Surabaya Kota Pendidikan

Yousri Nur RA MH

Yousri Nur RA MH

Surabaya Juga Berjuluk

Kota Pendidikan

Oleh: Yousri Nur Raja agam M.H. *)

SURABAYA yang berjuluk Kota Pendidikan, sebagai penjabaran dari Indamardi (Industri, Perdagangan, Maritim dan Pendidikan) atau Budi Pamarinda (Budaya, Pendidikan, Pariwisata, Maritim, Industri dan Perdagangan), memang layak. Tidak dapat dipungkiri, bahwa sejak kelahiran Surabaya, telah berkembang berbagai macam pendidikan di kota ini.

Sejarah pendidikan di Surabaya, cukup panjang. Usianya juga hampir sama dengan usia Kota Surabaya. Pengertian pendidikan cukup luas dan pendidikan itu juga sudah ada sejak zaman prasejarah. Di mana kedua orangtua, ayah dan ibu serta lingkungan keluarga berperan sebagai guru. Pendidikan berkembang di sekitar keraton dengan munculnya empu sebagai guru.

Nah, di Surabaya sebagai tempat bermukim berbagai suku, etnis dan agama, bentuk pendidikan juga mengandung corak yang beragam. Berawal dari sistem pendidikan zaman Hindu dan Budha, lalu berkembang ke pendidikan cara Islam dan model pendidikan zaman Belanda sampai alam merdeka sekarang ini. Dari urut-urutan sejarah pendidikan itu, Surabaya sudah memerankannya sejak awal. Khususnya saat awal kelahiran Surabaya, berkembang pendidikan Islam yang digurui oleh Raden Rahmat atau Sunan Ampel.

Pendidikan model pesantren yang dikembangkan Sunan Ampel telah membuat Surabaya sebagai pusat pendidikan di Tanah Jawa. Dari Surabaya segala macam ajaran dikembangkan melalui delapan sunan lainnya yang tergabung dalam Wali Songo. Sebagai sunan tertua, Sunan Ampel menjadi mahaguru di kalangan sunan dan para pengikut ajaran Islam waktu itu. Keberhasilan Sunan Ampel membina pendidikan umat, mempunyai daya tarik pula bagi daerah lain untuk menimba ilmu dari Surabaya. Inilah awal, Surabaya melandasi keberadaannya sebagai kota pendidikan

Surabaya bak menara gading tempat membina para cendekiawan dan kaum intelektual. Jumlah penduduk Surabaya terus bertambah, selain menimba pendidikan, juga meningkatkan kehidupan melalui dunia industri, perdagangan dan maritim.

Zaman berubah dan musimpun berganti. Kemudian Indonesia memasuki era penjajahan Kolonial Belanda. Di sini, di samping berkembangnya kegiatan ekonomi, kegiatan meningkatkan diri dalam dunia pendidikan juga bermunculan. Kalau masyarakat pribumi sudah dilandasi ilmu pengetahuan yang berkiblat ke Islam, maka tahun 1820, Belanda mendirikan ELS (Europeesche Lagere School) di Surabaya.

ELS adalah sekolah tingkat rendah yang lama pendidikannya 7 tahun. Tidak hanya anak-anak Balanda yang sekolah di ELS, tetapi juga banyak kaum pribumi dari golongan ningrat dan priyayi. Sekolah lanjutan tingkat menengah baru ada setengah abad kemudian, yakni berdirinya HBS (Hogere Burger School) di Surabaya tahun 1875 dengan lama pendidikan 5 tahun. Pada tahun 1893, sekolah untuk penduduk pribumi dipecah menjadi dua jenis. Yang pertama disebut Sekolah Dasar Kelas Satu (De Scholen der eeste Klasse) untuk putera-putera bangsawan tinggi dan Sekolah Dasar Kelas Dua (De Scholen der tweede Klasse) untuk anak-anak bumiptera biasa.

Berkembangnya kegiatan indsutri dan perkebunan di wilayah Jawa Timur, menurut buku Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Timur yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) Jawa Timur 1986, maka berdirilah berbagai jenis pendidikan di Surabaya. Sekolah tukang yang berdiri di Surabaya ini menghasilkan tenaga tukang dan buruh yang mampu mengoperasikan mesin-mesin pabrik. Selain di Surabaya, pada tahun 1878 Pemerintah Belanda mendirikan Sekolah Raja (Hoofen School) di Probolinggo yang dikhususkan untuk anak-anak bumiputera keturunan bangsawa untuk dijadikan pegawai administrasi pendidikan. Sekolah ini berkembang menjadi OSVIA (Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren) tahun 1900 dan kemudian berubah menjadi MOSVIA (Middelbare Opleidings School voor Inlandsche Ambtenaren).

Saat Pemerintahan Kota Surabaya mulai terbentuk, dunia pendidikan menengah sudah mulai berkembang. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan, pada tahun 1913 didirikan Sekolah Dokter Hindia atau NIAS (Nederlands Indische Artsen School) di Surabaya. Inilah cikal bakal Universitas Airlangga (Unair) sekarang ini.

Selain ada sekolah rendah ELS, juga ada HIS (Hollandsch Inlandsche School) dan sekolah menengah umum setingkat SMP, seperti MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) dan setingkat SMU, yakni: HBS (Hoogere Burgere School). Sekolah persiapan untuk memasuki pendidikan tinggi, di antaranya: AMS (Algemene Middelbare School) dan VHO (Voorbereidend Hoger Onderwijs). Sedangkan untuk sekolah kejuruan, cukup banyak, seperti: MHS (Middelbare Handels School) atau sekolah dagang menengah dan STOVIT (School tot Opleiding van Indische Tandartsen) atau Sekolah Kedokteran Gigi. Ada lagi pendidikan teknik bernama Koningen Emma School (KES) dan MTS (Middelbare Technische School).

Untuk mengimbangi perkembangan penduduk dan tumbuhnya berbagai jenis sekolah, terutama yang didirikan kaum pribumi yang beragama Islam, Pemerintah Kolonial Belanda mulai mendirikan sekolah-sekolah Kristen. Ada yang dilakukan pihak Zending untuk Kristen Protestan dan pihak Missie untuk Roma-Katholik.

Di Surabaya lebih banyak sekolah didirikan oleh Missie yang mendirikan sekolah-sekolah dasar. Seperti: SD St.Aloysius tahun 1862, SD St.Angela tahun 1863, SD Stela Ursula tahun 1864. Awalnya yang diterima di sekolah ini adalah anak-anak orang kaya, tetapi lambat laun juga menerima anak-anak orang biasa.

Melihat perkembangan pendidikan di Surabaya pada awal abad 20 itu, gaya pendidikan di Indonesia sudah mengenal gaya Barat. Namun perkembangan untuk pendidikan yang dikelola pribumi atau bumiputera, tetap masih pada pendidikan rendah yang menggunakan bahasa daerah atau Indonesia. Sementara pendidikan menengah dan tinggi menggunakan bahasa pengantan bahasa Belanda.

Sebagai reaksi terhadap sistem pendidikan semacam itu, maka lahirlah pendidikan nasional di kalangan pribumi. Misalnya tahun 1925 lahir lembaga pendidikan Taman Siswa Cabang Surabaya. Begitu pula organisasi-organisasi pergerakan Islam, seperti NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah juga meningkatkan pendidikan umum, selain tetap mengembangkan pendidikan model pesantren.

Namun sistem pendidikan yang membedakan pengajaran model Barat dan pribumi itu berakhir setelah Jepang berkuasa di Indonesia. Pada waktu itu, hanya ada satu jenis sekolah untuk semua lapisan masyarakat, yakni SR (Sekolah Rakyat) 6 tahun (Kakumin Gakko), SMP (Sekolah Menengah Pertama) 3 tahun (Shoto Chu Gakko) dan SMT (Sekolah Menengah Tinggi) 3 tahun (Koto Chu Gakko). Sedangkan sekolah guru ada tiga macam, yakni: Sekolah Guru 2 tahun, Sekolah Guru 4 tahun dan Sekolah Guru 6 tahun.

Pada zaman Jepang ini pendidikan NIAS di Surabaya dihapus dan digabungkan ke Ika Daigaku (semacam Perguruan Tinggi Kedokteran) di Jakarta. Sedangkan STOVIT berlangsung terus dengan nama Shika Gaku. Tujuan pendidikan di zaman ini adalah menghasilkan manusia yang dapat membantu bangsa Jepang dan Asia Timur Raya. Itulah sebabnya ideologi Hakko Ichiu (kemakmuran bersama) dan Hoko Seishin (semangat kebaktian) merupakan isi pengajaran utama dan pendidikan. Kendati demikian, upaya Pemerintah Jepang menanamkan semangat kebaktian rakyat melalui jalur pendidikan gagal, karena proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945.

Setelah kemerdekaan RI, di Surabaya kegiatan pendidikan terus berkembang dan maju. Berbagai lembaga pendidikan peninggalan Belanda dan Jepang segera menyesuaikan dengan ketentuan yang ditetapkan Pemerintah RI.

Presiden Pertama

Kota Surabaya, pernah menghasilkan anak didik yang kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia yang pertama. Dialah Soekarno atau biasa disapa Bung Karno.

Bung Karno bersekolah di HBS (Hoogere Burger School) yang sama dengan SMU atau SMA ini mulai tahun 1916 dan lulus tahun 1921, tepatnya 10 Juni 1921. Awalnya HBS memang hanya dikhususkan untuk anak-anak Belanda yang ada di sini. Mata pelajaran dan ijazahnya sama dengan HBS yang ada di Negeri Belanda. Namun kemudian, anak-anak pribumi pilihan dan keturunan bangsawan atau ningrat dapat masuk di HBS ini.

HBS di Surabaya yang berdiri tahun 1875, tergolong sebagai sekolah menengah tertua di daerah jajahan Belanda setelah Koning Willem III (KW III) di Jakarta yang waktu itu masih bernama Batavia. HBS. Berdirinya sekolah yang setaraf dengan di Negeri Belanda itu tidak lepas dari politik pintu terbuka (open deur politiek) pihak Belanda waktu itu.

Dalam buku Oud Soerabaia yang ditulis Von Faber, semula HBS itu menempati gedung Instituut Buys yang terletak di ujung Jalan Baliwerti dan Alun-alun Contong. Gedung ini kemudian dimiliki oleh Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Pada tahun 1881, HBS dipindah ke gedung bekas rumah kediaman bupati Surabaya, yang sekarang digunakan sebagai Kantor Pos Besar di Jalan Kebunrojo Surabaya.

Tahun 1923, HBS dipindah ke Jalan Wijayakusuma yang di zaman Belanda bernama HBS Straat. Selain Bung Karno, di HBS ini juga menuntut ilmu tokoh Surabaya, Prof.Dr.H.Roeslan Abdulgani.

Saat Bung Karno sekolah di HBS, dia tinggal di rumah tokoh Sarekat Islam, Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Di rumah di Jalan Peneleh VII/29 Surabaya itu, bukan hanya sebagai tempat kos pemuda Soekarno. Di rumah itu pula ia digembleng oleh HOS Tjokroaminoto sebagai calon orator dan politikus ulung.

Tidak hanya itu, Bung Karno juga menjadikan puteri HOS Tjokroaminoto, bernama Utari, sebagai isterinya yang pertama. Kemudian, Bung Karno melanjutkan sekolahnya ke Bandung. Ia masuk ITB, serta di kota ini pula Bung Karno meneruskan aktivitasnya di bidang politik. ***

*) Yousri Nur Raja Agam M.H. adalah Ketua Yayasan Peduli Surabaya.