Industri di Surabaya Dulu

Surabaya

“Juga”  Berjuluk Kota Industri


Oleh: HM Yousri Nur Raja Agam *)     

KOTA Surabaya pernah menggunakan julukan sebagai   Kota Indamardi (Industri, Perdagangan, Maritim dan Pendidikan) sebagai salah satu julukan di samping Kota Pahlawan. Memang kegiatan industri di Surabaya bukan hanya hadir sejak zaman penjajahan Belanda. Konon sejak masa kerajaan Majapahit di Surabaya sudah berkembang kegiatan industri. Mulai dari kegiatan pertenunan, pembuatan dokar, perahu, sampai kepada kegiatan pandai besi yang membuat berbagai alat-alat dari logam.

Dengan posisi Surabaya sebagai kota pelabuhan dengan berbagai kegiatan kemaritiman dan perdagangannya, maka kegiatan industri juga berkembang pesat. Nah, kegiatan industri dan perdagangan itulah salah satu penyebab Surabaya ini tumbuh kembang menjadi sebuah kota dengan tingkat hunian yang terus meningkat.

Daya tarik Surabaya semakin tinggi dengan banyaknya kesempatan kerja dan berusaha. Pendatang ke kota Surabaya inipun majemuk. Mulai dari kalangan pengusaha yang ingin menanamkan investasi raksasa, sampai kepada buruh-buruh yang ingin memeras keringat untuk mendapatkan sesuap nasi. Dua kepentingan antara cukong yang punya investasi dan usaha dengan masyarakat kecil yang hanya bermodal dengkul, menyatu menjadi sebuah kegiatan industri.

Di zaman dulu, dengan bukti peninggalan hingga sekarang, kegiatan industri sudah berkembang. Ada kampung bernama Pandean, di sana dulu adalah tempat kegiatan para pandai besi dan industri pengolahan logam. Di kawasan ini dibuat pisau, parang, alat-alat perabot rumahtangga, keperluan pertukangan, sampai kepada perbaikan dokar dan perahu. Pokoknya, macam-macam usaha yang berkaitan dengan tempa menempa besi, ada di kawasan ini.

Ada lagi kampung yang bernama Pecindilan. Asal katanya bukan cindil, tetapi cinde. Artinya, kain batik motif kembang. Di daerah ini kegiatan masyarakat sampai ke rumahtangga adalah bertenun dan membuat kain batik. Sedangkan bahan baku tenun adalah kapas, gudang penimbunan kapas itu terletak di daerah Kapasan sekarang. Tidak jauh dari Kapasan dan Pecindilan ada daerah yang bernama Ngaglik. Asal katanya adalah agel, kemudian berubah menjadi aglik. Artinya alat pembersih kapas untuk kain yang akan ditenun. Konon adanya daerah Ngagel, juga sama asalnya dulu adalah agel.

Masih di sekitar wilayah ini, ada pula kampung bernama Ketabang yang asalnya adalah ketabagan, yang berarti tempat pengrajin gedeg atau anyaman bambu. Bertetangga dengan kampung ini ada kawasan Ondomohen (sekarang Jalan Walikota Mustajab). Kata ini berasal dari gemoh atau gemohen yang artinya kerajinan tangan atau tempat tinggal para pengrajin. Terus ke arah timur ada perkampungan bernama Gubeng. Berasal dari kata gubengan, yaitu kain penutup kepala yang dililitkan, semacam jubah atau serban yang biasa dipakai para kiyai dan santri. Dulu di daerah inilah terdapat kegiatan usaha pembuatan gubengan yang dipergunakan santri-santri murid Sunan Ampel.

Di sekitar kawasan Masjid Ampel, ada kampung pernama Petukangan. Disini dulu adalah tempat tinggal para tenaga kerja bidang pembangunan perumahan atau tukang. Mulai tukang batu, tukang kayu sampai kepada mandor dan pemborong. Masyarakat Surabaya yang ingin mencari pemborong pembangunan perumahan, biasanya datang ke daerah Petukangan itu. Sedangkan para pekerja atau buruhnya banyak terdapat di Pegirian. Pegirian berasal dari kata giri yang artinya pekerja atau buruh.

Itu sebagian kisah tentang Surabaya tempodulu berdasarkan Babad Surabaya. Adanya kisah masa lalu tentang Surabaya dan kegiatannnya itu, memang tidak tertulis, tetapi berkembang menjadi cerita tutur dari mulut ke mulut. Cerita atau dongeng ayah, ibu atau kakek dan nenek kepada anak-cucunya. Itulah yang berkembang sampai sekarang.

Terlepas dari ia atau tidak tentang cerita masa lalu itu, yang jelas Surabaya sejak zaman dulu sudah mempunyai berbagai kegiatan industri dan kerajinan. Kemudian di zaman penjajahan Belanda, kegiatan industri di Surabaya juga berkembang pesat. Pada awal abad ke 17 mulai dibangun berbagai bengkel untuk perbaikan kapal di sekitar Jembatan Merah dan Kalimas. Sebab, waktu itu, kapal dan perahu dagang yang datang ke Surabaya berlabuh di kawasan itu.

Beberapa perusahaan besar yang di Negeri Belanda mulai membuka cabang usahanya di Surabaya. Tahun 1808 didirikan perusahan konstrusi baja bernama Constructie Winkel di Kampementstraat yang sekarang menjadi Jalan KH Mas Mansur. Pabrik dan bengkel baja ini melayani kebutuhan pabrik-pabrik gula yang waktu itu sudah beroperasi di berbagai daerah di Jawa Timur.

Melihat perkembangan perusahaan konstruksi ini, beberapa pengusaha besar dari Belanda juga membuka cabang usahanya di Surabaya. Tahun 1823 berdiri bengkel reparasi kapal bernama NV.Nederland Indische Industrie yang sekarang menjadi PT.Boma Bisma Indra (BBI). Sedangkan BBI itu sendiri adalah gabungan dari perusahaan yang dulunya bernama NV.Boma Stork di Pasuruan, NV Bisma (di Jalan KH Masur) dan NV Indra (di Jalan Ngagel).

Menyusul berdiri pula perusahaan dok kapal di Kalimas tahun 1845. Setahun kemudian, tahun 1846, berdiri pula perusahaan De Volharding atau dikenal juga dengan De Phoenix. Tiga tahun berikutnya (1849)  perusahaan ini dikembangkan ke daerah Ujung sebagai perusahaan dok dan pembuatan kapal. Nah, inilah cikal-bakal PT.PAL Indonesia yang pernah berjaya saat dipimpin oleh  Prof.Dr.BJ.Habibie.

Perkembangan industri lainnya yang kecil-kecil dan menengah juga cukup pesat. Lokasinya paling banyak di sekitar aliran sungai Kalimas. Mulai dari kawasan Wonokromo, Ngagel, sampai daerah Jembatan Merah terus ke Tanjung Perak.

Tahun 1853 didirikan pabrik penggilingan tebu di wilayah Keputran. Daerah itu sekarang dikenal dengan nama Pandegiling. Tidak lama berdiri lagi cabang perusahaan Belanda bernama De Voeharding yang bergerak di bidang mesin pabrik. Lalu muncul pula industri pembuatan ketel uap di daerah Jembatan Merah. Secara bertahap di daerah kosong dan strategis didirikan berbagai kegiatan industri. Ada pabrik es, penggergajian kayu, pembuatan minuman, penyulingan arak dan sebagainya. Pembangunan pabrik-pabrik ini berkembang terus hingga awal abad ke-20.

Ada yang menarik, ternyata sejak zaman dulu warga Surabaya sudah menggemari minuman dingin. Bayangkan, di abad ke-19 itu di Surabaya sudah berdiri empat pabrik es. Ijsfabriek Petodjo atau Pabrik Es Petojo di Jalan Petojo yang dulu bernama Radersmastraad. Tetapi sekarang pabrik es ini sudah dibongkar dan lahannya dibangun gedung rumahsakit swasta. Ada lagi pabrik es NV.Ijsfabrieken Ngagel di Jalan Ngagel, pertigaan masuk kampung Bagong Ginayan. Pabrik es NV.Ijs en Handel Mij di Pasarturi dan NV.Vereenigde Ijsfabriek di Heerenstraat atau Jalan Rajawali sekarang.

Begitu pesatnya perkembangan kegiatan indsutri di Surabaya, pada tahun 1916, Gemeente Soerabaia (Pemerintah Kota Surabaya), mulai melakukan penataan. Kawasan industri dipusatkan di kawasan Ngagel. Beberapa perusahaan besar yang berdiri di sini antara lain NV.Braat yang sekarang menjadi PT.Barata Indonesia, NV.Philips (PT.Philips-Ralin) yang sudah pindah ke Rungkut, NV.BAT (British American Tobacco), perusahaan rokok yang sudah pindah dan sekarang di atas lahannya berdiri apartemen yang terbengkalai. Masih banyak pabrik lain, seperti pabrik sabun Lux dan Pepsodent yang dikelola oleh PT.Unilever. Pabrik gelas PT.Iglas, Pabrik Kamajaya Tex, Perusahan Makanan dan Minuman, serta Pabrik Bir Bintang yang sekarang juga sudah pindak ke Mojokerto.

Selain di kawasan Ngagel, juga berkembang kegiatan industri di daerah Kenjeran, Wonocolo dan Tandes. Terakhir beberapa perusahan dan pabrik besar itu pindah dan sudah menempati lokasi khusus kawasan industri Rungkut atau SIER (Surabaya Industrial Estate Rungkut) dan Margo Mulyo. ***

*) HM Yousri Nur Raja Agam, wartawan senior di Surabaya.

Surabaya Kota Pendidikan

Yousri Nur RA MH

Yousri Nur RA MH

Surabaya Juga Berjuluk

Kota Pendidikan

Oleh: Yousri Nur Raja agam M.H. *)

SURABAYA yang berjuluk Kota Pendidikan, sebagai penjabaran dari Indamardi (Industri, Perdagangan, Maritim dan Pendidikan) atau Budi Pamarinda (Budaya, Pendidikan, Pariwisata, Maritim, Industri dan Perdagangan), memang layak. Tidak dapat dipungkiri, bahwa sejak kelahiran Surabaya, telah berkembang berbagai macam pendidikan di kota ini.

Sejarah pendidikan di Surabaya, cukup panjang. Usianya juga hampir sama dengan usia Kota Surabaya. Pengertian pendidikan cukup luas dan pendidikan itu juga sudah ada sejak zaman prasejarah. Di mana kedua orangtua, ayah dan ibu serta lingkungan keluarga berperan sebagai guru. Pendidikan berkembang di sekitar keraton dengan munculnya empu sebagai guru.

Nah, di Surabaya sebagai tempat bermukim berbagai suku, etnis dan agama, bentuk pendidikan juga mengandung corak yang beragam. Berawal dari sistem pendidikan zaman Hindu dan Budha, lalu berkembang ke pendidikan cara Islam dan model pendidikan zaman Belanda sampai alam merdeka sekarang ini. Dari urut-urutan sejarah pendidikan itu, Surabaya sudah memerankannya sejak awal. Khususnya saat awal kelahiran Surabaya, berkembang pendidikan Islam yang digurui oleh Raden Rahmat atau Sunan Ampel.

Pendidikan model pesantren yang dikembangkan Sunan Ampel telah membuat Surabaya sebagai pusat pendidikan di Tanah Jawa. Dari Surabaya segala macam ajaran dikembangkan melalui delapan sunan lainnya yang tergabung dalam Wali Songo. Sebagai sunan tertua, Sunan Ampel menjadi mahaguru di kalangan sunan dan para pengikut ajaran Islam waktu itu. Keberhasilan Sunan Ampel membina pendidikan umat, mempunyai daya tarik pula bagi daerah lain untuk menimba ilmu dari Surabaya. Inilah awal, Surabaya melandasi keberadaannya sebagai kota pendidikan

Surabaya bak menara gading tempat membina para cendekiawan dan kaum intelektual. Jumlah penduduk Surabaya terus bertambah, selain menimba pendidikan, juga meningkatkan kehidupan melalui dunia industri, perdagangan dan maritim.

Zaman berubah dan musimpun berganti. Kemudian Indonesia memasuki era penjajahan Kolonial Belanda. Di sini, di samping berkembangnya kegiatan ekonomi, kegiatan meningkatkan diri dalam dunia pendidikan juga bermunculan. Kalau masyarakat pribumi sudah dilandasi ilmu pengetahuan yang berkiblat ke Islam, maka tahun 1820, Belanda mendirikan ELS (Europeesche Lagere School) di Surabaya.

ELS adalah sekolah tingkat rendah yang lama pendidikannya 7 tahun. Tidak hanya anak-anak Balanda yang sekolah di ELS, tetapi juga banyak kaum pribumi dari golongan ningrat dan priyayi. Sekolah lanjutan tingkat menengah baru ada setengah abad kemudian, yakni berdirinya HBS (Hogere Burger School) di Surabaya tahun 1875 dengan lama pendidikan 5 tahun. Pada tahun 1893, sekolah untuk penduduk pribumi dipecah menjadi dua jenis. Yang pertama disebut Sekolah Dasar Kelas Satu (De Scholen der eeste Klasse) untuk putera-putera bangsawan tinggi dan Sekolah Dasar Kelas Dua (De Scholen der tweede Klasse) untuk anak-anak bumiptera biasa.

Berkembangnya kegiatan indsutri dan perkebunan di wilayah Jawa Timur, menurut buku Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Timur yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) Jawa Timur 1986, maka berdirilah berbagai jenis pendidikan di Surabaya. Sekolah tukang yang berdiri di Surabaya ini menghasilkan tenaga tukang dan buruh yang mampu mengoperasikan mesin-mesin pabrik. Selain di Surabaya, pada tahun 1878 Pemerintah Belanda mendirikan Sekolah Raja (Hoofen School) di Probolinggo yang dikhususkan untuk anak-anak bumiputera keturunan bangsawa untuk dijadikan pegawai administrasi pendidikan. Sekolah ini berkembang menjadi OSVIA (Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren) tahun 1900 dan kemudian berubah menjadi MOSVIA (Middelbare Opleidings School voor Inlandsche Ambtenaren).

Saat Pemerintahan Kota Surabaya mulai terbentuk, dunia pendidikan menengah sudah mulai berkembang. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan, pada tahun 1913 didirikan Sekolah Dokter Hindia atau NIAS (Nederlands Indische Artsen School) di Surabaya. Inilah cikal bakal Universitas Airlangga (Unair) sekarang ini.

Selain ada sekolah rendah ELS, juga ada HIS (Hollandsch Inlandsche School) dan sekolah menengah umum setingkat SMP, seperti MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) dan setingkat SMU, yakni: HBS (Hoogere Burgere School). Sekolah persiapan untuk memasuki pendidikan tinggi, di antaranya: AMS (Algemene Middelbare School) dan VHO (Voorbereidend Hoger Onderwijs). Sedangkan untuk sekolah kejuruan, cukup banyak, seperti: MHS (Middelbare Handels School) atau sekolah dagang menengah dan STOVIT (School tot Opleiding van Indische Tandartsen) atau Sekolah Kedokteran Gigi. Ada lagi pendidikan teknik bernama Koningen Emma School (KES) dan MTS (Middelbare Technische School).

Untuk mengimbangi perkembangan penduduk dan tumbuhnya berbagai jenis sekolah, terutama yang didirikan kaum pribumi yang beragama Islam, Pemerintah Kolonial Belanda mulai mendirikan sekolah-sekolah Kristen. Ada yang dilakukan pihak Zending untuk Kristen Protestan dan pihak Missie untuk Roma-Katholik.

Di Surabaya lebih banyak sekolah didirikan oleh Missie yang mendirikan sekolah-sekolah dasar. Seperti: SD St.Aloysius tahun 1862, SD St.Angela tahun 1863, SD Stela Ursula tahun 1864. Awalnya yang diterima di sekolah ini adalah anak-anak orang kaya, tetapi lambat laun juga menerima anak-anak orang biasa.

Melihat perkembangan pendidikan di Surabaya pada awal abad 20 itu, gaya pendidikan di Indonesia sudah mengenal gaya Barat. Namun perkembangan untuk pendidikan yang dikelola pribumi atau bumiputera, tetap masih pada pendidikan rendah yang menggunakan bahasa daerah atau Indonesia. Sementara pendidikan menengah dan tinggi menggunakan bahasa pengantan bahasa Belanda.

Sebagai reaksi terhadap sistem pendidikan semacam itu, maka lahirlah pendidikan nasional di kalangan pribumi. Misalnya tahun 1925 lahir lembaga pendidikan Taman Siswa Cabang Surabaya. Begitu pula organisasi-organisasi pergerakan Islam, seperti NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah juga meningkatkan pendidikan umum, selain tetap mengembangkan pendidikan model pesantren.

Namun sistem pendidikan yang membedakan pengajaran model Barat dan pribumi itu berakhir setelah Jepang berkuasa di Indonesia. Pada waktu itu, hanya ada satu jenis sekolah untuk semua lapisan masyarakat, yakni SR (Sekolah Rakyat) 6 tahun (Kakumin Gakko), SMP (Sekolah Menengah Pertama) 3 tahun (Shoto Chu Gakko) dan SMT (Sekolah Menengah Tinggi) 3 tahun (Koto Chu Gakko). Sedangkan sekolah guru ada tiga macam, yakni: Sekolah Guru 2 tahun, Sekolah Guru 4 tahun dan Sekolah Guru 6 tahun.

Pada zaman Jepang ini pendidikan NIAS di Surabaya dihapus dan digabungkan ke Ika Daigaku (semacam Perguruan Tinggi Kedokteran) di Jakarta. Sedangkan STOVIT berlangsung terus dengan nama Shika Gaku. Tujuan pendidikan di zaman ini adalah menghasilkan manusia yang dapat membantu bangsa Jepang dan Asia Timur Raya. Itulah sebabnya ideologi Hakko Ichiu (kemakmuran bersama) dan Hoko Seishin (semangat kebaktian) merupakan isi pengajaran utama dan pendidikan. Kendati demikian, upaya Pemerintah Jepang menanamkan semangat kebaktian rakyat melalui jalur pendidikan gagal, karena proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945.

Setelah kemerdekaan RI, di Surabaya kegiatan pendidikan terus berkembang dan maju. Berbagai lembaga pendidikan peninggalan Belanda dan Jepang segera menyesuaikan dengan ketentuan yang ditetapkan Pemerintah RI.

Presiden Pertama

Kota Surabaya, pernah menghasilkan anak didik yang kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia yang pertama. Dialah Soekarno atau biasa disapa Bung Karno.

Bung Karno bersekolah di HBS (Hoogere Burger School) yang sama dengan SMU atau SMA ini mulai tahun 1916 dan lulus tahun 1921, tepatnya 10 Juni 1921. Awalnya HBS memang hanya dikhususkan untuk anak-anak Belanda yang ada di sini. Mata pelajaran dan ijazahnya sama dengan HBS yang ada di Negeri Belanda. Namun kemudian, anak-anak pribumi pilihan dan keturunan bangsawan atau ningrat dapat masuk di HBS ini.

HBS di Surabaya yang berdiri tahun 1875, tergolong sebagai sekolah menengah tertua di daerah jajahan Belanda setelah Koning Willem III (KW III) di Jakarta yang waktu itu masih bernama Batavia. HBS. Berdirinya sekolah yang setaraf dengan di Negeri Belanda itu tidak lepas dari politik pintu terbuka (open deur politiek) pihak Belanda waktu itu.

Dalam buku Oud Soerabaia yang ditulis Von Faber, semula HBS itu menempati gedung Instituut Buys yang terletak di ujung Jalan Baliwerti dan Alun-alun Contong. Gedung ini kemudian dimiliki oleh Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Pada tahun 1881, HBS dipindah ke gedung bekas rumah kediaman bupati Surabaya, yang sekarang digunakan sebagai Kantor Pos Besar di Jalan Kebunrojo Surabaya.

Tahun 1923, HBS dipindah ke Jalan Wijayakusuma yang di zaman Belanda bernama HBS Straat. Selain Bung Karno, di HBS ini juga menuntut ilmu tokoh Surabaya, Prof.Dr.H.Roeslan Abdulgani.

Saat Bung Karno sekolah di HBS, dia tinggal di rumah tokoh Sarekat Islam, Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Di rumah di Jalan Peneleh VII/29 Surabaya itu, bukan hanya sebagai tempat kos pemuda Soekarno. Di rumah itu pula ia digembleng oleh HOS Tjokroaminoto sebagai calon orator dan politikus ulung.

Tidak hanya itu, Bung Karno juga menjadikan puteri HOS Tjokroaminoto, bernama Utari, sebagai isterinya yang pertama. Kemudian, Bung Karno melanjutkan sekolahnya ke Bandung. Ia masuk ITB, serta di kota ini pula Bung Karno meneruskan aktivitasnya di bidang politik. ***

*) Yousri Nur Raja Agam M.H. adalah Ketua Yayasan Peduli Surabaya.