gt;
Yousri Nur Raja Agam MH
Surat Ijo
Tanah HPL di Surabaya
Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)
TANAH dengan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) di Kota Surabaya mempunyai masalah unik. Tanah dengan status HPL ini, di Kota Surabaya disebut “Tanah Surat Ijo”. Padahal, berdasarkan Undang-undang Pokok Pertanahan atau Agraria sebutan HPL atau apalagi “tanah surat ijo” tidak termasuk dalam UU Agraria itu. UU itu hanya menganal tanah HM (Hak Milik), HGB (Hak Guna Bangunan) dan HGU (Hak Guna Usaha).
Tanah HPL adalah tanah yang disewakan oleh Pemkot (Pemerintah Kota) Surabaya kepada warga kota tertentu. Sebagai bukti HPL, warga yang menyewa tanah HPL itu diberi surat keterangan yang bersampul hijau. Nah, untuk gampangnya, masyarakat memberi nama kepada tanah HPL itu sebagai tanah “sertifikat hijau” atau surat ijo.
Di atas lahan yang bersertifikat hijau itu, awalnya pada zaman Belanda umumnya dibangun rumah-rumah untuk karyawan. Namun, berdasarkan peta tanah yang ada, apabila tanah itu pemiliknya tidak jelas, maka sertamerta Pemkot Surabaya melalui Dinas Tanah menyatakan tanah itu adalah tanah HPL. Tanah HPL ini terpencar di berbagai kelurahan, umumnya di tengah kota yang dulu bukan desa. Tetapi, sekarang tanah bekas tanah ganjaran juga diberlakukan seperti tanah HPL dan dikuatkan dengan “surat ijo”.
Nantinya, ada kemungkinan para pemegang HPL yang sekarang didasarkan kepada Perda (Peraturan Daerah) Kota Surabaya, akan memperoleh prioritas perubahan status menjadi HGB. Hal ini sebagai akibat dan desakan masyarakat pemegang tanah HPL yang statusnya masih mengambang. Pemkot Surabaya sendiri masih menunggu bagaimana kebijakan dan keputusan yang diambil oleh DPRD Kota Surabaya sebagai pemutus akhir dalam pembuatan Perda tersebut.
Lahan KBS (Kebun Binatang Surabaya) merupakan aset peninggalan perkumpulan zaman Belanda ini yang sebenarnya layak menjadi aset Pemkot Surabaya. Tetapi, dalam kenyataannya, juga lepas ke tangan perkumpulan yang mengelola KBS tersebut. Lahan seluas 14 hektar lebih di Wonokromo yang dihuni sekitar 3.000 ekor satwa dan 275 spesies tanaman itu, dinyatakan bukan aset Pemkot Surabaya.
Sumber PAD
Pemkot Surabaya, juga mengelola tanah yang menjadi sumber PAD (Pendapatan Asli Daerah) guna menunjang APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) Kota Surabaya.
Selain tanah surat Ijo, di Surabaya, ada pula tanah yang disebut dengan “tanah ganjaran”. Tanah ganjaran yang merupakan bekas tanah kas desa, sewaktu 103 desa digabung dengan 60 kelurahan di Surabaya, dikelola oleh Bagian Pemerintahan. Sedangkan tahan HPL dikelola Dinas Pengelolaan Tanah dan Rumah. Ada pula tanah sempadan yang dikelola Dinas Binamarga dan Pematusan, serta tanah jalur hijau dikelola Dinas Kebersihan dan Pertamanan.
Aset Pemkot Surabaya yang disebut HPL ini berasal dari tanah yang dikuasai Gemeente Surabaya di masa Belanda. Aset Pemkot yang disebut tanah HPL ini cukup luas luasnya, mencapai 13.425.015 meter-persegi atau 134,25 hektar.
Awal tahun 2009, luas tanah surat ijo yang menjadi aset Pemkot Surabaya sudah 146,45 hektar atau 14.645.114,08 meter-persegi. Ada enam jenis status tanah yan pengelolaannya ditangani Badan Pengelolaan Tanah dan Bangunan (BPTB) yang sebelumnya bernama Dinas Pengelolaan Tanah dan Rumah, yaitu:
-Tanah HPL (Hak Pengelolaan Lahan) 7.686.687 meter per-segi.
-Tanah Hak Pakai seluas 808.427 meter persegi.
-Tanah yang diperoleh dari P2TUN (Panitia Pembelian Tanah Untuk Negara) seluas 622.669 meter persegi.
-Tanah Beslit (pembelian di zaman Belanda) seluas 379.394 meter persegi.
-Tanah Eigendom (milik Pemkot Surabaya) seluas 4.171.732 meter persegi.
-Tanah Negara seluas 976.194 meter persegi.
Dari tanah yang dikelola BPTB Surabaya untuk tahun 2006 ditarget dana untuk PAD Rp 26,09 miliar atau setiap bulannya Rp 2,17 miliar lebih.
Data yang berhasil penulis himpun, pada bulan Juni 2009 potensi baru tanah aset yang berasal dari P2TUN seluas 974,59 hektar atau tepatnya 9.745.964,79 meter persegi. Sehingga dengan demikian aset dengan status tanah pembelian P2TUN mencapai 103,69 hekytar atau 10.368.633,79 meter persegi.
Hanya di Surabaya
Tidak ada lagi tanah di Indonesia ini yang berstatus HPL seperti di Kota Surabaya. Di kota-kota, seperti Jakarta, Bandung dann kota besar lainnya tanah HPL sudah dialihkan menjadi HGB (Hak Guna Bangunan). Sehingga ada pula istilah, tanah HGB di atas lahan HPL.
Tanah HPL adalah tanah yang disewakan oleh Pemkot kepada warga kota tertentu. Sebagai bukti HPL, warga yang menyewa tanah HPL itu diberi surat keterangan yang bersampul hijau. Nah, di Surabaya, untuk gampangnya, masyarakat memberi nama kepada tanah HPL itu sebagai tanah “sertifikat hijau” atau surat ijo.
Dia atas lahan yang bersertifikat hijau itu, awalnya pada zaman Belanda umumnya dibangun rumah-rumah untuk karyawan. Namun, berdasarkan peta tanah yang ada, apabila tanah itu pemiliknya tidak jelas, maka sertmerta Pemkot melalui Dinas Tanah menyatakan tanah itu adalah tanah HPL. Tanah HPL ini terpencar di berbagai kelurahan, umumnya di tengah kota yang dulu bukan desa. Tetapi, sekarang tanah bekas tanah ganjaran juga diberlakukan seperti tanah HPL dan dikuatkan dengan “surat ijo”.
Warga kota pemilik “surat ijo”, dalam waktu tidak lama lagi akan memperoleh status tanah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, yakni sebagai pemegang HGB atau HM (Hak Milik). Proses untuk pengalihan status kepemilikan dari HPL atau “surat ijo” ke HGB atau HM, prosedurnya sedang digarap menjadi Perda (Peraturan Daerah) yang baru, untuk menggantikan Perda Kota Surabaya sebelumnya.
Apabila Perda tentang pengalihan status HPL menjadi HGB atau HM, itu sama artinya, Pemkot Surabaya melepaskan legi asetnya ke pihak lain. Berdasarkan data di Badan Pengelolaan Tanah dan Bangunan, dengan menyewakan tanah HPL itu, Pemkot Surabaya tiap tahunnya bisa memperoleh pemasukan dana penunjang APBD Kota Surabaya rata-rata sekitar Rp 24 miliar.
Nantinya, apabila tanah HPL itu sudah berubah status menjadi HGB dan HM, tentu pemasukan Pemkot Surabaya akan berkurang. Nah, agar tidak ada kesan bahwa tanah HPL itu menjadi tanah hibah kepada warga yang umumnya adalah warga di perumahan permanen, tentu akan menimbulkan kecemburuan sosial. Untuk itulah, nantinya pengalihan status dari HPL ke HGB atau ke HM ditetapkan pembiayaan yang saling menguntungkan.
Ketika masih bernama Dinas Pengelolaan Tanah dan Rumah (DPTR) yang dipimpin oleh Drs.Rochani Soebroto,MM (alm) sudah disampaikan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) yang dibahas menjadi Perda Kota Surabaya oleh DPRD Kota Surabaya. Karena ini menyangkut aset Pemkot Surabaya, sesuai dengan ketentuan yang dituangkan dalam SK Mendagri No.11 tahun 2001, pelepasan aset Pemkot diperlukan persetujuan DPRD.
Catatan penulis, dinas ini mengelola 134,25 hektar lebih di 21 kecamatan itu berdasarkan Perda Kota Surabaya No.3 tahun 1987, yaitu tentang pemakaian tanah dan tempat-tempat yang dikuasai Pemkot Surabaya. Perda ini diperkuat dengan SK Walikota Surabaya No.202 tahun 1987.
Dalam Perda itu ditetapkan pemegang surat izin sewa tanah HPL (surat ijo) adalah untuk jangka waktu tiga tahun dan dapat diperpanjang untuk tiga tahun berikutnya, serta begitu seterusnya. Apabila pemegang izin terlambat memperpanjang izin, maka akan dikenakan denda.
Izin persewaan tanah HPL itu apabila sewaktu-waktu diperlukan Pemerintah, maka izin pemekaian tanah dapat dicabut secara sepihak sebelum batas waktunya habis dengan tanpa pemberian ganti rugi. Dalam hal ini, jika tanah itu akan digunakan untuk kepentingan dinas.
Disertifikatkan
Para pemegang surat ijo, terus-menerus berusaha untuk mengalihkan penguasaan lahan tanah sewa Pemkot Surabaya itu menjadi Hak Milik (HM). Sekurang-kurangnya sekitar 48 ribu pemegang surat ijo mengharapkan Pemkot Surabaya dapat memberi keputusan mengubah penguasaan tanah itu menjadi HGB (Hak Guna Bangunan). Dengan adanya hak sebagai pemegang sertifikat HM atau HGB yang dikeluarkan dari BPN (Badan Pertanahan Nasional), maka status tanah yang ditempati itu mempunyai kepastian hukum.
Untuk mendapatkan hak itu, warga pemegang surat ijo, membentuk suatu organisasi yang bernama PMPMHMT (Perhimpunan Masyarakat Peserta Meraih Hak Milik Tanah) Rakyat Surabaya yang diketuai oleh Prof.Dr.H.Kabat. (alm, meninggal dunia tahun 2005).
Dr.Kabat (sewaktu masih hidup) dalam beberapa kali wawancara dengan penulis, menyatakan tekadnya untuk terus mengusahakan perolehan hak atas tanah tersebut. Sesuai dengan Undang-undang No.5 tahun 1960 yang dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah tidak dapat “memiliki” tanah negara. Dengan demikian, Pemkot Surabaya tidak berhak menyewakan tanah negara kepada warganya.
Bahkan, ujar Dr.Kabat, apabila seseorang menempati tanah negara lima tahun secara terus-menerus, maka ia berhak mengajukan permohonan untuk memperoleh hak atas tanah tersebut sesuai UUPA. Khusus untuk pemegang surat sewa tanah yang dikuasai Pemkot Surabaya, bisa mendapatkan HM atau HGB. Kecuali itu, katanya, tanah tidak bisa menjadi dua kali obyek pajak. Kenyataannya, sekarang ada PBB (Pajak Bumi dan Bangunan), juga ada sewa tanah kepada Pemkot melalui Dinas Tanah dan Rumah. (sekarang bernama: Badan Pengelolaan Tanah dan Bangunan).
Tanah negara yang ditempati warga dengan sebutan pemegang surat ijo itu, tidak sama dengan tanah milik Pemkot Surabaya. HPL (Hal Pengelolaan Lahan) oleh Pemkot Surabaya bertentangan dengan UUPA, hukum adat maupun hukum perdata. Tidak ada undang-undang dan peraturan apapun yang melarang warganegara memperoleh sertifikat hak milik di atas tanah yang ditempatinya. Itulah sebabnya pemilik surat ijo yang tergabung dalam PMPMHMT Rakyat Surabaya menuntut Pemkot Surabaya segera mencabut ketentuan sewa tanah di Surabaya, kata Kabat didampingi pengurus lainnya, Soesilo dan Sugito.
DPRD Kota Surabaya sudah sejak lama membahas masalah tanah HPL Pemkotn Surabaya ini. Namun tidak pernah tuntas, karena kepentingan pemasukan rutin sebagai PAD (Pendapatan Asli Daerah) untuk mendukung APBD Kota Surabaya selalu menjadi alasan. Pro-kontra tidak pernah selesai. Kendati beberapa kali dinas dan badan terkait diundang untuk memecahkan tuntutan warga pemegang surat ijo itu, seperti BPN dan Dinas Pengelolaan Tanah dan Rumah, bahkan melibatkan aparat Pemprov Jatim, permasalahan tidak pernah selesai.
Sembilan Kelas
Sewa tanah yang dibebankan kepada pemegang surat ijo atas tanah HPL Kota Surabaya dibagi dalam sembilan kelas. Sekarang ini, tarif yang diberlakukan itu, berdasarkan Perda No.21 tahun 2003, yakni Perda tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah.
Sewa tanah itu mempunyai peran cukup besar dalam pemasukan dana PAD (Pendapatan Asli Daerah) kota Surabaya. Rata-rata Rp 20 miliar per-tahun. Sewanya memang tidak sama, dibagi dalam sembilan kelas berdasarkan lokasi tanah. Di tempat strategis dan mempunyai nilai jual tinggi, sewanya juga lebih besar. Angkanya yang terbesar Rp 100 ribu per-meterpersegi per-bulan dan terkecil Rp 5 ribu per-meterpersegi per-bulan.
Selengkapnya dirinci: Kelas I Rp 100 ribu, Kelas II Rp 75 ribu, Kelas III Rp 60 ribu, Kelas IV Rp 50 ribu, Kelas VI Rp 40 ribu, Kelas VII Rp 20 ribu, Kelas VIII Rp 10 ribu dan Kelas IX Rp 5 ribu.
Data yang dihimpun penulis awal 2009, luas lahan tanah sewa yang dipegang warga pemilik surat ijo di 21 kecamatan di Surabaya mencapai 13.425.015,15 meter per-segi atau 134,25 hektar lebih.
Data rinci di 15 kecamatan terluas lahan HPL atau yang ber-surat ijo mencapai 12,42 juta meter per-segi atau 124,21 hektar lebih. Dari seluruh daerah itu, terluas di Kecamatan Wonokromo (1.147.179,32 m2), menyusul di Kecamatan Krembangan (920.873,15 m2) dan Kecamatan Tegalsari (639.667,03 m2).
Seterusnya adalah kecamatan: Dukuh Pakis (493.680,00 m2), Bubutan (438.403,04 m2), Sawahan (308.295,21 m2), Semampir (189.369,87 m2), Sukomanunggal (157.224,16 m2), Simokerto (152.426,58 m2), Genteng (90.977,25 m2), Lakarsantri (54.500,83 m2), Asemrowo (47.708,20 m2), Tandes (30.967,05 m2), Wonocolo (26.346,70 m2) dan Wiyung (20.856,66 m2). Kecamatan lain, seperti Kecamatan Tambaksari, Gubeng dan lain-lainnya di bawah 20 ribu meter per-segi.***
*) Yousri Nur Raja Agam MH – Ketua Yayasan Peduli Surabaya.
Surabaya, 15 Juli 2009.
—————- o0o—————–
Filed under: KOTA, PEMERINTAHAN, SEJARAH |
-.lho kenapa DPRD Surabaya tidak merespon suara rakyat yang sudah jelas-jelas ada kebijakan yg salah.
-petugas Pemkot Sbya yang mengukur lahan yang diklaim sebagai HPL asal-asalan karena tidak melibatkan Lurah sebagai pembuktian banyak tanah warga yang sudah mempunyai bukti ( petok D) tetap dicaplok Pemkot Sby akibatnya ketika terjadi proses penjualan balik nama banyak yang mengalami kendala
-kalau yang dijadikan alasan sebagi sumber PAD sangat disayangkan.
————
Bapak Muhammad Madjid yth,
Memang demikianlah kenyataannya. Saya waktu alm Dr.H.Kabad masih hidup, benar-benar bersama timnya saya ikut, bahkan hingga sekarang saya terus-menerus mengikuti perkembangan perjuangan warga pemegang Surat Ijo. Namun demikianlah, ganti DPRD, tetap saja tidak berani mengubah “ketentuan yang sudah membudaya” itu. (Yousri)
————
Untuk Bp Yousri, tolong nanya nich apa bener surat ijo mau dijadikan HGB atau HM? Gimana caranya untuk menjadikan HGB atau HM? Soalnya rumah saya di baratajaya juga surat ijo. Tolong informasinya. Terima Kasih sebelumnya.
———-
Terimakasih mbak Lily, anda sdh membaca artikel Surat Ijo ini. Memang berdasarkan informasi yang ssya baca di mediamassa, saat ini Pemkot Surabaya sudah menyiapkan Raperda (Rancangan Peraturan daerah) untuk mengganti Perda tentang persewaan tanah oleh Pemkot Surabaya terhadap tanah berstatus HPL (Hak Pengelolaan Lahan). Setelah Perda itu diundangkan, tahap awal kabarnya diberikan kesempatan kepada pemegang Surat Ijo dengan luas terbatas (kecil). Prosesnya, tetntu nanti ke BPN (Badan Pertanahan Nasional). Kita tunggu saja mbak Lily.
Terimakasih. (Yousri)
Selamat Malam Pak Yousri,
Terima kasih sebelumnya atas informasi yg Bpk tulis di blog Bpk. Bila berkenan, bisa mohon info brp kisaran biaya yg diajukan dlm raperda tsb untuk me-sertifikatkan surat ijo tsb.
Dan apa saja persyaratannya ? Bgmn dgn lahan yg masih berupa tanah ?
Sekian dan terima kasih banyak sebelumnya.
Salam,
—————
Mas Rudy, sampai saat ini saya belum emmperoleh kepastian tentang prosedur pengalihan hak dari Surat Ijo yany berstatus sewa menjadi sert8ifikat HGB. Perda tentang pengalihan hak itu, hingga sekarang belum muncul. Katanya, masih berbentuk Raperda (Rancangan Peraturan Daerah). Begitu Mas Rudy (yousri)
Rudy
selamt siang pak .sebelumnya saya ucapkan trimakasi atas informasinya ,saya tinggal di daerah krembangan tanah yg saya tinggali bersetatus surat ijo dan sekarang sudah habis masa berlakunya kurang lebih 5th apa benar dendanya sampai 500% dari retribusi.
———————
Cak, atau Masa M.Arifin, terimakasih anda telah membaca artikel ini. Namun maaf, saya belyum tahu tentang adanya denda tersebut, apalagi sampai 500 %. Sebaiknya anda tanya ke sana, dan saya juga akan menngeceknya. (Yousri)
Sudah saatnya bagi orang yang memegang surat ijo tidak usah membayar retribusi sewa tanah. Bahkan demi hukum bahwa penguasaan tanah yang luas-seluas-luasnyaoleh Pemkot Surabaya bertentangan UUPA dan aturan pelaksanaannya. Negara/Pemerintah/Pemda bukan pemilik tanah, Pemkot hanya boleh menguasai tanah sekedar utuk keperluan dinasnya. Segera rakyat sebagai Pemilik (SHM).
—————-
Noengky, anda benar. Sesuai dgn tulisan saya ini. Bukan hanya tanah yang sekarang berstatus HPL (Hak Pengelolaan Lahan) yang disebut “Surat Ijo” itu saja yang harus dilepas kepada masyarakat utk diubah statusnya menjadi SHM. Ada lagi, sebenarnya instansi yang mengurusu “Surat Ijo” itu sendiri harus dihapus. Kepada Walikota Surabaya yang baru, mereka perlu tahu, bahwa gaji dan tunjangan serta perawatan kantor Badan Pengeloaan Rumah dan Tanah itu “jauh lebih besar” dibandingkan dengan pemasukan keuangan dari hasil “persewaan lahan surat ijo”. Ini suatu hal yang perlu diketahui oleh masyarakat. “Masak besar biaya pegawai dan operasional, dibandingkan dengan PAD yang diperoleh. Sungguh merugikan negara. (Yousri)
Pemkot Surabaya bersama DPRD Kota Surabaya, katanya sudah menggodok Raperda berkaitan pelepasan tanah yang dikuasai (versi Pemkot Sby menjadi asset/kekayaan Daerah) alias Surat Ijo, yang pada intinya antara lain :
Pemegang surat ijo dapat memperoleh tanah tsb untuk menjadi SHM dengan ketentuan adanya pelepasan hak dari Pemkot Sby dengan membayar ganti rugi berdasarkan NJOP dengan batasan ketentuan luas tanah maks tidak lebih dari 200 m dan lebar jalan di depan rumah maks tidak lebih dari 6 m. Menurut kami hal tersebut sangat tidak adil dan sangat merugikan warga yang punya tanah luasnya lebih dari 200m dan lebar jalan lebih dari 6 m, karena kriteria tersebut tidak semuanya merupakan representasi warga mampu dan tidak mampu, pada dasarnya banyak warga mungkin karena warisan walaupun kondisinya kurang mampu mempunyai /memegang tanah ijo yang luasnya lebih dari 200 m dan lebarnya lebih dari 6 m. Ganti rugi senilai NJOP sangat merugikan warga dan bertentangan kepastian hukum karena tanah surat ijo ini bukan diberi Pemkot untuk ditempati warga , tapi dulunya dari jual beli dan mungkin ada yang tukar-menukar (tukar guling). Hal ini sama saja warga disuruh membeli kembali. Sungguh apabila Perda ini dilaksanakan merupakan pelanggaran atas kepastian hukum sekaligus pelanggaran HAM.
——————
Abah Saleh yang terhormat….! Semoga mereka para pengambil keputusan itu paham dan mengerti dengan harapan Abah. Dan saya akan sampaikan komentar-komentar dan suara hati warga ini kepada Walikota, wakil walikota dan kawan-kawan di DPRD. Biar mereka mau mendengar jeritan hati warganya sendiri. (Yousri)
Di kota Surabaya ini masih ada penjajahan, warga Surabaya yang mayoritas warga Indonesia masih diberlakukan warga ‘menyewa’ di tanah yangmereka miliki. Sangat Ironis di tanah yang mereka beli atau warisi dari orang tuanya harus menyewa dari ‘tuan tanah yg namanya Pemkot Surabaya’. Ironisnya lagi dengan telah adanya Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yg mana Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sekarang merupakan Pajak Daerah Kab./Kota, jelas-jelas ini pelanggaran ketentuan pungutan dimana pada 1 (satu) obyek yang sama tidak dapat dipungut oleh 2 (dua) pungutan sekaligus. Sangat Ironis lagi Warga Surabaya diperlakukan sangat tidak adil , karena apabila tidak membayar sewa tanah (nama lain retribusi izin pemakaian tanah atau nama lain… yang dicari-cari Pemkot Sby) atau keterlambatan bayar sewa tanah dikenai denda yang berlipat-lipat melebihi nilai pembayaran PBB pertahun (dapat 10 x dari nilai PBB pertahun tergantung keterlambatan).Pemkot Sby adalah Penjajah yang berpraktek pemeras alias entenir yang kejam. Pak gimana caranya agar penderitaan warga surat ijo ini berakhir, kayaknya berbagai upaya hukum kita (warga surat Ijo) utk memperoleh haknya (SHM) benar tapi pengadilan dan penguasa di Pemerintah Pusat (BPN, Mendagri, Mahkamah Agung dll) masih tidak tegas menindak Pemkot Sby alias memihak Pemkot Sby , apa mungkin tidak paham ?. Sekarang ini kayaknya ada upaya ‘ politik pecah belah’ melalui Raperda akan jadi Perda dimana tanah tanah tertentu ( luas maks 200m dijalan lebar maks 6m ) akan dilepas walau dengan ganti rugi kepada Pemkot Sby senilai NJOP, dilain pihak tanah yang luasnya lebih dari 200 tetap digandoli, gimana caranya agar tetap bversatu melawan Pemkot Surabaya, apa sudah saatnya yaa.. kita revolusiiii… wassalam.
———-
Wa’alaikum Salam Mas Dodit,..!
Semoga para wakil rakyat yang dulu “berjanji” saat kampanye Pemilu Legislatif yang kini duduk di DPRD Surabaya membaca tulisan sampean ini. Begitu juga Walikota-Wakil Walikota dan bakal calon Walikota-Wakil Walikota yang sekarang “juga kampanye dengan janji-janji”, silakan ditagih janjinya. Selamat dan semoga! (Yousri)
Assalamu ‘alaikum wr wb
Aku nggak tahu kenapa warisan Ortuku berupa tanah surat ijo, katanya suratnya sudah mati 13 tahun dan nggak bisa dijual langsung /dibaliknama walaupun anak kandungnya . Katanya Pak Lurah klo mau jual/baliknama kepada anak harus melalui Pemkot Sby (Badan Peneglolaan tanah dan rumah). Minta nasehat kepada Angku Yousri hal ini bagaimana ? dan kira-kira klo untuk baliknama kepada saya (anaknya) berapa biayanya ? Wass wr wb.
——-
Angku Imam Bustaman yang terhormat! Wa’alaikumsalam! Saya ini hanya pemerhati dan penulis. Bukan siapa-siapa. “Memang, tanah yang diwariskan oleh Ortu angku itu bukanlah hak milik, tetapi hak sewa. Nah, karena barang yang seharusnya disewa terus-menerus, memang bermasalah sebagai barang warisan. Untuk balik nama datang ke kantor Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah di komplek Balaikota Jalan Taman Surya 1 Surabaya. Maaf, kadang-kadang memang ada “keanehan” di sana, kalau lama tidak membayar sewa, bukan hanya sekedar didenda, bisa-bisa dikatakan “hangus”. Namanya tahu-tahu beralih kepada orang lain, maka hati-hati agar Surat Ijo (yang asli) jangan sampai hilang. Monggo Bapak, penjenengan bisa mengurus balik nama, apalagi dari orangtua sendiri. InsyaAllah lancar. (Yousri)
Surat tanah ijo yg diklaim Pemkot Surabaya sbg tanah yang dikuasai (HPL) sebagai asset/kekayaan Pemkot Surabaya, menurut beberapa pakar hukum agraria/pertanahan baik dari Unair maupun UGM banyak mengandung pelanggaran walaupun secara administrasi dapat dimanipulasi, namun substansinya banyak melanggar hak warga yg dapat dipidanakan karena ada unsur manipulasi, penipuan yang ujung-ujungnya merupakan korupsi dan pelanggaran HAM .
Bagi saya kok nggak habis pikir bukan saja Mendagri, Kepala BPN Pusat, Mahkamah Agung ternyata membiarkan saja, walaupun beberapa kali warga ini melalui PMHT, PMPMHMT, Ombudsman Pusat, lawyer- lawyer yang mewakili warga telah menyampaikan bukan saja surat tetapi audiensi. Dlam pertemuan kayaknya sangat mendukung alias ada lampu hijau atau setuju tetapi selesai itu nggak ada tindak lanjutnya, hal ini gimana Pak ?. warga ini harus gimana ? tolong Pak saya yang lagi resah ini dikasih advis .
———
Bapak Najib, memang demikianlah kenyataannya. Saya sendiri hanya pengamat yang sdh sejak lama ikut dalam diskusi-diskusi. bahkan hampir tak pernah ketinggalan dengan kegiatan alm dr.Kabat selalu “pendobrak” melalui kelompok yang berusaha melakukan pengurusan pengalihan hak dari “sewa” menjadi “milik”. Masalah Surat Ijo yang sebenarnya bernama HPL (Hak Pengelolaan lahan) itu, adalah warisan tuan tanah VOC yang diteruskan Kolonial Belanda (Gemeente Surabaia), lalu ke Pemeritah Kota Surabaya di alam merdeka ini. Keputusannya bukan hanya ditangan walikota, tetapi juga keputusan DPRD, sebab dasarnya adalah Perda (Peraturan Daerah). Nah, sesuai dengan “janji-janji” para wakil rakyat saat kampenye Pemilu legislatif (Pileg) dan juga Pemilu Kada (Pemilu Kepala Daerah) sekarang ini. Silakan ditagih! (Yousri)
Banyak tanah-tanah yang dikuasai Pemkot baik HPL maupun lain-lain, kalau ditanyakan Pejabat Pemkot Sby sertifikatnya nggak ada atau batas-batasnya nggak ada/nggak jelas, yang ada cuma dokumen yang dibuat oleh Pemkot Sby saja, ini berarti Pemkot Sby awu-awu. Pak Yousri, ini gimana warga surat ijo ini kok dibiarkan ditipu oleh Pemkot Surabaya, sedangkan Penguasa-penguasa Provinsi sampai Pusat tetap ‘diam’ saja. Jangan biarkan warga dijadikan perasan Pemkot Surabaya yg katanya demi PAD dalam bentuk Perda Tanah Pemkot/ pengelolaan Tanah Pemkot dan Perda pungutan Daerah atas Tanah. Itu semuanya Ilegal. Pak mari kita bersatu padu melawan sikap tidak adil Pemkot Surabaya, lawannn… dengan tidak membayar sewa tanah, kalau perlu nggak bayar PBB pula, Setuju Pak…?.
——-
Mas Jupri yth,
Memang demikianlah kenyataannya. Perjuangan sudah berlangsung lama. Tetapi, janji tinggal janji. Setelah duduk di singgasana kekuasaan mereka “lupa” atau “mungkin tidak berdaya?”. Kita tunggu lagi dan tunggu lagi! (Yousri)
Katanya pakar-pakar hukum agraria, pengauasan tanah oleh Pemkot Surabaya dalam bentuk HPL dan lain-lain yang dari dulu sampai saat ini dikenal surat ijo banyak melanggar ketentuan UU (norma hukum), kenapa kok Pemkot Sby dan DPRD Sby dulu menerbitkan Perda Kekayaan/Asset Daerah dan Perda Pengelolaan Barang Daerah yang didalamnya ada muatan pengelolaan tanahsurat ijo. Kenapa nggak ini saja yang harus dicabut oleh Presiden atau mandatnya (Mendagri/Ketua BPN Pusat), jadi nggak usah repot-repot memikirkan dan membuat Perda yg mengatur pelepasan tanah surat ijo, apalagi ujung-ujungnya pelepasan tanah itu warga disuruh mengganti rugi dg nilai seperti membeli kembali tanahnya. Ujung-ujungnya rakyat dibodohi lagi. Sekarang DPRD Surabaya harus minta kepada Presiden RI atau pejabat yg mendapat mandat utk mencabut Perda dan produk hukum lain yang berkaitan pemerasan atas nama surat ijo itu. Atau Calon Walikota kalau sudah jadi Walikota Sby juga harus berani mengajukan agar surat ijo dicabut oleh Presiden atau mandatnya. Kalau cuma basa-basi dg alasan pelepasan surat ijo harus dengan membuat Perda yang mengatur, yaa terlalu lama dong.
Katanya pakar-pakar hukum agraria, pengauasan tanah oleh Pemkot Surabaya dalam bentuk HPL dan lain-lain yang dari dulu sampai saat ini dikenal surat ijo banyak melanggar ketentuan UU (norma hukum), kenapa kok Pemkot Sby dan DPRD Sby dulu menerbitkan Perda Kekayaan/Asset Daerah dan Perda Pengelolaan Barang Daerah yang didalamnya ada muatan pengelolaan tanahsurat ijo. Kenapa nggak ini saja yang harus dicabut oleh Presiden atau mandatnya (Mendagri/Ketua BPN Pusat), jadi nggak usah repot-repot memikirkan dan membuat Perda yg mengatur pelepasan tanah surat ijo, apalagi ujung-ujungnya pelepasan tanah itu warga disuruh mengganti rugi dg nilai seperti membeli kembali tanahnya. Ujung-ujungnya rakyat dibodohi lagi. Sekarang DPRD Surabaya harus minta kepada Presiden RI atau pejabat yg mendapat mandat utk mencabut Perda dan produk hukum lain yang berkaitan pemerasan atas nama surat ijo itu. Atau Calon Walikota kalau sudah jadi Walikota Sby juga harus berani mengajukan agar surat ijo dicabut oleh Presiden atau mandatnya. Kalau cuma basa-basi dg alasan pelepasan surat ijo harus dengan membuat Perda yang mengatur, yaa terlalu lama dong atau sama juga bohong.
————————-
Mas Koesdiono Yth,
Semoga apa yang anda sampaikan dalam tulisan ini dibaca dan didengar oleh para petinggi kota ini. Sebab di antara mereka itu sudah berulangkali saya beritahu. Nah, bagaimana perkembangan selanjutnya setelah mereka kembali berkuasa atau akan menjadi penguasa di Pemkot Surabaya? Kita berharap dan menunggu. (Yousri)
Pak gimana tanggapan Bapak terhadap Cawali-Cawawali yg katanya ingin meperjuangkan membebaskan warga surat ijo menjadi SHM. Namun patut saya sesali mereka tak memahami hati sebagian besar warga pemegang surat ijo, katanya pelepasan surat ijo menunggu Perda yang mengatur pelepasan surat ijo dengan ketentuan ganti rugi. Inikan sama juga kita disuruh membeli lagi. Kenapa mereka-merka itu nggak kontrak politik misalnya isinya kalau aku jadi Walikota Surabaya akan bersama-sama DPRD Kota Surabaya mencabut Penguasan Hak tanah termasuk HPL (didalamnya Surat Ijo) utk dikembalikan kepada Negara?Rakyat dan selanjutnya agar Negara (BPN) menerbitkan SHM bagi warga negara Indonesia pemegang surat Ijo. Itu kan jelas…, bukan memainkan kata-kata bersayap, yg nggak pernah ada kenyataanya nanti. Tolong Pak Yousri ini disampaikan kepada DPRD Kota Surabaya dan para Calon Walikota dan Calon Wawali.
——————–
Ari Yusman, apa yang anda tulis dalam komentar ini benar. Sebenarnya saya sudah berulangkali menyampaikan permasalahan ini bersama-sama dengan kelompok masyarakat pemegang “surat ijo”. Kenyataannya, setelah mereka duduk sebagai anggota DPRD atau pejabat di Pemkot Surabaya, alasannya terbentur perubahan Perda (Peraturan Daerah). nah, kita tunggu lagi janji-janji mereka yang saat ini sedang kampany sebagai calon walikota dan wakil walikota Surabaya. (Yousri)
Pak gimana tanggapan Bapak terhadap Cawali-Cawawali yg katanya ingin meperjuangkan membebaskan warga surat ijo menjadi SHM. Namun patut saya sesali mereka tak memahami hati sebagian besar warga pemegang surat ijo, katanya pelepasan surat ijo menunggu Perda yang mengatur pelepasan surat ijo dengan ketentuan ganti rugi. Inikan sama juga kita disuruh membeli lagi. Kenapa mereka-merka itu nggak kontrak politik misalnya isinya kalau aku jadi Walikota Surabaya akan bersama-sama DPRD Kota Surabaya mencabut Penguasan Hak tanah termasuk HPL (didalamnya Surat Ijo) utk dikembalikan kepada Negara/Rakyat dan selanjutnya agar Negara (BPN) menerbitkan SHM bagi warga negara Indonesia pemegang surat Ijo. Itu kan jelas…, bukan memainkan kata-kata bersayap, yg nggak pernah ada kenyataanya nanti. Tolong Pak Yousri ini disampaikan kepada DPRD Kota Surabaya dan para Calon Walikota dan Calon Wawali.
——————
Mas Ari Yusman,
Nah, kenyataannya memang demikian. Tidak semua pejabat di Pemkot ini yang peduli terhadap pemegang Surat Ijo, karena mereka mermang tidak menempati lahan HPL. Bahkan ada yang sama sekali tidak pernah baca apa itu tanah HPL atau yang disebut tanah Surat Ijo. Contohnya, para anggota DPRD Surabaya yang sekarang duduk di Jalan Yos Sudarso itu saja banyak yang abai terhadap kepentingan pemegang surat ijo itu. Saya sudah berulangkali menyampaikan, di samping itu InsyaAllah mereka membaca Blok saya ini, agar mereka bisa memahaminya. (Yousri)
Pak Yousry, saya ini sudah lama membaca buku-buku dan dokumen-dokumenlainnya Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dan nama lainnya, secara administratif (Pemda dan Badan yang diberi Otorita lainnya) mudah memanipulasi apalagi kalau hamparan tanah itu di daerah tak berpenghuni (walaupun mungkin sdh ada yang memiliki), wong sudah ada penghuninya tahun 1960 s/d87 saja, masih bisa dimanipulasi sehingga terbit HPL tahun 1997 misalnya. Ingat kasus Makam mbah Priok, keluraga mbah Priok sudah memiliki eigendom pada jaman Belanda, eh taunya kok tanahnya dicaplok jadi HPL Pemda DKI yang akhirnya dijual Perum Pelabuhan. Dan banyak lagi pelanggaran hukum agraria. Pemkot Surabaya dan DPRD kota Sby saat ini tengah menggodok Raperda Tanah yang dalam muatan pasal-pasalnya ada aturan pelepasan tanah yang luasnya maksimal 200 m dimana Pemkot anggap sebagai barang/kekayaan/asset Pemkot Sby dengan ganti rugi senilai tertentu sesuai NJOP. Hal ini sangat tidak adil karena warga menganggap warga harus membeli kembali kalau ingin jadi SHM. Sudahlah untuk Walikota Sby (baru) bersama-sama DPRD nggaka usah neko-neko dengan alasan asset harus ada pemasukan ganti rugi, bagi yang masih surat ijo harus bayar sewa/retribusi dll. Akhiri problem surat ijo dengan cara tanah negara yang HPL dan lain-lain yang dikuasai Pemkot Sbya dikembalikan kepada negara dengan cara Presiden mencabut HPL dan penguasaan lain-lain oleh Pemkot Sbya. Selanjutnya bagi WNI yang pemegang surat ijo diberi hak dengan SHM.
————————
Mas Edy yth,
Pokoknya sekarang kita menunggu apa yang dijanjikan oleh petinggi kota ini. Juga calon penguasa kota yang saat ini sedang “kampanye” dan salah satu di antaranya adalah “berjanji” akan memutihkan “Surat Ijo” dengan menjadikan HGB atau HM. Kita tunggu saja. (Yousri).
———————–
Kasus Surat tanah Ijo :
Kenapa Pak di negeri ini hukumnya banyak dilanggar oleh Pejabat/penguasa (seperti UUPA). Apalagi di Surabaya katanya yang illegal asal dibuat Perda jadi dilegalkan. Dapat dibayangkan ada 1 (satu) kapling tanah/ berdiri rumah dipungut 2 pungutan satunya PBB lainnya Sewa Tanah, alangkah menderitanya warganya. Sangat berbeda dengan negara Malaysia, tertib hukum dan penerapannya sungguh bagus. Rakyat dapat menikmati keadilan sosial di Malaysia. Di negeri kita Indonesia ini dikuasai mafia-mafia yang dapat menguasai tanah, dapat mengeruk duit rakyat dg jalan kerjasama dg DPRD dan Pejabat Penguasa Tunggal, hukum dapat diputarbalikkan oleh mafia-mafia kasus. Percuma kaum Nasionalis berkoar-koar 4 pilar yaitu ; Pancasila, UUD 45, Bineka tunggal Ika dan NKRI kalau yang ngomong bersemangat dengan berkoar-koar ternya bagian dari kaum Koruptor, pelanggar keadilan sosial dan penjahat HAM. Kembalikan tanah surat ijo kepada warganya menjadi SHM, tidak lagi dikuasai oleh HPL Pemkot Surabaya .
——————–
Mbak, memang demikian kenyataan yang sering kita alami. Tidak hanya masalah tanah HPL atau surat ijo ini saja yang ada penarikan ganda atau “pajak ganda”. Dalam berbagai pengurusan sering berganda-ganda. Tidak usah dibandingkan dengan negara lain, sesama kota di Indonesia saja aturannya tidak sama. Ada Perda )Peraturan daerah) yang seleranya tidak sama. (Yousri)
Pak yousri, aku punya tanah warisan ortu kapling ukuran 15 x 30 m ada bangunan semi permanen ukuran 7 x 10 m. letaknya di daerah Dukuh Kupang IX. dulunya antara tahun 80 s/d 92 dipakai galangan jual beli bahan bangunan, setelah ayah meninggal tahun 1992 usaha nggak ada yang meneruskan karena anak2nya banyak meniti karir sebagai PNS dan BUMN , semuanya tinggal di Jakarta dan Depok. Problemnya sorat ijo kami mati tahun 1994, sehingga mulai tahun 1994 sampai 2010 (16 th) kami nggak bayar PBB dan sewa tanah, sering aku tengok kalau ada urusan kantor dan keluarga di surabaya untungnya nggak ada apa-apa karena pagar terkunci rapat . Tapi tgl 23 Maret 2010, menurut orang warung dekat kapling itu yang saya percaya utk menjaga ada Pegawai PNS Pemkot Sby dan orang Cina yang mondar-mandir mengukur kapling itu dansempat ditegor oleh orang warung itu. Tapi setelah saya lapor kepada Pemkot Sby ( DPTB)t gl 25 april 2010, kata Pejabatnya nggak pernah memerintahkan bawahannya mengukur tanahku itu. dan tanah kapling itu masih tetap punya ortuku dan kalau mau balik nama kepada salah satu anaknya ongkosnya kira-kira habis Rp. 564.325.000 (ongkos resmi kata pejabatnya) tapi kalau mau pemutihan (tahu sama tahu) Rp.125 juta tapi kuitansinya total jenderal cuma Rp. 21.750.000. Berpa tuh yang dikorupsi coba ?. makanya aku setuju HPL Pemkot Surabay itu sangat perlu bahkan harus dicabut oleh Presiden RI (SBY) kalau Mendagri atau Kepala BPN kayaknya kok masih bisa ditembus Pemkot Surabaya alias nggak bakal mau mencabut karena mungkin saja dapat setoran juga dari pungutan liar (illegal) ini. Dus pada prinsipnya saya sangat setuju HPL pemkot Sby segera dicabut dan kapling-kapling tanah negara itu disertifikatkan (SHM) kepada pemegang surat ijo tanpa kecuali suratnya mati apa belum asalkan masih ada bukti aslinya dan asalkan WNI.**
————————
Mas Sasmito,
Mudah-mudahan para petinggi Kota Surabaya dan pejabat Pemerintahan yang di atasnya, serta para wakil rakyat yang pernah berjanji, maupun para calon walikota-wakil walikota yang juga berjanji akan menuntaskan masalah tanah HPL atau “surat ijo” ini membaca komentar Mas Sasmito. Insya Allah doa orang yang membutuhkan akan dikabulkan Allah. (Yousri)
———————–
Pak Yousri, cara memperoleh HPL yg benar itu bagaimana ? lalu lingkungan kampung sudah penuh rumah penduduknya dan dulu tiap-tiap rumah punya petok D,lalu dari lurah kok ditarik diganti surat ijo dan akhirnya ditarik sewa Pemkot Sby ? Apa benar caranya Pemkot Sby memperoleh HPL. Sebenarnya sertifikat HPL yang dimiliki Pemkot Sby ada apa tidak ?.
————–
Mas Warsono Yth,
Karena pertanyaannya bersifat teknis, saya kurang berkompoten untuk menjawab. saya ini hanya penulis, seorang wartawan yang hanya menjadi pengamat. Nah, kalau Mas Warsono ingin yang pasti, silakan datang ke Kantor Dinas Pengelolaan Tanah dan Bangunan Kota Surabaya, Komplek Kantor Pemkot Surabaya Jalan Taman Surya 1. Jawabannya mudah-mudahan memuaskan. (Yousri)
Pak Yousri di Surabaya ini ada beberapa jenis eks tanah Belanda :
– tanah eks Eigendom, Erfpacht dan opstal.
– tanah eks tanah partikulir (tanah yg dikuasai oleh tuan tanah swasta ( Baswedan , Deller dsb)
– gedung-gedung milik Belanda diatas tanah hak Belanda (eigendom,erfpacht dab opstal)
Bagaimana menurut aturan setelah negara Merdeka, sejarahnya kok bisa jatuh pada penguasaan Pemkot Sby, padahal setelah negara Indonesia merdeka (Belanda hengkang) tidak ada aturan hukum yang mengatur serta merta menjadi HPL / Penguasaan Pemkot Sby. Adakah surat2/dokument2 yang dapat mempunyai nilai bukti sebagai Sertifikat HPL/Penguasaan Pemkot Sby yang dibuat Pemerintah Negara RI sebagai pemerintah yang sah dan mempunyai kewenangan menerbitkan sertifiktat saat itu ?.
——————
Cak Listyo Brahmanto Yth,
Masih ada jenis tanah lain yang juga “disurat ijokan”, antara lain: Tanah Ganjaran (yaitu tanah bekas kas desa, sebelum berubah menjadi kelurahan), tanah hasil Pembebasan Tanah untuk kepentingan umum (oleh P2TUN atau panitia pembebasan tanah untuk negara), tanah di kawasan perumahan yang digunakan untuk Fasos dan Fasum (Fasilitas Sosial dan Fasilitas Umum), dan mungkin ada yang lain. (Yousri)
Pak Yousri, benar-benar tanah surat ijo ini adanya di kota Surabaya. Ternyata tanah-tanah eks eigendom Belanda, eks tanah partikelir yg karena UU dinasionalisasi itu kayaknya kok nggak otomatis jadi tanah HPL Pemkot Sby. Katanya HPL Pemkot hanya sekitar tahun 1997. Lalu posisi pemegang surat ijo sebelum tahun 1997 apa?, ada apa kok bisa menjadi HPL ketika tahun 1997 ? Kalau gitu selama ini kita ditipu dan ada manipulasi tanah-tanah warga yg seharusnya bisa jadi SHM dicaplok jadi HPL?. Tolong dong pola pikir Pejabat Pemkot dan DPRD Kota nggak aneh-aneh, yg menurut mereka tanah HPL pelepasannya harus melaui ganti rugi sesuai NJOP sebagaimana Raperda yg baru. Karena ini kejahatan Pejabat Pemkot Sby dahulu, mestinya tanah ini dilepas dg tanpa ganti rugi atau dikembalikan jadi tanah negara bebas melalui pencabutan HPL Pemkot Sby, dan memberikan hak privelegi (hak untuk diberikan terlebih dahulu) kepada pemegang surat ijo utk memperoleh SHM melalui pengurusan di BPN / Kantor Pertanahan Nasional. Bapak Yousri setuju khan… ?.
—————-
Pak Ahmad Busro Yth, Anda benar. Kenyataannya, siapapun Walikotanya, sejak zaman Pak Moehadji Widjaja saya sudah berdiskusi, berlanjut ke zaman Pak Poernomo kasidi dan Cak Narto, serta terakhir Cak Bambang DH. Ternyata mereka sebagai walikota saja tidak bisa berbuat, karena birokrasi dan Perda yang begitu mengikat. Mereka saling tuding dan tunjuk hidung. Tidak jelas, pelepasan HPL atau Surat Ijo diubah menjadi HGB (Hak Guna Gangunan) atau HM (Hak Milik), memang tidak semudah membalik telapak tangan. Kita tunggu janji para calon walikota baru. (Yousri)
Nggak ada Cawali yg patrut dipilih kecuali yg kontrak politik tanah surat ijo bebas sewa tanah, dan pelepasan tanah surat ijo tanpa ganti rugi . Kembalikan tnh HPL/ hak penguasaan Pemkot kepada Negara/ Rakyat Indonesia. Rakyat warga pemegang surat ijo memperoleh Sertifikat Hak Milik. Pilihanku Fitarjaya-Naen Nomor 5. Ayo Pak Yousri ikut dukung Nomor 5. Setuju.
———–
Cak Insan Kamil Yth,
Saya sudah tahu persis “isi perut” Surat ijo. Walaupun kontrak Politik dibuat sebanyak pemilik Surat ijo, kalau Sang walikota tidak mempunyai keberanian melakukan perencanaan dan perubahan Peraturan Daerah (Perda) tentang Hak Pengelolaan Lahan (HPL) alias Surat ijo itu, omong kosong. Dan maaf, apakah anda tahu proses yang sesuangguhnya untuk mengubah HPL menjadi HGB apalagi HM. Tidak gampang Cak. Jangan berjanji “memastikan”, tetapi katakanlah “InsyaAllah, akan saya perjuangankan”. Itulah kalimat yang baik, daripada janji dan janji yang tidak memahami yang dijanjikan. Demikian Cak Insan Kamil. (Yousri)
Ass. wr. wb…
Ada tim Sukses salah satu Cawali Sby, ngomong di tempat kami di kawasan bratanggede, bahwa nanti bila pelepasan surat ijo jadi setifikat (SHM) ganti rugi sesuai Perda yad. per-meter tanahnya Rp.1.000.000,- (satu huta rupiah). Bagi kami warga mayoritas disana, ini bukan berita gembira tapi suatu musibah. Sehingga tanah saya ukuran luas 160 m persegi, dkenai / ditetapkan ganti rugi Rp. 160.000.000,- perasaan Kami ini sekarang seaka-akan sudah menjadi warga jajahan. Disatu sisi kalau tanah kami nggak jadi SHM, statusnya dianggap tanah sewa karena dianggap asset Pemkot Sby, uang sewanya berat sekali apalagi kalau terlambat dikenai denda yg berlipat ganda, belum lagi PBB selalu naik, disisi lain kalau ingin jadi SHM harus melalui proses ganti rugi yang jelas-jelas mayoritas warga nggak mampu atau nggak mau. Bagaimana problem ini penyelesaiannya yg adil dan bijaksini Pak Yousri ?. Mungkin jalan satu-satunya Tanah HPL (penguasaan) Pemkot Sby ya harus dicabut dan pemegang surat ijo memperolah Sertifikat Hak Milik (SHM). Bagaimana menurut Pendapat Pak Yousri ….. ?.
———————–
Maaf Cak Pardiman Yth, kalau ada Tim Sukses yang ngomong begitu, itu jare wong Suroboyo, “asal njeplak”. Bikin panas kuping. Itu bertujuan memenangkan Cawali yang diusung atau menjebloskan. Bagi saya, para pemegang HPL yang sudah berpuluh tahun, atau sekurang-kurangnya lebih 30 tahun, selayaknya “hanya membayar administrasi pengalihan status saja”. Artinya, tidak harus dihitung dengan dasar NJOP (Nilai Jual Objek Pajak). Sebab pengalihan status itu “bukan jual beli” sekali lagi “bukan membeli”. Dan Pemkot Surabaya tidak berhak “menjual tanah HPL”, kecuali mengalihkan status menjadi HGB atau HM melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN). Di sini para Wakil Rakyat yang dulu berjanji waktu kampanye untuk mengubah Perda, wajib untuk bertanggungjawab. Tagih “mana janjimu!”. Nah, kalau harus dengan tarif yang disebutkan “orang yang mengaku” Tim Sukses Cawali itu, maaf, jangan mau dan jangan mau. Kata Orang Surabaya: “Duik-e sopo! Duik-e Mbah Sangkil ta?”. Begitu pendapat saya Cak Pardiman. Maaf, saya agak “panas” juga membaca komentar penjenengan. Sepurane Cak. Matur sembah nuwun komentarnya. (Yousri)
Pak, mohon info mengenai sikap atau tanggapan para calon walikota surabaya 2010-2015 mengenai status surat ijo, apa perbedaan sikap masing masing……
——————–
Mas Librantoro Yth,
Bacawali yang akan tampil pada Pemilu Kada Surabaya 2 Juni 2010, belum ada yang berjanji “tegas”, mereka masih ragu-ragu, sebab kewenangan eksekutif hanya mengajukan Raperda perubahan kepada DPRD, sedangkan keputusan ada pada Paripurna DPRD Surabaya. Jadi, menurut saya, jumlah suara di DPRD yang bisa dipengaruhi Walikota-Wakil Walikota terpilih kelak, bisa diwacanakan. (Yousri)
Ass.wr.wb. Maaf Pak Yousri, apa yang ditulis dlm komentar Pak Pardiman itu benar-benar ada. Kemaren ditempat saya di Pucangsewu juga ada Tim Sukses dari salah satu Calon ngomoing soal ganti rugi yang dg bangganya mengutarakan visi, misi dan program kerja Calonnya yg diantaranya katanya per meter Rp. 1000.000,- (satu jut rupiah per meter) . Kami semua yang hadir dalam pertemuan sepakat semuanya menolak alias nggak setuju untuk penyertifikatan pemegang surat ijo jadi SHM dengan ganti rugi dg cara begitu. Yang belum ada Calon Kepala Walikota dan Wakil Walikota, menganjurkan untuk tidak bayar sewa tanajh, itu yg kami sesalkan… karena belum ada cawali Sby yg berani terang-terangan tidak membayar sewa tanah. Jadinya kami mungkin golput.
————————
Cak Arif dan kawan-kawan Yth,
Saya tambah prihatin terhadap “ketidakpedulian” mereka yang bakal menjadi penguasa, tetapi kurang menghayati masalah tanah HPL atau Surat Ijo. Mereka menganggap persewaan tanah milik negara itu adalah hal yang wajar. Padahal, untuk lahan rumahtangga, setahu saya hanya Kota Surabaya yang masih meneruskan warisan Kolonial Belanda. Nah, kalau memang tidak ada petinggi Surabaya dan Pusat, baik pejabat eksekutif maupun legislatif (DPR dan DPRD) yang bisa diharapkan, sudah waktunya Warga Surabaya pemegang HPL atau Surat Ijo menyampaikan Gugatan melalui Mahkamah Konstitusi atau membatalkan Perda Kota Surabaya itu kepada Komisi Yudisial. (Yousri)
Adminstrasi pertanahan di negara kita, kata lawyer memang amburadul. Terlebih lagi tanah surat ijo, kayaknya di Surabaya ini Aparat/Pejabat/Pengauasa di Pemkot surabaya tidak pernah sungguh-sungguh mempunyai goodwill (kebijakan yang baik) melepas Surat Ijo. yang ada ‘bermain’ di Surat Ijo karena dengan dalih HPL adalah asset Pemkot Sby. disatu sisi mempertahankan asset ya ada duit sewa tanah, melepas tanah surat ijo ya ganti ruginya tinggi. Ini kan permainan orang-orang (aparat/pejabat/penguasa) yang mengatasnamakan surat ijo, ujung-ujungnya saya yakiiinnn, ada korupsiiii disana. Mestinya Pejabat Pusat ini tahu, tidak saja Mendagri, Kepala BPN Pusat bahkan Presiden RI, bahwa dibalik ke-ogah-an mereka-mereka itu waktu menjabat atau setelah menjabat untuk melepas surat hijau dengan benar dan wajar, tanpa membebani warga pemegang surat ijo yg minta ganti rugi sama saja dg membeli kembali. Sekarang Presiden saja yg harus bertindak tegas untuk mencabut HPL/penguasaan tanah atas surat ijo. Aku sudah nggak percaya janji-janji Kampanye Calon Walikota Sby , karena ternyata dibalik kalimat bersayap terdapat ketidak sungguhan. Aku cari ketegasan Pak Yousri.
—————–
Ning Lusi Yth,
Apa yang Ning Lusi ungkapkan itu, memang benar dan terjadi. Itu bukan sekedar uneg-uneg, tetapi sudah menjadi kenyataan. Saya sudah banyak tahu tentang itu. Berapa banyak lahan HPL atau surat ijo itu yang dilepas oleh oknum Pejabat/Pegawai Pemkot Surabaya untuk kepentingan “orangnya sendiri”, bahkan tidak sedikit pula yang menjadi ajang bisnis kotor. Walikota dan petinggi yang di atas ada yang tidak tahu, ada pula yang berpura-pura tidak tahu, bahkan ada yang tidak mau tahu. Ayo tegasnya, warga pemegang Surat Ijo, setelah walikota baru ramai-ramai datang menagih janji sekalian menuntut diubah Perda “persewaan tanah” itu ke DPRD Surabaya. (Yousri)
Pak Yousri, aku kok nggak ngerti dari pikira-pikiran Pejabat atau mantan Pejabat Pemkot Surabaya dengan Masyarakat Surabaya. lalu yg benar yang mana ?
Katanya Pejabat dan Mantan Pejabat Pemkot atau yg pingin jadi Pejabat Pemkot Surabaya, katanya Surat Ijo itu jadi asset Pemkot Sby, walaupun bagaimana dulunya (ada pelanggaran, penipuan dan manipulasi misalnya),pelepasannya harus pakai ganti rugi yg dibebankan warga pemegang surat ijo (sesuai hasil pertemuan dg pak farid) ?
Lalu, pendapat warga pada umumnya bahwa pelepasan surat ijo jadi SHM harus tanpa ganti rugi apalagi harus sesuai NJOP (intinya warga menolak pelepasan dengan ganti rugi) kalau Pemkot Sby masih ngotot. warga boikot gak bayar PBB apalagi retribusi pemakaian tanah surat Ijo. Dan akhirnya Wrga sepakat HPL atas surat ijo harus dicabut Pemerintah (Presiden). Yang benar yg mana Pak, kalau nuruti Pemkot Sby aku jadi edan… Lama-lama negeri ini akan menumbuh suburkan terorisme akibat tidak ada keadilan sosial sebagaimana Sila ke5 dari Pancasila ? bagaimana pendapat Bapak ?
——————-
Cak Basusiswo Yth,
Ha ha ha, begitu saja tanggapan saya atas komentar penjenengan. Boleh nggak?
Tetapi, memang demikianlah kenyataannya. Kalau dihitung-hitung, hasil dari sewa lahan HPL melalui IPT (Izin Pemakaian Tanah) yang menggunakan map hijau, sehingga disebut Tanah “Surat Ijo”, sebenarnya tidak seberapa dibandingkan dengan PAD (Pendapatam Asli Daerah) apalagi APBD Kota Surabaya dari tahun ke tahun. Kalau mau jujur, hasil yang diperoleh dari sewa tanah HPL di Surabaya itu jauh di bawah jumlah pembayaran gaji karyawan di Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah Kota Surabaya.
Memang, sudah bukan rahasia lagi, tanah HPL yang disewakan itu banyak yang menimbulkan kasus korupsi, karena ada oknum pejabat dan pegawai Pemkot Surabaya yang memanfaatkan pengurusan perpanjangan status penyewa dan keterlambatan pembayaran sewa. Nah, enak-e ya opo? (Yousri)
Pak Yousri, UUPA (UU No 5/1960) sebagai landasan hukum pertanahan dalam pasal 1 dijelaskan Hak atas tanah dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dan badan hukum. Pemkot Sby sebgai badan hukum negara hanya diberikan hak pakai. Disisi lain, Negara hanya dapat menguasai tanah (bukan memiliki) antara lain bertugas mengatur peruntukan tanah bahwa kewenangan sebagian pelaksanaan penguasaan tanah dapat dilimpahkan kepada pemegang HPL. Ketentuan lanjutan UUPA sebagaimana Permendagri No. 1 tahun 1977, Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 12 Tahun 1989 dll aturan lain diantarannya menjelaskan bahwa Pemegang HPL wajib menyerahkan bagian-bagian dari pada tanah ( karena bukan diperlukan untuk keperluan tugas dinasnya) kepada pihak ke tiga dengan Hak Milik, HGB dan Hak Pakai untuk Pengembangan Wilayah Pemukiman.
Berdasarkan pengalaman di Daerah-daerah lain (Kota Bandung dan Semarang) bahwa tata cara pengalihan hak untuk bagian tanah HPL kepada Pengembang (developer) dengan tanah yang telah dikuasai warga tentunya berbeda. Pengalihan sebagian tanah HPL dengan Pengembang melalui proses tukar guling. Tapi kalau pengalihan sebagain tanah HPL yang telah terlebih dahulu tanahnya dikuasai warga adalah dengan cara pelepasan tanpa ganti rugi dan BPHTBnya nol persen. Apalagi cara memperoleh HPL Pemkot Surabaya ini banyak cacat hukum (ada unsur penipuan, pemaksaan dan penyesatan), atau mungkin realitanya tanah-tanah Pemkot ini banyak yg belum HPL (alias HPL awu-awu) apalagi tanah dan bangunan yang bukan untuk keperluan tugas Dinasnya dianggap asset. Ini khan penyesatan hukum ?. Oleh karena itu Walikota surabaya yg baru nanti, harus dan wajib ulangi harus dan wajib melepaskan tanah pemegang surat ijo (baik ygn mati ijinnya maupun yang masih berlaku) tanpa ganti rugi, ulangi tanpa ganti rugi alias gratis hanya uang administrasi yg tentunya murah utk pengurusan Sertifikat Hak Milik bagi WNI.
——————————
Mbak Eka Yth,
Memang benar mbak, apa yang mbak ungkapkan itu adalah benar. Para wakil rakyat kita dulu-dulu (periode sebelumnya) memang pernah melakukan studibanding ke Bandung, Jakarta dan Medan. Sudah dibuat rancangan Perda (Peraturan Daerah) untuk mengubah Perda yang lama. Eeee alaa, hingga sekarang masih saja terjadi “tarik-ulur” dengan berbagai dalih. Bagitu mbak. “Jare wong Suroboyo, ya ngono iku!!!” (Yousri)
Pak Yousri, yanh dinamakan tanah dan bangunan asset Pemkot Sby mestinya tanah dan bangunan yang diperuntukkan dan digunakan untuk keperluan tugas Dinasnya ( Rumah Sakit, Sekolah, Kantor-kantor Pemerintahan dan Fasilitas Umum dan Fasos). Pengalihan tanah HPL Pemkot kepada warga yg telah menuasai tanah (pemegang surat ijo) harus tanpa ganti rugi karena itu bukan asset Pemkot Sby. Adanya upaya pelepasan/pengalihan tanah dg ganti rugi bagi Warga Pemegang Surat Ijo kepada Pemkot Sby adalah bentuk penyesatan hukum. Jelas disitu ada unsur penipuan dengan ujung-ujungnya korupsi ‘berjamaah’ Pejabat Pemkot Sby dg DPRD Kota Surabaya, jaring pengaman yg sering main karena dapat jatah semacam Bakorstanasda pada jaman Orba bagi Pejabat Pemkot Sby dan DPRD Sby, adalah Centeng-centeng oknum TNI/ Polri seperti Kodam, Kodim, Polda, Polres, dan lainnya mungkin adalah Bakesbang dan Satpol PP.
—————
Mbak Eka yang saya hormati,
Wah, saya tidak perlu komentar, karena saya yakin para pemerhati juga sudah maklum. Para ahli hukum tentu lebih memahami persoalan ini. Kepada warga Surabaya yang peduli, khususnya pemegang Izin Penempatan Tanah (IPT) yang dikuasai Pemkot Surabaya, tentu tidak ingin berbelit-belit urusan tanah ini. Nah, karena zaman sudah berubah dengan Era Reformasi, tentu polanya juga tidak sama. Bagaimana mbak Eka? (Yousri)
Assalamu alaikum, Datuak Rangkayo nan Basa ehh… salah, Pak Yousry…
Setelah baca-baca masalah surat ijo di blog-blog Internet, ternyata yg banyak dikomentari blognya Pak Yousri…
Ini mau urun rembug soal tanah surat ijo, supaya nggak timbul tenggelam saja, ramenya kalau ada Pemilu dan Pilkada Kota Surabaya saja, padahal ini patut menjadi persoalan Tingkat Nasional untuk segera diselesaikan. Maka sepatutnya para pemegang surat ijo dan simpatisannya untuk membentuk Dewan Rakyat Surat Ijo (DRSI), karena selama ini hanya jadi komoditi menjelang Pemilu dan Pilkada saja dan selama ini DPRD Kota Surabaya setelah terbentuk kalau bicara mengenai surat ijo selalu ngawur dan/atau nggak pernah mau menyelesaikan surat ijo jadi SHM. Tujuan : a. agar menjaga kesinambungan dan meningkatkan program surat ijo jadi SHM tanpa ganti rugi b. pressure kepada Walikota/Wakil Walkota dan pejabat terkait dan DPRD Kota Surabaya, supaya benar-benar berjuang sesuai koridor hukum yg membela Rakyat/Warga pemegang surat ijo bukan untuk kepentingan pemilik modal dan investor . Vox Populli Supreme Lex.
—————–
Mbak Tuti Yth,
Terimakasih lebih dahulu atas perhatiannya dan singgah ke Blog “Raja Agam”. Wah bagus ide yang mbak Tuti sampaikan. Saya rasa banyak yang mendukung. Bahkan, berbagai kelompok dan komuninas Peduli Penyelesaian masalah Surat Ijo (tanah HPL Pemkot Surabaya yang disewakan kepada warga) sudah lama berjuang dan melakukan kegiatan. Saya kira, apa yang mbak Tuti sampaikan ini akan mendatap tanggapan dari masyarakat Surabaya. (Yousri)
Pak Yousri Yth. Bagaimana kalau komunitas pemegng surat ijo ini urunan membuat media cetak semacam tabloid yg dapat dijadikan sarana uneg-uneg dan sosialisasi masalah hukum pertanahan khususnya masalah tanah surat ijo. Soalnya sampai saat ini banyak diantara kita yang tak faham masalah hukum pertanahan khususnya surat ijo, sehingga sering kali dikadali aparat Pemkot Surabaya dalam pengurusan balik nama dan pembayara sewa tanah. Atau tabloid ini dapat sebagai alat pencerahan utk warga Surabaya pemegang surat ijo dalam melawan “penjajah Pemkot Surabaya” Bagaimana caranya Pak Yousri, terserah…
——————-
Mbak Anne yang Peduli,
Apa yang mbak Anne wacanakan itu sangat bagus. Kendati demikian, agar tidak repot-repot, ayo kita manfaatkan mediamassa yang sudah ada. Ada suratkabar (harian, mingguan dan berkala), tabloid, majalah, radio, televisi, media on-line dan media tatap muka (diskusi, seminar dan sebagainya). Dari para ahli dan pemerhati, serta pengguna “Surat Ijo” memberikan bahan masukan yang menjadi bahan untuk disiarkan di mediamassa atau didiskusikan secara terbuka. Nanti warga penyewa tanah milik Negara yang dikuasai Pemkot Surabaya eks Gemeente Soerabaia bersama para ahli dan pemerhati yang peduli dapat urun-rembug dan mewujudkan segala harapan yang diharapkan bersama. Bagaimana mbak Anne? Untuk itu, saya siap memfasilitasinya. (Yousri)
Pak Yousri, kenapa pelepasan surat tanah ijo harus pakai ganti rugi segala. Sudahlah DPRD jangan macam-macam, kalau dalam pelepasan tanah negara (termasuk HPL Pemkot Sby) biasanya di daerah lain warga hanya memberikan uang pemasukan kepada negara, karena pemegang surat ijo rata-rata sudah puluhan tahun mestinya jangan pakai ukuran NJOP, kalau perlu gratiskan saja. Apalagi warga bertahun-tahun telah ditipu ?
————————–
Salam hormat untuk Pak Ramli,
Pak, sebenarnya persoalan tanah dgn Surat Ijo atai IPR (Izin pemakaian Tanah) artinya: sewa. Padahal, seharusnya tanah negara itu tidak disewa, tetapi dapat menjadi hak milik. Pemohon Hak (Hak Guna Bangunan=HGB), Hak Milik (HM) dan HGU (Hak Guna Usaha) seharusnya dapat langsung dengan membayar kontribusi kepada pemerinah melalui BPN, kemudian mendapat sertifikat. Kontribusi itu tidak dapat dikaitkan dengan NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak). Pak Ramli, untuk mengubah Perda, harus ada keseriusan, kebersamaan dan kemauan dari Walikota dan DPRD. Persoalan tidak hanya dapat diselesaikan dengan Perda, sebab Perda itu harus mendapot pengesahan Menteri Dalam Negeri, serta perlu pula di ubah UU (Undang-undang) tentang pelepasan aset daerah. (Yousri)
Masalah Tanah Surat Ijo, solusinya apa Pak Yousri ?
Kalau pendapat saya :
1. HPL Pemkot Surabaya yang berkaitan pemukiman cabut
saja, dg memberi uang pemasukan pada kas negara. Dg
demikian Pemkot Surabaya nggak dapat apa-apa
2. HPL Pemkot Surabaya berkaitan pemukiman dilepas dari
Perda Asset Pemkot, dg kompensasi perkapling :
– tanah dg luas kurang dari 100 m bayar Rp. 1,5 juta
– tanah dg luas 100 – 200 m bayar Rp. 3 juta
– tanah dg luas 200 – 300 m bayar Rp. 4,5 juta
– tanah dg luas 300 – 400 m bayar Rp. 6 juta
– tanah dg luas lebih dari 400 m tiap-tiap kelebihan per
meternya dikenai biaya Rp. 50.000,- (lima pluh ribu).
Setuju nggak Pak Yousri ?
——————
Wah, ini pemikiran yang bagus Mas Mardi. Namun saya tidak berani menanggapi komentar anda. Mudah-mudahan yang lain membaca komentar anda ini. Maaf, karena harga dan nilai patokan, serta kebojakan itu, belum jelas sampai sekarang. (Yousri)
Tiada kata yang pantas diucapkan untuk kesalahan, keserakahan dan kesombongan Pejabat Pemkot Surabaya yg telah makan uang tidak halal hasil pungutan ilegal retribusi sewa tanah surat ijo, (maaf satu kata “b………….. ” ini terpaksa saya hapus — Yousri)
Tiada kata yang pantas atas kekeliruan kebijakan Pemkot Surabaya yg telah menyewa-nyewakan tanah negara/rakyat :
Cabut HPL Pemkot Surabaya, hapus perda asset tanah pada tanah surat ijo sekarang juga. Ulangi lagi : cabut HPL Pemkot Surabaya dan hapus tanah surat ijo sekarang juga.
Lalu… kembalikan tanah negara pada rakyatnya, pada pemegang surat ijo untuk menjadi SHM bagi WNI, tanpa ganti rugi.
——————–
Mas Rahmat Sudjiwo Yth,
Apa yang anda sampaikan, sebenarnya sama dan seirama dengan para pemegang Surat Ijo yang lain. Semoga pejabat yang berwenang dan para wakil rakyat yang “kita” pilih untuk duduk di DPRD dan DPR bisa merealisasikan janjinya. Dan maaf Mas, kata “b…..” terpaksa saya hilangkan.
(Yousri)
UUPA sudah jelas, bahwa negara bukan pemilik tanah apalagi Pemkot Surabaya. Sehingga Negara (termasuk Pemkot Surabaya) tidak boleh menyewa-nyewakan tanah kepada warganya . Justru warga harus segera diurus menjadikan pemegang surat ijo menjadi SHM bagi WNI dengan cara membayar uang pemasukan kepada Kas Negara. Tanpa ganti rugi apalagi memakai kriteria sesuai NJOP kepada Pemkot Surabaya.Kalau harus memakai ganti rugi sesuai NJOP kepada Pemkot Surabaya, ini kekeliruan besar dan ada penyesatan hukum karena rujukan dan penerapan hukum perbendaharaan kekayaan daerah sebagaimana diatur permendagri itu banyak yang salah. apalagi sejarah tanah ijo yg dijadikan HPL Pemkot , bukan dari pengadaan dari tanah yang dibeli Pemkot Surabaya dg uang APBD tetapi mayoritas dari eks tanah Belanda dan tanah eks tanah partikelir. Jadi kalau Walikota dan DPRD Kota Surabaya tetap ngotot saja, Pemerintah Provinsi sebagai wakil Pemerintah Pusat harus mencabut saja HPL Pemkot Surabaya atau kalau Gubernur tidak berani maka Mendagri atau Presiden harus mencabutnya dan memberikan kepada yang menguasai / memegang surat ijo untuk mendapat haknya (SHM bagi WNI) dan hak lain pada warga asing. Memang bagi yang mendapat pelepasan tanah negara menjadi SHM (HGB< HGU dll) tentunya ada uang pemasukan kepada negara tapi nilai jumlah rupiahnya tentunya tidak berat, jauh dari nilai ganti rugi yang rencananya dibuat Perda oleh Pemkot Surabaya yang sangat tidak adil dan tidak manusiawi.
——————-
Mas Suwito Yth,
Memang demikian kenyataannya. Tetapi apakah mungkin HPL yang berada di “tangan” Pemkot Surabaya dicabut? Mungkinkan ada keberanian dari DPRD Surabaya? Apalagi harus memerlukan persetujuan Mendagri? Namun, bagaimanapun juga perjuangan harus berlanjut. sampai hak warga terwujud. Semoga. Amiiin.
(Yousri)
Assalamu ‘alaikum wr. wb. Pak Yousri…
Dengan mencuatnya kasus tanah surat ijo yg makin lama makin disambut antusiasme warganya (pemegang surat ijo), kita harapkan makin menyadarkan bahwa banyak masalah yg belum terselesaikan oleh Pemkot Surabaya akibat kekeliruan yg fatal kebijakan elit pemerintahan kota Surabaya pada tahun-tahun yg lalu sampai saat ini.
Contohnya : Kebijakan atas tanah kita, tanah eks eigendom S.1304 yg notabene tanah eks Belanda dan beberapa lahan eks tanah partikelir yang sudah didiami rumah puluhan tahun bahkan hampir 30 tahun, seperti wilayah pucangan, pucangsewu, kertajaya, ngagel jaya, ngagel tama, ngagel madya, ngagel wasana,barata jaya, bratanggede dll dimasukkan sebagai tanah asset Pemkot Surabaya. Padahal kalau mengacu pada Permendagri No. 17 Tahun 2007 dalam satunpasalnya menyebutkan bahwa: Barang milik Daerah (asset Daerah) adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau perolehan lainnya yang sah.
Yang jelas tanah eks eigendom 1304 dan tanah-tanah partikelir lainnya bukan diperoleh melalui pembelian atau diperoleh atas beban APBD, dan warga tidak pernah menghibahkan tanah-tanahnya kepada Pemkot Surabaya sebagaimana maksud ketentuan perolehan lainnya yang sah.
Kenyataan sebagaimana diatas , walau secara hukum mestinya bukan asset Pemkot Surabaya, tanah-tanah di Daerah kita dianggap asset Pemkot, dan saat ini masih ditarik retribusi sewa tanah/ retribusi pemakaian tanah dan tiap 5 tahun harus diperpanjang, bahkan ada yg lucu, ada tanahnya menjadi HGB diatas HPL. apa ini nggak gila Pemkot itu ?. Maka dg ini warga harus menuntut pada siapapun Walikotanya, agar sesegera mungkin kawasan-kawasan tersebut diatas pemegang surat ijo-nya dijadikan Hak Milik bagi warga yg WNI tanpa kecuali termasuk yg sudah tidak membayar retribusi sewa/pemakaian tanah. Justru yg nggak membayar itulah yg sudah pada jalan yg benar. Bagimana Pak Yousri, sebagai tokoh pers mohon dukungannya.
—————
Mas Hendro Yth,
Apa yang anda ungkapkan benar. Bahkan belum banyak yang memahaminya, termasuk di sini para wakil rakyat kita yang duduk di DPRD Surabaya, DPRD Jatim, bahkan DPR. Hingga sekarang juga masih menggunakan ketidakpuasan warga itu sebagai “ajang politik” dengan janji dan janji. Padahal, persoalan tidak segampang itu. Sebab, Pemkot Surabaya sebagai “pewaris” Gemeente Surabaia yang sudah membuat Perda (Peraturan Daerah) yang seolah-olah tanah-tanah dengan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) peninggalan Belanda itu sebagai “tanah milik” Pemkot Surabaya, bukan TANAH NEGARA BEBAS. Sehingga, prosedurnya dibuat seolah-olah penyewa (pemegang IPT atau Izin Pemakaian Tanah yang disebut Surat Ijo) hanya dapat menjadi pemegang Hak (HGB atau HM) dengan “maaf, seperti membeli”, karena dinilai dengan NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak). Bahkan bukan itu saja, karena tanah yang disebut HPL ini merupakan aset Pemkot Surabaya yang dilindungi Perda, maka untuk melepaskan aset itu harus mengubah Perda/penetapan DPRD Surabaya, kemudian harus mendapat persetujuan Mendagri.
Nah, artinya “dibuat jalan berliku dan panjaaaang”. Sampai kapan? Tergantung DPRD Kota Surabaya dan Mendagri. jadi bukan “hanya” berdasarkan keputusan walikota Surabaya saja (seperti janji-janji calon walikota saat kampanye sekarang ini). Demikian Mas Hendro Kusumanto. (Yousri).
Apa yang anda ungkapkan benar. Bahkan belum banyak yang memahaminya, termasuk di sini para wakil rakyat kita yang duduk di DPRD Surabaya, DPRD Jatim, bahkan DPR. Hingga sekarang juga masih menggunakan ketidakpuasan warga itu sebagai “ajang politik” dengan janji dan janji. Padahal, persoalan tidak segampang itu. Sebab, Pemkot Surabaya sebagai “pewaris” Gemeente Surabaia yang sudah membuat Perda (Peraturan Daerah) yang seolah-olah tanah-tanah dengan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) peninggalan Belanda itu sebagai “tanah milik” Pemkot Surabaya, bukan TANAH NEGARA BEBAS. Sehingga, prosedurnya dibuat seolah-olah penyewa (pemegang IPT atau Izin Mas Hendro Yth,
Pemakaian Tanah yang disebut Surat Ijo) hanya dapat menjadi pemegang Hak (HGB atau HM) dengan “maaf, seperti membeli”, karena dinilai dengan NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak). Bahkan bukan itu saja, karena tanah yang disebut HPL ini merupakan aset Pemkot Surabaya yang dilindungi Perda, maka untuk melepaskan aset itu harus mengubah Perda/penetapan DPRD Surabaya, kemudian harus mendapat persetujuan Mendagri.
Nah, artinya “dibuat jalan berliku dan panjaaaang”. Sampai kapan? Tergantung DPRD Kota Surabaya dan Mendagri. jadi bukan “hanya” berdasarkan keputusan walikota Surabaya saja (seperti janji-janji calon walikota saat kampanye sekarang ini). Demikian Mas Hendro Kusumanto. (Yousri).
Ass. wr. wb. Yth. Uda Yousri… ada pertanyaan yg mengganjal saya :
1. Apa benar tanah-tanah eks Eigendom, eks tanah partikelir dll, temasuk bangunan eks milik orang/pemtah setelah merdeka ,otomatis dinasionalisir menjadi tanah negara, lalu menjadi otomatis menjadi tanah Pemkot Surabaya, mestinya ajaran hukum nggak begitu ?. Ajaran hukum Perdata (hk Benda) : orang/badan memperoleh barang/benda (bergerak/tak bergerak) karena melakukan perbuatan hukum aktif tertentu (jual-beli, tukar menukar, hibah dll). Lalu Pemkot Sby memperoleh tanah negara eks tanah eigendom, eks partikelir dll, buktinya apa ?, kalau ada bukti, itu sah atau mengada-ada (awu-awu) ?
2. Pemkot Sby berkali-kali mendalilkan tanah eks gemeente de soerabaia menjadi tanah HPL ( walau pun baru 1997) seakan-akan Pemkot Sby kepanjangan tangan Pemerintah Belanda atau Pemkot Sby setelah merdeka memperoleh hibah/warisan dari Pemth Belanda ?, padahal logika hukum semua tanah eks Belanda mestinya tunduk dinasionalisir menjadi tanah negara, jadi tidak otomatis jadi tanah HPL Pemkot Sby apalagi HPLnya baru Tahun 1997. Uda Yousri mari kita dukung pelepasan atau pencabutan tanah HPL atas surat ijo tanpa ganti rugi kepada Pemkot Sby, karena ini pola pikir yang benar. Pelepasan hak/pencabutan tanah HPL menjadi tanah negara bebas dan pelepasan tanah negara ( surat ijo ) menjadi SHM bagi WNI dengan pemberian uang pemasukan kepada Kas Negara semurah mungkin karena warga sudah menguasai tanah secara fisik dan yuridis selama puluhan tahun. Setuju kah Uda Yousri ?
——————-
Adinda Riswanto,
Apa yang anda ungkapkan sangat benar. nah, persoalannya sekarang, kapan akan berakhir? Di sini kita perlu action, sudah terlalu lama kita diskusi dan mengeluarkan dalil dan dalil hukum. Namun, entah mengapa, masalah ini hanya ramai menjadi topik apabila ada kampanye, Walikota dan Legislatif. Ayo, mari kita duduk bersama untuk berbuat, tidak lagi sekedar bicara. Bagaimana?
(Yousri)
Pak Yousri Yth.
Masalah surat jo ini jelas-jelas dari segi apapun kebijakan Pemerintah selama mini salah, karena membiarkan pelanggaran hukum agraria/pertanahan. Jadi bukan saja Pemkot Sby, tapi juga PemProv Jatim, Mendagri dan Presiden. Apalagi lembaga perdilan kita saat ini tidak memihak hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat tapi lebih memihak “kekuasaan” dalam arti (kekuasaan,Politik dan Uang).
Aku sangat setuju masalah surat ijo ini harus menjadi masalah Nasional, sehingga perlu menjadi agenda Presiden RI cq Mendagri dan Kepala BPN wajib menyelesaikan surat ijo menjadi SHM bagi WNI. bahkan Lembaga Peradilan tertinggi (MA dan MK) perlu tahu agar setiap sengketa pertanahan HPL bermasalah dg masyarakat perlu dikaji secara seksama, kebenaran penggunaan HPLnya untuk apa ?, lalu warga yg bertahun-tahun menduduki tanah secara sah peningkatan hak nya harus bagaimana ? Perlu dikaji juga tanah yg diduga HPL sudah diserahkan pihak ketiga untuk pemukiman, pelepasan harus bagaimana karena banyak hal pemegang HPL (Pemda, Daerah Otorita dan PT Pelabuhan) juga banyak melaksanakan pelanggaran, salah satunya setelah HPL telah diberikan Pemerintah tidak cocok peruntukan penggunaanya atau penggunaan tanahny ternyata tidak melulu utk kepentingan dinasnya, bahkan utk kepentingan dinasnya lebih sedikit dibanding yang kosong yang akhirnya disewakan dan dijual-belikan pada perorangan utk pemukiman, Sehingga timbul motivasi lain oleh pemegang HPL yaitu menyewa-nyewakan dan memperjual-belikan. Dari sinilah timbul sengketa.
Aku yakin masalah surat ijo ini kalau tidak segera diselesaikan menjadi SHM bagi WNI secara benar menurut hukum agraria tentu akan menjadi bom waktu bagi Pemkot Surabaya, bahkan dapat mungkin terjadi revolusi berdarah, karena pandangan Pejabat Pemkot Sby masih sangat keliru. Pejabat Pemkot Sby terhadap pemegang tanah surat ijo masih seperti “penjual tanah” menjual tanah kepada warganya pemeganga surat ijo sebagai “pembeli” tanah, padahal dalam hukum agraria adl Negara/Pemerintah/Pemda bukan pemilik tanah. Ayo kita teruskan perjuangan tanah surat ijo menjadi SHM bagi WNI. Kalau Pemkot Sby dan PemProv Jatim tdk mampu mengatasi masalah ini secara benar dan adil, perlu menjadi Masalah Nasional yg mengganggu stabilitas nasional, bahkan sampai Revolusi…. Setuju kan Pak Yousri … ?
—————-
Wa’alaikumsalam Mas Sud,
Ha ha ha Wah wah, komentar Mas Sudarisman memang mantap. Saya sampai-sampi tidak bisa membuat pernyataan. Apa yang Mas Sud sampaikan adalah benar. Mungki9n banyak yang membenarkan. Semoga, aparat yang berwenang, khususnya wakil-wakil kita di legislatif “tidak tutup kuping”. Bagaimana Mas Sudarisman?
(Yousri)
Salam utk Saudaraku terkasih, Bung Yousri yg Raja Agam. salam Nusantara.
Mestinya masalah surat ijo ini bukan menjadi gerakan hangat-hangat tahi ayam. Hangat kalau jelang Pemilu dan Pilkada. Adem ayem kalau sudah nggak ada kegiatan yg berkaitan politik sebagaimana diatas.
Aku ingin tanya sekaligus usul Bung Yousri.
1. Diantara tanah-tanah itu, daerah mana-mana saja yang sudah HPL dan yg belum ? 2. Tanah-tanah HPl/non HPL Pemkot Surabaya mana yg dulu merupakan ‘warisan’ atau ‘hibah’ dari jaman Belanda (misalnya tanah-tanah eks eigendom dan besluit) dan tanah mana saja yang hasil pembelian, tukar guling dan eks tanah ganjaran ( P2TUN) /
3. Apakah benar, semuanya dimasukkan dalam tanah asset Pemkot ?, apa nggak spesifikasi agar nggak keliru/ngawur ?. Lalu apakah nantinya dari berbagai asal-usul penyelesaiannya dalam pelepasan tanahnya harus pakai ganti rugi, mengingat disatu sisi memang benar ada yang dari pembelian tanah, tukar guling daneks ganjaran, tapi disegi lain ada tanah yang nggak jelas tapi diakui dari ‘warisan’ atau ‘hibah’ dari penjajah Belanda ?
4. Lalu solusinya yang adil menurut Bung Yousri, bagaimana ? Karena jangan sampai warga yg bertahun-tahun memegang surat ijo ini dirugikan dg seolah-olah membeli tanahnya lagi ?
——————–
Mbak Conny Yth,
Pertama-tama saya ucapkan terimakasih kepada Mbak Conny, mampir dan membaca Blog saya. Perlu diketahui, saya adalah penulis, yang saya peroleh dari hasil wawancara dan pelacakan. Kemudian saya sendiri juga terus-menerus ingin mendapat masukan dari masyarakat, sebagai bahan untuk melengkapi penulisan saya. tetapi, kenyataannya justru saya berubah status seolah-olah tahu persis masalah “Surat Ijo”. Saya tahu Surat Ijo, karena juga membaca dan mengetahui dari masyarakat, termasuk warga yang memegang Surat Ijo.
Memang Mbak Conny, kita selalu melihat persoalan Surat Ijo menjadi komoditas politik mereka yang mengikuti Pemilu, termasuk Pemilu Kada seperti pekan lalu.
Dari informasi yang saya peroleh tanah dengan IPT (Izin Pemakaian tanah) yang suratnya disampul map hijau — sehingga disebut Surat Ijo — tersebar di 23 kecamatan dari 31 kecamatan di Kota surabaya. Tanah HPL itu selain berasal dari eks tanah bekas sewa Gemeente Surabaya (zaman Belanda), juga ditambah dengan tanah eks kas Desa (sebelum desa berubah menjadi kelurahan yang jumlahnya 103 desa) di Surabaya. Juga ada tanah yang dibelu P2TUN (Panitia Pembebasan Tanah Untuk Negara), juga ada tanah dari pengembang (developer) yang berfungsi sebagai tanah Fasum (Fasilitas Umum) dan Fasos (Fasilitas Sosial). Nah, memang “benar” semua itu dimasukkan dan dilaporkan sebagai aset Pemkot Surabaya saat ada pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan Depdagri.
Solusinya, bagi warga yang sudah lama menempati itu, mendesak kep[ada Walikota dan DPRD untuk mengubah Perda tentang tanah HPL yang dinyatakan sebagai aset Pemkot Surabaya. Melepaskan tanah itu sebagai “tanah negara bebas” yang dapat dimohon oleh setiap warga negara, khususnya yang sudah mengusai selama ini (pemegang Surat Ijo) untuk menjadi tanah Hak Milik. Apakah selama ini pemegang Surat Ijo diuntungkan atau dirugikan, “maaf” saya tidak tahu. Sebab, justru ada yang diuntungkan karena memegang surat Ijo, juga ada yang merasa dirugikan. Begitu mbak Conny.
(Yousri)
Masalah Surat Ijo, selama ini nggak pernah ada penyelesaian yg melegakan masyarakat.
Yang ada, hanya dibawa ke arah permainan “bola politk” bagi orang berkepentingan cari kekuasaan, lalu setelah berkuasa warga pemegang surat ijo ditinggalkan.
Adakah Pemimpin yg akan datang tetap ‘concern’ memperjuangkan tanah surat ijo menjadi sertifikat hak milik bagi yg berhak. Kita perlu pemimpin gerakan yg mampu terus-menerus, kontinyu dan semakin kuat untuk mengalahkan kedholiman Pemkot Sby yg selama ini dg seenaknya saja memungut Sewa Tanah dan PBB, apalagi dendanya jauh lebih besar dari PBB bahkan lebih besar dari harga jual obyek pungutannya.
Kita perlu gerakan bersama baik melalui penggunaan advokasi hukum, publikasi media massa kepada anggota warga pemegang surat ijo, dll sampai bila perlu menggunakan gerakan massa yang dahsyat (krn pemegang surat ijo katanya 60-70% dari penduduk Surabaya) utk setiap waktu dapat dikomando untuk bergerak melawan Aparat/Instansi yg membuat kebijakan merugikan warga dan melanggar UUPA dan aturan agraria lainnya, antara lain Walikota/ Pejabat Pemkot dan DPRD Kota Surabaya, Gubernur/Pejabat Pemprov dan DPRD Jatim, Kanwil BPN Jatim, Kantor Pertanahan Surabaya, Mendagri, Kepala BPN Pusat, Menkopolhukam dan bila perlu Kepada Presiden RI/Wakil Presiden.
Perjuangan ini harus berani karena kita yakin kita benar diatas rel-rel (koridor) hukum dan keadilan. Salah satunya yang paling jelas dan sangat menyakitkan, karena rencana Pemkot Sby akan melepas surat ijo (dg batasan luas dan ukuran jalan tertentu/tidak semuanya) kepada warga dengan membayar ganti rugi kepada Pemkot Sby. Hal ini berarti sama saja kita disuruh membeli lagi tanah kita. Tetapi juga melanggar aturan baku pelepasan tanah negara kepada warga yg telah terlebih dulu mendiami tanah (dari pada HPL/kalau mungkin ada). Karena pada dasarnya pelepasan tanah negara kepada warga tersebut mestinya hanya membayar uang pemasukan kepada Kas Negara, dus bukan pakai ganti rugi kepada Pemkot Surabaya. Kita harus tetap optimis dan semangat dan jangan sampai mudah dipecah-belah oleh politik devide et impera Penjajah Pemkot Surabaya.
—————————–
Mas Guntur Yth,
Saya sependapat dengan anda. Komentar anda ini akan saya sebarluaskan pula kepada sanga walikota terpilih dan menang, serrta [para anggota DPRD Surabaya. Mudah-mudahan mereka sadar dan bersedia untuk mengubah Perda lama tentang Tanah HPL yang dinyatakan sebagai aset Pemkot Surabaya. (Yousri)
Nasib surat ijo ini setelah Pilkada Surabay 2010, bagi Calon Walikota/wawali baik yg menang jadi Wali/Wawali Sby maupun yg kalah , menurut Pak Yousri harus bagaimana, supaya orang-orang terhormat itu konsisten tetap komit terhadap pembebasan surat ijo jadi SHM ? .
————————
Widya Yth,
Kalau pendapat saya, para walikota-wakil walikota yang menang, harus segera mewujudkan janji9nya dengan menuntaskan Raperda (Rancangan Peraturan Daerah) tentang perubahan status Tanah HPL (surat Ijo) menjadi HM (Hak Milik). Dengan kewibawaan atas kemenangan sang walikota-walkil walikota baru itu, mereka “wajib” mendapatkan persetujuan dari Paripurna DPRD Surabaya tentang pelepasan aset yang diakui sebagai tanah yang dikuasai Pemkot Surabaya kepada para pemegang IPT (Izin Pemakaian Tanah) HPL tersebut. Dengan Perda itu pula, segera meminta pengesahan dari Mendagri untuk pelepasan tanah yang selama ini dinyatakan sebagai aset Pemkot Surabaya. Nah, itu baru proses hukum, dan proses pelaksanaannya “masih” tergantung kemauan aparat Pemkot Surabaya yang “mudah-mudahan” ikhlas dan tidak mempersulit.
(Yousri)
Assalamu ‘alaikum Pak Yusri,
Ikut memberi sumbang saran masalah tanah surat ijo. Dulu tahun 63-67 sebagian besar daerah Krukah termasuk Krukah Utara, Ngagel Jaya, mungkin juga Ngagel Tama, Ngagel rejo sejarahnya bukan tanah yg dibeli Pemkot Surabaya, Orang-orang mendirikan bangunan bukan pemberian Pemkot Surabaya tapi atas dasar pembelian dari Perusahaan Perumahan Kota Surabaya (mungkin sekarang YKP) , perjanjiannnya kalau lunas jadi hak milik, Dan keyataan sekarang sudah lunas. tapi kayaknya mulai tahun 1980-an aturan kok berubah lalu kita sekarang sebagai pemegang surat ijo jadinya sangat-dirugikan betul-betul, karena nggak dapat diurus jadi Sertifikat Hak Milik (bahkan nantinya tdk dpt disertifikatkan kalau nggak beli lagi dg harga mahal , itu kata konsep orang bikin Perda). Padahal dulunya tanah itu bukan milik Pemkot tapi eks eigendom dan mungkin ada yg eks tanah partikelir. Tanah /bangunan saya hanya 1 kapling ukuran 10x 22 m, Saya ini sudah tua unur 76 tahun mantan pegawai PJKA kondisi tidak mampu bayar sewa tanah dan PBB selama 20 tahun apalagi beaya baliknama kepada anak-anak saya (3 orang) yang aka mewarisi tanah dan rumah 1 kapling ukuran 10×22 m itu. caranya bagaimana, kalau biaya mahal balik namaya mahal, jelas-jelas anak-anak saya nggak mampu, apa mungkin tanah/rumah saya akan disita kotamadya atau digusur apabila tidak nuruti aturan Pemkot Surabaya. Lalu dimana letak keadilan bagi orang kecil seperti saya ini ?
——————-
Pak Misran Hadi Yth,
Terimakasih bapak telah membaca artikel saya di Blog Raja Agam ini. Saya merasa prihatin setelah membaca penuturan Bapak. Namun, apa yang bapat ungkapkan itu adalah kenyataan. Kalau sesuai dengan “janji-janji” para calon anggota DPR, DPRD dan calon walikota-wakil walikota terhadap masalah “surat ijo” atau SIPT (Surat Izin Pemakaian Tanah) atau “surat sewa tanah” melalui Pemkot Surabaya, hati ini terasa sejuk. Tetapi, di balik itu, sebenarnya persoalan tidak segamapang itu. Memang benar, tanah HPL yang disewakan Pemkot Surabaya sejak zaman Belanda hingga sekarang ini asalnya bermacam-macam, seperti yang Bapak Misran uraikan itu. Bahkan ada lagi, yakni bekas tanah kas desa yang di Surabaya bernama “Tanah Ganjaran”. Sejak perubahan status Desa menjadi Kelurahan di Kota Surabaya, maka aset Desa yang berubah menjadi Kelurahan beralih menjadi aset Pemkot Surabaya. Dan oleh Pemkot Surabaya, eks tanah ganjaran itu juga disuratijokan. Mudah-mudahan, bapak tidak akan menjadi korban, kalau janji mereka ditepati. Insya Allah Pak.
(Yousri)
salam sejahtera
saya arief, eks pemegang surat ijo di daerah karang menur. tanah dan bangunan tersebut merupakan warisan dari ortu, yang status sewanya udah mati sekitar 20 tahun.
tahun 2008 saya urus balik nama dan tunggakan yang 20 tahun, memang agak berbelit, namun dengan memakai orang dalam proses tersebut berjalan lancar.
setelah atas nama saya, tanah tersebut langsung saya jual, saya tidak mau menunggu yang belum pasti. untung ada yang beli
itulah sedikit pengalaman saya, sebagi eks pemegang surat hijau.
————————————
Mas Arif Yth,
memang, ini kenyataan. Hal yang sama juga banyak dilakukan para pemegang Surat Ijo. Tetapi, bagi pembeli sebenarnya akan mengalami hal yang sama dengan mas Arif. Tetapi, biarlah, semoga ada perubahan!
(Yousri)
Kami, warga Ijo Surabaya, telah dijajah oleh KERAJAAN PEMKOT, yang pengabdiannya adalah kepada PAD / bukan kepada rakyat, TOOLOONG MERDEKAKAN KAMI.
——————–
Ha ha ha MERDEKA !!! MERDEKA !!! Semoga teroiakan “Merdeka” ini didengarkan oleh aparat pengambil kebijakan di Pemkot Surabaya (Yousri)
Selamat pagi semua, maaf sebelumnya saya mau bertanya :
1. apakah surah ijo bisa diwariskan ?
2. apabila balik nama kira2 berapa biayanya?
3. apabila sewaktu2 diambil oleh pemkot, apakah benar tidak ada ganti rugi sama sekali ( katanya bukan tanah pemkot apakah pemkot berhak mangambilnya ? )
atas bantuannya sebelumnya saya ucapkan terima kasih.
———————–
Mas Tony, mudah-mudahan pertanyaan anda pada blog “rajaagam.wordpress.com” ini ada yang memberikan jawaban yang pas. Nah, untuk itu saya mengharapkan kepada pembaca blog saya ini, kalau ada yang bisa memberi jawaban atas pertanyaan Mas Tony, tolong dibantu.
Walaupun demikian, saya mencoba menjawab sesuai dengan pengetahuan saya: 1) Karena statusnya “tanah sewa”, tentu yang diwariskan bukan kepemilikannya, tetapi melanjutkan penyewaannya. 2). Setahu saya, memang bisa dibaliknama. Biayanya saya tidak tahu. 3) Nah, kalau demi kepentingan umum atau mungkin penyewa tidak memperpanjang Izin Pemakaian Tanah (IPT) dengan membayar sewa tentu “bisa saja” Pemkot mengambilalih tanah tersebut. Memang tanah itu adalah “tanah negara” dan “bukan milik Pemkot Surabaya”, tetapi Pemkot memegang HPL (Hak Pengelolaan Lahan) atas tanah negara tersebut. Maaf itu yang dapat saya berikan, mungkin ada pembaca yang bisa melengkapi. Terimakasih. (Yousri)
Pemilik tanah “jajahan” class action saja gugat pemkot Surabaya, saran saya diadakan pertemuan SELURUH pemilik surat ijo di Surabaya dan memikirikan gugatan yang akan diajukan, pake pengacara yang top buat menghentikan praktik gak bener ini. pemkot goblok banget nyari duit harus dengan cara-cara kolonialisme kaya gini…
————————
Ha ha ha kok gitu Mas Hafisz? Semoga class actionnya ada yang mengkoordinasikan. (Yousri)
yang terpenting kuasai tanah sampai kapanpun, karena yang menguasai itulah yang saat ini bisa dianggap menjadi “pemilik” walapun hanya sebatas penyewa saja. toh… kenyataannya pemkot juga tidak akan berani kok serta merta u/ mengusir kita, seandainya kita tidak lagi membayar sewa…tetap semangat & optimis saudara2ku…!!!!!
—————
Benar. Anda benar! (Yousri)
kakek buyut saya sdh tinggal di daerah jagir sejak jaman ga enak… pokoke pemkot nek macem2 hmmmm… rasakno… rawe2 rantas malang2 tuntas… aq ra prnh byr sewo2an… ra kudhuo… paling uenak nek gelem kompak yo di demo akbar ae pemkot.. mosok ra wani rek… insyaallah ntar pak presiden denger nek ning suroboyo onok tanah sing rung tuntas… piye dholor…???.. pokoke bonek cak… percuma nunggu janji2 thok…
—————–
Ya Mas Edi, Lanjutkan! terimakasih (Yousri)
Pak Yousri yth. Assalamu alaikum wr wb
Sebagai orang awam dalam hukum pertanahan, saya ingin tanya :
a. Daerah mana saja yang tanah negara atau asset Pemkot peuntukannya untuk fasum dan fasos ?
b. Sejarah surat ijo itu gimana, kok ada yang bekas tanah belanda (eks eigendom verponding), bekas tanah partikelir (Baswedan, Deller, dsb). Lalu bekas tanah kas desa, akrena aturan desa dihapus jadi kelurahan, tanah kas desa jadi tanah ganjaran, ada hasil t ukar guling dsb. Lalu kenapa kebijakan terhadap surat ijo kok disamakan untuk bayar sewa dan kalo dilepas warga pemegang surat ijo sepertinya atau seolah-olah harus membeli kembali.
c. Ternyata tidak semua tanah yang diakui sebagai asset Pemkot Sby, nggak jelas alas haknya dalam arti surat-suratnya nggak ada atau palsu. Kenapa kok nggak tanah surat ijo yang asalnya hasil tukar guling dan tanah ganjaran saja yang pelepasan kepada warga yang harus semacam jual beli. Jadinya yang tanh eks yang lain mestinya dilepas bebas hanya bayar uang administrasi ? karena dasarnya Pemkot menguasainya tidak jelas dan bukan hasil menggunakan APBD.
———————
Terimakasih komentar anda Pak Totok,
a. Masalah fasum dan fasos ada di setiap wilayah. Khusus untuk kawasan permukiman (real estate) baru, ada ketentuan yang ditetapkan kepada pengembang, bawa sekian prosen menjadi lahan fasilitas umum dan fasilitas sosial.
b. Sejarah surat ijo, ya seperti tulisan saya di atas. Yang jelas, Pemda (sekarang Pemkot) Surabaya setelah Indonesia merdeka memang “pintar”. Di Kota Surabaya ini, semua tana bekas Gemente Surabaya (zaman Belanda) dijadikan warisan. Pokoknya ada tanah Belanda, langsung dijadikan tanah dengan statu HPL (Hak Pengelolaan Lahan) yang disewakan, meneruskan sistem sewa zaman penjajahan atau zaman kolonial.
Saat itu, DPRD-nya cenderung sama penafsirannya dengan Pemkot Surabaya, tanpa banyak perhitungan, langsung setuju. Bahkan sewaktu Pemkot membuat Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang tanah HPL itu, DPRD-nya langsung setuju dan
mengesahkan menjadi Perda. Nah, gara-gara Perda tanah HPL itulah sampai sekarang
sebagian besar warga kota Surabaya yang “menyewa” tana dari Belanda, sampai sekarang masih tetap “menyewa” kepada Pemerintah Kota Surabaya ini. Tanah HPL, di Surabaya ini dikenal dengan tanah Surat Ijo, karena map SIPT (Surat Izin Pemakaian Tanah) warnanya “hijau” alias “ijo”.
Seharusnya, saat Belanda pergi dulu, tanah negara itu bisa dimiliki oleh warga dengan mengajukan permohonan sertifikat HM. tetapi, wis kadung dikuasai Pemkot menjadi tanah HPL (Surat Ijo), mau diapakan. Ya, terserah kapan DPRD-nya sadar untuk berbuat
untuk rakyat yang memilihnya.
c. Nah ang menyangkut “palsu dan tidak palsu” itu saya belum tahu.
Demikian Pak Totok. (Yousri)
Masalah akan dilepaskan surat ijo menjadi hak milik bagi pemegang persil seharusnya Pemkot Surabaya jangan pilih kasih alias diskriminatif. Harusnya yang dipergunakan peruntukannya Pemukiman semuanya dilepas jadi Hak Milik jangan ada ketentuan kapling maksimal 200 m dan jalan maksimal lebarnya 6 m. Dan lagi semuanya dibebaskan dari iuran/retibusi sewa tanah atau retribusi pemekaian tana, karena sudah ditarik Pajak Bumi dan Bangunan(PBB). Ada satu obyek pungut sudah dipungut PBB kok dipungut rertibusi sewa tanah/ pemekaian tanah. Dimanapun dio daerah lin nggak ada yang begitu, hanya di Surabaya saja. Sudah saatny rakyat Surabaya boykot nggak mbayar sewa tanah/retribusi pemekaian tanah. Karena pungutan itu melanggar konstitusi dan asas-asas perpajakan.
—————-
Memang, apa yang anda sampaikan ini, sama dengan pendapat seluruh pemegang “Surat Ijo” yang menyewa tanah negara yang “diakui sebagai tanah HPL Gemeente Surabaya” kepada Pemkot Surabaya sekarang. Semoga para pemegang kebijakan dapat menghayati arti kemerdekaan di atas Bumi Pertiwi Nusantara ini. Bagaimana Mas (maaf kalau ternyata mbak) Luluk Purnomo? Terimakasih anda mampir ke Blog saya. (Yousri)
Pak Yuusri…. aku tanya…
di kawasan mana saja di Surabaya ini yg tanah eks Gemeente de Sourabaya dan tanah eks eigendom dan tanah eks partikelir ? Setelah Indonesia merdeka kok dikatakan jadi tanah Pemkot Sby, apa dasarnya, sertifikatnya kaya apa dan batas-batasnya mana saja yg disebut oleh sertifiktatnya ?. Kenapa yang akan dilepas tanah kapling dengan ketentuan maks luasnya 200 m dan jalan maks lebarnya 6 m, apa dasar hukumnya atau kajian hukumnya, sehingga Pemkot Sby ini tidak semau-maunya saja membatasi hak-hak privat seseorang untuk memperoleh hak vitalnya (Papan/Rumah). Memangnya Pekot ini Penjajah Belanda atau Negara dalam Negara?
———–
Bapak Karim Thalib yth,
Terimakasih Bapak mampir di Blog saya http://www.rajaagam.wordpress.com dan bertemu dg artikel “Surat Ijo”. Pak Karim, saya sudah berusaha untuk mengetahui di mana saja kawasan di Kota Surabaya ini yang terdapat tanah berstatus HPL (Hak Pengelolaan Lahan) alias “Surat Ijo” yang diaku Pemkot Surabaya sebagai asetnya. Memang, tanah Surat Ijo adalah “peninggalan” dari Gemeente Sourabaia, tetapi bagaimanapun itu adalah kekayaan atau aset kota yang berarti “seluruh warga kota Surabaya”.
Namun yang menjadi masalah, mengapa waktu di kota-kota lain di Indonesia sejak tahun 1961 sudah menyesuaikan dengan Undang-Undang Pokok Agraria, tetapi Kota Surabaya tidak. Bahkan DPRD Kota Surabaya justru memperkuat “kekuasaannya menguasai tanah” itu dengan Perda (Peraturan Daerah), sehingga warga yang berstatus “penyewa” tetap saja hingga sekarang “terjerat” dalam lingkaran yang tidak bebas. Artinya, merasa di bawah kekuasaan sang penguasa yang juga bukan pemilik — hanya berkuasa atas tanah negara — yang sebenarnya juga bisa dihaki oleh setiap orang yang menguasai atau menempati tanah atau lahan tersebut.
Pak Karim, memang “Tahap I” ini, memang baru ada “keberanian” dari Ibu Walikota Surabaya Ny.Tri Rismaharini untuk memproses pelepasan hak penguasaan lahan sebagai “Surat Ijo” itu akan menjadi HM (Hak Milik) bagi warga yang menempatinya, walaupun yang luasnya 200 m per-segi dulu.
Jadi, biarlah yang 200 m2 dulu Pak utk Tahap I, nanti tentu ada tahap berikutnya. Yang penting, walikota perempuan ini ternyata “berani” memulai. Nah, kalau sudah diawali, tentu ini akan menjadi “dasar hukum” bagi tahap berikutnya. Begitu Bapak? Kalau sekarang tanah Bapak belum termasuk, mungkin tahap berikutnya.
Saya kira begitu Pak Karim. Saya mengamatinya demikian. Mudah-mudahan apa yang saya harapkan ini akan ada tahap berikutnya. Apakah setelah Tahap I ada Tahap II dan Tahap III, kemudian selesai. Mungkin juga setelah Tahap I, kemudian tahap akhir. InsyaAllah Pak Karim. Saya juga ikut berdoa demi warga kota yang selama ini “mimpi panjang” tentang Surat Ijo. (Yousri)
Bagaimana Bung Yousri… Sebenarnya Pemkot ini punya bukti-bukti yang akurat/benar atas penguasaannya (HPL) nggak sih… kok Pemkot Sby nggak transparan ?. Tapi nyatanya warga kok mau-maunya diberi “surat ijo” seakan-akan disuruh mengakui bahwa tanah yang ditempati warga itu tanah yang dikuasai Pemkot tau bahkan HPL Pemkot Surabaya. Jadinya Pemkot Sby dan Warga harus duduk bersama agar pelepasan keseluruhan tanahnya jelas, benar menurut hukum dan tidak memberatkan orang apalagi itu satu-satunya rumah yang dimiliki.
——————–
Pak Subkan yth,
Maaf Pak Subkan, saya sendiri belum pernah melihat surat yang dimiliki Pemkot Surabaya tentang kekuatan hukumnya menguasai tanah di Surabaya. Yang jelas tanah yang berstatus “surat ijo” itu adalah warisan dari Gemeente Surabaya, zaman Belanda. Pemekot sekarang meneruskan tradisi sewa itu. Setelah ada ketentuan Undang-undang Pokok Agraria tahun 1961, Pemkot bersekongkol dengan DPRD waktu itu untuk menguatkan warisan Belanda itu dengan Perda (Peraturan Daerah). Seharusnya, Perda itu “kalah” dengan UU. Tetapi kenyataannya jalan terus hingga sekarang. Warga yang menyewa lahan tanah negara melalui Pemkot Surabaya dibiarkan terus hingga sekarang. Nah, kalau Bu Walikota Tri Rismaharini memulai sebagai Tahap I utk dilepas kepada pengguna 200 m2, mungkin berikutnya ada Tahap II dst-nya.
Memang yang paling benar, harus duduk bersama dulu antara warga pegegang surat ijo dengan bu Walikota, kemudian apa langkah Pemkot dan DPRD surabaya. Bagaimana proses selanjutnya? Tentu berdasarkan dari pertemuan itu.
(Yousri)
Surat Tanah Ijo adalah masalah Penguasaan Tanah Oleh Pemkot Sby yang mana Pemkot tanpa dasar / landasan hukum yang kuat telah menyewa-nyewakan tanah negara kepada warganya yang mestinya diberi hak untuk jadi SHM bagi WNI. Masalah Surat Ijo adalah lebih banyak sengketa tanah yang mungkin tidak ada ujung penyelasaian yang adil bagi warga pemegang surat ijo karena Pemkot membebankan untuk ganti rugi atau nama lainnya yang memberatkan warga apabila tanah itu ‘didaku’ (bezit) asset Pemkot Sby padahal tanah itu milik negara yg mestinya lebih berhak warga guna pemukiman . Mestinya Negara dalam hal ini Menteri Petanahan (ketua BPN) dan Mendagri yang menangani untuk segera dilepas menjadi Hak Milik bagi Pemegang Surat Ijo dengan membayar uang pemasukan pada Kas Negara. Besarnya uang pemasukan tentunya akan sangat jauh lebih murah dan BPHTBnya nol persen. Bagi Mendagri dengan menjadi SHM tentunya PBB akan lebih besar pemasukannya karena Nilai Tanah dan Bangunanya di perkotaan semacam Surabaya ini tentunya relatif lebih tinggi. Akibat pendapatan Daerah Koamadya Surabaya dari sektor PBB melesat tinggi. Itu menurut pendapat saya … Pak Yousri…
——————
Bapak Masykuri Yth,
Saya sangat setuju dengan komentar dan pendapat Bapak. Tetapi, saya menjadi aneh, Walikota Surabaya yang baru (Ibu Tri Rismaharini) kabarnya sudah menyerahkan Rancangan Perda kepada DPRD Kota Surabaya utk melepaskan tanah Surat Ijo kepada “warga yang menyewa”. Namun Raperda itu dikembalikan lagi kepada Pemkot (Walikota) dengan alasan, Raperda tersebut belum mempunyai “kajian akademis”.
Bagaimana menurut Bapak? Apakah benar terhadap tanah berstatus sewa (surat ijo) tidak bisa menjadi tanah HM (Hak Milik), tetapi hanya bisa menjadi tanah HGB (Hak Guna Bangunan) di atas HPL (Hak Pengelolaan Lahan) — artinya, tanah tersebut masih tetap dikuasai Pemkot dan HGB batas waktunya tertentu.
Menurut saya, seharusnya DPRD tidak hanya sekedar menunggu “barang jadi” berupa Raperda dari Eksekutif. Justru seharusnya DPRD melaksanakan “hak Inisiatifnya” dan proaktif sebagai wakil dan atas nama rakyat melaksanakan upaya pelepasan tanah surat ijo itu menjadi HM. (Yousri)
Akal sehat dari pada menarik retribusi dari ijin tanah HPL/ sewa tanah surat ijo nggak ada dasar yang kuat, lebih baik dilepas jadi Sertifikat Hak Milik untu warganya dengan PBB-nya naik 2 (dua ) kali lipat tapi target pemasukan tercapai dari pada menarik retribusi tanah surat ijo nggak tarecapai realisasinya. Setuju Pak Yousri. ….?
——————
Mbak Nurul yth,
Alhamdulillah mbak Nurul sependapat dengan saya, yang sama-sama masih mau menggunakan akal sehat. Memang mbak Nurul, persoalan Tanah HPL atau Surat Ijo di Surabaya, sudah tidak menantu. Banyak masalah yang sekarang terjadi, kusut bagaikan benang yang ujung dan pangkalnya sulit ditemukan. Bahkan, yang mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan, apatis. Bahkan karena status PNS yang masa kerjanya sangat terbatas sampai pensiun, keseriusan itu di nomor sekiankan. Begitu mbak. (Yousri)
Assalamu alaikum wr. wb.
Pak Yousri,…. Kenapa kebijaksanaan Pemkot Surabaya atas suatu lahan kawasan untuk pemukiman kok berbeda-beda, contohnya : di kawasan sekitar jl Ngagel Jaya, Ngagel Tama, Ngagel Madya dan Wasono disamping kebanyakan adalah tanah pemukiman dengan surat ijo tapi ternyata ada yang sudah jadi Hak Milik terutama tanah pemukiman milik eks Pejabat Gubernuran, eks Pejabat PU Jatim dan Taoke-taoke Cina yang punya kedekatan dengan Pejabat Pemkot Sby atau Gubernur Jatim dulunya. Padahal luas tanahnya lebih 200 m dan jalanya jalan raya (lebih dari lebar 6 m) Hal ini sangat tidak adil dan sangat diskriminatif serta sangat menjengkelkan. Tuntutan kami warga seluruhnya di kawasan ini tanah-tanah surat ijo harus dijadikan Sertifikat Hak Mlilik bagi WNI dengan membayar uang administrasi pelepasan hak Pemkot Sby dan Uang Pemasukan pada Negara serta BPHTB yang semurah mungkin. Karena kenyataannya Para eks Pejabat yangg memperoleh SHM dulunya memperoleh dengan gratis. Sudah tidak jamannya lagi ada perbedaan dan kami menuntut kesamaan hukum dan keadilan sosial. Pak Yousri… tolong ini disampaikan Pejabat Pemkot dan DPRD Kota Surabaya…
—————-
Nah, ini di mas Adry. Kalau anda punya informasi yang lengkap dan akurat, anda bisa membuat laporan ke Panitia atau Forum yang saat ini sedang giat-giatnya melakukan inventarisasi “kecurangan” tersebut.
Seharusnya tidak bisa langsung jadi Hak Milik, sebab Perda-nya belum dicabut oleh DPRD Kota Surabaya hingga sekarang. Bahkan, ada pendapat para ahli hukum, seperti di Bandung dan Jakarta, untuk tanah HPL itu dapat diajukan perubahan statusnya menjadi HGB (Hak Guna Bangunan). Namun di Surabaya “masih mengambang” terus. (Yousri)
mohon petunjuk tehnis tentang aturan sewa aset tanah kas desa kota surabaya
saya sudah lama gak mbayar retribusi sewa tanah ijo yg sekarang namanya retribusi pemakaian tanah surat ijo sekaligus surat tanahnya sudah mati 8 tahun. Padahal bagi saya bayar gituan di dispenda kota surabaya bagi saya adalah momok. Karena sekarang PBB adalah salah satu Pajak Daerah dan nanti kalau PBB harus dibayar melalui Dispenda Sby tentunya dapat dipastikan akan ditanyakan pembayaran retribusi sewa tanah/ ijin pemakaian tanah surat ijo dan perpanjangan surat ijin tanah tsb yang sewanya dan dendanya tentunya berlipat-lipat. Akhirnya Pak Yousri saya dan teman-teman tentunya akan protes dan boikot nggak bayar retribusi sewa tanah/ijin pemakaian tanah dan perpanjangannya dan sekaligus nggak bayar PBB Tahun ini dan selanjutnya, Bagaimana ini dijaman merdeka kok kita masih jadi sapi perahan Pemkot Sby, mohon saya didukung dan diperjuangkan kepada Pejabat ybs agar ada solusi yg benar dan adil sesuai hukum dan keadilan.
———————-
Kelly, apa yang anda sampaikan ini adalah kenyataan. namun,au apa lagi, para wakil rakyat yang kita pilih duduk di DPRD sudah “bosan” mendengar keluhan warga pemegang Surat ijo. Kelihatannya mereka itu lebih mengutamakan masalah yang berkaitan langsung dengan posisi mereka di dewan, daripada memikirkan para pembayar sewa tanah di atas tanahnya sendiri. Solusi yang benar, DPRD “mencabut” Perda tentang Persewaan Tanah HPL (Hak Pengelolaan Lahan), dan mengembalikan posisi tanah itu sesuai dengan ketentuan UUP Agraria. Sekian komentar saya pak, kalau makin panjang semakin tidak enak dibaca. (Yousri)
dadi wong suroboyo wes nungsang jungkeer dodolan mracangan bahan-bahan klontong, tanahe ruko surate surat ijo, dodolan semakin sepi pajek tanahe macem-macem ono sewo tanah yo ono PBB tambah taun tambah mundak lipet, taun kemaren aku wes gak mbayar babarr pisan… selanjutnya … aku wes niat boikott gak mbayar sewo + PBB Tahun 2011 dst… wong mlarat kok dinggo akal-akalan Pejabat KOruptorrr…. Brantas itu Gayus-gayus sing ono nang Pemerintahan Kotamadya Surabaya, Kantor pelayanan PBB, kantor Dirjen Pajak sampai wong-wong Pemerintah SBY (pusat) termasuk Pak de Karwo lan konco2e (pejabate)… Siarkan saja Bung Yousri…. aku katene boikott… brontak…. aku wes gak percoyo nang Pemerintahan Republik Indonesia dalam segala lapisan…. Gak nduwe pemerintahan NKRI gak pathekenn….. uripku tak pasrahno Gusti Alloh kang moho kuwoso.
————–
Mas Nurwiyatman, saya tidak akan menanggapi komentar anda. Semoga apa yang anda komentari ini akan mendapat tanggapan dari pihak-pihak yang merasa berkewajiban untuk menanggapinya. Terimakasih Mas Nur. (Yousri)
Satu obyek pungutan dipungut oleh Pemkot Surabaya, 1. PBB sekarang jadi pajak daerah kabupaten/kota. 2. sewa tanah masih ditarik Pemkot Surabaya. Sungguh ini pelanggaran berat dibidang perpajakan. Dan sungguh dengan sistem Pemkot yang begitu itu, jelas-jelas lahan basah korupsi bagi yang masih membayar retribusi sewa tanah/ pemekaian tanah. PEMERINTAH RI S/D PEMDA PROV, PEMDA KAB/KOTA KOK GAK PUNYA RASA MALU… WOW MATANYA SUDAH BUTA… HATINYA BUTA KEADILAN….
Pak Yousri, terima kasih atas tulisan bapak. Saya mendapat pencerahan. Tanah yang kami tempati tiap tahun membayar sewa ke pemkot dan PBB, semakin lama sewa semakin tinggi dan itu memberatkan orang tua kami yang sudah pensiun. Padahal itu tanah sudah kami tempati hampir 30 tahun (daerah wiyung), waktu itu masih berupa areal persawahan tepi jalan utama masuk kedalam. Pernah ada yang teman menanyakan kok sewa tanah ke pemkot, setahu dia daerah itu tidak ada tanah surat ijo, apa ini ada permainan ya ?. Saya bilang tidak tahu. Kira2 apa bisa dialihkan ke SHGB atau SHM pak ? Apa syarat2nya ? Apakah mungkin ? Terima kasih sebelumnya.
—————————–
Cak Alit yth,
Memang demikianlah kenyataannya. Pemilik tanah “Surat Ijo” bagaikan terbelenggu oleh kepemilikan yang tidak pasti. (Yousri)
pak, saya tinggal didaerah kenjeran selama kurang lebih 40 thn. kami menempati tanah ganjaran lurah. dan sampai sekarang kami hanya ,membayar sewa tanah setiaptahun. bagaimana caranya agar kami bisa mendapat surat?
———————-
Mbak Lilik,
Memeng sesuai dengan UU No.5 Th 1974, untuk Desa yang beralih menjadi Kelurahan, maka aset Desa yakni tanah kas desa yang bernama Tanah Ganjaran itu juga beralih menjadi milik aset Pemkot Surabaya. Karena mbak Lilil sudah lebih 40 tahun menempati tanah itu, coba konsultasi atau tanyakan pengurusannya kepada BPN (Badan Pertanahan Nasional) Surabaya Timur di Jalan Krembangan atau ke kantor Badan Pengelola Tanah dan Bangunan Pemkot Surabaya, Jalan Jimerto 6-8 Surabaya. (Yousri)
Pak, kami tinggaldidaerah kenjeran kurang lebih 40 thn.kami menempati tanah ganjaran. bagaimanacaranya agar kami bisa mendapatkan surat yang sah?
————————
Mbak Lilik,
Tanah ganjaran dulu adalah tanah kas desa (bengkok) sebelum Desa di Surabaya beralih menjadi Kelurahan. Nah, berdasarkan Undang-undang No.5 tahun 1974, apabila desa berubah statusnya menjadi kelurahan, maka aset desa beralih menjadi aset Pemerintah Kota, tempat kelurahan baru itu. Jadi, karena status tanah ganjaran sudah beralih menjadi aset Pemkot Surabaya, maka Mbak Lilik, bisa menanyakan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Surabaya Wilayah Timur di Jalan Krembangan, Surabaya, atau ke Badan Pengelolaan Tanah dan bangunan Kota Surabaya, di Jalan Jimerto No.8 Surabaya.. (Yousri)
Sahid
pak Yoesril saya mau tanya, apa benar dalam perihal status kepemilikan atas lahan yang bersertifikat hijau ini pernah diajukan oleh sebagian warga dan diperkarakan ke PTUN dan jika benar bagaimana keputusan yang dikeluarkan oleh PTUN terkait kasus yang dialami warga tersebut dan bagaimana kekuatan hukumnya? terimakasih.
———————-
Dik Hamim Sahid,
Maaf saya lupa. Rasanya memang pernah di awal tahun 2000-an. Nanti saya coba cari data lama. Sekali lagi maaf. (Yousri)
Pak Yousri, saya mau tanya, kakek saya mempunyai rumah di Gubeng Kertajaya yg sudah di tempati sejak tahun 1957 & statusnya masih surat ijo apakah itu bs di jual..???
Bgmana perkembangan tentang surat ijo skrg, apakah udh bs di urus utk menjadi SHM.??
Trima kasih..
—————————
Maaf, anda dapat tanyakan langsung ke Dinas Tanah di Jalan Jimerto 6-8 Surabaya (Yousri)
pak bagaimana prosedur untuk mengurus surat PBB di jadikan surat ijo…?
trims……….
Maaf, anda dapat tanyakan langsung ke Dinas Tanah di Jalan Jimerto 6-8 Surabaya (Yousri)
tanah milik ortu sy berstastus srt ijo dan ada ada rencana mau sy beli,kendalanya ortu sy sdh meninggal dan sewa blm dibyr 10 th,apa bener kl mau byr tunggakan sewa hrs urus imb,zooning,dan tanda tangan waris semua anaknya.tks sebelumnya.
Pak Yousri, saya mau bertanya apakah tanah bekas partikelir termasuk dalam HPL pemkot Surabaya?
==============
Sebenarnya, tanah yang masuk HPL di Sby adalah tanah sewa peninggalan pemerintahan Belanda (Gemente), tanah pertikelir tidak. Tetapi, ada juga tanah pertikelir yang diterlantarkam diambilalih Pemkot DS\Surabata,lalu diberi Sertifikst HPL
benarkah DPRD dan pemerintah daerah / pemerintah kota masih pny kebijakan yang memihak rakyat?
Joupry
Asslmkm Cak Yousry kbr baikkah ? Saya mau jual rumah + tanah yang ber “Surat ijo ” kpd teman yang domisili diluar Suroboyo , pertanyaan saya :
1.Bagaimana prosedurnya pindah tangan hak sewa dari saya ke pembeli ?
2. Apakah diperbolehkan pembeli rumah saya bukan orang yang tidak domisili di Suroboyo ?
Terimakasih sebelumnya Cak.
————–
Mas Djono,
1.Prosedurnya datang ke kantor Dinas Rumah dan Tanah di Pemkot Surabaya, jalan Jimerto 6-8 Surabaya, saat ini kepalanya Bapak Djumadji. Di sana nanti ada arahan dan petunjuknya.
2. Membeli rumah boleh saja, tetapi membeli tanah tidak bisa, karena tanah statusnya milik Negara yang dikelola Pemkot Surabaya yang dipersewakan. Jadi, antara rumah dengan bangunan tidak sama. Rumah milik penyewa tanah, sedangkan tanah milik negara yang dikelola Pemkot Surabaya. Walaupun tidak berdomisili di Surabaya, boleh saja. Ini banyak yang demikian, asal jangan terlambat membayar sewa dan memperpanjang apabila sampai batas waktunya. (Yousri)
Tanah surat ijo itu sebutan untuk tanah HPL. Namun ada yang menyatakan bahwa surat ijo itu untuk menyebut IPT (Ijin Pemakaian Tanah). Mohon penjelasan Pak Yousri. Terima kasih
Mas Sukaryanto,
HPL itu singkatan dari Hak Pengelolaan Lahan. Jadi, tanah yang bukan Hak Milik (HM) dan HGU (Hak Guna Usaha) atau HGB (Hak guna Bangunan). Nah, karena surat keterangan yang juga disebut sertifikat HPL itu sampulnya berwarna hijau, maka gampangnya tanah yang hanya berstatus HPL disebut tanah “Surat Hijau dan Surat Ijo”. Dan, memang kenyataannya Surat Ijo itu juga IPT. Benar Pak Karyanto. Tidak salah. (Yousri)
sekarang udah bisa belum ya, pindah dari surat ijo ke hm/hgb?
kalu bisa prosesnya bagaimana ya?
———–
Coba datang ke Badan Pengelola Tanah dan bangunan Pemkot Surabaya, jalan Jimerto 6-8 Surabaya. (Yousri)
pak…saya mau beli rumah yg bersurat ijo. terus terang saya masih ada rasa ragu. pertanyaan saya apakah beresiko saya membeli rumah tersebut. trims pak,..
—————
Sebenarnya tidak beresiko, asal balik nama ke Badan Pengeloa Rumah dan Tanah di Pemkot Surabaya. Nanti, anda yang meneruskan bayar sewa tanahnya. (Yousri)
met siang pak, saya menempati rumah orang tua berstatus surat ijo dan surat sewa sepertinya sudah mati sejak tahun 1975.sampai saat ini saya belum pernah sekalipun mendapatkan tagihan/surat keterangan sewa lahan tersebut kecuali PBB yg harus dibayar pertahun.PBB pun masih atas nama orang tua.
pertanyaan saya :
1. bagaimana mengurus surat ijo ini kembali
2. kira2 biaya sewa + denda berapa?
3. bagaimana caranya agar tidak tertipu diambil alih oleh Pemkot atau para calo di sana?
terima kasih.
kiky
Salam kenal pak..
Orang tua saya mendapat masalah dengan surat ijo.
Bilamana kami bisa menghubungi bapak utk bertanya lbh lanjutnya secara jelas? Apa ada contact person yg bisa kami hubungi? Karena kami kurang mengerti mengenai pertanahan.dan kami harap dengan konsultasi kepada bapak, kami bisa mendapatkan titik cerah dr masalah kami…mohon balasannya yah pak.terima kasih sebelumnya…
Mau tanya Pak,
Saya mahasiswa, tinggal di Surabaya.
Ceritanya begini Pak, tempat yang saya tempati sengketa, antara pemegang HGB dan penghuni lahan(mahasiswa).
pihak-1: punya HGB rumah yang sudah lewat 20th. dan tidak pernah menempati rumah selama pihak-2 di sana. mengaku meninggalkan indonesia karena masa soeharto pada 1961 atau 1963. hingga sekitar tahun 2000-an datang. sudah generasi ke-3/ cucu. mau mengukur lahan untuk perpanjangan HGB tahun 2000-an(yang saya ingat 2005) namun pihak-2 menolak. Pihak-1 membayar PBB rumah dari tahun 2010 hingga sekarang.
pihak-2: tidak punya HGB. mahasiswa. tinggal di rumah itu lebih dari sebelum tahun 1959(ini karena yang bisa ditemui tinggal tahun 1959 di rumah tersebut) dengan kondisi sudah seperti asrama (pengakuannya, orangnya sudah meninggal tahun ini). Menurut cerita, universitas memindahkan asrama mahasiswa ke rumah itu(berkasnya tapi tidak ditemukan), ada juga biaya sewa yang sangat murah yang dibayarkan kepada PT.(perseroan terbatas) X (ketika jaman si penghuni -1959), namun setelah beberapa tahun biaya sewa naik drastis hingga puluhan kali lipat. si mahasiswa-mahasiswa(penghuni asrama) membayar beberapa kali dengan harga lama(bukan harga baru) namun uang dikembalikan(semua kirimnya lewat pos). dan tidak pernah membayar lagi hingga sekarang. sejak itu dari tahun xx hingga tahun 2010 Pihak-2 yang membayar PBB.
(Note: penghuni rumah itu berganti-ganti hingga tahun ini, dikarenakan dijadikan asrama mahasiswa gratis, ini semua saya sebut pihak-2. punya data mahasiswa sebelum tahun 1959, namun tidak dipakai karena bisa jadi yang awal masih di lingkungan kampus).
pertanyaan saya:
1. Siapakah yang punya kedudukan paling kuat di atas secara hukum?
2. Apakah pihak-1 bisa/boleh mengusir pihak-2 secara hukum yang berlaku?
3. Apakah pihak-2 bisa/boleh/etis kah mengurus HGB untuk rumah tersebut sesuai hukum yang berlaku?
terima kasih Pak sebelumnya.
oh ya luas tanahnya 700++ m2
lokasi tengah kota, strategis.
———————————
Mas Halim,
Sebaiknya konsultasi kepada Pakar Hukum pertanahan atau Perdata. Sebab, masalah ini bisa dilakukan gugatan secara perdata, apabila bukti-bukti surat dan saksi cukup. Terimakasih. (Yousri)
Selamat siang pak Yousri,
Orang tua saya membeli rumah bersurat ijo di tambak segaran dan sewaktu proses balik nama, orang yg membantu ayah meninggal dan surat2 yang sudah diberikan tidak bisa dilacak keberadaannya. Si penjual pun sudah tidak bisa dilacak lagi. Saya juga tidak bisa membayar uang sewa dikarenakan tidak adanya surat ijo tersebut. Menurut bapak, apa yang harus saya lakukan?
Terima kasih sebelumnya.
——————-
Mas harianto: anda sebaiknya menanyakan langsung (tanpa perantara) ke Dinas Tanah dan bangunan Pemkot Surabaya, di Jalan Jimerto 6-8 Surabaya (komplek perkantoran Pemkot Surabaya). Mungkin di sana akan diketahui segala permasalahannya. Trimas (Yousri)
pak saya mau tanya awal adanya surat hijau ini bagaimana?