Surabaya Water Front City

Pemkot Surabaya Serius Menata Bantaran Sungai

Mengembalikan Jatidiri Surabaya

Sebagai “Water Front City

Oleh: HM Yousri Nur Raja Agam

Ikon Surabaya Patung "Ikan Sura dan Buaya" menghadap Sungai Kalimas

PEMERINTAH Kota Surabaya serius menertibkan bangunan di bantaran atau stren sungai. Bangunan liar yang terletak di stren (bantaran) sungai terus-menerus ditertibkan. Kendati gejolak dan perlawanan timbul sebagai reaksi dari penertiban, Pemkot Surabaya bertekad untuk terus menegakkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Upaya penertiban bantaran sungai itu, merupakan salah satu langkah untuk menjaga kelestarian sungai. Bahkan juga untuk mempertahankan julukan kota Surabaya sebagai Kota Maritim. Kota yang bergelut dengan air di laut dan di sungai secara tertib.

Kehidupan warga kota Surabaya, sejak dahulu kala, berawal dari permukiman di pinggir sungai dan di pantai. Sungai Kalimas yang mengalir dari  Kali Surabaya sebagai anak Sungai Kali Brantas membelah daratan Kota Surabaya. Sungai Kalimas yang menjadi urat nadi Kota Surabaya ini, bermuara di laut Selat Madura.

Di muara Kalimas itulah terletak pelabuhan samudera Tanjung Perak, pusat kegiatan kemaritiman dan pangkalan armada TNI Angkatan Laut. Bahkan aktivitas di sepanjang pantai, menjadi kawasan masyarakat nelayan.

Kota Surabaya, memang merupakan perpaduan darat, laut dan sungai. Kota yang hidup dari keberadaan air. Kota Surabaya pun mengambil dua jenis fauna laut dan sungai sebagai lambangnya, yakni ikan Sura dan Baya (buaya). Sehingga kota Surabaya layak disebut “Water Front City” atau kota yang berhadapan dengan air. .

Dahulu, dalam catatan sejarah, hampir seluruh bangunan di Surabaya menghadap ke sungai Kalimas. Waktu itu, Kalimas berfungsi sebagai sarana lalulintas perairan dari muaranya di Selat Madura, hingga dapat berlayar sampai ke hulu sungai Kali Brantas. Sebagai contoh, Gedung Grahadi, sebagai rumah tinggal gubernur jenderal, serta bangunan lain di sepanjang Kalimas sampai ke Ujung di Tanjung Perak masih terlihat  menghadap sungai. Namun setelah ada jalan raya, sungai Kalimas menjadi bagian belakang bangunan gedung itu sampai sekarang.

Jadi, sejak dulu sebenarnya Surabaya adalah”Water Front City”. Sekarang jatidiri Surabaya itu harus dikembalikan, dengan menata bangunan di sepanjang Kali Surabaya, Kali Jagir Wonokromo dan Kalimas menghadap sungai. Untuk itu, penghalangnya, berupa bangunan liar di bantaran sungai perlu ditertibkan.

Memang tidak mudah untuk mengembalikan kehidupan masyarakat yang tertib di sepanjang bantaran atau tepi sungai dan pantai. Perlu dilakukan pengkajian, perencanaan dan penataan yang terpadu. Selain itu juga perlu ada koordinasi antarinstansi terkait.

Kawasan di timur Jembatan Merah pada tahun 1930-an - benar-benar mewujudkan Surabaya Water Front City

Sungai kalimas dekat Jembatan Merah Surabaya, perlu dibenahi, sehingga dapat mewujudkan Water Front City. (Foto diambil 12 Mei 2010-Yous foto)

Seperti Jembatan Merah di Surabaya, tetapi ini lain, ini di Singapura, dijepret tanggal 19 April 2010 (Yous-foto)

Sungai di Kota Padang, bangunan di sana dihadapkan ke sungai, mempertahankan Padang sebagai Water Front City, foto diambil tanggal 20 Oktober 2009 (Yous-Foto)

Pengairan dan Pematusan

Sungai Kali Brantas di Provinsi Jawa Timur yang mengalir dari hulu ke muara melalui beberapa wilayah kabupaten kota. Sungai ini pernah menjadi sarana transportasi air untuk angkutan kapal dan perahu di masa lampau. Pengaturan dan pengelolaannya oleh Pemerintah Pusat diserahkan kewenangannya kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur. Mengingat salah satu fungsi air sungai adalah untuk kegiatan pertanian, maka pengelolaannya dilaksanakan oleh Dinas Pekerjaan Umum (PU) Pengairan Jawa Timur, kata Ir.H. Mustafa.Kamal Fasya.

Sejak dahulu, Surabaya memang belum sepenuhnya menjadi kota permukiman. Sebagian wilayahnya masih menjadi kawasan pertanian. Sehingga fungsi sungai, di samping sebagai sumber air untuk kehidupan rumahtangga di perkotaan, juga menjadi sumber pengairan bagi pertanian.

Keberadaan anak Sungai Kali Brantas, yakni: Kali Surabaya dan Kalimas yang membentang di tengah kota Surabaya, prinsipnya masih merupakan anak sungai untuk kebutuhan pertanian. Jadi tidak sepenuhnya sebagai saluran pematusan untuk pembuangan air rumahtangga.

Perkembangan zaman, mengubah fungsi dan pemanfaatan air sungai. Di samping untuk pengaiaran pertanian, juga sebagai bahan baku air minum dan kebutuhan industri yang berdiri di  sekitar wilayah sungai. Bahkan tidak jarang, sungai menjadi tempat pembuangan limbah cair dari pabrik.

Semakin beragamnya fungsi dan pemanfaatnan air sungai di Jawa Timur, khususnya Sungai Kali Brantas, maka Pemprov Jatim mendirikan perusahaan pengelola air sungai yang disebut PT.Jasa Tirta. Sedangkan Dinas PU Pengairan berfungsi mengelola badan sungai dan bantarannya.

Bagi daerah perkotaan seperti Kota Surabaya, terasa ada perbedaan fungsi sungai  dengan Pemprov Jatim. Kalau Pemprov Jatim memfungsikan sungai sebagai saluran irigasi untuk pengairan pertanian, bagi kota Surabaya sungai justru berfungsi sebagai saluran pematusan, kata Asisten IV Sekretaris Kota (Sekkota) Surabaya, Ir.H.Tri Siswanto..

Perbedaan fungsi ini menjadi kendala berkaitan dengan kepentingan. Sebab, sebagai saluran irigasi untuk pertanian, permukaan air harus lebih tinggi dari permukaan sawah. Sebaliknya, untuk pematusan, permukaan sungai harus berada di bawah daratan. Baik untuk pembuangan air rumahtangga, maupun untuk penanggulangan banjir di musim hujan,  ujar Tri Siswanto yang juga mantan Kepala BPP (Badan Pengelola dan Penanggulangan) Banjir Kota Surabaya itu. .

Bangunan Liar

Permasalahan yang terjadi di Kota Surabaya, tidak saja perbedaan pandangan antara Pemprov Jatim dengan Pemkot Surabaya.  Selama ini, karena yang mempunyai kewenangan terhadap bantaran sungai adalah Pemprov Jatim, maka Pemkot Surabaya tidak mudah melakukan penertiban bangunan liar di bantaran (stren) sungai yang berada di wilayahnya.

Pemkot Surabaya terus-menerus berupaya melakukan penertiban bangunan liar, yakni bangunan tanpa IMB (Izin Mendirikan Bangunan) di sepanjang bantaran sungai. Namun sering terkendala oleh kewenangan yang juga dimiliki Dinas PU Pengairan Pemprov Jatim. Tidak gampang melakukan koordinasi, kendati tujuannya positif dan sama-sama menegakkan aturan hukum dan perundang-undangan.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya, Ir.Tri Rismaharini,MT menyatakan, landasan hukumnya sudah jelas. Peraturan Menteri PU No.63 Tahun 1993 tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai dan Bekas Sungai, sudah dengan tegas menetapkan garis sempadan sungai. Demikian pula dengan aturan terkait, yakni Keputusasn Gubernur Jawa Timur No.143 Tahun 1997 tentang Peruntukan tanah pada Daerah Sempadan Sungai Surabaya.

Jadi, kalau didalami ke dua aturan terkait itu, maka fungsi sungai Kali Surabaya dan Kalimas sudah sangat jelas, kata Risma – panggilan akrab mantan Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Surabaya itu. Sungai dalam kota tidak lagi berfungsi sebagai saluran irigasi semata, tetapi dapat difungsikan sebagai saluran pematusan.. Selain itu, aktivitas di sekitar sungai juga untuk MCK (Mandi-Cuci-Kakus), kegiatan wisata, penyeberangan, olahraga air, penangkapan ikan dan juga pengerukan lumpur dan pelabuhan Kalimas di bagian muara.

Tidak hanya itu, kata Risma, berdasarkan kebijakan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kota Surabaya, sungai di Surabaya juga dikembangkan sebagai pendukung sarana transportasi terpadu. Kalimas untuk transportasi sungai dari utara ke selatan dan Kali Surabaya-Kali Jagir Wonokromo sebagai sarana transportasi sungai dari barat ke timur.

Ternyata, sejak lama, sebagian bantaran sungai kurang mendapat pengawasan. Akibatnya, kaum urban yang datang ke kota Surabaya memanfaatkan lahan kosong di pinggir sungai. Di atas bantaran atau stren sungai Kali Surabaya-Kali Jagir dan Kalimas, berdiri bangunan liar. Masyarakat pendatang itu, bahkan sudah menjadi penghuni stren sejak lama dan di antaranya mendirikan bangunan permanen tanpa IMB (Izin Mendirikan Bangunan). Ini memang merupakan msalah yang dihadapi Pemkot Surabaya..

Pemkot Surabaya saat ini memang serius melakukan penataan dan penertiban bangunan di bantaran sungai Kali Surabaya, Kali Jagir Wonokromo dan Kalimas, ujarnya Risma.

Bangunan Menghadap Sungai

Sungai Kalimas di Jalan Ngagel dan Dinoyo, sebaiknya bangunan ditata menghadap sungai. (Yous-Foto)

Pemkot Surabaya sudah lama merencanakan penataan stren atau bantaran sungai. Tahap demi tahap dilakukan penertiban bangunan liar yang berdiri di bantaran sungai, kata Kasi Perencanaan Pematusan Dinas Bina Marga dan Pematusan Kota Surabaya, Ir.Agus Handoyo. Hingga sekarang pun terus berlangsung. Namun, tetap menghadapi berbagai kendala.

Masyarakat Kota Surabaya perlu diberikan gambaran dan cakrawala pandang tentang keberadaan sungai dan fungsinya dalam struktur perkotaan.

Kota Padang, ibukota Provinsi Sumatera Barat berdasarkan informasi dari Pemerintah Pusat, merupakan salah satu kota di Indonesia yang berhasil melakukan penataan bangunan di tepi sungai. Sesuai dengan informasi itu, kelompok wartawan Pemkot Surabaya melihat langsung penataan bangunan di Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam Kota Padang.

Sungai Kalimas di Ketabang sudah bagus. Seharusnya di wilayah Gentengkali, Jl.Ahmad Jais, Jalan Peneleh sampai Jembatan Merah juga seperti ini. Sayang belum ditata, padahal bangunan liar sudah digusur. (Yous-Foto)

Selama dua hari berada di Kota Padang, memang ada benarnya. Kota Padang, yang keberadaan kotanya hampir sama dengan Surabaya, penataan bangunan di tepi sungai dan pantai memang sudah baik. Kota Padang, benar-benar sudah menjadi “Water Front City”. Kota yang menghadap sungai dan laut. Artinya, di Padang hampir seluruh bangunan menghadap ke arah sungai dan pantai. Berbeda dengan Surabaya, masih banyak bangunan yang membelakangi sungai. Akibatnya, sungai Kalimas dan Kali Surabaya, serta Kali Jagir Wonokromo menjadi kurang terawat, bahkan tidak jarang menjadi tempat pembuangan sampah.

Jadi, saat studibanding yang dilakukan kelompok wartawan Pemkot Surabaya,  tanggal 27 dan 28 April 2009 lalu, terlihat pemandangan yang cukup kontras dengan sungai di Kota Surabaya. Hampir seluruh bantaran sungai, terlindung oleh tanggul yang kokoh. Saluran air terjaga kebersihannya. Jalan inspeksi di kiri dan kanan sungai dapat dilewati kendaraan bermotor. Bangunan gedung, rumah dan kantor menghadap jalan di pinggir sungai.

Tiga sungai besar, yakni sungai Batang Arau, sungai Batang Kuranji dan sungai Bandar Bakali yang membelah Kota Padang, semuanya terawat dengan baik. Sungai yang rata-rata lebar antara 10 hingga 20 meter dengan kedalaman sampai 8 meter itu, terlihat bersih dan dapat dilayari perahu.

Kepala Bappeko Padang, Ir.H.Indra Catri,MSP yang berdampingan dengan Kepala Bagian Humas Kota Surabaya, Drs.Kartika Indrayana, di Balaikota Padang, menjelaskan, air sungai yang mengalir di tengah Kota Padang itu, juga berfungsi sebagai sumber air minum PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) Kota Padang, sama dengan Surabaya. Selain itu juga difungsikan untuk pemeliharaan ikan.

Indra juga menyebutkan, Sungai Bandar Bakali, juga difungsikan sebagai pengendali banjir dalam kota. Sungai itu lebih dikenal sebagai tanggul atau kanal. Masyarakat, kemudian mengenal sungai itu sebagai sungai banjir kanal. Khusus sungai Batang Arau, bagian muaranya dijadikan pelabuhan pelayaran rakyat, seperti di muara Kalimas di Surabaya. Sedangkan pelabuhan samudera seperti Tanjung Perak, di Padang bernama Pelabuhan Teluk Bayur.

.Sebelum berdiri pelabuhan Teluk Bayur, ujar Indra Catri, pelabuhan yang ramai di zaman Belanda adalah pelabuhan Muara. Sisa-sisa peninggalan zaman VOC dan kolonial Belanda itu masih terlihat hingga sekarang. Bangunan lama dan gedung kuno masih tetap dirawat serta dipertahankan keasliannya sebagai bangunan cagar budaya.

Nah, karena keberadaan Kota Padang ini sejak awal adalah kota yang lahir di tepi sungai, penataan bangunan gedung dan rumah-rumah pun sejak awal sudah diarahkan menghadap sungai. Begitu pula bangunan yang berada di pantai, diarahkan menghadap laut. Membangun rumah menghadap sungai dan pantai sudah menjadi tradisi masyarakat Minangkabau.

Indra Catri tidak menyangkal, kadang-kadang juga timbul permasalahan di Kota Padang. Tetapi, permasalahan dapat diselesaikan melalui musyawarah KAN (Kerapatan Anak Nagari). Apabila di tingkat KAN musyawarah belum mencapai mufakat, maka dibawa ke LKAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau) tingkat Kota. Lembaga adat atau lembaga informal itulah yang turut membantu permasalahan kota, katanya.

Kota Padang sejak dulu berjuluk “Water Front City” atau Kota yang menghadap air – yakni sungai atau laut. Itu tetap dipertahankan terus, ujar Indra Catri.

Pemkot Surabaya Serius

Untuk mewujudkan “mimpi” Surabaya kembali menjadi “Water Front City” seperti Kota Padang, maka Pemkot Surabaya serius, tidak main-main. Walikota Surabaya, Drs.H.Bambang Dwi Hartono, MPd dengan berani menghadapi segala bentuk tantangan dan kendala. Setelah berhasil melakukan penertiban di sungai Kalimas bagian hilir, pekan-pekan terakhir ini dicanangkan dan sekaligus dilaksanakan penertiban bangunan liar di bagian hulu.

Penertiban dengan melakukan pembongkaran bangunan liar di sepanjang sungai Kali Jagir Wonokromo, memang tidak mudah. Persoalannya, bangunan di kawasan itu banyak yang berupa bangunan permanen. Tidak hanya sebagai rumah tinggal, tettapi juga berfungsi sebagai tempat usaha.

Pemkot Surabaya, memang tidak semata-mata merubuhkan bangunan liar. Selain terkesan melakukan penggusuran, juga diberi alternatif yang bersifat manusiawi. Warga yang menjadi pemilik dan menghuni bangunan liar di bantaran sungai itu diminta membongkar sendiri bangunannya. Kemudian, mereka diberi kesempatan untuk mendaftar sebagai penghuni Rusunawa (Rumah Susun Sewa) milik Pemkot Surabaya..

Memang, tidak semudah membalik telapak tangan. Kenyataannya, tidak semua warga yang berada di bantaran sungai itu bersedia pindah begitu saja. Di antara mereka ada yang melakukan perlawanan. Bertahan di bangunan liar yang sudah mereka huni selama bertahun-tahun Sehingga, pembongkaran rumah dan bangunan dilakukan secara paksa dengan menggunakan alat berat “buldozer” oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dengan pengamanan aparat kepolisian.***