Menjelang Hari Pahlawan di Surabaya

Arek Surabaya Marah

Diultimatum Sekutu

Oleh: HM Yousri Nur Raja Agam

BERDASARKAN kesepakatan 26 Oktober 1945, Pemerintah Indonesia di Surabaya mengizinkan pihak Inggris mengunjungi kamp penampungan (interniran) Belanda dan tawanan Jepang di berbagai tempat, besoknya 27 Oktober 1945..

Namun para tokoh pemuda di Surabaya benar-benar kecewa dan marah atas sikap Tentara Sekutu. Sebab, siang itu ada pesawat terbang Inggris terbang di atas udara kota Surabaya. Dari pintu pesawat terbang itu disebarkan kertas berupa pamflet yang berisi ancaman bersifat ultimatum.

Selebaran itu berbunyi:

“Memerintahkan kepada seluruh rakyat, penduduk kota Surabaya dan Jawa Timur untuk menyerahkan kembali senjata dan peralatan perang Jepang kepada tentara Sekutu (Inggris). Semua orang yang memegang senjata dan yang tidak bersedia menyerahkan kepada Sekutu, akan ditembak di tempat. Batas waktu penyerahan, pukul 18.00 tanggal 28 Oktober 1945.”

Setelah membaca selebaran yang berupa ancaman itu, Drg.Mustopo bersama Residen Sudirman yang didampingi tokoh-tokoh Surabaya melakukan kontak dengan Brigjen Mallaby. Kemudian berlangsung pertemuan antara pukuk 12.00 hingga 15.00. Residen Sudirman mengingatkan kepada Mallaby, agar menghentikan penyebaran pamflet itu. Ternyata Mallaby sendiri terkejut dengan adanya selebaran itu. Ia mengatakan, bahwa selebaran itu mungkin dilakukan atas perintah atasannya dari Jakarta.

Kepada Mallaby diingatkan, bahwa isi selebaran itu tidak sesuai dengan isi persetujuan 26 Oktober 1945. Tetapi Mallaby kemudian menjawab, kalau itu merupakan perintah atasannya dari Jakarta, sebagai militer ia harus menaatinya.

Suhu politik di Surabaya memanas. Situasi makin mencekam. Sekutu mulai betindak sewenang-wenang. Mereka menangkapi rakyat yang mereka curigai. Akibatnya, pimpinan BKR, PRI, BPRI, Polisi dan Polisi Istimewa tersentak. Tindakan tentara Inggris telah melewati batas. Demi kehormatan bangsa Indonesia yang sudah merdeka, semua itu tidak bisa dibiarkan. “Kita harus bertindak!”, ujar para pimpinan pejuang di Surabaya.

Malamnya para pejuang Arek Suroboyo melakukan perundingan dan langkah yang akan dilakukan apabila sikap Inggris yang melanggar perjanjian itu.

Benar saja, besoknya, 28 Oktober 1945, pagi hari beberapa orang tentara Inggris menghadang kendaraan bermotor dan senjata yang dipegang para pemuda di jalanan. Pasukan Sekutu juga melakukan gerakan penyerbuan ke berbagai instansi vital. Di antaranta ke kantor Jawatan Kereta Api, kantor telepon dan telegrap, Rumah Sakit Darmo dan beberapa gedung kantor instansi vital lainnya.

Pukul 11.00 (siangnya), Mustopo datang ke markas PRI di Balai Pemuda. Ia memberitahu tentang sudah siapnya tentara Sekutu melucuti senjata secara paksa yang berada di tangan pemuda dan pejuang. Para pemuda yang berada di markas PRI benar-benar marah oleh sikap Sekutu yang mengingkari perjanjian yang sudah dibuat.

Siang itu juga para pimpinan pejuang melakukan konsolidasi. Polisi Istimewa sebagai kekuatan bersenjata dan terlatih juga langsung melakukan dengan rakyat yang sudah memegang senjata. Kontak antarkomponen pejuang berjalan terus.

Pimpinan BPRI Bung Tomo yang berada di markasnya juga sudah mendapat kontak dari PRI. Sorenya diadakan pertemuan dengan pimpinan drg.Mustopo. Disepakati, bahwa gerakan Sekutu (Inggris) “harus dilawan”.

Bersamaan dengan ini, polisi di bawah pimpinan Komandan Polisi Sahoed Prawirodirdjo dan Komandan Polisi Soekardi, seta Agen Polisi Kadam dengan menggunakan sepedamotor Zyspan Harley Davidson melakukan konsinyasi pasukan di Kantor Besar Polisi dan mendatangi beberapa asrama polisi.

Sekembalinya dari asrama polisi Kebalen, ketika melewati Jalan Rajawali pukul 17.00, yakni satu jam sebelum batas waktu ultimatum yang disebutkan dalam pamflet, tiga polisi ini dihadang. Sahoed, Soekardi dan Kadam digiring ke arah lapangan terbang di Tanjung Perak. Pihak Sekutu melepaskan tembakan, akibatnya mereka terluka tembak.

P impinan Palang Merah segera menyelamatkan ke tiga polisi itu. Petugas Palang Merah juga memberitahu kepada radio Pemberontak di Surabaya melalui telepon, bahwa ada tiga Polisi Istimewa ditembak Sekutu. Saat itu juga Bung Tomo melalui pemancar radio BPRI tiada henti memperingatkan dan memerintahkan seluruh rakyat Surabaya untuk mulai melakukan serangan terhadap tentara Inggris.

Dalam siaran radio yang berapi-api itu Bung Tomo menyebut nama ke tiga anggota Polisi Istimewa yang tertembak itu. “Mereka bertiga adalah korban kebrutalan Sekutu-Inggris”, ujar Bung Tomo.

Diperoleh pula laporan, di waktu yang sama juga terjadi insiden provokatif. Tentara Inggris menghentikan truk yang ditumpangi para pemuda, lalu mereka melucuti senjata yang mereka bawa. Agaknya Inggris memandang enteng para pemuda yang berasal dari TKR, PRI, BPRI, PI (Polisi Istimewa) dan rakyat pejuang lainnya.

Mayat Bergelimpangan

Malamnya situasi kota Surabaya benar-benar mencekam. Maut membayangi dari balik gedung, rumah dan dari gang-gang permukiman. Tidak sedikit yang terluka bahkan menemui ajalnya akibat terkena tembakan, ujung pisau, pedang, celurit, bambu runcing dan sangkur. Markas tentara Inggris diserbu rakyat tanpa memikirkan akibat yang fatal. Mayat bergelimpangan di daerah Darmo, Ketabang, Gubeng, sekitar gedung Internatio dan kawasan Tanjung Perak.

Selain pasukan TKR, para pemuda pejuang dan rakyat yang sudah memegang senjata rampasan, Komandan PI Surabaya Soetjipto Danoekoesoemo mengirim pasukannya yang dilengkapi senjata berat watermantel, tank dan panser. Surabaya benar-benar dilanda prahara. Api perang berkobar. Korban berjatuhan dari ke dua belah pihak, Inggris dan rakyat Surabaya.

Kendati mayat bergelimpangan akibat tembakan, semangat perjuangan makin membara. Rakyat tidak menghitung korban. Mati satu datang seribu. Bagai banteng terluka rakyat mengamuk.

Ben Anderson dalam bukunya “Revoloesi Pemoeda” terbitan Pustaka Sinar Harapan (1988), menyebutkan para pemuda yang melakukan penyerbuan ke berbagai markas pasukan Sekutu-Inggris itu mencapai 12 ribu orang. Pejuang Indonesia bertempur dengan fanatik tanpa mempedulikan jumlah korban yang jatuh. Pasukan Inggris meskipun mempunyai perlengkapan senjata berat dan tank-tank terancam oleh kehancuran.

Selain pos-pos pertahanan mereka terkepung, di daerah pelabuhan mereka harus mundur. Lapangan terbang Morokrembangan dapat direbut para pemuda pejuang. Beberapa gedung, seperti gedung Internatio, gedung BPM dan gedung Lindetives juga dikepung.

Soekarno-Hatta Datang

Dalam keadaan gawat, terdesak dan terkepung oleh rakyat pejuang itu, pimpinan pasukan Inggris di Surabaya minta bantuan “juru selamat”. Akhirnya, didatangkanlah Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta, didampingi Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin dari Jakarta. Ikut pula dalam rombongan itu, Mayor Jenderal Hawthorn.

Bung Karno, Bung Hatta, Amir Sjarifuddin dan Mayjen Hawthorn mendarat di bandara Morokrembangan pukul 11.45 pada tanggal 29 Oktober 1945. Pembesar bangsa Indonesia dan Sekutu ini juga mengikutkan beberapa wartawan ibukota dan wartawan asing. Mereka disambut para tokoh pejuang Surabaya, juga Brigjen Mallaby, Kolonel Pugh bersama perwira staf lainnya. Rombongan langsung menuju kantor gubernur Jatim dan diterima langsung oleh Gubernur Jatim, Suryo. Di kantor gubernur jatim ini dilangsungkan perundingan.

Dr.Roeslan Abdulgani dalam bukunya “100 Hari di Surabaya”, terbitan Yayasan Idayu, Jakarta (1975) menulis bahwa ada empat masalah pokok yang disimpulkan dalam perundingan itu. Perundingan berakhir pukul 19.30 malam itu. Hasil kesepakatan itu langsung diumumkan oleh Presiden Soekarno melalui Radio Surabaya. ***