Surabaya Raya Layak Menjadi Provinsi

Oleh: H.M.Yousri Nur Raja Agam

BEBERAPA tahun lalu sebagian warga kota dan pejabat di Pemerintahan Kota (Pemkot) Surabaya, “pernah bermimpi”, akan menjadikan Kota Surabaya sama dengan Jakarta. Kota Surabaya dan sekitarnya akan menjadi sebuah provinsi yang dikapelai oleh seorang gubernur. Kalau Jakarta dikenal dengan sebutan Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Raya, maka Surabaya yang juga sebagai kota besar kedua setelah Jakarta akan menggunakan nama “Surabaya Raya”.

Mimpi itu memang belum pernah menjadi kenyataan. Bahkan, perwujudan Surabaya menjadi satu kesatuan dengan wilayah sekitar yang dikenal dengan Gerbang Kertosusila (Gresik, Bangkalan, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan) juga belum jelas. Koordinasi antarpemerintahan Gerbang Kertosusila yang awal tahun 1980-an begitu gencar menghadapi tahun 2000, sekarang terlihat sirna.

Pada era reformai sekarang, gairah membangun dan koordinasi antarwilayah bertetangga, kelihatannya tenggelam oleh apa yang disebut otonomi daerah. Masing-masing kota dan kabupaten berjalan sendiri-sendiri tanpa menganggap perlu ‘kulonuwun’ kepada pemerintahan provinsi. Sebab, memang begitu aturannya. Pemerintahan provinsi yang dipimpin gubernur sejak ditetapkannya Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang otonomi daerah (otda) bukan lagi atasan para bupati dan walikota.

Ternyata UU No.22 tahun 1999 tidak berumur panjang. UU ini diganti dengan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pertimbangan UU No.32 tahun 2004 itu dinyatakan bahwa UU No.22 tahun 1999 tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah.

Kalau masing-masing kepala pemerintahan kota dan kabupaten, seperti juga kota Surabaya, tidak peduli lagi dengan wilayah tetangga, apakah ‘mimpi’ menjadikan Surabaya sebagai Provinsi Surabaya Raya dapat diwujudkan? Dan apakah masih perlu ‘mimpi’ 20 tahun yang silam itu bakal menjadi kenyataan? Memang, dampak pelaksanaan UU No.22/1999 tentang otda itu di berbagai daerah cukup beragam. Terjadi pemekaran wilayah. Kalau sebelumnya provinsi di Indonesia ini ada 27 provinsi termasuk Timor Timur, sekarang setelah Timor Timur terlepas dari pemerintahan Republik Indonesia, provinsinya justru bertambah menjadi 32 provinsi. Kabupaten dan kota juga bertambah, begitu juga pemekaran kecamatan. Umumnya pembentukan provinsi baru merupakan pemekaran dari pemisahan bekas keresidenen. Di samping itu, juga ada yang berasal dari kabupaten yang wilayahnya luas. Contohnya Provinsi Banten, Gorontalo, Maluku Utara, Bangka Belitung, Irian Jaya Barat, Kepulauan Riau dan Sulawesi Barat.

Pernah Diajukan Moehadji Widjaja

Nah, Kota Surabaya juga mengalami hal yang sama. Kalau sebelumnya di Surabaya ini terdapat 28 kecamatan, terjadi penambahan akibat pemekaran menjadi 31 kecamatan dengan jumlah kelurahan tetap 163. Kendati demikian, pemerintahan kota ini berubah strukturnya. Kota Surabaya yang pernah dibagi menjadi lima wilayah: Surabaya Pusat, Surabaya Utara, Surabaya Selatan, Surabaya Timur dan Surabaya Barat, yang masing-masing wilayah dikepalai Pembantu Walikota, kini kembali hanya di bawah satu tangan, walikota.

Saat Kota Surabaya – waktu itu disebut Kotamadya – dibagi menjadi lima wilayah, gambaran Surabaya akan menjadi sebuah provinsi mulai terasa. Para kepala wilayah yang disebut Pembantu Walikota itu, hanya selangkah lagi menjadi walikota. Apalagi, keinginan menjadikan Surabaya terbagi menjadi kota-kota administratif itu sudah pernah diusulkan Walikota Surabaya Drs.Moehadji Widjaja kepada Gubernur Jatim Soenandar Projosoedarmo tanggal 23 Oktober 1979. Surat itupun diteruskan oleh gubernur Jatim kepada Mendagri tanggal 29 November 1979.

Pada akhir tahun 1979 ini Kota Surabaya masih terbagi tiga wilayah: Surabaya Utara, Surabaya Timur dan Surabaya Selatan. Waktu itu, perubahan status wilayah kerja Pembantu Walikota menjadi kota-kota administratif benar-benar menjadi impian pejabat Pemkot Surabaya, karena jabatan walikota administratif adalah jabatan karir tertinggi di bawah Sekwilda (Sekretaris Wilayah Daerah) – sebutan waktu itu sebelum diganti menjadi Sekretaris Kota (Sekkota) sekarang ini.

Ternyata impian para “walikota-walikota kecil” – istilah untuk para pembantu walikota atau kepala wilayah – di Surabaya itu benar-benar pupus. Apalagi, dengan berlakunya UU No.22/1999 tentang Otda, sebutan kota administratif dihapus. Kini Kota Surabaya, tanpa pembagian wilayah, strukturnya dari walikota langsung kepada 31 camat dan masing-masing camat membawahkan lurah yang tersebar di 163 kelurahan.

Kalau ditelusuri bentuk pemerintahan kota Surabaya ini ke belakang, memang asyik dijadikan bahan kajian. Walaupun Surabaya dinyatakan lahir 711 tahun yang lalu, pemerintahan kota sendiri baru dibentuk secara resmi tanggal 1 April 1906 oleh Pemerintahan Hindia Belanda dengan sebutan Gemeente Surabaia, berdasarkan Instellings Ordonantie Staatblad 1906 nomor 149.

Waktu itu luas kekuasaan kepala Gemeente Surabaya yang semula dirangkap Asisten Residen Afdeling (Kabupaten) Surabaya, hanya 103 kilometer per-segi atau sama dengan luas ibukota Keresidenan Surabaya. Sepuluh tahun kemudian, tahun 1916, barulah ditetapkan kepala pemerintahan kota pertama untuk Kota Surabaya yang disebut Burgermeester atau walilkota, yakni: Mr.A.Meyroos.

Silih berganti pemerintahan kota dijabat oleh orang Belanda, sampai digantikan oleh Shi Tyo (walikota) bangsa Jepang, Takahashi Ichiro tahun 1942-1945 dengan wakil walikota, Radjamin Nasution. Setelah penjajah Jepang kalah, dalam pemerintahan Indonesia merdeka, jabatan walikota dipegang oleh bangsa Indonesia sendiri. Walikota Surabaya yang pertama adalah: Radjamin Nasution gelar Sutan Komala Pontas. Saat Belanda berkuasa kembali, selama dua bulan pemerintahan kota Surabaya sempat dipegang oleh kepala urusan Haminte, Mr.OJS Becht. Setelah itu, walikota Surabaya berturut-turut diganti oleh Mr.Indrakoesoema, Mr.Soerjadi, Doel Arnowo, Moestadjab Soemowidigdo, R.Istidjab Tjokrokoesoemo, Dr.R.Satrio Sastrodiredjo, Murachman SH, R.Soekotjo, HR Soeparno, Drs.Moehadji Widjaja, dr.H.Poernomo Kasidi, H.Sunarto Sumoprawiro dan sekarang Drs.Bambang Dwi Hartono, MPd.

 

Provinsi Surabaya Raya

Gagasan “besar” memisahkan Surabaya dari Jawa Timur dan membentuk provinsi sendiri, sangat dimungkinkan. Payung hukumnya kuat, yakni Undang-undang No.22 tahun 1999 maupun Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.  Untuk itu, ada baiknya perkembangan Surabaya dari dulu hingga sekarang dapat dijadikan kajian.

Dulu, di awal kemerdekaan Republik Indonesia, bentuk pemerintahan kota Surabaya sampai akhir tahun 1960, disebut Kota Besar Surabaya. Waktu itu masih satu kewedanaan dengan 6 kaonderan dengan luas wilayah 6.720 hektar. Kaonderan itu adalah: Nyamplungan, Krembangan, Kapasan, Kranggan, Ketabang dan Kupang. Di bawah enam kaonderan itu terdapat pemerintahan terendah berupa 36 lingkungan.

Berdasarkan Keputusan Mendagri No.PEM.20/3/15-17 tanggal 31 Oktober 1960, Kota Surabaya yang luasnya masih 6.720 hektar itu dibagi menjadi tiga kewedanaan dan 11 kaonderan. Kewedanaan itu adalah Surabaya Barat, yang membawahi 4 Kaonderan, yakni: Krembangan, Semampir, Pabean Cantikan dan Bubutan. Kewedanaan Surabaya Timur, terdiri dari 3 Kaonderan, yaitu: Simokerto, Tambaksari dan Gubeng. Kewedanaan Surabaya Selatan dengan 4 Kaonderan, yakni: Genteng, Tegalsari, Sawahan, Wonokromo.

Pada tahun 1965 terjadi perubahan luas wilayah Kota Besar Surabaya menjadi 29.178 hektar. Sesuai dengan Undang-undang No.2 tahun 1965, lima kecamatan yang semula masuk wilayah Kabupaten Surabaya (sekarang bernama Kabupaten Gresik), dimasukkkan menjadi wilayah Kota Surabaya. Ke lima kecamatan itu adalah: Tandes, Rungkut, Wonocolo, Sukolilo dan Karangpilang.

Dengan penambahan luas dan kecamatan dari “jabakota” – istilah untuk kecamatan di pinggir (luar) kota Surabaya – itu, maka sebutan kaoderan di Kota Besar Surabaya berubah menjadi kecamatan. Sebutan Surabaya berubah dari Kota Besar menjadi Kotamadya. Tahun 1968, Walikotamadya Surabaya, R.Soekotjo, dengan SK No.677/K tanggal 9 Oktober 1968 membagi Kotamadya Surabaya menjadi 16 kecamatan dan 38 lingkungan.

Gubernur Jawa Timur dengan Surat Keputusan No.PEM/128/22/SK/Ds. Tanggal 13 Maret 1975 membagi wilayah Daerah Tingkat II Kotamadya Surabaya menjadi 3 wilayah kerja Pembantu Walikotamadya, 16 kecamatan, 103 desa dan 60 kelurahan yang berasal dari pemekaran 38 lingkungan. Kemudian, berdasarkan UU No.5 tahun 1974, istilah sebutan desa di dalam Kotamadya Surabaya diubah menjadi kelurahan, sehingga jumlah kelurahan di Surabaya menjadi 163 kelurahan.

Perkembangan pembangunan yang terus meningkat dan penduduk terus bertambah, maka Surabaya dikembangkan lagi menjadi 5 wilayah kerja pembantu Walikota, yakni: Surabaya Utara, Surabaya Selatan, Surabaya Timur, Surabaya Barat dan Surabaya Pusat. Dari 16 kecamatan pada tahun 1978, pemekaran terus terjadi, hingga sekarang di Kota Surabaya menjadi 31 kecamatan. Berdasarkan Undang-undang No. 22 tahun 1999, tidak ada lagi sebutan pembagian wilayah yang dikepalai pembantu walikota. Dan ke 31 camat itu langsung berada di bawah komando walikota. Istilah Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya (Pemda Tk.II Kodya), juga diubah menjadi Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya.

Pembangunan yang cukup gencar di masa Orde Baru, dengan cepat mengubah bentuk Surabaya sebagai “Kota Metropolitan”. Daya tarik penduduk dari luar kota berurbanisasi ke kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta ini sulit dibendung. Apalagi peningkatan aktivitas sektor ekonomi memang membutuhkan banyak Sumber Daya Manusia (SDM) dalam berbagai tingkatan dan profesi.

Kota Surabaya yang berjuluk Kota Pahlawan ini benar-benar semakin memperlihatkan fungsinya sebagai Kota Indamardi (Industri, Perdagangan, Maritim dan Pendidikan). Jumlah penduduknya yang mencapai 3 juta jiwa itu, pada siang hari bisa menjadi dua kalilipat, karena kegiatan ekonomi dan kunjungan masyarakat dari luar Surabaya.

Untuk menjaga keseimbangan dengan kawasan sekitar Surabaya, maka jauh-jauh hari di awal tahun 1980-an Pemerintah Kota Surabaya bersama Pemerintah Provinsi Jawa Timur sudah merancang filter urbanisasi. Daerah sekitar Kota Surabaya dikoordinasikan dalam kegiatan pembangunan sarana dan prasarana wilayah. Mulai dari pembangunan jalan beserta utilitas pendukungnnya. Koordinasi antar instansi di Pemprov Jatim dengan Pemkot Surabaya, Pemkab Gresik, Sidoarjo, Mojokerto, Lamongan dan Bangkalan terus ditingkatkan.

Akhirnya terwujudlah apa yang dinamakan dengan wilayah Gerbang Kertosusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan). Ke lima kabupaten di sekeliling Surabaya ini menjadi penyangga kepadatan penduduk dan aktivitas di Kota Surabaya. Kegiatan ekonomipun kemudian berkembang di wilayah sekitar ibukota provinsi Jawa Timur ini. Peningkatan grafik yang terjadi di wilayah Gerbang Kertosusila ini, justru mengundang pendatang baru dari berbagai daerah. Tidak hanya dari wilayah Jawa Timur dan Jawa bagian Tengah, tetapi juga dari wilayah Indonesia bagian Timur.

Penduduk Kota Surabaya ditambah dengan lima wilayah yang disebut Gerbang Kertosusila ini mendominasi hampir 30 persen penduduk Jawa Timur, atau sekitar 12 juta jiwa. Tanpa adanya koordinasi dan pengaturan bersama kegiatan ekonomi dan pembangunan di wilayah ini, dapat berakibat terjadinya ketidakseimbangan. Apabila merujuk kepada sistem pemerintahan berdasarkan Undang-undang No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.32 tahun 2004, bisa terjadi kompetisi tidak sehat antara satu wilayah dengan wilayah tetangga.

Berkaca kepada wilayah lain di Indonesia, ternyata rakyat dan pemerintahan daerahnya sangat cepat mengantisipasi kenyataan. Salah satu di antaranya, adalah pemekaran wilayah dengan pembentukan provinsi baru. Kalau sebelum tahun 2000, wilayah Indonesia masih terdiri 27 provinsi termasuk Timor Timur, sekarang ini tanpa Timor Timur justru Indonesia memiliki 33 provinsi.

Di Sumatera, lahir dua provinsi baru, yakni Provinsi Babel (Bangka-Belitung) dan Provinsi Kepri (Kepulauan Riau). Jawa Barat melepas eks Keresidenan Banten menjadi Provinsi Banten, begitu pula dengan Sulawesi Utara, melepas wilayah Gorontalo menjadi provinsi sendiri. Provinsi Maluku dibagi dua: Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara. Hal yang sama terjadi pula di Irian Jaya. Dari rencana membentuk tiga provinsi, di sana sudah lahir Provinsi Papua dan Provinsi Irian Jaya Barat. Sulawesi Selatan juga membagi wilayahnya dengan Provinsi Sulawesi Barat.

Dan, saat ini di Provinsi Jawa Barat, sedang terjadiupaya pembentukan Provinsi Bodebek, yakni gabungan kabupaten dan kota Bogor, Kota Depok, kabupaten dan kota Bekasi. Rencana Provinsi Bodebek ini, untuk mengimbangi pembangunan yang demikian pesat dari tetangga wilayahnya, Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Raya.

Jawa Timur Pecah Lima

Bahkan wacana mendirikan provinsi baru juga merebak di Jawa Timur. Seperti ada keinginan sebagian warga Madura memisahkan diri, menjadikan Pulau Madura sebagai provinsi. Juga ada gagasan mendirikan Provinsi Jawa Selatan di wilayah Mataraman. Provinsi ini akan menggabungkan eks keresidenan Madiun di Jatim dengan eks keresidenen Surakarta di Jawa Tengah. Ada lagi yang bakal bernama Provinsi Jipang Panolan di Jawa Utara, yang meliputi gabungan eks keresidenan Bojonegoro di Jatim dengan eks keresidenen Jepara di Jawa Tengah.

Berpijak dan berpandangan kepada kepentingan masa depan yang lebih jauh, maka impian atau gagasan pembentukan Provinsi Surabaya Raya yang pernah diajukan ke Mendagri tahun 1979 lalu tentu layak untuk dipertimbangkan kembali. Anggota DPRD Provinsi Jawa Timur dan DPRD Kota Surabaya, serta DPRD kabupaten sekitar Surabaya dalam wilayah Gerbang Kertosusila tentu perlu mengembangkan cakrawala pandangnya demi masa depan bangsa.

Apakah kelak yang bakal dibentuk itu namanya Provinsi Surabaya Raya atau Gerbang Kerto Susila, atau bisa juga menjadi Provinsi Suramadu (Surabaya-Madura). Sebab, untuk membentuk Provinsi Madura sendiri masih ditemui banyak kendala. Nah, bukan tidak mungkin, dengan terwujudnya jembatan penyeberangan laut dari Surabaya ke Madura, wilayah ini semakin menyatu.

Namun bagaimanapun juga, semua itu perlu perencanaan yang matang dalam segala segi.

Wacana pemekaran Jawa Timur menjadi lebih dari satu provinsi, awal tahun 2006 menggeliat kembali. Dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Jawa Timur, sepeti diungkap oleh Ir.Edy Wahyudi, ketua Pansus RTRW DPRD Provinsi Jawa Timur, ada rencana untuk memindahkan pusat pemerintahan Provinsi Jawa Timur ke Pandaan, Pasuruan. Andaikata ini terwujud, maka proses pembentukan Surabaya dan sekitarnya menjadi provinsi akan semakin licin.

Kabupaten dan Kota yang direncanakan masuk ke Provinsi Surabaya Raya adalah: Kota Surabaya, Kabupaten Gresik, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto dan Kota Mojokerto.

Tidak hanya wacana Surabaya Raya yang bakal menjadi provinsi, Madura dengan kepulauannya sampai ke perbatasan Selat Makasar, juga akan mendirikan Provinsi Madura. Ada empat kabupaten di Pulau Madura, yaitu: Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep.

Demikian pula halnya dengan kabupaten dan kota di wilayah “Mataraman”. Kabupaten dan Kota eks Keresidenan Madiun (Kabupaten Madiun, Kota Madiun, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Magetan, Kabupaten Pacitan dan Kabupaten Ngawi) juga sedang menjajaki untuk mendirikan provinsi sendiri, memisahkan diri dari Jawa Timur. Namanya Provinsi Jawa Selatan.

Provinsi Jawa Selatan ini tidak hanya kabupaten dan kota di eks Keresidenan Madiun saja, tetapi bergabung pula dengan sepuluh kabupaten dan kota di Jawa Tengah yang bertetangga dengan Jawa Timur. Kabupaten dan kota itu adalah: Kabupaten Wonogiri, Kota Wonogiri, Kabupaten Sukoharjo, Kota Sukoharjo, Kabupaten Karanganyar, Kota Karanganyar, Kabupaten Surakarta, Kota Surakarta, Kabupaten Sragen dan Kota Sragen.

Seandainya nanti ada pemekaran Jawa Timur menjadi Provinsi Surabaya Raya, Provinsi Madura,  Provinsi Jawa Selatan dan Provinsi Jipang Panolan (Jawa Utara), maka Kabupaten dan Kota di Jawa Timur akan berkurang dari 38 Kabupaten dan Kota. ***

100 Pahlawan Nasional Belum Diabadikan di Surabaya

Oleh: HM Yousri Nur Raja Agam

SELAIN nama Proklamator Sukarno-Hatta dan Roeslan Abdulgani, petinggi Kota Surabaya bersama DPRD-nya seharusnya tergerak hatinya untuk mengabadikan seluruh nama Pahlawan Nasional dan “orang yang berjasa” kepada bangsa dan Kota Surabaya ini.

Walaupun terlambat, kita harus berbuat. Sebagai Kota Pahlawan tentu Surabaya “wajib” menghormati para pahlawan, terutama Pahlawan Nasional – pahlawan yang telah disahkan dengan Surat Keputusan Presiden RI (Keppres) – serta pahlawan lokal yang digolongkan sebagai orang yang berjasa di daerah.

Pemerintah sudah menetapkan dengan Keppres sebanyak 118 nama sebagai pahlawan nasional, pahlawan perjuangan nasional, pahlawan pergerakan nasional, pahlawan kemerdekaan nasional, pahlawan pembela kemerdekaan, pahlawan revolusi, pahlawan Ampera dan pahlawan pembangunan.

Setiap tahun, pemerintah terus mendata dan menerima masukan dari masyrakat tentang tokoh yang diajukan untuk ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Nama-nama tokoh perjuangan di berbagai daerah sekarang “antre” menunggu pengesahan. Namun, Pemerintah Kota Surabaya termasuk yang kurang aktif mengusulkan nama-nama calon pahlawan nasional.

Selain sebagai Kota Pahlawan, Surabaya juga terkenal sebagai kota tempat kelahiran beberapa tokoh nasional Budi Utomo, yakni Dr.Sutomo. Sehingga, setiap peringatan Hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei, Surabaya menjadi salah satu pusat kegiatan. Sebab, di Jalan Bubutan Surabaya, terletak makam Dr.Sutomo.

Di Kota Surabaya pula lahir, besar dan berjuang beberapa pahlawan nasional, seperti HOS Tjokroaminoto, KH Mas Mansur, Dr.Ir.H.Sukarno, RMTA Suryo (Gubernur Suryo), Marsda Anumerta Iswahyudi dan Letjen Anumerta MT Haryono. Dan, dua nama besar yang juga bersemayam dan dimakamkan di Kota Pahlawan Surabaya adalah Drs.Sutomo dari Gerakan Budi Utomo dan Wage Rudolf Supratman, pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Kendati beberapa nama besar yang juga layak disebut sebagai pahlawan nasional, tetapi belum juga memperoleh Keppres. Di antara nama yang seharusnya sudah memperoleh julukan pahlawan nasional adalah: Sutomo (Bung Tomo), Mayjen Prof.Dr.Mustopo, Mayjen Sungkono, Mayjen HR Muhammad Mangunprodjo, Residen Sudirman, Letjen H.Sudirman, Jenderal Kehormatan (Hor) Prof.Dr.H.Roeslan Abdulgani dan masih banyak nama lain yang berjasa dalam peristiwa 10 November 1945.

Selain nama Kombes Pol M.Duryat yang merupakan pahlawan dari Kepolisian RI (Polri), ada beberapa nama besar yang juga layak diabadikan di Kota Pahlawan ini. Nama Kombes Pol M.Duryat yang tewas dibunuh pemeberontak PKI bersama Gubernur RT Suryo, diabadikan di Surabaya menjadi nama jalan antara Jalan Basuki Rahmat dengan Jalan Kedungsari.

Polisi Istimewa merupakan kebanggaan Arek Suroboyo di tahun 1945. Sebab, keberadaan Polisi Istimewa yang merupakan cikal-bakal Brigade Mobil (Brimob) itu lahir di Surabaya. Di balik itu ada nama Moehammad Jasin, pimpinan Polisi Istimewa yang kemudian menjadi Komandan Brimob Jatim.

Untuk tahap awal, Pemkot Surabaya belum mengabadikan nama-nama pahlawan dari kepolisian sebagai nama jalan. Tetapi, tetapi cukup nama kesatuannya saja, yakni Jalan Polisi Istimewa yang mengambil nomor awal (1-19 dan 2-32) Jalan Dr.Sutomo mulai dari Jalan Dinoyo sampai perempatan Jalan Darmo.

Penetapan nama Jalan Polisi Istimewa ini bersamaan dengan penetapan Jalan Mas TRIP sebagai pengganti Jalan Raya Kedurus, Jalan Tentara Geni Pelajar (TGP) perubahan Jalan Patua dan Jalan BKR Pelajar yang memotong Jalan Jimerto bagian timur mulai pesimpangan Jalan Jimerto dengan Jalan Wijaya Kusuma.

Perlu Dikoreksi

Nama-nama jalan di Surabaya perlu dikoreksi dan diubah, tidak hanya berdasar “selera pengusaha pengembang (real estate)”, tetapi berdasarkan keberanian Pemkot Surabaya untuk menetapkannya. Kita harus mulai sekarang, tidak perlu ditunda lagi.

Kalau sebagian masyarakat Surabaya keberatan mengubah nama-nama jalan di pusat kota di sekitar Jalan Tunjungan menjadi nama-nama pahlawan, karena keterkaitannya dengan sejarah Surabaya, maka alternatif harus dicari. Sekali lagi, nama-nama Pahlawan Nasional dan “orang yang berjasa” harus segera diabadikan di Kota Pahlawan Surabaya ini.

Mungkin, kawasan Dharmahusada Indah, Manyar Kertoarjo, Kertajaya Indah, Prapen, Jemursari dan Kendangsari dapat dijadikan sebagai “proyek percontohan”.

Kendati kawasan elite di Surabaya Timur itu teratur, namun sistem penomorannya masih belum seragam. Ada yang sudah berpatokan kepada jalan raya yang di kiri bernomor ganjil dan kanan bernomor genap, tetapi secara umum sistem blok masih dipertahankan. Nantinya, kalau nama jalan itu berdasarkan nama pahlwan, tentu sistem blok akan dengan sendirinya terlupakan.

Beranikah Pemkot Surabaya berhadapan dengan pengembang yang membangun kawasan itu, juga warganya. Sebab, bagaimanapun juga untuk mengubah nama jalan perlu pengorbanan dan ada yang menjadi korban. Pengertian korban di sini adalah, perubahan berbagai administrasi, mulai KTP, KK, surat-surat penting lainnya, termasuk berbagai surat yang berkaitan dengan hukum.

Perubahan nama jalan memang bukan yang tidak biasa dilakukan. Jadi, kalau ada kemauan dan kebersamaan dengan semua pihak, niscaya perubahan nama jalan dapat dilaksanakan tanpa hambatan. Memang, untuk itu perlu ada sosialisasi yang tidak akan menimbulkan gejolak, apalagi di era reformasi ini.

Apabila “proyek percontohan” ini dapat dilaksanakan, maka banyak nama jalan lain di Surabaya yang perlu diubah menjadi nama pahlawan dan “orang yang berjasa”. Misalnya kawasan sekitar Balaikota, nama jalannya diubah menjadi nama-nama mantan walikota, seperti nama Jalan Walikota Mustajab yang sebelumnya bernama Ondomohen. Jalan Sedap Malam, Jalan Jimerto, Jalan Pacar, Jalan Kecilung, Jalan Ngemplak dan Jalan Ambengan, bisa diganti.

Nama-nama mantan gubernur Jatim, selain Gubernur Suryo, juga banyak yang layak diabadikan. Misalnya Gubernur Samadikun. Kota Malang dan Sidoarjo, bahkan sudah mengabadikan nama Gubernur Sunandar Prijosoedarmo sebagai nama jalan. Nah, di Surabaya, nama-nama mantan gubernur Jatim dapat diabadikan mengganti nama jalan yang berawal embong, seperti Embong Trengguli, Embong Wungu, Embong Sawo, Embong Tanjung dan lain-lain.

Sebenarnya apa yang dilakukan pimpinan TNI-AL yang menetapkan nama-nama pahlawan khusus di TNI-AL di kawasan perumahan TNI-AL Kenjeran patut ditiru. Saat perumahan itu dibangun, nama jalannya langsung ditetapkan dengan nama-nama para prajurit TNI-AL yang gugur dalam peperangan.

Pahlawan Nasional

Nah, mari kita simak dari nama-nama Pahlawan nasional di bawah ini, baru berapa nama yang diabadikan di Kota Pahlawan Surabaya. Dimulai dengan Pahlawan Proklamator Sukarno-Hatta dan kemudian nama pahlawan itu kita urut berdasarkan abjad, yakni: Abdul Muis, Abdul Rahman Saleh (Marsda, Prof,Dr), Adi Sucipto (Marsda), Ageng Serang (Nyi), Agus Salim (Haji), Ahmad Dahlan (KH), Ahmad Yani (Jenderal), Albertus Sugiopranoto (dr), Antasari (Pangeran), Arie Frederik Lasut.

Berikutnya: Bagindo Azischan, Basuki Rahmat (Jenderal), Cipto Mangunkusumo (dr), HOS Cokroaminito, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Dewi Sartika, Diponegoro (Pangeran), Donald Ifak (DI) Panjaitan (Mayjen), Fachruddin (KH), Fatmawati Sukarno, Ferdinand Lumban Tobing (dr), Frans Kaisiepo, Gatot Subroto (Jenderal), Halim Perdanakusuma (Marsda), Harun bin Said (Kopral KKO), Sultan Hasanuddin, Hasyim Asyari (KH), Ki Hajar Dewantara.

I Gusti Ngurah Rai (Kolonel), I Gusti Ketut Jelantik (Patih), Iswahyudi (Marsda), Juanda Kartawijaya (Ir,H), Karel Satsuit Tubun (AIP), Kartini (Raden Ajeng), Katamso Dharmokusumo (Brigjen), Kusuma Atmadja (DR,SH), Maria Walanda Maramis, Martha Khristina Tiahahu, Marthen Indey, Mas Mansur (KH), Muhammad Husni Thamrin, Muhammad Yamin ( Prof, SH), MT Haryono (Letjen), Muwardi (dr), Nuku Muhammad Amiruddin Kaicil Paparangan

Otto Iskandardinata, Pakubuwono VI, Pangeran Sambernyawa, Pattimura (Kapten), Piere Tandean (Kapten), Raden Inten II, Raden Saleh, Rasuna Said (Rangkayo,Hajjah), RE Martadinata (Laksamana), Sahardjo (dr,SH), Samanhudi (KH), Sam Ratulangi (dr), Setiabudi (dr, Douwes Dekker atau Danu Dirjo), Silas Papare, Si Singamangaraja XII, Siswondo Parman (Letjen), Siti Walidah (Hj, Nyi Ahmad Dahlan).

Sudirman (Jenderal), Sugiono Mangunwiyoto (Kolonel), Suharso (Prof,Dr) Sukarjo Wiryopranoto, Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Agung Anyorokusumo, Sultan Iskandar Muda, Sultan Mahmud Badaruddin II, Sultan Thoha Syafiudin, Supeno, Supomo (Prof,Dr,SH), Suprapto (Letjen), Supriyadi, Suroso (Raden Panji), Suryo Pranoto (RM), Suryo (RM, Gubernur), Sutan Syahrir, Sutomo (dr), Sutoyo Siswomiharjo, Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Teuku Nyak Arif, Teuku Umar, Tengku Amir Hamzah, Tengku Cik Ditiro, Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Tambusai, Untung Surapati, Urip Sumoharjo (Letjen), Usman bin M.Ali (Serda KKO), Wage Rudolf Supratman, Wahid Hasyim (KH), Wahidin Sudirohusodo (dr) WZ Yohannes (Prof,Dr), Wolter Robert Monginsidi, Yosaphat Sudarso (Laksda), Yusuf Tajul Khalwati (Syekh), Zaenal Mustafa (KH), Zainul Arifin (KH).

Nah, dari nama-nama pahlawan nasional itu, baru beberapa nama yang diabadikan di Kota Pahlawan Surabaya ini. Sungguh memprihatinkan. ***

Sukarno-Hatta Temui Arek Suroboyo

Oleh: HM Yousri Nur Raja Agam
BERDASARKAN kesepakatan 26 Oktober 1945, Pemerintah Indonesia di Surabaya mengizinkan pihak Inggris mengunjungi kamp penampungan (interniran) Belanda dan tawanan Jepang di berbagai tempat, besoknya 27 Oktober 1945..

Namun para tokoh pemuda di Surabaya benar-benar kecewa dan marah atas sikap Tentara Sekutu. Sebab, siang itu ada pesawat terbang Inggris terbang di atas udara kota Surabaya. Dari pintu pesawat terbang itu disebarkan kertas berupa pamflet yang berisi ancaman bersifat ultimatum.
Selebaran itu berbunyi:
“Memerintahkan kepada seluruh rakyat, penduduk kota Surabaya dan Jawa Timur untuk menyerahkan kembali senjata dan peralatan perang Jepang kepada tentara Sekutu (Inggris). Semua orang yang memegang senjata dan yang tidak bersedia menyerahkan kepada Sekutu, akan ditembak di tempat. Batas waktu penyerahan, pukul 18.00 tanggal 28 Oktober 1945.”

Setelah membaca selebaran yang berupa ancaman itu, Drg.Mustopo bersama Residen Sudirman yang didampingi tokoh-tokoh Surabaya melakukan kontak dengan Brigjen Mallaby. Kemudian berlangsung pertemuan antara pukuk 12.00 hingga 15.00. Residen Sudirman mengingatkan kepada Mallaby, agar menghentikan penyebaran pamflet itu. Ternyata Mallaby sendiri terkejut dengan adanya selebaran itu. Ia mengatakan, bahwa selebaran itu mungkin dilakukan atas perintah atasannya dari Jakarta.

Kepada Mallaby diingatkan, bahwa isi selebaran itu tidak sesuai dengan isi persetujuan 26 Oktober 1945. Tetapi Mallaby kemudian menjawab, kalau itu merupakan perintah atasannya dari Jakarta, sebagai militer ia harus menaatinya.

Suhu politik di Surabaya memanas. Situasi makin mencekam. Sekutu mulai betindak sewenang-wenang. Mereka menangkapi rakyat yang mereka curigai. Akibatnya, pimpinan BKR, PRI, BPRI, Polisi dan Polisi Istimewa tersentak. Tindakan tentara Inggris telah melewati batas. Demi kehormatan bangsa Indonesia yang sudah merdeka, semua itu tidak bisa dibiarkan. “Kita harus bertindak!”, ujar para pimpinan pejuang di Surabaya.

Malamnya para pejuang Arek Suroboyo melakukan perundingan dan langkah yang akan dilakukan apabila sikap Inggris yang melanggar perjanjian itu.

Benar saja, besoknya, 28 Oktober 1945, pagi hari beberapa orang tentara Inggris menghadang kendaraan bermotor dan senjata yang dipegang para pemuda di jalanan. Pasukan Sekutu juga melakukan gerakan penyerbuan ke berbagai instansi vital. Di antaranta ke kantor Jawatan Kereta Api, kantor telepon dan telegrap, Rumah Sakit Darmo dan beberapa gedung kantor instansi vital lainnya.

Pukul 11.00 (siangnya), Mustopo datang ke markas PRI di Balai Pemuda. Ia memberitahu tentang sudah siapnya tentara Sekutu melucuti senjata secara paksa yang berada di tangan pemuda dan pejuang. Para pemuda yang berada di markas PRI benar-benar marah oleh sikap Sekutu yang mengingkari perjanjian yang sudah dibuat.

Siang itu juga para pimpinan pejuang melakukan konsolidasi. Polisi Istimewa sebagai kekuatan bersenjata dan terlatih juga langsung melakukan dengan rakyat yang sudah memegang senjata. Kontak antarkomponen pejuang berjalan terus.

Pimpinan BPRI Bung Tomo yang berada di markasnya juga sudah mendapat kontak dari PRI. Sorenya diadakan pertemuan dengan pimpinan drg.Mustopo. Disepakati, bahwa gerakan Sekutu (Inggris) “harus dilawan”.

Bersamaan dengan ini, polisi di bawah pimpinan Komandan Polisi Sahoed Prawirodirdjo dan Komandan Polisi Soekardi, seta Agen Polisi Kadam dengan menggunakan sepedamotor Zyspan Harley Davidson melakukan konsinyasi pasukan di Kantor Besar Polisi dan mendatangi beberapa asrama polisi.

Sekembalinya dari asrama polisi Kebalen, ketika melewati Jalan Rajawali pukul 17.00, yakni satu jam sebelum batas waktu ultimatum yang disebutkan dalam pamflet, tiga polisi ini dihadang. Sahoed, Soekardi dan Kadam digiring ke arah lapangan terbang di Tanjung Perak. Pihak Sekutu melepaskan tembakan, akibatnya mereka terluka tembak.

P impinan Palang Merah segera menyelamatkan ke tiga polisi itu. Petugas Palang Merah juga memberitahu kepada radio Pemberontak di Surabaya melalui telepon, bahwa ada tiga Polisi Istimewa ditembak Sekutu. Saat itu juga Bung Tomo melalui pemancar radio BPRI tiada henti memperingatkan dan memerintahkan seluruh rakyat Surabaya untuk mulai melakukan serangan terhadap tentara Inggris.

Dalam siaran radio yang berapi-api itu Bung Tomo menyebut nama ke tiga anggota Polisi Istimewa yang tertembak itu. “Mereka bertiga adalah korban kebrutalan Sekutu-Inggris”, ujar Bung Tomo.

Diperoleh pula laporan, di waktu yang sama juga terjadi insiden provokatif. Tentara Inggris menghentikan truk yang ditumpangi para pemuda, lalu mereka melucuti senjata yang mereka bawa. Agaknya Inggris memandang enteng para pemuda yang berasal dari TKR, PRI, BPRI, PI (Polisi Istimewa) dan rakyat pejuang lainnya.

Mayat Bergelimpangan

Malamnya situasi kota Surabaya benar-benar mencekam. Maut membayangi dari balik gedung, rumah dan dari gang-gang permukiman. Tidak sedikit yang terluka bahkan menemui ajalnya akibat terkena tembakan, ujung pisau, pedang, celurit, bambu runcing dan sangkur. Markas tentara Inggris diserbu rakyat tanpa memikirkan akibat yang fatal. Mayat bergelimpangan di daerah Darmo, Ketabang, Gubeng, sekitar gedung Internatio dan kawasan Tanjung Perak.

Selain pasukan TKR, para pemuda pejuang dan rakyat yang sudah memegang senjata rampasan, Komandan PI Surabaya Soetjipto Danoekoesoemo mengirim pasukannya yang dilengkapi senjata berat watermantel, tank dan panser. Surabaya benar-benar dilanda prahara. Api perang berkobar. Korban berjatuhan dari ke dua belah pihak, Inggris dan rakyat Surabaya.

Kendati mayat bergelimpangan akibat tembakan, semangat perjuangan makin membara. Rakyat tidak menghitung korban. Mati satu datang seribu. Bagai banteng terluka rakyat mengamuk.

Ben Anderson dalam bukunya “Revoloesi Pemoeda” terbitan Pustaka Sinar Harapan (1988), menyebutkan para pemuda yang melakukan penyerbuan ke berbagai markas pasukan Sekutu-Inggris itu mencapai 12 ribu orang. Pejuang Indonesia bertempur dengan fanatik tanpa mempedulikan jumlah korban yang jatuh. Pasukan Inggris meskipun mempunyai perlengkapan senjata berat dan tank-tank terancam oleh kehancuran.

Selain pos-pos pertahanan mereka terkepung, di daerah pelabuhan mereka harus mundur. Lapangan terbang Morokrembangan dapat direbut para pemuda pejuang. Beberapa gedung, seperti gedung Internatio, gedung BPM dan gedung Lindetives juga dikepung.

Soekarno-Hatta Datang

Dalam keadaan gawat, terdesak dan terkepung oleh rakyat pejuang itu, pimpinan pasukan Inggris di Surabaya minta bantuan “juru selamat”. Akhirnya, didatangkanlah Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta, didampingi Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin dari Jakarta. Ikut pula dalam rombongan itu, Mayor Jenderal Hawthorn.

Bung Karno, Bung Hatta, Amir Sjarifuddin dan Mayjen Hawthorn mendarat di bandara Morokrembangan pukul 11.45 pada tanggal 29 Oktober 1945. Pembesar bangsa Indonesia dan Sekutu ini juga mengikutkan beberapa wartawan ibukota dan wartawan asing. Mereka disambut para tokoh pejuang Surabaya, juga Brigjen Mallaby, Kolonel Pugh bersama perwira staf lainnya. Rombongan langsung menuju kantor gubernur Jatim dan diterima langsung oleh Gubernur Jatim, Suryo. Di kantor gubernur jatim ini dilangsungkan perundingan.

Dr.Roeslan Abdulgani dalam bukunya “100 Hari di Surabaya”, terbitan Yayasan Idayu, Jakarta (1975) menulis bahwa ada empat masalah pokok yang disimpulkan dalam perundingan itu. Perundingan berakhir pukul 19.30 malam itu. Hasil kesepakatan itu langsung diumumkan oleh Presiden Soekarno melalui Radio Surabaya. ***

Polemik Jalan Sukarno-Hatta dan Jalan Roeslan Abdulgani

Yousri Nur RA, MH

Yousri Nur RA, MH

 

SETELAH cukup lama penulis memperjuangkan agar nama Sukarno-Hatta diabadikan di Kota Surabaya, akhirnya di masa kepemimpinan Walikota H.Sunarto Sumoprawiro memperoleh sambutan yang sangat positif. Luar biasa, ternyata Cak Narto – panggilan akrab mantan Walikota Surabaya H.Sunarto Sumoprawiro – secara spontan langsung memberikan pernyataan setuju.

Oleh HM Yousri Nur Raja Agam

Usul secara lisan itu penulis sampaikan saat berada di rumah dinas walikota Surabaya di Jalan Walikota Mustajab 61 Surabaya. Pernyataan setuju Cak Narto itu disaksikan oleh Ketua Umum Yayasan Peduli Surabaya, M.Arifin Perdana dan H.Edi Sasmita yang bersama penulis sebagai tim penerbit buku “Cak Narto Peduli Wong Cilik” dan “Cak Narto Komandan para Walikota”.

Kepada Cak Narto, penulis mengungkapkan, pernah mengusulkan kepada Walikota sebelumnya, dr.H.Pornomo Kasidi, untuk mengganti Jalan Tanjung Perak Timur dan Jalan Tanjung Perak Barat sebagai Jalan Sukarno-Hatta. Di samping itu, penulis juga pernah menulis di Suratkabar Harian Sore “Surabaya Post”, 9 November 1987 tentang usulan itu. Tetapi, dengan alasan situasinya waktu itu belum memungkinkan, maka usul itupun tenggelam.

Setelah di Jakarta Bandara Internasional diberi nama Sukarno-Hatta, di Makassar pelabuhan lautnya diberi nama Sukarno-Hatta, dan di Bandung jalan lingkar selatan juga diberi nama Jalan Sukarno-Hatta, bahkan di beberapa kota juga banyak yang mengabadikan nama jalan dengan nama Sukarno-Hatta, maka penulis kembali menhadap walikota dr.H.Poernomo Kasidi dengan usul yang sama. Waktu itu, pak Pur – begitu walikota yang berprofesi dokter ini biasa disapa – menjanjikan akan memberi nama jalan lingkar timur Surabaya sebagai Jalan Sukarno-Hatta. Namun, hingga berakhir masa jabatan pak Pur, jalan lingkar timur bagian tengah yang disebut MERR (Midle East Ring Road) pun belum selesai. Bahkan, hingga akhir tahun 2006, MERR masih megalami hambatan pembebasan lahan di beberapa tempat.

 

Jalan Raya Darmo

Saking semangat dan antusiasnya untuk mengabadikan nama besar Sukarno-Hatta, Cak Narto waktu itu sertamerta menyebut, jalan yang paling tepat untuk mengabadikan nama Sukarno-Hatta di Surabaya adalah mengganti nama Jalan Raya Darmo sampai ke Jalan Embong Malang. Jadi, nama Jalan Raya Darmo, Jalan Urip Sumoharjo, Jalan Basuki Rachmat sampai Jalan Embong Malang diganti menjadi Jalan Sukarno-Hatta, katanya terbata-bata.

Tentang persetujuannya untuk segera mengabadikan nama Sukarno-Hatta sebagai nama jalan utama di Surabaya, perlu ditindaklanjuti. Besoknya Cak Narto sudah sesumbar dan membuat pernyataan di depan wartawan untuk mengganti nama Jalan Raya Darmo menjadi Jalan Sukarno-Hatta. Keinginan Cak Narto, waktu itu tahun 2001, mendapat dukungan Cak Roeslan Abdulgani, sesepuh Kota Surabaya.

Terjadi pro-kontra yang tajam sewaktu dilontarkan agar nama Sukarno-Hatta diabadikan sebagai pengganti nama Jalan Raya Darmo. Pro-kontra berkepanjangan menjadikan gagasan Cak Narto itu polemik di mediamassa. Sebagai “pembisik” dan yang menulis konsep siaran pers tentang rencana mengabadikan Jalan Sukarno-Hatta di Surabaya itu, penulis merasa punya beban dan tanggungjawab.

Prapen-Jemursari

Waktu itu, penulis minta Cak Narto bisa mundur selangkah, yakni mengarahkan yang layak diabadikan sebagai Jalan Sukarno-Hatta adalah mengganti nama Jalan Tanjung Perak Timur-Barat. Alternatif kedua adalah jalan kembar Jalan Prapen sampai Jalan Jemursari.

Ada beberapa alasan, mengapa Jalan Tanjung Perak Timur-Barat dan Jalan Prapen-Jemursari layak diganti dengan nama Sukarno Hatta.

Jalan Tanjung Perak Timur dengan Jalan Tanjung Perak Barat selama ini sudah menyatu. Khusus bagian Timur bernomor genap dan bagian barat nomor ganjil. Jalan Tanjung Perak Timur-Barat ini, adalah jalan menuju pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Pelabuhan samudra dan pelabuhan nusantara, sebagai gerbang laut Kota Surabaya dari seluruh penjuru dunia dan wilayah kepulauan nusantara.

Memang, inilah satu-satunya gerbang masuk Surabaya yang formal saat ini, yakni gerbang dari laut. Sebab, gerbang masuk kota Surabaya dari darat saat ini adalah Terminal Purabaya yang terletak di Bungurasih, Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo. Begitu pula dengan gerbang masuk dari udara, bandaranya juga berada di wilayah Sidoarjo.

Ingat! Naskah proklamasi yang dibacakan 17 Agustus 1945 dan ditandatangani proklamator Sukarno-Hatta adalah gerbang Indonesia menuju kemerdekaan. Nah, bila dikaitkan, sangat tepat jika seandainya jalan menuju gerbang laut Tanjung Perak itu dijadikan Jalan Sukarno-Hatta.

Sedangkan alternatif kedua, adalah Jalan Jemursari sampai Jalan Prapen. Jalan kembar ini, di Surabaya saat ini termasuk jalan yang bagus. Namun, ada kerancuan dalam sistem penomoran jalan ini. Seharusnya sistem penomoran jalan adalah dari arah kota menuju ke luar kota. Untuk Jalan Raya Prapen, sudah benar penomorannya diawali dari perempatan Jalan Panjang Jiwo, Jalan Jagir Wonokromo dan Jalan Nginden (jembatan). Tetapi, untuk Jalan Jemursari, penomorannya dimulai dari arah pertigaan Jalan Jenderal Ahmad Yani di bundaran Dolog dengan nomor besar bertemu dengan nomor besar Jalan Prapen.

Sekarang, karena sudah menjadi satunya Jalan Raya Prapen dengan Jalan Raya Jemursari, timbul kerancuan. Masyarakat pencari alamat bisa bingung, karena tidak ada batas yang jelas antara Jalan Prapen dengan Jalan Jemursari.

Artinya, perlu ada penertiban dan kajiulang untuk sistem penomoran jalan di Jalan Jemursari dan Jalan Raya Prapen, bahkan juga di berbagai jalan lain di Kota Surabaya ini.

Bagaimanapun juga, Jalan Jemursari-Prapen merupakan alternatif yang perlu dipertimbangkan untuk diubah menjadi Jalan Sukarno-Hatta. Karena, jalan ini di samping panjang dan lebar, juga merupakan jalan penghubung dari pintu kota ke tengah kota. Model jalan ini mungkin sama dengan Jalan Sukarno-Hatta di Kota Malang, yakni jalan yang melintas dari Blimbing ke arah Dinoyo.

Cak Narto, masih bersikukuh bahwa yang layak itu adalah Jalan Raya Darmo. Namun, hingga ajal memanggil hayatnya, nama Sukarno-Hatta tetap belum diabadikan di Kota pahlawan Surabaya.

 

Jalan Roeslan Abdulgani

 Prof.Dr.Roeslan Abdulgani, yang sudah wafat 28 Juni 2005, adalah tokoh Surabaya, tokoh pergerakan peristiwa heroik 10 November 1945 di Surabaya. Ia adalah “pahlawan” yang sertamerta dan tanpa harus menunggu persetujuan “siapa-siapa” seharusnya nama besar Cak Roeslan – demikian sapaan akrab Roeslan Abdulgani secara nasional – segera diabadikan di Kota Surabaya. Semua orang tahu, bahwa Cak Roeslan adalah tokoh nasional yang dapat bekerjasama dengan semua rezim pemerintahan sepanjang zaman. Mulai dari pemerintahan perjuangan kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi, tidak dapat dipungkiri Cak Roeslan adalah “pahlawan yang punya nama besar”.

Cak Roeslan adalah kader politik Bung Karno. Di masa pemerintahan Orde Lama, Cak Roeslan duduk dalam berbagai kabinet yang berkuasa, bahkan menjadi duta besar RI dan penasehat presiden. Hampir dalam setiap kegiatan kenegaraan, Bung Karno tidak pernah meninggalkan Cal Roeslan.

Ketika Presiden Soeharto berkuasa selama 32 tahun di masa Orde Baru, Cak Roeslan adalah “suhu” atau gurubesar Pancasila yang menjadi simbul kekuasaan Presiden Soeharto. Cak Roeslan diberi kedudukan sebagai Kepala BP7, suatu badan yang mengelola penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang sangat popular di zaman Orde Baru.

Saat Presiden BJ Habibie berkuasa melanjutkan pemerintahan yang ditinggal Presiden Soeharto, Cak Roeslan menjadi penasehat presiden. Begitu pula di masa pemerintahan Gus Dur – KH Abdurrahman Wahid – di awal Reformasi. Bahkan, ketika Presiden Magawati Soekarnoputri menjadi kepala negara, Cak Roeslan dijadikan Mega sebagai “pengganti Bung Karno”. Kepada Cak Roeslan lah Mega bertanya untuk setiap langkah politik yang akan diayunkannya.

Setelah Susilo bambang Yudhoyono menduduki jabatan presiden bersama pasangannya Jusuf Kalla, peran Cak Roeslan tetap sebagai penasehat politik pemerintahan. Cak Roeslan menjadi “kamus politiknya” SBY-Kalla, khususnya menyangkut Pancasila. Sehingga, di masa SBY-Kalla ini, kegiatan yang bernafaskan pancasila kembali digiatkan.

Cak Roeslan kini telah tiada, dan tidak salah kalau Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan pangkat “Jenderal Kehormatan” dan menempatkan jasatnya di TMP (Taman Makam Pahlawan) Kalibata, Jakarta kepada Cak Roeslan.

Nah, seharusnya nyali para petinggi dan wakil rakyat di Surabaya ini bergetar tatkala Cak Roeslan dipanggil sang Khalik. Getar hati itu sepantasnya dibuktikan dengan segera mengabadikan nama besar Jenderal (Hor) Prof.Dr.H.Roeslan Abdulgani itu di kota kelahiran dan kota perjuangannya, Surabaya. Tetapi, sayang dan sangat sayang, kepergian cak Roeslan berlalu begitu saja, tanpa ada doa “resmi” dari kita.

Penulis telah melakukan berbagai pengamatan di jalan-jalan Surabaya. Maka, Surabaya tidak akan rugi untuk mengganti salah satu nama jalan yang ada di Surabaya ini dengan nama Cak Roeslan. Jalan raya yang cukup panjang, yang layak untuk mengabadikan nama Jenderal Prof.Dr.H.Roeslan Abdulgani adalah: Jalan kembar Undaan Kulon-Wetan. Di sekitar sini sudah ada beberapa nama pahlawan dan tokoh 10 November yang diabadikan, yakni mengganti nama-nama Jalan Taman Baskoro, Taman Akoso dan sebagainya. Kalau itu tidak mungkin, alternatifnya adalah: Jalan Embong Malang atau Jalan Tidar.

 

 

Miskin Nama Pahlawan

Sebenarnya, kita malu dan malu, kalau Kota Pahlawan ini “miskin” mengabadikan nama-nama Pahlawan, tokoh masyarakat dan “orang yang berjasa”. Sudah waktunya, petinggi Kota Surabaya bersama anggota DPRD-nya mengabadikan seluruh nama Pahlawan Nasional dan “orang yang berjasa” kepada bangsa dan Kota Surabaya.

Kita haru berani berbuat, walaupun terlambat. Nama-nama jalan di Surabaya perlu dikoreksi dan diubah, tidak hanya berdasar “selera pengusaha real estate”, tetapi berdasarkan keberanian Pemkot Surabaya untuk menetapkannya. Kita harus mulai sekarang, tidak perlu ditunda lagi.

Kalau sebagian masyarakat Surabaya keberatan mengubah nama-nama jalan di pusat kota di sekitar Jalan Tunjungan menjadi nama-nama pahlawan, karena keterkaitannya dengan sejarah Surabaya, maka alternatif harus dicari. Sekali lagi, nama-nama Pahlawan Nasional dan “orang yang berjasa” harus segera diabadikan di Kota Pahlawan Surabaya ini.

Mungkin, kawasan Dharmahusada Indah, Manyar Kertoarjo dan Kertajaya Indah dapat dijadikan sebagai “proyek percontohan”. Jalan Manyar Kertoarjo bersama jalan-jalan samping diganti menjadi jalan para pahlawan “perjuangan” nasional yang belum diabadikan di Surabaya. Sedangkan kawasan Dharmahusada Indah untuk pahlawan “pergerakan” nasional dan kawasan Kertajaya Indah dengan nama para pahlawan nasional “pembela” kemardekaan.

Kendati kawasan elite di Surabaya Timur itu teratur, namun sistem penomorannya masih belum seragam. Ada yang sudah berpatokan kepada jalan raya yang di kiri bernomor ganjil dan kanan bernomor genap, tetapi secara umum sistem blok masih dipertahankan. Nantinya, kalau nama jalan itu berdasarkan nama pahlwan, tentu sistem blok akan dengan sendirinya terlupakan.

Beranikah Pemkot Surabaya berhadapan dengan pengembang yang membangun kawasan itu, juga warganya. Sebab, bagaimanapun juga untuk mengubah nama jalan perlu pengorbanan dan ada yang menjadi korban. Pengertian korban di sini adalah, perubahan berbagai administrasi, mulai KTP, KK, surat-surat penting lainnya, termasuk berbagai surat yang berkaitan dengan hukum.

Perubahan nama jalan memang bukan yang tidak biasa dilakukan. Jadi, kalau ada kemauan dan kebersamaan dengan semua pihak, niscaya perubahan nama jalan dapat dilaksanakan tanpa hambatan. Memang, untuk itu perlu ada sosialisasi yang tidak akan menimbulkan gejolak, apalagi di era reformasi ini.

Apabila “proyek percontohan” ini dapat dilaksanakan, maka banyak nama jalan lain di Surabaya yang perlu diubah menjadi nama pahlawan dan “orang yang berjasa”. Misalnya kawasan sekitar Balaikota, nama jalannya diubah menjadi nama-nama mantan walikota, seperti nama Jalan Walikota Mustajab yang sebelumnya bernama Ondomohen. Jalan Sedap Malam, Jalan Jimerto, Jalan Pacar, Jalan Kecilung, Jalan Ngemplak dan Jalan Ambengan, bisa diganti.

Nama-nama mantan gubernur Jatim, selain Gubernur Suryo, juga banyak yang layak diabadikan. Misalnya Gubernur Samadikun. Kota Malang dan Sidoarjo, bahkan sudah mengabadikan nama Gubernur Sunandar Prijosoedarmo sebagai nama jalan. Nah, di Surabaya, nama-nama mantan gubernur Jatim dapat diabadikan mengganti nama jalan yang berawal embong, seperti Embong Trengguli, Embong Wungu, Embong Sawo, Embong Tanjung dan lain-lain.

Di sekitar Masjid Al Akbar, bisa diabadikan dengan nama-nama tokoh agama Islam dan juga Kristen. Sebab, di dekat Masjid Al Akbar itu juga berdiri gereja katholik. Kita punya nama besar, yang merupakan tokoh agama Islam, seperti: KH Hasjim Asjari, KH Wahid Hasjim, Prof.Dr.HAMKA, KH Muhammad Natsir, KH Fachruddin, dan masih banyak lagi tokoh agama tingkat nasional maupun regional.

Misalnya, jalan tembus dari Jalan A.Yani ke Masjid Al Akbar dari samping pusat perbelanjaan Alfa, yakni Jalan Menanggal diubah namanya menjadi KH.Hasjim Asjari. Pertimbangannya, jalan ini melewati gedung museum NU (Nahdlatul Ulama) dan gedung Asra Nawa. Sedangkan Jalan Gayung Kebonsari (Injoko) diubah menjadi Jalan Prof.Dr.HAMKA. Pertimbangannya, di jalan itu ada gedung Rumah Gadang, Minangkabau, tempat asal Buya Hamka. Seterusnya jalan-jalan di sekitar masjid Al Akbar, yakni Jalan Gayung Sari Barat hingga Jalan Letjen Haji Sudirman, diubah menjadi nama-nama para pahlawan dan tokoh agama lainnya.

Insya Allah, tidak ada yang keberatan. Dengan demikian perwujudan arti Kota Pahlawan, benar-benar dapat dibuktikan dan diwariskan kepada generasi yang akan datang. ***