Mallaby “Gugur” di Surabaya

Hari Ini, 30 Oktober 1945

Brigadir Jenderal Mallaby

 “Gugur” Sebagai Pahlawan

 

Tentara Sekutu

 

Yousri Nur RA. MH

Yousri Nur RA. MH

Oleh: Yousri Nur Raja Agam  MH *)

 

 

 

HARI Selasa, 30 Oktober 1945. Menjelang sore, kontak senjata masih terjadi antara pejuang yang dikenal dengan sebutan “arek-arek Suroboyo” melawan tentara Sekutu. Beberapa kali masih terdengar suara tembakan dari gedung Internatio ke arah pejuang yang berada di sekitar Jembatan Merah. Para pejuang sudah bersabar, Namun berusaha mengendalikan diri untuk tidak membalas tembakan dari Sekutu itu.

            Biro-kontak sedang menyiapkan utusan dari pihak Inggris yang akan memerintahkan penghentian penembakan dari gedung Internatio oleh pasukan Sekutu itu.

            Semula, Brigjen Mallaby sendiri yang menyanggupi untuk masuk ke dalam gedung. Tetapi anggota biro-kontak ada yang ragu. Ketika itu, para pejuang kita tidak percaya begitu saja kepada Sekutu-Inggris. Sebab kelicikan mereka sudah berulangkali terjadi. Sudah tiga kali dilakukan perjanjian, tiga kali pula pihak Inggris melakukan pelanggaran.

            Moncong senjata masih terlihat dari lobang jeruji dinding gedung Internatio mengarah ke luar. Sewaktu-waktu dari moncong senapan itu dimuntahkan peluru yang mengarah kepada anak bangsa di Bumi Surabaya. Ketika itu anak-anak muda dari kampung-kampung Surabaya benar-benar siap tempur berada di sekitar gedung Internatio. Gedung kuno itu sudah dikepung dari segala arah.

            Dengan semangat “bonek” (bondho nekad – modal semangat), ada yang menggunakan bambu runcing, senjata rampasan dari serdadu Jepang, ada juga yang membawa gobang, parang dan segala macam senjata tajam, termasuk clurit. Mereka ini menunggu komando. Apabila ada perintah, pasti mereka akan membabibuta menyerbu pasukan bersenjata di dalam gedung Internatio.

            Di dalam gedung, pasukan Inggris khawatir diserbu. Sementara dari luar gedung, para pemuda juga was-was ditembak tentara Sekutu dari dalam gedung.

            Saat rombongan biro-kontak berjalan di dekat gedung itu, kelihatan moncong senjata bergerak ke arah anggota biro-kontak dari Indonesia. Keberadaan Mallaby di sini diperlukan sebagai perisai – semacam tameng agar bisa mengerem kebrutalan tentara Inggris.

            Ketika dilangsungkan perundingan kilat biro-kontak di pinggir jalan, diputuskan anggota  biro-kontak yang akan diutus masuk ke dalam gedung, adalah Kapten Shaw.

            Di antara pemuda yang ikut menyaksikan perundingan itu berteriak, “jangan yang tua Pak, suruh yang muda saja…!”. Maksudnya, jangan Mallaby yang, tetapi perwira yang muda saja. Akhirnya, memang Kapten Shaw yang diutus.

            Kapten Shaw didampingi Moehamad, kemudian sebagai jurubahasa ikut TD Kundan (warganegara keturunan India yang ikut berjuang bersama Arek Suroboyo).  Mereka bertiga berjalan bersama-sama menuju gedung Internatio.

            “Jangan lama-lama ya! Cukup sepuluh menit saja menyampaikan perintah”, ujar Residen Soedirman. Moehammad mengangguk sembari berjalan menuju gedung Internatio.

            Saat ke tiga orang ini berjalan menuju ke dalam gedung, Mallaby menunggu di dalam mobilnya. Ia didampingi Kapten Smith dan Kapten Laughland.

 

Gugur atau Tewas?

            Mobil pimpinan tertinggi tentara Sekutu di Surabaya ini berhenti persis di bawah baliho besar yang memajang gambar bendera merah putih. Di atas gambar sangsaka merah putih itu tertulis dengan huruf kapital ONCE AND FOREVER dan di bawahnya  tertulis THE INDONESIAN REPUBLIC.

Foto mobil sedan Fiat dengan latar belakang baliho itu diabadikan fotografer IPPHOS (Indonesian Press Photo Service) – kelompok wartawan foto pimpinan W.Mendur yang banyak mengabadikan perjuangan rakyat Indonesia dan detik-detik proklamasi kemerdekaan RI, serta peristiwa bersejarah lainnya.

            Mobil rombongan biro-kontak – kecuali mobil yang ditumpangi Moehamad – bergerak  perlahan dan berhenti di tikungan dekat tempat parkir pinggir sungai Jalan Jembatan Merah. Di sini rombongan biro-kontak menunggu kembalinye ke tiga utusan yang masuk ke dalam gedung.

            Sepuluh menit berlalu. TD Kundan keluar sendirian. Di depan pintu ia berteriak, “Kapten Shaw dan Moehamad masih memerlukan beberapa menit lagi”. Kemudian Kundan kembali masuk ke dalam gedung.

            Buuummmmmmmm”, bunyi geranat yang dilemparkan dari dalam gedung menggelegar di depan gedung, tidak jauh dari pintu masuk tempat Kundan berteriak sebelumnya. Suara geranat ini kemudian diiringi tembakan gencar dari lantai bawah gedung, kemudian juga menyusul dari lantai atas. Tembakan tertuju ke arah rombongan biro-kontak dan para pemuda yang berada di tanah lapang dan jalan di depan gedung Internatio.

            Beberapa orang berteriak dan mengerang akibat terkena tembakan. Ada yang langsung tiarap dan ada yang lari tunggang-langgang menyelamatkan diri ke balik gedung lain di sekitar Jembatan Merah. Di antaranya ada yang tergeletak, gugur akibat tembakan serdadu Inggris.

            Terjadi kekacauan, semua berusaha menyelamatkan diri. Rombongan biro-kontak juga berhamburan mencari perlindungan. Ada yang melompat ke pinggir sungai Kalimas di bawah Jembatan Merah.

            Soengkono, Doel Arnowo, Dr.Moersito, Koesnandar dan Roeslan Abdulgani merangkak menuju pinggir sungai Kalimas yang airnya sedang surut. Desingan peluru dari arah gedung Internatio masih terdengar .

            Melihat kebrutalan tentara Inggris itu, beberapa pemuda yang berasenjata dan membawa granat melakukan perlawanan. Di antara mereka, adalah Soetjipto Danoekusumo, komandan Polisi Istimewa (PI). Pasukan PI yang sudah terlatih itu memberi perlindungan kepada Residen Soedirman dan anggota biro kontak.

            Residen Soedirman yang dilindungi pemuda dan PI berhasil menyeberang Jembatan Merah menuju Jalan Kembang Jepun dan terus menyelamatkan sampai ke kediamannya.

            Mallaby bertahan di dalam mobil sedan hitam yang ditumpanginya. Namun mobil komandan Sekutu itupun tidak lepas dari sasaran tembakan. Bahkan, kemudian mobil itu meledak dengan dahsyat. Tembak-menembak semakin seru. Surabaya terus membara.

            Soetjipto bergabung dengan anggota biro-kontak yang juga tokoh pejuang yang berada di pinggir Kalimas. Saat itu, seorang pemuda melompat mendekati Roeslan Abdulgani dan Doel Arnowo.

            “Cak, sudah beres Cak!” Bisik seorang anak muda. “Apa yang sudah beres?” tanya Doel Arnowo kepada anak muda yang sudah dikenalnya itu.

            “Jenderal Inggris, Cak! Mobilnya meledak dan terbakar”, jawab anak muda itu,

            “Siapa yang meledakkan?” tanya Doel Arnowo lagi. Anak muda itu menunjuk dirinya. Melihat pandangan dan kerdipan mata Doel Arnowo yang seolah-olah mengatakan jangan mengaku, kemudian anak muda itu mengatakan, “tidak tahu Cak”.

            Semua yang mendengar laporan anak muda kepada Doel Arnowo itu terkejut dan hanya terdiam.

            “Ya sudah, diam saja. Jangan cerita kepada orang lain,” pesan anggota biro-kontak yang lainnya.

            Memang, sebelum anak muda itu melompat ke pinggir sungai Kalimas mendekat anggota biro-kontak, terdengar tembakan dan bunyi ledakan di deretan mobil yang parkir.

            Itulah sebuah cuplikan dialog catatan sejarah yang mengisahkan “tewasnya” Brigjen Mallaby di Surabaya. Ia dinyatakan gugur sebagai pahlawan tentara Sekutu. Tetapi, bangsa Indonesia, menyebut ia tewas.

           

Dibawa Mati

Sampai di hari tuanya, hingga kemudian wafat, Doel Arnowo tidak mau menyebut nama anak muda yang mengaku menggranat mobil Mallaby itu. Penulis pernah berulangkali menanyakan langsung kepada Cak Doel Arnowo, saat masa tuanya yang secara kebetulan sering dan mudah berkomunikasi dengan penulis.

            Bahkan saat bertanya kepada cak Doel yang mantan walikota Surabaya ini, penulis pernah didampingi anaknya Rahmat, namun  almarhum Doel Arnowo tetap tidak mau menyebut nama anak muda yang “mengaku” meledakkan mobil Mallaby itu. “Biarlah, tidak usah disebarluaskan, karena ini menyangkut masalah hukum perang, hukum internasional ”, kata Cak Doel Arnowo kepada penulis yang waktu itu sebagai wartawan dan wakil pemimpin redaksi Harian “Radar Kota” Surabaya.

            Memang, Cak Doel benar-benar menyimpan rahasia itu hingga akhir hayatnya. Tidak seorangpun yang tahu, siapa nama pemuda yang telah melempar granat ke mobil Mallaby itu. Rahasia itu dibawa mati oleh Cak Doel Arnowo.

            Bung Tomo melalui siaran radio Pemberontak menyiarkan tentang terulangnya kontak senjata di sekitar gedung Internatio. Bung Tomo menyebutkan, banyak pejuang yang terluka dan gugur akibat kebrutalan tentara Inggris. Bahkan, sekarang Moehamad dan TD Kundan terjebak di dalam gedung. Nasibnya belum jelas.

            Mendengar siaran radio itu, ambulans berdatangan ke arah Jembatan Merah. Petugas Palang Merah memberi bantuan dan melarikan mereka yang terluka ke rumahsakit. Raungan serine ambulans ini membuat para tentara Inggris di dalam gedung menghentikan tembakan. Dari balik jeruji serdadu Sekutu itu menonton anggota Palang Merah yang memberi bantuan. 

            Beberapa anggota biro-kontak naik ke jalan, kemudian menyeberang dan berjalan kaki menuju Hoofdbureau atau kantor besar polisi di Jalan Sikatan – sekarang menjadi gedung Markas Polisi Wilayah Kota Besar (Polwiltabes) Surabaya.

            Malam ini Surabaya tegang. Para pemuda pejuang mengatur strategi untuk memaksa Inggris meninggalkan gedung Internatio.

            Sebaliknya pihak Inggris atau Sekutu, benar-benar marah setelah mendapat informasi tewasnya Mallaby. Para pembesar Sekutu di Jakarta betul-betul terpukul. Sebagai pemenang Perang Dunia II, belum pernah ada jenderal yang terluka. Di Surabaya, justru tewas akibat ledakan geranat. Dunia gempar. Perhatian kemudian tertuju kepada Indonesia, khususnya Surabaya. *** 

 

*) Pemerhati Sejarah, bermukim di Surabaya.

Foto Surabaya Masa Lalu

Di bawah ini saya tampil beberapa koleksi Foto Surabaya masa lalu. Sebagai warga kota Surabaya atau yang pernah ke Surabaya, mungkin ada yang tahu sejarah dan riwayat masing-masing gedung yang sudah dinyatakan sebagai cagar budaya ini, saya tunggu komentar dan kelengkapannya. Maaf, dari berbagai buku yang saya cari di perpustakaan, keterangan tentang gedung-gedung ini tidak lengkap. Terimakasih (Yousri NRA)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Situasi menjelang 10 November 1945

Tentara Inggris

Dipaksa Menyerah

Oleh: Yousri Nur Raja Agam M.H.

PERUNDINGAN antara pihak Sekutu dengan Indonesia, dilanjutkan Selasa besoknya, 30 Oktober 1945, pukul 11.00 di ruang rapat Gubernur Jatim, Suryo.

Dari pihak Sekutu dipimpin oleh Mayjen DC Hawthorn, Panglima tentara Inggris yang membawahi wilayah Jawa, Madura, Bali dan Lombok. Ia didampingi Brigjen AW Mallaby, Kolonel LHO Pugh, Mayor M.Hudson, Kapten H.Shaw dan beberapa perwira lainnya.

Sedangkan dari pihak Indonesia, Presiden bersama Wakil Pesiden RI, Sukarno-Hatta atau popular dengan sapaan Bung Karno dan Bung Hatta didampingi Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin, Gubernur Jawa Timur, Suryo, Residen Sudirman dan para tokoh pejuang Arek Suroboyo, yakni: Doel Arnowo, Atmadji, Moehamad, Soengkono, Soejono, Roeslan Abdulgani, Kusnandar dan TD Koendan.

Dalam perundingan itu ada empat masalah pokok yang dibahas. Perundingan berjalan alot, ungkap Roeslan Abdulgani.

Pertama: masalah pamflet yang disebarkan Inggris, 27 Oktober 1945 lalu yang mengancam melucuti senjata TKR, Polisi dan pasukan rakyat bersenjata lainnya. Isi pamflet itu dengan tegas ditolak dan dikecam oleh TKR, Polisi, PRI dan BPRI.

Akhirnya Jenderal Hawthorn menarik kembali pamflet itu dan sekaligus mengakui eksikstensi TKR dan Polisi Indonesia.

Kedua: daerah yang diawasi pasukan Inggris. Mereka ingin menguasai tempat-tempat yang mereka duduki dan minta kepungan-kepungan yang dilakukan pejuang Surabaya dihapuskan. Pihak pejuang Surabaya dengan tegas menolak dan menuntut pihak Inggris menarik mundur pasukannya sampai ke daerah pelabuhan Tanjung Perak.

Terjadi kompromi, pasukan Inggris ditarik dari tempat yang diduduki, seperti: gedung HBS Ketabang (SMA Komplek sekarang), BPM (gedung Pertamina di Jalan Veteran sekarang), Internatio (gedung Panca Niaga di Taman Jayengrono – Jembatan Merah sekarang) dan beberapa gedung lain. Jadi, pasukan Inggris hanya berada di dua tempat saja, yaitu: pelabuhan Tanjung Perak dan di daerah interniran RAPWI di Darmo.

Ketiga: hal yang berhubungan dengan siapa yang berhak menjaga tempat interniran RAPWI di Darmo. Pihak Indonesia atau Inggris?

Untuk butir ini, perunding Indonesia agak mengalah, dengan mempercayakannya kepada pasukan Inggris. Tetapi sebaliknya, TKR dan Polisi Indonesia ikut menjaga kawasan pelabuhan.

Keempat: mengenai perlu atau tidaknya dibentuk “biro kontak”.

Dalam perundingan, semula Inggris menolak. Namun, pihak Indonesia minta jaminan tidak terulang kembali tindakan sepihak yang sifatnya melanggar persetujuan yang disepakati. Akhirnya, delegasi Inggris menyetujui adanya “biro kontak” yang bertugas mengawasi dan melaksakan persetujuan secara rinci.

Selama berlangsung perundingan, meriam kapal perang Inggris terus memuntahkan dentuman dahsyat. Tetapi tidak jelas apa sasarannya. (Mungkin hanya penggunakan peluru hampa – pen). Mendengar gertak sambal Inggris itu, para pejuang, TKR dan Polisi Istimewa (PI) yang berjaga dalam kota juga tidak kalah akal. Mereka melakukan aksi balasan. Komandan TKR dan PI memerintahkan tank dan panser bergerak mengepung kantor gubernur, tempat perundingan berlangsung.

Tank dan Panser

Suaranya gemuruh, karena tank dan panser itu berputar-putar tanpa arah. Apalagi di antara mereka ada yang baru belajar mengemudikan tank dan panser, bila maju dan mundur perlu manuver garak berulang-ulang. Akibatnya, ruang perundinganpun merasakan getaran itu.

“Pikir kita, biar Inggris terkena taktik intimidasi kita. Anehnya yang paling berpengaruh oleh gemuruh suara tank-tank kita itu adalah pemimpin tertinggi kita dari Jakarta. Berkali-kali Bung Karno, Bung Hatta dan Bung Amir Sjarifudin dengan suara tertekan minta agar bunyi suara tank dan gerakan manuver itu dihentikan”, tutur Roeslan Abdulgani.

Cak Roeslan meninggalkan ruang sidang, ia ke luar dan menemui pemuda pejuang untuk menghentikan manuver gerakan tank.

“Stop! Jangan ribut. Hentikan gerakan tank. Yok opo rek, ternyata yang gemetar itu bukan Inggris, tetapi justru penggede-penggede dari Jakarta”, ujar Cak Roeslan.

Ungkapan Cak Roeslan itu dijawab pengemudi tank. “Jadi bagaimana Cak! Berhenti atau tidak”. “Saiki mandeko sediluk bae, tapi enkuk terusno mane! (Sekarang berhenti sebentar, tetapi nanti diteruskan lagi)”, jawab Cak Roeslan.

Jadi, suasana di luar sidang cukup tegang dengan tekad membara. Kendati demikian, tetap penuh kelakar dan humor.

Selesai perundingan, disampaikan kesimpulan tentang persetujuan gencatan senjata yang diumumkan Menteri Penerangan Amir Sjarifudin. Kemudian rombongan Bung Karno dan Jenderal Hawthorn kembali ke Jakarta melalui lapangan terbang Morokrembangan. Saat melewati jalan-jalan kota, suasana perang masih terasa. Di sana-sini terdengar suara tembakan.

Di ruang kerja Residen Soedirman sorenya pukul 15.00 dilangsungkan rapat biro-kontak. Dalam rapat itu, diangkat sekretaris bersama biro-kontak, masing-masing Roeslan Abdulgani dan Kapten H.Shaw. Cak Roeslan diberi pangkat Kapten (tituler), disejajarkan dengan pangkat sekretaris dari pihak Inggris.

Radio BPRI (Barisan Pemberontak Republik Indonesia) pimpinan Bung Tomo dan Radio Surabaya terus menyiarkan hasil persetujuan yang ditandatangani Bung Karno dan Jenderal Hawthorn itu. Namun rakyat dan komponen pejuang kemerdekaan tidak begitu saja menerima gencatan senjata itu. Mereka masih terus mengepung gadung Lindeteves dekat jembatan Semut dan gedung Internatio di Jembatan Merah.

Biro-kontak memutuskan datang sendiri menyelesaikan konflik bersenjata yang belum reda di gedung Internatio dan Lindeteves.

Rombongan biro-kontak dengan delapan mobil pukul 17.00 tiba di dekat gedung Lindeteves. Ternyata di sini tembak-menembak sudah usai. Rombongan meneruskan perjalanan ke gedung Internatio. Di sini masih terjadi tembak-menembak. Ketika rombongan kontak-biro tiba, tembak-menembak berhenti.

Pemuda-pemuda mengerumuni mobil rombongan kontak-biro Indonesia. Mereka menuntut pimpinan tentara Inggris yang ikut dalam rombongan memerintahkan pasukannya yang sudah terkepung di gedung Internatio untuk menyerah. Atau setidak-tidaknya sore itu juga diangkut ke pelabuhan Tanjung Perak dengan peninggalkan senjata masing-masing.

Residen Soedirman memberi pengertian tentang situasi dan adanya persetujuan bersama hasil perundingan. Kemudian Doel Arnowo dan Soengkono naik ke atas kap mobil. Dengan berdiri tegap mereka bergantian memberi penjelasan. Rakyat diminta sabar. Tentara Inggris malam ini diperkenankan tinggal di gedung Internatio. Besok pagi akan diangkut ke pelabuhan dengan penjagaan TKR. Sudah ada persetujuan antara Bung Karno dengan Jenderal Hawthorn, ujarnya.

Rakyat dan pemuda yang mendengar penjelasan itu, hanya nggrundel (mengomel) dengan wajah tak puas.

Rombongan mobil biro-kontak bergerak ke arah Jembatan Merah. Di tikungan jalan sekelompok pemuda yang dipimpin seorang yang tampak histeris menghadang. Dia membawa bendera merah putih. “Yang merah ini, merah karena darah. Merah ini adalah merah darah seorang tentara Inggris”, ujar anak muda itu sembari menunjukkan kepada Cak Roeslan.

Iringan mobil yang dihadang itu berhenti. Kelompok pemuda ini kembali mengajukan tuntutan. Mereka minta, sekarang juga pasukan Inggris yang terkepung dalam gedung untuk menyerah. Sore ini juga diangkut ke palabuhan dan meninggalkan senjata. Kalau tidak, selama mereka berada di gedung itu rakyat tidak akan merasa aman. Rakyat terus terancam keselamatannya, sebab beberapa kali pasukan Inggris membabibuta menembaki rakyat secara brutal.

Residen Soedirman, Doel Arnowo dan Soengkono kembali memberi keterangan, bahwa tuntutan tidak bisa dipenuhi dan minta kesabaran rakyat.

Suasanapun mereda.

“Berilah kami jaminan, pasukan Inggris malam ini berhenti menembak ke luar”, pinta para pemuda itu.

“Baik”, jawab Residen Soedirman.

Setelah berunding dengan Mallaby dan staf, mereka bersedia berunding dengan tentara yang berada di dalam gedung. Bahkan, Mallaby sendiri bersedia masuk ke dalam gedung untuk memerintahkan penghentian tembakan. ***

Menjelang Hari Pahlawan di Surabaya

Arek Surabaya Marah

Diultimatum Sekutu

Oleh: HM Yousri Nur Raja Agam

BERDASARKAN kesepakatan 26 Oktober 1945, Pemerintah Indonesia di Surabaya mengizinkan pihak Inggris mengunjungi kamp penampungan (interniran) Belanda dan tawanan Jepang di berbagai tempat, besoknya 27 Oktober 1945..

Namun para tokoh pemuda di Surabaya benar-benar kecewa dan marah atas sikap Tentara Sekutu. Sebab, siang itu ada pesawat terbang Inggris terbang di atas udara kota Surabaya. Dari pintu pesawat terbang itu disebarkan kertas berupa pamflet yang berisi ancaman bersifat ultimatum.

Selebaran itu berbunyi:

“Memerintahkan kepada seluruh rakyat, penduduk kota Surabaya dan Jawa Timur untuk menyerahkan kembali senjata dan peralatan perang Jepang kepada tentara Sekutu (Inggris). Semua orang yang memegang senjata dan yang tidak bersedia menyerahkan kepada Sekutu, akan ditembak di tempat. Batas waktu penyerahan, pukul 18.00 tanggal 28 Oktober 1945.”

Setelah membaca selebaran yang berupa ancaman itu, Drg.Mustopo bersama Residen Sudirman yang didampingi tokoh-tokoh Surabaya melakukan kontak dengan Brigjen Mallaby. Kemudian berlangsung pertemuan antara pukuk 12.00 hingga 15.00. Residen Sudirman mengingatkan kepada Mallaby, agar menghentikan penyebaran pamflet itu. Ternyata Mallaby sendiri terkejut dengan adanya selebaran itu. Ia mengatakan, bahwa selebaran itu mungkin dilakukan atas perintah atasannya dari Jakarta.

Kepada Mallaby diingatkan, bahwa isi selebaran itu tidak sesuai dengan isi persetujuan 26 Oktober 1945. Tetapi Mallaby kemudian menjawab, kalau itu merupakan perintah atasannya dari Jakarta, sebagai militer ia harus menaatinya.

Suhu politik di Surabaya memanas. Situasi makin mencekam. Sekutu mulai betindak sewenang-wenang. Mereka menangkapi rakyat yang mereka curigai. Akibatnya, pimpinan BKR, PRI, BPRI, Polisi dan Polisi Istimewa tersentak. Tindakan tentara Inggris telah melewati batas. Demi kehormatan bangsa Indonesia yang sudah merdeka, semua itu tidak bisa dibiarkan. “Kita harus bertindak!”, ujar para pimpinan pejuang di Surabaya.

Malamnya para pejuang Arek Suroboyo melakukan perundingan dan langkah yang akan dilakukan apabila sikap Inggris yang melanggar perjanjian itu.

Benar saja, besoknya, 28 Oktober 1945, pagi hari beberapa orang tentara Inggris menghadang kendaraan bermotor dan senjata yang dipegang para pemuda di jalanan. Pasukan Sekutu juga melakukan gerakan penyerbuan ke berbagai instansi vital. Di antaranta ke kantor Jawatan Kereta Api, kantor telepon dan telegrap, Rumah Sakit Darmo dan beberapa gedung kantor instansi vital lainnya.

Pukul 11.00 (siangnya), Mustopo datang ke markas PRI di Balai Pemuda. Ia memberitahu tentang sudah siapnya tentara Sekutu melucuti senjata secara paksa yang berada di tangan pemuda dan pejuang. Para pemuda yang berada di markas PRI benar-benar marah oleh sikap Sekutu yang mengingkari perjanjian yang sudah dibuat.

Siang itu juga para pimpinan pejuang melakukan konsolidasi. Polisi Istimewa sebagai kekuatan bersenjata dan terlatih juga langsung melakukan dengan rakyat yang sudah memegang senjata. Kontak antarkomponen pejuang berjalan terus.

Pimpinan BPRI Bung Tomo yang berada di markasnya juga sudah mendapat kontak dari PRI. Sorenya diadakan pertemuan dengan pimpinan drg.Mustopo. Disepakati, bahwa gerakan Sekutu (Inggris) “harus dilawan”.

Bersamaan dengan ini, polisi di bawah pimpinan Komandan Polisi Sahoed Prawirodirdjo dan Komandan Polisi Soekardi, seta Agen Polisi Kadam dengan menggunakan sepedamotor Zyspan Harley Davidson melakukan konsinyasi pasukan di Kantor Besar Polisi dan mendatangi beberapa asrama polisi.

Sekembalinya dari asrama polisi Kebalen, ketika melewati Jalan Rajawali pukul 17.00, yakni satu jam sebelum batas waktu ultimatum yang disebutkan dalam pamflet, tiga polisi ini dihadang. Sahoed, Soekardi dan Kadam digiring ke arah lapangan terbang di Tanjung Perak. Pihak Sekutu melepaskan tembakan, akibatnya mereka terluka tembak.

P impinan Palang Merah segera menyelamatkan ke tiga polisi itu. Petugas Palang Merah juga memberitahu kepada radio Pemberontak di Surabaya melalui telepon, bahwa ada tiga Polisi Istimewa ditembak Sekutu. Saat itu juga Bung Tomo melalui pemancar radio BPRI tiada henti memperingatkan dan memerintahkan seluruh rakyat Surabaya untuk mulai melakukan serangan terhadap tentara Inggris.

Dalam siaran radio yang berapi-api itu Bung Tomo menyebut nama ke tiga anggota Polisi Istimewa yang tertembak itu. “Mereka bertiga adalah korban kebrutalan Sekutu-Inggris”, ujar Bung Tomo.

Diperoleh pula laporan, di waktu yang sama juga terjadi insiden provokatif. Tentara Inggris menghentikan truk yang ditumpangi para pemuda, lalu mereka melucuti senjata yang mereka bawa. Agaknya Inggris memandang enteng para pemuda yang berasal dari TKR, PRI, BPRI, PI (Polisi Istimewa) dan rakyat pejuang lainnya.

Mayat Bergelimpangan

Malamnya situasi kota Surabaya benar-benar mencekam. Maut membayangi dari balik gedung, rumah dan dari gang-gang permukiman. Tidak sedikit yang terluka bahkan menemui ajalnya akibat terkena tembakan, ujung pisau, pedang, celurit, bambu runcing dan sangkur. Markas tentara Inggris diserbu rakyat tanpa memikirkan akibat yang fatal. Mayat bergelimpangan di daerah Darmo, Ketabang, Gubeng, sekitar gedung Internatio dan kawasan Tanjung Perak.

Selain pasukan TKR, para pemuda pejuang dan rakyat yang sudah memegang senjata rampasan, Komandan PI Surabaya Soetjipto Danoekoesoemo mengirim pasukannya yang dilengkapi senjata berat watermantel, tank dan panser. Surabaya benar-benar dilanda prahara. Api perang berkobar. Korban berjatuhan dari ke dua belah pihak, Inggris dan rakyat Surabaya.

Kendati mayat bergelimpangan akibat tembakan, semangat perjuangan makin membara. Rakyat tidak menghitung korban. Mati satu datang seribu. Bagai banteng terluka rakyat mengamuk.

Ben Anderson dalam bukunya “Revoloesi Pemoeda” terbitan Pustaka Sinar Harapan (1988), menyebutkan para pemuda yang melakukan penyerbuan ke berbagai markas pasukan Sekutu-Inggris itu mencapai 12 ribu orang. Pejuang Indonesia bertempur dengan fanatik tanpa mempedulikan jumlah korban yang jatuh. Pasukan Inggris meskipun mempunyai perlengkapan senjata berat dan tank-tank terancam oleh kehancuran.

Selain pos-pos pertahanan mereka terkepung, di daerah pelabuhan mereka harus mundur. Lapangan terbang Morokrembangan dapat direbut para pemuda pejuang. Beberapa gedung, seperti gedung Internatio, gedung BPM dan gedung Lindetives juga dikepung.

Soekarno-Hatta Datang

Dalam keadaan gawat, terdesak dan terkepung oleh rakyat pejuang itu, pimpinan pasukan Inggris di Surabaya minta bantuan “juru selamat”. Akhirnya, didatangkanlah Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta, didampingi Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin dari Jakarta. Ikut pula dalam rombongan itu, Mayor Jenderal Hawthorn.

Bung Karno, Bung Hatta, Amir Sjarifuddin dan Mayjen Hawthorn mendarat di bandara Morokrembangan pukul 11.45 pada tanggal 29 Oktober 1945. Pembesar bangsa Indonesia dan Sekutu ini juga mengikutkan beberapa wartawan ibukota dan wartawan asing. Mereka disambut para tokoh pejuang Surabaya, juga Brigjen Mallaby, Kolonel Pugh bersama perwira staf lainnya. Rombongan langsung menuju kantor gubernur Jatim dan diterima langsung oleh Gubernur Jatim, Suryo. Di kantor gubernur jatim ini dilangsungkan perundingan.

Dr.Roeslan Abdulgani dalam bukunya “100 Hari di Surabaya”, terbitan Yayasan Idayu, Jakarta (1975) menulis bahwa ada empat masalah pokok yang disimpulkan dalam perundingan itu. Perundingan berakhir pukul 19.30 malam itu. Hasil kesepakatan itu langsung diumumkan oleh Presiden Soekarno melalui Radio Surabaya. ***