Bersama Megawati di Shanghai

Yousri di depan bangunan kuno cagar budaya di kota lama Shanghai

Yousri di depan bangunan kuno cagar budaya di kota lama Shanghai

Rumah bergonjong di Shanghai

Bangunan cagar budaya di kota lama Shanghai, China ini menjadi obyek wisata paling ramai di Kota Shanghai.

Atap rumah kuno di taman Yuyuan ini mirip dengan atap rumah gadang Minangkabau di Sumatera Barat yang dikenal dengan atap bergonjongnya. (yous)

<!–[if gte mso 9]> Normal 0 MicrosoftInternetExplorer4 <![endif]–> <!–[endif]–>

Shanghai


Surga Belanja

Catatan perjalanan:

Yousri Nur Raja Agam MH *)

UDARA kota Shanghai di China, masih dingin. Seorang gadis berusia 25 tahun yang mengenakan jaket tebal berjejer di antara para penjemput penumpang yang baru turun dari pesawat terbang China Eastern di bandara Hongqiao, Shanghai. Wanita kulit kuning mata sipit itu mengacung-acungkan papan nama seseorang di depan pintu keluar bandara domestik China itu.

Nama yang diacungkan itu adalah satu-satunya nama yang menggunakan huruf Latin. Beberapa di antara puluhan penjemput lainnya, mengacungkan nama beraksara China.

“Wah, yang menjemput cewek ayu”, kata Fery Is Mirza sembari menunjuk ke arah gadis yang memegang papan nama bertulis “Hadiaman Santoso” itu.

Fery, sertamerta mendekati gadis itu. Tanpa ragu-ragu si gadis menyapa Fery dengan ucapan “selamat datang Bapak Hadiaman Santoso di Shanghai”. Fery dengan senyum menyalami gadis itu. Kemudian Fery mengatakan, nama saya Fery, dan yang itu om Hadiaman Santoso, serta yang satu lagi saudara saya, namanya Yousri. Gadis itu menyambut jabat tangan kami begantian.

“Oh ya, nama saya Megawati, biasa dipanggil Mega”, ujarnya.

Dengan ramah Mega yang menjemput kami yang sudah sepuluh hari bertualang di beberapa kota negara Tirai Bambu itu. Kami sudah berkunjung ke Tiongkok bagian Utara, mulai dari ibukota negara itu, sampai ke Yantai dan Qindau.

Mega mempersilakan naik ke mobil yang sudah menunggu di dekat pintu keluar. Sesampai di luar bandara, gadis itu memperkenalkan seorang perempuan muda di dekat mobil, yang ternyata dia sopir minibus pariwisata yang akan membawa tiga pria asal Indonesia ini. Dengan cekatan, wanita muda itu menutup pintu dorong mobil warna biru tua itu setelah ke tiga penumpangnya naik.

Wanita yang mengemudikan mobil stir kiri ini mengenalkan namanya,Loui. Mobil minibus yang cukup mewah itu meluncur di tengah keramaian kota Shanghai.

Sebagaimana kebiasaan pemandu wisata, gadis yang mengaku bernama Mega itu, langsung berceloteh. “Terlebih dahulu saya ucapkan selamat datang di kota Shanghai”, katanya dengan bahasa Indonesia cukup fasih, walaupun iramanya masih terasa kaku.

“Kamu kok bisa bahasa Indonesia. Apakah kamu pernah di Indonesia?” Tanya Hadiaman. “Oh ya, saya bisa bahasa Indonesia setelah belajar sekitar delapan tahun di Universitas Beijing. Tapi, saya belum pernah ke Indonesia. Mungkin, nanti kalau ada tugas ke sana”, jawab Mega.

“Kita makan dulu di restoran China. Semua halal, tidak ada babi. Saya sudah dapat informasi, kalau tiga tamu yang saya ini adalah Muslim”, katanya tanpa ditanya.

Usai makan, perjalanan dilanjutkan ke beberapa obyek wisata di kota Shanghai. Tidak mau kehilangan informasi, selama dalam perjalanan itu, justru kami banyak bertanya tentang hal-hal yang unik dan aneh. Berbagai pertanyaan mengalir begitu lancar. Silih berganti, di antara kami, Fery dan om Hadiaman betanya dan saling komentar. .

Mega menceritakan tentang masa kecil, masa sekolah, sampai ia menamatkan perguruan tinggi. Megawati adalah nama pemberian dosen bahasa Indonesia-nya sewaktu kuliah di Beijing. Nama asli saya Wang Xielie, lahir di kota Shanghai ini 25 tahun yang lalu, katanya. Karena Wang itu artinya raja atau penguasa, maka nama saya dipanggil Megawati. “Mega kata dosen saya itu artinya awan, tetapi nama saya tidak ada hubungannya dengan awan.

“Nah, kebetulan waktu saya diberi nama itu, presiden Indonesia bernama Megawati. Karena nama keluarga saya Wang yang berarti penguasa, maka diberikanlah nama Megawati kepada saya”, jelasnya.

Menurut Mega, ia juga pernah diberi nama Wigati oleh guru bahasa Indonesia yang memberi kursus sebelumnya. Tetapi, kemudian diganti menjadi Megawati. Nama itu selalu saya pergunakan kalau bertemu orang dari Indonesia,” katanya.

“Oh, kalau begitu, kamu ini masih seusia anak saya”, kata Hadiaman.

 

Wanita Shanghai Manja

Megawati

Megawati

Biasa, pertanyaan sudah menjurus. Termasuk menanyakan, apakah Mega sudah punya pacar atau belum. Mega hanya tersenyum.

Sewaktu pembicaraan menyinggung masalah budaya dan pergaulan masyarakat Shanghai, Mega menjelaskan tentang hal unik dalam kehidupan di kota Shanghai. Di sini, gadis dan wanitanya manja-manja. Laki-laki tidak mudah menjadi suami di sini. Sebab adat atau budaya kota Shanghai yang memanjakan wanita. Seorang suami di Shanghai tidak bisa enak-enak seperti di daerah lain, misalnya menyuruh isteri untuk memasak dan mencuci pakaian. Di Shanghai, justru yang memasak dan mencuci pakaian itu adalah pekerjaan suami. Si isteri serba tahu beres. Kerjanya lebih banyak bersolek dan belanja.

“Tetapi itu masa lalu, zaman sekarang sudah berubah. Ada kesetaraan antara suami dengan isteri. Sama-sama bertanggungjawab dalam membangun keluarga”, katanya.

Contohnya, kata Mega adalah keluarganya sendiri. Megawati mengaku sebagai anak tunggal dari ayahnya yang berprofesi sebagai dokter dan ibunya ahli farmasi (obat-obatan). Kedua orangtuanya sama-sama bekerja di rumahsakit milik Pemerintah China di Kota Shanghai.

Bagi Megawati, profesi sebagai pemandu wisata ini hanyalah sambilan, pekerjaan paruh waktu (part-timer) agen pariwisata (tourist agency) di kota ini. Biasanya kalau ada tamu dari Indonesia, Mega dapat order. Sebab yang bisa berbahasa Indonesia masih sedikit”, ujarnya.

Sedangkan bagi Mega, menjadi pemandu wisata bagi para pendatang dari Indonesia sebagai latihan agar tidak lupa pelajaran bahasa Indonesia yang dipelajarinya hampir satu tahun itu. Bahkan dengan banyak erkenalan dengan orang Indonesia, ia semakin banyak tahun tentang Indonesia. Di samping, perbendaharaan kata-kata dan istilah-istilah yang popular di Indonesia juga terus bertambah.

Mega yang lulusan fakultas sastra dan budaya di Beijing University itu, juga mengetahui banyak tentang sejarah Indonesia dan beberapa negara di Asia. Sehingga banyak hal yang bisa didiskusikan dengannya.

Ia juga banyak tahu tentang budaya leluhur dan agama-agama di dunia. Terutama tentang agama di China, yakni Budha. Saat kepadanya ditanyakan tentang Khong Hu Chu, secara tegas mega menyatakan, bahwa Khong Hu Chu bukan merupakan agama. Khong Hu Chu adalah ajaran filsafat. Sebab, Khong Hu Chu tidak pernah mengajarkan masalah dunia yang berhubungan dengan kehidupan akhirat, jelasnya.

Ketika ditanya, agamanya, dengan santai dia menjawab, di China orang bebas. Boleh beragama, boleh tidak jawabnya. “Nah, agamamu apa?” desak Fery. “Bebas, saya tidak pernah belajar agama”, jawabnya enteng.

 

Pengaruh Televisi

Menyinggung kehidupan anak muda dan remaja di kota Shanghai, Mega mengatakan, sejak era keterbukaan di China tahun 1990-an, suasananya cukup bebas. Masyarakat kota Shanghai sudah terbuka cakrawala pandangnya, setelah berbagai saluran televisi dunia tanpa batas menyiarkan berbagai acara. Begitu juga dengan kemudahan mengakses internet. Dunia ini tidak lagi tertutup seperti masa lalu, ujarnya.

Shanghai juga dijuluki sebagai “kota budaya”. Di kota ini memang berbagai macam peninggalan budaya lama masih utuh dan terpelihara. Kawasan cagar budaya terawat dengan rapi. Situs-situs budaya masa lalu dijadikan obyek wisata di samping tetap menjadi pusat bisnis dan pemerintahan.

Shanghai memang kota besar di China masa lalu. Dulu disebut sebagai kota terbesar kedua setelah Beijing atau dulu dikenal dengan sebutan Peking ibukota RRT (Republik Rakyat Tiongkok). Kendati sebagai kota ke dua setelah Beijing, penduduk kota Shanghai hampir 19 juta orang, jauh melebihi jumlah penduduk Beijing yang tahun 2007 ini berjumlah 15 juta jiwa.

Shanghai kini sedang berubah dan meluaskan wilayahnya timur, ke seberang sungai Huangpu. Wilayah seberang ini dulu merupakan kawasan pedesaan dengan berbagai kegiatan rakyat secara tradisional. Disamping usaha kerajinan, di sana ada pabrik-pabrik kecil dan sebagian hamparan persawahan. Tetapi, kini wilayah yang disebut distrik Pudong itu sudah menjadi sebuah “kota baru”.

Menara televisi, menjulang tinggi di antara gedung-gedung bertingkat di Shanghai

Menara televisi, menjulang tinggi di antara gedung-gedung bertingkat di Shanghai

Di wilayah Pudong ini terdapat bangunan-bangunan modern masa kini dan masa yang akan datang. Di kawasan seberang sungai Huangpu itu bertengger gedung-gedung pencakar langit yang mampu mengalahkan bangunan termodern di dunia. Jalan-jalan raya baru dirancang lebar-lebar seperti jalan tol. Setiap jalan dua jalur dan masing-masing jalur ada empat sampai lima lajur.

Sekarang ada dua jalan utama menuju Pudong yang dihubungkan dengan tiga jembatan besar dan panjang melintas sungai Huangpu, yakni jembatan Ningguo dan jembatan Zhongshan. Selain itu, ada pula jalan besar berupa terowongan yang melewati bawah sungai dari Jalan Yanan di barat menuju Jalan Lujiazui di timur. Jembatan di atas sungai dan terowongan melewati bawah sungai Huangpu ini akan terus bertambah, sesuai dengan rancangan pembangunan kota.

Kota Shanghai merupakan kota terpadat di China. Luas wilayah kota Shanghai mencapai 6.350 kilimeter per-segi, kata Megawati.

Selesai melakukan perjalanan ke berbagai obyek wisata di Shanghai, kami diantar ke hotel New Century grup Best Western di Li Yang Road, Shanghai. Di hotel bintang lima ini tamunya kebanyakan dari Eropa, Israel, Jepang, Malaysia dan Korea.

 

Surga Belanja

Megawati bercerita banyak tentang kota kelahirannya ini. Sebenarnya, Shanghai lebih dikenal sebagai kota perekonomian dibandingkan dengan kota budaya. Bahkan, dunia mengenal Shanghai sebagai “surga untuk belanja”. Di Shanghai segala macam produk yang dibutuhkan manusia tersedia seluruhnya. Mulai dari kualitas terbaik, hingga yang rendah. Tidak hanya itu, di Shanghai juga banyak barang bermerk terkenal. Tetapi, harus waspada,ujar Mega, karena hampir semua merek terkenal itu juga ada palsu.

Kalau tidak awas, sulit membedakan barang asli dengan yang palsu. Bentuknya sangat mirip. Namun dari harganya yang miring dan dapat ditawar, memberikan isyarat kalau barang itu adalah palsu. Sebab, barang dengan merek terkenal dan asli, harganya mahal dan hampir tidak pernah dijual dengan tawar-menawar.

Barang-barang bermerek itu, hampir untuk seluruh jenis produk. Ada tas, koper, jam, arloji, sepatu, bahan-bahan jaket, tekstil, pakaian, kacamata, pulpen dan sebagainya. Barang-barang elektronika juga banyak yang palsu dengan berbagai mereka. Di antaranya ada televisi, radio dan handphone Perhiasan, batu permata, batu giok dan mutiaraa, serta jenis lainnya pun ada yang palsu.

Kendati dijual dan ditawarkan secara terbuka dan terang-terangan, kelihatannya pemerintahan di China, “tutup mata” atas kreativitas industri dan bisnis barang jiplakan itu.

 

Wilayah Baru

Yang menarik, kendati di kota Shanghai sejak lama sudah dikenal ada bandar udara (bandara) bernama Hongqiao di wilayah barat, kini justru yang ramai adalah bandara baru Pudong di wilayah timur. Hampir semua penerbangan internasional, kini menggunakan bandara Pudong.

Memang, bandara Pudong Shanghai tidak sesibuk bandara Beijing. Di Beijing, walaupun sudah ada dua landasan pacu, namun pergerakan pesawat terbang yang tinggal landas dan mendarat, interval waktunya sangat singkat. Hampir tiap lima menit, ada saja dua pesawat terbang yang bersamaan mendarat dan dua lagi yang hampir bersamaan tinggal landas dari dua landasan pacu itu.

Kawasan Shanghai timur, memang beda dengan kota lama di Shanghai barat. Kalau di Shanghai barat, dikenal dengan pusat-pusat perbelanjaan dengan bangunan berarsitektur Eropa, di timur arsitekturnya benar-benar modern. Hampir seluruhnya dalam bentuk pencakar langit dan berbalut kaca.

Untuk menuju bandara Pudong, pemerintah kota Shanghai menyediakan fasilitas angkutan cepat berupa kereta api ekspres. Anda tahu kecepatannya? Saat kami mencoba naik KA ekspres itu dari stasiun kota Shanghai timur ke Pudong yang berjarak 40 kilometer, hanya ditempuh 7 menit. Kecepatannya, mencapai 431 kilometer per-jam.

Tidak hanya naik keretaapi ekstracepat yang disebut Shanghai Transrapid yang saya rasakan bersama dua teman, H.Hadiaman Santoso mantan wartawan Harian Surya dan Ferry Is Mirza mantan wartawan Jawa Pos di Shanghai. Kami juga naik ke menara pencakar langit yang juga sebagai pemancar televisi Shanghai di pinggir sungai Huangpu. Dari tingkat tertinggi terlihat kota Shanghai dan bangunan-bangunan pencakar langit lainnya.

Sama dengan merasakan naik kereta api berkecepatan maksimal 431 kilometer per-jam, naik ke puncak gedung menara TV Shanghai itu juga dijadikan obyek wisata yang ramai dikunjungi turis dari mancanegara.

Di seberang gedung menara televisi itu, ada Jin Mao Tower dan sedang dibangun pula gedung pencakar langit 101 lantai yang bakal tertinggi di dunia, Shanghai World Financial Center.Kecuali itu, bangunan tinggi 30 hingga 80 lantai sudah tidak terhitung.

 

Kota Lama

Yousri, Ferry dan Hadiaman di depan museum kota lama Shanghai

Yousri, Ferry dan Hadiaman di depan museum kota lama Shanghai

Di kawasan barat kota Shanghai, bangunan model di Surabaya, juga masih banyak, baik gedung perkantoran, hotel, pertokoan, maupun rumah-rumah penduduk model ruko lama seperti di kawasan Kembang Jepun.

Beberapa kawasan permukiman lama, sudah banyak yang digusur, dibangun apartemen, plaza dan mal. Hotel kuno terkenal yang masih bertahan di antaranya: Hotel Ruijin, Hotel Fujiang dan Hotel Dongfeng. Di samping itu ratusan hotel bintang lima hingga penginapan murah pun banyak di Shanghai.

Di wilayah ini masih tersisa situs budaya lama yang diyakini sebagai “Cikal-bakal Kota Shanghai” yang disebut kota lama. Kota lama ini diperkirakan berusia lebih 700 tahun, letaknya di tenggara pusat kota Shanghai sekarang. Lahan seluas 200 hektar dikepung oleh dinding pembatas itu berada di dua sisi jalan raya Renming dan jalan Zhonghua.

Umumnya, para pemandu wisata menyebut kawasan kota tua ini Taman Yuyuan (Yuyuan Garden). Di dalam kota tua yang bangunan atapnya khas, bergonjong mirip model rumah Minangkabau di Sumatera Barat. Selain itu terdapat pula berbagai bangunan gedung, rumah, kantor, perpustakaan, tempat persembahyangan Budha, taman, candi dan sebagainya yang mempunyai cerita-cerita menarik. Di kawasan ini terdapat peninggalan dari dinasti Yuan, Ming, Qing sampai periode republik sekarang ini.

Rumah-rumah di Shanghai sekarang ini umumnya dibangun berupa apartemen, seperti di kota-kota lain di China. Nantinya, di seluruh kota, rumah-rumah dibangun berbentuk apartemen dengan membebaskan seluruh bangunan yang rendah. Seluruh warga kota “wajib” tinggal di apartemen yang disediakan pemerintah. Tiap keluarga mendapat fasilitas tiga kamar tidur, satu ruang tamu dan satu dapur, serta kamarmandi yang dilengkapi kakus (wc), kata Mega yang mengaku menempati lantai 30 di apartemen orangtuanya..

Selain banyak apartemen seperti sekarang ini, di Shanghai ada apartemen terkenal Changde Apartment di Jalan Changde. Inilah apartemen termewah di kota Shanghai. Tetapi dengan pembangunan yang pesat di distrik Pudong, sekarang bangunan pencakar langit itu sudah mengalahkan popularitas Changde.

Pemerintah kota Shanghai masih mempertahankan khasnya, sebagai kota produsen film-film China. Berbagai studio dan teater film terus melebarkan sayapnya untuk menguasai layar-layar lebar bioskop maupun televisi. Sebut saja studio filem terkenal di Shanghai, seperti Star Film, Kun Lun Film, Lian Hua Film, Nanking Theatre, Cathai Theatre, Lyceum Theatre dan Grand Theatre. ***

 

*) Yousri Nur Raja Agam MH – pengembara yang berdomisili di Surabaya.