STANDAR KOMPETENSI WARTAWAN

Menyambut Hari Pers Nasional 2011

Standar Kompetensi Wartawan

Alat Ukur Profesionalitas Pers

Yousri Nur RA, MH

Oleh: HM Yousri Nur Raja Agam *)

 

Setelah Dewan Pers memfasilitasi perubahan standar kompetensi wartawan bersama masyarakat pers, maka PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) tidak tinggal diam. Organisasi profesi wartawan tertua di Indonesia ini langsung mengambil inisiatif untuk menyosialisasikannya.

Setahun yang lalu, tanggal 9 Februari 2010, saat peringatan HPN (Hari Pers Nasional) 2010 dipusatkan di Palembang, Sumatera Selatan, SKW (Standar Kompetensi Wartawan) diangkat ke pemukaan. SKW ini merupakan salah satu di antara butir “Piagam Palembang” tentang Kesepakatan Perusahaan Pers Nasional.

Dalam kesepakatan perusahaan pers nasional itu ada enam hal yang disetujui. Khusus untuk butir satu, yang disetujui adalah: melaksanakan sepenuhnya Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Standar Perusahaan Pers (SPS), Standar Perlindungan Wartawan (SPW) dan Standar Kompetensi Wartawan (SKW).

Kendati menjadi wartawan merupakan hak asasi seluruh warga negara, namun bukan berarti setiap warga negara bisa melakukan pekerjaan kewartawanan. Ada ketentuan dan “alat ukur” yang perlu dijadikan sebagai pedoman dalam dalam melaksanakan profesi kewartawanan itu.

Pekerjaan wartawan berhubungan langsung dengan kepentingan masyarakat atau publik. Bahkan, dinyatakan bahwa “wartawan adalah bidan sejarah”. Nah, sebagai bidan, artinya ikut secara aktif mengembangkan dan membesarkan  dan mendewasakan sejarah. Sebagai profesi yang terhormat, maka wartawan wajib mengawal kebenaran dan keadilan, melakukan perlindungan terhadap hak-hak pribadi masyarakat, serta menjadi musuh penjahat kemanusiaan seperti koruptor dan politik busuk.

Dalam melaksanakan tugasnya wartawan harus memiliki standar kompetensi yang memadai dan disepakati oleh masyarakat pers. Standar kompetensi itu menjadi alat ukur profesionalitas wartawan.

SKW ini diperlukan untuk melindungi kepentingan publik dan hak pribadi masyarakat guna menjaga kehormatan pekerjaan wartawan. Jadi, bukan untuk membatasi hak-hak warga negara menjadi wartawan. Melalui SKW ini pula wartawan akan diuji kemampuan intelektual dan pengetahuan umumnya. Sebab, di dalam SKW itu melekat pemahaman tentang pentingnya kemerdekaan berkomunikasi, berbangsa dan bernegara yang demokratis.

Kemampuan untuk memahami etika dan hukum pers, konsepsi berita, penyusunan dan penyuntingan berita, serta bahasa tidak dapat dilepaskan dari kaita kompetensi wartawan. Hal ini juga menyangkut kemahiran melakukan kemampuan yang bersifatteknis. Di sinilah dapat diketahui tentang profesionalitas wartawan dalam mencari, memperoleh, menyimpan, memiliki, mengolah, membuat dan menyiarkan berita.

Seorang wartawan harus mengikuti uji kompetensi guna mencapat SKW tersebut. Dewan Pers sudah menetapkan lembaga yang diverifikasi sebagai pelaksana uji kompetensi itu. Selain organisasi wartawan dan perusahaan pers, juga dapat dilaksanakan oleh perguruan tinggi dan lembaga pendidikan jurnalistik.

Jadi, nantinya wartawan yang belum mengikuti uji kompetensi dinilai belum memiliki kompetensi sesuai dengan SKW yang ditetapkan Dewan Pers.

 

Rumusan Kemampuan

Pengertian tentang SKW ini harus baku, sehingga menjadi pegangan ukuran dan dasar. Standar itu juga berarti sebagai model bagi karakter unggulan. Dengan kompetensi itu dapat dilihat kemampuan yang menggambarkan tingktan khusus menyangkut kesadaran, pengetahuan dan keterampilan seorang wartawan.

Sebagaimana sudah sering diungkapkan, bahwa wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik, berupa mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi.  Penyiaran informasi dilaksanakan dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik. Bisanya juga dalam bentuk lain yang menggunakan media cetak, media elektronik, multi media dan segala jenis saluran lainnya.

Dengan kata lain, pengertian kompetensi wartawan adalah kemampuan untuk memahami, menguasai dan menegakkan profesi jurnalistik atau kewartawanan, serta kewenangan untuk menentukan sesuatu di bidang kewartawanan. Hal itu menyangkut kesadaran, pengetahuan dan keterampilan.

Melalui SKW itu akan diperoleh rumusan kemampuan kerja wartawan yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, keahlian dan sikap kerja yang terkait dengan pelaksanaan tugas kewartawanan itu sendiri.

Tujuan SKW ini adalah untuk meningkatkan kualitas dan profesionalitas wartawan. Sekaligus untuk jadi acuan sistem evaluasi kinerja wartawan oleh perusahaan pers. Di samping itu, sebagai  alat untuk menegakkan kemerdekaan pers berdasarkan kepentingan publik.

Dengan adanya SKW ini, maka dapat menjaga harkat dan martabat kewartawanan sebagai profesi khusus penghasil karya intelektual. Selain itu untuk menghindari penyalahgunaan profesi wartawan, serta menempatkan wartawan pada kedudukan strategis dalam industri pers.

 

Model dan Ketegori

Rumusan kompetensi yang sudah disepakati adalah menggunakan model dan kategori, yaitu: kesadaran (awareness), pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skill).

Kesadaran itu mencakup kesadaran tentang etika dan hukum, kepekaan jurnalistik, serta pentingnya jejaring dan lobi.

Pengetahuan meliputi teori dan prinsip jurnalistik, pengetahuan umum dan pengetahuan khusus.

Keterampilan dijabarkan dalam kegiatan 6 M (mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan) informasi, serta melakukan riset dan investigasi, analisis dan prediksi, maupun menggunakan alat dan teknolgi informasi.

Dalam melaksanakan pekerjaan, wartawan dituntut menyadari norma-norma etika dan ketentuan hukum. Garis besar kompetensi kesadaran wartawan diperlukan bagi peningktan kinerja dan profesionalisme wartawan.

Kesadaran akan etika dan hukum sangat penting dalam profesi kewartawanan. Sehingga, setiap langkah wartawan, termasuk dalam mengambil keputusan untuk menulis atau menyiarkan masalah atau peristiwa, akan selalu dilandasi pertimbangan yang matang. Kesadaran etika juga akan memudahkan wartawan dalam mengetahui dan menghindari terjadinya  kesalahan, seperti melakukan plagiat atau menerima imbalan. Dengan kesadaran ini, wartawan akan tepat dalam menentukan kelayakan berita atau menjaga kerahasiaan sumber.

Kurangnya kesadaran akan etika dapat berakibat serius berupa ketiadaan petunjuk moral. Yaitu sesuatu yang dengan tegas mengarahkan dan memandu pada nilai-nilai dan  prinsip yang harus dipegang. Kekurangan kesadaran juga dapat menyebabkan wartawan gagal dalam melaksanakan fungsinya.

Wartawan yang menyiarkan informasi tanpa arah, berarti gagal menjalankan perannya untuk menyebarkan kebenaran suatu masalah dan peristiwa. Tanpa kemampuan menerapkan etika, wartawan rentan terhadap kesalahan. Ini dapat memunculkan persoalan yang berakibat tersiarnya informasi yang tidak akurat dan bias, menyentuh privasi atau tidak menghargai sumber berita. Pada akhirnya hal itu menyebabkan kerja jurnalistik yang buruk.

Untuk menghindari hal-hal di atas, wartawan wajib memiliki integritas, tegas dalam prinsip dan kuat dalam nilai. Dalam melaksanakan misinya wartawan harus beretika, memiliki tekad untuk berpegang pada standar jurnalistik yang tinggi dan memiliki tanggungjawab.

Kecuali itu, wartawan wajib melayani kepentingan publik, mengingatkan mereka yang berkuasa agar bertanggungjawab, serta menyuarakan yang tidak bersuara. Dan wajib pula bagi wartawan untuk bersikap berani dalam keyakinan, independen, mempertanyakan otoritas dan menghargai perbedaan.

Wartawan harus meningkatkan kompetensi etikanya, karena wartawan yang harus melakukan hal itu akan lebih siap dalam menghadapi situasi pelik. Untuk meningkatkan kompetensi etika, wartawan Indonesia perlu memhami Kode Etik Jurnalistik dan kode etik organisasi wartawan masing-masing.

Sebagai pelengkap pemahaman etika, wartawan dituntut untuk memahami dan sadar akan ketentuan hukum yang terkait dengan kerja jurnalistik. Pemahaman tentang hal ini perlu terus ditingkatkan. Wartawan wajib menyerap Dan memahami Undang-undang Pers, menjaga kehormatan dan melindungi hak-haknya.

Wartawan juga perlu tahu hal-hl mengenai penghinaan, pelanggaran terhadap ptivasi dan berbagai ketentuan dengan narasumber, seperti off the record dan confidential sources.

Kompetensi hukum menuntut penghargaan pada hukum, batas-batas hukum dan memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat dan berani untuk memenuhi kepentingan publik dan menjaga demokrasi.

 

Kepekaan Jurnalistik

Kepekaan jurnalistik adalah naluri dan sikap diri yang dimiliki wartawan dalam memahami, menangkap dan mengungkap suatu informasi tertentu yang bisa dikembangkan menjadi suatu karya jurnalistik.

Selain itu, wartawan mengemban tugas kebebasan pers sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat harus sadar kenal memerlukan jejaring dan lobi seluas-luasnya. Sebagai sumber informasi yang kredibel, akurat, terkini dan komprehensif, serta yang dapat mendukung pelaksanaan profesi wartawan.

Untuk itu diperlukan membangun jejaring dengan narasumber, membina relasi, memnafaatkan akses, menambah dan memperbarui relasi, serta menjaga sikap profesional dan integritas sebagai wartawan.

 

Ujian Kompetensi

Seorang wartawan yang dianggap sudah memenuhi ketentuan SKW, ditentukan melalui ujian.

Dewan Pers dudah menetapkan, peserta yang dapat menjalani uji kompetensi adalah wartawan. Bagi wartawan yang belum berhasil dalam uji kompetensi dapat mengulang pada kesempatan berikutnya di lembaga-lembaga penguji kompetensi.

Lembaga kompetensi yang sudah ditentukan adalah: perguruan tinggi komunikasi atau jurnalistik, lembaga pendidikan jurnalistik atau kewartawanan, perusahaan pers dan organisasi wartawan.

Setelah menjalani jenjang kompetensi wartawan muda sekurang-kurangnya tiga tahun, yang bersangkutan berhak mengikuti uji kompetensi wartawan madya. Dua tahun berikutnya berhak mengikuti uji kompetensi wartawan utama.

Sertifikat kompetensi berlaku sepanjang pemegang sertifikat tetap menjalankan tugas jurnalistik. Sedangkan wartawan pemegang sertifikat yang tidak menjalankan tugas jurnalistik minimal selama dua tahun berturut-turut, jika yang bersangkutan akan kembali menjalankan tugas jurnalistik, maka diakui berada pada jenjang kompetensi terakhir.

Pemimpin redasksi, menempati posisi strategis dalam perusahaan pers dan dapat memberi pengaruh yang besar terhadap tingkat profesionalitas pers. Oleh karena itu, pemimpin redaksi haruslah orang yang telah memiliki jenjang kompetensi wartawan utama, sekaligus pengalaman yang memadai. Kendati demikian, tidak boleh ada ketentuan yang bersifat diskriminatif dan melawan pertumbuhan alamiah yang menghalangi seseorang menjadi pemimpin redaksi.

Wartawan yang dapat menjadi pemimpin redaksi, ialah mereka yang telah memiliki kompetensi wartawan utama dan memiliki kualifikasi pengalaman kerja sebagai wartawan minimal 5 (lima) tahun.

Penanggungjawab, sesuai dengan Undang-undang Pers adalah penanggungjawab perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi. Dalam posisi itu penanggungjawab dianggap bertanggungjawab terhadap ke seluruhan proses dan hasil produksi, serta konsekwensi hukum perusahaannya. Oleh karena itu, penanggungjawab harus memiliki syarat pengalaman dan kompetensi wartawan setara dengan pemimpin redaksi.

SKW (Standar Kompetensi Wartawan) ini berlaku selambat-lambatnya dua tahun sejak SKW ini diberlakukan. Perusahaan pers dan perusahaan pers yang telah dinyatakan lulus verifikasi oleh Dewan Pers sebagai lembaga penguji SKW sudah harus menentukan jenjang kompetensi para wartawan di perusahaan atau organisasinya.

Demikian, sepintas tentang Standar Kompetensi Wartawan yang ditetapkan dalam “Piagam Palembang” tanggal 9 Februari 2010 yang kembali diangkat sebagai diskusi utama pada Hari Pers Nasional (HPN) 2011 di Kupang, NTT, 9 Februari 2011 ***

 

*) Eks Sekretaris Dewan Kehormatan  Daerah PWI Jawa Timur.

Menyambut HPN 2009 (1)

Pers di Surabaya

Sudah Berkembang

Sejak Abad ke-18


Oleh : Yousri Nur Raja AgamMH*)

KOTA Surabaya yang lahir dan berkembang sebagai kota industri, tidak terlepas dari informasi dan komunikasi. Salah satu industri yang selalu mengikuti kiprah Surabaya adalah industri mediamassa atau industri pers.

Jauh sebelum Indonesia merdeka, yakni di saat negeri ini masih di bawah pemerintahan Hindia Belanda, di Surabaya telah muncul berbagai penerbitan pers, berbentuk suratkabar dan majalah.

Sebagai pengetahuan bagi masyarakat yang ingin mengenal dari dekat Kota Surabaya, tentunya dapat menyimak melaluii perkembangan pers dan mediamassa yang terbit di kota ini. Mengasyikkan dan ada dinamika yang tertuang di balik kegiatan industri suratkabar, majalah, dan penyiaran radio hingga televisi sekarang ini.

Melalui penelusuran ke belakang dunia penerbitan pers dan mediamassa di Surabaya, dapat pula dilihat kemajuan industri mediamassa dari zaman ke zaman. Sebelum era grup Jawa Pos, Surya, Memorandum, Bhirawa dan berbagai penerbitan sekarang, di Surabaya pernah berjaya Suratkabar Harian Surabaya Post di zaman Orde Baru dan Pewarta Surabaya di zaman Orde Lama.

Kecuali itu, banyakpula suratkabar harian, mingguan dan majalah yang terbit di Surabaya dengan skala nasional. Salah satu majalah yang cukup dikenal dengan peredaran luas adalah Sketsmasa. Di samping itu ada dua majalah berbahasa Jawa: Jaya Baya dan Panyebar Semangat.

Nah, bagaimana pula perkembangan kegiatan penerbitan yang zaman dulu dengan mesin cetak tangan (hand press) dengan huruf timah yang disusun atau diset satu huruf per-huruf. Berlanjut ke era mesin cetak printing dan offset, sampai dengan zaman komputer, internet dan multimedia dengan sistem cetak jarak jauh sekarang ini.

Ada delapan zaman yang dapat menjadi era penerbitan sejak Surabaya pertamakali mempunyai penerbitan suratkabar. Yakni: era prakemerdekaan atau zaman pemerintahan kolonial Belanda, era penjajahan Jepang, era awal kemerdekaan, era pemerinntahan Demokrasi Liberal, era Demokrasi Terpimpin, era Demokrasi Pancasila, era awal reformasi dan sekarang (pascareformasi).

Koran Pertama di Surabaya

Berdasarkan data yang dihimpun, pada periode prakemerdekaan, yakni tahun 1836-1942, di Jawa Timur sudah terbit 159 penerbitan pers. Ada yang berbentuk suratkabar dan ada pula berupa majalah. Dari jumlah itu, 90 persen terbit di Kota Surabaya. Sisanya terbit di Malang, Kediri, Probolinggo, Pasuruan, Jember dan Mojokerto.

Suratkabar pertama yang terbit di Surabaya, bulan Maret 1836, bernama: Soerabajasch Advertentieblad. Suratkabar ini mengkhususkan iklan-iklan berbagai perusahaan, produk dan toko-toko yang ada di Surabaya. Di samping itu juga ada warta kematian, kelahiran, pernikahan dan keberangkatan kapal sebagai berita utamanya.

Memang, di zaman penjajahan Belanda itu tidak mudah menerbitkan mediamassa, walaupun oleh bangsa Belanda sendiri. Waktu itu berlaku pengawasan yang ketat. Sehingga, persiapan yang dilakukan CF Smith, pemimpin suratkabar itu cukup lama, padahal izinnya keluar bulan Juli 1835.

Setelah setahun suratkabar Soerabajasch Advertentieblad khusus menyiarkan iklan, pada bulan Maret 1837, Smith mengajukan permohonan kepada Residen Surabaya yang bertindak sebagai pengawas, untuk diizinkan menyiarkan berita dan artikel. Namun, permohonan Smith itu tidak pernah dikabulkan. Malahan tahun 1841, C.Van Raalten yang menjabat sebagai chief clerk (kepala tata usaha) diadili. Pengadilan Distrik Surabaya mengambilalih pengelolaan suratkabar itu. Alasannya, agar kepentingan pemerintah tidak dirugikan akibat rencana Smith yang akan menerbitkan pemberitaan dan artikel di suratkabar itu.

Kendati demikian dalam perkembangan selanjutnya, suratkabar itu tidak dapat lagi menghindari tulisan yang bersifatberita. Sehingga, tahun 1853, secara resmi koran ini berganti nama menjadi: Surabayasch Nieuws en Advertentieblad (SNeA). Koran ini berada dalam pengawasan dari pemerintah kolonial.

Data yang dihimpun dari Perpustakaan Nasional di Jakarta, pada buku Perkembangan Pers Jawa Timur yang terbit tahun 1994, mengungkapkan suratkabar kedua yang terbit di Surabaya bernama Oostpost. Kehadiran suratkabar ini pertamakali diketahui melalui iklan yang dimuat di SNeA terbitan 8 Januari 1853 yang dicetak pada percetakan E.Fuhri. Tahun 1870 suratkabar ini berganti nama menjadi: Het Soerabajasch Handelsblad yang didukung oleh kelompok pengusaha pabrik gula di Jawa Timur.

Suratkabar ini benar-benar membawa misi pemerintah kolonial Belanda. Pimpinan koran ini, M.Van Geuns sampai-sampai menulis kritik tajam terhadap kebijakan Gubernur Jenderal Idenburg yang memberi kesempatan kepada organisasi pergerakan nasional Boedi Oetomo, Syarekat Islam dan Indische Partij.

Minat baca warga kota Surabaya waktu itu ternyata meningkat. Tahun 1851, JJ Nose menerbitkan pula koran Nieuwsbode. Di sini persaingan mulai dirasakan penerbit SNeA dan Oostpost.Bahkan untuk menarik pembaca lebih banyak, Oostpost ganti nama menjadi Soerabajasch Courantyang semula terbit mingguan menjadi empat hari seminggu.

Melihat perkembangan suratkabar di Surabaya, Jakarta, Padang dan Medan, pemerintah Hindia Belanda tahun 1856 mengeluarkan undang-undang tentang percetakan dan pers: Reglement op de Drukwerken in Nederlandesch Indie atau gampangnya disebut: Drukpers Reglement. Undang-undang ini mengatur dan mengawasi hasil percetakan dan penerbitan pers.

Berbagai suratkabar kemudian terbit di Surabaya, namun usianya tidak ada yang lama. Di antaranya bernama: Soerabajasch Weekblad (1851), De Militaire Courant (1863), Indische Spectater (1870), Insulinde (1878), Indische Kinder Courant (1879), De Indische Opmeker (1880), Het Jonge Indie (1885), Thieme’s Nieuws en Advertentieblad (1886), Onze Getuigenis (1887). Rata-rata koran ini hanya berusia satu hingga dua tahun, kecuali De Indische Opmeker bertahan enam tahun (1880-1886) dan Thieme’s Nieuws en Advertentieblad (1886-1909) atau 13 tahun.

Lain lagi dengan koran Soerabajasch Handelsblad yang terbit sejak abad 19 itu bertahan sampai 1957. Dihentikannya penerbitan koran terbesar di Surabaya ini, sebagai akibat kebijakan Pemerintah RI yang tidak membolehkan warga Belanda memimpin suratkabar.

Pada umumnya koran yang terbit waktu itu berbahasa Belanda. Kemudian, terbit koran berbahasa Indonesia (Melayu). Koran pertama berbahasa Melayu bernama: Soerat Kabar Bahasa Melayoe. Edisi perdana koran ini terbit hari Sabtu tanggal 12 Januari 1856, bertepatan dengan 3 Jumadil Awal 1784 tahun Jawa atau 1372 tahun Hijriyah dan 4 Tjap-djie Gwee tahun Iet Bow. Setahun kemudian, 3 januari 1857, terbit pula suratkabar berbahasa Melayu, bernama: Bientang Timoer yang kemudian diubah menjadi Bintang Timoer. Koran ini dipimpin orang Belanda bernama TCE Bouquet. Peredarannya tidak hanya di Jawa Timur dan sebagian wilayah Indonesia, tetapi juga sampai ke Eropa.

Suratkabar lain yang terbit dengan menggunakan bahasa Melayu lainnya yang terbit akhir tahun 1800-an, adalah: Bintang Soerabaia, Tjahaja Moelia dan Batara Indra. Menyusul di awal abad ke-20, juga terbit koran bahasa Melayu-Tionghoa, seperti Bok Tok (1913), Sia Hwee Po (1914) yang berubah menjadi majalah Tjhoen Tjhioe (1915).

Sejarah baru persuratkabaran di Surabaya diledakkan oleh seorang pengusaha Cina bernama The Kiang Sing, tanggal 28 April 1905. Dia bersama The Kian Lie, The Kian Hien dan tan Swan Ie, dengan dibantu orang Balanda bernama HWR Kommer sebagai pemimpin redaksi menerbitkan suratkabar dagang Pewarta Soerabaia.

Suratkabar Pewarta Soerabaia yang diterbitkan di Jalan Panggung Surabaya ini terus berkembang dengan beberapa kali penggantian manajemen. Perlu dicatat, koran ini mencetak banyak wartawan dan inilah koran yang waktu itu terbit lancar. Salah satu di antara wartawan senior yang kemudian tercatat sebagai perintis pers Indonesia di koran ini adalah RM Bintarti. Ia menjadi pemimpin redaksi menggantikan HWR Kommer yang meninggal dunia tahun 1925.

Tahun 1913, terbit pula suratkabar Oetoesan Hindia dan tahun 1914, suratkabar Tjahaja Timoer. Koran Oetoesan Hindia adalah koran pergerakan pemuda di Surabaya yang dipimpin HOS Tjokroaminoto yang juga ketua perkumpulan Syarekat Islam (SI). Dua wartawan ini yang dicatat sebagai wartawan kawakan waktu itu adalah: Sosrobroto dan Tirtodanoedjo. ***

*)Yousri Nur Raja AgamMH – Dewan Kehormatan PWI Jatim.