Melancong ke Australia

Abadilah Sang Merah Putih

Abadilah Sang Merah Putih

Oleh-Oleh: Yousri Nur Raja Agam  MH

Perjalanan akhir tahun 2012 ke Melbourne, Australia sungguh menarik. Di sana saya menyaksikan Festival Indonesia di Kota Melbourne, Negara Bagian Victoria.  Berbagai acara kesenian Nusantara digelar pada acara bertopik “Indonesia Night”. Jawa Timur menjadi ruan rumah Festival Indonesia, sehingga 60 persen acara didominasi oleh delegasi Jawa Timur. Sedangkan daerah lain di Indoneszia diwkili para mahasiswa Indonesia yang sedang mengikuti pendidikan di Benua Kanguru itu. Kesempatan itu juga dimanfaatkan delegasi Jawa Timur bekerjasama dengan pengusaha di Australia. Salah satu kegiatan bisnis itu adalah penandatangan MoU (Memorandum of Understanding) antara Gubernur Jatim Dr.H.Soekarwo yang mendampingi Ketua Koperasi Peternak Sapi Perah Jatim, Koesnan dengan pengusaha peternakan di Australia.

Foto-foto dokumentasi berikut akan berbicara tentang perjalanan saya bersama kawan-kawan di Australia.

Nendera Australia dan Bendera Indonesia

Bendera Australia dan Bendera Indonesia

IMG_0291

Indonesia Night

IMG_0164IMG_0373Tari Pasambahan menyambut tamuIMG_0344Melancong ke Australia

Menyaksikan Festival Indonesia 2012 di Melbourne, Australia

Festival Indonesia 2012 di Melbourne Australia 

Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH

 FESTIVAL Indonesia 2012  di Melbourne, Australia benar-benar mengasyikkan. Mengingatkan kita ke tanahair Indonesia. Festival dengan penyajian seni budaya dan pameran produksi Indonesia di Melbourne, Australia tanggal 17 hingga 27 September itu, mampu mengundang investor dan para peminat kebudayaan Indonesia.

            Memang, festival yang diselenggarakan tiap tahun itu, mampu menjadi daya tarik Indonesia bagi warga Australia. Maka tidak mengherankan, hubungan Indonesia-Australia semakin akrab.

            Saya berada di Australia selama enam hari, tanggal 17 hingga 22 September 2012. Bersama rombongan Gubernur Jawa Timur, Dr.H.Soekarwo, saya diajak pula berkunjung ke China selama lima hari. Selain Hongkong dan Beijing, kunjungan lebih terfokus di Kota Tianjin.

            Nah, khusus tentang festival di melbourne, memang kegiatannya didominasi oleh Jawa Timur. Nuansa Jawa Timur sangat menonjol dengan peragaan batik dari  kabupaten-kota di Jatim, demikian pula dengan penampilan para penari dari berbagai daerah dari Jatim.

            Tidak salah, kalau pertunjukan Indonesia Ninght 2012 di gedung Dallas Brook Center itu lebih banyak menampilkan budaya Jatim. Karena tahun 2012 ini, Jatim menjadi “tuan rumah” atau sponsor utama.

Mewakili Pemerintah Republik Indonesia,  Gubernur Jatim Dr.Soekarwo tampil memberikan sambutan. Pakde Karwo – sapaam akrab Soekarwo – berada di Kota Melbourne selama lima hari, tanggal 17 hingga 22 September lalu.

Selain memperkenalkan budaya dan mempromosikan pariwisata Jatim lawatan Pakde Karwo ke Melbourne, Victoria, New South Wales, Australia itu juga membina hubungan kerjasama dengan para pengusaha dan investor dari Negara Kangguru itu.

Acara Indonesia Night dengan tema Gema Nusantara dalam Festival Indonesia 2012 di Melbourne benar-benar menarik di masyarakat Melbourne. Kendati tiap orang membayar tanda masuk 15 dolar Autralia, gedung Dallas Brook Center yang terletak di pusat kota berkapasitas ribuan penuh sesak oleh warga Melbourne dan Indonesia yang tinggal di Australia.      

            Selain pejabat dari pemerintah RI, juga hadir tamu dari nagara sahabat. Pejabat yang mewakili pemerintah pusat yang hadir di antaranya Kepala BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) Chatib Basri, Konsul Jendral RI untuk Victoria dan Tazmania di Melbourne Irmawan Emir Wisnandar dan Konselor Kota Melbourne Ken Ong.  Selain itu juga terlihat hadir Konjen RI di Darwin, Konjen Spanyol, Konjen Jepang, dan banyak pejabat lainnya.

            Saat acara dimulai, nuansa Jawa Timur acara sudah sangat kental. Peragaan busana dengan  kebaya Madura dan tari Bedhoyo Majakirana, serta atraksi barong yang menjadi ciri khas kesenian Ponorogo mendapat sambutan luar biasa.

            Acara bertambah meriah setelah diwarnai nyanyian Bornok Hutauruk dengan Gema Nusantara dan peragaan busana batik karya Rafi Abdurrahman Ridwan. Mode batik yang sangat menarik itu diciptakan oleh anak yang baru berusia 10 tahun. Rafi yang merupakan anak yang mempunyai “kelainan mental itu” daalam waktu dekat juga akan dikirim ke Prancis untuk pergelaran.

            Berbagai sendratari Nusantara ditampilkan di atas panggung. Ada tarian khas dari Aceh, tari tor-tor dari  Sumatera Utara, tari payung dari Sumatera Barat, tari ondel-ondel dari Jakarta dan gerak tairi yanmg meliuk-liuk dari Bali, dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Maluku dan Papua.  

            Tari Gandrung Banyuwangi dengan penampiulan yang unik menambah semangat para pengunjung, karena penari mengajak warga Melbourne untuk menari bersama di panggung.

Ketua Penggerak PKK Jatim Ny.Nina Kirana Soekarwo sengaaka menampilkan berbagai jenis batik. Di antaranya batik dari Tulungagung, Tuban dengan batik gedoknya, Banyuwangi dengan batik Gajah Nguling, dan Surabaya dengan batik khasnya.

”Saya memang ingin menampilkan semua corak batik yang jumlahnya 1.300 dari 38 kabupaten dan kota se-Jatim, komentar Nina Soekarwo, istri gubernur yang memang menyiapkan secara khusus acara itu.

            Kekaguman penampilan delegasi Jatim juga diungkapkan oleh istri Konjen RI (KJRI) Irma Wisnandar. ”Hebat. Selama saya melihat pentas di tempat lain, memang baru kali ini yang paling meriah,” akunya.

            Irma melihat budaya Jatim sangat khas. ”Saya ingin nanti publik Melbourne bisa langsung ke Jatim untuk melihat dari dekat,” katanya.  Menurut dia, penampilan Indonesia Night yang digelar di Melbourne itu tidak membosankan. ”Sekarang budaya tradisional sangat dinamis. Hal seperti itu yang disenangi publik Melbourne,” ujar Irmawan.

            Sauasana yang menarik, terjadi saat akhir acara. Pakde Karwo bersama Ny.Nina Soekarwo “laku keras” dirangkul dan diajak foto bersama.  Para delegasi penari dan penyanyi sangat antusias dan slih berganti mengajak Palde Karwo dan istrinya foto bersama. **

Tragis! Sukarno Hatta “Cerai Paksa” di Kota Pahlawan Surabaya

RENUNGAN DI HARI PAHLAWAN

Tragis!

Dwi Tunggal Sukarno-Hatta

Cerai Paksa di Kota Pahlawan

 

Yousri Nur RA, MH.

 

Oleh: HM Yousri Nur Raja Agam *)

 

 

DULU di bebarapa media, berulangkali saya menulis judul: “Ironis! Kota Pahlawan Miskin Nama Pahlawan” atau “Ironis Nama Sukarno-Hatta Belum Diabadikan di Kota Pahlawan”, dan beberapa judul lagi yang senada.

Memang, di Indonesia, hanya Kota Surabaya satu-satu yang berjuluk Kota Pahlawan, namun perwujudan makna kepahlawanan itu sangat dangkal. Kepahlawanan hanya diterjemahkan dari peristiwa heroik yang terjadi di sekitar tanggal 10 November 1945 yang membawa korban jiwa terhadap ribuan Arek Suroboyo.

Padahal, seyogyanya, pengertian pahlawan itu diwujudkan dengan menjadikan Kota Surabaya ini sebagai “kamus kepahlawanan”. Surabaya dapat dijadikan sebagai museum kepahlawanan yang berskala nasional. Bahkan, kalau memungkinkan diangkat menjadi “Kota Pahlawan Internasional”.

Dalam sejarah, “tewas”-nya salah seorang pimpinan militer Inggeris, Jenderal Mallaby, bagi kita merupakan suatu “kemenangan”. Tetapi, bagi sekutu, dia adalah pahlawan yang “gugur” dalam kancah berjuang demi negaranya dan kepentingan dunia internasional

Suatu hal yang sangat memprihatinkan, adalah kurangnya minat dan perhatian para petinggi di Kota Surabaya ini untuk menampung aspirasi warganya. Salah satu di antaranya, ialah usul-usul warga untuk sebanyak mungkin mangabadikan nama-nama pahlawan di Surabaya. Terlalu berbelitnya prosedur untuk memberi nama pahlawan pada suatu jalan. Bahkan, sangat tidak mudah mengganti nama jalan yang sudah ada dengan nama jalan baru.

Dengan berbagai upaya dan cara, saya sebagai penulis di beberapa suratkabar dan majalah yang terbit di Indonesia, mengungkap kehebatan Surabaya sebagai Kota Pahlawan. Di sana saya menyinggung, sikap abai para petinggi di kota ini untuk menyesuaikan diri dengan julukan Kota Pahlawan itu. Apalagi, sangat lambannya keinginan untuk mengabadikan nama Dwitunggal Sukarno-Hatta selaku Pahlawan Nasional Proklamator Kemerdekaar Repubilik Indonesia di kota kelahiran Bung Karno ini.

Monumen Dwitunggal Sukarno-Hatta di gerbang Taman Tugu Pahlawan Surabaya.

Kendati kemudian terwujud pemberian nama Jalan Sukarno-Hatta untuk jalan baru lingkar timur bagian tengah atau MERR (Midle East Ring Road), di akhir masa jabatan Walikota Surabaya, Bambang DH.  DPRD Kota Surabaya, pada sidang paripurna 17 April 2010 menyetujui nama Jalan Sukarno-Hatta sejak dari pertigaan Jalan Kenjeran menuju ke selatan sampai ke perbatasan Surabaya-Sidoarjo. Peraturan Walikota Surabaya ditandatangani oleh Walikota Surabaya “yang baru” Ir.Tri Rismaharini yang menggantikan Bambang DH tanggal 24 November 2010.

Saya sebagai penulis yang sudah berulangkali menulis artikel dan kritikan ini merasa gembira. Ternyata walikota perempuan pertama di Kota Surabaya ini juga sangat peduli kepada Proklamator kemerdekaan RI itu. Bahkan, secara resmi mengeluarkan Surat Keputusan Walikota Surabaya, memberi nama jalan sejak dari pertigaan Jalan Kenjeran ke selatan sepanjang jalan MERR itu sampai ke perbatasan Surabaya dengan Kabupaten Sidoarjo.

Keputusan Walikota Surabaya Nomor 188.45/501/436.1.2/2010 itu menetapkan  tentang nama Jalan Sukarno-Hatta di Kota Surabaya sepanjang 10.925 meter. Jalan ini berawal di pertigaan Jalan Kenjeran melintasi: Jl. Kalijudan, Jl. Mulyorejo, Jl. Dharmahusada Indah, Jl. Dharmahusada, Jl. Kertajaya Indah, Jl. Kertajaya Indah Timur, Jl Arif Rahman Hakim, Jl. Semolowaru, Jl. Semampir Kelurahan, Jl. Semampir Tengah, Jl. Semampir Selatan, Jl. Medokan Semampir, Jl. Kedung Baruk Raya/Jagir, Jl. Wonorejo/Jagir, Jl. Baruk Utara, Jl. Penjaringan Sari, Jl. Kedung Asem, Jl. Pandugo, Jl. Rungkut Madya, Jl. Gunung Anyar Tambak, berbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo.

Namun, sungguh malang nasib Dwitunggal Sukarno-Hatta itu. Justru di Kota Pahlawan ini, Pahlawan Proklamator lambang pemersatu bangsa itu, dipisah. Walikota melakukan “cerai paksa” terhadap Sukarno-Hatta. Jalan Sukarno-Hatta itu tidak berumur panjang. Perceraian ke dua tokoh sentral Kemerdekaan Indonesia itu dilakukan tanpa persetujuan DPRD Kota Surabaya yang sudah mengesahkan Perda (Peraturan Daerah) tentang pemberian nama jalan Sukarno-Hatta untuk jalan MERR itu. Jalan Sukarno-Hatta itu pun diganti menjadi Jalan Dr.Ir.H.Soekarno, tanpa menyebut nama Hatta atau Muhammad Hatta dengan  Keputusan Walikota Surabaya No.188.45/86/436.1.2/2011.

Dengan janji yang sangat muluk, seolah-olah akan menjadi walikota sepanjang masa, Tri Rismaharini, menyatakan nanti nama Jalan Dr.H.Muhammad Hatta akan dipasangkan di MWRR (Midle West Ring Road), yaitu jalan lingkar barat bagian tengah, di Surabaya Barat. Padahal, jalan itu entah kapan akan digarap, apalagi selesai. Maka, di Kota Pahlawan inilah Bung Karno berjalan sendiri tanpa kehadiran Bung Hatta. Tragis!

Dalih yang tidak masuk akal, konon perubahan nama itu gara-gara nama Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng, Jakarta, sering disingkat “Soeta”. Jadi, khawatir nanti Jalan Sukarno-Hatta di Surabaya itu disingkat Jalan Suta atau Seoata.

Tidak itu saja dalih yang saya dengar, katanya, di Bukittinggi, Sumetera Barat, di kota kelahiran Bung Hatta, nama Soekarno dengan Hatta juga dipisah. Saya tahu persis, justru, di Bukittinggi itu, Jalan Soekarno-Hatta panjang sekali. Jalan raya Sokarno-Hatta itu, mulai dari dekat rumah kelahiran Bung Hatta, di Pasar bawah Bukittinggi, di dalam kota sampai menuju luar kota, ke Kecamatan Baso Kabupaten Agam terus ke Kabupaten Lima Puluh Kota sampai masuk Kota Payakumbuh. Jadi, Jalan Soekarno-Hatta di Bukittinggi itu merupakan jalan raya dari dalam kota Bukittinggi terus sampai ke Payakumbuh. Tidak tanggung-tanggung, jalan raya Soekarno-Hatta di tanah kelahiran Bung Hatta panjangnya sambung-bersambung dari dua kota dan dua kabupaten.

 

Ditolak DPRD Surabaya

Pemaksaan “cerai paksa” yang dilakukan oleh Walikota Surabaya itu ditolak DPRD Surabaya. Dalam rapat Pansus Pengubahan Nama Jalan DPRD Surabaya, Eddy Budi Prabowo anggota pansus dari Fraksi Partai Golkar mengatakan Pemkot sebaiknya tidak terburu-buru mengubah nama jalan itu.

Alasannya, nama dua proklamator secara historis adalah satu kesatuan. Memisahkannya jadi dua nama jalan berbeda dapat menimbulkan polemik, apalagi saat ini tensi politik di Surabaya meninggi.

Maduki Toha, anggota Pansus dari FKB menilai kebijakan Walikota ini terburu-buru karena belum tentu jalan lingkar Barat bisa cepat dibangun.

“Bahkan bisa saja tidak dibangun. Jika ini terjadi, maka hanya ada nama Jl. Bung Karno saja. Kasihan Bung Karno sendirian tidak ada Bung Hatta,” katanya.

Masduki bersikukuh mengusulkan agar nama jalan diubah menjadi Jl. Soekarno-Hatta Timur, sehingga kalau nanti dibangun lingkar Barat, bisa disesuaikan jadi Jl. Soekarno-Hatta Barat.

 

Nama Sukarno-Hatta

Kalau boleh saya mengungkap masa lalu, boleh disebut lebih ironis lagi ketika di masa Orde Baru. Hampir tidak ada upaya dari Pemkot Surabaya untuk mengabadikan nama besar Pahlawan Nasional, Proklamator Sukarno-Hatta di Kota Pahlawan ini. Saat saya, menyampaikan usul kepada Walikota Surabaya, H.Poernomo Kasidi tahun 1986 agar nama Proklamator Sukarno-Hatta diabadikan di Surabaya, sikap saya selaku penulis dianggap terlalu “berani”.

Pak Pur – begitu walikota yang bertitel dokter itu dipanggil – sembari berbisik mengatakan, jangan dulu. Alasannya, menyebut nama Bung Karno di era Orde baru itu cukup sensitif. Namun, pada tahun 1986 itu Presiden Soeharto, justru mengeluarkan penetapan tentang Dr.Ir.H.Sukarno dan Dr.Mohammad Hatta sebagai Pahlawan Nasional dengan Kepres 081/TK/Tahun 1986 tertanggal 23 Oktober 1986.

Sambutan beberapa pejabat pemerintahan di Indonesia cukup positif. Bandara Cengkareng yang merupakan pengalihan dari Bandara Kemayoran diberi nama Bandara Internasional Sukarno-Hatta. Di Ujungpandang yang kembali bernama Makassar, pelabuhan lautnya diberi nama Sukarno-Hatta. Di Bandung, jalan lingkar selatan yang baru dibangun diberi nama Jalan Sukarno-Hatta.

Beberapa kota di Indonesia sertamerrta mengabadikan nama Proklamator Kemerdekaan RI itu sebagai nama jalan maupun nama taman, serta gedung bersejarah lainnya. Tidak ketinggalan pula di Jawa Timur, seperti Kota Malang, mengabadikan nama Sukarno-Hatta untuk jalan baru yang menghubungkan daerah Blimbing ke Dinoyo. Bahkan, di Kota Pasuruan dan di Bangkalan di Madura nama Jalan Sukarno-Hatta diabadikan di poros utama kota itu.

Secara resmi saya menulis surat kepada Walikota Surabaya, langsung ke tangan Pak Pur. Isi surat itu, agar nama Proklamator Sukarno-Hatta diabadikan di Surabaya dengan alternatif pertama mengganti nama Jalan Perak Timur dan Perak Barat sebagai Jalan Sukarno-Hatta. Alasan penulis waktu itu, karena jalan kembar itu menuju gerbang laut Surabaya, yakni Pelabuhan Tanjung Perak.

Ingat, Sukarno-Hatta sebagai Proklamator Kemerdekaan RI adalah Dwitunggal yang mengantar Bangsa Indonesia ke gerbang masa depan yang bebas dari penjajajah. Nah, Surabaya memang hanya punya satu gerbang masuk kota, yakni Tanjung Perak. Gerbang masuk dari udara dan darat Kota Surabaya, ada di Kabupaten Sidoarjo, yakni Bandara Juanda dan sekarang juga terminal Purabaya di Bungurasih, Waru.

Setelah usul itu tenggelam begitu saja di kantong walikota Poernomo Kasidi, penulis berupaya menanyakan dan mendesak. Ternyata, saya dibentak. Tidak puas dengan sikap sang walikota, penulis membuat artikel di Harian “Surabaya Post” pada tanggal 9 November 1989 dalam rangkaian peringatan Hari Pahlawan.

Sebagai penulis artikel, saya berusaha memberi gambaran, bahwa pintu gerbang kota Surabaya ini “hanya satu” yakni dari laut di Tanjung Perak. Sedangkan gerbang kota melalui darat ada di Bungurasih, Waru, Sidoarjo dan gerbang udara ada di Bandara Juanda, Sidoarjo. Untuk itulah, karena Sukarno-Hatta sebagai proklamator yang mengantarkan bangsa Indonesia ke gerbang kemerdekaan, maka penulis mengusulkan nama Jalan Tanjung Perak Barat dan Jalan Tanjung Perak Timur diubah menjadi Jalan Sukarno-Hatta

Setelah tulisan itu turun di koran terbesar di Surabaya waktu itu, saya dipanggil beberapa pejabat Pemda Kodya Surabaya (waktu itu). Ada yang mendukung dan ada yang menolak dengan alasan perlu ada Perda (Peraturan Daerah). Waktu itu, beberapa anggota DPRD Surabaya yang setuju, tetapi ada yang tidak. Alasannya, macam-macam. Di antaranya berdalih belum ada tempat yang pas untuk mengabadikan nama Sukarno-Hatta di Surabaya. Bahkan yang cukup berkesan, saya dipanggil oleh staf intel Kodam V Brawijaya, meminta penjelasan tentang tulisan di Surabaya Post itu.

Ketika ada rencana pembangunan  jalan lintas timur bagian tengah yang disebut MERR (Midel East Ring Road), ada yang menginginkan nantinya apabila proyek MERR itu jadi, maka nama jalan itu adalah Jalan Sukarno-Hatta. Ternyata MERR yang semula terbengkalai alias mangkrak, tahun 2005 lalu sebagian sudah selesai, termasuk jembatan yang melintas di atas Kali Jagir Wonokroromo sampai ke wilayah Kedung Baruk, di Kecamatan Rungkut.

Kabarnya, kalangan veteran pejuang kemerdekaan dan Angkatan 45 juga pernah mengusulkan jalan raya dari ITS sampai ke viaduk Jalan Sulawesi, yakni Jalan Kertajaya Indah, Manyar Kertoarjo sampai Jalan Kertajaya diganti menjadi Jalan Sukarno-Hatta. Itu juga tidak mendapat tanggapan dari eksekutif dan legislatif.

 

Pro-Kontra

Keinginan saya agar nama Sukarno-Hatta diabadikan di Kota Pahlawan ini kembali menggebu-gebu. Setelah di Harian “Surabaya Post”, beberapa tulisan tentang perlunya Surabaya mengabadikan nama Sukarno-Hatta di Surabaya, saya turunkan di Majalah Gapura (majalah resmi Pemkot Surabaya), tabloid Teduh, SKM Palapa Post, tabloid Metropolis dan Majalah DOR. Ketika saya mempunyai kesempatan yang “sangat baik” dengan Walikota Surabaya H.Sunarto Sumoprawiro, kumpulan tulisan dan artikel ini penulis serahkan kepada Cak Narto – panggilan sang walikota.

Luar biasa, Cak Narto menyambut baik ide untuk pengabadian nama proklamator ini. Saking bersemangatnya, Cak Narto sertamerta menginginkan nama jalan yang layak untuk sang Proklamator adalah mengganti nama Jalan Raya Darmo. Cak Narto waktu itu mengabaikan usul saya agar nama Sukarno-Hatta diabadikan dengan alternatif pertama mengganti nama Jalan Tanjung Perak Timur-Barat dan alternatif kedua sebagai pengganti Jalan Prapen Jemursari (mulai dari perempatan di Jembatan Bratang sampai ke Jalan A.Yani di bundaran Dolog.

Akibat keinginan Cak Narto mengganti nama Jalan Raya Darmo menjadi Jalan Sukarno-Hatta, timbul pro-kontra yang luar biasa di mediamassa. Padahal keinginan Cak Narto mendapat dukungan dari tokoh Surabaya, Prof.Dr.H.Roeslan Abdulgani atau Cak Roeslan. Namun upaya saya agar nama Sukarno-Hatta diabadikan di Surabaya kembali terganjal, bersamaan dengan “kasus walikota Surabaya”, sampai akhirnya Cak Narto sakit dan meninggal dunia di Australia tahun 2002. Begitu juga, Cak Roeslan juga sudah wafat, 28 Juni 2005 lalu di Jakarta.

Bagaimanapun juga, ketika Walikota Surabaya dijabat Drs.Bambang Dwi Hartono,MPd, saya mengharapkan carapandang yang berbeda. Mungkin, waktu yang paling tepat untuk mengabadikan nama Sukarno-Hatta di Surabaya, saat Presiden RI masih dijabat oleh Megawati Sukarnoputri dan diresmikan sendiri oleh anak kandung Bung Karno waktu itu.

Saya mengharapkan, sebagai seorang nasionalis, Bambang DH yang waktu itu juga Ketua DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Kota Surabaya, tentu sangat tepat kalau momen peringatan Hari Jadi Surabaya, 31 Mei 2003 atau peringatan Hari Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 2003 atau peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2003 ditandai dengan pengabadian nama Sukarno-Hatta di Kota Pahlawan Surabaya. Namun, waktu yang baik itu berlalu begitu saja. Kelihatan nyali dan kemauan politik Bambang DH sama sekali masa bodoh untuk mengabadikan nama sang Proklamator Soekarno-Hatta.

Padahal, wakt u itu sebenarnya ada dua ikatan emosional yang bisa dibangun. Selain bambang DH yang aktivis PDI-P, wakilnya Arif Afandi berasal dari Blitar, tempat asal orang tua Bung Karno. Perpaduan Bambang DH-Arif Afandi itu bisa dengan mudah mewujudkan pengabadian nama Sukarno-Hatta.

Alhamdulillah, perasaan warga kota Surabaya terobati, di masa akhir jabatannya sebagai walikota, Bambang DH bersama DPRD Kota Surabaya, tanggal 27 April 2010  sepakat memberikan nama jalan lingkar timur bagian tengah atau MERR menjadi Jalan Sukarno-Hatta. Kata-kata “Ironis!” yang selama ini disandang Kota Pahlawan yang lamban mengabadikan nama Sukarno-Hatta menjadi berubah.

Namun, seperti saya tulis di atas, sungguh malang nasib Dwitunggal Sukarno-Hatta itu. Justru di Kota Pahlawan ini, setelah terwujud pasangan pemersatu bangsa itu menjadi satu, lalu dipisah. Walikota melakukan “cerai paksa” terhadap Sukarno-Hatta. Jalan Sukarno-Hatta itu tidak berumur panjang. Tanpa persetujuan DPRD Kota Surabaya yang sudah mengesahkan Perda (Peraturan Daerah) tentang pemberian nama jalan Sukarno-Hatta, sertamerta Jalan Sukarno-Hatta itu pun diubah menjadi Jalan Dr.Ir.H.Soekarno, tanpa menyebut nama Hatta atau Muhammad Hatta.

Tri Rismaharini, menyatakan nanti nama Jalan Dr.H.Muhammad Hatta akan dipasangkan di MWRR (Midle West Ring Road), yaitu jalan lingkar barat bagian tengah, di Surabaya Barat. Padahal, jalan itu entah kapan akan digarap, apalagi selesai.

Sekali lagi saya ulangi, “Sungguh tragis! Justru di Kota Pahlawan inilah Bung Karno berjalan sendiri tanpa kehadiran Bung Hatta.” ***

*) Penulis adalah Wartawan berdomisili di Surabaya

Rakyat Malaysia Akui Batik Warisan Budaya Indonesia

Batik  Warisan Budaya Indonasia

Batik di Surabaya, Indonesia membatik dengan menggunakan canting

Batik

Catatan: Yousri Nur Raja Agam

Yusri mengenakan batik Indonesia

RAMAI-RAMAI masalah batik Indonesia yang konon “dipatenkan” sebagai produk budaya Malaysia, ternyata tidak ditanggapi oleh masyarakat di negeri jiran kita itu. Justru  masyarakat Malaysia mengakui dan menyampaikan ucapan selamat kepada Indonesia. Umumnya para produsen dan pengrajin batik di Malaysia, mengakui asal-usul batik adalah tanah Jawa, di Indonesia.

Batik dari Surabaya, Indonesia

Kami yang membuat batik dan para pengrajin batik di Malaysia ini umumnya berasal dan keturunan dari Indonesia, kata beberapa pengusaha butik dan took batik di Kuala Lumpur, Shah Alam dan Putrajaya. Mereka pun menyatakan bangga atas pengukuhan batik oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia yang berasal dari Indonesia.

Mereka bangga mengenakan busana batik Indonesia

Menurut mereka, delegasi Malaysia yang belum menjadi delegasi resmi di UNESCO  sewaktu datang ke Abu Dhabi, juga memberi selamat setelah batik dikukuhkan sebagai warisan budaya Indonesia.

Saat rombongan wartawan dari Surabaya melakukan studibanding dan meninjau dari dekat kegitan pembuatan dan bisnis batik di Kota Putrajaya, Selangor, Malaysia, ternyata pembatiknya memang keturunan yang berasal dari Indonesia. Walaupun mererka mengakui, sudah menjadi WN Malaysia. Namun darah dan budaya mereka masih tetap seperti orang Indonesia, hanya bicaranya logat Melayu, Malaysia.

Batik Malaysia di Putrajaya ditulis tanpa cantingIni adalah batik Malaysia yang dibuat du Kota Putrajaya.

Batik Surabaya, Indonesia

UNESCO telah mengetuk palu pengukuhan batik sebagai warisan budaya dunia yang berasal dari Indonesia di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab disaksikan 114 negara delegasi UNESCO. Selain batik, sekarang  Indonesia sedang memproses angklung dan gamelan, sebagai warisan budaya dunia yang berasal dari Indonesia.

Perlu diketahui, sebelumnya tahun 2003  Wayang dan tahun 2005 Keris telah lebih dulu dikukuhkan UNESCO  sebagai karya nasional  bangsa Indonesia di daftarkan ke UNESCO. **

Dokumentasi Foto WR Soepratman

Foto sekitar makam dan museum WR Soepratman, jepretan Yousri Nur Raja Agam.
Menjelang peringatan Sumpah Pemuda tahun ini, untuk melengkapi tulisan tentang WR Soepratman, pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya, berikut ini saya tampilkan “album foto” WR Soepratman.

Foto-foto ini adalah foto makam lama dan baru WR Soepratman di Taman Makam Pahlawan Khusus di Kelurahan Rangkah, Jalan Kenjeran Surabaya dan Museum WR Soepratman di Jalan Mangga 21 Kecamatan tambaksari Surabaya.

Foto 1: Patung WR Soepratman karya pematung Oerip Soerachman yang terletak di depan Museum Mini (Rumah Wafat) WR Soepratman Jalan Mangga 21, Tambaksari Surabaya, dicat merah-putih oleh Zainal Karim yang sempat menjaga museum mini itu tahun 2007-2009. Nanti patung itu akan dikembalikan kepada aslinya, tanpa dicat.

Foto 2: Makam lama WR Soepratman terletak di Taman Pemakaman Umum (TPU) Kapas. Kemudian dipindah ke komplek TMP (Taman makam Pahlawan) Khusus Pahlawan Nasional WR Soepratman di Tambaksegaran, Kelurahan Rangkah, Jalan Kenjeran Surabaya.

Foto 3: TMP Khusus Pahlawan Nasional WR Soepratman di Tambaksegaran Wetan, Kelurahan Rangkah, Jalan Kenjeran Surabaya yang dibangun dalam bentuk komplek tersendiri, setelah dipindahkan kerangkanya dari TPU Kapas di seberang jalan TMP Khusus yang sekarang.

Foto 4: Patung WR Soepratman di Komplek TMP Khusus WR Soepratman.

Foto 5: Biola asli yang dijadikan duplikat biola WR Soepratman yang disimpan di Museum Mini WR Soepratman Jalan Mangga 21 Surabaya.

Foto 6: Makam WR Soepratman terletak di dalam pendapa di bawah jungkup beratap joglo khas Jawa Timur, di Jalan Kenjeran Surabaya.

Foto 7: Riwayat Hidup WR Soepratman terukir dengan pahatan di dinding Komplek Makam TMP Khusus WR Soepratman berjejer dengan pahatan lagu Indonesia Raya yang terdiri dari tiga kuplet.

Foto 8: Beberapa buku yang merupakan sebagian koleksi Museum Mini WR Soepratman di Jalan Mangga21 Surabaya.

Foto 9: Ir.H.Oerip Soedarman “kuasa ahli waris WR Soepratman” sedang memetik biola asli yang dijadikan duplikat biola WR Soepratman di Museum Mini WR Soepratman di Jalan Mangga 21 Surabaya.

Patung WR Soepratman

Patung WR Soepratman

Makam lama WR Soepratman

Makam lama WR Soepratman

Makam WR Soepratman di TMP Khusus Rangkah

Makam WR Soepratman di TMP Khusus Rangkah

Patung WR Soeprtaman

Patung WR Soeprtaman

Biola Asli Duplikat dari Biola WR Soepratman

Biola Asli Duplikat dari Biola WR Soepratman

Jungkup TMP Khusus WR Soepratman

Jungkup TMP Khusus WR Soepratman

Riwayat Hidup WR Soepratman/caption]

Buku tentang WR Soepratman

Buku tentang WR Soepratman

Riwayat Hidup WR Soepratman

Ir.H.Oerip Soedarman

Ir.H.Oerip Soedarman