Titik Nol Kilometer Surabaya

Titik Nol atau Kilometer Nol Surabaya ternyata sejajar dengan Monumen Tugu Pahlawan, terletak di halaman depan Kantor Gubernur Jawa Timur di Jalan Pahlawan 110 Surabaya,

Oleh: Yousri Nur Raja Agam

JARAK satu kota ke kota lain, ditandai dengan “titik nol” atau “kilometer nol”. Sehingga, ditetapkan misalnya, jarak Kota Surabaya ke Jakarta 808 km, Surabaya ke Bandung 765 km, Surabaya ke Semarang 462 km, Surabaya ke Malang 98 km dan Surabaya ke Sidoarjo 23 km.

Pernahkah anda tahu di mana titik nol atau kilometer nol Kota Surabaya? Titik Nol atau Km-0 Surabaya ditandai dengan S.BAYA-0.

Selama ini yang sering dipublikasikan di antaranya kilometer nol (Km-0) Kota Jakarta, Bandung, Semarang, Medan, Bukittinggi, Semarang, Malang dan Sidoarjo, serta kota lainnya.

Bahkan Indonesia punya Titik Nol di ujung Barat di Sabang, Pulau We, Provinsi Aceh dan di Merauke, Papua di ujung Timur. Juga ada di pucuk bagian Utara di Pulau Miangas, Provinsi Sulawesi Utara dan Rote di NTT (Nusa Tenggara Timur).

Surabaya, Sejajar Tugu Pahlawan

Titik Nol Surabaya yang juga merupakan Titik Nol Jawa Timur di mana ya? Anda pasti menjawab “tugu pahlawan”. Ya, mendekati kebenaran, tetapi bukan tugu pahlawan. Memang sejajar dengan Tugu Pahlawan, terletak di seberang Taman Tugu Pahlawan. Tepatnya di halaman Kantor Gubernur Jawa Timur, Jalan Pahlawan 110 Surabaya.

Dulu bentuknya, hanyalah sebuah batu patok yang biasa kita lihat di pinggir jalan atau trotoar. Patok batu itu bertuliskan S.BAYA-0. Namun lama tak terawat.

Maaf, karena saya peduli terhadap Surabaya, sebagai ketua Yayasan Peduli Surabaya, maka pengamatan saya cukup tajam. Bahkan kadang-kadang kritis. Saya berusaha mencari instansi mana yang bertanggungjawab untuk merawat patok batu S.BAYA-0 ini.

Dari informasi yang saya terima, sebenarnya “pemilik” patok S BAYA-0 itu adalah Pemkot Surabaya, yang pengelolanya Dinas PU Binamarga. Nah, karena patok ini tertancap di lahan kantor gubernur Jawa Timur, dengan sendirinya kewenangan merawat patok yang dipasang sejak zaman Daendels ini adalah Pemprov Jawa Timur. Tetapi bukan Dinas PU Binamarga Jatim.

Tanpa banyak pertimbangannya, tahun 2015 saya sampaikan “uneg-uneg” saya ini kepada salah seorang staf di Biro Umum Setda Prov Jatim. Staf yang biasa mengawasi taman di halaman kantor gubernur Jatim itu tanggap. Ia pun sertamerta datang melihat patok S.BAYA.0 yang tersembunyi di bawah pohon taman yang menghadap ke Jalan Pahlawan itu.

Kebetulan saat itu keluhan saya ini didengar oleh teman-teman di ruang wartawan kantor gubernur Jatim di Surabaya. Setelah bicara tentang “titik nol” beberapa kota, maka ada teman saya yang akhirnya tertarik. Lalu minta pendapat saya, kemudian besoknya dimuat di beberapa media, di antaranya Harian Surya dan Tribunnews. (baca: http://surabaya.tribunnews.com/…/sudah-tak-terawat-patok-no… http://surabaya.tri. dan juga di http://www.ragamnews.com/2018/11/titik-nol-atau-kilometer-nol-surabaya.html

Kemudian ada staf yang berinisiatif membersihkan dan mencat batu patok itu. Dua bulan setelah patok S.BAYA.0 ini tersiar di mediamassa dan fotonya dikomentari di media sosial, ada upaya menampilkan patok Km-0 atau titik nol Surabaya itu. Di samping patok S.BAYA-0 dibuat patok batu yang lebih besar setinggi 2 meter, berupa tugu mini berbentuk: “angka 0”.

Rupanya upaya perawatan patok titik nol ini sampai ke telinga Gubernur Jatim Dr.H.Soekarwo. Setelah melihat dan kemudian melihat berbagai Km-0 atau titik nol di kota lain melalui berbagai sumber. Dari situ, terbitlah gagasan Pakde Karwo — panggilan akrab Soekarwo untuk membangun “monumen” titik nol.

Sebenarnya status patok Km-0 itu adalah “cagar budaya”. Sebab patok titik nol atau Km-0 ini peninggalan zaman dahulu. Umumnya sejak zaman VOC dan masa pemerintahan Kolonial Hindia Belanda dengan Gubernur Jenderal Daendels.

Sekarang bangunan monumen titik nol atau Km-0 Jawa Timur di halaman kantor gubernur Jatim Surabaya hampir selesai. Nanti, kata Pakde Karwo, monumen ini akan dilengkapi dengan prasasti Parasamya Purnakarya Nugraha.

Ternyata monumen titik nol Surabaya yang sedang dikerjakan ini kurang memperhatikan segi dokumentasi dan fotografi. Apalagi untuk dijadikan distenasi kepariwisataan. Lokasi untuk mengabadikan Titik Nol S.BAYA-0 atau Titik Nol Jawa Timur di pojok utara Kantor Gubernur Jatim ini, “maaf kurang pas”.

Seharusnya huruf TITIK NOL itu berdampingan dengan SURABAYA atau JAWA TIMUR sebagai latar belakang berfoto bagi wisatawan. Di samping itu, warna huruf TITIK NOL putih dan mengkilap, serta latar belakangnya cat dinding gedung kantor gubernur juga putih. Seharusnya huruf TITIK NOL atau KILOMETER NOL (KM-0) “kontras” dengan warna latar belakangnya. Sehingga, terbaca dengan jelas.

Nah seharusnya sang perencana atau konsultan pembangunan monumen ini mengerti seni fotografi dan dokumentasi. Sebab, fungsi da kegunaan monumen ini berhubungan dekat dengan kesan-kesan kunjungan wisatawan ke Kota Pahlawan ini. Kita bisa membuat selogan misalnya: “Belumlah anda dinyatakan berkunjung ke Surabaya, jika belum mengabadikan diri anda di Tugu Pahlawan dan Titik Nol Surabaya.” Atau selogan lainnya.

Tidak ada salahnya jika si perencana monumen Titik Nol atau Km-0 ini melihat dan belajar dari yang sudah ada di tempat lain. Nah, mari kita lihat dan 
bandingkan dengan kota-kota lain, termasuk dengan Titik Nol atau Kilometer Nol (KM-0) Indonesia di Kota Sabang dan Kota Merauke.

Ayo mari kita lihat di Batavia atau Jakarta sekarang. Titik nolnya sudah menjadi barang antik, karena monumen ini sudah afa sejak zaman Belanda atau VOC. Titik nolnya berada di gedung Syahbandar Tanjung Priok, kemudian di zaman Orde Baru dipindahkan ke Monas (Monumen Nasional). Pada umumnya penetapan titik nol kota-kota di Indonesia ini sudah sejak zaman Kolonial Belanda. Kota Bandung Km-0 ditandai dengan patok batu di pinggir jalan di depan Kantor Binamarga Jawa Barat di Jalan Asia Afrika.

Lain lagi dengan Kota Medan, Sumatera Utara Km-0 nya persis di depan Balaikota Medan yang lama. Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, titik nol Km adalah maskot kota itu sendiri yaitu monumen Jam Gadang. Kemudian, Semarang menetapkan Km-0 nya di ujung Jalan Pemuda dekat GKN (Gedung Keuangan Negara). Jadi bukan di Tugu Muda atau simpang lima yang menjadi ikon ibukota Jawa Tengah itu.

Sekarang kota tetangga Surabaya yang dinyatakan jaraknya 23 km itu, yakni Sidoarjo, di mana titik nol nya? Ada satu patok batu di trotoar di depan Plaza Telkom yang berbatasan dengan Bank Delta Artha. Di batu itu tertulis di bagian atas S.BAYA 23 di bagian bawah arah Utara tertulis SIDOH-0, artinya Km-0 Sidoarjo, sedangkan arah Selatan tertulis GM.POL 11 artinya Gempol 11 km.(**)

Artikel ini juga dimuat di:
www.ragamnews.com
www.beritalima.com
www.rajaagam.wordpress.com

MAKAM PAHLAWAN JADI OBYEK WISATA

Makam Pahlawan Nasional BUNG TOMO tidak berada di TMP, tetapi bergabung dengan pusara rakyat Surabaya di TPU Ngagel Surabaya
“]Makam Pahlawan Nasional BUNG TOMO tidak berada di TMP, tetapi bergabung dengan pusara rakyat Surabaya di TPU Ngagel Surabaya[/caption]

caption=”Yousri Nur RA MH”]Yousri Nur RA MH[/caption]

MAKAM PAHLAWAN
JADI OBYEK WISATA
KOTA PAHLAWAN

(Wisata Religi atau Ziarah)

Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)

KEGIATAN wisata dan pariwisata di Kota Pahlawan Surabaya, harus ada yang khas atau spesifik.

Pengertian berwisata, tidak harus hanya bersenang-senang, namun yang paling utama dalam kegiatan wisata adalah kesan dan terkesan. Boleh juga pakai istilah, melancong atau pesiar, di mana tujuannya adalah mencari sesuatu yang baru di alam ini.

Dari hasil kunjungan itu, akan diperoleh suatu kenangan yang indah, sehingga kita akan “terkenang selalu”. Tidak hanya itu, pengertian wisata termasuk di dalamnya berziarah, melakukan kunjungan yang bernilai religius.

Biasanya, dalam suatu perjalanan wisata, selain memperoleh kesan, juga didapatkan hal yang belum pernah diketahui sebelumnya. Dari apa yang dilihat, didengar dan dirasakan, diperoleh pengetahuan dan ilmu yang baru. Dengan demikian, segala yang menjadi ilmu dasar dalam ingatan itu akan dengan mudah disampaikan atau ditularkan kepada orang lain. Kita tidak hanya sekedar mendengar cerita orang lain atau hanya membaca dari buku.

Memang, dengan kita banyak membaca dan mendengarkan cerita dari seseorang, kita akan memperoleh pengetahuan yang banyak. Kendati demikian, yang lebih baik lagi atau dirasa lebih afdhal, kalau kita melihat sendiri, tahu sendiri dan mendengar sendiri dari sumber utamanya. Ada kepuasan batin.

Kunjungan dalam bentuk ziarah, memang ada hal lain yang ditemukan. Perasaan dalam wisata ziarah memberi kesan kedekatan rohani dengan sang tokoh dan Allah Maha Pencipta. Kota Surabaya, juga banyak dikunjungi parawisatawan ziarah ini, yakni ke Masjid Agung Ampel dan ke kawasan pemakaman Sunan Ampel (Cerita tentang Sunan Ampel ditulis tersendiri).

Berbeda dengan ziarah, kegiatan wisata pada umumnya adalah kegiatan rekreasi dan bersenang-senang. Tentu, hasil akhir yang diperoleh adalah kesan senang dan puas.
Nah, bepergian jauh, berwisata, melancong, pesiar atau berdarmawisata, tujuannya adalah untuk memperoleh “kepuasan batin”. Oleh sebab itu, dalam penyediaan obyek kepariwisataan, yang utama adalah menjadikan obyek tersebut meninggalkan kesan yang menghasilkan kepuasan batin.

Kota Surabaya yang berjuluk Kota Pahlawan dan Kota Budi Pamarinda, layak dijual menjadi obyek wisata dalam arti yang sesungguhnya. Seperti yang pernah disajikan sebelumnya, bahwa kegiatan Budimarinda (Budara, Pendidikan, Maritim, Industri dan Perdagangan), dapat dirinci dan dipilah-pilah menjadi obyek “par” atau pariwisata.

Namun, para pendatang ke Kota Pahlawan ini, kadang-kadang “buta”, mereka sulit mengetahui secara pasti apa saja obyek wisata di Surabaya. Belum ada paket wisata yang padu dan terintegrasi antara Dinas Periwisata dengan perusahaan pengelola kepariwisataan. Masing-masing jalan sendiri, sehingga obyek wisata di Surabaya ini lepas dan terpotong-potong sesuai dengan selera masing-masing pula.

Pendatang dari luar daerah tiba di Surabaya, umumnya melalui Bandara Juanda atau Pelabuhan Laut Tanjung Perak, atau di Stasiun Kereta Api Pasar Turi dan Gubeng, atau juga yang turun di terminal bus antarkota Purabaya dan Tambakoso Wilangun. Seharusnya, di peron tempat mendarat itu mereka disambut dengan ramah, melalui bahasa tulisan.

Jadikan pendatang itu memperoleh kesan pertama, bahwa Kota Surabaya ini memang layak disebut “Kota Pahlawan”. Saat matanya terpana melihat gambaran kepahlawanan di Kota Surabaya itu, wisatawan ini kemudian diarahkan untuk menelusuri obyek wisata di Surabaya yang memang bernuansa kepahlawanan.

Jadikan para wisnu (wisatawan nusantara) atau wisman (wisatawan mancanegara) itu memperoleh suatu keasyikan. Kalau semula, mungkin di Surabaya ini mereka hanya sekedar singgah, karena akan melanjutkan perjalanan menuju ke Gunung Bromo, Bali atau Jogjakarta. Tetapi, kita harus menjerat para wisatawan itu “menginap” di Surabaya, sebab salah satu wujud kepariwisataan itu adalah “menginap” dan membelanjakan uangnya di obyek wisata.

Setelah wisnu atau wisman itu melhat ke sana ke mari, sodori informasi sebanyak mungkin tentang kota ini. Sediakan secara gratis kertas informasi dalam bentuk buklet atau mungkin layar monitor informasi yang bicara tentang “Ini lho Surabaya!”. Beri mereka peta wisata, lalu serahkan paket wisata Kota Pahlawan. Kemudian dilanjutkan dengan informasi aktivitas kota ini di bidang Budi (pa)marinda itu.

Saat wisatawan berada di Kota Surabaya, warganya harus ramah menyapa dan menjamu, sehingga kesan secara beruntun dirasakan di hati. Kesan pertama yang memikat akan menjadi kenangan yang takkan terlupakan. Itulah kepuasan batin yang dicari para petualang wisata. Bagi pengaran dan penulis, mereka akan memperoleh ilham yang makin dalam, sehingga dalam buah karyanya akan terwujud gambaran yang nyata.

Mari kita kunjungi “obyek wisata” di Kota Surabaya yang bernuansa kepahlawanan. Di antaranya, Museum Pahlawan dan Taman Makam Pahlawan.

Museum Tugu Pahlawan
Sebagai Kota Pahlawan, di Surabaya berdiri Tugu Pahlawan yang terletak di Taman Tugu Pahlawan di Jalan Pahlawan Surabaya. Di halaman Taman Tugu Pahlawan ditemukan patung pada pahlawan dan orang-orang yang berjasa saat peristiwa bersejarah sekitar tanggal 10 November 1945. Kiprah “Arek Suroboyo” yang memuncak tanggal 10 November 1945 ini, kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan yang diperingati setiap tahun oleh Bangsa Indonesia.

Tidak hanya sekedar tugu pahlawan dan patung-patung yang terdapat di Taman Tugu Pahlawan, tetapi di dalam perut bumi di samping bawah Tugu Pahlawan itu, ada Museum Pahlawan 10 November.

Dulunya di zaman Penjajahan Belanda, di tempat yang sekarang dinamai Taman Tugu Pahlawan ini berdiri gedung pengadilan yang disebut Raad van Justitie. Dalam peristiwa perang kemerdekaan gedung itu hancur dan tahun 1951 benar-benar dihancurkan seluruhnya, sehingga rata dengan tanah.

Presiden RI pertama, Ir.H.Sukarno menetapkan pembangunan Tugu Pahlawan di tempat ini. Tepat pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 1951, Bung Karno meletakkan batu pertama pembangunan Tugu Pahlawan. Setahun kemudian, pada peringatan Hari pahlawan 10 November 1952, Tugu Pahlawan di Kota Surabaya diresmikan.

Saat Pemerintahan Kota dipegang oleh dr.H.Poernomo Kasidi sebagai walikota tahun 1991 yang dilanjut oleh H.Sunarto Sumoprawiro, di bawah Taman Tugu Pahlawan itu dibangun Museum Pahlawan 10 November. Pekerjaan yang terdiri delapan paket itu menghabiskan biaya Rp 32,9 miliar.

Walaupun di tempat ini berbagai jenis peninggalan sejarah dipajang, ditambah dengan diorama yang mampu bercerita tentang peristiwa heroik yang memakan korban ribuan jiwa Arek Suroboyo, namun belum banyak orang yang tahu. Jangankan para pelancong yang disebut wisnu dan wisman, warga kota Surabaya saja, 80 persen belum pernah datang ke sini. Kalau seandainya dihitung warga kota Surabaya ini berjumlah tiga juga jiwa, maka yang diperkirakan sudah masuk ke Museum Pahlawan ini, baru berapa?

Bagaimana mungkin orang luar Surabaya tertarik masuk ke dalam Museum Pahlawan, kalau warga Surabaya sendiri yang ditanyai tamunya juga kurang informasi, bahkan buta informasi.

Makam para pahlawan yang disebut TMP (Taman Makam Pahlawan) di Surabaya ini cukup banyak. Ada yang mengatakan, bahwa makam-makam kampung di Kota Surabaya ini umumnya ditempati oleh para pahlawan, pelaku sejarah 10 November 1945. walaupun demikian, yang diwujudkan sebagai TMP ada tiga: yakni TMP di Jalan Kusuma Bangsa, TMP di Jalan Ngagel Jaya Selatan (Jalan Bung Tomo) dan TMP di Jalan Mayjen Sungkono.

Kecuali itu, di Surabaya juga ada TMP khusus, tempat dimakamkannya Pahlawan Nasional salah seorang pendiri Budi Utomo, Dr.Sutomo di Jalan Bubutan Surabaya dan pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya, Wage Rudolf Supratman, dekat Pemakaman Umum Rangkah di Jalan Kenjeran Surabaya.

Belajar dari Filipina

Pemerintah Kota Surabaya pernah mengadakan studi banding ke Filipina, bagaimana mewujudkan TMP sebagai obyek wisata. Sebab, di Filipina ada sebuah TMP yang dibangun cukup megah dan ternyata mampu menjaring para wisatawan berkunjung ke tempat itu. Bahkan, ada ungkapan, kalau seandainya datang Filipina, tetapi belum berkunjung ke TMP yang bernama “Manila American Cemetery and Memorial” (MACM), itu sama artinya belum pernah ke Filipina.

Nah, adakah ungkapan seperti itu bisa diterapkan di Surabaya? Misalnya, apabila belum berkunjung ke Taman Tugu Pahlawan dan Taman Makam Pahlawan di Surabaya, itu sama artinya anda belum pernah datang ke Surabaya.

Untuk itulah, belajar dari Filipina itu, Pemkot Surabaya bernah mencanangkan akan menjadi TMP di Jalan Mayjen Sungkono dan Taman Tugu Pahlawan sebagai obyek wisata “mutlak” bagi para wisatawan. Namun, ide, keinginan, harapan dan bahlkan apa yang pernah dicanangkan itu tinggal menjadi cerita masa lalu. Wujudnya, nihil. Padahal untuk studi banding ke Filipina itu menggunakan dana besar dari Pemkot Surabaya yang diikuti oleh sebuah tim dari berbagai disiplin ilmu.

TMP yang terletak di Fort Bonifacio, Manila, Filipina itu terletak di Provinsi Rizal yang sebelumnya bernama Fort William Mc.Kinley. Memang, sebagai bekas jajahan Amerika, di Filipina banyak nama tempat yang berbau Amerika.

TMP yang terletak sekitar 6 mil sebelah tenggara pusat kota Manila itu mudah dicapai dengan menggunakan taksi melalui jalan raya Epifanio de Los Santos Avenue (highway 54) dan McKinley Road. Di TMP yang luasnya 152 are atau sekitar 60,8 hektar dimakamkan 17.206 jasad tentara Amerika yang tewas dalam Perang Dunia II tahun 1945. Keanggunan TMP ini terlihat sejak dari gerbangnya, kemudian penataan plaza dengan air muncrat dengan tembok abadi (memorial building) di tengah TMP.

Itu pulalah sebabnya, TMP MACM di Filipina yang merupakan TMP terbesar kedua setelah TMP Arlington, di Washington, Amerika Serikat itu, oleh Pemkot Surabaya dijadikan salah satu model untuk penataan TMP di Jalan Mayjen Sungkono.

Mungkinkah apa yang pernah digagas dan dicanangkan Pemkot Surabaya, menjadikan TMP sebagai obyek wisata dapat diwujudkan? Kalau kita ingin benar-benar menjadikan Surabaya sebagai Kota Pahlawan, tentu wajib hukumnya. Sebab, mubazir dana yang sudah dikeluarkan untuk studi banding ke luar negeri itu.

Makam Belanda dan Jepang
Tidaka ada salahnya pula, sebagai obyek wisata, berkunjung ke makam para pendahulu kita. Tidak saja ke makam Sunan Ampel dan para pengikutnya. Makam bekas penjajah atau kolonial Belanda dan Jepang, sebenarnya bisa dikelola sebagai obyek wisata yang menghasilkan pemasukan ke kas Pemkot Surabaya.
Di Surabaya, salah satu komplek makam penjajah yang dikelola dengan baik adalah Makam Kembang Kuning. Khusus untuk ini, saya tulis dengan rubrik sendiri. Sebab, di sini juga ada beberapa nama tokoh bangsa Balanda.

Selain makam rakyat, juga terdapat makam para pejabat dan “pahlawan” bagi bangsa Belanda. Juga ada makam lama yang kurang mendapat perwatan, di Makam Peneleh. Makam yang sudah dinyatakan penuh.

Nah, di Kota Surabaya, juga tidak sedikit balatentara Jepang yang “gugur” sebagai pahlawan Negara Sakura, yangb tentunya bukan pahlawan bagi bangsa Indonesia. Bagaimana pula cerita tentang makam “saudara tua” dari dai Nippon itu. Juga saya tulis dalam judul tersendiri.

Nah, sekarang Pemerintah Kota Surabaya, maupun Pemerintah Provinsi Jawa Timur harus punya kemauan untuk memanfaatkan TMP atau makam-makam lama dijadikan sebagai obyek wisata, baik wisata religi atau ziarah, maupun sebagai obyek wisata sejarah.

Seyogyanya, mengunjungi TMP, makam-makam lama dan bersejarah, dijadikan paket wisata kota Surabaya, satu-satunya kota di Indonesia yang berjuluk Kota Pahlawan.***

*) Yousri Nur Raja Agam MH – pemerhati sejarah dan Ketua Yayasan Peduli Surabaya.