bonek, Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Cabang Jawa Timur, waktu itu, Dahlan Iskan yang juga pemimpin redaksi Harian Jawa Pos memberikan predikat Green Force , kepada mereka. Seorang berambut lebat kepalanya diikat selempang hijau. Itulah Green Force.
Di masa sekarang ini, jika Persebaya bertanding di stadion Gelora 10 November Jalan Tambaksari Surabaya, boleh dikatakan sejak siang toko-toko di sepanjang jalan menuju Tambaksari tutup. Para pemilik toko khawatir, barang-barangnya bakal dijarah oleh “bonek”. Tidak hanya itu, jalan-jalan dalam kota menjadi sepi. Ulah “bonek” menjadi pergunjingan, karena sering mengganggu pengemudi kendaraan di jalan. Dan yang paling merisaukan di antara mereka ada yang memaksa para pengemudi mobil (terutama pikup dan truk) untuk mengantarkannya secara gratis ke stadion Tambaksari.
Terlepas dari cap “bonek” dan “bonekmania” yang diberikan kepada pendukung Persebaya, namun nama Persebaya “hampir” tak pernah ternoda. Panitia pertandingan dan PSSI, mampu memilah-milah antara kesalahan pemain dengan sikap supporter. Memang, pernah Persebaya mendapat hukuman gara-gara ulah “bonek”. Tetapi hal itu dapat diselesaikan dengan baik.

Dulu Persibaja
Berbicara tentang Persebaya, maka perhatian kita tertuju kepada perkumpulan sepakbola dari berbagai klub atau bond yang ada di kota Surabaya. Nama Persebaya sudah melekat dengan predikat Kota Pahlawan. Masyarakat kota Surabaya begitu bangga dengan sangat menyayangi kesebelasan sepakbola “tertua” di Indonesia ini. Betapa tidak, dalam sejarah, Persebaya mencatatkan kelahirannya tanggal 18 Juni 1927. Sementara Persija Jakarta, lahir tahun 1931, begitu pula perserikatan sepakbola di Solo, Semarang, Bandung dan lain-lainnya di Indonesia ini tidak ada yang menyebutkan kelahirannya di bawah tahun 1927.
Persebaya adalah singkatan dari Persatuan Sepakbola Surabaya. Nama ini dikukuhkan tahun 1960. Sebelumnya, orang tidak menyebut Persebaya, tetapi Persibaja (ejaan lama, baca: Persibaya). Persibaya, kepanjangannya: Persatuan Sepakbola Indonesia Surabaya. Nah, mengapa rapat anggota klub Persibaja menghilangkan “Indonesia” dari namanya?
Salah seorang tokoh sepakbola di Surabaya tahun 1960-an, Anwar Luthan, ketika almarhum masih hidup pernah menyatakan, dihilangkan kata “Indonesia” itu, karena sudah tidak diperlukan lagi. Kita sudah merdeka di bumi Indonesia. Mengapa harus menyebut Indonesia Surabaya? Dengan kemerdekaan yang diproklamasikan 17 Agustus 1945, kata mertua Rusdi Bahalwan (mantan pemain dan pelatih Persebaya), kita sudah tidak perlu menyebut Indonesia dalam skop lokal. Nama Indonesia, sudah diwakili PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia), katanya berargumentasi.
Tidak hanya itu, nama Indonesia waktu itu kita agung-agungkan untuk menghadapi penjajah Belanda dan Jepang. Dan juga diingatkan, kata Indonesia yang ada pada Persibaja waktu itu sebagai terjemahan dari Indische atau Hindia Belanda. Dengan dasar itulah maka rapat anggota klub Persebaya tahun 1960, sepakat mengubah nama Persibaja menjadi Persebaja (sekarang dengan ejaan yang disempurnakan menjadi Persebaya).
Jika napak tilas ke tahun 1920-an, saat negara kita masih dijajah Belanda, sepakbola sudah dikenal. Olahraga sepakbola, memang bukan berasal dari bumi Pertiwi. Olahraga ini dibawa oleh penjajah, yakni sinyo-sinyo Belanda. Anak-anak muda bangsa Belanda dan Indo-Belanda, mendirikan berbagai klub sepakbola. Gabungan klub sepakbola inilah yang berhimpun dalam sebuah perserikatan. Dulu, di Surabaya ada dua perserikatan yang menghimpun klub-klub sepakbola. Yang satu bernama: SVB (Sourabaja Vootbal Bond) dan SIVB (Sourabaja Indische Vootbal Bond).
SVB merupakan gabungan dari klub-klub sepakbola orang-orang Balanda dan Indo-Belanda, serta yang mau bekerjasama dengan pihak Belanda, yakni warga keturunan Arab dan Cina. Klub-klub itu antara lain bernama: HBS, THOR, Exesor, Ayax, Lemax, RKS, GIHO, Menimuriya, Anasar dan Tionghoa.
Sedangkan yang berada di bawah naungan SIVB, adalah klub sepakbola pribumi. Keberadaannya untuk menyaingi SVB. Klub-klub itu di antaranya: SELO, Maruto, PS.HW (Hizbul Wathan) milik perkumpulan Muhammadiyah, Olivio, Tjahaja Laut, Rego dan Radio.
Pada zaman Jepang, nama SVB merdup dan kemudian menghilang. Apalagi waktu itu banyak pemainnya yang ikut melarikan diri dari serangan balatentara Jepang. Nama SIVB juga tidak popular lagi. Sejak zaman Jepang inilah SIVB berganti nama menjadi Persibaja. Setelah bernama Persibaja, klub-klub yang masih ada, baik yang semula di bawah naungan SVB, maupun SIVB bergabung menjadi satu. Ada sepuluh klub waktu itu yang masih bertahan, yakni: SELO, Maruto, PS.HW, Olivio, Tjahaja Laut, Tjahaja Muda, Tionghoa, Alvags, Jonk Ambon (SVJA atau Surabaja Vootbal Jonk Ambon) dan Indo-Belanda.
Baik di zaman penjajahan Belanda, maupun penjajahan Jepang, kegiatan sepakbola tidak lepas dari “alat politik”. Melalui sepakbola dihimpun semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Begitu seterusanya, hingga kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945. Setelah kemerdekaan Indonesia, nama Persibaja semakin melekat di hati arek Suroboyo.
Pada awal kemerdekaan ini, dunia sepakbola tidak pernah absen. Perserikatan Persibaja, didukung 15 anggota klub, yakni: Naga Kuning, PORIS, Bintang Timur, HBS, THOR, POMM, TNH (Taruna Nan Harapan), PSAD (Persatuan Sepakbola Angkatan Darat), PSAL (PS Angkatan Laut), POPS, Angkasa, RKS, IM (Indonesia Muda), PS.HW, Maesa dan Assyabaab. Pada era berikutnya, bertambah lagi dengan PS.Sengkanaung, PS.Colombo, Mitra Utama, PS TEO, PS.Pusparagam, PS.Setia, PS.Surya Putra dan PS.Maluku.
Sekarang ini ada 30 klub yang bernaung di bawah Persebaya. Klub-klub itu adalah: PS.Assyabaab, PO Suryanaga, Reedo Star, PS Untag (Universitas Tujuhbelas Agustus), PS.Putra Gelora 79, PS.KSI (Kedaung Setia Indonesia), PS IM (Indonesia Muda), PS.Fatahillah 354, PS.Sasana Bhakti (Sakti), PS.Putra Surabaya, PS.Teo Dok Perkapalan, PS.Angkasa Laut, PSAD Dam V Brawijaya, PS.Sanana Mitra Surabaya, PS.Ega Putra, PS.Pelabuhan III, PS THOR, PS.Bintang Timur, PS.Fajar Suroboyo FC, PS.Mahasiswa, PS.Maesa, POPS, PS.HBS, PS.HW, PS.Angkasa, PS.Haggana, PS.Bama Putra, IR Unesa, PS.Kinibalu dan PS.Nanggala.
Nama-nama klub sepakbola yang bergabung ke dalam Persebaya itu, ada yang merupakan klub lama yang berganti nama. Misalnya: Bintang Timur, adalah penjelmaan dari SVJA yang kemudian ganti lagi menjadi POMM. Begitu pula dengan PS.Suryanaga, dulu namanya adalah klub Tionghoa, lalu ganti menjadi Naga Kuning. PS.Assyabaab sekarang, dulu namanya Anasar, kemudian berubah jadi Al Vaos. PS.Pelabuhan III sekarang ini adalah jelmaan dari PS.Pusparagam yang sebelumnya bernama PPOM, lalu PS.Maluku. Sakti (Sasana Bhakti) sekarang dulu bernama TNH (Taruna Nan Harapan), sedangkan PS.Sengkanaung berubah menjadi PS.Putra Gelora 79.
PS.Ega Putra, dulu namanya Gersiv, lalu ganti menjadi Surya Putra. Lain lagi dengan Reedo Star, dulu namanya MARS, ganti menjadi MARS BTPN, kemudian STAR. PS.Fatahillah 354 sekarang dulu bernama PORIS dan TEO berubah nama menjadi Teo Carrara, lalu sekarang Teo Dok Perkapalan. Sedangkan PS.Untag asalnya adalah PS.Colombo, lalu ganti nama menjadi PS.Mitra Colombo, terus berubah lagi menjadi PS.Mitra Untag. PS.Mitra Sanana Surabaya sekarang ini dulu namanya Sanana Putra dan Fajar Suroboyo FC dulu bernama PS.Fajar. Demikian pula dengan PS.KSI sebelumnya adalah PS.Setia. ***

*) Yousri Nur Raja Agam – Wartawan di Surabaya

Pusura Surabaya

PUSURA

Organisasi Sosial Tertua

Arek Surabaya

Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)

Yousri Nur RA,MHPUSURA, merupakan singkatan dari “Putera Surabaya”. Ini adalah nama organisasi sosial yang cukup tua di Kota Surabaya. Berdasarkan catatan yang ditemukan penulis, serta hasil pengecekan di kantor Pusura, hari lahir atau berdirinya Pusura adalah tanggal 26 September 1936.

Kita patut berbangga, sebab organisasi yang berdiri pada zaman penjajahan Belanda itu masih ada sampai sekarang. Para pengurusnya, benar-benar dapat melaksanakan amanah dari para pendiri dan pengurus-pengurus sebelumnya. Berkat kesinambungan kepengurusan itulah, kegiatan Pusura terus berkembang, terutama di bidang sosial.

Memang, pada awalnya ide mendirikan Pusura tidak semata-mata di bidang sosial. Namun kegiatan sosial itu hanya “kedok” untuk mengelabui penjajah Belanda waktu itu. Sebenarnya, kegiatan yang dilakukan Pusura pada tahun 1930-an itu adalah kegiatan politik terselubung, terutama menanamkan semangat perjuangan warga kota Surabaya ikut merebut kemerdekaan.

Untuk mencapai cita-cita kemerdekaan itu, para pendiri Pusura berusaha secara maksimal meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Di samping itu, menyelenggarakan kegiatan pendidikan untuk mencerdaskan anak bangsa yang ada di Kota Surabaya ini. Apalagi para pendiri organisasi yang semula bernama “Poesoera” ini, umumnya tokoh masyarakat yang berlatarbelakang politisi, cendekiawan, pendidik dan ulama.

Mereka antara lain, empat orang dokter pejuang, yakni: Dr.Sutomo, Dr.Soewandi, Dr.Yahya dan Dr.Samsi. Di samping itu ada ulama yang juga pejuang kemerdekaan, yakni KH Mas Mansur, H.Nawawi Amin, Koesnan Effendi, H.Manan Edris dan H.Hoesein. Foto para pendiri Pusura ini, sekarang dipajang di kantor Pusura yang terletak di Jalan Yos Sudarso 9 Surabaya.

Sebelum Pusura dilahirkan, kata Ketua Pusura (saat ini), H.Kadaruslan yang biasa disapa: Cak Kadar itu, Dr.Sutomo dan kawan-kawannya lebih dulu mendirikan Gedung Nasional Indonesia (GNI) di Jalan Bubutan. GNI ini merupakan pendopo dari gedung penerbitan dan percetakan, serta tempat pendidikan dan poliklinik kesehatan.

Di masa perjuangan itulah kegiatan sosial dikembangkan Pusura melalui kegiatan “sinoman”. Selain mengurusi warga yang meninggal dunia, sinoman juga tempat berhimpun warga yang melakukan kegiatan sosial kemasyarakatan. Namun saat kegiatan perjuangan kemerdekaan memuncak, aktivitas Pusura menurun, bahkan sempat terhenti.

Itulah sebabnya, saat kemerdekaan diproklamasikan 17 Agustus 1945 dan berlanjut hingga peristiwa bersejarah 10 November 1945, organisasi Pusura bagaikan tenggelam. Pengurusnya sibuk dalam kesatuan perjuangan yang terdiri dari berbagai organisasi, kelompok dan paguyuban.

Saat Pusura “hilang” di awal masa kemerdekaan Republik Indonesia, lahir organisasi bernama GPP (Gabungan Pemuda Perjuangan) Surabaya. Organisasi ini menggunakan seluruh fasilitas dan inventaris Pusura, kata Cak Kadar yang ditemui penulis di gedung Pusura yang terletak persis diseberang kantor DPRD Kota Surabaya.

Nah, barulah pada tahun 1950 nama Pusura dihidupkan lagi. Waktu itu, H.Doel Arnowo menjabat sebagai walikota Surabaya (1950-1952). Pusura bangkit dan ditata kembali. Selain kegiatan sinoman yang dimasyarakatkan ke seluruh kampung-kampung di Surabaya, kegiatan lainnya adalah mengumpulkan barang-barang inventaris yang berserakan akibat perang kemerdekaan, maupun akibat warga Surabaya mengungsi ke luar kota.

Berbagai upaya dilakukan untuk menarik warga kota Surabaya dalam berorganisasi di bidang sosial ini. Salah satu di antaranya adalah menyelenggarakan kegiatan olahraga. Mulai dari olahraga ringan, seperti catur, pencaksilat dan mendirikan klub sepakbola “mini” dan perkumpulan “anak gawang”. Anak-anak gawang ini difungsikan membantu pemungutan bola yang ke luar lapangan, saat pertandingan berlangsung. Tidak hanya yang diselenggarakan Persebaya saja, tetapi juga untuk klub-klub sepak bola lainnya.

Menurut Cak Kadar, Pusura pernah melahirkan grand master olahraga catur tingkat nasional dan internasional, yakni: Ardiansyah dan Taufik.

Saat kegiatan politik praktis menjelang Pemilu (Pemilihan Umum) pada tahun 1970-an, Pusura sempat terpecah. Pusura yang merupakan organisasi sosial kemasyarakatan, oleh orang tertentu digiring ke dunia politik. Namun upaya itu berhasil dicegah. Akibatnya, lahir organisasi “tandingan” bernama Pasura (Paguyuban Arek Surabaya).

Tidak hanya itu, Pusura pada dekade 1970-an hingga 1980-an sempat menjadi sorotan masyarakat dan aparat keamanan. Para tokoh tua yang menjadi pengurus Pusura, memilih untuk tidak aktif. Maka, anak-anak muda yang berada di markas Pusura lepas kontrol. Gedung Pusura menjadi “angker”, karena dijadikan tempat berkumpul para preman. Waktu itu, juga sering terjadi perkelahian antar geng anak muda.

Nama-nama geng yang cukup dikenal waktu itu, antara lain: Besi Tua, Air Laut, Massa 33 dan sebagainya. Sedangkan tokoh di balik geng ini antara lain, sebut saja: Cak Nuralim, Harun, Maison, Sugianto dan sederetan nama lainnya,

Walikota Surabaya Drs.Moehadji Widjaja (1979-1984), mempunyai perhatian yang cukup baik terhadap Pusura. Ia melakukan pendekatan persuasif kepada anak muda yang dicap sebagai preman. Cak Nuralim, salah seorang yang cukup disegani di kalangan anak muda yang dicap preman waktu itu, didekati oleh walikota Moehadji Widjaja.

Bersama beberapa wartawan dan tokoh muda Surabaya, Moehadji Widjaja menyambut baik berdirinya organisasi yang diberi nama Generasi Muda Arek-Arek Surabaya (Gemaas). Cak Nuralim diangkat sebagai ketua Gemaas yang pertama dengan wakilnya Hari Sasono DS yang waktu sebagai wartawan majalah “Selecta Group” Jakarta, perwakilan Jawa Timur.

Cak Nuralim dan Cak Hari Sasono mengajak beberapa wartawan sebagai pengurus Gemaas. Mereka antara lain: Arifin Perdana, Anton Abdullah, Anton Tjondro, Yousri Nur Raja Agam, Yamin Akhmad dan beberapa anak-anak muda lainnya. Saat Gemaas diresmikan oleh walikota Moehadji Widjaja, tahun 1980 itu, anggota Gemaas ini terdiri dari gabungan anak muda yang dicap sebagai “preman”, juga beberapa orang wartawan dan seniman.

Begitu akrab dan dekatnya “mantan preman” ini dengan wartawan dan seniman, gedung Pusura sempat dijadikan markas penerbitan Suratkabar Mingguan “Surabaya Minggu” yang dipimpin oleh Anwar Arief. Ikut bergabung sebagai pengelola koran itu, dua orang aktivis Pusura: Cak Nuralim dan Cak Jayeng Wandi.

Cak Kadaruslan, mantan wartawan Harian Berita Yudha perwakilan Jawa Timur, yang sebelumnya merantau ke Kalimantan, tahun 1993 kembali ke Surabaya. Sebagai mantan aktivis Kesatuan Aksi yang tergabung dalam Angkatan 66, ia melihat Pusura sebagai organisasi “Arek Suroboyo” kurang terurus. Tidak ada tokoh tua yang mau berinisiatif mengaktifkan kembali oraganisasi yang punya nama besar ini.

Setelah menemui para sesepuh Pusura, seperti Pak Asmuri, Pak Yahya Hasjim dan Pak Iskandar Yasin, kemudian mendapat masukan dari beberapa tokoh lainnya, maka Cak Kadaruslan menyatakan bersedia membenahi Pusura. Cak Kadar, kemudian terpilih dan mendapat mandat sebagai ketua Pusura. Ia berusaha menemui tokoh masyarakat Surabaya untuk diajak menjadi pengurus. Ternyata berhasil.

Dengan diaktifkannya kembali kepengurusan Pusura, image Pusura sebagai “sarang preman” berhasil dihapus, kata Cak Kadar yang juga dikenal sebagai seniman anggota DKS (Dewan Kesenian Surabaya) ini.

Secara bertahap pengurus menyusun program kerja jangka pendek dan jangka pajang. Juga dibuat kalender kegiatan rutin tiap tahun. Misalnya, kegiatan yang berhubungan dengan peringatan hari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus dan peringatan Hari pahlawan 10 November.

Kegiatan yang bersifat sosial ditingkatkan, termasuk mengembang Poliklinik Pusura yang menyediakan pelayanan gabungan dokter spesialis. Tidak hanya di komplek Pusura di Jalan Yos Sudarso, tetapi jug di beberapa tempat yang tersebar di kota Surabaya. Tidak hanya itu, ulas Cak Kadar, kegiatan bakti sosial, donor darah, bantuan untuk penderita penyakit kusta dan anak jalanan juga diselenggarakan terus-menerus. Pusura juga menyelenggarakan pengajian rutin ibu-ibu dan pemuda. Di samping itu, dibuka pula Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pusura yang malayani masyarakat umum. Pada saat tertentu diselenggarakan seminar dan diskusi membahas persolan yang aktual.

Ada lagi satu kepercayaan yang “luar biasa” yang saat ini diemban Pusura, yakni mengelola Taman Pemakaman Umum (TPU) Tembok Dukuh oleh Pemerintah Kota Surabaya. Kepercayaan ini, dilaksanakan oleh Pusura dengan menunjuk kordinator pelaksana. Walaupun kepercayaan mengelola TPU Tembok Dukuh yang luasnya 13 hektar ini diberikan oleh Pemkot Surabaya, tetapi tanpa disertai dukungan dana. Jadi, Pusura mengelola TPU itu secara swakelola dan mandiri, kata Cak Kadar.

Susunan pengurus Pusura saat ini, terdiri dari Penasehat, yaitu: H.Yahya Hasjim, H. Asmoeri, Ir.H.Moechajat, H.Iskandar Yasin. Ketua Umum: H.Kadaruslan, dibantu lima orang ketua, masing-masing: Ir.H.Mustahid Astari, Drs.H.Manan Chamid, H.Latif Burhan, H.Binsjeh Abuyani dan H.Basori Effendi. Sekretaris Umum: HM Zaidun,SH dengan dua sekretaris: Hoslih Abdullah dan Ir.H.Abdul Muin. Bendahara Umum H.Sofwan hadi dengan wakil bendahara: Ny.Hj.A.Manan Chamid.

Dengan melihat susunan pengurus Pusura itu, kata Cak Kadar, jelas bahwa Pusura tidak membeda-bedakan orang berdasarkan aliran politik yang diikutinya. Pusura merupakan organisasi sosial yang terbuka dan tidak terkena imbas politik praktis. Dalam organisasi ini semua “lepas baju”. Artinya, saat berada di lingkungan Pusura, tidak ada pengaruh warna politik yang dianut oleh orang perorang dalam organisasi sosial kemasyarakatan ini.

Musyawarah Pusat ke I  

Semangat reformasi juga bermunculan di kalangan keluarga besar Pusura. Para sespuh dan tokoh Surabaya menyadari, perlu dilakukan peremajaan dalam tubuh Pusura. Berbagai kegiatan yang membawa corak kehidupan yang khas di Surabaya harus dipertahankan. Budaya “Arek Suroboyo” yang sudah mendunia akibat semangat juang Arek-arek Suroboyo di tahun 1945, perlu diketuktularkan menurut versi zaman kini.

Cak Kadar, bersama pengurus Pusura tahunn 2009 bersepakat untuk melakukan peremajaan kepengurusan melalui media formal. Sesuai dengan AD-ART yang sudah dibuat, peremajaan dan penggantian pengurus dilaksanakan melalui Musyawarah Pusat Pusura. Untuk pertamakali diselenggarakan Musyawarah Pusat Pusura tanggal 28 Juni 2009.

Pada Musyawarah Pusat I-2009 itu terpilih formatur untuk menyusun kepengurusan Pusura masabakti 2009-2013. Formatur yang sekaligus sebagai Ketua Umum, terpilih H.Muchammad Zaidun. Disepakati pula, Hoslih Abdullah dan Ka Loko Djojo sebagai anggota formatur.

Untuk masabakti 2009-2013 ini tersusun pengurus yang cukup lengkap. Pada jajaran Dewan Pertimbangan, diisi sepuluh sesepuh dan tokoh masyarakat Surabaya, yakni: H.Yahya Hasyim, H.Asmoeri, H.Kadaruslan, H.Mustahid Astari, H.Bambang Sulistomo, H.Manan Chamid, H.Abdul Karim, H.Abduyl Latief Burhan, H.Herman Rivai dan H.Kusnandar.

Kepengurusan juga dilengkapi dengan Dewan Pakar, yaitu: Prof.Dr.Ir.M.Nuh,DE ; Prof.Dr.Aminuddin Kasdi,MA ; Prof.Dr.Eman Ramelan,SH,MS ; Dr.Tjoek Kastoeri Soekiadi,SE ; Dr.Ir.H.Alisjahbana,MA dan Drs.Aribowo,MA.

Pengurus harian: Ketua Umum H.Muchammad Zaidun disertai tiga Ketua, yakni: Sabrot D.Malioboro, H.Muhammad Fadil dan Wisnubroto Heruputranto. Sekretaris Umum: Hoslih Abdullah dengan dua sekretaris, yaitu: Zakaria Anshori dan Heroe Poernomosidi. Bandahara H.Supardi dan Wakil Bendahara Bambang Sukariadji.

Ada delapan bidang yang sebagai kelengkapan kepengurusan, yaitu: bidang Hubungan Masyarakat (Humas), bidang Hukum, bidang Organisasi, bidang Pemuda, bidang Wanita, bidang Kesehatan, bidang Seni Budaya dan bidang Wira Usaha.

Kegiatan Pusura, juga ditunjang oleh organisasi yang bersifat otonom. Badan otonom Pusura itu, di antaranya: Sinoman Kematian Pusura, Wanita Pusura, Gemaas (Generasi Muda Arek-arek Surabaya) Pususa, POB (Persatuan Olahraga Beladiri) Garuda Mas Pusura, Pemuda Pusura, Lembaga Kesehatan Pusura dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pusura.

Sabrot Dodong Malioboro, ketua Pusura yang ditemui penulis di kantor pusat Pusura Jalan Yos Sudarso 9 Surabaya, mengakui, sekarang kegiatan Pusura semakin banyak. Di samping pelayanan sosial dan poliklinik Pusura yang ada di beberapa tempat, nama dan citra Pusura sebagai ikon Kota Surabaya sudah terangkat. Gedung Pusura hampir tak pernah lengang. Berbagai aktivitas dilaksanakan di gedung tua yang masuk kategori “cagar budaya” ini. Ruang utama sering dipergunakan untuk kegiatan seminar, pengajian, olahraga dan pertemuan lainnya.

            Memang, ujar Sabrot, kendati sudah melekat di hati masyarakat Surabaya, ke depan Pusura akan terus melakukan kegiatan yang bernafaskan sosial kemasyarakatan. Masing-masing bidang dalam kepengurusan sudah dan akan terus meningkatkan aktivitasnya. Begitu pula dengan badan otonom yang bernaung di Pusura. ***.

 *) Yousri Nur Raja Agam MH – Ketua Yayasan Peduli Surabaya

Sinoman Arek Surabaya

SINOMAN

Kegiatan Amal

Arek Suroboyo

Oleh: Yousri Nur Raja Agam M.H. *)

Yousri Nur RA MH

Yousri Nur RA MH

DALAM kamus Jawa atau “Bausastro Jawi”, karangan WJS Poerwadarminta, kata “Sinom”, artinya: pucuk daun, daun asam muda, bentuk rumah limas yang tinggi dan lancip, nama tambang mocopat, dan nama bentuk keris. Tetapi, jika kata Sinom mendapat tambahan akhiran “an”, menjadi “Sinoman”, maka maknanya menjadi: anak muda yang menjadi peladen di desa saat acara hajatan, peladen pesta atau perhelatan, tolong menolong saat mendirikan rumah, kerukunan atau gotongroyong.

Tetapi di balik semua makna itu, terkandung sesuatu yang amat luhur dan terpuji. Sebab, kegiatan sinoman itu adalah bekerjasama, bergotongroyong yang dilakukan secara sukarela untuk kepentingan orang lain.

Rasanya, di alam serba maju dan kehidupan manusia metropolis, makna gotongroyong dan sinoman itu sudah diabaikan orang. Kendati demikian, ternyata hal yang mustahil itu tetap ada dan tidak pernah hilang. Memang, kalau di desa dan di kampung-kampung kehidupan masyarakatnya sangat guyub dan penuh kekeluargaan. Berbeda dengan di kota, yang masyarakatnya individualis, sudah jauh dari kebiasaan itu.

Di kota kegiatan sinoman sudah lama dipandang sebelah mata. Terutama oleh manusia materialistis. Orang kaya di kota, tidak mau repot. Semua masalah bisa diatur dengan uang dan membayar orang untuk keperluan apa saja. Termasuk urusan pengurusan kematian. Semua bisa diserahkan kepada perusahaan yang “berbisnis” di bidang pengurusan kematian ini.

Kematian adalah peristiwa alam yang pasti ada dan terus terjadi. Sama dengan kelahiran dan perkawinan. Sehingga manusia sebagai bagian dari makhluk hidup di dunia ini pasti akan mengalaminya.Dalam ajaran agama apapun, termasuk pula manusia yang atheis, mengakui adanya kematian.

Firman Allah di dalam Al Quran, menyebutkan bahwa setiap insan akan menemui kematian atau maut. Kalau sudah waktunya, tidak ada yang mampu menolak ajal. Hal yang sama juga diyakini oleh semua orang di dunia ini sejak zaman dulu hingga masa yang akan datang.

Walaupun kematian merupakan peristiwa yang lumrah, tetapi tidak semua orang siap menerima kenyataan itu. Kematian bahkan, dianggap sebagai peristiwa luar biasa. Di saat itu ada orang yang merasakan merasakan kehilangan segala-galanya. Terutama jika yang meninggal dunia itu adalah kepala keluarga yang menjadi tonggak tempat bergantungnya semua kebutuhan rumahtangga.

Bagaimanapun juga, ternyata tidak semua persoalan dapat dilaksanakan dengan “bisnis”, termasuk kegiatan kematian. Rasa kebersamaan masih tetap ada. Tidak pernah terjadi sebuah peristiwa kematian dibiarkan begitu saja. Termasuk di kota-kota besar, seperti Surabaya, misalnya.

Justru, di kota-kota besar itulah muncul kegiatan sosial kemasyarakatan. Berbeda dengan di desa yang masyarakatnya sudah menyatu dalam sebuah lingkungan yang homogen. Dalam pergaulan heterogen, masyarakatnya akan mencari persamaan. Mencari hubungan antarmanusia. Misalnya, berdiri perkumpulan masyarakat di bidang sosial. Mereka berhimpun dengan dasar se-agama, se-asal daerah bagi para perantau, sama-sama satu almamater, se-organisasi, satu kelompok pengajian, sering bertemu dan berbagai alasan lain.

Di Kota Surabaya, kegiatan sosial yang disebut “Sinoman”, ternyata sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Prof.Dr.H.Roeslan Abdulgani, tokoh tua yang berasal dari Surabaya, mengisahkan kepada penulis tentang “Sinoman”. Bahan-bahan ini diperoleh penulis saat mempersiapkan tulisan untuk buku “Cak Narto Peduli Wong Cilik” tahun 1997.

Menurut Cak Roeslan – begitu Roeslan Abdulgani biasa disapa – dalam sejarah kelahiran dan perkembangan Sinoman, adalah bentuk kegotongroyongan sosial. Tujuannya untuk membina dan meningkatkan kerukunan. Semboyannya adalah: “Rukun Anggawe Santoso” – rukun untuk menumbuhkan kesentosaan. Kita bisa kuat kalau kita rukun. Sebaliknya, bangsa yang jiwanya kuat dapat membangun kerukunan.

Dalam bahasa Jawa atau Sangskerta, kuat karena rukun dan rukun karena kuat, disebut: “Dharma Eva, Hato Hanti”. Kuat karena bersatu dan bersatu karena kuat. Jadi, motto “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, adalah sebuah kenyataan.

Nah, mengapa masyarakat Kota Surabaya memerlukan kekuatan dan kesentosaan? Tidak lain karena dalam kehidupan sehari-hari, kita semua menghadapi berbagai macam persoalan yang hanya dapat diselesaikan secara bersama-sama dengan bergotongroyong. Lebih-lebih sesama tetangga dekat. Hal ini sudah dialami warga Surabaya sejak zaman dulu, ketika dijajah Belanda dan Jepang, kemudian saat mempertahankan kemerdekaan yang dikenal dengan peristiwa pertempuran 10 November 1945, hingga sekarang ini.

Melalui Sinoman, warga Kota Surabaya dapat mengatasi berbagai masalah. Sinoman merupakan bentuk tertinggi dari jiwa kegotongroyongan. Dulu kehidupan kota Surabaya, masih sama dengan alam desa. Perubahan zaman membuat kehidupan kota terpengaruh.

Kegiatan Sinoman, awalnya terlihat dari kebersamaan memasang “terop” atau tenda, menyusun kursi dan alat-alat lainnya saat ada hajatan. Peralatan ini, milik bersama warga yang diperoleh dari “urunan”. Termasuk perlengkapan untuk kematian. Biasanya, di samping mushalla atau langgar, diletakkan “penduso” atau keranda jenazah. Juga alat-alat untuk pemandian jenazah, persediaan kain kafan dan wangi-wangian. Ini apabila untuk kematian. Lain lagi dengan pesta perkaiwinan, sunatan dan hajatan selamatan. Peralatan yang disimpan di gudang Sinoman adalah: piring, cangkir, gelas, lampu dan sebagainya.

Masih menurut Cak Roeslan, di tahun 1930-an, sewaktu gerakan toko-toko koperasi muncul di mana-mana, Sinomanpun ikut bergerak dalam kegiatan koperasi konsumsi dan koperasin kredit. Di sini Sinoman menyediakan kebutuhan sehari-hari dan membantu pengusaha kecil dengan kredit dengan bunga rendah.

Sinoman pada zaman Belanda itu, muncul di kampung-kampung. Antar kampung yang berdekatan mendirikan “Raad Sinoman”. Seperti Raad Sinoman kampung Plampitan, Peneleh, Pandean, jagalan, Undaan, Genteng, Bubutan, Maspati, Kawatan, Koblen, Tembok dan sebagainya. Tidak kurang dari 20 Raad Sinoman waktu itu di Kota Surabaya.

Kata “Raad” berasal dari bahasa Belanda, yang artinya: dewan. Waktu itu, masyarakat Belanda di Kota Surabaya mendirikan “Gemeente Raad”, yaitu “Dewan Kotapraja”. Gemeente Raad itu menentukan pajak-pajak yang harus dibayar oleh rakyat di kampung-kampung yang disetorkan ke kantor Gemeente atau Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. Nah, agar rakyat Surabaya tidak diperlakukan sewenang-wenang, maka Raad Sinoman dibentuk untuk mengimbangi dan melawan Gemeente Raad.

Di zaman Jepang, Sinoman dipaksa untuk membantu peperangan. Sekalipun dipaksa menjadi “Tonarigumi”, yaitu Rukun Tetangga, namun usaha membela rakyat menghadapi penindasan Jepang terus dikobarkan. Di balik itu ada hikmahnya, karena di zaman Jepan itulah, Sinoman atau “Tonarigumi” dapat mendirikan pos-pos pemadam kebakaran terhadap bom-bom yang jatuh dan menolong korbannya.

Hal yang sama juga dialami saat pertempuran 10 November 1945. Karena yang tampil selalu anak-anak muda yang berjuang dan bekerja dengan sukarela, disebutlah kelompok anak muda itu “poro nom-noman”, lalu menjadi “Si Nom-an” atau kumpulan anak muda yang suka bergotongroyong untuk kepentingan bersama, ujar Cak Roeslan.

Penggeraknya Anak Muda

Sesuai dengan asal-muasal kata “Sinoman” adalah kumpulan anak muda yang suka bergotongroyong, maka di sini kegiatan amal dan sosial harus diutamakan. Artinya, kegiatan sinoman, harus bertujuan untuk membantu sesama dan demi kepentingan bersama. Kecuali itu, kegiatan sinoman harus mampu menghadapi tantangan zaman yang serba komersial dan bernuansa bisnis.

Berdasar catatan sejarah yang ada, sinoman pada awalnya memang sekedar wadah untuk menampung keinginan sekumpulan anak muda. Mereka ini ingin memperoleh pengakuan sebagai insan yang dipercaya dalam bidang sosial. Nah, karena kegiatan gotongroyong merupakan panggilan hati nurani, maka hal ini tidak sulit untuk diwujudkan. Walaupun demikian, perlu ada pendorong yang mampu menjadi pelopor sebagai penggerak.

Jelas di sini, sinoman sebagai kegiatan anak muda, maka motor penggeraknyapun harus para pemuda. Sudah menjadi hukum alam, bahwa kaum muda merupakan tulang punggung penggerak kegiatan dalam masyarakat. Tidak hanya di bidang sosial dan rumahtangga, tetapi lebih jauh lagi, yakni sebagai patriot pembela bangsa dan negara.

Kembali kepada kegiatan sinoman di Surabaya, sebagaimana dituturkan oleh Cak Roeslan – yang lengkapnya adalah: Prof Dr.H.Roeslan Abdulgani – pada tahun 1920-an saja, kegiatan sinoman sudah tertata rapi. Mempunyai pengurus tetap dan banyak inventaris. Barang-barang milik sinoman itu diperoleh dari sumbangan dan bantuan warga secara sukarela, maupun dibeli dengan uang kas.

Surabaya sebagai bandar pelabuhan dan tempat bertemu para pendatang, lama kelamaan menetap di darat. Dan para pendatang itulah, penduduk asli Surabaya. Sehingga tidak perlu heran, yang disebut “Arek Suroboyo”, berasal dari berbagai etnis dan suku bangsa, ujar Cak Roeslan sesepuh Arek Suroboyo ini.

Nah, Surabaya terus berkembang dengan kehidupan warganya yang mulanya membawa budaya daerah masing-masing. Lama kelamaan masing-masing budaya dari berbagai daerah itu menyatu di Surabaya. Dari penggabungan berbagai adat istiadat itulah, kemudian lahir tradisi baru di Surabaya yang kemudian menjadi “budaya Surabaya”.

Karena budaya Surabaya itu mengadopsi macam-macam tradisi dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan juga dari mancanegara, maka nuansanya sangat dinamis. Di samping warna dominannya adalah budaya Jawa dan Madura, namun pengaruh adat Banjar dan Dayak dari Kalimantan, Bugis dari Sulawesi, serta pengaruh adat Sunda dan Melayu (Minang, Aceh, Riau dan Palembang dari Sumetara) juga terlihat dalam kegiatan seari-hari.

Tradisi masyarakat Surabaya, yang Islami dengan pengaruh kebiasaan umat Islam dan Arab, juga terasa ada dalam beberapa hal, pengaruh budaya Cina atau Tiongkok. Dan harus pula diingat, selama 3,5 abad kita dijajah bangsa Belanda dan Eropa yang membawa ajaran Kristen dan Katholik. Gaya dan pola hidup warganya sebagian seperti mereka itu. Selain itu semua, budaya Hindu dan Budha sebagai agama yang dianut nenek moyang kita dahulu kala juga masih tersisa dalam berbagai aktivitas warga Surabaya di alam modern ini.

Clifford Gertz, menyebut warga Surabaya pribumi bukanlah penganut ajaran agama yang fanatik. Warga Surabaya ini adalah: “masyarakat abangan”. Maksudnya di sini, kendati beragama Islam, mereka tidak sepenuhnya menjalankan syariat agama secara benar. Begitu pula mereka yang bukan penganut Islam. Masyarakat Surabaya di sini memang menjadi masyarakat marjinal. Mereka menentang ras dan etnis yang tidak seiman, tetapi tidak mampu menyatukan diri dengan mereka yang seiman.

Kondisi kejiwaan seperti inilah, ungkap Tom Pires dalam Suma Oriental, yang menjadikan masyarakat Surabaya menjadi masyarakat “kasar”. Dan paling tidak enak, adalah istilah yang diberikan oleh William H.Frederick, bahwa masyarakat Surabaya sebagai bangsa yang keras kepala.

Ada tiga contoh konkrit dalam sejarah yang merefleksikan kekerasan masyarakat Surabaya. Masing-masing tercermin dalam diri pahlawan rakyat Trunojoyo (Madura), Untung Suropati (Pasuruan) dan Sawunggaling (Surabaya). Kendati ke tiganya mewakili tiga daerah, namun ketiganya merupakan mata rantai yang saling terkait di Surabaya ini.

Memang, kegiatan pahlawan rakyat itu dicuatkan namanya dari daerah, tetapi pemberontakan yang menjadi latar belakangnya berawal dari pergolakan hidup di kota ini. Surabaya diibaratkan sebagai “pemilik tali penggerak gasing”. Sedangkan daerah yang menjadi tempat terjadinya pemberontakan berfungsi sebagai tempat berputarnya anak gasing.

Sejak ajaran Islam menjadi bagian kehidupan masyarakat di pantai utara Jawa, sebagai agama yang disebarkan para sunan “Wali Songo”, tradisi Islam mulai berpengaruh dalam kehidupan sosial budaya. Di sinilah, terasa aktivitas anak muda sebagai “peladen” di tengah khalayak. Budaya “Sinoman” terus berkembang dalam bentuk kombinasi berbagai adat dan ajaran yang manusiawi.

Elastisitas manusia Jawa, yang mempunyai kecenderungan sinkretis, memberi kemungkinan menerima pengaruh itu. Sinoman di Surabaya mempunyai akselerasi untuk berkembang cepat. Sebab, sinoman merupakan ruh yang mempersatukan kesamaan asal, rasa senasib dan kesamaan iman antarpendatang atau urbanis. Kehidupan keras yang dilingkupi tradisi hasil asimilasi nilai Islami dengan pranata kedaerahan, memberikan kemungkinan sinoman berkembang subur.

Sinoman Lama

Melalui sinoman, warga kota bisa menyatukan persepsi dan mengekspresikan diri secara bebas. Sebab sinoman merupakan wadah untuk berhimpun, melalar kenangan dan sekaligus sebagai sarana untuk melakukan perlawanan bila dibutuhkan.

Di balik kemajuan dan perkembangan sinoman di masa lalu, ternyata “menyimpan bara”. Penyatuan antarwarga “kasar dan abangan” itu, telah menjauhkan komunikasinya dengan warga lain yang berasal dari etnis Cina, Arab dan India. Bagi masyarakat keturunan Arab, mereka tidak begitu peduli – karena ada semacam pengkultusan – namun tidak demikian halnya dengan warga keturunan Cina, India dan Eropa yang berkuasa waktu itu.

Di zaman penjajahan Belanda, sinoman sempat menjadi “musuh” warga keturunan Cina, karena mereka senang berlindung di balik penguasa. Waktu itu warga pribumi mulai dirangsang dan bangkit untuk merdeka. Kebencian terhadap Belanda, juga menimbulkan antipati terhadap etnis Cina. Warga keturunan ini diasumsikan sebagai warga a-sosial, sosialisasi kerakyatannya lemah dan cenderung tidak mau tahu persoalan yang berkembang di luar diri dan etnisnya. Tidaklah mengherankan, kalau William H.Frederick, melontarkan kalimat “Cina singkek” untuk warga keturunan yang masa bodoh terhadap lingkungan sekitar itu. Konotasinya memang jelek, sehingga dalam hal tertentu sering dijadikan bahan ejekan.

Sejarah memang tidak dapat dipungkiri. Dari zaman ke zaman, situasi dan kondisi mengalami perubahan. Sinoman lama, di masa penjajahan Belanda dan Jepang, memang tidak sama dengan sinoman masa perjuangan kemerdekaan. Lalu, setelah merdeka dan masa kini, juga lain. Bahkan, pola baru sinoman di era kehidupan metropolis tampil beda, tetapi ruh dan cita-citanya tetap sama.

Terancam Kegiatan Bisnis

Kegiatan Sinoman terus berkembang dan juga berubah. Pola tradisional yang hidup di kampung-kampung dalam Kota Surabaya, mulai dipengaruhi gaya hidup masyarakat kota Metropolitan. Kegiatan kemasyarakatan yang biasanya menjadi bagian dari kegiatan sinoman yang sepenuhnya bersifat sosial, ada yang sudah beralih menjadi “ajang” bisnis atau sekurang-kurang bernuansakan pamrih.

Salah satu contoh yang sangat mencolok adalah kegiatan pemakaman. Kalau dulu, setiap orang terpanggil dan berebut untuk menggotong keranda jenazah atau “penduso”, kini banyak yang berpangku-tangan, menyerahkan kegiatan itu kepada perusahaan yang mengurus penguburan. Hal yang sama juga terlihat saat jenazah akan dikuburkan ke liang lahat. Anak-anak dan keluarga terdekat biasanya langsung terjun menunggu jasad almarhum atau almarhumah di dalam lubang kuburan, kini adakalanya dilakukan oleh “orang lain”.

Yang lebih tragis lagi, untuk memandikan dan mendoakan jenazah almarhum atau almarhumah juga ada yang “diserahkan” kepada orang lain. Ini, karena modin tidak ada di kawasan permukiman itu.

Kalau “orang lain” itu adalah tetangga dan kerabat keluarga yang sedang berduka, masih tidak masalah, karena sifatnya masih sosial dan sukarela. Tetapi, kalau yang manggali, menguburkan sampai menimbun kembali tanah ke lubang kuburan semuanya “orang lain” yang dibayar dan berasal dari perusahaan jasa penguburan ata pemakamam, maka akan lenyaplah ajaran agama Islam dan tradisi nenek moyang kita.

Seandainya hanya membawa jenazah karena tempat pemakaman jauh dari rumah duka dengan mobil jenazah harus dibayar, rasanya masih wajar. Begitu pula menggali dan menimbun kembali tanah ke lubang kubur dilakukan oleh para penggali khusus yang sudah ada di lokasi pemakaman, semua itu masih dapat dimaklumi. Tetapi, kalau sampai hal-hal yang khusus sesuai dengan ajaran agama dan tradisi semua “diborongkan” kepada perusahaan pengelola jenazah dan pemakaman, tentu sangat menyedihkan. Sebab tradisi seperti itu, hanya lumrah kita saksikan pada masyarakat non Muslim, seperti warga Tionghoa atau Cina, misalnya.

Kegiatan bisnis pengurusan jenazah dan pemakaman di kalangan umat Islam dan “Arek Suroboyo”, kalau tidak segera dibendung, bisa saja terjadi seperti yang berlaku di masyarakat non Muslim itu. Suatu saat akan kita saksikan pola pengurusan jenazah seperti dalam kehidupan masyarakat Tionghoa. Ada tempat penghimpunan dan upacara seperti yang dikelola Yayasan “Adhi Yasa” di Jalan Demak Surabaya. Bahkan pengurusan jenazah, pengangkutan sampai penguburan juga dilakukan oleh yayasan atau perusahaan.

Dengan Sinoman, seharusnya semua itu tidak terjadi. Tidak usahlah kita meniru pola perusahaan pengurusan jenazah “Carrara” yang berdiri sejak tahun 1948. Juga jangan seperti “Ario” yang memborong segala kebutuhan jenazah. Atau “Tiara” yang mengiklankan ambulance full AC. Juga seperti Yayasan “Gotong Royong” dan “Bagus Abadi” , serta masih banyak lagi yang lain.

Sinoman yang merupakan tradisi bernuansa Islami, harus tetap dipertahankan dan dikembangkan keberadaannya di era modernisasi dan kehidupan kota Metropolitan yang metropolis ini. Sekurang-kurangnya tradisi itu dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman, tanpa harus mengurangi nilai ajaran agama dan leluhur.

Warga Surabaya, ternyata mampu membuktikan ketahanan masyarakatnya membendung dan melakukan antisipasi terhadap gejala global itu. Sinoman mengalami kemajuan dengan adanya peremajaan dan periodesasi kepengurusan. Ini memperlihatkan, bahwa organisasi sinoman sudah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat Surabaya.

Secara organisasi, sinoman dapat menanamkan sendi-sendi berorganisasi. Ini dapat dilihat dengan adanya kesadaran membayar iuran dan sumbangan sukarela pada saat tertentu. Dalam wujud nyata, sinoman yang di zaman pra-kemerdekaan sempat melibatkan diri dalam kegiatan politik, sekarang “sudah bersih” dari pengaruh itu dan murni menjadi paguyuban sosial.

Kalau dulu, pada saat “Sinoman Lama”, warga keturunan Cina, Arab dan India menjadi warga elite yang “dimanjakan” penjajah, setelah Indonesia merdeka, mereka secara bertahap melibatkan diri dalam kegiatan di lingkungan permukiman. Mereka sudah bisa menyatu dan membaur dengan warga sekitar. Di beberapa kawasan permukiman, merekapun duduk sebagai pengurus sinoman.

Untuk menghidupi organisasi sosial sinoman ini, bukan tidak ada yang berbau bisnis. Dari iuran dan sumbangan warga, dibelikan barang-barang keperluan hajatan. Mulai dari terop (tenda), kursi, meja, piring, gelas, sendok, sampai alat pengeras suara (sound system). Agar barang-barang ini tetap utuh dan bisa bertambah, maka kepada yang menggunakannya diharapkan bantuan sukarela. Memang, ada tarif yang ditetapkan untuk masing-masing barang, tetapi bagi keluarga yang tidak mampu dan benar-benar dalam keadaan susah, dipinjamkan secara gratis. Bahkan mendapat bantuan uang duka dari urunan warga.

Dalam sejarahnya, memang sempat terjadi pengaruh dalam perkembangan sinoman di kota Surabaya. Pada tahun 1980-an, saat kegiatan pembangunan kota sudah mengarah pada kegiatan penggusuran. Masyarakat kampung dalam kota Surabaya mulai terpencar ke pinggir atau ke luar kota. Walaupun ada kelompok sinoman yang “bubar” akibat kampungnya tergusur, ternyata di permukiman baru atau kawasan realestat, sudah ada yang mendirikan paguyuban sinoman. Namun, merintis berdirinya sinoman di kawasan permukiman baru tidak gampang. Harus ada yang berani mempelopori, karena awalnya di antara sesama warga baru yang belum saling kenal, tentu mempunyai sikap hati-hati, agar niat luhur itu diterima dengan keterbukaan.

Keberadaan sinoman ini, memang bukan “monopoli” warga Surabaya. Hal yang sama juga ada di tempat lain. Di Jakarta, ibukota negara Republik Indonesia, hidup warga asli yang disebut: masyarakat Betawi. Di sini juga ada tradisi dan adat yang sama. Selain itu juga banyak perantau dan pendatang dari berbagai daerah, suku bangsa di Indonesia, serta yang berasal dari negara lain.

Kehidupan masyarakat metropolitan Jakarta, memang tidak memusnahkan tradisi desa atau kampung asal para perantau. Sebagaimana masyarakat daerah atau suku lain di Indonesia, perantau yang berasal dari Surabaya ternyata berhasil membentuk paguyuban Sinoman Suroboyo.

Sesepuh Surabaya, Cak Roeslan Abdulgani yang sudah lama bermukim di Jakarta, mengatakan, kegiatan sinoman di Jakarta ini sejalan dengan adanya Paguyuban Arek Surabaya. Organisasi sinoman warga Surabaya di Jakarta bernama “Sinoman Keluarga Besar Surabaya Jawa Timur”. Kegiatannya sama dengan sinoman pada umumnya. Namun, yang paling utama adalah apabila ada keluarga yang ditimpa kemalangan, khususnya meninggal dunia.

Semangat sinoman di Jakarta ini begitu kuat pada tahun 1970-an. Sampai-sampai kata Cak Roeslan diciptakan lagu berjudul “Sinoman Suroboyo” Lagu dan syair ini adalah karya H.Nur Azhar yang diciptakannya pada bulan Maret 1979 di Jakarta. Inilah lirik dan syair lagu “Sinoman Suroboyo” tersebut:

Sinoman Suroboyo Rek – paguyuban kanggu kepentingan amal ; kumpulanne sing nduweni timbang roso. Tinggalane wong tuwo Rek – ayo kudu diterusno. Sinoman Suroboyo Cak – gotongroyong sing dadi tujuan utomo. Mulane ojo’ lali Cak – iku prilaku sing mulyo, iku kepribadian bongso.

Kaping pisan: tulung tinulung, kaping pindo: ndaweg sing rukun, kaping telu: tambah sedulur, kaping papat: ojo’ sok mbeda’-beda’no. Kabeh mau margo Sinoman – ilingo sing kerepotan – kapan maneh urip ning ndonyo – sing sok ngadoh – mburine tibo nelongso. Pancen apik seneng bergaul – semboyane mangan ndak mangan nek kumpul.

Sinoman Sidomulyo Rek – sing nom-noman jo’ sembrono. Sinoman Margorukun Cak – sing mbegedut musti getun. Sinoman Sidorame Ning – sing emanan isin dewe. Sinoman Sukolilo Wak – abot enteng lakonono.

Demikian lirik, irama yang syahdu dapat membangkitkan semanat persatuan, kesatuan dan guyub untuk bergotongroyong dalam nyanyian berbahasa Jawa dialeg Surabaya itu. ***

*) Yousri Nur Raja Agam M.H. – Ketua Yayasan Peduli Surabaya

9 November 1945

Diultimatum Sekutu,

Semangat Arek

Surabaya Terbakar


Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)

Yousri Nur RA  MH

Yousri Nur RA MH

MERASA dilecehkan dengan oleh ultimatum Jenderal Masergh, Arek Surabaya (baca: Suroboyo) bangkit dan meradang. Semangat Arek-arek Surabaya terbakar dan “Surabaya mendidih”.

Darah yang menggelora di hati rakyat Surabaya dan Jawa Timur benar-benar sudah memuncak sampai ke ubun-ubun. Namun, Gubernur Jatim RMTA Soerjo, masih mampu mengendalikan emosinya.

Satu per-satu tuduhan yang disampaikan Manserg dalam pidato tertulisnya disangkal Gubernur Soerjo. Ia bicara dengan suara yang dalam, tetapi tegas. Semua tuduhan Mansergh itu dibedah dengan nada suara yang keras bak menyayat hati Komandan Tentara Sekutu di Jawa Timur itu. Indonesia punya bukti-bukti dengan dokumen yang jelas, sergah Gubernur Soerjo.

Mendapat jawaban yang menantang itu, Mansergh hanya diam. Ia menunduk tidak bicara apa-apa.

Suasana perundingan yang digelar biro-kontak itu menjadi tegang. Gubernur Soerjo menugaskan Residen Soedirman dan Moehamad ke Morokrembangan. Sedangkan Jenderal Mansergh pamit meninggalkan ruangan. Ia minta Kolonel Pugh mewakili Inggris meneruskan rapat. Namun, Gubernur Soerjo pun beranjak pergi dan menugaskan Doel Arnowo dan Soengkono meneruskan perundingan mewakili Indonesia.

Penugasan Residen Soedirman dan Moehamad ke Morokrembangan, ternyata menyaksikan kelicikan Inggris dan Sekutu. Sebab, diam-diam mereka sudah mendaratkan pasukan Divisi 5 sebanyak 24 ribu personal. Mereka berkoar, bergerak melakukan intimidasi terhadap Arek Suroboyo.

Ternyata, manuver Inggris itu benar-benar membangkitkan semangat perlawanan yang tinggi. “Biar jadi debu, lawan Inggris hingga titik darah terakhir!” Begitu seruan yang diteriakkan para pemimpin pasukan pejuang.

Perang Surat

Surat Mansergh datang lagi. Surat itu dikeluarkan hari Kamis, 8 November 1945 yang ditujukan kepada Gubernur Soerjo. Isinya itu penuh keangkuhan.

Ia minta Gubernur Soerjo datang menghadap ke kantornya di Jalan Jakarta (Batavia-weg), di kawasan Tanjung Perak, besok Jumat, 9 November 1945, pukul 11.00. Gubernur Soerjo membalas surat Mansergh itu. Bunyinya sebagai berikut:

Gubernur Jawa Timur

9 November 1945

No. 1-KBK

Jenderal Mayor E.C.Mansergh

Komandan Angkatan Darat Sekutu

Jawa Timur, Surabaya.

Tuan,

Saya telah menerima dua surat dari tuan, pertama tertanggal 7 November 1945, No.G-512-1, dialamatkan kepada Gubernur Jawa Timur dan kedua tertanggal 8 November 1945, No.G-512-5 dialamatkan kepada Tuan R.M.T.A.Soerio, yang kebetulan, dan ini perlu saya ceritakan kepada tuan, adalah Gubernur Jawa Timur; dan saya pikir dan meminta dengan hormat kepada tuan untuk mengalamatkan semua korespondensi resmi kepada saya dengan lebih tata hormat.

Saya mengharapkan demikian dari tuan sebagai wakil dari Panglima Tertinggi dari Tentara Sekutu untuk menjalankan semua pertemuan pribadi dalam suasana persahabatan dan tanpa prasangka. Saya akan lebih berterimakasih apabila tuan menyadari bahwa tuan berada di dunia Timur dengan suatu tugas kewajiban suci yang keramat; dan sampai saat tuan bersedia bertemu dengan saya dalam suasana yang lebih sungguh-sungguh dan persahabatan, semua komunikasi antara tuan dan saya mulai sekarang harus dilakukan dengan surat-menyurat; ini disebabkan karena sikap tuan sendiri.

Mengenai point 1 dari surat tuan, saya dengan hormat memberitahu bahwa kita sedang melanjutkan usaha kita untuk melaksanakan apa yang menjadi bagian kita sesuai dengan perjanjian

Tentang point 2 dari surat tuan yang terakhir, maka versi tuan tentang keadaan situasi kota Surabaya adalah tidak benar; 24 jam setelah perjanjian antara Jenderal Hawthorn dan Presiden Soekarno pada tanggal 30 Oktober sampai sekarang ini, maka keamanan dan ketertiban berjalan dengan baik, dan apabila tuan menunjukkan kepada sesuatu insiden yang tidak menyenangkan sejak saat itu maka dengan segala senang hati saya akan mengurusnya.

Tentang keterlambatan pengangkutan orang-orang asing dari daerah-daerah tersendiri ke Tanjung Perak, ingin saya kemukakan bahwa keterlambatan itu hanya disebabkan oleh keragu-raguan dan kurang persiapannya dari orang-orang asing tersebut.

Saya ingin meminta perhatian tuan bahwa Mayjen Hawthorn tak pernah menggunakan istilah “Hindia Belanda” dalam surat-suratnya, tetapi kata: Jawa, Madura, Bali dan Lombok.

Sepanjang pengetahuan saya maka kondisi-kondisi normal di bidang hukum, keamanan dan ketertiban berjalan baik di Surabaya saat ini.

Tentang point 6 dari surat tuan, saya ingin mengetahui keharusan Tentara Sekutu untuk memasuki kota Surabaya dan sekitarnya serta daerah-daerah lain di Jawa Timur, sedangkan di dalam persetujuan antara Jenderal Hawthorn dan Presiden Soekarno point 2, hanya 2 tempat yang jelas sebagai daerah yang akan dijaga oleh Tentara Sekutu, yaitu: daerah Darmo dan Tanjung Perak; dan lagi pula selekasnya kaum interniran dan RAPWI dipindah dari Darmo, maka Tentara Sekutu akan mundur juga ke Tanjung Perak. Tentara tuan hendaknya jangan mencoba masuk ke dalam kota, karena hal ini tidak akan mempunyai pengaruh baik bagi ketenteraman dan ketertiban, justru dalam waktu sekarang dan saya minta dengan sangat hendaknya tuan menyadari bahwa tugas kita adalah tidak semudah seperti tuan perkirakan; dan dengan mendesakkan hal-hal secara sebegitu sekonyong-konyong, tuan akan menghancurkan segala apa yang telah kita bangun bersama dengan Kolonel Pugh untuk suatu penyelesaian secara damai. Saya sama sekali tidak ragu-ragu bahwa suatu sikap yang simpatik dalam menghadapi tugas kita yang sulit ini digabungkan dengan kesabaran akan menghilangkan kesalahpahaman dari pihak kita berdua.

Saya mengharapkan dengan sungguh-sungguh hendaknya tuan bersedia kerjasama dengan kita dalam suasana berkemauan baik dan persahabatan sambil menyadari kesulitan-kesulitan kita, dan hendaknya tuan jangan ragu bahwa harmoni yang demikian akan mendorong penyelesaian dari kesulitan kita bersama.

Sebelumnya saya mengucapkan terimakasih.

Hormat saya,

R.M.T.A.SOERIO

Gubernur Jawa Timur.

Begitulah bunyi surat Gubernur Soerjo yang ditujukan kepada Mayjen Mansergh. “Perang surat” ini sekaligus merupakan jawaban yang berisi tantangan dari Gubernur Soerjo kepada komandan Tentara Sekutu.

Mansergh Mengultimatum

Karena Gubernur Soerjo tidak datang memenuhi panggilan Mayjen Mansergh, pukul 11.00 siang pada hari Jumat, 9 November 1945 itu, Mansergh kembali mengirim surat kepada Gubernur Soerjo.

Surat itu kembali dibalas Gubernur Soerjo dengan halus dan sopan. Namun surat itu dijawab Mansergh dengan ultimatum yang menyakitkan.

Pukul 14.00, saat sebagian warga Surabaya selesai melaksanakan shalat Jumat, pesawat terbang Inggris menderu-deru di atas kota Surabaya dan menyebarkan pamflet dari udara. Pamflet itu berisi ultimatum yang mengharuskan seluruh rakyat Surabaya, semua pemimpin dan pemuda untuk menyerah kepada tentara Inggris. Para pemimpin, polisi dan petugas radio agar melapor ke Jalan Jakarta sebelum pukul 18.00 tanggal 9 November 1945. Mereka diharuskan berbaris satu per-satu dengan membawa senjata yang dimilikinya, kemudian meletakkannya dalam jarak 100 yard dari tempat yang ditentukan. Rakyat biasa yang memiliki senjata menyerahkan diri di Westerbuiten-weg (Jalan Indrapura) dekat Mesjid Kemayoran, serta di Darmo dengan membawa bendera putih.

Pada bagian akhir ultimatum itu, disebutkan, apabila instruksi itu tidak dijalankan, Inggris dengan seluruh kekuatan militernya akan menggempur habis kota Surabaya, Sabtu, pukul 06.00 pagi.

Pukul 17.00 pimpinan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) di Surabaya mengundang kepala polisi, komandan PI (Polisi Istimewa), pasukan-pasukan pemuda, laskar, PRI (Pemuda Republik Indonesia), BPRI (Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia) dan TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) untuk membicarakan strategi dan taktik melawan Inggris.

Dalam pertemuan di markas TKR, Jalan Pregolan 4 Surabaya itu, Kolonel Soengkono diangkat sebagai Komandan Pertahanan Surabaya.

Bung Karno Menyerahkan

Rakyat Surabaya tidak gentar sedikitpun terhadap ultimatum yang disebarkan Inggris itu. Jumat malam, para pemimpin pejuang berkumpul dan menghubungi Pemerintah Pusat di Jakarta. Pukul 23.00, melalui sambungan telepon, Presiden Soekarno atas nama pemerintah pusat, menyerahkan kebijaksanaan sepenuhnya kepada Pemerintah Daerah Jawa Timur.

Setelah mendapat jawaban Bung Karno yang demikian, malam itu juga, Gubernur Jatim, Soerjo, berbicara melalui corong Radio Surabaya. Ia dengan tegas menolak ultimatum dan mengimbau kepada semua pihak (para pejuang dan rakyat Surabaya) untuk memelihara persatuan dan kesatuan, serta memohon kepada Allah yang Maha Kuasa untuk memberi kekuatan lahir-batin dalam perjuangan melawan tentara Sekutu-Inggris.

Isi selengkapnya Pidato Gubernur Soerjo adalah:

Saudara-saudara seluruh rakyat Jawa Timur!

Merdeka!

Kami ubernur Jawa Timur memperingatkan, bahwa hari ini kita penduduk Surabaya dapat surat selebaran yang merupakan perintah yang ditandatangani oleh Mayor Jenderal E.c.Mansergh, Panglima Tertinggi Tentara Dasar Serikat Jawa Timur, yang meminta supaya kita sebelum jam 18.00 sore tadi, menyerahkan senjata zonder perjanjian, dan apabila perintah itu tidak dijalankan sampai jam 6.00 besok pagi, mereka akan bertindak dengan kekuatan Angkatan Laut, Darat dan Udara.

Karena kita tidak merasa berperang dan juga tidak menghendaki pertempuran, maka surat perintah itu kita anggap tidak pada tempatnya dan kita tetap tidak bertindak apa-apa.

Polisi dan TKR kita pun tidak akan mengadakan tindakan apa-apa dan hanya bersikap menjaga ketenteraman umum.

Maka dari itu diharapkan kepada seluruh rakyat di Jawa Timur, terutama penduduk dalam kota Surabaya supaya tetap tinggal tenang dan jangan sekali-kali mulai bertindak provokasi, sambil menunggu keterangan radio lebih lanjut, karena kita telah berhubungan dengan Pucuk Pimpinan kita di Jakarta guna merundingkan hal ini.

Demikian pidato singkat Gubernur Soerjo melalui corong radio Surabaya (NIROM, yang kemudian menjadi RRI) di Jalan Embong Malang – sekarang di lahan ini berdiri Hotel Westin yang kemudian ganti nama menjadi JW Marriott.

Barikade Rakyat

Dalam mobil Chrysler 7-sits saat perjalanan dari studio radio Surabaya di Jalan Embong Malang menuju kantor Gubernur di Jalan Pahlawan (dulu: Alun-alun Straat), Gubernur Soerjo melihat ternyata sudah dipasangi barikade-barikade oleh penduduk. Barikade berlapis itu dalam bentuk meja, lemari, kursi, bangku panjang (amben, dampar-dampar), balok kayu, batu-batu besar dan sebagainya. Semua itu dipasang melintang jalan. Akibatnya, mobil yang ditumpangi Gubernur berjalan sangat lambat.

Malam tanggal 9 November 1945 itu, pukul 22.10, ungkap Roeslan Abdulgani dalam bukunya “Seratus Hari di Surabaya”, Doel Arnowo dapat berkontak lagi dengan Jakarta. Hubungan telepon kepada Bung Karno dijawab oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) Ahmad Soebardjo. Menlu yang dipercaya oleh Bung Karno untuk berunding dengan pihak Sekutu, ternyata menemukan jalan buntu. Pimpinan tentara Inggris tetap pada pendiriannya. Mereka tetap akan mempergunakan jalan kekerasan apabila kita tidak mau menyerah

Akhirnya Menlu Ahmad Soebardjo menyerahkan segala sesuatu kepada kita di Surabaya. Keterangan Menlu mengandung arti, bahwa apabila kita merasa cukup kuat untuk mengadakan perlawanan bersenjata, hal ini terserah! Pemerintah Pusat tidak akan menyalahkan Surabaya, ulas Cak Roeslan Abdulgani. Jadi, tidak seperti pertempuran akhir bulan Oktober 1945.

Gubernur Soerjo kembali menuju studia radio Surabaya. Di depan corong radio, tepat pukul 23.00, dengan tenang, tegas dan mantap Gubernur Soerjo berpidato sebagai berikut:

Saudara-saudara sekalian.

Pucuk Pimpinan kita di Jakarta telah mengusahakan akan membereskan peristiwa di Surabaya pada hari ini. Tetapi sayang sekali sia-sia belaka, sehingga semuanya diserahkan kepada kebijaksanaan kita di Surabaya sendiri.

Semua usaha kita untuk berunding senantiasa gagal. Untuk mempertahankan negara kita, maka kita harus menegakkan dan meneguhkan tekad kita yang satu, yakni berani menghadapi segala kemungkinan.

Berulang-ulang telah kita kemukakan bahwa sikap kita ialah: Lebih baik hancur daripada dijajah kembali. Juga sekarang dalam menghadapi ultimatum pihak Inggris, kita akan memegang teguh sikap ini. Kita tetap menolak ultimatum itu.

Dalam menghadapi segala kemungknan besok pagi, mari kita semua memelihara persatuan yang bulat antara pemerintah, rakyat, TKR, polisi dan semua badan-badan perjuangan pemuda kita.

Mari kita sekarang memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa semoga kita sekalian mendapat kekuatan lahir batin serta Rahmat dan Taufik dalam perjuangan.

Selamat berjuang!

Setelah mendengar seruan Gubernur Soerjo di radio, para pemuda pejuang menghimpun massa rakyat dari segala penjuru kota dan kampung. Semua mempersiapkan diri menghadapi apa yang akan terjadi hari Sabtu, 10 November 1945 pagi. ****

*) Yousri Nur Raja Agam MH – pemerhati sejarah bermukim di Surabaya.

Setelah Mallaby Tewas

Christison dan Mansergh


Ancam Arek Suroboyo

Yousri Nur RA, MH

Yousri Nur RA, MH

Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)

HARI Rabu, 31 Oktober 1945, dunia terguncang oleh berita tewasnya Brigjen Mallaby, yang terjadi Selasa, 30 Oktober 1945, sehari sebelumnya. Berita-berita mediamassa, koran dan radio di mancanegara menyudutkan posisi Indonesia. Sebab sumber informasi sepihak, hanya dari pihak Inggris.

Bagi pejuang Surabaya, tewasnya Mallaby merupakan sebuah kebanggaan. Namun perasaan para pemimpin di Surabaya serba salah. Khawatir, dituduh melakukan kejahatan perang. Tetapi, bagaimanapun juga itu adalah sebuah resiko bagi Sekutu-Inggris yang mengabaikan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Salah satu di antara pemberitaan media internasional waktu itu, Inggris menuduh Arek Suroboyo sengaja melakukan penyerangan tanpa peringatan awal. Pemberitaan pihak Inggris ke dunia luar yang trial by the press itu memang tidak sertamerta dapat dibantah. Namun kemudian dijaleskan bahwa saat peristiwa itu terjadi, Moehamad dan TD Kundan yang merupakan wakil Indonesia sedang berunding di gedung Internatio.

Akhirnya sesuai dengan kesepakatan perunding Moehamad dengan pihak Inggris, Rabu, 31 Oktober 1945 sekitar pukul 13.00 seluruh pasukan Inggris meninggalkan gedung Internatio. Mereka diangkut dengan truk-truk TKR ke Markas Besar Inggris di Jalan Westerbuitenweg (sekarang bernama Jalan Indrapura).

Surat Christison

Jenderal Christison, Panglima Tentara Sekutu Asia Tenggara di Jakarta mengeluarkan pengumuman berupa ancaman terhadap bangsa Indonesia, khususnya Arek-arek Suroboyo. Isinya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah:

Peringatan kepada Bangsa Indonesia!

Pada tanggal 28 Oktober 1945 sejumlah besar orang Indonesia yang bersenjata di Surabaya telah menyerang dengan tiada memberi peringatan atau terjadi provokasi pasukan-pasukan Inggris yang mendarat dengan maksud melucuti senjata dan mengasingkan pasukan-pasukan Jepang, menolong tawanan-tawanan perang dan orang-orang yang diasingkan, dan menjaga ketenteraman di daerah yang mereka duduki.

Dengan demikian orang-orang Indonesia itu telah melanggar perjanjian peletakan senjata buat sementara dan dengan sewenang-wenang membunuh Brigadir Jenderal Mallaby yang pergi berbicara dengan mereka.

Penyerangan langsung dan tidak bersebab terhadap pasukan-pasukan Inggris bagaimanapun juga tidak diperbolehkan, dan sekiranya orang-orang Indonesia yang melakukan perbuatan ini tidak menyerah kepada saya, saya berniat akan menggunakan segala tenaga dari Angkatan Laut, Darat dan Udara, beserta segala senjata-senjata modern terhadap mereka sampai mereka hancur.

Kalau dalam tindakan ini orang-orang Indonesia yang tidak bersalah meninggal atau terluka, maka tanggungjawab dipikulkan oleh orang-orang Indonesia tersebut yang telah melakukan kejahatan-kejahatan seperti saya katakan tadi.

Saya peringatkan kepada seluruh rakyat Indonesia di Pulau Jawa, supaya mereka jangan bersangkutpaut dengan golongan ekstrimis dan supaya bekerja bersama-sama dengan tentara saya dan hidup damai dan tenteram dengan mereka.

Karena kalau kekerasan dipergunakan kepada tentara saya, maka jawabannya adalah kekerasan juga. Saya berniat teguh menjamin keamanan dan ketenteraman dan berharap kepada orang-orang Indonesia yang baik untuk membantu saya.”

Christison – Panglima Tentara Sekutu Asia Tenggara.

Demikian peringatan Jenderal Christison yang dikutip juga oleh Presiden Soekarno dalam pidato radionya, Rabu malam, 31 Oktober 1945 pukul 19.30 di Jakarta. Dalam pidato radionya Bung Karno dengan panjang lebar mengisahkan kejadian di Surabaya saat itu. Dalam pidato itu antara lain dinyatakan:

“Surabaya merupakan satu kekuatan kita; bahwa di Surabaya TKR kita tersusun dengan baik. Bahwa pemuda-pemuda dan kaum buruh telah membentuk persatuan-persatuan yang sangat teguh.

Bahwa pertempuran-pertempuran kita dengan tentara Inggris pada tanggal 28 Oktober sampai 30 Oktober 1945, kurang baik menggunakan kekuatan itu dengan tidak didasarkan atas siasat bekerja bersama-sama dengan bahagian di Indonesia lain, dan tidak didasarkan siasat yang bersifat perjuangan lama, maka kini timbul keadaan yang melemahkan kekuatan di Surabaya dan di Indonesia.”

Pada bagian akhir pidatonya, Bung Karno berpesan, bahwa musuh kita bukan Sekutu, tetapi NICA. Oleh sebab itu, semua pertempuran dengan Sekutu harus dihentikan.

Setelah peristiwa tewasnya Mallaby, keadaan Surabaya makin mencekam. Para pejuang Arek Suroboyo, terus siaga. Sementara biro-kontak terus melakukan rapat-rapat tentunya tanpa kehadiran Mallaby lagi.

Surat Mansergh

Suasana di Surabaya makin memanas. Perundingan dan rapat-rapat biro-kontak terus berlangsung. Suhu udara di Surabaya, hari Rabu, 7 November 1945 yang semula cukup tenang, kemudian terasa memanas. Pukul 11.30 berlangsung pertemuan antara Gubernur Jatim, Soeryo yang didampingi staf, anggota biro-kontak dengan Mayjen Mansergh (pengganti Mallaby) beserta stafnya.

Dalam pertemuan itu, Mansergh membacakan surat bernomor G.512-1, 7 November 1945. Surat itu ditandatangi sendiri oleh Mansergh. Surat yang benar-benar menunjukkan kecongkakan Inggris dan banyak berisi kebohongan itu, seperti yang diterjemahkan TD Kundan adalah:

Nama saya Mayor Jenderal B.C.Mansergh OBE,MC. Saya adalah komandan Tentara Sekutu Jawa Timur dan mewakili Panglima Tentara Sekutu Hindia-Belanda.

2. Kehadiran saya disini adalah untuk:

Mengungsikan tahanan-tahanan perang Sekutu dan kaum interniran Sekutu dan warga-warga lain yang ingin pulang, seperti ke Swis, India dan lain-lain.

Melucuti orang-orang Jepang dan mengungsikan mereka.

Dunia menyadari sepenuhnya bahwa Sekutu mempunyai kapal-kapal serta organisasi di Surabaya yang diperlukan dan berkeinginan untuk membantu semua orang asing dalam pengungsian itu Mereka selanjutnya, mengetahui jika para orang asing sampai tidak diizinkan untuk mengungsi dan pulang maka tanggungjawab sepenuhnya adalah kepada bangsa Indonesia.

Juga telah diinsyafi sepenuhnya oleh seluruh dunia, bahwa orang-orang yang tidak bertanggungjawab, dibiarkan membawa senjata, dibiarkan merampok, melakukan pengkhianatan dan pembunuhan terhadap wanita-wanita dan anak-anak yang tidak bersenjata, dan melakukan lain-lain tindakan keganasan yang sangat bidab.

Hal ini terjadi sekalipun di Surabaya sudah ada formasi kepolisian bersenjata di bawah pimpinan Indonesia yang telah diakui oleh sekutu. Akan tetapi tuan ternyata tidak dapat menguasainya, tuan mempunyai sarananya, akan tetapi tidak dapat menyelenggarakan ketertiban umum. Seluruh dunia tahu tentang hal ini dan tahu juga tentang keganasan-keganasan yang telah dilakukan.

Saya perlu memberitahukan kepada tuan, bahwa semua itu adalah tanggyungjawab tuan, beserta anak buah tuan, yaitu menyelenggarakan ketertiban umum; pula bahwa segala jaminan dan janji tuan benar-benar harus dilaksanakan. Dalam hubungan telah disetujui bahwa beberapa daerah Surabaya akan digunakan hanya oleh Sekutu atau oleh pihak Indonesia dengan tujuan menghindari pertempuran-pertempuran. Pihak tuan telah melanggar janjinya. Pada waktu itu tank-tank dan tentara Indonesia telah berada di lapangan udara dan mengambil posisi (yang dimaksud di sini adalah lapangan udara Morokrembangan). Sesuai dengan janji tuan, maka tank-tank dan tentara itu harus ditarik mundur hari ini. Saya akan mengambilalih tanggungjawab di daerah lapangan terbang itu dan akan mendudukinya hari ini dimulai pukul 14.00. Adapun akan menjadi tanggungjawab tuan, jika terjadi insiden-insiden.

Wakil-wakil tuan berkali-kali menjanjikan untuk menjamin kembalinya semua yang terluka dari tentara Sekutu, tahanan, peralatan, truk-truk dan sebagainya. Sampai sekarang janji itu lambat pelaksanaannya dan banyak hal lain yang sama sekali diabaikan. Saya hendak menekankan bahwa semua kegagalan tuan itu, saya anggap bahwa tuan tidak mampu atau tidak mau memenuhi perjanjian-perjanjian dan jaminan-jaminan yang telah disepakati; dan bahwa Sekutu beserta seluruh dunia telah mengetahui tentang kegagalan tuan itu.

Saya minta sekarang supaya diatur lebih lanjut mengenai evakuasi warga negara asing yang ingin dipulangkan, dan supaya semua tentara Sekutu yang luka-luka dan hilang, truk-truk, peralatan dan sebagainya segera dikembalikan.

Demikian isi surat Jenderal Mansergh. Surat itu dibacanya sendiri di hadapan wakil-wakil Pemerintah RI dan biro-kontak. Surat nomor G-512-1 ini – sesuai ketikan – bertanggal 3 November 1945. Tetapi tampak coretan tinta dan diganti tanggalnya menjadi 7 November 1945.

Dengan dada terangkat dan tatapan congkak, seusai membaca surat itu – yang diterjemahkan oleh Kundan, Mansergh duduk kembali.

Semua yang hadir tercengang.

Surat yang ditulis Christison dan Mansergh ini membuat para pejuang dan pejabat Pemerintahan Indonesia di Surabaya “terbakar”, karena merasa dilecehkan. ***

*) Yousri Nur Raja Agam – pemerhati sejarah, bermukim di Surabaya.