Lagu Indonesia Raya Tidak Berubah

 Mengenang Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928

Temuan Roy Suryo

Bukan Baru

 

Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)

PENCIPTA lagu kebangsaan Indonesia, “Indonesia Raya”, Wage Rudolf Soepratman bagaikan terusik dari istirahat panjangnya. Taman Makam Pahlawan (TMP) Khusus pahlawan nasional WR Soepratman di Rangkah, Jalan Kenjeran Surabaya merasakan gemanya.

Bukan membicarakan masalah ziarah bertepatan dengan tanggal wafatnya almarhum WR Soepratman tanggal 17 Agustus 1938 yang juga bersamaan dengan peringatan HUT ke-62 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 2007 ini. Tetapi, adalah masalah pergunjingan dan polemik lagu Indonesia Raya.

Pakar telematika, Roy Suryo, menyatakan bahwa ia menemukan sesuatu yang baru tentang lagu Indonesia Raya. Ia mengatakan, lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan sekarang ini tidak sama dengan yang ditemukannya. Katanya, ia menemukan rekaman “asli” dalam bentuk film seluloid.

Roy yang bernama lengkap KRMT Roy Suryo Notodiprojo ini, mengaku menemukan di Perpustakaan Leiden, Negeri Belanda, bahwa lagu Indonesia Raya yang dilagukan sekarang ini tidak sama dengan rekaman yang diperolehnya.

Perbedaan yang mencolok, ungkap Roy, adalah pada syair yang dinyanyikan sekarang ini tidak lengkap. Tidak sama dengan yang ditemukannya, yakni tiga stanza atau tiga kouplet. Sedangkan yang dinyanyikan sekarang ini hanya satu stanza saja.

 

Bukan Baru

Ternyata, apa yang disebut temuan baru oleh Roy Suryo itu, mendapat reaksi banyak pihak. Pertama kali yang membantah adalah Ir.H.Oerip Soedarman, kemenakan almarhum WR Soepratman yang kebetulan sedang mempersiapkan peluncuruan buku “Sejarah Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan WR Soepratman Penciptanya” edisi revisi.

Buku yang aslinya ditulis oleh Oerip Kasansengari, ayahanda Oerip Soedarman. Di dalam buku itu, semua keterangan Roy terbantah langsung. Sebab, tidak ada yang baru. Sejak dulu, lagu Indonesia Raya itu memang diciptakan tiga stanza atau tiga kouplet, kata Oerip Soedarman.

Tidak hanya Oerip yang keras membantah temuan Roy Suryo itu, bahkan lembaga resmi pemerintah RI juga tegas menyatakan, temuan Roy itu bukan barang baru. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik dan Menteri Sekretaris Negara, Hatta Rajasa juga dengan tegas menyatakan tidak ada yang baru dari temuan Roy Suryo itu. Menyusul banyak lagi nama yang secara terang-terangan menyatakan terusik dengan pernyataan Roy Suryo.

Ada nama Dr.Asvi Warman Adam dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan Des Alwi yang banyak mendokumentasikan peristiwa zaman Belanda hingga Indonesia merdeka. Juga pernyataan yang sama dari Kepala Kantor Asip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Djoko Utomo. Masih banyak lagi yang lain. Semua sertamerta menyampaikan bantahan kepada Roy Suryo. Bahkan Tim Air Putih yang disebut Roy Suryo bekerjasama dengannya melacak dukomentasi itu ke Negeri Belanda ikut membantah.

Eee alaah! Apa yang disebut temuan baru oleh Roy Suryo itu ternyata film pendek yang sudah berulangkali diputar dan disaksikan di layar televisi. Salah satu di antaranya, adalah kopi rekaman melalui video yang diperoleh Prof.Dr.Indropo Agusni, dokter spesialis di RSU Dr.Sutomo Surabaya. Bahkan, kopi rekaman video itu juga sudah banyak yang menggandakan ke vcd, dvd, disket, flashdisc dan sebagainya. Sehingga apa yang disebut baru oleh Roy Suryo itu, mendapat “cibiran” dari orang-orang yang sudah pernah menyaksikan flim berdurasi 3 menit 49 detik tersebut.

Menurut Prof Indropo Agusni yang juga tim pelacak Sejarah RS Dr.Sutomo, Karang Menjangan Surabaya, ini, mengaku memperoleh kopi rekaman itu sejak 10 tahun yang silam. Kopi rekaman itu sama persis dengan apa yang dikatakan “temuan baru” oleh Roy Suryo, yakni produksi Chuoo Sangi In pada bulan September 1944 atau 2604 tahun Jepang.

Bukan hanya itu yang membuktikan kalau temuan Roy Suryo itu adalah “barang usang”, sebab Jawa Pos Televisi (JTV), stasiun pemancar televisi di Surabaya tahun 2004 dalam siaran laporan khusus berjudul “Sang Proklamator” juga mencuplik seluruh rekaman yang dibuat tahun 1944 itu.

Lagu Indonesia Raya memang tiga stanza, kata Nanang Purwanto, produser pelaksana JTV yang selain memperoleh bahan dari Prof.Indropo juga mendapatkan bahan dari buku karangan Oerip Kasansengari ayahanda Ir.H.Oerip Soedarman mantan Kepala BKPMD (Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah) Jawa Timur.

Seandainya, Bung Roy Suryo menyempatkan diri datang ke TMP Khusus WR Soepratman di Surabaya, mungkin Roy akan “mengaku salah” sebab di komplek TMP itu jelas terpampang semua. Mulai dari riwayat hidup WR Soepratman maupun uriran lengkap tiga stanza Lagu Indonesia Raya yang diciptakan WR Soepratman.

 

 

Ir.H.Oerip Soedarman menunjuk prasasti yang dibangun di komplek Makam WR Soepratman di Jalan Kenjeran Surabaya yang sudah ada, jauh sebelum Roy Suryo mengaku menemukan Lagu Indonesia Raya dengan tiga stanza.

<< ======= (foto kiri)

 

 

 

Indones Moelia

Sejak diciptakan, lagu Indonesia Raya itu terdiri dari tiga stanza atau tiga kouplet. Stanza pertama intinya berupa pernyataan “Indonesia Merdeka”, stanza kedua “Indonesia Mulia” dan stanza ketiga “Indonesia Suci”.

Pada waktu Kongres Pemuda II tanggal 27-28 Oktober 1928 yang menghasilkan “Sumpah Pemuda”, lagu Indonesia Raya diperdengarkan untuk pertamakalinya. Lagu ini diiringi langsung oleh penciptanya WR Soepratman dengan “biola” bersejarah. Biola itu yang sekarang disimpan di Museum Sumpah Pemuda di Jalan Kramat Raya 106 Jakarta dan duplikatnya ada di Museum Mini WR Soepratman di Jalan Mangga 21 Surabaya.

Semula paduan suara pelajar yang akan menyanyikan lagu Indonesia Raya di arena Kongres Pemuda, 28 Oktober 2008 itu berlatih, bersemangat saat sampai pada refrein lagu yang berbunyi “Indones, Indones Merdeka, merdeka”. Mendengar bahwa lagu itu membakar semangat “merdeka”, para intel Belanda yang ada di sekitar tempat persiapan Kongres Pemuda melapor kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Sehingga, melarang lagu Indonesia Raya itu dinyanyikan.

Mendapat larangan itu, WR Soepratman mendapat petunjuk dari Muhammad Husni Thamrin, tokoh pemuda Jakarta, peserta kongres. Diatur siasat, lagu itu tetap dinyanyikan, tetapi menggunakan kuplet atau stanza kedua, yaitu “Indones, Indones Mulia, mulia”. Siasat ini berhasil, sehingga yang dinyanyikan itu adalah lagu Indonesia Raya stanza kedua pada saat Kongres Pemuda Indonesia itu.

Pada waktu Kongres Pemuda Indonesia II yang banyak dihadiri wartawan dalam negeri dan wartawan asing itu, selain menghasilkan keputusan Sumpah Pemuda, juga ditetapkan bahwa lagu Indonesia Raya adalah lagu kebangsaan Indonesia.

Yang menarik, agar seluruh masyarakat hafal lagu Indonesia Raya itu, WR Soepratman mencetak buku tipis berjudul “Indonesia Raja (Lagoe Kebangsaan Indonesia) – ejaan lama. Buku yang diterbitkan WR Soepratman Publicist, Weltevreden (Java) yang dicetak oleh Suratkabar Sin Po Batavia itu dijual seharga f 0,20 (dua puluh sen).

Berbagai mediamassa zaman itu, terutama suratkabar dan radio, menyiarkan secara lengkap proses Sumpah Pemuda dan lagu Indonesia Raya. Hampir seluruh suratkabar menurunkan bait dan syair lagu Indonesia Raya lengkap ke tiga kuplet itu.

Kendati Pemerintah Hindia Belanda melarang lagu Indonesia Raya dinyanyikan, tetapi lagu itu direkam melalui Ultraphon oleh NV.Kuchenmeister’s Internationale Ultraphoon Maatschapij Amterdam, Belanda tanggal 29 Oktober 1930 atau dua tahun setelah Sumpah Pemuda.

 

Dalam perkembangannya, pelajar dan gerakan pemuda waktu itu sangat hafal dengan lagu Indonesia Raya dengan tiga stanza itu. Bahkan lagu itu dinyanyikan dengan irama mars yang bersemangat.

Patung WR Soepratman sedang menggesek biola dengan latar belakang teks Lagu Indonesia Raya lengkap tiga stanza.

===== >>>> (foto kanan)

Tidak hanya dalam bahasa Indonesia, lagu Indonesia Raya juga diperdengarkan dalam berbagai bahasa asing, seperti bahasa Belanda, bahasa Inggris dan bahasa Jerman. Namun tidak tiga kuplet, hanya satu kuplet. Tujuannya, agar lagu bahasa Indonesia ini juga dimengerti oleh bangsa lain.

Penyempurnaan pun dilakukan. Kata-kata “Indones, Indones” diubah menjadi “Indonesia Raya”. Itu terjadi setelah 14 tahun lebih Pemerintah Hindia Belanda melarang bangsa Indonesia menyanyikan lagu Indonesia Raya itu. Barulah tahun 1942, sewaktu tentara Jepang merebut kekuasaan dari Belanda, lagu Indonesia Raya mendapat izin. Dalam setiap rapat dan pertemuan, lagu Indonesia Raya dinyanyikan. Refreinnnya yang semula berbunyi “Indones, Indones diganti menjadi Indonesia Raya”. Dan kembali ke kalimat aslinya “Merdeka, merdeka”.

Memang, harus diakui, diizinkannya lagu Indonesia Raya dinyanyikan pada zaman Jepang adalah untuk mengobarkan semangat bangsa Indonesia mendukung pemerintahahan Jepang yang disebut “Asia Timur Raya” dan janji akan memberi kemerdekaan kepada bangsa Indonesia.

Lagu Indonesia Raya yang berfungsi membakar semangat merdeka itu dinyanyikan lengkap tiga stanza, sehingga refrein ke tiga stanza itu menjadi “Indonesia Raya Merdeka, Merdeka”. Kalau berbaris, lagu Indonesia raya dinyanyikan dengan irama mars sesuai dengan derap langkah.

 

Terpanjang di Dunia

Lagu kebangsaan Indonesia Raya, ternyata merupakan lagu kebangsaan “terpanjang” di dunia. Akhirnya timbul berbagai pendapat tentang panjangnnya atau lamanya lagu Indonesia dinyanyikan. Tahun 1944 dibentuk Panitia Lagu Kebangsaan yang diketuai oleh Ir.H.Soekarno dengan anggota: Ki Hajar Dewantara, Achiar, Soedibjo, Darmawidjaja, Koesbini, KHM Mansjur, Mr.Muhammad Yamin, Mr.Sastromoeljono, Sanoesi Pane, Simandjuntak, Mr.Achmad Soebardjo dan Mr.Oetojo.

Rapat tanggal 8 September 1944 Panitia Lagu Kebangsaan menetapkan empat keputusan. Pertama: Apabila lagu kebangsaan Indonesia Raya dinyanyikan satu kuplet saja, maka ulangan (refreinnya) dilagukan dua kali. Apabila dinyanyikan tiga kuplet, maka ulangannya dilagukan satu kali, tetapi pada kuplet ketiga ulangannya dilagukan dua kali. Kedua: Ketika menaikkan bendera Merah Putih, maka lagu kebangsaan Indonesia Raya harus diperdengarkan dengan ukuran cepat 104. Ketika berbaris, dipakai menurut keperluan cepat 1-2-120. Ketiga: Perkataan semua diganti dengan sem’wanya. Not ditambah do. Keempat: Perkataan refrein diganti dengan kata ulangan.

Nah, lagu Indonesia Raya yang ditetapkan oleh Panitia Lagu Kebangsaan tahun 1944 itulah yang direkam dan diproduksi menjadi film seloluid oleh Chuoo Sang In (Pemerintah Balatentara Jepang di Indonesia).

Jadi, rekaman itulah yang ditemukan oleh Roy Suryo yang sebenarnya juga sudah banyak yang menyimpan sebelumnya.

Setelah Indonesia Merdeka tanggal 17 Agustus 1945, RRI (Radio Republik Indonesia) memperbanyak rekaman ini dengan piringan hitam produksi Lokananta, Solo, Jawa Tengah.

Setelah lagu Indonesia Raya ditetapkan sebagai lagu kebangsaan Indonesia, yang dinyatakan dalam Undang-undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia tahun 1945, ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah (PP) No.44 tahun 1958 tanggal 26 Juni 1958. Pada PP yang diundangkan tanggal 10 Juli 1958 dan dimuat pada Lembaran Negara No.72 tahun 1958 dan tambahan Lembaran Negara No.1637, semua atruan tentang lagu Indonesia Raya disajikan secara rinci dan jelas. PP itu terdiri dari enam bab dan 10 pasal dengan penjelasan juga 10 pasal.

Jadi, tidak benar kalau lagu Indonesia Raya ini ada yang asli atau ada yang “baru ditemukan”. Sejak semula memang lagu Indonesia raya terdiri dari tiga kuplet atau tiga stanza dan segala ketentuan penggunaannya jelas pada PP No.44 tahun 1958 itu.

 

*) Yousri Nur Raja Agam MH adalah Sekretaris Dewan Kehormatan PWI Jatim.