Jalan Sukarno-Hatta di Surabaya

Oleh: HM Yousri Nur Raja Agam

Patung Proklamator Sukarno-Hatta KENDATI terlambat dan lama diabaikan,  akhirnya “ada” dan terwujud juga di Kota Pahlawan Surabaya.

DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Kota Surabaya, melalui sidang Paripurna, 18 April 2010, mengesahkan diabadikannya jalan baru di Surabaya Timur menjadi Jalan Sukarno-Hatta.

Jalan ini adalah jalan baru sepanjang 4,6 kilometer yang terbentang dari pertigaan Jalan Kenjeran menuju ke arah selatan sampai ke perempatan Jalan Arief Rachman Hakim. Jalan ini, terus ke arah selatan menuju ke Bandara Juanda, Sidoarjo.

Selama ini, jalan baru yang belum bernama itu dikenal sebagai proyek “Jalan Lingkar Timur bagian Tengah” yang disingkat MERR (Midle East Ring Road).

Saya, sebagai penulis artikel ini, sangat bangga atas diwujudkannya Jalan Sukarno-Hatta di Surabaya. Maaf, karena saya juga sudah lama melakukan perjuangan untuk mengabadikan nama Dwitunggal Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia itu sebagai nama jalan di kota Surabaya.

Maka, tidak salah kiranya, kalau desakan yang pernah saya lakukan kepada tiga walikota Surabaya, yakni dr.H.Poernomo Kasidi, Dr.H.Sunarto Sumoprawiro dan terakhir Drs.H.Bambang Dwi Hartono. Baik secara lisan, tertulis, naupun melalui berbagai tulisan dan karangan di mediamassa.

Terlambat

Di bawah ini cuplikan tulisan penulis sebelumnya, secara tegas mengharap kepada npara petinggi Kota Surabaya untuk tidak usah malu. Lebih baik terlambat daripada tidak berbuat, apalagi melupakan sama sekali. Oleh sebab itu, tidak ada kata terlambat untuk mengabadikan nama Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia Sukarno-Hatta di Kota Pahlawan Surabaya.

Masyarakat Surabaya pada umumnya sangat sadar dan mempunyai keyakinan, bahwa nama besar Bung Karno mempunyai kaitan erat dengan Kota Surabaya ini. Selain sebagai tokoh dan pahlawan nasional, bagi Surabaya Sukarno adalah anak kandungnya.

Bung Karno, tidak hanya mengikuti pendidikan menengah di Surabaya. Justru yang lebih menarik, Surabaya juga kota kelahiran Bung Karno.

Selama ini, buku sejarah dan pelajaran di sekolah tidak pernah sama dalam mengungkap tempat kelahiran Bung Karno. Ada yang menyebut lahir di Blitar, namun ada juga yang menyatakan di Surabaya. Dalam penelusuran yang dilakukan, ternyata kecenderungan Bung Karno lahir di Surabaya semakin meyakinkan.

Sebagai seorang guru, ayah Bung Karno bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo akhir tahun 1800 mendapat tugas mengajar di Singaraja, Bali. Di Pulau Dewata itu, Soekemi menikah dengan gadis Bali bernama Ida Ayu Nyoman Rai Srimben. Awal tahun 1900, Soekemi dan isterinya yang sedang hamil pindah ke Surabaya.

Sukarno Lahir di Surabaya

Dari Singaraja Raden Sukemi bersama isterinya Ida Ayu Nyoman Rai Srimben berlayar ke Surabaya menumpang kapal. Setelah berlabuh di Tanjung Perak, dengan perahu mereka menyusuri Sungai Kalimas dan turun di dermaga Peneleh.

Memang waktu itu, angkutan laut lebih lancar dibandingkan dengan transportasi darat. Jalan raya Anyer-Panarukan, di awal abad ke 20 itu sedang dibangun oleh Gubernur Jenderal Daendels.

Dermaga Peneleh, di zaman itu cukup popular bagi pendatang dari Pulau Bali. Raden Soekemi tinggal di rumah kontrakan di perkampungan Peneleh, tepatnya di Jalan Pandean Gang IV No.40 Surabaya. Konon di rumah inilah Koesno dilahirkan. Koesno kemudian berganti nama menjadi Soekarno atau popular dengan sapaan Bung Karno.

Kepastian Bung Karno lahir di kawasan ini sangat dimungkinkan. Sebab, hingga sekarang di wilayah sekitar Pandean dan Peneleh masih banyak bermukim warga asal Bali. Bahkan, kampung Peneleh sampai disebut sebagai “Kampung Bali” di Kota Surabaya. Di sini sejak dulu ada babarapa hotel di antaranya: Hotel Bali, Hotel Singaraja dan agen-agen bus (travel), serta angkutan penumpang jurusan Bali. Dan di Peneleh ini ada pasar buah khusus, jeruk dan salak dari Bali yang pedagangnya 100 prosen berasal dari Bali.

Arek Suroboyo

Karena panggilan tugas mengajar di Blitar, Raden Sukemi bersama isterinya kembali ke Blitar. Sukarno kecil bersama orangtuanya berada di Blitar hingga dia duduk di Sekolah Dasar.

Sukarno melanjutkan ke SMP di Mojokerjo, di sana ia dititipkan oleh Raden Sukemi kepada seorang kawannya. Lulus SMP di Mojokerto, Bung Karno masuk SMA atau HBS (Hoogere Burger School) di Surabaya. Jadi, dalam riwayat hidup Sukarno, Surabaya tidak dapat dipisahkan sama sekali. Surabaya sudah menyatu dengan Sukarno dalam kaitan sejarah dan emosional.

Sejarah juga mencatat dengan rapi, bahwa saat di HBS Surabaya itu, Sukarno tinggal di rumah HOS Tjokroaminoto di Jalan Peneleh Gang VII Nomor 29-31 Surabaya. Di rumah ini Sukarno juga mempunyai kesan yang amat luar biasa. Betapa tidak, Tjokroaminoto yang waktu itu menjadi pimpinan Partai Sarekat Islam adalah guru politik Bung Karno. Dalam kehidupan dan pribadi Bung Karno ada penjelmaan sikap teguh Pak Tjokroaminoto.

Bukan hanya itu ikatan Sukarno dengan keluarga Pak Tjokro di kampung Peneleh Surabaya. Ketika itu Sukarno, pacaran dengan Utari, anak Tjokroaminoto. Bahkan, saat Sukarno yang berusia 20 tahun lulus dari HBS dan akan melanjutkan sekolahnya di ITB (Institut Teknologi Bandung) yang waktu itu bernama Tehnische Hoge School (Sekolah Teknik Tinggi), Utari yang berusia 16 tahun dinikahinya. Utari adalah isteri pertama Bung Karno.

Cak Roeslan Abdulgani, yang lahir di kampung Plampitan Surabaya, tidak jauh dari rumah tempat kelahiran Sukarno, secara tegas menyebut Bung Karno adalah “Arek Suroboyo”. Sebab, kata sesepuh Arek Suroboyo yang kini telah tiada dan meninggal dunia 28 Juni 2005 di Jakarta itu, Bung Karno lahir dan besar di Surabaya.

Saat perjuangan kemerdekaan dan upaya mempertahankan kemerdekaan RI dari incaran sekutu untuk kembali menjajah, Sukarno tak pernah lupa dengan Surabaya. Dalam keadaan kemelut itu, Ir.Sukarno yang sudah menjadi Presiden sengaja datang bersama Wakil Presiden Dr.Moh Hatta ke Surabaya. Peran dwitunggal Sukarno-Hatta dalam menghadapi sekutu dan mengobarkan semangat Arek Suroboyo di tahun 1945 tidak akan pernah dilupakan.

Perhatian Bung Karno terhadap Surabaya, tidak pernah pupus, sampai-sampai Bung Karno sendiri yang merencanakan pembangunan Tugu Pahlawan, meletakkan batu pertama dengan selembar dokumen yang ditanam di bawahnya, lalu meresmikannya. Keheroikan perjuangan Arek Suroboyo yang menjadi puncak tanggal 10 November 1945 itu, ditetapkan oleh Bung Karno sebagai Hari Pahlawan dan Surabaya sebagai Kota Pahlawan.

Sungguh luar biasa perhatian Bung Karno untuk Kota Surabaya. Tetapi, mengapa petinggi kota ini abai terhadap sang Proklamator?

Memang, sejarah kemudian membuktikan, peran proklamator Sukarno-Hatta di awal kemerdekaan Indonesia menjadi pendorong semangat persatuan bangsa. Nama kedua proklamator itu bagaikan tak bisa dipisahkan. Di samping sebagai dwitunggal, di antara keduanya ada keterikatan dalam hubungan keluarga. Keakraban Sukarno dengan Hatta menjadi perlambang persatuan antarsuku bangsa di Bumi Nusantara ini.

Begitu dekat dan akrabnya dua pimpinan nasional ini, di mana-mana kemudian nama ini menjadi satu, yakni Sukarno-Hatta. Di mana-mana di berbagai tempat dan kota di Indonesia, nama Sukarno-Hatta diadikan menjadi nama bandar udara (bandara), nama pelabuhan, nama gedung, nama taman dan terbanyak menjadi nama jalan.

Di Kota Surabaya, tempat yang paling “berkepentingan” dengan nama besar Sukarno-Hatta itu, nama mereka sama sekali tarabaikan.

Ironis! Kota Pahlawan yang abai mengabadikan nama-nama besar para pahlawannya.

Abadikan Sekarang

Tidak ada waktu yang paling tepat untuk mengabadikan nama Sukarno-Hatta, kalau tidak tahun ini juga. Mengapa? Karena tahun inilah kesempatan yang paling pas.

Kita semua tahu, Sukarno dan Hatta adalah dua nasionalis yang sangat kokoh dalam perjuangan. Semangat dan jiwa nasionalis yang ada pada diri dwitunggal proklamator ini juga dilandasi nilai-nilai luhur agama, yakni Islam.

Surabaya sekarang ini dikendalikan oleh para nasionalis yang agamis. Walikotanya, Drs.Bambang Dwi Hartono,MPd yang juga mantan ketua DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kota Surabaya. Di balik itu, anggota DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Kota Surabaya, juga para nasionalis yang didukung partai bernuansa agama.

Wakil Walikota Surabaya, Drs.H.Arif Afandi, “pasti” mendukung. Hati kecilnya akan mengatakan, wah tepat kalau tahun ini nama Sukarno-Hatta diabadikan di Kota Pahlawan ini. Bagaimanapun Arif Afandi yang lahir di Blitar akan bangga dengan Bung Karno, tokoh asal Blitar yang ternyata belum sempat diabadikan namanya oleh para pendahulunya.

Oleh sebab itu, tahun ini adalah tahun yang paling tepat untuk mengabadikan nama Sukarno-Hatta di Surabaya. Kemungkinan dan kecenderungan untuk lancarnya segala persyaratan yang ditentukan untuk penetapan Peraturan Daerah (Perda) tidak perlu diragukan lagi. Di samping walikotanya yang “pasti” mendukung, juga mayoritas anggota DPRD Kota Surabaya “pasti” akan bersuara secara aklamasi menyatakan setuju.

Nah, menunggu apa lagi? Abadikan nama Sukarno-Hatta sekarang juga, tahun ini juga di Surabaya. Ada tiga tanggal bersejarah yang tepat dijadikan waktu untuk meresmikan nama Sukarno-Hatta di Surabaya. Pertama, bertepatan dengan Hari Jadi Surabaya, 31 Mei atau pada HUT Kemerdekaan RI, 17 Agustus dan alternatif terakhir, pada peringatan Hari Pahlawan 10 November tahun ini.

Ironis! Kota Pahlawan Miskin Nama Pahlawan

Oleh: HM Yousri Nur Raja Agam

KENDATI di Indonesia, hanya Surabaya yang berjuluk Kota Pahlawan, namun perwujudan makna kepahlawanan itu sangat dangkal. Kepahlawanan hanya diterjemahkan dari peristiwa heroik yang terjadi di sekitar tanggal 10 November 1945 yang membawa korban jiwa terhadap ribuan Arek Suroboyo.

Padahal, seyogyanya, pengertian pahlawan itu diwujudkan dengan menjadikan Kota Surabaya ini sebagai “kamus kepahlawanan”. Surabaya dapat dijadikan sebagai museum kepahlawanan yang berskala nasional. Bahkan, kalau memungkinkan diangkat menjadi “Kota Pahlawan Internasional”.

Betapa tidak, sebab keheroikan peristiwa 10 November melibatkan sekutu, yakni tentara Inggeris yang tergabung dalam kekuatan internasional dalam Perang Dunia II. Mungkin, bersimbah darahnya Bumi Pertiwi di Surabaya ini oleh darah Arek Surabaya, merupakan pahlawan bagi Bangsa Indonesia.

Sebaliknya, tewasnya salah seorang pimpinan militer Inggeris, Jenderal Mallaby, bagi kita merupakan suatu “kemenangan”. Tetapi, bagi sekutu, dia adalah pahlawan yang berjuang demi negaranya dan kepentingan dunia internasional

Suatu hal yang sangat memprihatinkan, adalah kurangnya minat dan perhatian para petinggi di Kota Surabaya ini untuk menampung aspirasi warganya. Salah satu di antaranya, ialah usul-usul warga untuk sebanyak mungkin mangabadikan nama-nama pahlawan di Surabaya. Terlalu berbelitnya prosedur untuk memberi nama pahlawan pada suatu jalan. Bahkan, sangat tidak mudah mengganti nama jalan yang sudah ada dengan nama jalan baru.

Kita tahu, betapa peran Bung Tomo dalam perjuangan 10 November 1945. Bung Tomo berperan sebagai “pembakar” semangat Arek Suroboyo melalui corong radio pemberontak yang dikuasai anak-anak muda kala itu. Walaupun Bung Tomo yang bernama asli Sutomo itu belum ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, tetapi perannya dalam perjuangan dan sejarah Hari Pahlawan 1945 tak dapat dipisahkan.

Namun, nama Bung Tomo hanya diabadikan sebagai nama jalan pada jalan yang tidak sampai 500 meter. Itupun bukan jalan baru, tetapi mengambil pangkal dari Jalan Ngagel Jaya Selatan, mulai dari perempatan Jalan Raya Ngagel dengan jembatan BAT (jembatan bungkuk) sampai Taman Pemakakan Umum (TPU) Ngagel. Nomornya hanya nomor 1 sampai 15.

Sebenarnya, nama Bung Tomo itu sangat layak mengganti seluruh nama Jalan Ngagel Jaya Selatan sampai ke depan kebun bibit dan kampus lama Ubaya (universitas Surabaya). Tetapi, itulah kenyataannya, nama Bung Tomo hanya diabadikan sebagai nama sepenggal jalan, seperti sekarang ini.

Kita sebenarnya “malu” terhadap orang Kalimatan Timur, misalnya. Saat penulis berkunjung ke Kota Samarinda, ibukota Kalimantan Timur, di sana ada Jalan Bung Tomo. Dan yang cukup membanggakan, Jalan Bung Tomo ini panjangnya hampir dua kilometer, yakni sepanjang jalan di pinggir sungai Mahakam yang membelah Kota Samarinda.

Masih untung, bagi Soengkono mantan pejuang se angkatan Bung Tomo. Pada akhir hayatnya almarhum sudah mencapai karir militer dengan pangkat Mayor Jenderal (Mayjen). Para mantan pejuang dan kerabatnya semasa hidup berjuang untuk mengganti nama Jalan Raya Wonokitri TVRI menjadi Jalan Mayjen Sungkono. Waktu itu jalan itu memang masih baru, menuju ke kawasan Surabaya Barat yang sedang dibangun.

Di sana waktu itu (awal tahun 1970-an) ada proyek pembangunan gedung pemancar TVRI (Televisi Republik Indonesia) stasiun Surabaya. Dulu jalan beraspal itu berakhir di Jalan Adityawarman yang bersimpangan dengan Jalan Padmosusastro (di depan kantor DPD Partai Golkar sekarang).

Dari ujung Jalan Aditiawarman itu ke arah TVRI ada jalan bernama Jalan Wonokitri, Karena ada proyek stasiun TVRI, maka Jalan Wonokitri itu berubah menjadi Wonokitri TVRI. Jalan baru dibangun berupa proyek jalan kembar sampai ke kawasan pembangunan perumahan (realestat) baru, seperti Darmo Permai, Bintang Diponggo, Darmo Satelite Town, Chris Kencana dan proyek perumahan Perum Perumnas Simomulyo dan Ngesong. Juga pembangunan gedung Joang 45 dan Taman Makam Pahlawan (TMP) baru, karena TMP Kusuma Bangsa dan TMP Ngagel sudah padat.

Kawasan di sekitar Jalan Mayjen Sungkono ini terus berkembang ke arah barat, bahkan melewati jalan tol Gempol ke Tanjung Perak yang melintas daerah yang terkenal dengan sebutan kawasan Darmo Permai ini. Jalan baru terusan Mayjen Sungkono terus sampai ke arah Pradah, Kalikendal sampai Simpang Darmo Permai.

Nah, penghargaan jatuh kepada almarhum HR Muhamad Mangunprodjo yang dalam masa perjuangan tahun 1945 di Surabaya dikenal sebagai Muhamad. Pada akhir hayatnya, Muhamad juga mencapai pangkat Mayjen dalam karir militer. Dan namanya diabadikan sebagai nama jalan terusan Mayjen Sungkuno ke arah barat itu. Sekarang jalan itu terkenal dengan sebutan Jalan Mayjen HR Muhamad (tanpa disebut Mangunprodjo di belakangnya, seperti jalan raya Buduran ke arah Sidoarjo yang mencantumkan HR Muhamad Mangunprodjo).

Satu lagi tokoh pejuang Surabaya yang mendapat penghormatan namanya diabadikan sebagai nama jalan di Surabaya, Mayjen Prof Dr Moestopo. Namanya dabadikan mengganti nama Jalan Raya Dharmahusada yang melintas dari viaduk Gubeng terus ke tengah komplek gedung Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga dengan komplek Rumah sakit Umum Daerah (RSUD) Dr.Sutomo Surabaya.

Tokoh pejuang Surabaya lainnya, belum terpikirkan. Termasuk tokoh yang cukup “kondang” yakni Cak Ruslan atau Roeslan Abdulgani. Saat berpulang ke Rakhmatullah di Jakarta, 29 Juni 2005 dan dimakamkan di TMP Kalibata Jakarta, nama, pangkat dan gelarnya disebut pada upacara resmi itu adalah: Jenderal (Hor) Prof.Dr.H.Roeslan Abdulgani. Hor di dalam kurung singkatan dari kehormatan. Berkat jasa-jasanya selama masa perjuangan kemerdekaan dan perannya sepanjang pemerintahan Orde Lama, Orde Baru sampai era reformasi, maka Cak Ruslan memperoleh anugerah pangkat kehormatan militer “jenderal”. Sejarah pernah mencatat, tahun 1945 saat menjadi jururunding dengan tentara Sekutu (Inggris), Cak Ruslan pernah mendapat pangkat kehormatan (tituler) “kapten”, karena yang mewakili pihak Sekutu waktu itu berpangkat kapten.

Miskin Nama Pahlawan

Perhatian petinggi Kota Surabaya, masih sangat rendah untuk mengabadikan nama-nama pahlawan di Kota Pahlawan ini. Selama zaman Orde Baru, yakni sejak walikotanya, Soekotjo sampai Sunarto Sumoprawiro (Cak Narto), bahkan hingga Bambang DH sekarang ini sedikit sekali penambahan nama jalan baru di Surabaya yang bernuansa kepahlawanan.

Sebagai contoh dapat dilihat tentang pengabadian nama pahlawan, yakni satu sebagai pengganti nama jalan raya Wonocolo menjadi Jalan Jenderal Ahmad Yani. Untuk nama Pahlawan Revolusi, Surabaya memang hanya mengabadikan satu nama ini. Tujuh nama Pahlawan revolusi lainnya berada di sekitar Waru, Sidoarjo.

Nama Pahlawan Ampera, juga hanya satu di Kota Surabaya, yakni Jalan Arief Rachman Hakim sebagai pengganti nama Jalan Raya Keputih. Nama ini atas usul dan desakan pengurus DPD Laskar Ampera Arief Rachman Hakim Angkatan 66 Jawa Timur. Pemilihan lokasi ini, karena di sekitar Keputih ini berdiri kampus-kampus perguruan tinggi. Dengan begitu, kawasan ini sangat cocok diberi nama jalan para pejuang kampus seperti Angkatan 66.

Walaupun demikian, ternyata Surabaya masih ketinggalan dibanding dengan kota Malang yang sudah mengabadikan seluruh nama Pahlawan revolusi dan beberapa nama Pahlawan Ampera. Selain Arief Rahman Hakim juga ada nama Ichwan Ridwan Rais, Aris Margono dan Yulius Usman.

Penambahan nama lain adalah, nama Pahlawan Nasional mantan Gubernur Jatim RT Suryo, disebut Jalan Gubernur Suryo. Jalan ini hanya potongan Jalan Pemuda mulai dari Simpang Lonceng sampai depan Balai Pemuda, yakni dari nomor 1 (Hotel Simpang) sampai nomor 15 (Balai Pemuda) dan nomor genap 2 sampai 42. Potongan Jalan Pemuda dari Hotel Garden sampai Monumen Kapal Selam (Monkasel) tetap sebagai Jalan Pemuda. Dengan pemotongan ini, kita tidak akan menemukan lagi Jalan Pemuda bernomor kecil di bawah 15 untuk nomor ganjil. Demikian pula dengan Jalan Pemuda, awalnya nomor 21 sampai Monkasel dan nomor genap 44 sampai pertigaan Jalan Pemuda dengan Jalan Kayun.

Nama Pahlawan Nasional lainnya, hanya ada dua, yakni Jalan Sisingamangaraja untuk mengganti nama Jalan Jakarta dan Jalan Iskandar Muda mengganti Jalan Dana Karya. Selain tiga nama jalan Mayjen Sungkono, Mayjen HR Muhamad dan Mayjen Prof.Dr.Mustopo yang belum diangkat sebagai Pahlawan Nasional, tetapi ke tiga tokoh ini sejajar dengan Bung Tomo, pernah ada nama jalan yang berhubungan dengan kepahlawanan.

Jalan Patua diubah menjadi Jalan Tentara Geni Pelajar (TGP), karena gedung SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) Negeri 2 – dulu bernama STM Negeri 1 – pada masa perjuangan tahun 1945 dijadikan markas TGP. Ujung Jaln Jimerto ke arah Kanginan diubah namanya menjadi Jalan BKR Pelajar (Badan Keamanan Rakyat) Pelajar, karena dulu gedung SMA Komplek Jalan Wijayakusuma ini adalah markas BKR Pelajar. Ruas Jalan Dr.Sutomo dari pertigaan Jalan Dinoyo sampai perempatan Jalan Raya Darmo diubah namanya menjadi Jalan Polisi Istimewa, karena dulu di masa perjuangan kemerdekaan di sini terdapat markas Polisi Istimewa. Satu lagi nama jalan yang bukan nama orang, tetapi mirip nama orang adalah: Jalan Mas TRIP. Jalan ini sebagai pengganti Jalan Raya Kedurus.

Pemerintah secara resmi hingga tahun 2006 baru menetapkan sebanyak 118 pejuang dan orang yang berjasa kepada bangsa Indonesia sebagai Pahlawan Nasional. Tidak seluruh pejuang dan orang yang dinilai berjasa dapat dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional. Banyak pertimbangan yang dilakukan, sampai alkhirnya diputuskan dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indoneia yang dikenal dengan Keppres.

Walaupun Surabaya dijuluki Kota Pahlawan, sampai peringatan Hari Pahlawan 10 November 2005, ternyata baru satu orang pejuang yang terlibat langsung dalam peristiwa sekitar 10 November 1945 yang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Dia itu adalah mantan Gubernur Jawa Timur, RT Soeryo atau Gubernur Suryo yang ditetapkan dengan Keppres No.294 tahun 1964 tanggal 17 November 1964.

Nama-nama pejuang lain, seperti Soengkono, Muhammad, Moestopo, Yasin, Kundan dan lain-lain, belum masuk katagori Pahlawan Nasional. Mereka itu masih berstatus pahlawan lokal. Bahkan, Roeslan Abdulgani yang meninggal dunia 28 Juni 2005 lalu dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta, juga belum ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

Sebagai Kota Pahlawan, seharusnya Kota Surabaya mengabadikan seluruh nama-nama pahlawan itu, terutama pahlawan nasional yang 112 orang itu. Sekarang ini nama Pahlawan Nasional yang sudah diabadikan sebagai nama jalan di Surabaya baru 39 nama. Sangat memprihartinkan dan ironis, Kota Pahlawan ini masih “miskin” dalam mengabadikan nama pahlawan. Selain baru 39 nama pahlawan nasional itu Surabaya juga baru mengabadikan 12 pahlawan “lokal” atau berjasa terhadap perjuangan di Kota Surabaya dan Timur.

Nama-nama pahlawan nasional yang diabadikan di Surabaya, banyak terdapat di sekitar kawasan Darmo. Pengabadian nama-nama pahlawan nasional di kawasan ini sebagai pengganti nama jalan yang di zaman Belanda adalah nama-nama pahlawan dan keluarga kerajaan Belanda.

Nama-nama jalan itu antara lain: Dr.Sutomo, Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Umar, Pattimura, Dr.Wahidin, Dr.Cipto (Mangunkusumo), HOS Cokroaminoto, Sam Ratulangi, Walter Robert Mongonsidi, Kartini, WR Supratman, MH Tamrin, Untung Surapati, Urip Sumoharjo. Selain itu nama-nama budayawan terletak di sekitar Masjid Rahmat. Di sana ada nama jalan Prapanca, Mpu Kanwa, Chairil Anwar, Amir Hamzah, Hamzah Fansyuri, Ronggolawe dan lain-lain. Satu nama pahlawan terpisah dari yang lainnya, yakni Jalan Raden Saleh yang menghubungkan Jalan Bubutan dengan jalan Semarang dekat Stasiun Pasar Turi.

Selera Pengusaha

Ada kejanggalan yang sangat menonjol di Kota Surabaya ini. Kalau pihak Pemkot begitu “pelit” mengabadikan sebuah nama untuk nama jalan, apalagi mengabadikan nama pahlawan nasional, tidak demikian dengan pengusaha realestat. Para pengusaha begitu mudah memberi nama jalan sesuai dengan seleranya.

Untuk tidak repot, misalnya saat kawasan timur Surabaya dibangun oleh pengembang PT.Wahyu Basuki dan PT.Sinar Galaxy, nama-nama jalan di sana dikaitkan dengan nama asal wilayah itu. Kawasan Dharmahusada menjadi Dharmahusada Indah, wilayah Manyar menjadi Manyar Kertoarjo, Manyar Kertoadi, lalu ada Manyar Tompotika. Perluasan kawasan ke timur oleh PT.Sinar Galaxy, mengambil nama Kertajaya Indah, walaupun letaknya terhalang oleh Manyar Kertoarjo yang dibangun PT.Wahyu Basuki.

Hal yang sama juga terjadi di wilayah yang dibangun oleh YKP (Yayasan Kas dan Pembangunan) Kota Surabaya dan perusahaan realestat lain, seperti di kawasan Rungkut, dibangun PT.Tulus Harapan bernama Rungkut Harapan. Yang dibangun PT.Barata diberi nama Rungkut Barata dan yang dibangun PT.Mapan Sentosa menjadi Rungkut Mapan.

Begitu pula di pantai timur, seperti Laguna Indah dan Pantai Mentari. Sedangkan di kawasan Barat yang dibangun oleh Perum Perumnas, PT.Darmo Permai, PT.Bintang Diponggo, PT.Darmo Satelit Town (DST), PT.Darmo Indah, PT.Chris Kencana, PT.Pakuwon Jati, PT.Ciputra dan lain-lainnya. Nama-nama jalan di kawasan itupun tergantung selera pengusahanya. Yang berada di kawasan PT.Darmo Permai, nama jalannya seperti: Jalan Darmo Permai Timur, Darmo Permai Utara, Darmo Permai Selatan, Simpang Darmo Permai dan sebagainya. Begitu pula yang berada di kawasan PT.DST, semua pakat DST. Di kawasan Bintang Diponggo, Darmo Indah dan yang lain juga begitu. Sedangkan di kawasan Chris Kencana, nama jalannya pakai Kencana, misalnya Kencanasari.

Ternyata, apapun nama jalan yang ditetapkan oleh pengusaha realestat, Pemerintah Kota Surabaya “tidak berdaya” untuk menentukan lain. Sistem penomoran di kawasan perumahan itupun masih kacau, awalnya masih berdasarkan nomor blok dan nomor urut pembangunan. Kemudian bertahap dilakukan perubahan atas kesepakatan pengembang dengan penghuni.

Yang agak tragis adalah kewenangan Pemkot untuk memperbaiki jalan rusak dan PJU (Penerangan Jalan Umum) di kawasan realestat tidak gampang. Pemkot tidak mempunyai kewenangan mengelola jalan itu sebelum ada penyerahan dari pengembang.

Suatu hal yang “sangat menyakitkan dan menyinggung rasa kebangsaan” adalah, berdiri megahnya patung Rafles di kawasan perumahan mewah Bumi Citra Raya atau Citra Land. Patung pendiri Kota Singapura itu juga menjadi lambang kawasan “Singapura Mini” di Surabaya Barat itu.

Nama Sukarno-Hatta

Boleh disebut lebih ironis lagi, adalah tidak ada upaya dari Pemkot Surabaya untuk mengabadikan nama besar Pahlawan Nasional, Proklamator Sukarno-Hatta di Kota Pahlawan ini. Saat penulis, menyampaikan usul kepada Walikota Surabaya, H.Poernomo Kasidi tahun 1986 agar nama Proklamator Sukarno-Hatta diabadikan di Surabaya, sikap penulis itu dianggap terlalu “berani”.

Pak Pur – begitu walikota yang bertitel dokter itu dipanggil – sembari berbisik mengatakan, jangan dulu. Alasannya, menyebut nama Bung Karno di era Orde baru itu cukup sensitif. Namun, pada tahun 1986 itu Presiden Soeharto, justru mengeluarkan penetapan tentang Dr.Ir.H.Sukarno dan Dr.Mohammad Hatta sebagai Pahlawan Nasional dengan Kepres 081/TK/Tahun 1986 tertanggal 23 Oktober 1986.

Sambutan beberapa pejabat pemerintahan di Indonesia cukup positif. Bandara Cengkareng yang merupakan pengalihan dari Bandara Kemayoran diberi nama Bandara Internasional Sukarno-Hatta. Di Ujungpandang yang kembali bernama Makassar, pelabuhan lautnya diberi nama Sukarno-Hatta. Di Bandung, jalan lingkar selatan yang baru dibangun diberi nama Jalan Sukarno-Hatta.

Beberapa kota di Indonesia sertamerrta mengabadikan nama Proklamator Kemerdekaan RI itu sebagai nama jalan maupun nama taman, serta gedung bersejarah lainnya. Tidak ketinggalan pula di Jawa Timur, seperti Kota Malang, mengabadikan nama Sukarno-Hatta untuk jalan baru yang menghubungkan daerah Blimbing ke Dinoyo. Bahkan, di Kota Pasuruan dan di Bangkalan di Madura nama Jalan Sukarno-Hatta diabadikan di poros utama kota itu.

Kembali penulis menyampaikan surat resmi kepada Pemkot Surabaya, langsung ke tangan Pak Pur, agar nama Proklamator Sukarno-Hatta diabadikan di Surabaya dengan alternatif pertama mengganti nama Jalan Perak Timur dan Perak Barat sebagai Jalan Sukarno-Hatta. Alasan penulis waktu itu, karena jalan kembar itu menuju gerbang laut Surabaya, yakni Pelabuhan Tanjung Perak.

Ingat, Sukarno-Hatta sebagai Proklamator Kemerdekaan RI adalah Dwitunggal yang mengantar Bangsa Indonesia ke gerbang masa depan yang bebas dari penjajajah. Nah, Surabaya memang hanya punya satu gerbang masuk kota, yakni Tanjung Perak. Gerbang masuk dari udara dan darat Kota Surabaya, ada di Kabupaten Sidoarjo, yakni Bandara Juanda dan sekarang juga terminal Purabaya di Bungurasih, Waru.

Setelah usul itu tenggelam begitu saja di kantong walikota Poernomo Kasidi, penulis berupaya menanyakan dan mendesak. Ternyata, penulis dibentak. Tidak puas dengan sikap sang walikota, penulis membuat artikel di Harian “Surabaya Post” pada tanggal 9 November 1989 dalam rangkaian peringatan Hari Pahlawan.

Penulis berusaha memberi gambaran, bahwa pintu gerbang kota Surabaya ini “hanya satu” yakni dari laut di Tanjung Perak. Sedangkan gerbang kota melalui darat ada di Bungurasih, Waru, Sidoarjo dan gerbang udara ada di Bandara Juanda, Sidoarjo. Untuk itulah, karena Sukarno-Hatta sebagai proklamator yang mengantarkan bangsa Indonesia ke gerbang kemerdekaan, maka penulis mengusulkan nama Jalan Tanjung Perak Barat dan Jalan Tanjnga Perak Timur diubah menjadi Jalan Sukarno-Hatta

Setelah tulisan itu turun di koran terbesar di Surabaya waktu itu, penulis dipanggil beberapa pejabat Pemda Kodya Surabaya (waktu itu). Ada yang mendukung dan ada yang menolak dengan alasan perlu ada Perda (Peraturan Daerah). Waktu itu, beberapa anggota DPRD Surabaya yang setuju, tetapi ada yang tidak. Alasannya, macam-macam. Di antaranya berdalih belum ada tempat yang pas untuk mengabadikan nama Sukarno-Hatta di Surabaya.

Ketika ada rencana pembangunan jalan lintas timur bagian tengah yang disebut MERR (Midel East Ring Road), ada yang menginginkan nantinya apabila proyek MERR itu jadi, maka nama jalan itu adalah Jalan Sukarno-Hatta. Ternyata sampai sekarang, MERR yang semula terbengkalai alias mangkrak, tahun 2005 lalu sebagian sudah selesai, termasuk jembatan yang melintas di atas Kali Jagir Wonokroromo.

Kabarnya, kalangan veteran pejuang kemerdekaan dan Angkatan 45 juga pernah mengusulkan jalan raya dari ITS sampai ke viaduk Jalan Sulawesi, yakni Jalan Kertajaya Indah, Manyar Kertoarjo sampai Jalan Kertajaya diganti menjadi Jalan Sukarno-Hatta. Itu juga tidak mendapat tanggapan dari eksekutif dan legislatif.

Pro-Kontra

Keinginan penulis agar nama Sukarno-Hatta diabadikan di Kota Pahlawan ini kembali menggebu-gebu. Setelah di Harian “Surabaya Post”, beberapa tulisan tentang perlunya Surabaya mengabadikan nama Sukarno-Hatta di Surabaya penulis turunkan di Majalah Gapura (majalah resmi Pemkot Surabaya), tabloid Teduh, SKM Palapa Post, tabloid Metropolis dan Majalah DOR.

Bahkan saat penulis mempunyai kesempatan yang “sangat baik” dengan Walikota Surabaya H.Sunarto Sumoprawiro, kumpulan tulisan dan artikel ini penulis serahkan kepada Cak Narto – panggilan sang walikota.

Luar biasa, Cak Narto menyambut baik ide untuk pengabadian nama proklamator ini. Saking bersemangatnya, Cak Narto sertamerta menginginkan nama jalan yang layak untuk sang Proklamator adalah mengganti nama Jalan Raya Darmo. Cak Narto waktu itu mengabaikan usul penulis agar nama Sukarno-Hatta diabadikan dengan alternatif pertama mengganti nama Jalan Tanjung Perak Timur-Barat dan alternatif kedua sebagai pengganti Jalan Prapen Jemursari (mulai dari perempatan di Jembatan Bratang sampai ke Jalan A.Yani di bundaran Dolog.

Akibat keinginan Cak Narto mengganti nama Jalan Raya Darmo menjadi Jalan Sukarno-Hatta, timbul pro-kontra yang luar biasa di mediamassa. Padahal keinginan Cak Narto mendapat dukungan dari tokoh Surabaya, Prof.Dr.H.Roeslan Abdulgani atau Cak Roeslan. Namun upaya penulis agar nama Sukarno-Hatta diabadikan di Surabaya kembali terganjal, bersamaan dengan “kasus walikota Surabaya”, sampai akhirnya Cak Narto sakit dan meninggal dunia di Australia tahun 2002. Begitu juga, Cak Roeslan juga sudah wafat, 28 Juni 2005 lalu di Jakarta.

Bagaimanapun juga, Walikota Surabaya yang sekarang, Drs.Bambang Dwi Hartono,MPd, tentu mempunyai carapandang yang berbeda. Mungkin, waktu yang paling tepat untuk mengabadikan nama Sukarno-Hatta di Surabaya, saat Presiden RI masih dijabat oleh Megawati Sukarnoputri dan diresmikan sendiri oleh anak kandung Bung Karno waktu itu.

Penulis mengharapkan, sebagai seorang nasionalis, Bambang DH yang waktu itu juga Ketua DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Kota Surabaya, tentu sangat tepat kalau momen peringatan Hari Jadi Surabaya, 31 Mei 2003 atau peringatan Hari Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 2003 atau peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2003 ditandai dengan pengabadian nama Sukarno-Hatta di Kota Pahlawan Surabaya. Namun, waktu yang baik itu berlalu begitu saja. Kelihatan Bambang DH pun tidak nyali dan kemauan politik sama sekali untuk mengabadikan nama sang Proklamator Soekarno-Hatta.