Surabaya Water Front City

Pemkot Surabaya Serius Menata Bantaran Sungai

Mengembalikan Jatidiri Surabaya

Sebagai “Water Front City

Oleh: HM Yousri Nur Raja Agam

Ikon Surabaya Patung "Ikan Sura dan Buaya" menghadap Sungai Kalimas

PEMERINTAH Kota Surabaya serius menertibkan bangunan di bantaran atau stren sungai. Bangunan liar yang terletak di stren (bantaran) sungai terus-menerus ditertibkan. Kendati gejolak dan perlawanan timbul sebagai reaksi dari penertiban, Pemkot Surabaya bertekad untuk terus menegakkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Upaya penertiban bantaran sungai itu, merupakan salah satu langkah untuk menjaga kelestarian sungai. Bahkan juga untuk mempertahankan julukan kota Surabaya sebagai Kota Maritim. Kota yang bergelut dengan air di laut dan di sungai secara tertib.

Kehidupan warga kota Surabaya, sejak dahulu kala, berawal dari permukiman di pinggir sungai dan di pantai. Sungai Kalimas yang mengalir dari  Kali Surabaya sebagai anak Sungai Kali Brantas membelah daratan Kota Surabaya. Sungai Kalimas yang menjadi urat nadi Kota Surabaya ini, bermuara di laut Selat Madura.

Di muara Kalimas itulah terletak pelabuhan samudera Tanjung Perak, pusat kegiatan kemaritiman dan pangkalan armada TNI Angkatan Laut. Bahkan aktivitas di sepanjang pantai, menjadi kawasan masyarakat nelayan.

Kota Surabaya, memang merupakan perpaduan darat, laut dan sungai. Kota yang hidup dari keberadaan air. Kota Surabaya pun mengambil dua jenis fauna laut dan sungai sebagai lambangnya, yakni ikan Sura dan Baya (buaya). Sehingga kota Surabaya layak disebut “Water Front City” atau kota yang berhadapan dengan air. .

Dahulu, dalam catatan sejarah, hampir seluruh bangunan di Surabaya menghadap ke sungai Kalimas. Waktu itu, Kalimas berfungsi sebagai sarana lalulintas perairan dari muaranya di Selat Madura, hingga dapat berlayar sampai ke hulu sungai Kali Brantas. Sebagai contoh, Gedung Grahadi, sebagai rumah tinggal gubernur jenderal, serta bangunan lain di sepanjang Kalimas sampai ke Ujung di Tanjung Perak masih terlihat  menghadap sungai. Namun setelah ada jalan raya, sungai Kalimas menjadi bagian belakang bangunan gedung itu sampai sekarang.

Jadi, sejak dulu sebenarnya Surabaya adalah”Water Front City”. Sekarang jatidiri Surabaya itu harus dikembalikan, dengan menata bangunan di sepanjang Kali Surabaya, Kali Jagir Wonokromo dan Kalimas menghadap sungai. Untuk itu, penghalangnya, berupa bangunan liar di bantaran sungai perlu ditertibkan.

Memang tidak mudah untuk mengembalikan kehidupan masyarakat yang tertib di sepanjang bantaran atau tepi sungai dan pantai. Perlu dilakukan pengkajian, perencanaan dan penataan yang terpadu. Selain itu juga perlu ada koordinasi antarinstansi terkait.

Kawasan di timur Jembatan Merah pada tahun 1930-an - benar-benar mewujudkan Surabaya Water Front City

Sungai kalimas dekat Jembatan Merah Surabaya, perlu dibenahi, sehingga dapat mewujudkan Water Front City. (Foto diambil 12 Mei 2010-Yous foto)

Seperti Jembatan Merah di Surabaya, tetapi ini lain, ini di Singapura, dijepret tanggal 19 April 2010 (Yous-foto)

Sungai di Kota Padang, bangunan di sana dihadapkan ke sungai, mempertahankan Padang sebagai Water Front City, foto diambil tanggal 20 Oktober 2009 (Yous-Foto)

Pengairan dan Pematusan

Sungai Kali Brantas di Provinsi Jawa Timur yang mengalir dari hulu ke muara melalui beberapa wilayah kabupaten kota. Sungai ini pernah menjadi sarana transportasi air untuk angkutan kapal dan perahu di masa lampau. Pengaturan dan pengelolaannya oleh Pemerintah Pusat diserahkan kewenangannya kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur. Mengingat salah satu fungsi air sungai adalah untuk kegiatan pertanian, maka pengelolaannya dilaksanakan oleh Dinas Pekerjaan Umum (PU) Pengairan Jawa Timur, kata Ir.H. Mustafa.Kamal Fasya.

Sejak dahulu, Surabaya memang belum sepenuhnya menjadi kota permukiman. Sebagian wilayahnya masih menjadi kawasan pertanian. Sehingga fungsi sungai, di samping sebagai sumber air untuk kehidupan rumahtangga di perkotaan, juga menjadi sumber pengairan bagi pertanian.

Keberadaan anak Sungai Kali Brantas, yakni: Kali Surabaya dan Kalimas yang membentang di tengah kota Surabaya, prinsipnya masih merupakan anak sungai untuk kebutuhan pertanian. Jadi tidak sepenuhnya sebagai saluran pematusan untuk pembuangan air rumahtangga.

Perkembangan zaman, mengubah fungsi dan pemanfaatan air sungai. Di samping untuk pengaiaran pertanian, juga sebagai bahan baku air minum dan kebutuhan industri yang berdiri di  sekitar wilayah sungai. Bahkan tidak jarang, sungai menjadi tempat pembuangan limbah cair dari pabrik.

Semakin beragamnya fungsi dan pemanfaatnan air sungai di Jawa Timur, khususnya Sungai Kali Brantas, maka Pemprov Jatim mendirikan perusahaan pengelola air sungai yang disebut PT.Jasa Tirta. Sedangkan Dinas PU Pengairan berfungsi mengelola badan sungai dan bantarannya.

Bagi daerah perkotaan seperti Kota Surabaya, terasa ada perbedaan fungsi sungai  dengan Pemprov Jatim. Kalau Pemprov Jatim memfungsikan sungai sebagai saluran irigasi untuk pengairan pertanian, bagi kota Surabaya sungai justru berfungsi sebagai saluran pematusan, kata Asisten IV Sekretaris Kota (Sekkota) Surabaya, Ir.H.Tri Siswanto..

Perbedaan fungsi ini menjadi kendala berkaitan dengan kepentingan. Sebab, sebagai saluran irigasi untuk pertanian, permukaan air harus lebih tinggi dari permukaan sawah. Sebaliknya, untuk pematusan, permukaan sungai harus berada di bawah daratan. Baik untuk pembuangan air rumahtangga, maupun untuk penanggulangan banjir di musim hujan,  ujar Tri Siswanto yang juga mantan Kepala BPP (Badan Pengelola dan Penanggulangan) Banjir Kota Surabaya itu. .

Bangunan Liar

Permasalahan yang terjadi di Kota Surabaya, tidak saja perbedaan pandangan antara Pemprov Jatim dengan Pemkot Surabaya.  Selama ini, karena yang mempunyai kewenangan terhadap bantaran sungai adalah Pemprov Jatim, maka Pemkot Surabaya tidak mudah melakukan penertiban bangunan liar di bantaran (stren) sungai yang berada di wilayahnya.

Pemkot Surabaya terus-menerus berupaya melakukan penertiban bangunan liar, yakni bangunan tanpa IMB (Izin Mendirikan Bangunan) di sepanjang bantaran sungai. Namun sering terkendala oleh kewenangan yang juga dimiliki Dinas PU Pengairan Pemprov Jatim. Tidak gampang melakukan koordinasi, kendati tujuannya positif dan sama-sama menegakkan aturan hukum dan perundang-undangan.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya, Ir.Tri Rismaharini,MT menyatakan, landasan hukumnya sudah jelas. Peraturan Menteri PU No.63 Tahun 1993 tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai dan Bekas Sungai, sudah dengan tegas menetapkan garis sempadan sungai. Demikian pula dengan aturan terkait, yakni Keputusasn Gubernur Jawa Timur No.143 Tahun 1997 tentang Peruntukan tanah pada Daerah Sempadan Sungai Surabaya.

Jadi, kalau didalami ke dua aturan terkait itu, maka fungsi sungai Kali Surabaya dan Kalimas sudah sangat jelas, kata Risma – panggilan akrab mantan Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Surabaya itu. Sungai dalam kota tidak lagi berfungsi sebagai saluran irigasi semata, tetapi dapat difungsikan sebagai saluran pematusan.. Selain itu, aktivitas di sekitar sungai juga untuk MCK (Mandi-Cuci-Kakus), kegiatan wisata, penyeberangan, olahraga air, penangkapan ikan dan juga pengerukan lumpur dan pelabuhan Kalimas di bagian muara.

Tidak hanya itu, kata Risma, berdasarkan kebijakan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kota Surabaya, sungai di Surabaya juga dikembangkan sebagai pendukung sarana transportasi terpadu. Kalimas untuk transportasi sungai dari utara ke selatan dan Kali Surabaya-Kali Jagir Wonokromo sebagai sarana transportasi sungai dari barat ke timur.

Ternyata, sejak lama, sebagian bantaran sungai kurang mendapat pengawasan. Akibatnya, kaum urban yang datang ke kota Surabaya memanfaatkan lahan kosong di pinggir sungai. Di atas bantaran atau stren sungai Kali Surabaya-Kali Jagir dan Kalimas, berdiri bangunan liar. Masyarakat pendatang itu, bahkan sudah menjadi penghuni stren sejak lama dan di antaranya mendirikan bangunan permanen tanpa IMB (Izin Mendirikan Bangunan). Ini memang merupakan msalah yang dihadapi Pemkot Surabaya..

Pemkot Surabaya saat ini memang serius melakukan penataan dan penertiban bangunan di bantaran sungai Kali Surabaya, Kali Jagir Wonokromo dan Kalimas, ujarnya Risma.

Bangunan Menghadap Sungai

Sungai Kalimas di Jalan Ngagel dan Dinoyo, sebaiknya bangunan ditata menghadap sungai. (Yous-Foto)

Pemkot Surabaya sudah lama merencanakan penataan stren atau bantaran sungai. Tahap demi tahap dilakukan penertiban bangunan liar yang berdiri di bantaran sungai, kata Kasi Perencanaan Pematusan Dinas Bina Marga dan Pematusan Kota Surabaya, Ir.Agus Handoyo. Hingga sekarang pun terus berlangsung. Namun, tetap menghadapi berbagai kendala.

Masyarakat Kota Surabaya perlu diberikan gambaran dan cakrawala pandang tentang keberadaan sungai dan fungsinya dalam struktur perkotaan.

Kota Padang, ibukota Provinsi Sumatera Barat berdasarkan informasi dari Pemerintah Pusat, merupakan salah satu kota di Indonesia yang berhasil melakukan penataan bangunan di tepi sungai. Sesuai dengan informasi itu, kelompok wartawan Pemkot Surabaya melihat langsung penataan bangunan di Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam Kota Padang.

Sungai Kalimas di Ketabang sudah bagus. Seharusnya di wilayah Gentengkali, Jl.Ahmad Jais, Jalan Peneleh sampai Jembatan Merah juga seperti ini. Sayang belum ditata, padahal bangunan liar sudah digusur. (Yous-Foto)

Selama dua hari berada di Kota Padang, memang ada benarnya. Kota Padang, yang keberadaan kotanya hampir sama dengan Surabaya, penataan bangunan di tepi sungai dan pantai memang sudah baik. Kota Padang, benar-benar sudah menjadi “Water Front City”. Kota yang menghadap sungai dan laut. Artinya, di Padang hampir seluruh bangunan menghadap ke arah sungai dan pantai. Berbeda dengan Surabaya, masih banyak bangunan yang membelakangi sungai. Akibatnya, sungai Kalimas dan Kali Surabaya, serta Kali Jagir Wonokromo menjadi kurang terawat, bahkan tidak jarang menjadi tempat pembuangan sampah.

Jadi, saat studibanding yang dilakukan kelompok wartawan Pemkot Surabaya,  tanggal 27 dan 28 April 2009 lalu, terlihat pemandangan yang cukup kontras dengan sungai di Kota Surabaya. Hampir seluruh bantaran sungai, terlindung oleh tanggul yang kokoh. Saluran air terjaga kebersihannya. Jalan inspeksi di kiri dan kanan sungai dapat dilewati kendaraan bermotor. Bangunan gedung, rumah dan kantor menghadap jalan di pinggir sungai.

Tiga sungai besar, yakni sungai Batang Arau, sungai Batang Kuranji dan sungai Bandar Bakali yang membelah Kota Padang, semuanya terawat dengan baik. Sungai yang rata-rata lebar antara 10 hingga 20 meter dengan kedalaman sampai 8 meter itu, terlihat bersih dan dapat dilayari perahu.

Kepala Bappeko Padang, Ir.H.Indra Catri,MSP yang berdampingan dengan Kepala Bagian Humas Kota Surabaya, Drs.Kartika Indrayana, di Balaikota Padang, menjelaskan, air sungai yang mengalir di tengah Kota Padang itu, juga berfungsi sebagai sumber air minum PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) Kota Padang, sama dengan Surabaya. Selain itu juga difungsikan untuk pemeliharaan ikan.

Indra juga menyebutkan, Sungai Bandar Bakali, juga difungsikan sebagai pengendali banjir dalam kota. Sungai itu lebih dikenal sebagai tanggul atau kanal. Masyarakat, kemudian mengenal sungai itu sebagai sungai banjir kanal. Khusus sungai Batang Arau, bagian muaranya dijadikan pelabuhan pelayaran rakyat, seperti di muara Kalimas di Surabaya. Sedangkan pelabuhan samudera seperti Tanjung Perak, di Padang bernama Pelabuhan Teluk Bayur.

.Sebelum berdiri pelabuhan Teluk Bayur, ujar Indra Catri, pelabuhan yang ramai di zaman Belanda adalah pelabuhan Muara. Sisa-sisa peninggalan zaman VOC dan kolonial Belanda itu masih terlihat hingga sekarang. Bangunan lama dan gedung kuno masih tetap dirawat serta dipertahankan keasliannya sebagai bangunan cagar budaya.

Nah, karena keberadaan Kota Padang ini sejak awal adalah kota yang lahir di tepi sungai, penataan bangunan gedung dan rumah-rumah pun sejak awal sudah diarahkan menghadap sungai. Begitu pula bangunan yang berada di pantai, diarahkan menghadap laut. Membangun rumah menghadap sungai dan pantai sudah menjadi tradisi masyarakat Minangkabau.

Indra Catri tidak menyangkal, kadang-kadang juga timbul permasalahan di Kota Padang. Tetapi, permasalahan dapat diselesaikan melalui musyawarah KAN (Kerapatan Anak Nagari). Apabila di tingkat KAN musyawarah belum mencapai mufakat, maka dibawa ke LKAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau) tingkat Kota. Lembaga adat atau lembaga informal itulah yang turut membantu permasalahan kota, katanya.

Kota Padang sejak dulu berjuluk “Water Front City” atau Kota yang menghadap air – yakni sungai atau laut. Itu tetap dipertahankan terus, ujar Indra Catri.

Pemkot Surabaya Serius

Untuk mewujudkan “mimpi” Surabaya kembali menjadi “Water Front City” seperti Kota Padang, maka Pemkot Surabaya serius, tidak main-main. Walikota Surabaya, Drs.H.Bambang Dwi Hartono, MPd dengan berani menghadapi segala bentuk tantangan dan kendala. Setelah berhasil melakukan penertiban di sungai Kalimas bagian hilir, pekan-pekan terakhir ini dicanangkan dan sekaligus dilaksanakan penertiban bangunan liar di bagian hulu.

Penertiban dengan melakukan pembongkaran bangunan liar di sepanjang sungai Kali Jagir Wonokromo, memang tidak mudah. Persoalannya, bangunan di kawasan itu banyak yang berupa bangunan permanen. Tidak hanya sebagai rumah tinggal, tettapi juga berfungsi sebagai tempat usaha.

Pemkot Surabaya, memang tidak semata-mata merubuhkan bangunan liar. Selain terkesan melakukan penggusuran, juga diberi alternatif yang bersifat manusiawi. Warga yang menjadi pemilik dan menghuni bangunan liar di bantaran sungai itu diminta membongkar sendiri bangunannya. Kemudian, mereka diberi kesempatan untuk mendaftar sebagai penghuni Rusunawa (Rumah Susun Sewa) milik Pemkot Surabaya..

Memang, tidak semudah membalik telapak tangan. Kenyataannya, tidak semua warga yang berada di bantaran sungai itu bersedia pindah begitu saja. Di antara mereka ada yang melakukan perlawanan. Bertahan di bangunan liar yang sudah mereka huni selama bertahun-tahun Sehingga, pembongkaran rumah dan bangunan dilakukan secara paksa dengan menggunakan alat berat “buldozer” oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dengan pengamanan aparat kepolisian.***

Asal Usul Surabaya

Asal Usul dan


Cikal Bakal

KotaSurabaya

Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)

Yousri Nur RA MH

Yousri Nur RA MH

PENELITI dan beberapa ahli sejarah, mengungkapkan, dulu Surabaya ini adalah muara sungai dan terbentuk oleh gugusan kepulauan. Muara Sungai Kali Brantas dengan anaknya Kali Surabaya masih di Wonokromo. Sedangkan Surabaya sekarang merupakan pulau-pulau kecil yang terjadi akibat lumpur yang hanyut dari letusan Gunung Kelud. Namun, lama-kelamaan terus terjadi pendangkalan di muara sungai yang terletak di Selat Madura ini.

Akibat sedimen yang terus bertambah, endapan lumpur semakin meninggi, sehingga selat-selat yang terletak di antara gugus pulau-pulau kecil itu menyempit. Di antara pulau-pulau kecil itu banyak yang menyatu, sementara ada pula selat di antara pulau-pulau kecil itupun berubah menjadi anak sungai atau kali.

Kejadian yang unik itu ditopang pula dengan proses tektonik. Permukaan daratan Surabaya naik 5 sampai 8 centimeter per-abad. Sementara itu daratan atau garis pantai bertambah ke arah laut rata-rata 7,5 centimeter per-tahun.

Dalam catatan sejarah, Gunung Kelud rata-rata meletus setiap 15 tahun sekali. Memang, apabila Kelud meletus, dua wilayah yang menjadi sasaran utama, yaitu Blitar dan Kediri. Tetapi, karena Sungai kali Brantas mengalir dari arah Kediri sampai ke Surabaya, maka semburan gunung yang membawa lava, lahar dan lumpur itu hanyut sampai ke muara sungai. Selain membuat pendangkalan di badan sungai, endapan terbanyak justru di muaranya Selat Madura, yaitu Surabaya dan Sidoarjo.

Data yang berhasil dicatat dari Proyek Penanggulangan Bencana Alam Gunung Kelud, secara berturut-turut Gunung Kelud meletus tahun 1311, 1334, 1376, 1385, 1395, 1411, 1451, 1462, 1481, 1586, 1752, 1771, 1811, 1826, 1835, 1848, 1851, 1864, 1901, 1919, 1951, 1966, 1990 dan 2005.

Sebagai contoh, letusan tahun 1966 dan 1990, tidak kurang satu kali letusan memuntahkan lahar 28 juta meter kubik. Lahar yang dimuntahkan itu, selain menimbun kawasan di sekitar gunung, juga mengalir di lereng gunung terus ke sungai. Lahar yang berubah menjadi pasir dan lumpur itu mengalir melalui Sungai Kali Brantas hingga muara. Akibat yang terjadi, juga mendangkalkan permukaan sungai, mempersempit lebar sungai dan menambah endapan di muara sungai, laut di Selat Madura.

Begitulah asal-usul dan cikal-bakal kejadian daratan di muara Kali Surabaya, sehingga daerah yang semula bernama Junggaluh atau Ujunggaluh atau Hujunggaluh, kemudian bernama Surabaya. Tidaklah mengherankan, kalau sampai sekarang Surabaya berada di dataran rendah dan terletak pada ketinggian hanya 0 sampai 6 meter di atas permukaan laut. Jadi, kalau Surabaya banjir atau pasang naik mencapai bibir daratan, tidak perlu heran dan sebenarnya tidak perlu dirisaukan.

Dari gugus pulau-pulau kecil yang disebut pulo di muara sungai Kalimas yang berinduk ke sungai Kali Brantas itu, ada selat-selat yang dulu diberi nama kali. Jadi tidaklah mengherankan ada nama tempat di Surabaya ini yang disebut pulo dan kali. Di sini pola hidup dan kehidupan warga asli adalah memancing dan berburu. Rumah-rumah penduduk kampung asli Surabaya dulunya berada di atas tiang dan di atas permukaan air, sebagaimana umumnya permukiman pantai.

Seiring dengan perkembangan ruang dan waktu, pola kehidupan berubah. Kehidupan di dunia pantai yang berubah menjadi pelabuhan itulah yang mendorong terjadinya kegiatan kemaritiman. Dunia maritim ini saling tunjang dengan perdagangan dan industri. Inilah ciri khas Surabaya pada awalnya, yang kemudian berkembang ke arah pendidikan, budaya dan pariwisata seperti sekarang ini.

Sebagai wilayah berada di muara sungai yang berkembang menjadi pelabuhan, keberadaannya diakui oleh pemerintah penjajah Belanda di awal abad ke 16. Evolusi menjadi kota besar mulai terjadi setelah dilakukan pemetaan wilayah oleh Muller tahun 1746. Pemetaan wilayah Surabaya itu atas perintah Gubernur Jenderal Belanda wilayah Hindia Belanda yang mendarat 11 April 1746 di utara Surabaya.

Awalnya luas kota Surabaya yang secara otonom diserahkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat pembentukan kota 1 April 1906 di bawah pemerintahan walikota (burgermeester), sekitar 5.170 hektar atau 51,70 kilometer per-segi.

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan tahun 1945, Pemerintahan Kota Surabaya dikukuhkan dengan Undang-undang No.22 tahun 1948 dengan luas wilayah 67,20 kilometer per-segi atau 6.720 hektar.

Kemudian terjadi perluasan kota dengan penambahan wilayah dari lima kecamatan dari Kabupaten Surabaya (sekarang bernama Kabupaten Gresik). Luas kota bertambah 15.461,124 hektar atau 15,46 kelometer persegi, sehingga luas kota Surabaya menjadi 22.181,12 hektar atau 221,18 kilometer per-segi.

Entah apa dasarnya, setelah tahun 1965 pada keterangan dan dalam buku agenda resmi Pemerintahan Kota Surabaya terjadi perubahan luas wilayah Kota Besar Surabaya menjadi 29.178 hektar

Sejak tahun 1992, berdasarkan pemotretan udara, ternyata luas Surabaya 32.636,68 hektar.

Memang, begitulah kenyataannya, konon hingga sekarang, luas daratan kota Surabaya terus bertambah. Dinas Tatakota Pemkot Surabaya, Senin, 12 Mei 2003, pernah mengungkap pertambahan luas daratan itu disebabkan lumpur yang hanyut ke muara sungai, terutama di hilir Kali Jagir sampai daerah Wonorejo. Akibatnya, selain muara sungai menyempit, juga semakin dangkalnya laut di muara sungai, bahkan menimbulkan tanah oloran baru.

Kalau kita amati dan kita cermat melakukan jalan keliling kota, pertambahan daratan Surabaya itu, juga akibat kegiatan reklamasi pantai dan pengurukann laut. Kegiatan yang dilakukan pihak swasta ini, pertama di daerah pertambakan, pembangunan perumahan di pinggir pantai serta perluasan daratan yang dilakukan pengelola Pantai Ria Kenjeran.

Kalau dalam buku agenda tahun 1980-an, luas Surabaya tertulis 29 ribu hektar. Kemudian pada tahun 1990-an dari hasil pemotretan udara, luas Kota Surabaya 32,63 ribu hektar. Namun, di tahun 2003, Kepala Dinas Tatakota Pemkot Surabaya Ir.Erlina Soemartomo (waktu itu) menyebut luas Kota Surabaya, 35 ribu hektar lebih. Kendati demikian, pada buku kerja (agenda) resmi terbitan Pemkot Surabaya tahun 2002, 2003, 2004, 2005 dan 2006, luas wilayah kota Surabaya tetap dicetak 326,37 km2 atau 32,63 ribu hektar lebih.

Tutur Tinular

Kembali cerita tentang kapan Surabaya mulai disebut dan mulai ada, atau “lahir” , versinya macam-macam. Dalam cerita lama, seperti yang terdapat, dalam buku Kumpulan Cerita Rakyat Jawa Timur yang diterbitkan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977, ada dongeng tentang Surabaya.

Perkampungan tua dalam kota Surabaya tempo dulu (foto.Dok Humas Pemkot Surabaya)

Perkampungan tua dalam kota Surabaya tempo dulu (foto.Dok Humas Pemkot Surabaya)

Selain dongeng, juga ada cerita dari cerita yang disampaikan secara berkesinambungan dari nenek moyang kepada kakek, dari kakek atau nenek kepada ayah dan ibu, kemudian dari ibu kepada anak dan cucu, terus pula kepada cicit dan buyut, begitu seterusnya sampai sekarang ini. Kalau boleh dikatakan seperti tutur tinular, yakni penuturan yang kemudian ditularkan atau disebarluaskan kepada generasi berikutnya Tentu cerita dan cerita itu sudah tidak orisinal lagi, dipoles di sana-sini, bahkan ditaburi bumbu penyedap, sehingga rasanya menjadi asyik.

Surabaya yang dulunya hutan belantara di muara sungai Kali Brantas, kemudian melahirkan sungai yang berasal dari selat-selat yang terdapat dari tanah oloran yang kemudian menjadi pulau. Sungai-sungai itu tidak kurang dari 50 sungai yang disebut kali. Mulai dari kali yang cukup besar, yakni Kali Surabaya dari Mojokerto sampai Gunungsari. Kemudian, terpecah menjadi dua kali yang agak besar, Kali Mas yang mengalir dari Wonokromo ke arah Tanjung Perak dan yang kedua Kali Wonokromo yang mengalir ke arah Rungkut. Ada lagi Kali Anak yang mengalir ke arah perbatasan Surabaya-Gresik. Dan, sisanya, kali-kali yang kecil, seperti: Kali Asin, Kali Sosok, Kali Pegirian, Kali Kundang, Kali Ondo, Kali Rungkut, Kali Waron, Kali Kepiting, Kali Judan, Kali Mir, Kali Dami, Kali Lom, Kali Deres, Kali Jagir, Kali Wonorejo dan masih puluhan kali lagi yang kecil-kecil.

Sebagai muara sungai besar, di muara itu mengendaplah lumpur, apalagi berulangkali lumpur letusan Gunung Kelud, hanyut ke muara dan membentuk pulau-pulau. Dari berbagai pulau yang merupakan kepulauan itu, lahirlah Surabaya. Pulau-pulau itu memang tidak begitu menonjol, kecuali Pulau Wonokromo dan Pulau Domas. Sedangkan yang lainnya berbentuk rawa dan danau-danau kecil yang disebut kedung, serta sebagian dijadikan tambak. Ada lagi yang masih berbentuk karang.

Maka, tidak heran kalau di seantero Kota Surabaya saat ini nama tempat diawali dengan nama kedung, tambak dan karang. Contoh, Tambaksari, Tambakasri, Tambakoso Wilangun, Tambakbayan, Tambakjati, Tambakrejo, Tambakmadu, Kedungdoro, Kedungsari, Kedungasem, Kedung Baruk, Kedung klinter, Kedungsroko, Kedungcowek, Kedungmangu, Karangmenjangan, Karangasem, Karangrejo, Karang Tembok, Karanggayam dan lain-lain.

Juga ada yang berbentuk tegal, seperti Tegalsari. Konon di Tegalsari atau daerah Surabayan inilah cikal-bakal penduduk daratan Surabaya yang kemudian berkembang sampai ke daerah Bubutan dan sekitar yang kemudian menjadi pusat pemerintahan Adipati Surabaya.

Asal Nama Surabaya

Pada umumnya, masyarakat Kota Surabaya menyebut asal nama Surabaya adalah dari untaian kata Sura dan Baya atau lebih popular dengan sebutan Sura ing Baya, dibaca Suro ing Boyo. Paduan dua kata itu berarti “berani menghadapi tantangan”.

Namun berdasarkan filosofi kehidupan, warga Surabaya yang hidup di wilayah pantai menggambarkan dua perjuangan hidup antara darat dan laut. Di dua alam ini ada dua penguasa dengan habitat bertetangga yang berbeda, tetapi dapat bertemu di muara sungai. Dua makhluk itu adalah ikan Sura (Suro) dan Buaya (Boyo).

Perlambang kehidupan darat dan laut itu, sekaligus memberikan gambaran tentang warga Surabaya yang dapat menyatu, walaupun asalnya berbeda. Begitu pulalah warga Surabaya ini, mereka berasal dari berbagai suku, etnis dan ras, namun dapat hidup rukun dalam bermasyarakat.

Hasil penelitian menunjukkan, ejaan nama Surabaya awalnya adalah: Curabhaya. Tulisan ini di antaranya ditemukan pada prasasti Trowulan I dari tahun Caka 1280 atau 1358 M. Dalam prasasti itu tertulis Curabhaya termasuk kelompok desa di tepi sungai sebagai tempat penambangan yang dahulu sudah ada (nadira pradeca nguni kalanyang ajnahaji pracasti).

Nama Surabaya muncul dalam kakawin Negarakartagama tahun 1365 M. Pada bait 5 disebutkan: Yen ring Janggala lok sabha n rpati ring Surabhaya terus ke Buwun. Artinya: Jika di Jenggala ke laut, raja tinggal di Surabaya terus ke Buwun.

Cerita lain menyebutkan Surabaya semula berasal dari Junggaluh, Ujunggaluh atau Hujunggaluh. Ini, terungkap pada pemerintahan Adipati Jayengrono. Kerabat kerajaan Mojopahit ini diberi kekuasaan oleh Raden Wijaya untuk memerintah di Ujunggaluh. Di bawah pemerintahan Jayengrono, perkembangan pesat Ujunggaluh sebagai pelabuhan pantai terus manarik perhatian bangsa lain untuk berniaga di sini.

Suatu keanehan, ternyata sejarah Surabaya ini terputus-putus. Kalau sebelumnya Surabaya dianggap sebagai penjelmaan dari Hujunggaluh atau Ujunggaluh, namun belum satupun ahli sejarah menemukan sejak kapan nama Hujunggaluh itu “hilang” dan kemudian sejak kapan pula nama Surabaya, benar-benar mulai dipakai sebagai pengganti Hujunggaluh. Perkiraan sementara, hilangnya nama Hujunggaluh itu pada abad ke-14.

Mitos Cura-bhaya

Ada lagi sumber lain yang mengungkap tentang asal-usul nama Surabaya. Buku kecil yang diterbitkan PN.Balai Pustaka tahun 1983, tulisan Soenarto Timoer, mengungkap cerita rakyat sebagai sumber penelitian sejarah. Bukunya berjudul: Menjelajahi Jaman Bahari Indonesia “Mitos Cura-Bhaya”. Dari tulisan sepanjang 61 halaman itu, Soenarto Timoer membuat kesimpulan, bahwa hari jadi Surabaya harus dicari antara tahun-tahun 1334, saat meletusnya Gunung Kelud dan tahun 1352 saat kunjungan Raja Hayam Wuruk ke Surabhaya (sesuai Nagarakrtagama, pupuh XVII:5).

Surabaya tidak bisa dilepaskan dari nama semula Hujunggaluh, karena perubahan nama menunjukkan adanya suatu motif. Motif dapat pula menunjukkan perkiraan kapan perubahan itu terjadi. Bahwa Hujunggaluh itu adalah Surabaya yang sekarang dapat diteliti dan ditelusuri berdasarkan makna namanya, lokasi dan arti kedudukannya dalam percaturan negara.

Ditilik dari makna, nama “Hujung” atau ujung tanah yang menjorok ke laut, yakni tanjung, dapat dipastikan wilayah ini berada di pantai. “Galuh” artinya emas. Dalam bahasa Jawa tukang emas dan pengrajin perak disebut: Wong anggaluh atau kemasan seperti tercantum dalam kamus Juynboll dan Mardiwarsito. Dalam purbacaraka galuh sama artinya dengan perak.

Hujunggaluh atau Hujung Emas, bisa disebut pula sebagai Hujung Perak, dan kemudian menjadi “Tanjung Perak” yang terletak di muara sungai atau Kali Emas (Kalimas). Nah, bisa jadi Tanjung Perak sekarang itulah yang dulu bernama Hujung galuh.

Dilihat dari lokasi Surabaya sekarang, berdasarkan prasasti Klagen, lokasi Hujunggaluh itu sebagai jalabuhan. Artinya, tempat bertemu para pedagang lokal dan antarpulau yang melakukan bongkarmuat barang dengan perahu. Diperkirakan, kampung Galuhan sekarang yang ada di Jalan Pawiyatan Surabaya, itulah Hujunggaluh, Di sini ada nama kampung Tembok. Konon tembok itulah yang membatasi laut dengan daratan.

Tinjauan berdasar arti kedudukannya, pada tahun 905, Hujunggaluh tempat kedudukan “parujar i sirikan” (prasati Raja Balitung, Randusari, Klaten). Parujar adalah wali daerah setingkat bupati. Bisa diartikan, bahwa Hujunggaluh pernah menjadi ibukota sebuah daerah setingkat kabupaten, satu eselon di bawah kedudukan “raka i sirikan”, pejabat agung kerajaan setelah raja.

Nah, sejak kapan Hujunggaluh berubah menjadi Surabaya? Mamang, perubahan nama tidak sama dengan penggantian tanggal lahir atau hari jadi. Namun, hingga sekarang belum ada satupun prasasti atau data otentik yang resmi menyebut perubahan nama Hujunggaluh menjadi Surabaya.

Mitos dan mistis sejak lama mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk di Pulau Jawa. Maka mitos Cura-bhaya yang dikaitkan dengan nama Surabaya sekarang ini tentunya dapat dihubungkan pula dengan mitologi dalam mencari hari jadi Surabaya. Perubahan nama dari Hujunggaluh menjadi Surabaya dapat direkonstruksi dari berbagai sudut pandang.

Bencana alam meletusnya gunung Kelud tahun 1334 membawa korban cukup banyak. Peristiwa itu mengakibatkan terjadinya perubahan di muara kali Brantas dengan anaknya Kalimas. Garis pantai Hujunggaluh bergeser ke utara. Timbul anggapan pikiran mistis yang mengingatkan kembali kepada pertarungan penguasa lautan, yakni ikan hiu yang bernama cura, melawan penguasa darat, buaya (bhaya). Dalam dunia mistis kemudian menjadi mitos, bahwa untuk menghentikan pertikaian antara penguasa laut dengan darat itu, maka digabungkan namanya dalam satu kata Cura-bhaya atau sekarang Surabaya.

Mitos ikan dengan buaya ini sudah ada pada abad XII-XIII, sebagai pengaruh ajaran Budha Mahayana melalui cerita Kuntjarakarna. Reliefnya terpahat di dinding gua Selamangleng, Gunung Klotok, Kediri.

Bagaimanapun juga, mitos ikan dan buaya yang sekarang menjadi lambang Kota Surabaya, hanyalah merupakan sepercik versi lokal, tulis Soenarto Timoer. Jadi mitos cura-bhaya, hanya berlaku di Hujunggaluh. Cura-bhaya adalah nama baru pengganti Hujunggaluh sebagai wujud pujian kepada sang Cura mwang Bhaya yang menguasai lautan dan daratan.

Asal-usul Penduduk

Penduduk Surabaya boleh dikatakan berasal dari pendatang. Para pendatang mulai menatap dan mendirikan perkampungan di sekitar pelabuhan dan berkembang sampai ke darat, terutama di pinggir Sungai Kalimas yang merupakan anak Sungai Kali Brantas. Lama kelamaan, nama Ujunggaluh mulai dilupakan, dan namanya berubah menjadi Surabaya di bawah pemerintahan Adipati Jayengrono. Pusat Pemerintahan Adipati Jeyangrono ini diperkirakan di sekitar Kramat Gantung, Bubutan dan Alun-alun Contong saat ini.

Ada temuan sejarah yang mencantumkan pada abad ke-15, bahwa waktu itu di Surabaya sudah terjadi kehidupan yang cukup ramai. Tidak kurang 1.000 (seribu) KK (Kepala Keluarga) bermukim di Surabaya. Orang Surabaya yang dicatat pada data itu umumnya keluarga kaya yang bertempat tinggal di sekitar pelabuhan. Mereka melakukan kegiatan bisnis dan usaha jasa di pelabuhan.

Dari hari ke hari penduduk Surabaya terus bertambah, para pendatang yang menetap di Surabaya umumnya datang melalui laut. Ada yang berasal dari Madura, Kalimantan, Sulawesi dan Sumetera. Di samping ada yang berasal dari daratan Jawa datang terbanyak melalui sungai Kali Brantas dan jalan darat melewati hutan. Tidak hanya itu, para pelaut itu juga banyak yang berasal dari Cina, India dan Arab, serta Eropa.

Warga pendatang di Surabaya itu, hidup berkelompok. Misalnya, mereka yang berasal dari Madura, Kalimantan, Sulawesi atau suku Melayu dari Sumatera, di samping bermukim di pantai, juga banyak yang membangun perumahan di daerah Pabean dan Pegirian. Sedangkan pendatang dari ras Arab banyak bermukim di sekitar Masjid Ampel.

Etnis Cina menempati kawasan Kembang Jepun, Bongkaran dan sekitarnya. Ini terkait dengan dermaga pelabuhan waktu itu berada di sungai Kalimas, di sekitar Jembatan Merah sekarang. Jumlah warga pendatang terus-menerus terjadi, akibat semakin pesatnya kegiatan dagang dan perkembangan budaya di Surabaya.

Pengikut Sunan Ampel

Khusus masyarakat di sekitar Ampel, sebagian besar adalah rombongan yang ikut bersama Sunan Ampel dari wilayah Mojopahit pada abad 14. Berdasarkan Babad Ngampeldenta, Sunan Ampel melakukan aktivitas di Surabaya sekitar tahun 1331 M hingga 1400 M. Jumlah rombongan Sunan Ampel itu berkisar antara 800 hingga 1.000 keluarga.

Dalam buku Oud Soerabaia (1931) karangan GH von Faber, halaman 288 dinyatakan Raden Rahmat pindah bersama 3.000 keluarga (drieduezend huisgezinnen}

Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java (1817), halaman 117 menulis saat kepindahan Raden Rahmad dari keraton Majapahit ke Ampel, ia disertai 3.000 keluarga (three thousand families). Sementara itu menurut Babad Ngampel Denta, jumlah orang yang boyongan bersama Raden Rahmat ke Ampel Surabaya sebanyak 800 keluarga (sun paringi loenggoeh domas). “Domas” menurut S.Prawiroatmodjo dalam buku Bausastra Jawa – Indonesia (1981) artinya delapan ratus.

Sejak berdirinya permukiman di Surabaya, pertumbuhan penduduk berkembang cukup pesat. Ada yang datang melalui laut maupun transportasi melalui sungai. Umumnya yang melewati sungai adalah warga yang datang dari arah Blitar, Madiun, Tulungagung, Kediri dan lain-lainnya. Mojokerto yang merupakan pusat kerajaan Majapahit, menjadikan Surabaya sebagai pelabuhan lautnya. Mereka mendirikan permukiman di sepanjang Kalimas, anak Kali Brantas yang dijadikan poros lalulintas utama saat itu. Kemudian menyebar sampai ke Keputran, Kaliasin, Kedungdoro, Kampung Malang, Surabayan dan Tegalsari.

Setelah koloni dagang dari Eropa yang dimotori bangsa Portugis, Spanyol dan Belanda datang dan menetap di Surabaya, di tahun 1500-an, mereka mendirikan gudang dan tempat tinggal di sekitar pusat pemerintahan Adipati Surabaya, yakni di sekitar Alun-alun Contong, Bubutan, Gemblongan, Blauran, Pasar Besar dan wilayah sekitarnya.

Belanda yang merupakan koloni dagang rempah-rempah terbesar saat itu, mulai membentuk pemerintahan. Tanpa disadari oleh Bangsa Indonesia, Belanda mulai mencengkeramkan “kukunya” di Bumi Pertiwi ini sebagai penjajah. Termasuk di Surabaya.

Jumlah Penduduk

Ketika pemerintahan kota pertama kali dibentuk tanggal 1 April 1906, penduduk Kota Surabaya berjumlah 150 ribu orang lebih. Limabelas tahun kemudian, dalam cacah jiwa atau sensus penduduk tahun 1920, penduduk Surabaya tercatat 192.180 orang. Sepuluh tahun kemudian pada sensus penduduk tahun 1930, warga Kota Surabaya sudah berkembang menjadi 341.675 orang.

Pada zaman Jepang, di bulan September 1943 diselenggarakan cacah jiwa (sensus penduduk) Kota Surabaya (Surabaya Syi). Jumlah penduduk Surabaya waktu itu tercatat 518.729 orang.

Dalam sensus penduduk tahun 1961 tercatat resmi 1.007.945 jiwa dan tahun 1971 naik lagi menjadi 1.556.255 jiwa. Tahun 1980 penduduk resmi yang terdaftar sebagai penduduk Surabaya berkembang menjadi 2.027.913 jiwa dan tahun 1990 naik menjadi 2.473.272 jiwa.

Anehnya, data dari Dinas Kependudukan Kota Surabaya yang dikeluarkan pada bulan Mei 2004, seolah-olah jumlah penduduk Surabaya dari tahun 1990 hingga tahun 1999 “berkurang”. Padahal ini tidak mungkin, justru sebaliknya. Manakah data kependudukan yang akurat? Mustahil penduduk Surabaya berkurang, yang pasti, penduduk Surabaya terus bertambah.

Data resmi yang disajikan memang begitu kenyataannya. Tahun 1999 penduduk Surabaya tercatat 2.406.944 jiwa. Tahun 2000 sebanyak 2.443.558 jiwa, tahun 2001 bertambah jadi 2.473.461 jiwa, tahun 2002 naik lagi jadi 2.504.128 jiwa dan akhir tahun 2003 menjadi 2.656.420 jiwa. Data pada akhir April 2004, warga kota Surabaya berjumlah 2.659.566 jiwa.

Data inipun dikutip oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil berikutnya, yakni saat dikepalai oleh Drs.H.Hartojo. Sama dengan sebelumnya, sensus penduduk tahun 2000, penduduk Surabaya berjumlah 2.443.558 orang.

Secara rinci, dinas kependudukan dalam buku Informasi Kependudukan Kota Surabaya tahun 2004 berturut-turut disebutkan, penduduk Surabaya tahun 2001 sebanyak: 2.473.461 orang, tahun 2002 bertambah jadi: 2.504.128, tahun 2003 tambah lagi menjadi: 2.656.420 orang dan tahun 2004 menjadi: 2.859.655 orang.

Tahun 2006 hingga Agustus, tercatat jumlah penduduk Surabaya: 2.987.456 orang. Pada awal tahun 2007 diperkirakan sudah mencapai 3,3 juta orang.

Dari BPS (Biro Pusat Statistik) lain lagi. Tahun 1992 penduduk Surabaya berjumlah 2.259.283 jiwa, kemudian tahun berikutnya ditulis sebagai berikut: 1993 (2.286359 jiwa), 1994 (2.306.474 jiwa), 1995 (2.339.335 jiwa), 1996 (2.347.520 jiwa), 1997 (2.356.487 jiwa), 1998 (2.373.282 jiwa), 1999 (2.407.146 jiwa), 2000 (2.444.956 jiwa), 2001 (2.599.512 jiwa).

Data tentang jumlah penduduk Kota Surabaya, dalam “Resume” RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kota Surabaya yang diterbitkan Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya, berbeda lagi.

Penduduk Surabaya tahun 2001 hingga 2005, kemudian proyeksi penduduk Surabaya tahun 2006 hingga 2013 adalah sebagai berikut:

Tahun 2001 (2.452.222 jiwa), 2002 (2.471.557 jiwa), 2003 (2.485.761 jiwa), 2004 (2.509.833 jiwa), 2005 (2.528.777 jiwa). Proyeksi tahun 2006 (2.547.586 jiwa), 2007 (2.566.257 jiwa), 2008 (2.584.894 jiwa), 2009 (2.603.258 jiwa), 2010 (2.621.558 jiwa), 2011 (2.639.724 jiwa), 2012 (2.657.766 jiwa) dan tahun 2013 (2.675.671 jiwa).

Umumnya para pejabat dan politisi di Surabaya dewasa ini menyebut angka rata-rata penduduk Surabaya adalah sekitar 3 juta jiwa lebih.

Di samping penduduk tetap, ada penduduk tetap tetapi tidak terdaftar. Di kota Surabaya juga bermukim penduduk musiman. Akhir 2008 jumlahnya mencapai 20 ribu jiwa. Kecuali itu, sebagai sebuah kota dengan kegiatan ekonomi dan pemerintahan di berbagai sektor, ada penduduk siang dan penduduk malam. Penduduk pada siang hari di bisa mencapai 5 sampai 6 juta jiwa. Pada malam hari, penduduk Surabaya sebagian besar pulang dan tidur di Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, Lamongan, Bangkalan, Pasuruan, bahkan di Malang***

*) Yousri Nur Raja Agam MH, Ketua Yayasan Peduli Surabaya