Rapat Raksasa 21 September 1945 Di Lapangan Tambaksari Surabaya Mengapa Hilang dari Sejarah Perjuangan Arek-Arek Surabaya?

Rapat Raksasa 21 September 1945

Di Lapangan Tambaksari Surabaya

 Yousri Nur RA_Hitam_MP

Mengapa Hilang dari Sejarah Perjuangan Arek-Arek Surabaya?

 

Oleh: HM Yousri Nur Raja Agam

 

SETELAH peristiwa bersejarah “insiden bendera” di Hotel Yamato tanggal 19 September 1945, pemuda pejuang dan rakyat terus-menerus menunggu perkembangan. Suasana tanggal 20 September 1945, kelihatan ramai membicarakan rencana Rapat Raksasa di Lapangan Tambaksari, Surabaya, 21 September 1945.

            Beberapa posko dan kantor pemuda, di antaranya di Markas PRI (Pemuda Republik Indonesia) di Wilhelmina Princesslaan atau Jalan Tidar menyelenggarakan rapat merencanakan rapat raksasa di Tambaksari. Selain itu, rapat KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah) Surabaya yang berlangsung di GNI (Gedung Nasional Indonesia) di Jalan Bubutan, juga membicarakan tentang rencana Rapat Raksasa di Tambaksari.

            Rapat Raksasa ini awalnya digerakkan oleh Pemuda Minyak yang sudah membentuk panitia sebanyak 20 orang.  Begitu ada keputusan menyetujui rapat raksasa di Tambaksari, S.Kasman dan kawan-kawannya menggerakkan truk-truk pengangkut pegawai menuju Tambaksari. Bahkan di antaranya, truk tanki juga dijadikan alat angkut massa.

            Rapat raksasa seperti di Surabaya tanggal 21 September 1945 ini sebelumnya  juga sudah berlangsung di Lapangan Ikada (kemudian bernama Lapangan Banteng) Jakarta tanggal 19 September 1945. Beberapa pemuda yang dikenal sebagai anggota GBT (gerakan bawah tanah) juga mempersiapkan mobil berpengeras suara, “berhallo-hallo” keliling kampung di dalam Kota Surabaya.

            Para pemuda Indonesia yang sudah terbakar semangat “merdeka” setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, terus berusaha menyebarluaskan informasi itu secara langsung kepada rakyat. Walaupun kabar tentang kemerdekaan ini sudah disebarluaskan melalui mediamassa — radio dan suratkabar — namun belum semua penduduk mengetahui, sebab berita itu masih dari mulut ke mulut.

            Begitu ada kabar yang disebarkan melalui mobil pengeras suara yang “berhallo-hallo” keliling kota masuk ke kampung-kampung, rakyat berduyun-duyun menuju Tambaksari. Apalagi disiarkan, dalam rapat raksasa itu akan berpidato para petinggi negeri ini. Acara rapat raksasa yang direncanakan dimulai pukul 15.00 atau jam tiga sore itu, telah ramai sejak pukul satu siang.

            Pengerahan massa rakyat  dilaksanakan kelompok pemuda pejuang yang bergerak “di bawah tanah”. Demikian istilah yang digunakan untuk kegiatan secara diam-diam atau tersamar. Dengan berbagai agitasi dan propaganda yang dilakukan, ternyata hal ini benar-benar menarik masyarakat untuk datang ke Lapangan Tambaksari.

            Selain berjalan kaki, bersepeda, naik beca, ada juga yang naik truk yang sebelumnya dirampas dari pos dan markas tentara Jepang. Bahkan ada pula pemilik truk yang memperbolehkan truknya dipakai pemuda untuk ke Lapangan Tambaksari.

            Rakyat yang datang ke Lapangan Tambaksari itu  juga mendapat selebaran dan pamflet yang dibagi-bagikan melalui mobil berpengeras suara. Selebaran itu dicetak di beberapa percetakan yang biasanya mencetak suratkabar. Truk-truk yang membawa massa rakyat ke Lapangan Tambaksari juga ditempeli berbagai pamflet dan poster. Di samping itu ada pula yang ditulis dengan cat berupa kalimat yang membakar semangat.

            Tidak hanya dalam Bahasa Indonesia, tulis Des Alwi dalam bukunya Pertempuran Surabaya November 1945. Ada yang ditulis dengan Bahasa Inggris, Bahasa Belanda dan juga Bahasa Perancis. Misalnya: Milik RI, Down with Colonialism, Soekarno-Hatta Yes! NICA No, Let Freedom ring all over the World. Bahasa Perancis juga ada selogan yang terinspirasi dari Revolusi Perancis, misalnya: Liberte, Egalite, Fraternite yang artinya kebebasan, persamaan, persaudaraan. Di samping disebarkan kepada masyarakat, juga banyak yang ditempelkan di dinding-dinding gedung yang sebelumnya dikuasai Jepang, kereta api dan truk maupun mobil-mobil yang ada waktu itu.

            Para pemuda yang aktif sebagai panitia dalam penyelenggaraan Rapat Raksasa ini, pengurus PRI (Pemuda Republik Indonesia), antara lain: Hasan, Soemarsono, Soerjono, Dimjati, Hassanoesi, Abdoel Madjid, Pohan, Soemarno, Karjono,  Abdoel Sjoekoer dan Koesnadi.           Puncak keberhasilan menghimpun massa itu, salah satu yang perlu dicatat adalah inisiatif Hassanoesi yang mengerahkan turk-truk dan mobil hasil rampasan dari Jepang. Massa rakyat berebut naik truk dan mobil yang menuju Tambaksari.

            Rapat raksasa itu bertujuan untuk meningkatkan semangat massa rakyat agar lebih berani berkorban demi mempertahankan  proklamasi kemerdekaan.  Di samping itu, juga perlu dipupuk rasa persatuan dan bertekad bulat menghadapi segala kemungkinan yang akan datang. Untuk mempertahankan kemerdekaan itu, dicanangkan tekad yang berbunyi: “Merdeka atau Mati”.

Dihadiri Residen Sudirman

            Tepat pukul 16.00, Rapat Raksasa di Lapangan Tambaksari dimulai. Acara dibuka dengan pidato pengantar oleh Ketua BKR Surabaya Abdoel Wahab. Berturut-turut kemudian pidato yang membangkitkan semangat disampaikan oleh Residen Sudirman, Soemarsono, Lukitaningsih, Abdoel Sjoekoer, Sapia dan Koenadi.

            Semua pembicara mendapat sambutan sangat meriah, tulis Des Alwi. Bahkan ada seorang tokoh PRI-Simpang dengan pidato berapi-api melontarkan secara ekspresif hal-hal yang tersimpan dalam lubuk hatinya, sehingga bisa memuaskan perasaan arek-arek Suroboyo.

            Sekembalinya dari menghadiri Rapat Raksasa di Tambaksari itu. semangat rakyat berkobar-kobar, berikut datangnya keberanian untuk segera bergerak mempertahankan kemerdekaan. Kesimpulan tersebut sangat tepat, karena para pemuda tersebut sebelumnya tidak pernah minta izin kepada penguasa Jepang untuk menyelenggarakan Rapat raksasa itu. Persitiwa itu bagaikan bensin, sehingga api yang sudah panas semakin membara. Sekaligus bisa memperkuat keyakinan para pemuda bahwa sisa-sisa kekuasaan pasukan pendudukan Jepang harus dibongkar sampai ke akar-akarnya.

            Massa pemuda juga meningkatkan aksinya dengan merobek-robek poster Jepang berisi larangan mengeluarkan pendapat, baik secara lisan maupun tulisan. Gerakan protes semacam ini kemudian berkembang menjadi aksi massal. Poster-poster Jepang diganti dengan plakat buatan anak-anak muda itu sendiri.

Ditangkap Kempetai

            Lukitaningsih, wartawati Lembaga Kantor Berita Antara yang juga ketua Pemuda Puteri, merupakan satu-satunya tokoh pejuang wanita yang ikut pidato dalam Rapat Raksasa di Tambaksasi 21 September 1945. Di dalam buku Seribu Wajah Wanita Pejuang dalam Kancah Revolusi ’45, Lukitaningsih mengungkapkan, bahwa para pemimpin  pemuda dengan tegas bergantian pidato untuk membakar semangat juang. Tiada lain tujuannya, agar pemuda-pemuda dan rakyat tetap bersatu padu dan tetap mempertahankan berkibarnya sang merah-putih untuk selama-lamanya.

            Selaku ketua Pemuda Puteri, ulas Lukitaningsih, ia mengetahui bahwa saat Rapat Raksasa berlangsung, pasukan Kempetai (Polisi Militer Jepang) bersenjata lengkap bersiaga di sekeliling lapangan Tambaksari. Mereka menempatkan truk, panser dan tank-tanknya. Begitu acara selesai sekitar pukul 19.00, sebelas orang yang dianggap tokoh ditangkap. “Termasuk saya, digiring masuk kendaraan Kempetai dan dibawa ke markasnya di bekas kantor Raad van Justitie (Pengadilan Tinggi zaman Belanda) — yang sekarang sudah hancur dan di tempat itu didirikan Tugu Pahlawan.

            Sejak ditangkap, kami yang sebelas orang itu ditempatkan di sebuah ruangan besar, kata Lukitaningsih. Kami menunggu nasib, entah mau diapakan. Yang jelas, Kempetai itu tersohor kekejamannya. Menurut cerita, jarang orang yang tertangkap di situ akan keluar hidup-hidup. Dengan penuh kesadaran akan hal itu, jiwa muda kami tidak gentar, hanya pasrah kepada Tuhan yang Maha Esa. Apa yang terjadi tidak kami pikirkan lagi.

            Kami menunggu sambil berbincang-bincang, bagaimana kalau kami ditembak mati, bagaimana dengan teman-teman selanjutnya.Apabila selamat bagaimana strategi perjuangan kami selanjutnya. Pokoknya kami pertaruhkan segalanya demi kemerdekaan Indonesia, kata Lukitaningsih yang kemudian dikenal dengan nama Hj.Lukitaningsih Irsan Radjamin.. Selain sebagai wartawati dan redaktur senior di LKBN Antara di Jakarta, Lukitaningsih menduduki jabatan sebagai Ketua Umum Wirawati Catur Panca, yakni organisasi para perempuan pejuang kemerdekaan RI.

            Sekitar tengah malam pintu ruangan tempat kami disekap dibuka. Tampak beberapa pejabat pemerintahan dan tokoh pejuang datang untuk membebaskan kami. Ternyata setelah mengetahui sebelas orang disekap di markas Kempetai, para petinggi pemerintahan dan pejuang berusaha menghubungi pimpinan Kempetai. Kepada pimpinan tentara Jepang di Surabaya dikatakan, bahwa yang disekap itu adalah pemimpin pemuda Surabaya. Apabila mereka tidak dibebaskan, maka massa rakyat dan pemuda Surabaya akan menyerbu markas Kempetai.

            Peristiwa itu merupakan modal yang sangat berarti untuk lebih mempersiapkan segenap lapisan pemuda dan rakyat. Kita harus siap mengadakan perlawanan kepada siapapun  yang akan menginjak-injak kehormatan bangsa, ujar menantu Radjamin Nasution — Walikota Surabaya yang pertama sejak zaman Jepang dan Indonesia merdeka itu.

Sejarah yang dilupakan

            Kendati “Rapat Raksasa” tanggal 21 September 1945 ini merupakan  peristiwa bersejarah yang luar biasa, namun hampir tidak pernah menjadi bahan pembicaraan dalam sejarah perjuangan arek-arek Surabaya. Padahal puluhan ribu rakyat Surabaya berduyun-duyun menghadiri acara di lapangan sepakbola yang sekarang bernama Stadion Gelora 10 November di Jalan Tambaksari Surabaya. Konon kabarnya, ada masalah politis di balik peristwa itu.

            Roeslan Abdulgani yang lebih akrab disapa Cak Ruslan dalam suatu wawancara khusus dengan penulis, mengakui adanya Rapat Raksasa di lapangan sepakbola  Tambaksari itu. “Saya memang tidak hadir, karena pada hari yang sama ada rapat KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah) Surabaya di GNI (Gedung Nasional Indonesia) Jalan Bubutan. Rapat membicarakan berbagai taktik dan cara menghadapi tentara Sekutu yang datang melucuti serdadu Jepang”. Pada hari yang sama ujar Cak Ruslan, ia mengobarkan semangat juang para pemuda dan menanamkan rasa permusuhan terhadap tentara Sekutu.

            Namun lain lagi, yang diungkapkan dalam buku Hasil Survey Sejarah Kepahlawanan  Kota Surabaya, 1974, pada halaman 60, disebutkan bahwa panitia mendatangi Cak Ruslan untuk memimpin rapat raksasa di Tambaksari itu. Ternyata, Cak Ruslan tidak bersedia memimpin rapat raksasa itu. Cak Ruslan khawatir, kalau rapat raksasa yang juga disebut “rapat samudra” itu dilaksanakan, terjadi bentrok dengan tentara Jepang yang sudah siaga.

            Menurut S.Kasman, Cak Ruslan yang ditemui oleh Sumarsono, Kuslan dan Djamal, menyatakan ketidak bersediaan Cak Ruslan, karena menghendaki  rapat raksasa itu memperoleh izin dari pihak Jepang yang masih diberi kewenangan. Ternyata para pemuda itu tidak mau minta izin dan mengambil keputusan tetap mengadakan rapat raksasa tanpa kehadiran Cak Ruslan.

            Dalam buku yang diterbitkan Bapparda (Badan Pengembangan Pariwisata Daerah) Kota Surabaya itu, disebutkan saat itu semangat pemuda sudah meluap dan diarahkan kepada penguasa Jepang. Panitia Setiakawan Warga Sosialis Surabaya dalam buku In Memorium Djohan Sjahroezah, menyebutkan bahwa, waktu itu sudah ada rencana setelah rapat raksasa rakyat akan digerakkan melucuti senjata tentara Jepang.

             Memang, begitu rapat raksasa selesai menjelang Maghrib, sekitar 150 ribu lebih rakyat berduyun-duyun keluar lapangan Tambaksari. Di antaranya ada yang beraksi merobek berbagai poster dan tempelan yang disebar oleh tentara Jepang. Beberapa mobil milik tentara Jepang diambilalih dan dibawa ke markas pemuda pejuang.

            Nah, mengapa peristiwa besar yang disebut Rapat Raksasa di Lapangan Tambaksasi tanggal 21 September 1945 itu seolah-olah lenyap dari sejarah perjuangan Arek-arek Surabaya?

Asal Usul Kota Surabaya Berasal dari Lumpur Gunung Kelud

Rumah Bahasa di Surabaya Menghadapi AFTA 2015

Rumah Bahasa di Surabaya

Siap Menghadapi AFTA 2015

Catatan: Yousri Nur Raja Agam

 Gambar

AFTA (ASEAN Free Trade Agreement). atau kesepakatan zona perdagangan bebas, tahun 2015 mendatang diberlakukan di seluruh negara di kawasan Asia Tenggara. Pada saat itu, geliat dunia usaha antar negara dipastikan semakin bebas. Dengan demikian kebijakan pembatasan makin longgar.

Kondisi tersebut membuat para pengusaha dari negara lain makin leluasa membuka usaha di Indonesia, begitu pula sebaliknya. Nah, guna mempersiapkan diri menghadapi AFTA 2015, Walikota Surabaya Tri Rismaharini meresmikan “rumah bahasa” bertempat di gedung Balai Budaya di komplek Balai Pemuda Surabaya, pekan lalu.

Ide membuat rumah bahasa, kata Tri Rismaharini sejatinya baru muncul beberapa bulan belakangan. Kala itu, dia melihat persiapan beberapa negara ASEAN menyambut AFTA dengan memantapkan bahasa asing. Bahkan, Risma — sapaan akrab walikota perempuan pertama di Surabaya itu — mengaku pernah mendengar bahwa bahasa Indonesia mulai diajarkan di Thailand.

Risma mengaku, tidak ingin ketinggalan langkah. Untuk itulah, walikota Surabaya ini  akhirnya memutuskan membuat suatu wadah bagi masyarakat untuk belajar dan mengasah kemampuan berbahasa asing. Hal ini untuk mengantisipasi banyaknya pendatang dari negara lain saat era AFTA tersebut resmi berlaku.

Salah satu nominator walikota terbaik dunia ini mengaku tidak ada anggaran khusus untuk pelaksanaan rumah bahasa ini. Pasalnya, semua pengajar berstatus volunteer (sukarela). Kendati tidak mendapat bayaran sepeser pun, tetap saja antusiasme mereka yang ingin menjadi pengajar sangat tinggi. Hal ini bisa dilihat dari membludaknya jumlah pengajar yang telah mendaftar, yakni mencapai 200 orang.

Meskipun respon pengajar sukarela sangat tinggi, Pemkot Suarabaya tetap memberlakukan kualifikasi. Kabag Kerjasama Pemkot Surabaya Ifron Hady Susanto menyatakan, pihaknya tak ingin para tutor tersebut mengajarkan teori yang salah kepada masyarakat. Untuk itu, saat mendaftar calon pengajar wajib mengisi formulir pemantauan kapabilitas. Serta simulasi singkat untuk memonitor apakah calon pengajar tersebut benar-benar layak memberi materi.

Konsep rumah bahasa ini berbeda dengan tempat kursus bahasa pada umumnya. Yakni, peserta diberikan materi bahasa asing praktis secara sederhana yang berhubungan langsung dengan profesi masing-masing. Teknisnya, para peserta terlibat percakapan dalam grup kecil yang berisi 3-4 orang, plus 1 tutor. Jumlah peserta dalam 1 grup sengaja dibatasi dengan harapan materi lebih cepat diserap.

Sasaran rumah bahasa ini seluruh lapisan masyarakat, utamanya para pelaku usaha kecil menengah (UKM), sopir taksi, pedagang serta profesi lainnya yang berhubungan dengan jasa dan perdagangan,” tutur alumnus Monash University, Melbourne, Australia ini.

Adapun jenis bahasa asing yang diajarkan dalam rumah bahasa sementara ini meliputi bahasa Inggris dan Mandarin. Namun tidak menutup kemungkinan, ke depan dengan mempertimbangkan animo masyarakat ragam bahasa akan ditambah. Untuk jam operasional, Ifron menjelaskan, setiap harinya akan dimulai pukul 9 pagi hingga 9 malam. Rentang waktu tersebut terbagi dalam beberapa sesi dimana per sesinya berlangsung selama satu setengah jam. Khusus bahasa Mandarin hanya tersedia pada Senin dan Kamis. Hal itu seiring masih terbatasnya tenaga pengajar.

Masyarakat dapat mendaftar dengan cara datang langsung maupun secara online, yakni dengan mengakses website www.surabaya.go.id. Di situ, warga bisa mendapat informasi sejelas-jelasnya tentang rumah bahasa, sekaligus juga bisa melakukan registrasi. Syarat pendaftaran cukup menunjukkan kartu identitas (KTP) di rumah bahasa dan seluruh peserta tidak dipungut biaya alias gratis.

Adityo Pramono, salah seorang pengemudi taksi yang berkesempatan mengikuti 1 sesi di rumah bahasa mengaku sangat terbantu. Menurut dia, tujuan adanya rumah bahasa sangat baik dan berguna bagi dirinya dan rekan-rekan seprofesi. Pria 34 tahun ini mengakui sopir taksi yang mampu berbahasa Inggris masih sangat sedikit. Perbandingannya, dari 20 orang hanya 1 yang menguasai bahasa Inggris.

Tidak salah, kalau Kabag Humas Pemkot Surabaya, Muhamad Fikser berharap rumah bahasa ini bisa dimanfaatkan masyarakat dengan sebaik-baiknya. Menurut dia, ini hanya salah satu inisiatif pemkot dalam menghadapi AFTA. Nah, untuk langkah lain yang sifatnya lebih lengkap dan holistik dari beberapa sektor, pemkot juga akan mengadakan workshop dengan menghadirkan narasumber dari Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan serta sekretariat ASEAN.

Nah, sekarang bagaimana selanjutnya? Tentu kita berharap dari Rumah Bahasa ini akan lahir “tuan rumah” yang akan menjamu masyarakat mancanegara untuk lebih melayani dan bukan menggurui. **

BP Migas Dibubarkan MK karena Bertentangan dengan UUD 1945

BP Migas Dibubarkan MK

Karena Bertentangan dengan UUD

Dihimpun oleh:  Yousri Nur Raja Agam *) **)

 

MAHKAMAH Konstitusi (MK), secara tegas memutuskan membubarkan Badan Pelaksana Minyak dan gas Bumi (BP MIgas) terhitung sejak hari Selasa, tanggal 13 November 2012.

Ketua Majelis Hakim Mahfud MD, saat membacakan putusan pengujian UU Migas di Jakarta,  menyebutkan,  pasal yang mengatur tugas dan fungsi Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) yang diatur dalam UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan UUD dan tidak memiliki hukum mengikat.

Jadi, ujar Mahfud MD, fungsi dan tugas Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi dilaksanakan oleh Pemerintah, c.q. Kementerian terkait, sampai diundangkannya Undang-Undang yang baru yang mengatur hal tersebut.  Sebab, seluruh hal yang berkait dengan Badan Pelaksana dalam Penjelasan UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,  jelasnya.

Frasa “dengan Badan Pelaksana” dalam Pasal 11 ayat (1), frasa “melalui Badan Pelaksana” dalam Pasal 20 ayat (3), frasa “berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 21 ayat (1), frasa “Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 49 UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

MK juga menyatakan Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Pengujian UU Migas ini diajukan oleh 30 tokoh dan 12 organisasi kemasyarakatan (ormas) diantaranya Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia, PP Persatuan Umat Islam, PP Syarikat Islam Indonesia, PP Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam, PP Al-Irsyad Al-Islamiyah, PP Persaudaraan Muslim Indonesia, Pimpinan Besar Pemuda Muslimin Indonesia, Al Jami`yatul Washliyah, Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima, Pengusaha dan Karyawan (SOJUPEK), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia dan IKADI.

Mereka menilai UU Migas membuka liberalisasi pengelolan migas karena sangat dipengaruhi pihak asing.

MK dalam pertimbangannya mengatakan hubungan antara negara dan sumber daya alam Migas sepanjang dikonstruksi dalam bentuk KKS antara BP Migas selaku Badan Hukum Milik Negara sebagai pihak Pemerintah atau yang mewakili Pemerintah dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap sebagaimana diatur dalam UU Migas adalah

bertentangan dengan prinsip penguasaan negara yang dimaksud oleh konstitusi.

Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, saat membacakan pertimbangan, mengatakan jika keberadaan BP Migas secara serta merta dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan pada saat yang sama juga dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka pelaksanaan kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang sedang berjalan menjadi terganggu atau terhambat karena kehilangan dasar hukum.

“Hal demikian dapat menyebabkan kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang tidak dikehendaki oleh UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah harus mempertimbangkan perlunya kepastian hukum organ negara yang melaksanakan fungsi dan tugas BP Migas sampai terbentuknya aturan yang baru,” kata Hamdan.(ant/rr/yra)

BP Migas Dialihkan ke Kementerian ESDM

Pemerintah mengaku akan segera melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang secara hukum membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). Selanjutnya BP Migas dialihkan ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Minera (ESDM).

“Saya kira kita sudah paham MK itu bersifat final dan mengikat. Oleh sebab itu nggak ada upaya lain pemerintah untuk segera melaksanakan keputusan tersebut. Dan segera mendraft Perpres untuk mengalihkan ini kepada ESDM untuk melakukan fungsi itu. Fungsi yang selama ini diemban BP Migas agar tidak ada kevakuman dan menimbulkan kebingunan dari para perusahaan perminyakan,” kata Menko Perekonomian Hatta Radjasa sebelum rakor di Kementrian ESDM Jakarta, Selasa (13/11/2012).

Dialihkannya segera BP Migas ke Kementrian ESDM ini menurut Hatta agar tidak menimbulkan pengaruh yang besar pada kegiatan perminyakan di Indonesia.

“Ya kalau tidak ada penggantinya tentu sangat berpengaruh. Oleh sebab itu segera kita harus mengambil langkah-langkah secepatnya di-handle oleh ESDM. Tentu keputusan MK itu merupakann patung hukum, sehinga Perpres nanti mengacu pada Keputusan MK, jadi tidak ada masalah,” kata Hatta saat ditanya pengaruh pembubaran BP Migas terhadap tender migas. (l-6/yra)

Din Syamsuddin Minta  Tanggapan Pemerintah

Din Syamsuddin

KETUA Pengurus Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa BP Migas tidak berwenang mengelola minyak dan gas dan melimpahkan kepada pemerintah.

“Kami bersyukur akhirnya Mahkamah Konstitusi memberikan jawaban  terhadap permohonan kami, Muhammadiyah dan  sejumlah organisasi kemasyarakatan dan perorangan tentang gugatan terhadap UU migas,” kata Din usai bersidang di MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Selasa (13/11/2012).

Karena itu, Din Syamsuddin yang mewakili para pemohon uji materiil UU Migas ini meminta kepada pemerintah dan DPR untuk segera merespon putusan MK tersebut, dengan mengelola sebaik-baiknya minyak dan gas untuk kepentingan rakyat.

“Sebenarnya amar putusan MK ini harus segera direspon oleh pemerintah termasuk DPR terutama bagi adanya sebuah produk hukum dan perundang-undangan dalam mengelola SDA yang sangat kaya raya ini untuk bisa sesuai dengan amanat UUD 45 sebesar-besar kemakmuran rakyat,” kata Din.

Putusan MK Harus Cepat Direspon

Din Syamsuddin meminta pemerintah dan DPR untuk segera merespon putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pengujian UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak Bumi dan Gas (Migas).

“Putusan MK ini harus segera direspon oleh pemerintah termasuk DPR, terutama bagi adanya sebuah produk hukum dan perundang-undangan dalam mengelolaa SDA yang sangat kaya raya ini untuk bisa sesuai dengan amanat UUD 45 untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,” kata Din Syamsuddin, usai sidang di MK Jakarta, Selasa.

Din Syamsudin yang merupakan salah satu pemohon pengujian UU Migas ini juga menyatakan bersyukur akhirnya Mahkamah Konstitusi memberikan jawaban terhadap permohonannya.

“Apa pun keputusannya, baik diterima atupun ditolak tentu sikap kami menerima dengan baik karena ini bagian dari sikap taat berkonstitusi,” katanya.

Din Syamsuddin mengatakan Muhammaddiyah akan terus melakukan kajian, pengawalan termasuk menyiapkan pikiran-pikiran alternatif untuk disumbangkan kepada pemerintah dan DPR.

“Untuk diketahui perjuangan untuk menegakkan Konstitusi yang kami sebut jihad Konstitusi ini tidak akan berhenti akan segera kami tindak lanjuti dengan juga mengajukan gugatan terhadap UU lain yang kami yakini merugikan rakyat,” kata Din Syamsuddin. (tn/yra)

BP Migas Bubar Sejak Putusan Dibacakan

KETUA Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengatakan Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) bubar sejak majelis hakim membacakan putusan pengujian UU nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Artinya, BP Migas bubar sejak pukul 11.00 WIB, Selasa, tanggal 13 November 2012. Dengan demikian, seluruh fungsi regulasinya berpindah ke Kementerian ESDM, kata Mahfud, di Jakarta.

Untuk urusan kontrak yang sedang berlangsung dan dibuat dengan BP Migas, kata Mahfud, berlaku sampai habis masa kontraknya. “Atau berlaku sampai diadakan perjanjian baru,” kata Mahfud.

Seperti diketahui, MK memutuskan pasal yang mengatur tugas dan fungsi Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) yang diatur dalam UU nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat.

BP Migas Pantas Dibubarkan

DIREKTUR Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) memang pantas dibubarkan karena lembaga ini tidak memihak pada kepentingan negara dan rakyat.

“Kita sambut baik (pembubaran BP Migas) karena tidak sesuai konstitusi dan selama ini justru kalau kita lihat, mereka (BP Migas) itu lebih memihak pada asing,” katanya pada wartawan usai menjadi pembicara dalam Seminar Nasional “Kembalikan Kedaulatan Energi Nasional” di Cilacap, Selasa.

Pada seminar yang diselenggarakan Serikat Pekerja Pertamina Patra Wijayakusuma itu, Marwan mengatakan bahwa hal itu terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa pasal yang mengatur tugas dan fungsi BP Migas yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki landasan hukum mengikat.

Terkait kecenderungan BP Migas yang lebih memihak asing, dia mengatakan, hal itu terlihat dari pernyataan-pernyataan Kepala BP Migas tentang Blok Mahakam.

“Misalnya menyatakan Pertamina tidak mampu, Pertamina tidak mau, akan aman kalau dikerjakan asing dan sebagainya,” katanya.

Menurut Marwan, sebetulnya yang selama ini dihembuskan adalah Pertamina sebelum adanya UU Migas berperan sebagai operator dan regulator.

“Itu tidak benar. Pertamina pada saat itu hanya operator, regulatornya itu pemerintah, ESDM (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral) atau dulu namanya Kementerian Pertambangan,” katanya.

Oleh karena itu, kata dia, pembubaran BP Migas sangat positif bagi kepentingan negara dan rakyat.

“Mungkin orang asing itu atau swasta, `nggak` suka. Makanya kita harus lawan terus,” kata mantan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) periode 2004-2009 itu.

Dengan adanya putusan tersebut, ia berharap tahun depan sudah ada UU Migas yang baru namun harus dikawal dan konsisten dengan konstitusi.

Menurut dia, kuasa pertambangan harus berbentuk badan usaha milik negara (BUMN) dan hal itu berlaku di seluruh dunia. “Kita saja anomali, lalu kita ingin pertahankan, kan aneh,” katanya.

Selain itu, Hasyim Muzadi, Komaruddin Hidayat, Marwan Batubara, Fahmi Idris, Salahuddin Wahid, Laode Ida, Hendri Yosodiningrat, dan AM Fatwa. Mereka menilai UU Migas membuka liberalisasi pengelolan migas karena sangat dipengaruhi pihak asing.(ant/yra)

Dahlan Terkejut MK Bubarkan BP Migas

Dahlan Iskan

MENTERI BUMN Dahlan Iskan mengaku kaget dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membubarkan Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas).

“Saya terkejut MK sebegitu cepatnya membuat keputusan membubarkan BP Migas. Untuk itu kami harus segera berkoordinasi dengan menteri terkait,” kata Dahlan usai Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR, terkait dugaan korupsi di PLN sebesar Rp37,6 triliun, di Gedung MPR/DPR-RI, Jakarta, Selasa.

Menurut Dahlan, dirinya sesungguhnya tidak berhak mengomentari pembubaran BP Migas tersebut, karena merupakan otoritas Kementerian ESDM.

Namun persoalannya BUMN memiliki perusahaan terkait dengan sektor migas seperti Pertamina, PGN dan lainnya.

Pembubaran BP Migas diputuskan melalui surat MK No. 36/PUU-X/2012, dengan begitu tugas dan fungsi BP dilaksanakan sementara oleh Dirjen Migas.

Menurut Dahlan, atas keputusan MK tersebut dirinya akan berkonsultasi dengan pihak-pihak lain terkait, termasuk dengan korporasi BUMN.

“Putusan MK itu final berarti harus dijalankan. Bagaimana melaksanakannya saya harus konsultasi dulu,” tegas Dahlan. (ant/tn/yra)

Catatan:

Ekspor Sempra Hanya Jangka Pendek

Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi menjanjikan kontrak ekspor gas Tangguh eks-Sempra hanya dalam jangka pendek, dan tidak menengah atau pun panjang.

Deputi Perencanaan BP Migas, Widhyawan Prawiraatmadja di Jakarta, Senin mengatakan, gas Sempra akan dialokasikan ke pasar domestik menyesuaikan dengan ketersediaan infrastrukturnya.

“Jadi, nanti akan dialokasikan ke terminal Arun berapa, Jawa Tengah berapa, dan Lampung juga berapa,” katanya.

Menurut dia, BP Migas siap menyediakan gas Sempra untuk gas domestik.

“Berapa pun kebutuhan gas domestik akan kita didahulukan. Keterlaluan BP Migas, kalau ada terminal tapi tidak dipasok LNG-nya,” ujarnya.

Harga gasnya, lanjutnya, akan mengacu pada harga LNG Bontang ke PT Nusantara Regas dengan formula 11 persen dari harga minyak mentah di Indonesia.

Gas Tangguh eks Sempra itu dihasilkan dari “train” satu dan dua kilang Tangguh, Papua Barat.

Untuk Tangguh “train” tiga, Widhyawan mengatakan, pihaknya juga telah mengalokasikan 40 persen dari produksi 3,8 juta ton per tahun ke domestik.

“Pembelinya ke PLN atau lainnya,” ujarnya.

Di tambah, lanjutnya, gas bumi yang akan langsung dialokasikan ke pembangkit listrik dan industri petrokimia di dekat lokasi proyek.

Sebelumnya, diketahui ada rencana mengekspor dalam jangka panjang LNG Tangguh eks-Sempra ke pembeli Jepang yakni Kansai Electric, Kyushu Electric, dan Tepco mulai 2013 hingga 2035 dengan volume bervariasi mulai 16 kargo per tahun per perusahaan.

Rencana ekspor Sempra tersebut merupakan bagian dari sekitar tiga juta ton per tahun gas Sempra yang akan dijual ke pembeli lain.

Sebanyak 12 kargo atau 0,75 juta ton per tahun di antaranya tengah dalam negosiasi antara PT PLN (Persero) dan BP Berau Ltd, sebagai pengelola kilang Tangguh, untuk dipasok ke terminal LNG di Arun, Aceh.

PLN dan BP sebenarnya sudah menyepakati klausul harga LNG-nya.

Namun, pemerintah menilai kesepakatan harga itu terlalu tinggi dan meminta lebih rendah.

Dengan demikian, masih tersisa sekitar dua juta ton per tahun yang bisa dialokasikan ke dalam negeri.

Pemerintah mempunyai program pembangunan infrastruktur berupa terminal dan pipa transmisi gas, namun pengembangannya terkendala pasokan gas.

Terminal LNG terapung di Teluk Jakarta baru mendapatkan pasokan 1,5 juta ton dari kapasitasnya tiga juta ton per tahun.

Sementara, terminal gas di Arun, Aceh juga baru memperoleh kepastian satu juta ton dari kebutuhan tiga juta ton per tahun.

Demikian pula terminal terapung di Jateng dan Lampung yang berkapasitas masing-masing tiga juta ton per tahun, belum ada kepastian pasokan gas sama sekali.

Ketidakjelasan pasokan gas ke terminal tersebut juga menghambat pembangunan pipa transmisi di Jawa dan Arun-Belawan.(ant/yra)

 

 

Hasyim Apresiasi Putusan MK Soal BP Migas

Hasyim Muzadi

SALAH satu penggugat UU Migas, KH Hasyim Muzadi, mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mencabut landasan keberadaan dan kewenangan Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas).

Hasyim di Jakarta, Selasa, mengatakan semangat gugatan terhadap UU No. 22 Tahun 2001 yang antara lain mengatur pengelolaan minyak dan gas bumi oleh BP Migas, sebenarnya untuk mengembalilan kedaulatan negara dalam mengelola minyak dan gas buminya sendiri.

“Karena UU No. 22 Tahun 2001 tidak memungkinkan negara mengolah minyak mentahnya sendiri di dalam negeri, kemudian mengekspornya ke luar negeri,” kata mantan Ketua Umum PBNU itu.

Kenyataan yang terjadi selama ini, kata dia, Indonesia hanya menjual minyak mentah kemudian diolah di luar negeri.

“Selanjutnya Indonesia membeli minyak tersebut yang sesungguhnya minyaknya sendiri dengan harga minyak dunia. Itu pun penjualan dan pembelian melalui perantara,” kata Hasyim.

Menurut dia setiap ada kenaikan harga minyak dunia, Indonesia selalu mengalami kegoncangan.

“Dan karena dahsyatnya kegoncangan itu, di Indonesia berkali-kali harus terjadi aparat yang berhadapan dengan rakyatnya sendiri,” kata Hasyim.

Padahal, lanjutnya, kalau minyak tersebut dikelola sendiri, dan Indonesia kembali menjadi negara pengekpor minyak, justru akan ada keuntungan dari kenaikan harga minyak dunia.

Lebih lanjut Hasyim mengatakan, setelah keputusan MK, pemerintah harus bisa menyelesaikan persoalan tersebut dengan baik.

“Pengelolaan selanjutnya haruslah dapat menangkap semangat kemandirian dan tidak melakukan hal yang sama seperti nuansa UU 22 Tahun 2001 itu, tentu sambil menunggu proses lahirnya UU baru oleh parlemen,” katanya.

Soal ikatan kontrak Indonesia dengan pihak asing, menurutnya, pemerintah mesti bisa menyelesaikan melalui aturan bisnis internasional.

“Sampai di sini kita harus hati-hati karena di DPR bisa bertele-tele. Adakah semangat kemandirian di parlemen kita?,” katanya.

Dikatakannya, menurut penelitian sebagian peneliti ekonomi Universitas Indonesia (UI), tidak kurang dari 20 UU yang menyangkut kebutuhan vital rakyat banyak yang sangat pro asing.

“Misalnya soal tanah, air, dan kandungan bumi lainnya. Seakan penjajahan ekonomi telah disahkan oleh para wakil rakyat kita sendiri,” tandasnya.

Lebih lanjut, pengasuh Pondok Pesantren Al Hikam Malang dan Depok ini mengatakan, Indonesia tidak perlu mengobarkan anti-asing karena globalisasi sudah menghapus eksklusivisme.

“Namun adalah kecerobohan sejarah kalau semuanya diserahkan ke asing. Oleh karenanya, keputusan MK ini harus dikawal sampai dengan lahirnya UU baru yang pro Indonesia. Bukan hanya oleh para pemohon (penggugat) tapi seluruh rakyat Indonesia yang memang tulus pro Indonesia,” katanya. (ant/yra)

Nasib 600 Pegawai BP Migas Pasca Dibubarkan MK

PASCA dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), pemerintah mengalihkan tugas Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) ke Kementerian ESDM lewat unit khusus. Lalu bagaimana nasib pegawainya?

Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, 600 pegawai BP Migas akan langsung pindah ke unit khusus di bawah Kementerian ESDM yang membidangi kegiatan hulu migas. Peralihan ini terjadi langsung setelah Peraturan Presiden (Perpres) dikeluarkan dalam waktu dekat ini. Hatta menyatakan Perpres akan dibuat malam ini juga.

“Khusus yang selama ini proses penganggaran (BP Migas) lewat APBN, dari keuangan negara. Semua pegawai 600. Semua yang ada beralih ke sini (Kementerian ESDM). Ini pegawai dari unit pelaksana kegiatan usaha hulu migas dengan status bukan PNS,” tutur Hatta usai rapat dengan Menteri Keuangan, Menteri ESDM, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Rapat dilakukan di kantor Kementerian ESDM, Selasa (13/11/2012).

Di tempat yang sama, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Abubakar mengatakan, terkait keputusan MK ini, maka fungsi BP Migas akan dipindahkan ke Kementerian ESDM sehingga para investor migas tak perlu khawatir.

“Untuk pegawai yang dipindahkan statusnya bukan PNS dan gajinya sama (tak berubah saat di BP Migas),” tegas Azwar.

Sebelumnya, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menyatakan BP Migas bubar sejak pukul 11.00 WIB karena diputus inkonstitusional. Untuk urusan kontrak kerja BP Migas dengan perusahaan lain tetap berlaku sampai batas waktu yang ditentukan.

Mahfud dalam keputusannya hari ini membacakan, MK membatalkan pasal 1 angka 23 dan pasal 4 ayat 3, pasal 41 ayat 2, pasal 44, pasal 45, pasal 48, pasal 59 huruf a dan pasal 61 dan pasal 63 UU Migas bertentangan dengan UU 1945.

Dalam pasal 1 angka 23 tertulis Badan Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi.

Sedangkan pasal 4 ayat 3 berbunyi Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 23.

MK akhirnya membatalkan pasal-pasal tersebut yang menyatakan bahwa pengelolaan migas ini diserahkan ke BP Migas yang merupakan wakil dari pemerintah.

“BP Migas inkonstitusional dan MK berhak memutus sesuatu yang tidak konstitusional,” papar Mahfud.

Dalam masa transisi dengan hilangnya BP Migas, MK memerintahkan Pemerintah dan Kementerian terkait memegang kendali hingga terbentuknya organ baru.

“Segala hak serta kewenangan BP Migas dilaksanakan oleh Pemerintah atau BUMN yang ditetapkan,” ujarnya. (df/yra)

Kantor BP Migas Harus Segera Disegel

PASCA dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi, kantor pusat Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) di Gedung Wisma Mulia, Jl Jend. Gatot Subroto, Jakarta, perlu segera disegel.

Hal ini disampaikan Adhie M Massardi, pemohon sekaligus Ketua Tim Non-Litigasi Uji Materi UU No 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi ke Mahkamah Konstitusi pada 29 Maret 2012 yang telah diputuskan dengan mengabulkan sebagian tuntutan oleh MK.

“Jangan sampai pengalaman buruk saat pembubaraan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) yang mengelola aset bank bermasalah pada 27 Februari 2004 terulang. Waktu itu, dugaan saya, ada triliunan rupiah aset dan dokumen negara yang raib. Karena prosesnya tidak transparan,” katanya.

“Mengingat BP Migas disinyalir merupakan sarang mafia migas, maka Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus proaktif melakukan audit investigasi. Agar ketika diserahkan kepada kementeriaan ESDM prosesnya terbuka, tidak ada yang ditutup-tutupi atau sebagian dihilangkan,” ujar Adhie yang juga koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) ini.

Seperti kita ketahui, uji materi beberapa pasal dalam UU Migas yang diajukan ke MK oleh Din Syamsuddin (PP Muhammadiyah), KH Hasyim Muzadi (NU), DR Rizal Ramli dan sejumlah ormas keagamaan dan tokoh nasional lainnya, sebagian dikabulkan oleh MK.

Antara lain pasal 11 ayat (1), pasal 20 ayat (3) dan pasal 49, yang menjadi payung hukum keberadaan BP Migas, yang memiliki kewenangan mengelola sumber daya alam (minyal dan gas bumi) serta biaya cost recovery (pengembalian biaya eksplorasi) sekitar USD 15 miliar. Dana ini dikelola secara tidak transparan, dan dinikmati oleh perusahaan-perusahaan asing..(dtc/yra)

Dibubarkan MK, Kepala BP Migas “Menjawab”

KEPALA Badan Pelaksana Minyak dan Gas (BP Migas) R Priyono menyatakan, pembubaran BP Migas bisa berdampak pada kontrak kerja sama antara BP Migas dan perusahaan perminyakan.

Menurutnya, kontrak kerjasama dengan perusahaan perminyakan dan gas tersebut, bisa-bisa tidak diakui, sehingga berpotensi merugikan negara hingga US$ 70 miliar.

“Kami sudah tanda tangan 353 kontrak, jadi ilegal. Kerugiannya sekitar US$ 70 miliar,” kata Priyono usai rapat di Komisi VII DPR di Gedung Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (13/11).

Hal tersebut dikatakan Priyono ketika dimintai tanggapannya atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebutkan kelembagaan BP Migas bertentangan dengan UUD 1945.

Priyono mengatakan, pihaknya akan segera melakukan konsolidasi internal untuk membicarakan hal tersebut. Salah satu yang akan dibicarakan adalah, status pegawai BP Migas.

Selain itu, pihaknya juga akan bertemu dengan perusahaan minyak yang memiliki kontrak untuk membicarakan kepastian kontrak yang sudah dilakukan.

Priyono menyatakan, pihaknya adalah pelaksana UU yang dibuat oleh pemerintah dan DPR. Priyono juga bilang, BP Migas merupakan produk dari reformasi.

“Kalau mau kembali (seperti) sebelum reformasi silakan saja. Kami prihatin atas operasi perminyakan. Kami tidak bisa lagi lindungi kepentingan nasional,” pungkasnya. (kpc/yra)

 

BP Migas Tunggu Keputusan Pemerintah

 

BADAN Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) masih menunggu keputusan pemerintah terkait hasil keputusan Mahkamah konstitusi yang membubarkan BP Migas.

“Saya tidak bisa kasih komentar. Kami tunggu keputusan pemerintah. Apakah BP Migas akan berubah bentuk atau bagaimana,” kata Kepala Divisi Humas, Sekuriti dan Formalitas BP Migas, Hadi Prasetyo (l-6/yra)

*) Dihimpun dari berbagai sumber.

 

**) Berita di hari pertama MK memutuskan BP Migas Dibubarkan, karena melanggar UUD 1945.

 

Ibukota Jawa Timur Pindah 11 Kali Setelah 10 November 1945

Setelah 10 November 1945

Gubernur Jawa Timur “Tergusur”

Dari Kota Surabaya

Yousri N.Raja AgamOleh: Yousri Nur Raja Agam  MH  *)

KILAS BALIK setelah Peristiwa Bersejarah

10 November 1945 di Surabaya.

TERHITUNG sejak tanggal 11 November 1945, ibukota Provinsi Jawa Timur “tergusur” dari Kota surabaya  ke luar kota. Gubernur Jawa Timur RMTA Suryo beserta staf “terpaksa” pindah kantor ke berbagai tempat di luar kota Surabaya. Ada 11 tempat yang sempat menjadi ibukota Jawa Timur di luar Kota Surabaya, sejak tanggal 11 November 1945 hingga 24 Desember 1949 atau empat tahun lebih. Selama dalam pengungsian itu, tiga kali penggantian Gubernur Jawa Timur. Pertama kali Gubernur Suryo diganti oleh dr.Moerdjani dan yang selanjutnya dr.Moerdjani diganti oleh Samadikun.

Tentara Sekutu Mengamuk,  Gubernur Jatim Mengungsi Lebih 4 Tahun dari Kota Surabaya

 

kantor-gubernur-difoto-dari-kantor-gubernur-yang-baru

KANTOR Gubernur Jawa Timur di Jl. Pahlawan 110 Surabaya

SEJARAH Pemerintahan Provinsi Jawa Timur, masih banyak yang belum terungkap  secara jelas kepada masyarakat, terutama untuk generasi muda dan generasi yang akan datang. Salah satu informasi dan catatan sejarah yang layak untuk disebarluaskan tersebut, adalah sejarah perjuangan Pemerintah Provinsi Jawa Timur bersama Arek-arek Suroboyo setelah peristiwa heroik tanggal 10 November 1945.

Sejak siang hingga malam pada hari Sabtu, tanggal 10 November 1945 itu, situasi di Kota Surabaya benar-benar mencekam. Desingan peluru dan dentuman meriam tidak henti-hentinya menghujani Kota Surabaya. Asap membubung ke udara, akibat kebakaran dan bumi hangus di seluruh pelosok Kota Surabaya.

Warga kota Surabaya berhamburan ke luar rumah menyelamatkan diri. Mereka mengamsi pakaian untuk segera mengungsi. Kecuali para pemuda, yang tua dan perempuan muda, bersama anak-anak kecil dan bayi, berbondong-bondong menuju ke luar kota. Mengungsi ke daerah yang dianggap aman. Tidak banyak barang yang dibawa, selain pakaian yang dipakai serta beberapa potong pakaian yang dibungkus. Rumah ditinggalkan begitu saja, sehingga banyak pula rumah yang diduduki dan ditempati oleh serdadu Sekutu dan Belanda. Awalnya rumah-rumah itu dijaga oleh para pejuang, namun kemudian para pemuda pejuang Arek-arek Suroboyo itu pun ikut mengungsi.

Tidak hanya penduduk yang merasa tidak aman, kedudukan Gubernur Jawa Timur, RMTA Suryo selaku kepala pemerintahan bersama stafnya juga terancam. Untuk mempertahankan kedudukan Pemerintah Provinsi Jawa Timur yang merupakan bagian dari Pemerintah  Republik Indonesia “merdeka”,  maka gubernur Jawa Timur beserta stafnya “terpaksa” mengungsi ke daerah yang aman. Segala kegiatan pemerintahan diatur dari daerah pengungsian.  Dengan demikian, maka ibukota Provinsi Jawa Timur ikut pindah dari Kota Surabaya ke daerah pengungsian di luar kota.

Kedudukan gubernur Jawa Timur beserta stafnya terus didesak oleh pasukan Belanda yang membonceng di belakang tentara Sekutu. Gubernur dan ibukota Pemerintah Provinsi Jawa Timur “tergusur”. Tidak hanya pindah pada satu tempat, tetapi berpindah-pindah sampai 11 tempat di kota dan desa di pelosok Jawa Timur.

Dari catatan sejarah yang ada, sejak tanggal 10 November 1945 hingga akhir tahun 1949, terjadi tiga kali penggantian gubernur, yakni Gubernur RMTA Suryo kepada dr.Moerdjani dan Gubernur Militer Kolonel Soengkono, serta Wakil Gubernur Samadikun yang ikut berpindah-pindah. Dengan demikian ibukota Pemerintah Provinsi Jawa Timur juga ikut berpindah-pindah.

Tempat-tempat kedudukan gubernur Jawa Timur yang sekaligus menjadi ibukota Provinsi Jawa Timur setelah tergusur dari Kota Surabaya, pertama kali pindah ke Sepanjang, Kewedanaan Taman, wilayah Kabupaten Sidoarjo. Tidak lama di sini, pindah ke Mojokerto, lalu ke  Kediri dan ke Malang. Di sini pun didesak oleh tentara Balenda dan gubernur mengungsi ke Blitar, terus naik ke lereng Gunung Wilis sebelah barat Kediri dan kembali ke  Malang. Situasi yang semakin genting memaksa gubernur beserta staf mengungsi ke Jombang dan terus ke satu tempat Bojonegoro. Dari sini terpaksa pindah lagi ke Madiun dan ke Nganjuk. Baru setelah Penyerahan Kedaulatan oleh Pemerintah Hindia Belanda kepada Pemerintah RIS (Republik Indonesia Serikat) tahun 1949, ibukota Provinsi Jawa Timur kembali ke Kota Surabaya.

Sepanjang, Taman Sidoarjo

HARI pertama berpindahnya ibukota Provinsi Jawa Timur tanggal 11 November 1945 dari Kota Surabaya, adalah Sepanjang, masuk dalam wilayah Kewedanaan Taman, Kabupaten Sidoarjo.

Pada hari itu pasukan Sekutu yang diwakili Inggris dengan perlengkapan mesin perang yang lengkap, tank dan mortir dan didukung pesawat-pesawat terbang terus menyerang dan membombardir Kota Surabaya. Pertempuran yang mendapat perlawanan dari pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan warga kota Surabaya terasa tak seimbang. Atas saran dari pimpinan TKR, Gubernur Jawa Timur RMTA Suryo bersama staf Pemprov Jatim memindahkan kedudukan pemerintahan daerah ke Sepanjang, wilayah Kewedanaan Taman, Kabupaten Sidoarjo.

Kota Mojokerto

Mengetahui kedudukan pusat pemerintahan Jawa Timur pindah ke Sepanjang, pihak Sekutu menyerang kedudukan gubernur itu. Hanya dua hari di Sepanjang, gubernur memindahkan ibukota Provinsi Jawa Timur ke Mojokerto. Selama berada di Mojokerto, sebagai ibukota dalam pengungsian yang ke-dua, suasana makin mencekam. Serbuan tentara Sekutu yang dihadang pasukan TKR akhirnya jebol juga.

Kota Kediri

Pada tanggal 17 November 1945, gubernur Jatim terpaksa hijrah ke pedalaman, di Kediri sebagai ibukota Jatim dalam pengungsian yang ke-tiga. Pertempuran mempertahankan kemerdekaan RI terus berlangsung, kendati ibukota Provinsi Jawa Timur berada di Kediri, Kordinasi dan konsolidasi anatar gubernur dengan pimpinan TKR, serta pemerintah pusat tetap berlangsung melalui kurir dan radio.

Walaupun ibukota Jawa Timur pindah ke Kediri, ibukota Keresidenan Surabaya yang dipimpin Residen Sudirman tetap berada di Mojokerto. Demikian pula dengan Pemerintah Kota Surabaya yang ikut mengungsi setelah Balaikota Surabaya diduduki oleh Belanda yang membonceng Sekutu. tetap bertahan di Mojokerto. Walikota Surabaya, Radjamin Nasution membagi stafnya menjadi dua bagian. Satu kelompok staf yang berada di pengungsian di Mojokerto, yang lainnya berada di rumah pribadi Radjamin di Alun-alun Rangkah Surabaya.

Pemerintahan Kota Surabaya dalam pengungsian tetap dijabat oleh Radjamin dengan selalu berkordinasi dengan Residen Sudirman dan Gubernur Suryo. Saat itu diu gedung Balaikota Surabaya pihak Belanda sudah menugaskan Mr.O.J.C.Becht sebagai Kepala Urusan Pemerintahan (Haminte) Surabaya. Dalam situasi sulit itu, Radjamin wira-wiri pergi pulang dari Surabaya ke Mojokerto. Bahkan, saat Mojokerto mendapat serangan tentara Belanda, kedudukan ibukota Pemerintah Kota Surabaya dalam pengasingan pindah ke Tulungagung.

Sebagai walikota Surabaya de-facto di bawah Pemerintahan RI, tetap Radjamin Nasution, kata wartawan senior dari LKBN Antara Surabaya Wiwiek Hidayat (alm)  yang tinggal di Jalan Jimerto 19-21 Surabaya, berdekatan dengan Balaikota Surabaya. Sebab,  sebagai walikota Surabaya, ia setia dan selalu berkordinasi dengan Residen Sudirman dan Gubernur Suryo. Namun saat itu, secara de-jure, kantor Balaikota di Surabaya sudah dikuasai oleh Haminte Mr.O.J.C.Becht. Hanya dua bulan Surabaya dijabat oleh O.J.C.Becht, kemudian jabatan walikota Surabaya diserahkan kepada Kepala Pengadilan Negeri Surabaya, Mr.Indrakoesoema mulai tahun 1946. Hanya tiga bulan menjadi walikota Surabaya, Indrakoesoema kembali ke instansinya Kementerian Kehakiman. Jabatan walikota Surabaya kemudian diserahkan kepada Mr.Soerjadi.

Saat ibukota Pemprov Jatim berada di Kediri, kegiatan yang berhubungan dengan kepamongprajaan, pengajaran, kesehatan, perekonomian dan lain-lain tetap berada satu kordinasi. Komunikasi dengan Pemerintahan Kabupaten dan Kota, tetap pula berkoordinasi dengan para residen. Jawa Timur waktu itu mempunyai tujuh keresidenan, yaitu: Surabaya, Madiun, Kediri, Besuki, Malang, Bojonegoro dan Madura.

Ada yang menarik saat itu, yakni mata uang yang digunakan untuk belanja masih uang Jepang. Pada tanggal 26 Oktober 1946, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan mata uang rupiah. Peristiwa ini mendapat sambutan rakyat di Jawa Timur, karena berbelanja dengan mata uang negaranya sendiri.

Setelah setahun ibukota Jawa Timur berada dalam pengungsian, tanggal 15 November 1946 diparaf naskah Perjanjian Linggarjati antara Pemerintah RI dengan pihak Belanda. Kendati demikian Belanda tidak melaksanakan perjanjian Linggarjati yang mengatur tentang gencatan senjata. Namun perjanjian ini dilanggar oleh pihak Belanda. Situasi bukannya menjadi aman, tetapi menjadi tidak menentu. Apalagi kemudian tanggal 14 Januari 1947, Belanda melanggar batas wilayah yang sudah disepakati.

Kota Malang

Ternyata, kedudukan ibukota Provinsi Jawa Timur di Kediri mulai terusik. Pihak Belanda mulai melakukan serangan-serangan bersenjata. Untuk menghindari hal yang tidak menguntungkan, Gubernur Suryo beserta stafnya memindahkan pusat pemerintahan Jawa Timur dalam pengungsian yang ke-empat ke Kota Malang pada bulan Februari 1947.

Saat ibukota Jawa Timur berada di Kota Malang, Pemerintah Pusat menunjuk Jawa Timur sebagai tuan rumah Rapat Pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang berlangsung tanggal 25 Februari 1947 hingga 6 Maret 1947. Acara ini menarik perhatian dunia luar. Selain diikuti wartawan dalam negeri, bebeberapa wartawan luar negeri juga hadir meliput kegiatan Sidang Pleno KNIP itu. Berdasarkan hasil Sidang Pleno KNIP  di Malang itu, akhirnya tanggal 24 Maret 1947, Perjanjian Linggarjati ditandatangani oleh pihak belanda dan Indonesia di Jakarta,

Pertempuran di lapangan masih terus terjadi antara tentara Belanda dengan TRI (Tentara Republik Indonesia). Pihak Belanda masih saja melanggar isi naskah Perjanjian Linggarjati yang sudah diparaf. Pihak Belanda menyerbu ke wilayah pedalaman. Akibatanya pada bulan Maret 1947, Ibukota Keresidenan Surabaya yang dipimpin Residen Sudirman yang berkedudukan di Mojokerto terpaksa menyingkir ke Jombang dan Walikota Surabaya Radjamin Nasution pindah ke Tulungagung.

RMTA Suryo Diganti dr.Moerdjani

 KENDATI Pemerintahan dalam pengasingan, dengan ibukota Provinsi Jawa Timur berada di Kota Malang,   Gubernur Jatim RMTA Suryo mendapat promosi jabatan. Pemerintah Pusat mengangkat Suryo menjadi anggota DPA (Dewan Pertimbangan Agung) yang berkedudukan di Jogjakarta yang saat itu menjadi ibukota Republik Indonesia.

Terhitung sejak 1 Juni 1947, Pemerintah Pusat menunjuk RP Soeroso sebagai Gubernur Jawa Timur. Penunjukan RP Soeroso mendapat reaksi keras di Jawa Timur, sehingga akhirnya Pemerintah Pusat secara resmi menetapkan dr.Moerdjani sebagai pengganti RMTA Suryo.

Kota Blitar

Pihak Belanda benar-benar tidak menaati hasil Perundingan Linggarjati. Pusat pemerintahan Provinsi Jawa Timur di Kota Malang diserbu  pasukan militer bersenjata. Pertempuran dengan pasukan Indonesia tidak terelakkan. Gubernur Moerdjani terpaksa mengungsi ke Kota Blitar. Ibukota Provinsi Jawa Timur untuk yang ke-lima kalinya pindah ke Kota Blitar. Dengan didudukinya Kota Malang oleh Belanda, maka wilayah kekuasaan Jawa Timur makin mengecil.

Perlawanan dari para pejuang membuat pihak Belanda sadar. Mereka tidak mungkin bisa kembali menjajah Indonesia seperti sebelum Perang Dunia II. Untuk itulah, pihak Belanda menggunakan taktik lain, dengan membuat gagasan mendirikan Negara Indonesia Serikat. Gagasan itu disampaikan oleh Gubernur Jenderal Belanda H.J.van Mook pada Konferensi Malino, sebuah kota kecil di tenggara Makassar bulan April 1946. Gagasan itu dipertegas dalam Konferensi Denpasar tanggal 23-28 Desember 1946.

Nah, dalam Konferensi Denpasar inilah Belanda membentuk Negara Indonesia Timut (NIT) yang merupakan negara bagian pertama dari negara Serikat yang akan didirikan tersebut. Belanda semakin giat membentuk negara-negara baru di seluruh Indonesia. Tujuannya untuk memperlemah kedudukan Negara Republik Indonesia yang waktu itu beribukota di Jogjakarta.

Pemerintahan Provinsi jawa Timur yang dipimpin Gubernur dr.Moerdjani mendapat serangan besar-besaran dari Belanda pada tanggal 21 Juli 1947. Serangan ini dikenal dengan “Aksi Militer I”. Dalam aksi militer ini pasukan Belanda dengan cepat berhasil menduduki beberapa kota di wilayah kekuasaan RI. Di wilayah yang sudah dikuasai, Belanda segera membentuk negara bagian, seperti NIT.

Suatu peristiwa yang tidak bisa dilupakan waktu itu dalam sejarah perjuangan di Jawa Timur, adalah kejadian yang sangat menyakitkan, adalah peristiwa “Gerbong Kereta Api Maut”.  Pada tanggal 23 November 1947 suatu rangkaian gerbong kereta api barang, dimuati tawanan dari Bondowoso ke Surabaya. Akibat tidak ada udara, tidak diberi makan dan minum, serta berdesak-desaknya manusia di dalam gerbong tertutup itu, dari 100 orang tawanan, sebanyak 46 orang tewas dalam perjalanan. Sesampai di stasiun Wonokromo Surabaya, mayat-mayat yang bergelimpangan itu dimasukkan ke dalam truk untuk dimakamkan. Sedangkan yang masih hidup digiring ke penjara Kalisosok Surabaya. Peristiwa “gerbong maut” itu hingga kini menjadi catatan hitam dalam sejarah perjuangan rakyat Jawa Timur.

Aksi Militer I berakhir setelah Persetujuan Renvile tanggal 17 Januari 1948. Akibat perjanjian itu, wilayah Jawa Timur makin sempit, yakni hanya meliputi Keresidenan Madiun, Kediri, Bojonegoro dan sebagi Keresiden Surabaya dan Keresidenan Malang. Daerah yang dikuasai Belanda, segera membentuk negara, yaitu Negara Madura beribukota di Pamekasan tanggal 20 Februari 1948 dan Negara Jawa Timur dengan ibukota Surabaya tanggal 26 November 1948. Keberadaan negara boneka ini juga merupakan pengepungan terhadap wilayah Republik Indonesia.

Di saat Belanda sudah siap mengadudomba antar daerah, terjadi pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) Muso di Madiun tanggal 18 September 1948. Pemberontakan itu, berhasil ditumpas TNI (Tentara  Nasional Indonesia). Di samping Gubernur Sipil dr.Moerdjani, pemerintah menetapkan pula Kolonel Sungkono sebagai Gubernur Militer Jawa Timur.

Situasi ini, ternyata dimanfaatkan oleh pihak Belanda untuk mengatur strategi melemahkan kedudukan pemerintahan RI. Belasnda melancarkan serangan yang dikenal dengan sebutan Aksi Militer II tanggal 19 Desember 1948. Ibukota RI di Jogjakarta juga digempur dan berhasil diduduki. Belanda bahkan berhasil menawan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, serta beberapa pejabat pemerintahan RI.

Lereng Gunung Wilis

Aksi Militer II ini di Jatim, membuat kedudukan Gubernur Jawa Timur terdesak, sebab Belanda berhasil menduduki Kota Blitar tanggal 21 Desember 1948. Gubernur Jatim dr.Moerdjani bersama stafnya terpaksa menyingkir ke sebuah desa di lereng Gunung Wilis. Dari lereng Gunung Wilis yang dijadikan sebagai ibukota Jawa Timur dalam pengungsian yang ke-enam ini, Gubernur Moerdjani berkoordinasi dengan Gubernur Militer Kolonel Soengkono mengendalikan pemerintahan Jawa Timur.

Dialihkan kepada Samadikun

Walaupun sudah menyingkir ke lereng Gunung Wilis, ternyata pihak Belanda tidak puas. Kedudukan gubernur pun diserang dan Gubernur Moerdjani dan Wakil Gubernur Doel Arnowo, serta beberapa pejabat Pemprov Jatim ditangkap. Mereka dibawa ke Surabaya dan ditawan di Hotel Sarkies, di Jalan Embong Malang Surabaya. Hotel ini sudah dibongkar, letaknya di dekat Hotel Tunjungan sekarang.

Pada saat bersamaan, terjadi peristiwa yang menyedihkan, Menteri Pembangunan dan Pemuda PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) Soepeno, gugur ditembak tentara Belanda di Desa Genter, Kabupaten Nganjuk. Saat itu Soepeno sedang mencari kedudukan ibukota Jawa Timur dalam pengungsian yang merupakan bagian dari PDRI dan Gubernur Jatim dr.Moerdjani.

Lodoyo, Blitar Selatan

UNTUK mengatasi keadaan, Gubernur Militer Kolonel Soengkono menugaskan Wakil Gubernur Samadikun meneruskan perjuangan dari Lodoyo, Blitar Selatan bersama Bupati Blitar Darmadi. Lodoyo, menjadi ibukota Jawa Timur ke-tujuh yang berada dalam pengungsian.

Walaupun menghadapi keadaan yang sukar, namun Pemerintah Republik Indonesia di Jawa Timur tetap melakukan gerilya. Kemudian tanggal 15 Maret 1949 datang instruksi PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) yang berpusat di Bukittinggi, Sumatera Barat. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) PDRI  Mr.Soesanto Tirtoprodjo, mengirim delegasi A.Gapar Wirjosoedibjo menemui Wagub Samadikun. Kepada Samadikun diberi tugas istimewa untuk berkeliling Jawa Timur, mengadakan hubungan langsung dengan para residen yang ada di wilayah Jawa Timur.

Desa Sinurejo, Tumpang, Malang

Tugas itu dilaksanakan Wagub Samadikun dengan menyusuri jalan-jalan desa dan gunung. Wagub berhasil menemui Residen Malang R.Aboebakar Kartowinoto di Desa Sinurejo, Tumpang, Malang.

Gudo, Jombang

Perjalanan diteruskan ke Mojowarno, Jombang untuk  menemui Residen Surabaya, R.Soedirman. Tetapi diperoleh kabar duka yang menyebutkan, Residen Soedirman sudah meninggal dunia Desa Jogos, Kediri tanggal 9 April 1949. Walaupun tidak bertemu dengan R.Soedirman, pesan bisa disampaikan kepada Wakil Residen Surabaya M.Soetadji di Desa Gudo, Jombang.

Desa Deling Bojonegoro

Dari Jombang, Wagub Samadikun, terus berjalan menuju Bojonegoro. Perjalanan ke Bojonegoro melalui daerah kering dan tandus melewati Gunung Kendeng yang merupakan perbatasan Kabupaten Nganjuk dengan Kabupaten Bojonegoro. Rombongan sampai di rumah Residen Bojonegoro Mr.Tandiono Manu di Desa Deling, Kabupaten Bojonegoro. Setelah acara pertemuan dengan aparat pemerintahan se Keresidenan Bojonegoro, pejalanan Wagub Samadikun dilanjutkan ke Madiun.

Desa Seran, Kandangan Kabupaten Madiun

Long-march ke Madiun ini melalui Gunung Pandan dan Gunung Wilis, lewat Desa Gemagah akhirnya sampai di Desa Seran, perkebunan Kandangan, Kabupaten Madiun. Saat itu, kawasan ini menjadi pusat Markas Polisi Jawa Timur yang dipimpin M.Jasin, Komandan Mobrig (Mobile Brigade) sekarang diubah menjadi Brimob (Brigade Mobil). Di sinilah Wagub Jatim Samadikun bertemu dengan Residen Madiun Pamoedji dan Wakil Residen Sidarta.

Usai bertemu dengan residen Madiun, Wagub Samadikum mengakhiri pertemuannya dengan Residen Besuki R.Soekartono dan Residen Kediri R.Soewondo. Dengan demikian Wagub Samadikun sudah selesai melaksanakan tugas istimewa yang diberikan Mendagri PDRI, Mr.Soesanto Tirtoprodjo.

Hasil pertemuan dengan seluruh residen di Jawa Timur itu ditulis dalam laporan khusus yang diberi nama “Djungkring Salaka” tertanggal 22 Mei 1949 oleh Wagub Samadikun. Laporan itu dikirim kepada Mendagri PDRI Mr.Soesanto Tirtoprodjo ke kediamannya di Desa Nglorok, Pacitan oleh  Bupati Madiun Pamoedji tanggal 27 Mei 1949.

Sejak tercapainya Persetujuan Room-Royen tanggal 7 Mei 1949, PDRI di Jawa makin kuat. Ini karena dibentuknya Komisariat di Jawa dengan Komisaris Mr.Soesanto Tirtoprodjo yang merangkap Menteri Kehakiman. Sedangkan menteri lainnya, J.Kasimo sebagai Menteri Persediaan Makan Rakyat,  KH Maskoer sebagai Menteri Agama dan RP Soeroso sebagai Mendagri.

Kordinasi dengan Presiden PDRI Mr.Sjafruddin Prawiranegara yang berada di Bukittinggi, Sumatera Barat berjalan dengan lancar. Sementara itu, perjanjian tentang penarikan tentara Belanda dari Jogjakarta sebagai kelanjutan KMB (Konferensi Meja Bundar) di Denhag semakin jelas. Bahkan,  akhirnya tanggal 8 Juli 1949, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta beserta beberapa pejabat pemerintah pusat kembali dari pengasingan.

Presiden RI Soekarno kemudian mengumumkan, kembalinya pemerintahan Republik Indonesia dan berakhirnya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dipimpin Mr.Sjafruddin Prawiranegara.  Wakil Gubernur Jatim Samadikun,  dikukuhkan menjadi Gubernur Jawa Timur, menggantikan dr.Moerdjani.

Kembali ke Kota Surabaya

Dari 11 Tempat Pengungsian

Setelah empat tahun ibukota Provinsi Jawa Timur mengungsi dengan berpindah-pindah di 11 tempat di beberapa desa, kabupaten dan kota di Jawa Timur, maka tanggal 24 Desember 1949, secara resmi ibukota Jawa Timur kembali ke Kota Surabaya. Ke 11 tempat yang pernah menjadi kedudukan Gubernur Jawa Timur, selama masa pengungsian. menurut mantan pejabat Pemprov Jatim, Ir.Oerip Soedarman, dapat disebut sebagai ibukota Jawa Timur. Ke 11 tempat itu adalah: Sepanjang (Taman, Sidoarjo), Kota Mojokerto, Kota Kediri, Kota Malang, Kota Blitar, Lereng Gunung Wilis, Lodoyo (Blitar Selatan), Desa Sinurejo (Tumpang, Kabupaten Malang), Desa Mojowarno (Jombang), Desa Deling (Kabupaten Bojonegoro) dan  Desa Seran (kawasan perkebunan Kandangan, Kabupaten Madiun).

Tiga hari kemudian, tanggal 27 Desember 1949, seluruh wilayah Republik Indonesia, kecuali Irian Barat atau Irian Jaya, diserahkan kedaulatannya oleh Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS).

Ada yang patut diketahui oleh generasi muda, bahwa saat Indonesia berbentuk negara serikat dengan nama RIS, di Jawa Timur ada dua negara yang dibentuk Belanda sebagai “boneka”. Negara Jawa Timur yang   berdiri berdasarkan Konferensi Bondowoso dan Negara Madura dengan ibukota Pamekasan. Setelah Penyerahan Kedaulatan, kedua negara itu kembali bergabung dengan negara RI tanggal 27 Februari 1950.

Pemerintahan Militer di Jawa Timur dengan Gubernur Militer Kolonel Soengkono, dihapus. Hal ini dinyatakan berdasarkan Perintah Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 30 Mei 1950 No.338/KSAD/1 H.50 dan Keputusan Menteri Partahanan tanggal 1 Agustus 1950 No.357/MP/50. Dengan adanya keputusan ini, maka segala urusan pemerintahan dan keamanan diserahkan kepada Gubernur Jatim Samadikun.**

*) Yousri Nur Raja Agam MH, adalah Wartawan berdomisili di Surabaya.