Sawunggaling Menikah dengan Putri Solo BRA Pembayun dan Punya Anak Bernama Raden Mas Arya Bagus Narendra

Sawunggaling
Menikahi Putri Solo
BRA Pambayun

Oleh: Yousri Nur Raja Agam  MH  *)

SELAMA ini Sawunggaling dinyatakan tidak pernah menikah sampai akhir hayatnya. Demikian cerita rakyat yang disampaikan secara lisan dan turun temurun atau tutur tinular selama ini. Justru, pada legenda Surabaya versi semi sejarah yang ditulis Febricus Indri (2010) — bukan versi Lidah dan versi Wiyung — disebutkan, Sawunggaling kawin secara sah dan resmi.
Tidak tanggung-tanggung, Adipati Raden Mas Sawunggaling, bahkan berhasil menikahi puteri bungsu Susuhunan Pakubuwana I penguasa keraton Kartasura, bernama Bendara Raden Ayu (BRA) Pembayun. Dari pernikahan resmi yang meriah itu, lahir seorang anak laki-laki bernama Raden Mas Arya Bagus Narendra.
Pesta pernikahan Sawunggaling dengan putri Solo BRA Pembayun itu berlangsung selama dua hari dua malam pada tanggal 17 hingga 19 Agustus 1715 di keraton Kartasura. Upacara pernikahan dipimpin oleh Patih Nerang Kusuma dan dihadiri para adipati dan tokoh masyarakat dari berbagai daerah di Pulau Jawa.
Kisanya begini. Pertengahan tahun 1715, Adipati Jayengrana merasa sudah tua, karena usianya lebih 70 tahun. Suatu hari Adipati mengirim surat kepada Susuhunan Pakubuwana I di Surakarta, Isi surat itu, meminta pertimbangan pencarian penggantinya sebagai Adipati Surabaya. Jayengrana kesulitan untuk memilih salah satu di antara enam anaknya. Apalagi di antara anaknya itu, belum ada kesepakatan. Bahkan ada dua anaknya, Raden Mas Sawungkarna dengan Raden Mas Sawunggaling selalu bertentangan. Mereka berdua tidak pernah mau bekerjasama.
Setelah membaca surat dari Adipati Surabaya itu, Susuhunan Pakubuwana I berunding dengan patihnya Raden Mas Nerangkusuma, Akhirnya diputuskan untuk menyelenggarakan sayembara berupa lomba memanah dengan panah pusaka kerajaan bernama Gendhewa Sakti. Tanpa kesaktian, tidak mungkin seorang mampu mengangkat busur, apalagi menarik tali busur untuk meluncurkan anak panah menuju selembar cindhe puspita. Siapa yang berhasil memenangkan lomba ini, akan diangkat menggantikan Adipati Jayengrana selaku penguasa di Surabaya. Tidak hanya itu, sang pemenang juga berhak menjadi menantu Susuhunan Pakubuwana I, mempersunting Bendara Raden Ayu (BRA) Pembayun, putri bungsu penguasa keraton Kartasura.
Pada tanggal 17 Agustus 1715, lomba memanah dengan menggunakan pusaka kerajaan Mataram yang bernama, Gendhewa Sakti siap dilaksanakan. Dalam suatu upacara yang diikuti 30 peserta yang berasal dari 17 kadepaten di tanah Jawa. Mereka adalah putera para adipati yang masih bujangan, termasuk putra Adipati Jayengrana.
Disaksikan Susuhunan Pakubuwana I yang duduk di panggung kehormatan didampingi putri bungsunya BRA Pembayun dan Patih Nerang Kusuma, serta petinggi Kompeni Belanda. Setelah 25 peserta maju dan berupaya melaksanakan lomba, semuanya gagal. Tibalah giliran putera-putera Adipati Jayengrana, dimulai dari yang bungsu, Raden Mas Umbulsangga, Raden Mas Suradirana, Raden Mas Jaya Puspita, Raden Mas Sawungsari, dan yang terakhir Raden Mas Sawungkarna. Semuanya pun gagal.
Akibat ulah dan kelicikan Sawungkarna, memang Sawunggaling, tidak diikutkan dalam rombongan Adipati Jayengrana. Kendati demikian, Sawunggaling menyusul dan mendaftar pada giliran kedua. Ia menyamar dengan menggunakan nama Pangeran Menak Ludra, kesatria dari ujung timur Pulau Jawa, sebagai putera keturunan Adipati Blambangan, Menak Jingga. Sawunggaling dengan berpakaian kesatria, dan mengenakan topeng, maju ke tengah gelanggang. Dengan tenang pemuda yang menyamar dengan nama Pangeran Menak Ludra itu mengangkat busur dan memegang anak panah. Berbeda dengan peserta sebelumnya, Menak Ludra memberi hormat dengan membungkuk kepada pejabat di panggung kehormatan, juga kepada para penonton yang berdiri di tribun umum.
Yang lebih unik lagi, kalau peserta sebelumnya setelah mengambil busur dan anak panah, dengan berdiri tegak lalu mengarahkan bidikan ke cindhe puspita. Tidak demikian dengan Menak Ludra, dia mengambil posisi duduk bersila. Kemudian dia membidik tali pengikat cindhe puspita yang tergantung pada ketinggian 17 meter dengan jarak 45 meter. Seolah-olah tidak merasakan berat busur pusaka Mataram itu, dia menarik tali busur yang sudah dipasangi anak panah. Dengan mata terpejam, anak panah dilepas dan tepat mengenai tali pengikat cindhe puspita. Kain selendang warna merah-putih itu melayang ditiup angin dan jatuh persis di pangkuan Menak Ludra. Tepuk tangan dan sorak-sorai membahana memuji keterampilan anak muda yang mengaku dari Ujung Blambangan, Banyuwangi itu.
Patih Nerang Kusuma, berdiri dan dengan suara penuh wibawa berteriak. Suasana menjadi hening. “Hai Pangeran Menak Ludra, tunjukkan wajahmu sebenarnya! Kami sudah mengakui kemenanganmu, ayo silakan maju ke sini”, ujar sang patih sembari melambaikan tangannya.
Pemuda yang mengaku Pangeran Menak Ludra itu berdiri dan serta-merta melepas topengnya. Dengan langkah tegap ia menuju panggung kehormatan. Adipati Jayengrana benar-benar terkejut, begitu juga rombongan dari Surabaya lainnya. “Mohon ampun gusti Patih, hamba sesungguhnya adalah Sawunggaling, putera Adipati Jayengrana”, katanya terbata-bata.
Antara terkejut bercampur gembira, Adipati Jayengrana menyatakan rasa syukur, karena yang bakal menjadi penggantinya, bukan dari luar Surabaya, tetapi adalah putera dan darah dagingnya sendiri.
Setelah Sawunggaling berada di mimbar utama, Patih Nerang Kusuma mengumumkan, bahwa pengganti Adipati Jayengrana sebagai Adipati Surabaya, adalah Raden Mas Sawunggaling.
Tidak hanya itu, Susuhunan Pakuibuwana I juga berdiri dan berkata: “Hai anakmasku Sawunggaling, bersyukurlah dan berbahagialah, engkau terpilih sebagai pengganti ramandamu. Da sebagai hadiahnya, engkau akan kunikahkan dengan putri bungsuku, BRA Pembayun. Bagaimnana, apakah engkau setuju?” Pertanyaan Susuhunan Pakubuwana I itu sesungguhnya tidak perlu dijawab. Tertapi dengan suatu sikap kesungguhan, sembari menunduk kepala, Sawunggaling menjawab: “Sendika dawuh, Gusti,’ katanya.
Raden Mas Sawunggaling kemudian dinobatkan menjadi Adipati Surabaya menggantikan ayahnya Raden Mas Jayengrana. Selesai upacara prosesi pengukuhan itu, Raden Mas Sawunggaling mempersiapkan diri untuk mengikuti upacara sakral berikutnya, pernikahan dengan Bendara Raden Ayu Pembayun.
Pesta pernikahan itu tanggal 17 Agustus 1715 dilangsungkan di keraton Kartasura. Upacara dipimpin Patih Nerang Kusuma dan dihadiri para adipati dan tokoh masyarakat dari berbagai daerah di Pulau Jawa dan perwakilan petinggi Kompeni Belanda.
Walaupun hanya dua hari dua malam tanggal 17 hingga 19 Agustus 1715, pesta pernikahan Sawunggaling dengan BRA Pembayun, suasananya sangat meriah, Biasanya memang, upacara pernikahan anak-anak susuhunan berlangsung tujuh hari tujuh malam. Hal ini mengingat Adipati Jayengrana bersama penggantinya, terlalu lama meninggalkan keraton Surabaya. Apalagi yang diberi kuasa sebagai pejabat ad-interim adalah paman Arya Suradireja yang sudah terlalu tua.
Pada tanggal 20 Agustus 1715, Adipati Surabaya yang baru Raden Mas Sawunggaling dilepas Susuhunan Pakubuwana I dari Kartasura berangkat menuju ke Surabaya. Dengan penuh kasih sayang, Pakubuwana I memeluk puteri bungsunya sebelum menaiki kereta kuda yang sudah disiapkan di halaman keraton. Duduk bersanding di dalam kereta kencana, Sawunggaling dengan isterinya, BRA Pembayun tampak bahagia.
Saat melewati hutan di kawasan Sragen, rombongan Sawunggaling diserang oleh gerombolan perampok Gagak Mataram yang dipimpin Gagak Lodra. Walaupun kewalahan menghadapi gerombolan yang tidak seimbang dengan rombongan kecil Sawunggaling ini, akhirnya berkat kesaktian Sawunggaling, mereka menang. Perjalanan diteruskani ke Surabaya melewati Magetan, Madiun, Nganjuk, Jombang, Mojokerto, dan akhirnya sampai di keraton Surabaya pada tanggal 23 Agustus 1715.
Sejak hari itu, resmilah Raden Mas Sawunggaling melaksanakan tugasnya sebagai adipati di Kadipaten Surabaya.
Didampingi isterinya, BRA Pembayun kehidupan di kadipaten semakin hidup. Apalagi, saat BRA Pembayun hamil, ibunda Sawunggaling Raden Ayu Sangkrah dijemput ke Lidah Wetan. Sejak pertengahan tahun 1918 Raden Ayu Sangkrah dengan penuh kasih sayang mendampingi menantunya. Pada tanggal 4 Januari 1719, BRA Pembayun puteri bungsu Susuhunan Pakubuwana I itu melahirkan anak laki-laki. Bayi mungil yang sehat ini diberi nama Raden Mas Arya Bagus Narendra.

**

*) Yousri Nur Raja Agam MH
— Wartawan Senior di Surabaya,pemerhati sejarah, penulis berbagai artikel di mediamassa cetak dan multi
media, serta buku tentang Surabaya, Jawa Timur.
— Bahan diperoleh dari wawancara, investigasi dan leteratur (babad, legenda, buku bahasa Indonesia dan
Asing).

Tumenggung Raden Mas Ngabehi Sawunggaling

 Sawunggaling

Tokoh Legendaris

Surabaya Tempo Dulu    

Yousri Nur RA  MH

Yousri Nur RA MH

 

 

Oleh: Yousri Nur Raja Agam  MH

KEHEBATAN Adipati Jayeng Rono dalam kisah masa lalu Surabaya, juga sering dikaitkan dengan “tokoh legendaris” Surabaya lainnya, di antaranya: Sawunggaling. Berbagai versi tentang keberadaan dan ketokohan Sawunggaling ini.

Dari cerita tutur mulut ke mulut dan turun terumurun yang kemudian menjadi dongeng, serta disajikan dalam “Babad Surabaya”. Ada tiga versi tentang Sawunggaling yang diperoleh penulis. Versi masyarakat Wiyung dan versi warga Lidah Kulon, serta versi semi sejarah.

Versi Wiyung

Masyarakat daerah Wiyung sangat meyakini, bahwa Sawunggaling adalah putera asli daerah itu. Dikisahkan, nama Sawunggaling itu berasal dari dua kata, “Sawang” dan “Galing”. Sawang artinya lihat dan Galing berasal dari kata “aling” atau terhalang. Jadi artinya: penglihatan yang terhalang.

Ceritanya begini: Adipati Jayeng Rono hidup bahagia dengan anak isterinya di kepatihan. Sebagai kepala pemerintahan ia sering melakukan perjalanan kelililing. Sama dengan pejabat zaman sekarang, di hari-hari tertentu dimanfaatkan untuk santai dan menyalurkan hobi. Zaman dulu belum ada golf maupun tenis.

Nah, hobi dan kegemaran Adipati Jayeng Rono adalah pergi berburu ke hutan. Dengan kendaraan istimewa, kuda. Salah satu hutan, tempat sang adipati berburu adalah rawa-rawa dan hutan Wiyung di sebelah barat Surabaya. Sekarang Wiyung sudah menjadi salah satu kecamatan di Kota Surabaya.

 

Ternyata saat pergi berburu dengan menunggang kuda itu, setiap akan memasuki hutan mata sang adipati selalu “singgah” di sebuah gubuk. Di dalam gubuk itu tinggal keluarga yang mempunyai seorang gadis cantik. Lama kelamaan perburuan sang adipati, tidak lagi tertuju kepada binatang-binatang dalam hutan. Tetapi, justru kemudian menancapkan panah asmaranya kepada si gadis cantik dari Wiyung itu.

Dalam kisah ini, nama sang gadis dianggap tidak penting. Yang jelas, gadis ini merupakan kembang desa dan primadona di kampung pinggir hutan itu.

Dari kunjungan tidak rutin itu terjadilah hubungan rahasia antara sang adipati dengan gadis Wiyung ini. Hanya para pengawal dan mungkin sebagian warga desa yang mengetahui permainan asmara ke dua insan ini. Si ayah dari putri desa inipun tidak menghalangi, anaknya dipacari orang kaya. Dan mungkin pada mulanya si ayahpun tidak tahu, kalau pria itu adalah Adipati Jayeng Rono.

“Perselingkuhan” sang pejabat ini memang sangat rahasia, sehingga sama sekali tidak bocor di keraton. Keintiman sang adipati dengan gadis Wiyung itu akhirnya  mendapat restu ayah si gadis. Jadilah gadis desa itu “isteri simpanan” sang adipati. Dari perkawinan itu lahir seorang anak laki-laki yang dikenal dengan nama Sawunggaling.

Demi menjaga keutuhan keluarga keraton, Adipati Jayeng Rono melarang Sawunggaling dan keluarganya ke wilayah keraton. Nasihat sang ayah ini benar-benar dipatuhi Sawunggaling, maupun ibunya. Sawunggaling tumbuh menjadi remaja dan dewasa. Salah satu kegemaran Sawunggaling adalah memelihara ayam jago dan sering mengikuti adu ayam di kampungnya.

Pemerintahan Adipati Jayeng Rono terus mengalami kemajuan. Suatu hari untuk menetapkan seorang Temenggung, adipati kesulitan. Adipati Jayeng Rono yang juga punya hobi sabung ayam menyelenggarakan pertandingan sabung ayam terbuka. Hadiahnya, kepada pemilik ayam jago yang menang dan dapat mengalahkan ayam jago sang adipati, akan dinobatkan sebagai Tumenggung.

Sawunggaling yang mendengar ada pertandingan sabung ayam itu, minta izin kepada ibunya untuk ikut pertandingan sabung ayam di alun-alun keraton Surabaya. Ternyata dalam pertarungan itu, ayam jago Sawunggaling berhasil mengalahkan ayam jago Jayeng Rono. Sesuai dengan janji sang adipati, maka kemudian dinobatkanlah Sawunggaling menjadi Tumenggung di keraton Surabaya.

Setelah dinobatkan menjadi Tumenggung, Sawunggaling bersama ibunya tinggal di ketemang-gungan, tidak jauh dari keraton adipati. Namun, bagai-mana kemudian peran temenggung dalam pemerintahan Adipati Jayeng Rono tidak jelas. Bahkan, bagaimana kehidupan dan kelanjutan kisah Sawunggaling, tidak jelas juga.

Begitulah kisah versi masyarakat Wiyung. Cerita versi ini juga berkembang di kampung Kranggan, Surabaya lama. Di sini disebutkan, Kranggan ini adalah kampung para Ronggo. Jadi Kranggan itu berasal kata Ke-Ranggaan, yang terucap menjadi Kranggan. Rangga artinya keluarga keraton.

Versi Lidah Wetan

Kisah Sawunggaling di desa Lidah Wetan, lain lagi. Keberadaan Sawunggaling dibuktikan dengan adanya komplek makam yang disebut Makam Keluarga Sawunggaling. Letaknya di desa (sekarang kelurahan)  Lidah Wetan, Kecamatan Lakarsantri, Surabaya Barat.

Beberapa kali, saya ikut rombongan Walikota Surabaya H.Sunarto Sumoprawiro ke Lidah Wetan antara tahun 1996 hingga 2001. Kami melihat dari dekat komplek makam keluarga Sawunggaling. Atas prakarsa Cak Narto — panggilan akrab Sunarto — komplek makam itu dipugar. Saya bersama Cak Arifin Perdana dan Cak Eddy Sasmita saat itu memang sedang menyusun buku kedua tentang Cak Narto.

Makam keluarga Sawunggaling di Lidah Wetan itu hingga sekarang terawat dengan baik. Di komplek pemakaman itu terdapat lima makam, yakni:

Pertama: makam kakeknya bernama Wangsadrana alias  Raden Karyosentono.

Kedua: makam neneknya Mbah Buyut Suruh.

Ketiga: makam ibunya Raden Ayu Dewi Sangkrah.

Keempat: makam Raden Sawunggaling

Kelima: makam Raden Ayu Pandansari.

R.Karyo Sentono alias Wangsdrana

 

Lokasi tepatnya komplek makam  Sawunggaling adalah di belakang masjid Al-Qubro Jalan Lidah Wetan Gang III Surabaya. Nah, karena di gang III ini terletak komplek makam Sawunggaling, maka Jalan Lidah Wetan III disebut juga Jalan Lidah Wetan Sawunggaling.

 

Kisah tentang Pandansari ini beragam. Ada yang mengatakan ia adalah peri atau makhluk halus jadi-jadian yang selalu menyertai kemanapun Sawunggaling bepergian. Konon ia adalah lelembut, puteri kesayangan Raja Jin yang menguasai  hutan di wilayah Lidah, Wiyung dan sekitarnya.

Mbah Buyut Suruh

Ada pula yang menyatakan wanita cantik itu adalah isteri Sawunggaling. Namun masyarakat Lidah sebagian meyakini, Sawunggaling tidak pernah kawin dan membujang sampai wafat.

Sahibulhikayat, ketika seorang puteri keraton Jogjakarta bernama Raden Rara Blengoh datang ke Surabaya, ia tersesat ke desa Lidah. Di desa itu, ia ditampung oleh mbah Buyut Suruh yang tinggal bersama suaminya, Kepala Desa Lidah bernama Wangsadrana bergelar Raden Karyosentono. Rara Blengoh yang cantik itu diangkat sebagai anaknya sendiri.

Raden Ayu Dewi Sangkrah alias Rara Blengoh

Konon suatu hari, dalam perjalanan dinasnya, Adipati Jayeng Rono tertegun saat berada di Desa Lidah. Sang Adipati tidak menyangka di desa itu ada gadis cantik berdarah “biru”.  Setelah beberapa kali melakukan lawatan ke desa di pinggiran Surabaya itu, Adipati Jayeng Rono selalu menyempatkan singgah di rumah keluarga mbah Buyut Suruh dan Raden Karyosentono. Tujuannya tidak lain yaitu “mengapeli” anak angkat keluarga ini yang bernama Raden Rara Blengoh.

 

Gelora asmara benar-benar sudah tidak terbendung lagi. Tanpa banyak pertimbangan, pada suatu hari mengutus asisten khusus Adipati Jayeng Rono bernama Arya Suradireja untuk melamar Raden Rara Blengoh menjadi isterinya melalui Raden Karyosentono. Lamaran itu diterima oleh Raden Karyosentono setelah menyampaikan langsung kepada Rara Blengoh.

Setelah berunding ditetapkan waktu pernikahan. Acara perkawinan ini tidak besar-besar dan berlangsung agak “rahasia” tanpa sepengetahuan keluarga keraton itu. Setelah resmi menjadi isteri Adipati Jayeng Rono, Raden Rara Blengoh berganti nama dengan mendapat gelar menjadi Raden Ayu Dewi Sangkrah.

Nah, dari perkawinan itu, lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Jaka Berek yang kemudian mendapat nama atau gelar Raden Mas Sawunggaling.

Raden Mas Sawunggaling

Kepada Dewi Sangkrah, Adipapati Jayeng Rono berpesan agar menjaga dan mengasuh anaknya sampai dewasa. Demi menjaga kerukunan keluarga keraton, RA Dewi Sangkrah bersama keluarganya tetap tinggal di desa. Pesan lainnya, kalau nanti Sawunggaling sudah dewasa, beritahu bahwa ayahnya adalah Jayeng Rono dan menemuinya di keraton Surabaya. Sebagai tanda, Jayeng Rono meninggalkan sehelai selendang yang disebut “cinde” kepada Dewi Sangkrah. Dengan bukti selendang atau “cinde” itu nantinya Sawunggaling menemui ayahnya di keraton.

Raden Ayu Pandansari

Ketika Sawungggaling memasuki usia remaja, Dewi Sangkrah memberitahu anaknya, bahwa ia adalah anak Raden Adipati Jayeng Rono. Sesuai pesan ayahnya, apabila kelak sudah dewasa, agar menemui ayahnya di keraton Surabaya. Namun untuk menuju keraton tidak mudah, sebab waktu itu wilayah sekitar Lidah masih hutan belantara dan rawa-rawa. Ada ungkapan di kala itu: “jalmo moro, jalmo mati”, artinya: siapa yang berani masuk hutan, akan menemui ajal atau mati.

Dengan tekad yang bulat, Sawunggaling ditemani kakeknya Raden Karyosentono berangkat menuju keraton melintasi semak, rawa-rawa dan hutan belantara. Waktu itu, daerah Lidah, Wiyung, Lakarsantri dan Tandes masih merupakan rawa dan hutan lebat. Nah, saat memasuki hutan itu banyak gangguan. Di samping gangguan para punggawa, juga gangguan makhluk halus.

Bahkan, upaya untuk menggagalkan rencana Sawunggaling menemui ayah kandungnya di keraton Surabaya, juga dilakukan oleh dua adik tirinya, Sawungrono dan Sawungsari. Konon, saat Sawunggaling masih anak-anak dan  tidak pernah lagi didatangi Adipati Jayeng Rono, maka Dewi Sangkrah kawin dengan laki-laki lain dan melahirkan dua anak, bernama Sawungrono dan Sawungsari  Ke dua adik tirinya ini merasa iri terhadap Sawunggaling yang dikatakan ibunya masih berdarah biru itu.

Akhirnya berkat kesungguhan Sawunggaling bersama kakeknya Raden Karyosentono, mereka berhasil menerobos hutan dan rawa-rawa, hingga akhirnya sampai di keraton Surabaya. Dari pinggir hutan menuju ke keraton Surabaya, jalannya masih tanah, rawa-rawa dan melintasi berbagai perkampungan. Di antaranya daerah Tandes, Simo, Kupang, Pandegiling, Surabayan dan Kaliasin. Jalan lain, menyusuri jalan ke Wiyung, sisi Kali Surabaya dan Kalimas dari Gunungsari, Wonokromo, Gubeng, Keputran, Ketabang hingga Genteng.        Yousri Nur Raja Agam di tengah pemakamam Komplek Sawunggaling

Konon di balik tekad bulat dan kesungguhan Sawunggaling itu ada hal gaib yang menyertai. Peran magis dari Raden Ayu Pandansari, puteri cantik yang dipercaya sebagai keturunan lelembut tak bisa diabaikan. Perempuan jadi-jadian ini kabarnya adalah anak raja jin penguasa hutan Wiyung.

Keraton Adipati Surabaya lokasinya diperkirakan di gedung Balai Budaya Cak Durasim Jalan Gentengkali Surabaya (sekarang). Di sanalah Sawunggaling bersama Raden Karyosentono diterima Raden Adipati Jayeng Rono. Sawunggaling memperkenalkan diri dengan panggilan sehari-harinya, yakni: Joko Berek.

Setelah Joko Berek memperlihatkan selendang “wasiat” titipan ibunya, Adipati Jayeng Rono sertamerta merangkul Joko Berek yang tiada lain adalah anak kandungnya sendiri.

Sejak saat itu, Sawunggaling diberi tugas menjadi pendamping adipati sebagai Tumenggung dengan gelar Raden  Mas Ngabehi Sawunggaling Kulmosostronagoro.

Nah, mana di antara dongeng dan kisah Sawunggaling itu yang “sahih”, tidak ada yang berani memberi kepastian. Sebab, semua itu didasari pada konon dan konon. Kisah di atas, penulis dapat dari beberapa sumber warga Lidah Wetan yang saling melengkapi.

Gelar Doa dan Angkat Budaya

Masih dari Lidah Wetan, lain lagi dengan kisah yang diungkap Cak Mulyadi, salah seorang Panitia Gelar Doa dan Angkat Budaya Mengenang Keluarga Besar Joko Berek alias Raden Sawunggaling yang berlangsung 12-14 September 2012.

Mulyadi mengakui, memang kisah di Lidah Wetan ini hanyalah legenda, cerita dari orang-orang tua kepada anak cucunya. Dari tutur tinular itu dikisahkan, tentang seorang tumenggung yang sakti bernama Jayengrono. Dia tidak mau bersekutu dan mengikuti perintah kolonial Belanda yang selalu menyengsarakan rakyat kecil.

Melihat situasi Belanda  mulai bersimaharajalela di tanah Jawa, beliau prihatin. Banyak bupati dan tumenggung yang bersekutu dengan Belanda. Beliau sadar kalau Belanda semakin kuat dan akan menguasai tanah Jawa dan tentunya Surabaya.

Yousri Nur Raja Agam bersama Dr.Tjuk Sukiadi, DR.Suko Widodo dan Mulyadi saat acara Gelar Doa dan Angkat Budaya Sawunggaling, 12 September 20123 di Lidah Wetan, Surabaya

Atas kondisi itu, kata Mulyadi yang berulang-ulang menyebut dirinya sebagai “arek Lidah asli”, Tumenggung Jayengrono bersemedi di hutan rawa Wiyung guna mendapatkan kesaktian lebih dan minta petunjuk untuk melawan Belanda. Karena ketulusan dan kesungguhannya, saat bersemedi beliau berubah wujud menjadi pohon bambu atau carang.

Adalah seorang puteri keturunan darah biru yang tinggal di Lidah Donowati bernama Raden Ayu Dewi Sangkrah. Ke sehariannya dia selalu mencuci dan mandi di rawa Wiyung. Saat mandi, tanpa sengaja RA Dewi Sangkrah selalu meletakkan pakaiannya di pohon bambu yang tidak lain adalah jelmaan Tumenggung Jayengrono.

Tumenggung Jayengrono berusaha bertahan dan menganggap itu sebagai ujian atau godaan dalam semedinya. Namun, suatu ketika Tumenggung Jayengrono tergoda kecantikan RA Dewi Sangkrah. Semedi sang tumenggung gugur. Beliau merasa gagal. Dia sangat menyesal atas gugurnya semedi yang dilakukan.

Tiba-tiba ia mendapat wangsit. Dia tidak gagal mendapat kesaktian yang dia harapkan. Kesaktian itu akan dianugerahkan kepada anak yang kemudian dikandung oleh wanita yang meletakkan pakaiannya di pohon bambu atau carang yang merupakan jelmaan dirinya. Kelak dialah yang akan melawan kolonial Belanda. Selanjutnya bayi yang lahir dari hubungan Tumenggung Jayengrono dengan RA Dewi Sangkrah itu diberi nama Joko Berek.

Pada mulanya Joko Berek tumbuh sebagai pemuda desa yang bodoh dan bicaranya tidak jelas atau pelo. Sejalan berputarnya waktu dan peristiwa yang dialami, Joko Berek tumbuh sebagai satria gagah berani yang mempunyai kesaktian dan keistimewaan lebih. Dia mampu babat alas Nambas Kelingan dan mendirikan kota Surabaya. Dia juga membuat Belanda berang karena membunuh banyak pasukan Belanda, sementara Belanda tidak mampu menangkapnya.

Mulyadi didampingi empat orang panitia “gelar doa dan angkat budaya” dan dua warga Lidah dan Lakarsantri yang sengaja mengundang saya ke Lidah Wetan itu, mengatakan sampai sekarang belum ada data sejarah yang mengungkap tertangkapnya Joko Berek oleh Belanda. Karena kesaktian dan keistimewaannya Joko Berek mendapat gelar Raden Sawunggaling.

Joko Berek  ketika memasuki masa remaja sering diejek kawan-kawannya tidak punya bapak. Tidak kuat dengan ejekan itu  Joko Berek mendesak ibunya untuk menunjukkan siapa bapaknya. Karena sudah dianggap dewasa, Raden Ayu Dewi Sangkrah menceritakan riwayat dirinya dan memberitahu bahwa bapaknya adalah Jayengrono, Tumenggung Surabaya.

Dengan bekal cinde (selendang) yang diberikan Jayengrono dan disimpan Ayu Dewi Sangkrah, sang ibu melepas Joko Berek mencari bapaknya ke Surabaya. Joko Berek juga ditemani ayam kesayangannya yang diberi nama Bagong.

Sesampai di kabupaten atau ketemanggungan, meski mengaku anak Jayengrono, Joko Berek tetap dilarang masuk oleh penjaga. Pada saat yang bersamaan datanglah Sawungrono dan Sawungsari. Satria ini adalah putera Jayengrono yang merupakan adik tiri Joko Berek, Mereka adalah hasil perkawinan dengan seorang puteri dari Jawa Tengah yang sama-sama penggemar sabung ayam. Mereka marah atas pengakuan Joko Berek. Mereka berusaha menghalangi Joko Berek agar tidak bertemu dengan ayahandanya. Setelah melihat Joko Berek membawa ayam, timbul niatan Sawungrono dan Sawungsari menggunakan sabung ayam sebagai cara untuk menyuruh Joko Berek pulang. Mereka mengajak Joko Berek sabung ayam. Kalau menang, Joko Berek boleh masuk ke ketemanggungan, tetapi jika kalah Joko Berek harus pulang ke Lidah Wetan.

Ternyata si Bagong, ayam Joko Berek menang. Untuk menghalangi Joko Berek masuk, maka ayam milik Joko Berek dibawa lari. Joko Berek marah dan mengejar Sawungrono dan Sawungsari tanpa mempedulikan siapa yang menghalanginya. Merasa takut dikejar Joko Berek, Sawungrono dan Sawungsari minta perlindungan kepada ayahnya, Tumenggung Jayengrono.

Sesampai di ketemanggungan, Joko Berek menyampaikan tujuannya meminta kembali ayamnya dan dia juga mengatakan akan mencari bapaknya yang bernama Jayengrono. Sebagai bukti ia memperlihatkan cinde yang diberikan ibunya. Mendengar itu, Jayengrono tidak percaya begitu saja. Untuk membuktikannya Joko Berek diberi tugas merawat 144 ekor kuda. Selama merawat kuda-kuda itu tidak boleh ada satupun bulu kuda yang rontok. Jika sampai rontok, maka Joko Berek dianggap mengaku-aku saja sebagai anak Jayengrono. Ternyata diam-diam Jayengrono merasa yakin, Joko Berek memang anaknya.

Tidak hanya itu, ada kisah lain, ulas Mulyadi. Ketika Jayengrono dianggap tidak mau bersekutu dengan Belanda, maka Belanda berusaha melengserkan dia dari jabatan Tumenggung Surabaya. Bekerjasama dengan sekutunya Surohadiningrat yang menjabat adipati di Jawa Tengah, Belanda mengadakan lomba sodor. Barangsiapa yang mampu menyodor cinde puspita, maka ia akan diangkat menjadi Tumenggung Surabaya. Sebagai penyelenggara ditunjuk Cakraningrat adipati di Madura yang merupakan sesepuh Jawi Wetan (Jawa Timur).

Adipati Cakraningrat yang bersahabat dengan Tumenggung Jayengrono menyetujui siasat Belanda itu, karena yakin Sawungrono dan Sawungsari mampu memenangkan lomba tersebut, sehingga pimpinan ketemanggungan Surabaya tetap dipegang keluarga Jayengrono. Lomba sodor diselenggarakan dengan syarat pesertanya hanya para satria dan bangsawan.    Bersama tokoh dan masyarakat Lidah Wetan Kota Surabaya pada acara Gelar Doa dan Angkat Budaya Sawunggaling, 12 September 2012

Setelah beberapa hari lomba dilaksanakan, tidak seorangpun satria dan bangsawan yang mampu menyodor cinde puspita, termasuk Sawungrono dan Sawungsari. Tumenggung Jayengrono mulai gelisah. Melihat kenyataan ini, Joko Berek ingin menolong bapaknya sebagai darmabakti seorang anak kepada orangtuanya.

Akhirnya Joko Berek menghadap Cakraningrat dan menyampaikan keinginannya mengikuti lomba sodor. Cakraningrat yang tidak tahu jika Joko Berek putera Jayengrono marah dan menolak keikutsertaan Joko Berek.  Joko Berek ngotot. Berita kengototan Joko Berek ini didengar Jayengrono. Kepada Cakraningrat Jayengrono berterusterang, mengatakan bahwa Joko Berek memang anak kandungnya. Kemudian Joko Berek diperkenankan ikut lomba. Sebelum melaksanakan lomba, Joko Berek menjalani ritual doa dengan menyebut beberapa nama leluhur. Ungkapan ini dikenal dengan “Suluk Joko Berek”. Alhasil, Joko Berek mampu menyodor cinde puspita.

 

Melihat keberhasilan Joko Berek, Belanda dan Sosrohadiningrat bersama Sawungrono berusaha menghalangi Joko Berek sebagai Tumenggung Surabaya. Mereka membuat syarat tambahan kepada Joko Berek. Syarat itu adalah membabat alas Nambas Kelingan yakni hutan yang terkenal angker. Sebab, selama ini tidak pernah ada orang yang selamat keluar dari hutan tersebut.

Joko Berek yang lugu menyetujui syarat tambahan itu. Berangkatlah Joko Berek ke alas Nambas Kelingan. Dengan berbekal tombak Beliring Lanang dia berusaha membabat hutan itu dan meratakannya dengan tanah. Karena luasnya alas Nambas Kelingan, ditambah banyaknya dari jin-jin penunggu hutan itu, maka upaya Joko Berek tak kunjung selesai. Tiba-tiba muncul seorang peri bernama Ayu Pandansari. Karena tertarik dengan Joko Berek, Ayu Pandansari menawarkan bantuan membabat alas Nambas Kelingan itu. Jika berhasil Ayu Pandansari mengajukan syarat harus mengawininya. Joko Berek menolak tawaran itu dengan alasan mereka hidup di alam yang berbeda, yakni alam gaib dan alam nyata.

Joko Berek tidak mempedulikan Ayu Pandansari, namun pekerjaannya membabat hutan itu tak kunjung selesai. Di tengah perasaan keputusasaan itu, Joko Berek akhirnya mau dibantu Ayu Pandansari dengan janji akan mengawininya di alam nyata. Merekapun membuat kesepakatan dan saling menyetujui. Ayu Pandansari yang merupakan peri sakti itu masuk dan menyatu ke dalam tombak Beliring Lanang yang dimiliki Joko Berek. Dalam waktu sekejap, alas Nambas Kelingan rata dengan tanah.

Mendengar keberhasilan Joko Berek menjalani syarat tambahan itu, Cakraningrat merasa gembir, karena kursi ketemanggungan tidak lepas dari keluarga Jayengrono. Dia menyiapkan penyambutan untuk Joko Berek sebagai Tumenggung Surabaya. Cakraningrat juga mempersembahkan kepada Joko Berek gelar bangsawan Raden Sawunggaling.

Dalam upacara penyambutan itu, diam-diam pejabat Belanda, Sosrohadiningrat dan Sawungrono menyiapkan siasat licik dengan memasukkan racun ke dalam minuman Raden Sawunggaling. Tetapi karena Cakraningrat mengetahuinya, sebelum diminum Raden Sawunggaling, Cakraningrat menampiknya sehingga  gelas tersebut terjatuh. raden Sawunggaling marah dan mengejar Cakraningrat yang dianggapnya berusaha menggagalkan penobatannya sebagai Tumenggung Surabaya. Setelah dijelaskan oleh Cakraningrat bahwa minuman dalam gelas itu mengandung racun, maka Sawunggaling berbalik mengejar pejabat Belanda dan Sosrohadiningrat. Selanjutnya dikisahkan Sawunggaling membunuh Belanda yang ada di Surabaya dan mengejar pejabat Belanda beserta Sosrohadiningrat sampai ke Jawa Tengah.

Di akhir cerita, Sawunggaling menyampaikan, dia akan selalu memusuhi Belanda dalam generasi yang berbeda. Dengan semangat keberanian, kepahlawanan dan kejujuran, akan selalu tumbuh generasi yang akan datang.

Tokoh ini mampu muncul dalam abad yang berbeda dalam melawan Belanda. Padahal usia manusia tidak mungkin mencapai dua abad. “Bisakah misteri ini terungkap?” Karena ini sekedar legenda, masih perlu adanya penelusuran berdasarkan data sejarah yang akurat.

Dengan menyelenggarakan gelar doa bersama mengenang keluarga besar Joko Berek alias Raden Sawunggaling ini, kami berharap terka-teki tersebut terkuak kebenarannya. Paling tidak kita sudah mengakui bahwa di Lidah Donowati — sekarang disebut Lidah Wetan — pernah lahir seorang pahlawan di era atau masanya yang sangat gigih dan berani melawan penjajah Belanda, kata Mulyadi.

Versi Semi Sejarah

Ada lagi kisah Sawunggaling yang sudah mirip dengan cerita sesungguhnya, semi sejarah. Di sini diungkapkan tahun dan beberapa nama yang terdapat dalam buku-buku sejarah.

Suatu peristiwa diceritakan terjadi pertengahan tahun 1686. Rombongan Adipati Surabaya Raden Mas Jayengrana (dibaca: Jayengrono) yang menunggang kuda singgah di wilayah  pinggiran Kadipaten Surabaya, yakni di Desa Lidah Wetan. Waktu itu kawasan ini masih berupa hutan dan daerah rawa-rawa yang tidak begitu jauh dengan aliran sungai Kali Brantas.

Saat tiba di desa Lidah Wetan itu, sang adipati berhenti di depan rumah Kepala Desa Lidah Wetan, Wangsadrana. Raden Mas Jayengrana yang didampingi penasehat kadipaten Surabaya Arya Suradireja masuk dan beristirahat di rumah kepala desa itu. Sedangkan pengawalnya tetap berada di luar bersama warga desa sembari memberi makan kuda-kuda yang sebelumnya  mereka tunggangi.

Saat jamuan makan siang, Adipati Jayengrana dan Arya Suradireja dilayani anak semata wayang kepala desa bernama Rara Blengoh yang berusia 19 tahun.

Melihat perawan desa yang diperkenalkan Kades Wangsadrana sebagai anaknya, membuat hati Jayengrana bergelora. Kebekuan hati selama empat tahun menduda ditinggal isterinya yang meninggal dunia benar-benar mencair, bahkan memanas. Paman Arya Suradireja dan Kades Wangsadrana yang melihat pandangan mata sang adipati, bisa menebak gejolak hati “raja” Surabaya itu.

Kendati terbayang almarhumah isterinya yang sudah melahirkan lima orang putera, namun hasrat untuk menjadikan anak gadis Kades Wangsadrana sebagai pendamping hidupnya tak terbendung. Kegelisahan sang adipati dipahami oleh Wangsadrana dan Arya Suradireja. Tetapi Wangsadrana berpura-pura tidak tahu dan pergi ke luar rumah. Saat itulah Jayengrana menyampaikan hasratnya kepada Arya Suradireja untuk meminang  Rara Blengoh sebagai calon  isterinya.

Singkat cerita, lamaran sang Adipati Jayengrana yang sertamerta itu disampaikan dengan sangat hati-hati oleh Arya Suradireja kepada Wangsadrana. Dengan perasaan hati gembira, tetapi ragu-ragu menghadapi situasi itu yang mendadak itu, akhirnya Wangsadrama minta izin untuk menyampaikan kepada anaknya. Rara Blengoh benar-benar terkejut menerima informasi dari ayahnya. Namun setelah   diberi pengertian dan status adipati yang sudah empat tahun menduda, Rara Blengoh  menerima pinangan itu.

Setelah ditentukan waktunya, upacara pernikahan pun diselenggarakan di desa Lidah Wetan. Sengaja tidak dilaksanakan di Kadipaten Surabaya, untuk menjaga hati dan perasaan lima putera Jayengrana.

Ke lima putera Jayengrana waktu itu adalah Raden Mas Sawungkarna berusia 9 tahun, adiknya Raden Mas Sawungsari (7 tahun), Raden Mas Jaya Puspita (6 tahun) dan dua anak bungsu lahir kembar, Raden Mas Suradirana dan Raden Mas Umbulsangga (4 tahun).

Setelah pernikahan dan resmi menjadi isteri Raden Mas Jayengrana, Rara Blengoh mendapat gelar kehormatan Raden Ayu Dewi Sangkrah. Namun, sang adipati tetap tidak membawa isterinya ke kadipaten. Justru sang Adipati lah yang sering menginap di rumah kepala desa Lidah Wetan itu. Hampir setiap minggu, Jayengrana menyempatkan diri mengunjungi isteri mudanya itu.

Kasih sayang yang dipadu kedua insan ini membuahkan kehamilan Raden Ayu Dewi Sangkrah. Karena kesibukan di kadipaten, Jayengrana makin jarang ke Lidah Wetan. Sehingga sang adipati tidak menyaksikan kelahiran jabang bayi yang diberi nama Jaka Berek. Nah, andaikata dibuat sebuah hitung-hitungan secara normal, berdasarkan masa-masa  berseminya cinta Jayengrana dengan Raden Ayu Dewi Sangkrah, maka diperkirakan tahun kelahiran sang bayi yang kemudian dikenal dengan nama Sawunggaling itu adalah tahun 1687.

 

Zaman itu, keadaan situasi membuat kesibukan Jayengrana sebagai adipati Surabaya luar biasa. Inilah yang membuat sang adipati tidak sempat lagi mendatangi isterinya, karena situasi yang cukup gawat dampak dari pemberontakan Untung Surapati terhadap Belanda. Situasi ini berdampak buruk bagi Surabaya. Jayangrana benar-benar tak ada waktu berkunjung ke Lidah Wetan.

ari berganti bulan, bulan berganti tahun, usia Jaka Berek pun meningkat remaja. Pertengahan tahun 1704, saat Jaka Berek memasuki usia 17 tahun, ia meminta izin kepada ibunya, untuk menemui sang ayah di kadipaten Surabaya. Melihat kesungguhan hati si anak, maka kakeknya Wangsadrana berusaha meningkatkan ilmu dan kemampuan Jaka Berek. Di samping mengaji Al Quran dan taat menunaikan ibadah shalat, Jaka Berek juga dibekali ilmu beladiri silat dan kanoragan, serta tatakrama di lingkungan kadipaten.

Setelah dianggap matang, Jaka Berek diizinkan berangkat ke kadipaten dengan berjalan kaki menyusuri jalan di pinggir anak sungai Kali Brantas, yakni Kali Surabaya, sampai ke Kalimas. Ada peristiwa aneh yang ditemui Jaka Berek, saat dia melewati jalan desa sekitar Gunungsari. Seekor kuda lewat dengan membawa seorang laki-laki berkulit putih dalam keadaan pingsan di punggungnya. Kuda itu berhenti tatkala melihat Jaka Berek. Seolah-olah minta tolong, kuda itu menghampiri Jaka Berek. Tidak menunggu lama, Jaka Berek mengangkat tubuh laki-laki berhidung mancung itu ke bawah pohon. Kemudian Jaka Berek memberi minum dan membaca mantera yang pernah diajarkan kakeknya. Tak lama kemudian, bule itu siuman. Dia berterimakasih kepada jaka Berek yang sudah membantunya. Kedua anak muda yang berbeda ini berkenalan. Nama saya Van Jannsen, kata anak muda itu dengan Bahasa Jawa. Jaka Berek terkejut, ternyata Belanda ini sudah belajar Bahasa Jawa di Semarang.

 

Saat duduk berdua di pinggir Kali Surabaya, anak Kali Brantas itu, kedua anak muda ini semakin akrab. Apalagi, Van Jannsen telah banyak tahu dengan Surabaya dari pelajaran intelejen yang diterimanya. Van Jannsen, ternyata perwira muda yang sedang mengikuti wajib militer dari negaranya. Sebelum ke Indonesia, mereka sudah dibekali pengetahuan tentang daerah tujuannya, Jawa dan belajar bahasa Jawa.

Menurut Van Jannsen, dia bersama tiga temannya diutus ke Surabaya untuk menemui Adipati Jayengrana. Tetapi, saat berada di sekitar Lamongan, mereka diserang warga setempat. Mereka dikeroyok, namun Van Jannsen berhasil menyelamatkan diri. Namun mendekati Gresik, dia sudah tidak kuat menahan sakit akibat pentungan. Saat berada di punggung kuda itulah dia tidak sadarkan diri. Ternyata, kuda yang membawanya, bertemu dengan Jaka Berek.

Kendati tujuannya sama, yaitu sama-sama menuju Kadipaten Surabaya dan juga sama-sama akan menghadap Adipati Jayengrana, tetapi Jaka Berek tidak memberitahu tujuannya. Setelah saling bersalaman, Van Jannsen pamit untuk meneruskan perjalannya menuju Kadipaten Surabaya dengan menunggang kuda. Tidak lama kemudian, Jaka Berek juga berjalan menyusuri sungai Kali Surabaya. Ia berjalan terus sesuai petunjuk, berjalan menyusuri sungai Kalimas. Jaka Berek akhirnya  sampai juga di Alun-alun Contong, tidak jauh dari kadipaten. Di sana ia duduk-duduk dengan melepaskan lelah sembari memberi makan ayam jago yang dibawanya. Ayam jago itu diberi nama si Galing.

Karena kelelahan, Jaka Berek sempat tertidur di bawah pohon besar di Alun-alun Contong. Beberapa pemuda mencurigai orang asing itu. Malam itu ia ditangkap dan dibawa ke kadipaten. Sesampainya di kadipaten, Jaka Berek diinterogasi oleh petugas keamanan. Ketika diinterogasi itu, Jaka Berek menyatakan dia berasal dari Lidah Wetan. Kakeknya Wangsadrana mantan kepala desa di sana dan ibunya bernama Rara Blengoh dan juga dikenal dengan nama Raden Ayu Dewi Sangkrah. Maksud kedatangannya ke Surabaya untuk mencari ayahnya yang bekerja di kadipaten.

Antara percaya dan tidak mendengar jawaban anak bernama Jaka Berek itu, akhirnya petugas keamanan melapor kepada staf ahli kadipaten Arya Suradireja. Melihat pancaran sinar dari wajah Jaka Berek, Arya Suradireja terhenyak. Ia teringat kepada peristiwa di Lidah Wetan 19 tahun yang silam. Ia melihat bayangan wajah Wangsadrana dan gadis bernama Rara Blengoh.

Tanpa berpikir panjang, Arya Suradireja melapor kepada Adipati Jatengrana yang sedang memimpin rapat di pendapa kadipaten. Sang Adipati terkejut dan juga terharu saat melihat seorang anak muda tampan di depannya. Jaka Berek dibawa ke dalam kamar kerja Adipati diiringi oleh Arya Suradireja. Dari dialog singkat di kamar pribadi sang adipati itu, diyakini bahwa Jaka Berek adalah anak kandung Raden Mas Jayengrana. Di kamar itu mereka berangkulan dan saling melepas rindu disaksikan Arya Suradireja.

Suatu hal cukup membuat Jayengrana terkejut adalah, ketika Jaka Berek membuka baju dan celana luar yang dikenakannya. Ternyata di balik pakaian yang lusuh itu, Jaka Berek mengenakan pakaian yang rapi. Busana itu adalah pakaian Jayengrana yang ditinggal di rumah sang isteri Rara Blengoh yang bergelar Raden Ayu Dewi Sangkrah di Lidah Wetan. Suasana haru makin menjadi-jadi, Jayengrana kembali merangkul Jaka Berek, begitu pula dengan Arya Suradireja.

Tanpa basa-basi, Jaka Berek diajak ke pendapa kadipaten yang sedang ramai dengan pejabat kadipaten.  Jayengrana menyatakan kegembiraannya pada hari itu, karena dipertemukan dengan anak bungsunya, bernama Jaka Berek. Semua yang hadir terkejut. Anak-anak Jayengrana, sertamerta protes. Suasana menjadi tegang, karena Sawungkarna memperlihatkan kemarahan kepada ayahnya.

Ayahnya berterus terang, setelah menduda karena isteri pertamanya meninggal, ia pernah menikah di Desa Lidah Wetan dengan Raden Ayu Dewi Sangkrah, ibunda dari Jaka Berek. Kecuali Sawungkarna, ke empat putera Jayengrana tidak mempermasalahkan kehadiran Jaka Berek di kadipaten.

Kehadiran Jaka Berek di lingkungan keraton mendapat tantangan dari Sawungkarna. Secara kasar dia menyatakan tidak setuju. Bahkan Sawungkarna menantang Sawunggaling untuk menguji kesaktiannya. Sawungkarna mengajak Sawunggaling menuju alun-alun. Dia mengatakan, kalau engkau benar-benar anak ramanda Adipati Jayengrana, buktikan kesaktianmu. Sawunggaling hanya diam. Dengan merunduk dia berfikir untuk tidak melayani. Namun batinnya berkata dan seolah-olah menerima bisikan dari kakeknya Wangsdrana.

Kemudian Jaka Berek menengadah, lalu melihat ke arah sang adipati. Dengan penuh kasih sayang dan yakin kalau Jaka Berek adalah anak desa yang sudah terlatih ilmu beladirinya, Jayengrana menganggukkan kepala ketika Jaka Berek berdiri, seolah-olah minta izin kepada ayahnya. Memang benar, Jaka Berek sudah terlatih dalam ilmu silat. Dia sudah menguasai berbagai jurus apabila menghadapi tantangan. Apalagi satu kalimat yang selalu dipesankan oleh kakeknya: “Musuh jangan dicari, bertemu pantang dielakkan”.

 

Sama dengan putera Adipati Jayengrana lainnya, Jaka Berek, memang sudah dikenal sakti mandraguna, ora tedhas tapak paluning pandhe sisaning gurinda (sakti dan kebal menghadapi segala jenis senjata)

 

Sawungkarna juga mengajak adik-adiknya ke alun-alun.  Akhirnya dengan gerakan menunduk minta izin kepada sang Adipati, Jaka Berek mengikuti ajakan Sawungkarna. Bahkan, Adipati Jayengrana beserta pejabatan yang hadir dalam rapat itu ikut berdiri menuju alun-alun. Di antaranya, ada tamu bangsa Belanda, bernama Letnan Cornelis van Jannsen. Walaupun Jannsen sudah kenal dengan Jaka Berek, tetapi ia berusaha diam. Hal yang sama, juga terlihat dari sikap Jaka Berek ketika melihat jannsen yang ternyata benar-benar menjadi tamu ayahnya.

 

Perkelahian satu lawan satu antara Sawungkarna dengan Jaka Berek berlangsung seru. Akibat kemarahan Sawungkarna yang memuncak, ia lepas kendali. Berulangkali pukulan dan tendangannya dielakkan oleh Jaka Berek. Justru di sana Sawungkarna terjerembab. Beberapa kali Sawungkarna berusaha memukul, tetapi ia bagaikan memukul angin. Dalam sekejap, saat Sawungkarna lengah, Jaka Berek berhasil menangkap tubuh Sawungkarna dan mengunci gerakannya. Dalam keadaan terjepit itu, Sawungkarna minta tolong kepada adik-adiknya. Adik-adiknya hanya diam saja, takut serba salah. Namun, saat sdik-adiknya mendekat untuk membantu, Jaka Berek bergerak cepat. Empat saudara tirinya itu disapu dengan sebelah kaki, sembari ia masih tetap memegang salah satu tangan Sawungkarna. Mereka terjengkang.

 

Melihat kesaktian Jaka Berek dan khawatir anak-anaknya cedera, adipati memberi isyarat agar perkelahian itu dihentikan. Semua yang melihat pun kagum atas kesaktian Jaka Berek. Mereka semua kemudian diajak ke pendapa kadipaten. Hanya Sawungkarna yang tidak mau, saudara tirinya yang lain menyalami Berek sebagai tanda  pernyataan bersaudara.

 

Sore harinya, di pendapa Kadipaten Surabaya  diselenggarakan acara pengangkatan secara resmi Jaka Berek menjadi putera ke 6 Adipati Jayengrana. Empat saudara tirinya ikut menyaksikan, kecuali Sawungkarna. Mungkin karena malu, ia tidak menampakkan dirinya sama sekali. Pada upacara di sore hari itu, secara resmi Jaka Berek mendapat kehormatan menggunakan nama dan gelar Raden Mas Sawunggaling.

Setelah hidup di lingkungan kadipaten, peran Sawunggaling dalam jajaran pemerintahan semakin matang. Ia pun sering mendapat tugas pemerintahan dan mewakili Adipati Jayengrana dalam berbagai rapat dan pertemuan resmi. Baik dengan staf dan pejabat kadipaten, maupun dengan Raja Kartasura di Surakarta, serta dengan utusan Kompeni Belanda.

 

 

 

Menikahi Putri Solo BRA Pambayun

 

 

 

            SAWUNGGALING tidak pernah menikah sampai akhir hayatnya. Demikian cerita rakyat yang disampaikan secara lisan dan turun temurun atau tutur tinular selama ini. Justru, pada legenda Surabaya versi semi sejarah yang ditulis Febricus Indri (2010) — bukan  versi Lidah dan versi Wiyung — disebutkan, Sawunggaling kawin atau menikah secara sah dan resmi.

 

Tidak tanggung-tanggung, Adipati Raden Mas Sawunggaling, bahkan berhasil menikahi puteri bungsu Susuhunan Pakubuwana I penguasa keraton Kartasura, bernama Bendara Raden Ayu (BRA) Pembayun. Dari pernikahan resmi yang meriah itu, lahir seorang anak laki-laki bernama Raden Mas Arya Bagus Narendra.

 

Pesta pernikahan  Sawunggaling dengan putri Solo BRA Pembayun itu berlangsung selama dua hari dua malam pada tanggal 17 hingga 19 Agustus 1715 di keraton Kartasura. Upacara pernikahan dipimpin oleh Patih Nerang Kusuma dari Semarang dan dihadiri para adipati dan tokoh masyarakat dari berbagai daerah di Pulau Jawa.

 

Kisahnya begini. Pertengahan tahun 1715, Adipati Jayengrana merasa sudah tua, karena usianya lebih 70 tahun.  Suatu hari Adipati mengirim surat kepada Susuhunan Pakubuwana I di Surakarta. Isi surat itu, meminta pertimbangan pencarian penggantinya sebagai Adipati Surabaya. Jayengrana kesulitan untuk memilih salah satu di antara enam anaknya. Apalagi di antara anaknya itu, belum ada kesepakatan. Bahkan ada dua anaknya, Raden Mas Sawungkarna dengan Raden Mas Sawunggaling selalu bertentangan. Mereka berdua tidak pernah mau bekerjasama.

 

Setelah membaca surat dari Adipati Surabaya itu, Susuhunan Pakubuwana I berunding dengan patihnya Raden Mas Nerangkusuma. Akhirnya diputuskan untuk menyelenggarakan sayembara berupa lomba memanah dengan panah pusaka kerajaan bernama Gendhewa Sakti. Tanpa kesaktian, tidak mungkin seorang mampu mengangkat busur, apalagi menarik tali busur untuk meluncurkan anak panah menuju selembar cindhe puspita. Siapa yang berhasil memenangkan lomba ini, akan diangkat menggantikan Adipati Jayengrana selaku penguasa di Surabaya. Tidak hanya itu, sang pemenang juga berhak menjadi menantu Susuhunan Pakubuwana I, mempersunting Bendara Raden Ayu (BRA) Pembayun, putri bungsu penguasa keraton Kartasura.

 

Pada tanggal 17 Agustus 1715, lomba memanah  dengan menggunakan pusaka kerajaan Mataram yang bernama, Gendhewa Sakti siap dilaksanakan. Dalam suatu upacara yang diikuti 30 peserta yang berasal dari 17 kadipaten di tanah Jawa. Mereka adalah putera para adipati yang masih bujangan, termasuk putra Adipati Jayengrana.

 

Disaksikan Susuhunan Pakubuwana I yang duduk di panggung kehormatan didampingi putri bungsunya BRA Pembayun dan Patih Nerang Kusuma, serta petinggi Kompeni Belanda. Setelah 25 peserta maju dan berupaya melaksanakan lomba, semuanya gagal. Tibalah giliran putera-putera Adipati Jayengrana, dimulai dari yang bungsu, Raden Mas Umbulsangga, Raden Mas Suradirana,  Raden Mas Jaya Puspita, Raden Mas Sawungsari, dan yang terakhir Raden Mas Sawungkarna. Semuanya pun gagal.

 

Akibat ulah dan kelicikan Sawungkarna, memang Sawunggaling, tidak diikutkan dalam rombongan Adipati Jayengrana. Kendati demikian, Sawunggaling menyusul dan mendaftar pada giliran kedua. Ia menyamar dengan menggunakan nama Pangeran Menak Ludra, kesatria dari ujung timur Pulau Jawa, sebagai putera keturunan Adipati Blambangan, Menak Jingga. Sawunggaling dengan berpakaian kesatria, dan mengenakan topeng, maju ke tengah gelanggang. Dengan tenang pemuda yang menyamar dengan nama Pangeran Menak Ludra itu mengangkat busur dan memegang anak panah. Berbeda dengan peserta sebelumnya, Menak Ludra memberi hormat dengan membungkuk kepada pejabat di panggung kehormatan, juga kepada para penonton yang berdiri di tribun umum.

 

Yang lebih unik lagi, kalau peserta sebelumnya setelah mengambil busur dan anak panah, dengan berdiri tegak lalu mengarahkan bidikan ke cindhe puspita. Tidak demikian dengan Menak Ludra, dia mengambil posisi duduk bersila. Kemudian dia membidik tali pengikat cindhe puspita yang tergantung pada ketinggian 17 meter dengan jarak 45 meter. Seolah-olah tidak merasakan berat busur pusaka Mataram itu, dia menarik tali busur yang sudah dipasangi anak panah. Dengan mata terpejam, anak panah dilepas dan tepat mengenai tali pengikat cindhe puspita. Kain selendang warna merah-putih itu melayang ditiup angin dan jatuh persis di pangkuan Menak Ludra. Tepuk tangan dan sorak-sorai membahana memuji keterampilan anak muda yang mengaku dari Ujung Blambangan, Banyuwangi itu.

 

Patih Nerang Kusuma, berdiri dan dengan suara penuh wibawa berteriak. Suasana menjadi hening. “Hai Pangeran Menak Ludra, tunjukkan wajahmu sebenarnya! Kami sudah mengakui kemenanganmu, ayo silakan maju ke sini”, ujar sang patih sembari melambaikan tangannya.

 

Pemuda yang mengaku Pangeran Menak Ludra itu berdiri dan dengan langkah tegap ia mendekati panggung kehormatan. Sesampainya di depan  para tamu VIP yang duduk di panggung kehormatan, anak muda yang mengaku bernama Menak Ludra itu membuka topengnya. Adipati Jayengrana yang duduk di samping Susuhunan Pakubuwana I benar-benar terkejut. Begitu juga rombongan dari Surabaya lainnya. “Mohon ampun gusti Patih, hamba sesungguhnya adalah Sawunggaling, putera ramanda Adipati Jayengrana”, katanya terbata-bata menghadap kepada pemimpin upacara Patih Nerang Kusuma.

 

Antara terkejut bercampur gembira, Adipati Jayengrana menyatakan rasa syukur, karena yang bakal menjadi penggantinya, bukan dari luar Surabaya, tetapi  adalah putera dan darah dagingnya sendiri.

Setelah Sawunggaling berada di mimbar utama, Patih Nerang Kusuma mengumumkan, bahwa pengganti Adipati Jayengrana sebagai Adipati Surabaya,  adalah Raden Mas Sawunggaling.

Tidak hanya itu, Susuhunan Pakubuwana I juga berdiri dan berkata: “Hai anakmasku Sawunggaling, bersyukurlah dan berbahagialah, engkau terpilih sebagai pengganti ramandamu. Da sebagai hadiahnya, engkau akan kunikahkan dengan putri bungsuku, BRA Pembayun. Bagaimnana, apakah engkau setuju?” Pertanyaan Susuhunan Pakubuwana I itu sesungguhnya tidak perlu dijawab. Tertapi dengan suatu sikap kesungguhan, sembari menunduk kepala, Sawunggaling menjawab: “Sendika dawuh, Gusti,”  katanya.

Adipati dan Pengantin Baru

Raden Mas Sawunggaling kemudian dinobatkan menjadi Adipati Surabaya menggantikan ayahnya Raden Mas Jayengrana. Selesai upacara prosesi pengukuhan itu, Raden Mas Sawunggaling mempersiapkan diri untuk mengikuti upacara sakral berikutnya, pernikahan dengan Bendara Raden Ayu Pembayun.

Pesta pernikahan itu tanggal 17 Agustus 1715 dilangsungkan di keraton Kartasura. Upacara dipimpin Patih Nerang Kusuma dan dihadiri para adipati dan tokoh masyarakat dari berbagai daerah di Pulau Jawa dan perwakilan petinggi Kompeni Belanda.

Walaupun hanya dua hari dua malam tanggal 17 hingga 19 Agustus 1715, suasana pesta pernikahan Sawunggaling dengan BRA Pembayun, sangat meriah, Biasanya memang, upacara pernikahan anak-anak susuhunan berlangsung tujuh hari tujuh malam. Hal ini mengingat Adipati Jayengrana bersama penggantinya, terlalu lama meninggalkan keraton Surabaya. Apalagi yang diberi kuasa sebagai pejabat ad-interim adalah paman Arya Suradireja yang sudah terlalu tua.

Pada tanggal 20 Agustus 1715, Adipati Surabaya yang baru Raden Mas Sawunggaling dilepas Susuhunan Pakubuwana I dari Kartasura berangkat menuju ke Surabaya. Dengan penuh kasih sayang, Pakubuwana I memeluk puteri bungsunya sebelum menaiki kereta kuda  yang sudah disiapkan di halaman keraton. Duduk bersanding di dalam kereta kencana, Sawunggaling dengan isterinya, BRA Pembayun tampak bahagia.

Saat melewati hutan di kawasan Sragen, rombongan Sawunggaling diserang oleh gerombolan perampok Gagak Mataram yang dipimpin Gagak Lodra. Walaupun kewalahan menghadapi gerombolan yang tidak seimbang dengan rombongan kecil Sawunggaling ini, akhirnya berkat kesaktian Sawunggaling, mereka menang. Perjalanan diteruskani ke Surabaya melewati Magetan, Madiun, Nganjuk, Jombang, Mojokerto, dan akhirnya sampai di keraton Surabaya pada tanggal 23 Agustus 1715.

Sejak hari itu, resmilah Raden Mas Sawunggaling melaksanakan tugasnya sebagai adipati di Kadipaten Surabaya.

Didampingi isterinya, BRA Pembayun kehidupan di kadipaten semakin hidup. Apalagi, sejak saat itu ibunda Sawunggaling Raden Ayu Sangkrah secara resmi  dijemput dari Lidah Wetan. Sejak pertengahan tahun 1918 Raden Ayu Dewi Sangkrah dengan penuh kasih sayang mendampingi menantunya yang sudah hamil. Dengan perasaan kasih sayang Raden Ayu Dewi Sangkrah menunggu kelahiran cucunya, yang juga cucu dari Susuhunan Pakubuwana I, sang penguasa keraton Kartasura di Jawa Tengah.

Pada tanggal 4 Januari 1719, BRA Pembayun melahirkan anak laki-laki. Bayi mungil yang sehat ini atas anugerah dari kakeknya Susuhunan Pakubuwana I, diberi nama Raden Mas Arya Bagus Narendra.

Sebagai seorang adipati, Sawunggaling tetap membina hubungan dengan mertuanya yang menjadi penguasa keraton Kartasura. Saat itu, sikap Susuhunan Pakubuwana I sudah berubah. Dia mulai menjaga jarak dengan pihak kompeni Belanda. Apalagi, sebelumnya terjadi peristiwa pihak Belanda yang menjadi penyebab wafatnya ayahanda Sawunggaling Raden Mas Jeyengrana mantan Adipati Surabaya.

Ada dua versi tentang meninggalnya Jayengrana di Kartasura. Versi pertama ia dibunuh dengan 25 tikaman keris oleh penjaga keraton Kartasura. Saat itu Jayengrana yang diundang ke keraton Kartasura ketika  melewati bangunan Srimenganti dikeroyok oleh gerombolan berpakaian penjaga keraton atas perintah G.Knol pimpinan pasukan Belanda di Semarang. Kendati mendapat 25 tikaman, namun Jayengrana masih bertahan hidup, kemudian dibawa ke Desa Lawean. Di sanalah Jayengrana menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ada yang menyatakan, jenazah almarhum dimakamkan di Lawean, ada pula yang menyebut dibawa ke Surabaya.

Versi lain, Jayengrana dibunuh Belanda dengan mengundangnya ke Keraton Kartasura “mencatut” nama Susuhunan Pakubuwana I. Saat berada di tengah pesta yang dihadiri petinggi kompeni Belanda itu, ternyata minuman yang diberikan kepada Jayengrana diberi racun sejenis bahan kimia “arsenik“. Ini adalah atas perintah Van Hoogendorf komisaris Kompeni Belanda yang berkedudukan di Semarang. Racun yang tidak langsung mematikan, tetapi secara berangsur-angsur. Seusai pesta Jayengrana merasa badannya tidak enak. Dalam perjalanan pulang dari Kartasura ke Surabaya, rombongan singgah di Lawean untuk beristirahat. Kabarnya di Lawean inilah Jayengrana wafat.

Ada dua versi tentang di mana jenazah almarhum dimakamkan. Ada yang menyatakan di Lawean, ada pula yang mengatakan dibawa ke Surabaya dan dimakamkan di komplek pemakaman Botoputih, Pegirian, Surabaya. Nah, yang cukup unik, makam Adipati Jayengrana itu ditandai dengan nama Pangeran Lanang Dangiran atau Mbah Brondong. Konon ini suatu taktik, agar tidak diketahui pihak Kompeni Belanda.

Peristiwa yang sama juga nyaris dialami Adipati Sawunggaling. Seminggu setelah kelahiran anaknya Raden Mas Arya Bagus Narendra, Adipati Sawunggaling diundang ke keraton Kartasura untuk menghadiri upacara pemberian penghargaan atas keberhasilan Sawunggaling menghentikan pemberontakan Cakraningrat III di Madura. Walaupun ada rasa curiga dan kejanggalan, setelah berunding dengan staf ahli Kadipaten Surabaya Arya Suradireja, Sawunggaling tetap berangkat ke Kartasura.  Di keraton Kartasura Sawunggaling langsung menghadap sang mertua Susuhunan Pakubuwana I dan   melaporkan tentang kelahiran anak yang dikandung BRA Pembayun. Saat itulah, penguasa keraton Kartasura itu mempersembahkan nama untuk cucunya dengan nama Raden Mas Arya Bagus Narendra.

 

Ternyata, inisiatif dan acara mengundang Adipati Sawunggaling ke Kartasura tanggal 11 januari 1719 itu bukan dari Pakubuwana I. Acara ini dirancang oleh Van Hoogendorf bersama Adipati Semarang Sastradiningrat, serta saudara tertua Sawunggaling yang selama ini bekerjasama dengan Belanda, Raden Sawungkarna.

 

Benar saja, pesta yang seolah-olah memberi penghargaan kepada Adipati Sawunggaling, tidak lain adalah jebakan. Begitu acara akan dimulai, masing-masing tamu sudah memegang sloki berisi anggur, Van Hoogendorf sebagai tuan rumah maju ke depan. Ia mengajak seluruh undangan bersulang, “toast” dengan mengangkat sloki sembari disentuhkan sesama yang hadir. Berdasarkan gerak hati dari ilmu yang diberikan oleh kakeknya waktu kecil di Desa Lidah, sertamerta gelas itu disodorkan kepada Van Hoogendorf.

 

Dengan suara terbata-bata setengah berteriak Sawunggaling menyodorkan gelas kecil itu kepada Van Hoogendorf.  “Hai Van Hoogendorf, kamu licik. Ayo kamu yang minum isi gelas yang saya pegang ini”. Bentakan Sawunggaling sembari menyodorkan ke dekat mulut Van Hooegendorf membuatnya terkejut. Wajah komisaris Belanda itu merah padam dan merasa dipermalukan. Apalagi, perbuatan jahatnya memberi “racun” pada minuman Sawunggaling terbongkar.

 

Merasa dipermalukan, Van Hoogendorf setengah berlari masuk ke sebuah ruangan.  Di sana ia mengambil pistol dan kembali ke ruang utama menuju Sawunggaling  dengan mengarahkan moncong pistol yang siap tembak.  Begitu jari telunjuk Hoogendorf memegang pelatuk, seorang perwira muda Belanda bernama Van Jannsen  melompat ke tengah antara Sawunggaling dengasn Van Hoogendorf. “Dor”, suara pistol itu menyalak. Peluru pistol Van Hoogendorf menembus dada letnan Van Jannsen. Saat melihat Jannsen terkapar, Van Hoogendorf, kembali mengokang pistolnya.

 

Bersamaan dengan itu dengan gerak reflek Sawunggaling mencabut keris dan menghunuskan ke dada Van Hoogendorf. Setelah menembus jantung Hoogendorf, keris itu langsung dicabut. Hal yang tidak diduga itu membuat Van Hoogendorf limbung dan terjerembab dekat tubuh Van Jannsen. Para petinggi kompeni Belanda yang hadir berlarian meninggalkan ruangan untuk menyelamatkan diri. Sawunggaling merangkul dan mengangkat tubuh Cornelis van Jannsen, yang tidak lain adalah “sahabat” lamanya  saat menyusuri Sungai Kali Brantas, ketika akan menemui ayahnya Adipati Jayengrana di kadipaten Surabaya 26 tahun sebelumnya. “Terimakasih sahabat, kata Sawunggaling kepada Cornelis van Jannsen yang sudah mengorbankan nyawanya. Dalam keadaan meregang nyawa, dengan kerdipan mata, Jannsen menghembuskan nafas terakhir di pangkuan Sawunggaling.

 

Tidak larut dengan menyaksikan dua jasad tak bernyawa di ruangan itu, Sawunggaling berdiri dan  bersama rombongan menuju ke tempat parkir kuda. Tanpa pamit kepada sang mertua, Susuhunan Pakubuwana I, Sawunggaling yang didampingi Arya Suradireja segera meninggalkan Kartasura.

 

Sesampainya di Surabaya, Adipati Sawunggaling benar-benar menaruh dendam kepada kompeni Belanda. Menyadari, perbuatannya “membunuh” Van Hoogendorf akan berbuntut pada penyerangan Belanda ke Surabaya, Sawunggaling langsung mengatur strategi. Adipati mengumpulkan para pejabat pemerintahan kadipaten Surabaya untuk menghadapi segala kemungkinan.

 

 

Gugur sebagai Pahlawan

 

Benar saja, kematian dua perwira Belanda di Kartasura itu membuat Gubernur Jenderal Belanda di Batavia Hendrik Zwaardeckroom marah besar. Ia langsung mengangkat Pieter Speelman sebagai pengganti Van Hoogendorf. Saat itu juga ia mengeluarkan Surat Perintah untuk menangkap Sawunggaling.

 

Walaupun berduka, atas mangkatnya Ingkang Sinuwun Susuhunan Pakubuwana I, tanggal 13 Maret 1719, Sawunggaling maupun BRA Pembayun terpaksa tidak bisa menghadiri upacara pemakaman di Kartasura.  Kalau datang ke sana pasti ditangkap Belanda. Gerakan Belanda untuk menggempur Kadipaten Surabaya sudah terdengar. Pasukan Belanda juga sudah bergerak menuju Surabaya dari Batavia melalui darat dan laut.

 

Tidak kurang selama empat tahun terjadi peperangan dengan pihak Belanda di beberapa tempat di sekitar Surabaya. Belanda memang belum mengerahkan pasukan yang banyak. Hanya upaya melakukan gertakan dan intimidasi. Kadipaten Surabaya yang meliputi Surabaya, Sidoarjo dan Gresik, kemudian meluas ke Mojokerto dan Lamongan. Pasukan yang disebut Laskar Sawunggaling dipimpin oleh Raden Mas umbulsangga, kakak tiri Sawunggaling. Laskar ini berjaga di perbatasan Lamongan dan Mojokerto, serta dari arah Madura. Jadi kekuasaan Adipati Sawunggaling waktu itu sama dengan wilayah Gerbang Kertosusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan).

 

Kompeni Belanda waktu itu memang tidak hanya menghadapi Surabaya, tetapi juga pemberontakan yang terjadi di berbagai kota. Apalagi setelah Pakubuwana I mangkat, terjadi perebutan takhta. Juga di beberapa daerah memproklamasikan dirinya sebagai kerajaan sendiri dan bergerak malawan penjajah Belanda. Selain berhadapan dengan Belanda, beberapa kerajaan baru itu juga saling bermusuhan, sehingga perang saudara tidak terelakkan.

 

Pieter Speelman yang ditunjuk menggantikan Van Hoogendorf, mendapat laporan tentang kehebatan Laskar Sawunggaling menumpas anak buahnya di perbatasan Lamongan dan Mojokerto. Salah satu peperangan yang seru terjadi tanggal 10 Februari  1723. Pasukan Belanda yang dikomandani  Letnan Bernard van Aken benar-benar terpukul. Kalah telak. Pasukan yang dipimpinnya berhasil terpaksa mundur sampai Bojonegoro dan Tuban.

 

Apalagi waktu itu, Adipati Sawunggaling berhasil menjalin kerjasama dengan pasukan laut Portugis pimpinan Kapten Laut Francisco Santos Rodriguez yang berada di Laut Jawa. Dalam pertempuran di sekitar pelabuhan Sedayu Gresik, pasukan gabungan Laskar Sawunggaling dengan pasukan Portugis, berhasil mengalahkan armada laut Belanda. Seluruh pasukan Belnada di kapal dinyatakan tewas, kecuali ABK (Anak Buah Kapal) yang berada di ruang kemudi dan kamar mesin.

Tidak tahan mendengar laporan kekalahan demi kekalahan yang diderita pasukannya dari pembantaian  Laskar Sawunggaling, Speelman langsung mengambialih pasukan. Ia memimpin sendiri divisi tempur yang didatangkan dari Eropa, Batavia dan Semarang menyerbu pertahanan Laskar Sawunggaling di Lamongan dan Mojokerto. Dalam pertempuran sengit itu di pinggir Bengawan Solo, di wilayah Lamongan, Raden Mas Umbulsangga bersama 20 orang pasukannya gugur sebagai pahlawan. Komandan Laskar Sawunggaling diserahkan kepada Raden Mas Suradirana, saudara kembar Raden Mas Umbulsangga. Namun, dalam pertempuran akhir Maret 1723, Raden Mas Suradirana juga gugur sebagai pahlawan. Ia menghembuskan nafas terakhir saat terkepung musuh dan tubuhnya dihujani puluhan ujung bayonet pasukan Belanda yang haus darah.

Dari hari ke hari pasukan Kompeni Belanda terus bertambah. Pertempuran atara pasukan Kompeni dengan Laskar Sawunggaling semakin gencar. Adipati Sawunggaling yang kehilangan dua saudaranya di medan tempur makin terdesak. Ia berunding dengan staf ahli kadipaten Surabaya Arya Suradireja. Mereka  sepakat meninggalkan kadipaten untuk menyelamatkan keluarganya. Tempat berlindung yang dianggap cukup aman waktu itu adalah Benteng Providentia di daerah Ujung Surabaya, dekat muara Sungai Kalimas. Adipati Sawunggaling membawa ibundanya Raden Ayu Dewi Sangkrah bersama isterinya Bendara Raden Ayu Pembayun, serta puteranya Raden Mas Arya Bagus Narendra ke Benteng Providentia. Tentunya disertai pula dengan logistik dan kebutuhan sehari-hari yang cukup.

Dalam serangan besar-besar yang dilakukan pasukan Pieter Speelman ke Benteng Providentia, Adipati Sawunggaling yang memimpin sendiri Laskar Sawunggaling terkepung. Di sinilah, akhirnya sang adipati mendapat hadiah “timah panas” dari senapan pasukan Speelman. Anehnya,  tubuh Sawunggaling yang sempoyongan “lenyap” saat tersandar di dinding benteng.

Konon beberapa prajurit setia Laskar Sawunggaling yang semula sempat menyembunyikan jenazah Sawunggaling,  kemudian melarikan jasadnya menuju desa Lidah Wetan. Agar tidak diketahui Belanda, Sang Adipati dimakamkan malam hari di tanah kelahirannya, berdampingan dengan kakeknya Wangsadrana alias Raden Mas Karyosentono.

Paman Arya Suradireja menyelamatkan Raden Ayu Dewi Sangkrah ibunda Sawunggaling beserta BRA Pembayun dan Raden Mas Arya Bagus Narendra yang saat itu berusia empat tahun.          Tatkala BRA Pembayun keluar dari gerbang  benteng Providentia sembari mengendong Arya Bagus Narendra menuju kereta kuda, para petinggi Kompeni Belanda yang berbaris di depan benteng sertamertra memberi hormat dengan membuka topinya. Di antara petinggi kompeni Belanda itu adalah Pieter Speelman yang mengetahui BRA Pembayun adalah puteri almarhum Susuhunan Pakubuwana I.

Konon, waktu dalam perjalanan diberitahu kalkau jasad Sawunggaling sudah dibawa ke Lidah Wetan, Raden Ayu Sangkrah minta diantarkan ke rumahnya di Lidah Wetan. Sedangkan BRA Pembayun bersama Raden Mas Arya Bagus Narendra dibawa ke Kartasura.

Dengan gugurnya Adipati Sawunggaling sebagai pahlawan bangsa di benteng Providentia itu, maka pimpinan pemerintahan Kadipaten Surabaya kosong. Kekuasaan sementara diambilalih oleh pihak Belanda. Tidak berapa lama, Kadipaten  Surabaya dipimpin oleh Ki Tumenggung Panatagama.

Perjuangan Sawunggaling sampai titik darah penghabisan itu tidak dilupakan oleh Arek Suroboyo. Bahkan nama Sawunggaling melegenda hingga sekarang. *Y*

 

 

(*)