Datuk Raja Agam dan Negeri Meulaboh, Aceh


Pasir Karam pun

Jadi Meulaboh.

Oleh: HM Yousri Nur Raja Agam

SERING kali, ketika saya masih anak-anak, di tahun 1960-an nenek saya bercerita tentang peristiwa perang Paderi dan perang Aceh. Perang Paderi yang dalam sejarah pemimpinnya disebut Tuanku Imam Bonjol dengan para panglima perang lainnya yang disebut Harimau nan Salapan (Harimau yang delapan). Perang paderi itu, dalam buku sejarah disebutkan terjadi tahun 1825 hingga 1837.

Sedangkan perang Aceh dipimpin oleh Teuku Umar bersama Cut Nyak Dien, Cik Di Tiro dan lain-lain, terjadi tahun 1884 sampai 1904.

Begitu asyiknya mendengar cerita yang berulang-ulang itu, membuat saya di masa kecil menjadi penasaran. Saya akhirnya menyenangi cerita-cerita perang.

Secara kebetulan pula, di tahun 1958 hingga tahun 1961, daerah kami di Bukittinggi, Kabupaten Agam, Sumetera Barat memang sedang dilanda peperangan. Perang saudara antara rakyat Sumatera Barat yang mendirikan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) melawan Pemerintah Pusat. Perang itu, mulai mereda di tahun 1960-an.

Waktu itu usia saya masih sekitar 10 hingga 15 tahunan. Nenek saya, Siti Arab yang saat itu berusia sekitar 80 tahun, lancar bercerita tentang perang Paderi. Bahkan berlanjut pula dengan cerita tentang Perang Aceh yang dipimpin oleh Teuku Umar bersama Cut Nyak Dien. Cerita nenek saya ini bukan pengalamannya secara langsung, tetapi juga cerita dari ibunya, moyang atau buyut kami, bernama Siti Arafah.

Nenek moyang kami Siti Arafah itulah yang tahu banyak tentang cerita perang Paderi dan perang Aceh. Sebab beliau mengalami peristiwa pengungsian saat perang Paderi, maupun perang Aceh. Nenek saya kakak-beradik, Siti Arab dan Siti Syariah bagaikan pita rekaman (tape recorder) yang diputar ulang, berceritakan tentang kisah perjalanan Siti Arafah dari Luhak Agam di Minangkabau bersama rombongan ke Pasir Karam di Aceh Barat.

Nenek moyang kami itu, terpaksa mengungsi, menghindari pertumpahan darah dengan saudara sendiri sesama orang Minang dan sama-sama beragama Islam. Waktu itu, kaum Paderi membawa ajaran pembaruan Islam beraliran Wahabi dari Arab. Tiga orang ulama pulang dari mengikuti pendidikan si Arab. Mereka adalah Haji Piobang, Haji Miskin dan Haji Sumanik. Ajaran pembaruan Islam yang dibawa tiga orang haji ini, membuat gundah masyarakat Minangkabau yang waktu itu sudah menganut ajaran Islam, yang disebut beraliran Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Mungkin seperti terlihat sekarang ini, antara Muhammadiyah (yang menganut ajaran Wahabi) dengan NU (Nahdlatul Ulama) yang menyatakan diri sebagai Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dan ada pula yang menyebut seperti ajaran Syi’ah.

Pokoknya, kira-kira demikian, ujar nenek Siti Arab (yang kami panggil amai gaek) dan adiknya Siti Syariah (yang akrab kami panggil amai Iyah).

Nah, inti cerita adalah tentang makin kuatnya garakan Paderi melakukan penyerangan terhadap kaum adat yang menguasai Kerajaan Minangkabau di istana Pagaruyung. Dampaknya berpengaruh kepada para penghulu pemangku adat, yakni para datuk yang menjadi kepala suku di luhak nan tigo. Luhak Agam, Luhak Tanah Datar dan Luhak Limapuluh Koto. (Luhak-luhak tersebut sekarang disebut kabupaten).

Salah seorang datuk yang merupakan kaum bangsawan dari keluarga Kerajaan Minangkabau itu, adalah Datuk Rajo Agam, penghulu suku Sikumbang di Luhak Agam. Bersama Datuk Rajo Alam dari Luhak Tanah Datar dan Datuk Makhudum Sati dari Luhak Limopuluh Koto, mereka bersepakat menghindari pertumpahan darah, mengungsi ke arah Utara. Dengan menaiki beberapa perahu di pelabuhan Tanjung Mutiara rombongan berlayar ke arah Utara. Dan berlabuh di suatu negeri pantai yang waktu itu bernama Pasir Karam.

Nenek saya mengatakan, kita punya banyak saudara dan keluarga di Aceh. Terutama di Meulaboh dan Tapak Tuan. Di kedua negeri yang berada di Aceh Barat itu banyak orang Minang, termasuk keturunan dari kakek moyangmu Datuk Raja Agam yang sudah turun temurun di sana. Dan, nama Meulaboh itu berasal dari kata melabuh atau berlabuh.

Sewaktu saya kuliah di Bandung, saya punya sahabat bernama Zulkifli M.Din Malik yang berasal dari Meulaboh. Kami sama-sama kuliah di Akademi Tekstil dan tinggal bersama pula di rumah kontrakan di Jalan Tamansari Bandung. Zulkifli mengatakan, ia merasakan berkumpul dengan saudara sendiri, sebab dalam kisah keluarganya, disebutkan nenek moyangnya berasal dari Minangkabau.

Ternyata belum lama ini, kisah yang diceritakan nenek saya itu saya temukan di salah satu situs di internet. Ceritanya, sangat mirip dengan kisah dalam buku Tarikh Aceh dan Nusantara, karangan HM Zainuddin mengungkap tentang asal usul Kota Meulaboh.

Nyak Kaoey, menurunkan tulisan tentang riwayat negeri Meulaboh. Secara utuh, tulisan itu saya sajikan seperti di bawah ini.

Riwayat Negeri Meulaboh

Meulaboh dulu dikenal sebagai Negeri Pasir Karam. Kedatangan orang Minangkabau yang lari dari negerinya membuat perkebunan di daerah itu maju. Ungkapan “Disikolah kito berlaboh” disebut-sebut sebagai asal mula nama Meulaboh.

Menurut H M Zainuddin dalam buku Tarikh Aceh dan Nusantara (1961) asal mula Meulaboh adalah Negeri Pasir Karam. Negeri itu dibangun dibangun pada masa Sultan Saidil Mukamil (1588-1604). Pada masa Kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636) negeri itu ditambah pembangunannya.

Di negeri itu dibuka perkebunan merica, tapi negeri ini tidak begitu ramai karena belum dapat menandingi Negeri Singkil yang banyak disinggahi kapal dagang untuk mengambil muatan kemenyan dan kapur barus. Kemudian pada masa pemerintahan Sultan Djamalul Alam, Negeri Pasir Karam kembali ditambah pembangunannya dengan pembukaan kebun lada.

Untuk mengolah kebun-kebun itu didatangkan orang-orang dari Pidie dan Aceh Besar disusul kemudian dengan kedatangan orang-orang Minangkabau yang lari dari negerinya akibat pecahnya perang Padri (1805-1836). Sampai di Teluk Pasir Karam pendatang dari Minangkabau itu sepakat untuk berlabuh “Disikolah kito berlaboh,” kata mereka. Semenjak itulah Negeri Pasir Karam dikenal dengan nama Meulaboh dari asal kata berlaboh.

Pendatang dari Minangkabau itu kemudian hidup berbaur dengan masyarakat setempat. Diantara mereka malah ada yang menjadi pemimpin diantaranya: Datuk Machadum Sakti dari Rawa, Datuk Raja Agam dari Luhak Agam. Datuk Raja Alam Song Song Buluh dari Sumpu.

Mereka menebas hutan mendirikan pemukiman yang menjadi tiga daerah, Datuk Machdum Sakti membuka negeri di Merbau, Datuk Raja Agam di Ranto Panyang dan Datuk Raja Alam Song Song Buluh di Ujong Kala yang menikah dengan anak salah seorang yang berpengaruh di sana.

Sama dengan masyarakat setempat, ketiga Dtuk tersebut juga memerintahkan warganya untuk membuka lading, sehingga kehidupan mereka jadi makmur. Ketiga Datuk itu pun kemudian sepakat untuk menghadap raja Aceh, Sultan Mahmud Syah yan dikenal dengan sebutan Sultan Buyung (1830-1839) untuk memperkenalkan diri.

Ketika menghadap Sultan masing-masing Datuk membawakan satu botol mas urai sebagai buah tangan. Mereka meminta kepada raja Aceh agar memberikan batas-batas negeri mereka. Permintaan itu dikabulkan, Raja Alam Song Song Buluh kemudian diangkat menjadi Uleebalang Meulaboh dengan ketentuan wajib mengantar upeti tiap tahun kepada bendahara kerajaan.

Para Datuk itu pun setiap tahun mengantar upeti untuk Sultan Aceh, tapi lama kelamaan mereka merasa keberatan untuk menyetor langsung ke kerajaan, karena itu mereka meminta kepada Sultan Aceh yang baru Sultan Ali Iskandar Syah (1829-1841) untuk menempatkan satu wakil sultan di Meulaboh sebagai penerima upeti. Permintaan ketiga Datuk itu dikabulkan oleh Sulthan, dikirimlah ke sama Teuku Tjiek Purba Lela. Wazir Sultan Aceh untuk pemerintahan dan menerima upeti-upeti dari Uleebalang Meulaboh.

Para Datuk itu merasa sangat senang dengan kedatangan utusan Sultan yang ditempatkan sebagai wakilnya di Meulaboh itu. Mereka pun kemudian kembali meminta pada Sultan Aceh untuk mengirim satu wakil sultan yang khusus mengurus masalah perkara adat dan pelanggaran dalam negeri. Permintaan itu juga dikabulkan, Sultan Aceh mengirim kesana Penghulu Sidik Lila Digahara yang menyidik segala hal yang berkaitan dengan pelanggaran undang-undang negeri.

Permintaan itu terus berlanjut. Kepada Sultan Aceh para Datuk itu meminta agar dikirimkan seorang ulama untuk mengatur persoalan nikah, pasahah dan hokum Syariat. Maka dikirimlah ke sana oleh Sultan Aceh Teungku Tjut Din, seorang ulama yang bergelar Almuktasimu-binlah untuk menjadi kadhi Sultan Aceh di Meulaboh.

Meulaboh bertambah maju ketika Kerajaan Aceh dipimpin Sultan Ibrahim Mansjur Sjah (1841-1870) karena semakin banyaknya orang-orang dari Minangkabau yang pindah ke sana, karena Minangkabau saat itu sudah dikuasai Belanda. Di sana mereka tidak lagi bebas berkebun setelah Belanda menerapkan peraturan oktrooi dan cultuurstelsel yang mewajibkan warga menjual hasil kebunnya kepada Belanda.

Di Meulaboh para pendatang dari Minangkabau itu membuka perkebunan lada yang kemudian membuat daerah itu disinggahi kapal-kapak Inggris untuk membeli rempah-rempah. Karena semakin maju maka dibentuklah federasi Uleebalang yang megatur tata pemerintahan negeri. Federasi itu kemudian dinamai Kaway XVI yang diketuai oleh Uleebalang Keudruen Tjiek Ujong Kala.

Disebut Kaway XVI karena fedrasi itu dibentuk oleh enam belas Uleebalang, yaitu Uleebalang Tanjong, Ujong Kala, Seunagan, Teuripa, Woyla, Peureumbeu, Gunoeng Meuh, Kuala Meureuboe, Ranto Panyang, Reudeub, Lango Tangkadeuen, Keuntjo, Gume/Mugo, Tadu, serta Seuneu’am.

Selain federasi Kaway XVI, di perbatasan Aceh Barat dan Pidie juga terbentuk federasi XII yang terdiri dari 12 Uleebalang yaitu: Pameu, Ara, Lang Jeue, Reungeuet, Geupho, Reuhat, Tungkup/Dulok, Tanoh Mirah/Tutut, Geumpang, Tangse, Beunga, serta Keumala. Federasi XII ini dipalai oleh seorang Kejruen yang berkedudukan di Geumpang.***