SUPERSEMAR — SURAT RESMI TANPA NOMOR

Supersemar  

Surat Perintah Tanpa Nomor

Yousri Nur RA  MH

Oleh:  Yousri Nur Raja Agam  MH *)

Hari ini Supersemar berusia 46 tahun, Surat sakti masaPemerintahan Orde Baru.

Sebuah surat resmi, dokumentasi negara yang menjadi “saksi” sejarah,  ternyata tidak selamanya akurat. Biasanya selembar surat resmi, apalagi surat yang dikeluarkan oleh pejabat pengambil keputusan, pasti dikonsep oleh seorang ahli atau pakar. Lalu surat itu ditelaah dan menjalani birokrasi dengan memberikan paraf dan disposisi untuk sampai kepada pejabat tertinggi yang mengeluarkan keputusan.

Kendati demikian, lain halnya dengan Surat Perintah Sebelas Maret  yang dikenal dengan singkatan Supersemar. Surat Perintah dari Presiden Republik Indonesia, Dr.Ir.H. Sukarno tanggal 11Maret tahun 1966. Surat dari pejabat paling tinggi di Negara RI ini, selalu dipermasalahkan setelah era reformasi. Padahal, di zaman Orde Baru, saat Presiden RI, HM Soeharto berkuasa, Supersemar itu adalah surat “paling sakti”.

Begitu istimewanya surat ini,  selama 32 tahun lebih “kelahiran” surat ini diperingati setiap tahun. Surat yang bernama Supersemar ini “ulang tahunnya” dirayakan tiap tahun. Bahkan melebihi perayaan ulangtahun hari bersejarah lainnya.

Nah, mengapa begitu istimewanya tanggal 11 Maret bagi Supersemar? Setelah Soeharto mengakhiri masa kekuasaannya sebagai pemimpin Orde Baru, berbagai komentar dan  silang bertingkah pun menyeruak ke permukaan. Berbagai hujatan juga ditujukan terhadap Supersemar dan peleksana Supersemar itu. Pro-kontra terhadap lahirnya supersemar bermunculan.

Kecaman yang paling tajam terhadap kesaktian Supersemar itu, pasti dari mereka yang menjadi korban akibat Supersemar itu sendiri. Mereka adalah para musuh atau dianggap musuh oleh rezim Orde Baru yang berkuasa sejak tahun 1966 hingga 1999. Walaupun sesungguhnya banyak pula segi positif yang dihasilkan pemerintahan yang memegang kekuasaan dari Supersemar itu.

Sukarno bersama Soeharto

Sukarno bercengkrama dengan Soeharto

Berbicara tentang Supersemar, bayangan kita akan tertuju kepada dua presiden, yakni Presiden Sukarno dan Presiden Soeharto. Sebab dengan Supersemar itulah salah satu penyebab beralihnya kekuasaan di republik ini dari Sukarno kepada Soeharto. Walaupun secara resminya jabatan Presiden RI beralih dari Sukarno kepada Soeharto pada tahun 1968.

Tanpa Nomor

Sudah banyak buku sejarah dan dokumentasi media yang  kita baca. Beraneka opini dan informasi yang tersiar dan tersebar di jagat nyata dan jagat maya. Semua narasumber menyajikan yang terbaik menurut  versinya. Artinya, semua menjual kecap nomor satu.

Tetapi bagaimana dengan Supersemar? Kendati Surat Perintah ini “tanpa nomor”,  larisnya luar biasa. Kecap Nomor Satu, tidak ada apa-apanya dibanding Supersemar. Surat Perintah “Tanpa Nomor” bertanggal 11 Maret 1966 yang ditandatangani Sukarno dengan dengan jabatan paling tinggi di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini yakni: Presiden/PanglimaTertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS,  tidak hanya laris manis, tetapi juga menjadi obat kuat bagi pemerintahan Orde Baru.

Jadi, kalau ada yang bertanya, apa istimewanya Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar itu? Jawaban yang paling pas adalah: “Itulah surat resmi kepala pemerintahan  Republik Indonesia yang berkuasa, yang tidak sah, berdasarkan hukum – saat itu. Mengapa tidak sah? Sebab surat resmi itu tidak diagendakan secara remi. Buktinya, Surat Perintah Presiden itu “Tidak ada Nomornya”.

Untuk menghapus jejak, karena surat resmi itu tidak ada nomor dan tidak diagendakan secara resmi di Sekretariat Negara, maka dipopularkanlah dengan sebutan Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret).

Coba anda perhatikan berbagai kejanggalan dari Supersemar ini. Selain tidak ada nomor suratnya, juga  aneh. Mengapa aneh? Sebab surat ini dikeluarkan di Bogor, tetapi di bawahnya tercantum, Jakarta. Sebuah lagi keanehan yang didiamkan adalah: Surat Perintah itu ditujukan kepada Panglima Angkatan Darat Soeharto yang pangkatnya masih Mayjen (Mayor Jenderal), tetapi pada Supersemar ditulis besar dan jelas Letnan Jenderal (Letjend) Soeharto.

Naskah "asli" Supersemar yang sempat dilipat dan dikantongiIni adalah lembaran Surat Perintah Sebelas Maret yang sudah menguning dan sempat dilipat-lipat

Sebaiknya, mari kita simak ulang peristiwa yang terjadi di Negara ini, saat lahirnya sang bayi bernama Supersemar.
Pangkopkamtib

Dulu ada lembaga bernama Kopkamtib, singkatan dari Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban. Lembaga ini dipimpin oleh seorang komanda yang disebut Panglima. Saat bayi Supersemar ini dilahirkan yang menjadi Panglima Kopkamtib atau pangkopkamtib adalah Letjen TNI Soeharto.

Supersemar yang ditandatangani Presiden Republik Indonesia Sukarno tanggal 11 Maret 1966 itu isinya: menginstruksikan kepada Soeharto, selaku Pangkopkamtib untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu.

Surat Perintah ini adalah versi yang dikeluarkan dari Markas Besar Angkatan Darat (AD) yang juga tercatat dalam buku-buku sejarah. Sebagian kalangan sejarawan Indonesia mengatakan bahwa terdapat berbagai versi Supersemar sehingga masih ditelusuri.

Versi resmi, awalnya keluarnya Supersemar terjadi ketika pada tanggal 11 Maret 1966, terjadi setelah Presiden Sukarno mengadakan sidang pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Kabinet ini dikenal dengan nama “kabinet 100 menteri“.

Pada saat sidang dimulai, Brigadir Jendral Sabur sebagai panglima pasukan pengawal presiden (Paspampres) yang bernama Tjakrabirawa melaporkan bahwa banyak “pasukan liar” atau “pasukan tak dikenal” yang belakangan diketahui adalah Pasukan Kostrad dibawah pimpinan Mayor Jendral Kemal Idris yang bertugas menahan orang-orang yang berada di Kabinet yang diduga terlibat G-30-S di antaranya adalah Wakil Perdana Menteri I Soebandrio.

Mendapat laporan tersebut, Presiden Sukarno bersama Wakil perdana Menteri I Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh berangkat ke Bogor dengan helikopter yang sudah disiapkan. Sementara Sidang akhirnya ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II Dr.J. Leimena yang kemudian menyusul ke Bogor.

Situasi ini dilaporkan kepada Mayor Jendral Soeharto yang pada saat itu selaku Panglima Angkatan Darat menggantikan Letnan Jendral Ahmad Yani yang gugur akibat peristiwa G-30-S/PKI itu. Mayor Jendral (Mayjend) Soeharto saat itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit.

Mayor Jendral Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi (AD) ke Bogor untuk menemui Presiden Sukarno di Istana Bogor yakni Brigadir Jendral M. Jusuf, Brigadir Jendral Amirmachmud dan Brigadir Jendral Basuki Rahmat. Setibanya di Istana Bogor, pada malam hari, terjadi pembicaraan antara tiga perwira tinggi AD dengan Presiden Soekarno mengenai situasi yang terjadi dan ketiga perwira tersebut menyatakan bahwa Mayjend Soeharto mampu mengendalikan situasi dan memulihkan keamanan bila diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberikan kewenangan kepadanya untuk mengambil tindakan.

Presiden Sukarno setuju untuk itu dan dibuatlah surat perintah yang ditujukan kepada Mayjend Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.

Supersemar tersebut tiba di Jakarta pada tanggal 12 Maret 1966 pukul 01.00 waktu setempat yang dibawa oleh Sekretaris Markas Besar AD Brigjen Budiono. Hal tersebut berdasarkan penuturan Sudharmono, saat itu ia menerima telpon dari Mayjend Sutjipto, Ketua G-5 KOTI, 11 Maret 1966 sekitar pukul 10 malam. Sutjipto meminta agar konsep tentang pembubaran PKI disiapkan dan harus selesai malam itu juga. Permintaan itu atas perintah Pangkopkamtib yang dijabat oleh Mayjend Soeharto. Bahkan Sudharmono sempat berdebat dengan Moerdiono mengenai dasar hukum teks tersebut sampai Supersemar itu tiba.

Kemudian setelah Supersemar disiarkan kepada masyarakat, maka secara bertahap tampuk kekuasaan yang sebelumnya berada di tangan Presiden Sukarno secara bertahap, baralih kepada Soeharto.
Membubarkan PKI

Setelah keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966, ditindaklanjuti oleh Mayjen TNI Soeharto sebagai pengemban Supersemar segera mengambil tindakan untuk menata kembali kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

Langkah peling strategis yang dilakukan Soeharto pada tanggal 12 Maret 1966, adalah mengeluarkan surat keputusan yang berisi pembubaran dan larangan PKI beserta ormas-ormasnya yang bernaung dan berlindung atau senada dengannya, beraktivitas dan hidup di seluruh wilayah Indonesia.

Tidak tanggung-tanggung, keputusan tersebut diperkuat dengan Keputusan Presiden/Pangti ABRI/Mandataris MPRS No.1/3/1966 tangal 12 Maret 1966. Keputusan pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya mendapat sambutan dan dukungan dari seluruh rakyat, Sebab, ini merupakan salah satu butir yang diperjuangkan oleh Angkatan 66 melalui aksinya mewujudkan Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat), yakni: Bubarkan PKI, Turunkan Harga dan Reshufle Kabinet.

Berikutnya tanggal 18 Maret 1966 pengemban Supersemar mengamankan 15 orang menteri yang dinilai tersangkut dalam G 30 S/PKI dan diragukan etika baiknya yang dituangkan dalam Keputusan Presiden No. 5 Tanggal 18 Maret 1966. Diteruskan pada tanggal 27 Maret 1966, berdasarkan Supersemar dibentuk Kabinet Dwikora yang disempurnakan untuk menjalankan pemerintahan. Tokoh-tokoh yang duduk di dalam kabinet ini adalah mereka yang jelas tidak terlibat dalam G 30 S/PKI.

Upaya lain yang juga menggunakan kesaktian Supersemar adalah membersihkan lembaga legislatif dimulai dari tokoh-tokoh pimpinan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) dan DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) yang diduga terlibat G 30 S/PKI. Sebagai tindak lanjut kemudian dibentuk pimpinan DPRGR dan MPRS yang baru. Pimpinan DPRGR baru memberhentikan 62 orang anggota DPRGR yang mewakili PKI dan ormas-ormasnya.

Pemagang Supersemar juga melakukan koreksi atas pemerintahan yang menggunakan system Trias Politika. Memisahkan jabatan pimpinan DPRGR dengan jabatan eksekutif sehingga pimpinan DPRGR tidak lagi diberi kedudukan sebagai menteri. MPRS dibersihkan dari unsur-unsur G 30 S/PKI. Seperti halnya dengan DPRGR, keanggotaan PKI dalam MPRS dinyatakan gugur. Sesuai dengan UUD 1945, MPRS mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada lembaga kepresidenan.

Pengamanan Menteri
Mayjen. Soeharto selaku pengemban Supersemar mengambil tindakan dengan “pengamanan” terhadap sejumlah Menteri Kabinet Dwikora yang disempurnakan dan tokoh-tokoh yang terlibat dalam G 30 S/PKI, yaitu sebagai berikut:

1. Dr. Subandrio : Wakil PM I, Menteri Departemen Luar Negeri, Menteri Luar Negeri/Hubungan Ekonomi Luar Negeri.
2. Dr. Chaerul Saleh : Wakil PM III, Ketua MPRS.
3. Ir. Setiadi Reksoprodjo : Menteri Urusan Listrik dan Ketenagaan.
4. Sumardjan : Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan.
5. Oei Tju Tat, S.H. : Menteri Negara diperbantukan kepada presidium kabinet.
6. Ir. Surachman : Menteri Pengairan dan Pembangunan Desa.
7. Jusuf Muda Dalam : Menteri Urusan Bank Sentral, Gubernur Bank Negara Indonesia.
8. Armunanto : Menteri Pertambangan.
9. Sutomo Martopradoto : Menteri Perburuhan.
10. A. Astrawinata, S.H : Menteri Kehakiman.
11. Mayjen. Achmadi : Menteri Penerangan di bawah presidium kabinet.
12. Drs. Moh. Achadi : Menteri Transmigrasi dan Koperasi.
13. Letkol. Imam Sjafei : Menteri Khusus Urusan Pengamanan.
14. J.K Tumakaka : Menteri/Sekretaris Jenderal Front Nasional.
15. Mayjen. Dr. Soemarno : Menteri/Gubernur Jakarta Raya.
Sidang Umum MPRS

Tanggal 20 Juni sampai 5 Juli 1966 diadakan Sidang Umum IV MPRS dengan hasil sebagai berikut.
a. Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 tentang Pengesahan dan Pengukuhan Supersemar.
b. Ketetapan MPRS No. X/MPRS/1966 mengatur Kedudukan Lembaga- Lembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah.
c. Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan Politik Luar Negeri RI Bebas Aktif.
d. Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang Pembentukan Kabinet Ampera.
e. Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Tap. MPRS yang Bertentangan dengan UUD 1945.
f. Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Perundang-undangan di Indonesia.
g. Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Pernyataan PKI dan Ormas-Ormasnya sebagai Organisasi Terlarang di Indonesia.

Dengan berakhirnya Sidang Umum IV MPRS, berarti landasan awal Orde Baru berhasil ditegakkan. Demikian pula dua dari tiga tuntutan rakyat (Tritura) telah dipenuhi, yaitu pembubaran PKI dan pembersihan kabinet dari unsurunsur PKI. Sementara itu, tuntutan ketiga, yaitu penurunan harga yang berarti perbaikan bidang ekonomi belum diwujudkan. Hal itu terjadi karena syarat mewujudkannya perlu dilakukan dengan pembangunan secara terus-menerus dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Pelaksanaan pembangunan agar lancar dan mencapai hasil maksimal memerlukan stabilitas nasional.

Pelurusan lembaga legislatif dan eksekutif pasca-Supersemar Pelurusan lembaga legislatif dan eksekutif oleh pengemban Supersemar meliputi hal-hal berikut ini.
a. Pimpinan DPRGR tidak diberi kedudukan sebagai menteri, sebab DPRGR adalah lembaga legislatif, sedangkan menteri adalah jabatan dalam lembaga eksekutif.
b. Kedudukan presiden dikembalikan sesuai dengan UUD 1945 yakni di bawah MPRS bukan sebaliknya.***
Sumber: Majalah Vidya Yudha No.6 th.1969 Pussemad, Wikipedia dan lain-lain.

*) Yousri Nur Raja Agam  MH  — Wartawan Senior di Surabaya, Jawa Timur, Ketua DPP FKB KAPPI Angkatan 66 dan Alumni Resimen Mahasiswa Indonesia (Mahawarman).

TRITURA LASKAR AMPERA ANGKATAN 66

Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat)

Laskar Ampera  Angkatan ’66

Peringatan 46 tahun Tritura di Surabaya

 

Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)

 

TRITURA adalah singkatan dari Tiga Tuntutan Rakyat yang dikumandangkan para pelajar dan mahasiswa yang berdemonstrasi tanggal 10 Januari 1966 di Jakarta. Saat itu suasana ibukota Republik Indonesia itu sedang mencekam, setelah Gerakan 30 September (G-30.S) tanggal 30 September 1965. Rencana kudeta untuk mengambilalih pemerintahan didalangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia), menggegerkan dunia.

HM Basofi Soedirman, mantan Gubernur Jatim yang menjadi saksi hidup sebagai anggota pasukan RPKAD waktu terjadi peristiwa di tahun 1965-1966 memberikan ceramah pada acara 46 tahun Tritura di Balai Pemuda Surabaya, 9 Januari 2012

Betapa tidak, proses kudeta itu diawali dengan melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap enam perwira tinggi, satu perwira pertama dan seorang anak perempuan oleh PKI. Ke enam perwira tinggi yang diculik, kemudian dianiaya dan dibunuh, serta dikubur dalam sumur tua di Lubang Buaya, Jakarta itu adalah: Letjen Ahmad Yani, Mayjen Suprapto, Mayjen MT Haryono, Mayjen DI Pandjaitan, Mayjen S.Parman dan Brigjen Sutoyo Siswomiharjo.       H.Abdul Moeis Oesman, Ketua DPW LA ARH Jatim

Sedangkan seorang perwira pertama adalah Lettu Piere Tandean (ajudan Jenderal Abdul Haris Nasution) dan Ade Irma Suryani (puteri Jenderal Abdul Haris Nasution). Ajudan dan puteri Jenderal AH Nasution meninggal akibat tembakan penculik yang menggeledah rumah  AH Nasution yang mengetahui kedatangan penculik, lari ke belakang rumah dan melompat pagar ke rumah tetangga, salah satu kedutaan besar negara sahabat.

Nah, sejak peristiwa G.30.S/PKI itu, suhu politik di Indonesia benar-benar memanas. Pemegang tampuk pemerintahan dan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) — gabungan TNI dengan Kepolisian waktu itu — terpecah, karena ada yang terlibat PKI dan ormas-ormasnya. Pimpimpin TNI (Tentara Nasional Indonesia) Angkatran Darat (AD), Angkatan Laut (AU) dan Angkatan Udara (AU), serta kepolisian, ada yang ikut dalam memberontak, sebagian tetap setia kepada pemerintahan RI.

Dari kiri ke kanan: H.Mustahid Astari, HM Yousri Nur Raja Agam, Edi Purwinarto      RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) yang sekarang disebut Kopassus (Komando Pasukan Khusus) TNI-AD, dengan komandan Kolonel (waktu itu) Sarwo Edhi adalah pasukan “paling setia” membela pemerintahan dan benar-benar berlawanan dengan kelompok G.30.S/PKI.

Pada situasi keamanan negara yang tidak menentu ini, Presiden Soekarno kelihatan “tidak tegas”, sehingga menimbulkan perpecahan di kalangan pemerintahan, aparat kemanan dan rakyat. Melihat keadaan yang demikian, para pemuda yang tergabung dalam berbagai kesatuan aksi mahasiswa dan pelajar melakukan unjukrasa atau demonstrasi di jalan-jalan kota Jakarta, serta kota-kota lain di Indonesia.  Prof.Dr.H.Sam Abede Pareno, MM, MH

Mahasiswa dan pelajar tergabung dalam Kesatuan Aksi, yakni KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) beramai-ramai turun kejalan raya. Aksi KAMI dan KAPPI ini kemudian diikuti pula oleh KAGI (Guru), KABI (Buruh) dan KASI (Sarjana). Seluruh kesatuan aksi ini berhimpun dalam wadah Laskar Ampera Angkatan ’66.

Puncak aksi terjadi tanggal 10 Januari 1966, yang saat itu demonstran mengajukan tuntutan kepada pemerintahaan yang dipimpin Presiden Soekarno, sebagai tuntutan rakyat. Ada tiga tuntutan yang disebut Tritura (Tiga Tuntutan rakyat), yaitu:  Yousri Nur Raja Agam  MH

1. Bubarkan PKI,

2. Turunkan Harga,

3. Rushufle Kabinet (100 menteri).

Waktu itu pemerintahan memang dipimpin banyak menteri, sehingga disebut oleh para mahasiswa dan pelajar sebagai kabinet 100 menteri.

Dari hari ke hari aksi di jalan semakin ramai, RPKAD dan beberapa kesatuan TNI dan kepolisian berpihak kepada kesatuan aksi. Maka tidak jarang, dalam demonstrasi itu, para demonstran bersama-sama dengan tentara. Sedangkan istana waktu itu dijaga ketat oleh pasukan Cakrabhirawa.    Pung Rachman

Begitu gencarnya aksi mahasiswa dan pelajar, serta kesatuan aksi lainnya, mau tidak mau memaksa Presiden Soekarno “menyerah”. Salah satu keputusan tegas itu adalah mengeluarkan surat keputusan “pembubaran PKI”, kemudian berlanjut kepada pengurangan jumlah menteri, serta secara bertahap berusaha menekan harga.

Nah, puncak pencetusan Tritura tanggal 10 Januari itu, sekarang diperingati sebagai Hari Lahir Angkatan 66 atau Hari Tritura. Tanggal 10 Januari 2012 ini, Tritura sudah berusian 46 tahun. Nah, bagaimana refleksi Tritura itu di masa sekarang? **

Para eksponen 66 dari Jombang dan Kediri

HM Basofi Soedirman bersama Angkatan 66 Jatim

Balai Pemuda Surabaya, bekas tempat hiburan di zaman Belanda "Soerabaia Sosieteit", di zaman perjuangan tahun 1945 menjadi markas Pemuda Indonesia dan di tahun 1966 menjadi Markas Kesatuan Aksi Angkatan 66 Laskar Ampera Arief Rachman Hakim. Di sinilah peringatan 46 tahun Tritura diperingati 10 Januari 2012.Para Eksponen 66 yang hadir pada peringatan 46 tahun Tritura di Surabaya

Para Eksponen dan Angkatan 66 yang memperingati 46 Tahun Tritura di Gedung Balai Pemuda Surabaya, 10 Januari 2012

*) Yousri Nur Raja Agam  MHadalah Wakil Ketua Laskar Ampera Arief Rachman Hakim (LA ARH) Jawa Timur dan  Ketua DPP FKB KAPPI (Dewan Pimpinan Pusat Forum Keluarga Besar Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) Angkatan 66.