Pasir Karam pun
Jadi Meulaboh.
Oleh: HM Yousri Nur Raja Agam
SERING kali, ketika saya masih anak-anak, di tahun 1960-an nenek saya bercerita tentang peristiwa perang Paderi dan perang Aceh. Perang Paderi yang dalam sejarah pemimpinnya disebut Tuanku Imam Bonjol dengan para panglima perang lainnya yang disebut Harimau nan Salapan (Harimau yang delapan). Perang paderi itu, dalam buku sejarah disebutkan terjadi tahun 1825 hingga 1837.
Sedangkan perang Aceh dipimpin oleh Teuku Umar bersama Cut Nyak Dien, Cik Di Tiro dan lain-lain, terjadi tahun 1884 sampai 1904.
Begitu asyiknya mendengar cerita yang berulang-ulang itu, membuat saya di masa kecil menjadi penasaran. Saya akhirnya menyenangi cerita-cerita perang.
Secara kebetulan pula, di tahun 1958 hingga tahun 1961, daerah kami di Bukittinggi, Kabupaten Agam, Sumetera Barat memang sedang dilanda peperangan. Perang saudara antara rakyat Sumatera Barat yang mendirikan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) melawan Pemerintah Pusat. Perang itu, mulai mereda di tahun 1960-an.
Waktu itu usia saya masih sekitar 10 hingga 15 tahunan. Nenek saya, Siti Arab yang saat itu berusia sekitar 80 tahun, lancar bercerita tentang perang Paderi. Bahkan berlanjut pula dengan cerita tentang Perang Aceh yang dipimpin oleh Teuku Umar bersama Cut Nyak Dien. Cerita nenek saya ini bukan pengalamannya secara langsung, tetapi juga cerita dari ibunya, moyang atau buyut kami, bernama Siti Arafah.
Nenek moyang kami Siti Arafah itulah yang tahu banyak tentang cerita perang Paderi dan perang Aceh. Sebab beliau mengalami peristiwa pengungsian saat perang Paderi, maupun perang Aceh. Nenek saya kakak-beradik, Siti Arab dan Siti Syariah bagaikan pita rekaman (tape recorder) yang diputar ulang, berceritakan tentang kisah perjalanan Siti Arafah dari Luhak Agam di Minangkabau bersama rombongan ke Pasir Karam di Aceh Barat.
Nenek moyang kami itu, terpaksa mengungsi, menghindari pertumpahan darah dengan saudara sendiri sesama orang Minang dan sama-sama beragama Islam. Waktu itu, kaum Paderi membawa ajaran pembaruan Islam beraliran Wahabi dari Arab. Tiga orang ulama pulang dari mengikuti pendidikan si Arab. Mereka adalah Haji Piobang, Haji Miskin dan Haji Sumanik. Ajaran pembaruan Islam yang dibawa tiga orang haji ini, membuat gundah masyarakat Minangkabau yang waktu itu sudah menganut ajaran Islam, yang disebut beraliran Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Mungkin seperti terlihat sekarang ini, antara Muhammadiyah (yang menganut ajaran Wahabi) dengan NU (Nahdlatul Ulama) yang menyatakan diri sebagai Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dan ada pula yang menyebut seperti ajaran Syi’ah.
Pokoknya, kira-kira demikian, ujar nenek Siti Arab (yang kami panggil amai gaek) dan adiknya Siti Syariah (yang akrab kami panggil amai Iyah).
Nah, inti cerita adalah tentang makin kuatnya garakan Paderi melakukan penyerangan terhadap kaum adat yang menguasai Kerajaan Minangkabau di istana Pagaruyung. Dampaknya berpengaruh kepada para penghulu pemangku adat, yakni para datuk yang menjadi kepala suku di luhak nan tigo. Luhak Agam, Luhak Tanah Datar dan Luhak Limapuluh Koto. (Luhak-luhak tersebut sekarang disebut kabupaten).
Salah seorang datuk yang merupakan kaum bangsawan dari keluarga Kerajaan Minangkabau itu, adalah Datuk Rajo Agam, penghulu suku Sikumbang di Luhak Agam. Bersama Datuk Rajo Alam dari Luhak Tanah Datar dan Datuk Makhudum Sati dari Luhak Limopuluh Koto, mereka bersepakat menghindari pertumpahan darah, mengungsi ke arah Utara. Dengan menaiki beberapa perahu di pelabuhan Tanjung Mutiara rombongan berlayar ke arah Utara. Dan berlabuh di suatu negeri pantai yang waktu itu bernama Pasir Karam.
Nenek saya mengatakan, kita punya banyak saudara dan keluarga di Aceh. Terutama di Meulaboh dan Tapak Tuan. Di kedua negeri yang berada di Aceh Barat itu banyak orang Minang, termasuk keturunan dari kakek moyangmu Datuk Raja Agam yang sudah turun temurun di sana. Dan, nama Meulaboh itu berasal dari kata melabuh atau berlabuh.
Sewaktu saya kuliah di Bandung, saya punya sahabat bernama Zulkifli M.Din Malik yang berasal dari Meulaboh. Kami sama-sama kuliah di Akademi Tekstil dan tinggal bersama pula di rumah kontrakan di Jalan Tamansari Bandung. Zulkifli mengatakan, ia merasakan berkumpul dengan saudara sendiri, sebab dalam kisah keluarganya, disebutkan nenek moyangnya berasal dari Minangkabau.
Ternyata belum lama ini, kisah yang diceritakan nenek saya itu saya temukan di salah satu situs di internet. Ceritanya, sangat mirip dengan kisah dalam buku Tarikh Aceh dan Nusantara, karangan HM Zainuddin mengungkap tentang asal usul Kota Meulaboh.
Nyak Kaoey, menurunkan tulisan tentang riwayat negeri Meulaboh. Secara utuh, tulisan itu saya sajikan seperti di bawah ini.
Riwayat Negeri Meulaboh
Meulaboh dulu dikenal sebagai Negeri Pasir Karam. Kedatangan orang Minangkabau yang lari dari negerinya membuat perkebunan di daerah itu maju. Ungkapan “Disikolah kito berlaboh” disebut-sebut sebagai asal mula nama Meulaboh.
Menurut H M Zainuddin dalam buku Tarikh Aceh dan Nusantara (1961) asal mula Meulaboh adalah Negeri Pasir Karam. Negeri itu dibangun dibangun pada masa Sultan Saidil Mukamil (1588-1604). Pada masa Kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636) negeri itu ditambah pembangunannya.
Di negeri itu dibuka perkebunan merica, tapi negeri ini tidak begitu ramai karena belum dapat menandingi Negeri Singkil yang banyak disinggahi kapal dagang untuk mengambil muatan kemenyan dan kapur barus. Kemudian pada masa pemerintahan Sultan Djamalul Alam, Negeri Pasir Karam kembali ditambah pembangunannya dengan pembukaan kebun lada.
Untuk mengolah kebun-kebun itu didatangkan orang-orang dari Pidie dan Aceh Besar disusul kemudian dengan kedatangan orang-orang Minangkabau yang lari dari negerinya akibat pecahnya perang Padri (1805-1836). Sampai di Teluk Pasir Karam pendatang dari Minangkabau itu sepakat untuk berlabuh “Disikolah kito berlaboh,” kata mereka. Semenjak itulah Negeri Pasir Karam dikenal dengan nama Meulaboh dari asal kata berlaboh.
Pendatang dari Minangkabau itu kemudian hidup berbaur dengan masyarakat setempat. Diantara mereka malah ada yang menjadi pemimpin diantaranya: Datuk Machadum Sakti dari Rawa, Datuk Raja Agam dari Luhak Agam. Datuk Raja Alam Song Song Buluh dari Sumpu.
Mereka menebas hutan mendirikan pemukiman yang menjadi tiga daerah, Datuk Machdum Sakti membuka negeri di Merbau, Datuk Raja Agam di Ranto Panyang dan Datuk Raja Alam Song Song Buluh di Ujong Kala yang menikah dengan anak salah seorang yang berpengaruh di sana.
Sama dengan masyarakat setempat, ketiga Dtuk tersebut juga memerintahkan warganya untuk membuka lading, sehingga kehidupan mereka jadi makmur. Ketiga Datuk itu pun kemudian sepakat untuk menghadap raja Aceh, Sultan Mahmud Syah yan dikenal dengan sebutan Sultan Buyung (1830-1839) untuk memperkenalkan diri.
Ketika menghadap Sultan masing-masing Datuk membawakan satu botol mas urai sebagai buah tangan. Mereka meminta kepada raja Aceh agar memberikan batas-batas negeri mereka. Permintaan itu dikabulkan, Raja Alam Song Song Buluh kemudian diangkat menjadi Uleebalang Meulaboh dengan ketentuan wajib mengantar upeti tiap tahun kepada bendahara kerajaan.
Para Datuk itu pun setiap tahun mengantar upeti untuk Sultan Aceh, tapi lama kelamaan mereka merasa keberatan untuk menyetor langsung ke kerajaan, karena itu mereka meminta kepada Sultan Aceh yang baru Sultan Ali Iskandar Syah (1829-1841) untuk menempatkan satu wakil sultan di Meulaboh sebagai penerima upeti. Permintaan ketiga Datuk itu dikabulkan oleh Sulthan, dikirimlah ke sama Teuku Tjiek Purba Lela. Wazir Sultan Aceh untuk pemerintahan dan menerima upeti-upeti dari Uleebalang Meulaboh.
Para Datuk itu merasa sangat senang dengan kedatangan utusan Sultan yang ditempatkan sebagai wakilnya di Meulaboh itu. Mereka pun kemudian kembali meminta pada Sultan Aceh untuk mengirim satu wakil sultan yang khusus mengurus masalah perkara adat dan pelanggaran dalam negeri. Permintaan itu juga dikabulkan, Sultan Aceh mengirim kesana Penghulu Sidik Lila Digahara yang menyidik segala hal yang berkaitan dengan pelanggaran undang-undang negeri.
Permintaan itu terus berlanjut. Kepada Sultan Aceh para Datuk itu meminta agar dikirimkan seorang ulama untuk mengatur persoalan nikah, pasahah dan hokum Syariat. Maka dikirimlah ke sana oleh Sultan Aceh Teungku Tjut Din, seorang ulama yang bergelar Almuktasimu-binlah untuk menjadi kadhi Sultan Aceh di Meulaboh.
Meulaboh bertambah maju ketika Kerajaan Aceh dipimpin Sultan Ibrahim Mansjur Sjah (1841-1870) karena semakin banyaknya orang-orang dari Minangkabau yang pindah ke sana, karena Minangkabau saat itu sudah dikuasai Belanda. Di sana mereka tidak lagi bebas berkebun setelah Belanda menerapkan peraturan oktrooi dan cultuurstelsel yang mewajibkan warga menjual hasil kebunnya kepada Belanda.
Di Meulaboh para pendatang dari Minangkabau itu membuka perkebunan lada yang kemudian membuat daerah itu disinggahi kapal-kapak Inggris untuk membeli rempah-rempah. Karena semakin maju maka dibentuklah federasi Uleebalang yang megatur tata pemerintahan negeri. Federasi itu kemudian dinamai Kaway XVI yang diketuai oleh Uleebalang Keudruen Tjiek Ujong Kala.
Disebut Kaway XVI karena fedrasi itu dibentuk oleh enam belas Uleebalang, yaitu Uleebalang Tanjong, Ujong Kala, Seunagan, Teuripa, Woyla, Peureumbeu, Gunoeng Meuh, Kuala Meureuboe, Ranto Panyang, Reudeub, Lango Tangkadeuen, Keuntjo, Gume/Mugo, Tadu, serta Seuneu’am.
Selain federasi Kaway XVI, di perbatasan Aceh Barat dan Pidie juga terbentuk federasi XII yang terdiri dari 12 Uleebalang yaitu: Pameu, Ara, Lang Jeue, Reungeuet, Geupho, Reuhat, Tungkup/Dulok, Tanoh Mirah/Tutut, Geumpang, Tangse, Beunga, serta Keumala. Federasi XII ini dipalai oleh seorang Kejruen yang berkedudukan di Geumpang.***
Filed under: AGAMA, MINANG, POLITIK, SEJARAH, UMUM, WANITA | Tagged: Aceh, Meulaboh, Minangkabau, Paderi, Raja Agam |
TAQOBALLAHU MINNA WAMINKUM. DI HARI YANG FITRI INI MARI KITA JAGA KESUCIAN HATI MENUJU KEMENANGAN SEJATI. http://fikri-akbar.co.cc
Sama-sama. Minal aidin wal faizin. Salam untuk keluarga. (yousri)
Assallamualaikum HM Yousri Nur Raja Agam,
Alhamdulillah, salam kenal dari ambo.
cerita tentang Datuk Rajo Agam ini sangat menarik sekali, karena ambo saat ini sedang mengumpulkan bukti sejarah Suku Sikumbang, ya betul sekali Datuk Rajo Agam bersuku Sikumbang. karena di Agam Tuo yang berasal dari kata Ampek Angkek yaitu berangkat empat empat rombongan yang membentuk nagari asal Agam Tuo yaitu : nagari Lambah, Nagari Panampuang, Nagari Balai Gurah dan Nagari Biaro di Ampek Angkek. Sedangkan Datuak Rajo Agam ado di nagari Lambah dan Nagari Panampuang.
sakitu dulu,
wassallam,
Ir. Arif Zulkifli Datuak Rajo Alam
dibaliakpapan
08172358638
arifzra.multiply.com
arif_zra@yahoo.com
Datuak Arifz –>di Rantau Net
assalamualaikum,
Ambo Evendri, dari Meulaboh Pasi Karam. Sabananyo ambo katurunan Minangkabau asli suku Pisang nagari Campago Mandiangin Koto Salayan Bukittinggi, artinyo urangtuo ambo: nan padusi dari bukittinggi, dan nan laki2 dari lubuak lintah padang. Baliau baduo nantun marantau ka Meulaboh, dan ambo lahia disinan. Kiniko ambo kuliah di Padang. Tarimokasih ateh penjelasan Bapak tantang asal muasal daerah kami, walaupun ambo sendiri alah tau tetapi hanyo sabateh carito urang2 tuo saisuak tantang Datuak Machudum Sati sajo seorang perantau Minang yang terkenal dengan kekebalan jasmaninyo dan manjadi Uleebalang di Lam Pisang Banda Aceh yang adolah niniak dari Teuku Umar Johan Pahlawan dan Cut Nyak Dhien. Sakali lai ambo ucapkan tarimokasih.
Catatan:
Alhamdulillah Evendri, tarimo kasih atas komentarnya. Mudah-mudahan melalui blog ini kita dapat berkomunikasi lebih banyak lagi. Saya akan selalu menunggu tambahan informasi untuk memerluas cakrawala pandang kita yang saling berjauahan ini.
Oh ya, kepada para pembaca yang banyak menghubungi saya untuk menerjemahkan komentar kawan-kawan yang menggunakan bahasa Minang, saya akan melaksanakannya. InsyaAllah yang punya komentar juga tidak keberatan.
Di atas, dikomentari bahwa cerita tentang Raja Agam itu juga diketahui secara “tutur tinular” (kabar lisan yang berkesinambungan) di Aceh. Saudara saya Evendri, menyatakan dia adalah orang Aceh yang diyakini berasal dari Minangkabau. Sekarang saudara kita itu berada di Kota Padang. (yousri)
Ada satu cerita menarik tentang Datuk Machudum sati ini, ia merantau ke kota Meulaboh saat ini, yang dulu bernama Pasi Karam tetapi karena daerah pantai Aceh Barat itu dulunya adalah daerah rawa-rawa, makanyaDatuk Machudum Sati itu terkenal sebagai Datuk dari rawa, maksudnya yang memerintah daerah rawa-rawa Meulaboh. Ia dan rombongannya setelah sampai berniat membuka sawah(manaruko) tetapi tanah rawa berpasir di Meulaboh tidak cocok untuk persawahan, maka ia memutuskan meneruskan perjalanannya menyusuri Krueng(sungai) Woyla hingga ke hulu dan menetap di Woyla(pedalaman Aceh Barat) tanah di sana sangat cocok untuk persawahan. Alkisah, ketika rombongan mereka baru sampai di Woyla terjadi pertentangan antara orang Aceh dengan suku Mante yang belum beragama. Maka Datuak Machudum Sati dan rombongan segera membantu orang Aceh, karena merasa sama2 beragama Islam, mereka bersama2 berhasil mengusir suku Mante yang masih primitif itu kepedalaman. Atas kesepakatan mereka bersama, mereka membagi tanah antara orang Aceh dan para perantau Minangkabau ini. Lama kelamaan daerahnya semakin maju,Datuk Machudum Sati menanam lada untuk diperdagangkan di sana dan tata pemerintahan di bentuk beserta lembaga adatnya. Kemajuan ini sampai juga ke telinga Raja Aceh di ibukota Darod-donya(Banda Aceh) yang memerintah saat itu adalah Poteu Jeumaloe/ Sultan Jamalul Badrul Munir. Ia segera memerintahkan orangnya untuk memungut pajak/upeti kedaerah Machudum Sati itu karen wilayah itu masih dalam wilayah Aceh juga. Mulanya Machudum Sati menyanggupi sebagai tanda hormat dan patuh rakyat Rawa terhadap Sultannya, tetapi upeti yang dikirim Machudum Sati aneh sekali sepertinya makna dari sebuah ‘pembangkangan’, yaitu ia memerintahkan rakyatnya mengumpulkan pakaian2 bekas dan besi2 tua kemudian dimasukkan kedalam peti tempat upeti tadi, kemudian peti itu di bawa ke Kotaraja, di istana Sultan membuka isi peti tersebut dan alangkah terkejutnya beliau ketika dibuka isinya tidak lain hanya pakaian2 bekas dan besi2 tua. Beliau pun murka karena penghinaan ini di depan orang banyak, dan Machudum Sati harus menerima hukuman seberat berat-beratnya atas yang ia perbuat. Ia(Sultan) memerintahkan Panglima Sagoe-nya yang paling perkasa untuk menghadapi pembangkang itu, setelah Datuk Machudun Sati mengetahui perihal ini, maka ia segera mempersiapkan pasukannya pula untuk menghadapi serangan pasukan Aceh sekaligus mempertahankan adat lembaga dia.Maka serangan pun tiba dan pecahlah perang di “Rantau Duabelas” Aceh Barat, korban pun berjatuhan tidak terhingga jumlahnya dari kedua belah pihak. Akhirnya prajurit2 Aceh yang gagah perkasa itu memenangkan pertempuran, uniknya setelah seluruh pasukan Machudum Sati tewas tetapi ia sendiri kok tidak mati. Dengan penuh hati2 panglima Aceh dan pasukannya berusaha mendekati Machudum Sati, ditengah gelimpangan mayat2 ia terlentang dan berlumuran darah ia masih saja garang seperti seekor Harimau kelaparan terus saja bersilat,tikaman dan tebasan rencong tidak membuat dia mampus juga. Dengan rasa hormat bercampur ngeri dan dengan hati2 mereka membelenggu Machudum Sati untuk kemudian diputuskan dibawa ke Kotaraja.Dalam perjalanan ia dirantai dibelakang buritan kapal, ditenggelamkan kelaut dan diseret sampai ke Kotaraja. Sesampainya di pelabuhan teluk Aceh orang2 pun sudah lupa dengannya, dan teringat oleh mereka bahwa mereka punya seorang tawanan. Ketika diangkat kepermukaan tenyata ia belum mati jua, hanya saja badannya menggigil kedinginan dan dipenuhi oleh lumut laut. Dihadapan raja ia menerima hukuman, dengan terpaksa Sultan memerintahkan ia meminum tuangan besi2 tua yang ia kirim dulu ke raja, kalau dengan itu juga ia tidak mampus juga maka ia diampuni. Akhirnya dengan ‘bergidik’ orang2 menyaksikan pemandangan mengerikan Machudum Sati meminum tuangan besi cari panas membara itu. Sungguh menakjubkan mata ia tidak mati juga oleh racun itu,dan ia pun diampuni raja. Karena kesaktian dan kekebalan jasmaninya ia di angkat oleh Sultan menjadi penjaga taman. Salah satu keturunannya berjasa pada sultan berikutnya menyelamatkan Sultan dari kudeta ingin merebut kekuasaannya yang dilancarkan oleh salah seorang Panglima Sagoe, berkat jasa panglima keturunan orang Minagkabau ini Sultan selamat ancaman dari bahaya. Ia kemudian diangkat oleh Sultan menjadi Uleebalang didaerah VI Mukim, Aceh Besar dengan gelar “Teuku Nanta Ceuh”.
Viki Evendri
081363842709
evendri_vk@yahoo.com
Catatan:
Saudaraku Viki Evendri, tiada yang dapat saya ucapkan, kecuali rasa hormat dan terimakasih atas tambahan informasinya dalam komentar di sini. Maaf, saya juga masih banyak kekurangan, namun rasanya perlu untuk mengungkap yang sedikit itu. Tiada lain, semoga yang sedikit itu ada yang menambahi, sehingga melengkapi kekurangan yang ada.
Saya juga ucapkan terimakasih kepada para pembaca yang lain, yang menghubungi langsung saya melalui telepon, maupun e-mail: yous_agam@yahoo.com.
Saya pernah mendengar cerita dari ibu saya (orang Meulaboh) mengenai nenek-neneknya yang serupa dengan cerita Viki Evendri tentang Machudum Sati, namun sedikit berbeda.
Tutur yang saya dengar menambahkan bahwa beliau ini dirantai pada tujuh kapal dan diseret sampai ke Kutaraja. Badan beliau sebagiannya ditutupi lumut, tapi sebagian besar bersih. Konon, ikan alu-alu membantu beliau membersihkan badannya dari tutupan lumut, sehingga disumpahkan oleh beliau ini bahwa anak cucunya tujuh turunan tidak akan makan ikan alu-alu. Selanjutnya seperti yang dituturkan oleh Viki Evendri.
Sebagai tambahan, beliau ini bulu nya tumbuh terbalik (sungsang). Kalau orang kebanyakan arah tumbuh bulu ke bawah (ke bumi), beliau ini ke atas. Katanya beliau di panggil Panglima Ahmad (Mad) Songsong Buluh.
Orang yang sama? Wallaahu a’lam bish shawwab..
Rizqi
rxsiregar[at]gmail.com
Wa’alaikumsalam,
Terimakasih komentar bung Siregar. Saya sangat senang, kalau suatu kabar dari masa lalu banyak yang menambahkannya. Barangkali ini semua dapat memperluas cakrawala pandang kita.
Sekali lagi terimakasih. (yousri)
Memang, cerita itu selalu banyak versi. Itu tergantung sumbernya. Makin banyak informasi makin mantap pula datanya. Semoga perbendaharaan kita tambah banyak pula.
Aslkm,
Alhamdulillah, Sejarah Aceh Masih Tertulis dan Dapat Dibaca Oleh Orang-orang Aceh, Padang, dll…
Sangat Bermanfaat…..
Regard,
–Amien–
komtingsipil05@yahoo.com
Wa’alaikumsalam,
Terimakasih atas komentarnya.
Ya, ternyata sejarah Aceh dengan Minangkabau banyak yang sejalan. Terutama perjuangan tentang Islam. Bahkan yang menarik adalah pro-kontra posisi petinggi Islam dengan kaum adat di Minangkabau, terkait dengan Aceh, serta Mandailing. (yousri)
Terimakasih kembali kepada Bpk. HM Yousri. Ohya kalau boleh saya tau bapak sendiri aslinya dari daerah mana? karena langka sekali ada orang yang mau membahas Meulaboh dan asal usulnya ini. Perlu diketahui, saya sendiri tidak terlalu terikat dengan daerah Sumatera Barat, artinya saya bukan orang kelahiran Sumbar. Karena saya dan orang tua berdomisili di Meulaboh. Cuma saja saya kuliah di Padang. Maka dari itu saya jadi sangat tertarik dengan blog Bpk ini. Kalau dibilang orang Aceh saya bangga sekali, kalau juga di bilang oarng minang juga seperti itu. Tapi secara emosional keterikatan jiwa saya lebih berat ke Aceh. Karena itu tanah kelahiran saya, tempat mencari nafkah dsb. Dan hubungan saya dengan Aceh pun tak mungkin terpisahkan. Saya sangat mencintai Aceh Darussalam
Tarimokasi banyak adiak ambo V.Evendri,
Ambo asli dari Sikumbang, Padanglua, Banuhampu, Kabupaten (Luhak) Agam. Lahir di perantauan, di Bengkalis Riau, marantau ke Singapura dan Malaysia, serta Palembang waktu keucik. Sekolah di Bukittinggi dari SD, SM, STM Kimia Tekstil di Bukittinggi, terus kuliah di Bandung, sejak tahun 1975 merantau dan beranak-cucu di Surabaya. Walaupun awalnya karajo di pabrik tekstil, sesuai dengan disiplin ilmu yang didapat di Bandung, tetapi karena sejak mahasiswa aktif di pers mahasiswa, maka di Surabaya aktif sebagai wartawan dan juga jadi pengacara, karena ikut kuliah di Fakultas Hukum. Nah, Sekarang jadi Arek Suroboyo. Ibarat pepatah Minang “dima bumi dipijak di sinan langik dijunjuang”. Ambo di Surabaya aktif sebagai peneliti dan pemerhati sejarah. Temasuk menelusuri berbagai sejarah, termasuk Minang dan lain-lain. Bahkan tentang riwayat dan asal-usul Surabaya ambo kaji secara mendalam, seperti dikutip sebagian di Blog Raja Agam.
Wah, kalau dilanjutkan carinyo panjaaaaaang. Sekian dulu dan insyaAllah nanti dilanjut yo diak Vendri. Wassalam (Yousri)
Di Meulaboh dan sekitarnya, orang yang menggunakan bahasa Minang secara langsung jarang saya dengar, dominannya berbahasa Aceh termasuk saya sendiri berbahasa Aceh sehari2 atau kadang2 sesuai kebiasaan orang disitu berbahasa Indonesia, kalaupun ada bahasa Padang itupun dialek “jamu” yang dituturkan orang dari Tapak Tuan?Aceh Selatan dan ABDYA (dua kabupaten utama daerah suku Aneuk Jamee) atau ada juga dari Pulau Simeulue (warga kota Sinabang dan sekitarnya) menggunakan bahasa jamu ini sebagi media komunikasinya.
Jawaban saya:
Oke, saya malah tidak tahu. Saya ucapkan terimakasih atas informasinya. Semoga komunikasi di antara kita akan terus berlanjut. Salam dan terimakasih. (yousri)
Perbandingan penutur bahasa disana 70% berbahasa Aceh di wilayah Aceh Barat dan Nagan Raya. 90% berbahasa Aceh di Wilayah Aceh jaya (Teunom, Kureng Sabee, Lamno terus keatas hingga wilayah inti Aceh/Aceh Besar). 70% berbahasa Jamu di wiyah Aceh Selatan dan ABDYA, selebihnya orang dari suku Kluet yang masih serumpun dengan orang Alas(Aceh Tenggara), Singkil, Karo dan Pakpak. 90% berbahasa Aceh di wilayah Pidie, Pamue, Bireuen, Pasee (Aceh Utara), Perlak hingga Aceh Timur. Kabupaten Aceh Tamiang adalah penutur bahasa Melayu. Oarang Gayo cukup dominan juga di Aceh, ada lima dialek Gayo menurut asal daerahnya yaitu Gayo Lingge( Gayo laut Tawar/wilayah asal suku Gayo), Gayo Lues, Serbe Jadi, Bener Meriah dan Kalul. kalau ditotalkan seluruh Aceh 70% berbahasa Aceh, sisanya daerah yang disebut diatas termasuk orang pulau Simeulue yang berbeda sama sekali bahasanya
Sekali lagi terimakasih pada bapak Yousri, mudah2an komunikasi kita teus berlanjut….sekali lagi say ucapkan TEURIMONG GEUNASEH…. akhirnya saya tutup dengan satu pepatah indah Aceh yang sangat bermakna ini ” Habeh tanoh, keubeu meukubang. Habeh geudubang digob panglima. Habeh parang beusoe than meulila.” Trims…
Wassalam, sama-sama “Teurimong Genaseh” dari kami sekeluarga (Yousri)
Artikel yang menarik,
Saya orang minang dr daerah pariaman bergelar Sidi dari suku sikumbang. Menurut hikayat, asal suku sikumbang adalah dari profesi orang sebagai pemburu dengan anjing2nya yang handal, wallahualam.
Saya juga penikmat sejarah, tetapi tentu tdk terlalu mendalam. Artikel ini menambah wawasan saya mengenai sutan sati nan memang sati itu…Aceh-Minang, memang mempunyai pertalian sejarah yg panjang dan saling melengkapi..
Salam dr Banda aceh (tempat tugas temporer)
Wa’alaikum salam sanak,
Maaf, ambo ini juga sebagai peminat dan pembaca sejarah. Nah, sebagai pemerhati tentu ingin pula mengomentari dan bahkan mendalami apa yang pernah terlintas. Untuk itu, marilah kito samo-samo mancari nama nan rancak, nan bagunmo di urang banyak. (Yousri)
Pak di Meulaboh itu banyak nama Meulaboh, ada Babah Meulaboh, Meulaboh Dua, Krueng Meulaboh, Tanjong Meulaboh yang letaknya saling berjauhan, itu sebenarnya bukan dari Bahasa Padang, itu dari Bahasa Aceh yang artinya meulabo (banyak lumpur)
Saya salah seorang dari Keturunan Teuku Cut Din dengan gelar Almuktasim Bilah, hemat saya cerita dari Pak Zainuddin itu banyak yang harus diluruskan
1. apa benar kota meulaboh diberi nama oleh Orang Minang, sebab nama tersebut banyak di Aceh Barat, kemudian di Meulaboh pengaruh Minang sangat kecil semua penduduknya sebagian besar berbahasa Aceh kecuali di Meureubo dan Rantau Panyang dan di Woyla tidak ada desa yang menggunakan bahasa minang, memang jejaknya ada satu desa yang berrnama Pasi Lunak.
2. Para Datuk itu mungkin benar adanya tetapi sebenarnya mereka itu orang aceh dimasa Sultan Iskandar Muda saat aceh menguasai Sumatera Barat yang karena terdesak oleh kaum ulama, para datok itu ingin pulang kampung dan sebagian lagi tidak.
3. Yang dipercayakan Sultan Aceh untuk menjadi Ulebalang Poteu VI Mukim, bukan Mackedum Sari langsung tetapi keturunannya yang kemudian melahirkan Cut Nyak dan Teuku Umar.
4. Umur Meulaboh sejak Sultan Al Mukamil sudah 402 tahun sementara Perang Padri baru saja terjadi sekitar abad 18
5. Tidak satupun keluarga di Meulaboh menggunakan nama suku dari Padang, ini memperkuat dugaan saya bahwa para datuk itu memang keturunan aceh masa sultan iskadar muda dulu.
6. Itu utusan Sultan yang bernama Teuku Tjiek Purba Lela, itu nama yang sebenarnya Teuku Tjik Lila Perkasa,-
————————–
Assalamu’alaikum Warahmatullhi Wabarakaatuh,
Pertama-tama saya ucapkan salam hormat kepada saudaraku Teuku Dadek. Saya dapat menerima berbagai argumentasi yang anda tulis sebagai komentar di Blog saya ini. Terlebih dahulu, saya menyampaikan hormat dan terimakasih kepada saudara saya Teuku Dadek. Maaf saya sampaikan, bagaimanapu tulisan yang saya sajikan dalam Blog http:// http://www.rajaagam.wordpress com. ini adalah hasil dari membaca dan membaca tulisan lama. Nah, tentang kebenaran di antara tulisan saya dengan komentar yang anda sampaikan tentu saya serahkan sepenuhnya kepada sidang pembaca. InsyaAllah apa yang anda sampaikan, 1 s/d 6 di atas adalah lebih benar daripada yang saya tulis. Atau mungkin sebaliknya. Untuk itu, sebagai penulis, saya amat senang mendapat bahan tambahan dari saudaraku Teuku Dadek. Apa yang teuku sampaikan tentu akan menjadi cakrawala yang lebih luas lagi bagi saya dan pembaca lainnya.
Saudaraku Teuku Dadek, apa yang anda sampaikan dalam komentar ini adalah hak anda. Mudah-mudahan komentar anda itu akan menambah pengetahuan kita semua.
Saya sendiri memang senang menggali cerita lama. Mudah-mudahan dengan adanya tambahan komentar dari saudaraku Teuku Dadek, akan menambah semangat kita untuk menggali lebih dalam sejarah masa lalu.
Terimakasih saudaraku Teuku Dadek, InsyaAllah komentar anda akan menjadi bahan yang berguna bagi para pembaca.
Salam hormat dari saya (Yousri)
Aslkm Pak..
Saya kebetulan baru saja dari Aceh, perjalanan dari Medan – Takengon – Banda Aceh. Sempat negobrol2 dengan penduduk lokal disana. Agak kaget juga, karena kata mereka, di daerah Meulaboh dan Tapak Tuan kebanyakan menggunakan bahasa Padang atau dalam bahasa setempat disebut bahasa Jamee’. Terlepas dari perdebatan sejarah, yang pasti antara Minangkabau dan Aceh terdapat hubungan yang khusus. Soal kebenaran sejarah, memang penuh dengan perubahan, interpretasi yang seringkali berbeda dan kadang dipengaruhi politik dan kepentingan. Terima kasih tulisannya Pak..
Salam
Bot SP
Собственно сабж
Истории есть?
Salam…
Saya menaruh apresiasi terhadap tulisan di blog anda ini. Menurut saya, apa yg disampaikan oleh Uda Bot Sosani Piliang di atas sangat tidak berdasar. Ternyata dalam sepenggal perjalanannya beliau di Aceh telah mendengarkan informasi yang keliru tentang Meulaboh. Barangkali info tersebut didapat dari seseorang yang belum pernah berkunjung ke Meulaboh. Selaku putra asli kelahiran Meulaboh saya ingin meluruskan apa yang mungkin selama ini dipercaya oleh orang-orang yang belum pernah datang langsung ke Meulaboh. Sesungguhnya bahasa jamu memang benar menjadi bahasa ibu dari sejumlah warga di kawasan Meulaboh. Oleh orang suku Aceh di pesisir Barat-Selatan, keturunan warga minangkabau yang berbahasaibukan bahasa jamu disebut “Aneuk Jamee” yang berarti “tetamu” atau “anak/saudara tamu”. Ini merupeken manifestasi dari sikap keterbukaan orang Aceh yang suka memuliakan tamu/pendatang (peumulia jamee). Di Aceh Barat, umumnya komunitas Aneuk Jamee mendiami beberapa “kantung” Aneuk Jamee, antara lain di beberapa tempat sebagaimana yang disebutkan dalam komentar Ampon Dadek di atas (untuk lebih jelas mungkin dapat diliat di situs wikipedia atau acehpedia dengan menggunakan query “bahasa aneuk jamee”). Namun jika ditanyakan lingua franca (bahasa pergaulan) apakah yang dituturkan oleh masyarakat Meulaboh? Maka saya yakin semua penduduk Meulaboh akan memberikan jawaban yang sama, yaitu BAHASA ACEH. Faktanya yang terjadi kini adalah seperti ini: “semua Aneuk Jamee di Meulaboh mengerti/bisa berbahasa Aceh, namun hanya segelintir suku Aceh yang mengerti/bisa berbahasa Aneuk Jamee. Berbeda dengan Kabupaten Aceh Selatan dan Kabupaten Abdya yang merupakan pusat konsentrasi populasi Aneuk Jamee, sepertinya di Aceh Barat, entitas minangkabau tidak membawa pengaruh signifikan dalam adat budaya di Meulaboh. Ini bisa dibuktikan pada corak adat istiadat yang diaplikasikan oleh Aneuk Jamee sendiri, misalnya dalam hal adat perkawinan, mulai dari pakaian adat pengantin, tata cara hingga seni tarinya semuanya mengadopsi adat istiadat Aceh. Dilain sisi, saya juga khawatir, bahsa Aneuk Jamee yang menjadi bagian dari khasanah budaya di pantai barat-selatan Aceh, khususnya di meulaboh kian mengalami “penguapan” akibat proses asimilasi sosial. Dan rasanya tidak berlebihan jika dikhawatirkan suatu hari nanti akan terdegradasi (baca: lenyap) dari Meulaboh, mengingat saat ini bahasa tersebut umumnya hanya dituturkan oleh kalangan generasi tua dalam komunitas aneuk jamee, sementara generasi aneuk jamee yang sekarang lebih memilih mengajari bahasa Indonesia atau bahasa Aceh (baca: lingua franca) kepada anak2nya. Terlepas dari adanya kepentingan dan politik, akan berbeda halnya jika dikatakan bahwa di Kota Tapaktuan KEBANYAKAN warganya bertutur bahasa jamu, pendapat itu mungkin ada benarnya, namun juga tidak bisa mengeneralisasi bahwa Kabupaten Aceh Selatan dan Abdya menggunakan bahasa jamu sebagai lingua franca, karena di sana terdapat 3 bahasa daerah utama, yang umumnya didominasi oleh Bahasa Aceh selaku komunitas terbesar disana. Trims.
——————
Teungku di Pasir Karam, tidak ada yang dapat saya tambahkan jawaban dalam komentar ini, kecuali mengucapkan terimakasih kepada teungku di pasikaram. Mudah-mudahan menambah khasanah dan pengetahuan bagi kita semua. Sesuai dengan apa yang saya tulis, semua berdasarkan informasi dari membaca dan mebaca, di samping ada sebagian yang merupakan cerita nenek saya sewaktu saya masih kecil.
Sekali lagi terimakasih teungku dipasikaram. (Yousri)
nambah ilmu lg neh.
Sekarang sudah berjalan 2 tahun pk Yusri?, perdebatan soal Meulaboh masih menjadi tambah menarik saja Evendri (2011). Saya pengen ketemu langsung Bg Dadek kita dari Kabel tu,, hehehe, tahun 2009 apa 2010 ya sama2 bareng naik haji dengan ibu saya. Slamat sudah jadi pk haji ya sekarang \bg Dadek, semoga abg sm kakak disana senantiasa diberi kesehatan dan kebehagiaan selalu oleh Allah Swt.
—————————-
Alhamdulillah, ternyata blog yang sederhana ini mampu mempertemukan kita dan membuat tali silaturahim di antara kita semakin erat. Mudah-mudahan cerita lama dari kakek dan nenek kita itu dapat sebagai pembuka cakrawala pandang kita semakin luas. InsyaAllah kalau ada kesempatan kita dapat dipertemukan. Tidak ada salahnya, kalau di antara kita saling mengingatkan. Salam hormat untuk Bung Evendri dan Bung Dadek. (Yousri)
Assalamuallaikum mebaca sejarah ini sya jadi teringat tentang kisah buyut saya yang bernama Ayah tuo Orang Kayio Basar (Mohammed Saleh) dalam sebuah bukunya di ceritakan bahwa beliau masih keturunan raja dari Rigah, Rantau Duabelas, Aceh Barat, sya sebagai ketruna beliau ingin mengetahui dimanakha letak kerajaan rigah itu dan siapkah nama rajanya.
Wassalam
Iko quraisin Akmal
Chicago ,USA
————-
Assalamu’alaikum Bung Iko Quraisn Akmal,
Saudaraku Iko, maaf saya kurang begitu tahu dengan kerajaan Rigah, Rantau Dua Belas di Aceh Barat. Saya sendiri berasal dari Bukittinggi, Sumatera Barat yang dikenal dengan nama Minangkabau.
Kalau kakek anda bernama Muhammad Saleh, kalau di Minangkabau mungkin gelarnya Sutan Rangkayo Basa atau Orang Kaya Besar, Orang dibaca Rang, Kaya dibaca Kayo, Besar dibaca Basa.
Maaf sekali lagi, saya belum mengetahui sama sekali tentang Rigah tersebut. (Yousri)
———————
buat pak Yousri, saya senang sekali dengan infonya. kata keluarga saya dari pihak ibu saya, kami ada keturunan perkawinan Raja Olo dengan Puti Indang Dewi di Kerajaan Pagarruyung. mereka menurunkan anak perempuan Siti Arafah yang dalam perkawinan pertamanya menurunkan bapak Ilyas yang menikah dengan Siti Rukiah, menurunkan anak Siti Rohaya (ibu saya). Kalau mungkin pak Yousri mengetahui ini apa benar apa salah, mohon infonya. terima kasih banyak. semoga pak Yousri sehat selalu.
—————-
Assalamu’alaikum Bung Syafrin Rints. Saya berterimakasih atas komentar anda di Blog Raja Agam ini. Justru keterangan anda menambah wawasan saya. Maaf, saya dalam tulisan tentang Datuk Raja Agam ini, khusus mengungkap tentang peran Datuk Raja Agam di perantauan Meulaboh.
Saya berharap, kalau ada pembaca yang tahu tentang ungkapan Bung Syafrin ini, saya sangat berterimakasih bila ada yang bisa memberi penjelasan. Wassalam. (Yousri)
Assalamulaikum wr wb
Saya adalah orang Medan yang merantau di Simeulue sudah 4 tahun. Saya juga pernah mendengar cerita-cerita sejarah Simeulue dimana ada keterkaitan dengan sejarah tersebut.
Cerita yang yang saya dapat ada beberapa versi namun tidak banyak dokumen yang menunjukkan kebenarannya. Beberapa orang berpendapat bahwa Datuk Machdum dan Songsong Buluh adalah orang yang sama. Namun di cerita PAk Evendri adalah orang yanng sama. Sama seperti orang-orang Simeulue menganggap bahwa mereka adalah orang yanng sama.
Datuk Jombang anaknya Datuk Machudum di utus ke Simeulue untuk melihat keadaan si Simeulue terutama kejahatan Raja Mangkuku yang merupakan penguasa di Simeulue kala itu. Dan muncullah salah satu penyiar agama Islam Tengku Halilullah (Tengku Diujung yang makammnya ada di Kecamatan Simeulue Tengah Desa Latak Ayah.
Agama Islam disiarkan di Simeulue dengan izin Raja Mangkuku tetapi tidak bisa mengubah adat Raja dimana anak perempuan yanng akan menikah harus tinggal bersama dengan Raja dan ditiduri. Di masa ini juga banyak perbudakan baik laki-laki dan perempuan.
Begitu yang dituturkan kepada Saya. Mohon tanggapan dari berbagai pihak.
Terima kasih
Fitri Kartika
————–
Wa ‘alaikumsalam dik Fitri!
Terimakasih komentar dan informasinya. Memang, banyak kisah masa lalu yang diungkap berdasarkan “tutur tinular”, artinya kisah masa lalu yang disebarkan hanya berdasarkan cerita dari mulut lr mulut. Jadi, adakalanya antara satu kisah dengan kisah yang lain tidak sama. Keuatentikan dan akurasinya juga tidak utuh. Kendati demikian, hal itu mendorong kita untuk lebih banyak tahu.
InsyaAlllah dari rasa keingintahuan kita itulah ilmu ini berkembang dan bermanfaat. Dari sana kita akan memperoleh hikmah. Amin
Wassalam dari saya. (Yousri)
Assalamualikum
nama saya iko dan saya sangat tertarik dengan sejarah kerajaan di aceh
Sya mau tanya dimanakah atau sejarah kerajaan di rigah negeri 12 aceh barat…katrena kerajaan tersebut masih ada hubungna dengan seajrah kelurga saya dari Peto Rajo ayah dari Muhammad saleh Urang Kayo Basa dari pariman
terima kasih
Iko Chicago USA
——————————————-
Assalamu’alaikum Bung Iko Quraisn Akmal,
Saudaraku Iko, maaf saya kurang begitu tahu dengan kerajaan Rigah, Rantau Dua Belas di Aceh Barat. Saya sendiri berasal dari Bukittinggi, Sumatera Barat yang dikenal dengan nama Minangkabau.
Kalau kakek anda bernama Muhammad Saleh, kalau di Minangkabau mungkin gelarnya Sutan Rangkayo Basa atau Orang Kaya Besar, Orang dibaca Rang, Kaya dibaca Kayo, Besar dibaca Basa.
Maaf sekali lagi, saya belum mengetahui sama sekali tentang Rigah tersebut. (Yousri)
Adanya teluk Pasi Karam seharusnya menjadi tempat bersejarah di Meulaboh, walaupun kini banyak orang tidak tahu menahu asal nama Meulaboh sendiri, tulisan yang menarik ini Pak Yousri. 🙂
Salam
Alhamdulillah, benar dik Aulia. Semoga ada warga Kota Meulaboh yang peduli dan menjadi p;engamat sejarah. Dengan demikian, perkembangan Kota Meulaboh dari dulu hingga sekarang ada serba-serbinya. (Yousri)
Terima kasih Pak, mungkin nanti saya akan bantu angkat soal teluk Pasi Karam untuk masyarakat Meulaboh dan pihak ada mengetahui hal ini lebih dalam 🙂
[…] Aceh diperintah oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636) negeri itu ditambah pembangunannya (Baca HM Yousri, […]
Assalamu”alaikum Pak Yousri… Saya secara tidak sengaja menemukan blog ini, bnyak sejarah2 aceh sblumnya saya nikmati… Tapi sangat langka saya temukan blog yg seperti ini… Semoga Suatu hari nanti dpt terkumpul segala cerita2 sejarah ttg “Disiko kito Malabauih Aceh or Padang” dengon hrpan ini dpat menjadi sebuah Buku (dapat menjadi bacaan menarik Insya Allah masuk Kurikulum pendidikan”. Insya Allah dlm wktu dekat saya akan tanya2 lgi atau jika dibolehkan menambahkan bila ada tambahan bacaan saya nanti. Terima Kasih Yahwa Yousri, Semoga Slalu dlm Lindungan Allah Swt.