Oleh: H.M.Yousri Nur Raja Agam
BEBERAPA tahun lalu sebagian warga kota dan pejabat di Pemerintahan Kota (Pemkot) Surabaya, “pernah bermimpi”, akan menjadikan Kota Surabaya sama dengan Jakarta. Kota Surabaya dan sekitarnya akan menjadi sebuah provinsi yang dikapelai oleh seorang gubernur. Kalau Jakarta dikenal dengan sebutan Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Raya, maka Surabaya yang juga sebagai kota besar kedua setelah Jakarta akan menggunakan nama “Surabaya Raya”.
Mimpi itu memang belum pernah menjadi kenyataan. Bahkan, perwujudan Surabaya menjadi satu kesatuan dengan wilayah sekitar yang dikenal dengan Gerbang Kertosusila (Gresik, Bangkalan, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan) juga belum jelas. Koordinasi antarpemerintahan Gerbang Kertosusila yang awal tahun 1980-an begitu gencar menghadapi tahun 2000, sekarang terlihat sirna.
Pada era reformai sekarang, gairah membangun dan koordinasi antarwilayah bertetangga, kelihatannya tenggelam oleh apa yang disebut otonomi daerah. Masing-masing kota dan kabupaten berjalan sendiri-sendiri tanpa menganggap perlu ‘kulonuwun’ kepada pemerintahan provinsi. Sebab, memang begitu aturannya. Pemerintahan provinsi yang dipimpin gubernur sejak ditetapkannya Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang otonomi daerah (otda) bukan lagi atasan para bupati dan walikota.
Ternyata UU No.22 tahun 1999 tidak berumur panjang. UU ini diganti dengan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pertimbangan UU No.32 tahun 2004 itu dinyatakan bahwa UU No.22 tahun 1999 tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah.
Kalau masing-masing kepala pemerintahan kota dan kabupaten, seperti juga kota Surabaya, tidak peduli lagi dengan wilayah tetangga, apakah ‘mimpi’ menjadikan Surabaya sebagai Provinsi Surabaya Raya dapat diwujudkan? Dan apakah masih perlu ‘mimpi’ 20 tahun yang silam itu bakal menjadi kenyataan? Memang, dampak pelaksanaan UU No.22/1999 tentang otda itu di berbagai daerah cukup beragam. Terjadi pemekaran wilayah. Kalau sebelumnya provinsi di Indonesia ini ada 27 provinsi termasuk Timor Timur, sekarang setelah Timor Timur terlepas dari pemerintahan Republik Indonesia, provinsinya justru bertambah menjadi 32 provinsi. Kabupaten dan kota juga bertambah, begitu juga pemekaran kecamatan. Umumnya pembentukan provinsi baru merupakan pemekaran dari pemisahan bekas keresidenen. Di samping itu, juga ada yang berasal dari kabupaten yang wilayahnya luas. Contohnya Provinsi Banten, Gorontalo, Maluku Utara, Bangka Belitung, Irian Jaya Barat, Kepulauan Riau dan Sulawesi Barat.
Pernah Diajukan Moehadji Widjaja
Nah, Kota Surabaya juga mengalami hal yang sama. Kalau sebelumnya di Surabaya ini terdapat 28 kecamatan, terjadi penambahan akibat pemekaran menjadi 31 kecamatan dengan jumlah kelurahan tetap 163. Kendati demikian, pemerintahan kota ini berubah strukturnya. Kota Surabaya yang pernah dibagi menjadi lima wilayah: Surabaya Pusat, Surabaya Utara, Surabaya Selatan, Surabaya Timur dan Surabaya Barat, yang masing-masing wilayah dikepalai Pembantu Walikota, kini kembali hanya di bawah satu tangan, walikota.
Saat Kota Surabaya – waktu itu disebut Kotamadya – dibagi menjadi lima wilayah, gambaran Surabaya akan menjadi sebuah provinsi mulai terasa. Para kepala wilayah yang disebut Pembantu Walikota itu, hanya selangkah lagi menjadi walikota. Apalagi, keinginan menjadikan Surabaya terbagi menjadi kota-kota administratif itu sudah pernah diusulkan Walikota Surabaya Drs.Moehadji Widjaja kepada Gubernur Jatim Soenandar Projosoedarmo tanggal 23 Oktober 1979. Surat itupun diteruskan oleh gubernur Jatim kepada Mendagri tanggal 29 November 1979.
Pada akhir tahun 1979 ini Kota Surabaya masih terbagi tiga wilayah: Surabaya Utara, Surabaya Timur dan Surabaya Selatan. Waktu itu, perubahan status wilayah kerja Pembantu Walikota menjadi kota-kota administratif benar-benar menjadi impian pejabat Pemkot Surabaya, karena jabatan walikota administratif adalah jabatan karir tertinggi di bawah Sekwilda (Sekretaris Wilayah Daerah) – sebutan waktu itu sebelum diganti menjadi Sekretaris Kota (Sekkota) sekarang ini.
Ternyata impian para “walikota-walikota kecil” – istilah untuk para pembantu walikota atau kepala wilayah – di Surabaya itu benar-benar pupus. Apalagi, dengan berlakunya UU No.22/1999 tentang Otda, sebutan kota administratif dihapus. Kini Kota Surabaya, tanpa pembagian wilayah, strukturnya dari walikota langsung kepada 31 camat dan masing-masing camat membawahkan lurah yang tersebar di 163 kelurahan.
Kalau ditelusuri bentuk pemerintahan kota Surabaya ini ke belakang, memang asyik dijadikan bahan kajian. Walaupun Surabaya dinyatakan lahir 711 tahun yang lalu, pemerintahan kota sendiri baru dibentuk secara resmi tanggal 1 April 1906 oleh Pemerintahan Hindia Belanda dengan sebutan Gemeente Surabaia, berdasarkan Instellings Ordonantie Staatblad 1906 nomor 149.
Waktu itu luas kekuasaan kepala Gemeente Surabaya yang semula dirangkap Asisten Residen Afdeling (Kabupaten) Surabaya, hanya 103 kilometer per-segi atau sama dengan luas ibukota Keresidenan Surabaya. Sepuluh tahun kemudian, tahun 1916, barulah ditetapkan kepala pemerintahan kota pertama untuk Kota Surabaya yang disebut Burgermeester atau walilkota, yakni: Mr.A.Meyroos.
Silih berganti pemerintahan kota dijabat oleh orang Belanda, sampai digantikan oleh Shi Tyo (walikota) bangsa Jepang, Takahashi Ichiro tahun 1942-1945 dengan wakil walikota, Radjamin Nasution. Setelah penjajah Jepang kalah, dalam pemerintahan Indonesia merdeka, jabatan walikota dipegang oleh bangsa Indonesia sendiri. Walikota Surabaya yang pertama adalah: Radjamin Nasution gelar Sutan Komala Pontas. Saat Belanda berkuasa kembali, selama dua bulan pemerintahan kota Surabaya sempat dipegang oleh kepala urusan Haminte, Mr.OJS Becht. Setelah itu, walikota Surabaya berturut-turut diganti oleh Mr.Indrakoesoema, Mr.Soerjadi, Doel Arnowo, Moestadjab Soemowidigdo, R.Istidjab Tjokrokoesoemo, Dr.R.Satrio Sastrodiredjo, Murachman SH, R.Soekotjo, HR Soeparno, Drs.Moehadji Widjaja, dr.H.Poernomo Kasidi, H.Sunarto Sumoprawiro dan sekarang Drs.Bambang Dwi Hartono, MPd.
Provinsi Surabaya Raya
Gagasan “besar” memisahkan Surabaya dari Jawa Timur dan membentuk provinsi sendiri, sangat dimungkinkan. Payung hukumnya kuat, yakni Undang-undang No.22 tahun 1999 maupun Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Untuk itu, ada baiknya perkembangan Surabaya dari dulu hingga sekarang dapat dijadikan kajian.
Dulu, di awal kemerdekaan Republik Indonesia, bentuk pemerintahan kota Surabaya sampai akhir tahun 1960, disebut Kota Besar Surabaya. Waktu itu masih satu kewedanaan dengan 6 kaonderan dengan luas wilayah 6.720 hektar. Kaonderan itu adalah: Nyamplungan, Krembangan, Kapasan, Kranggan, Ketabang dan Kupang. Di bawah enam kaonderan itu terdapat pemerintahan terendah berupa 36 lingkungan.
Berdasarkan Keputusan Mendagri No.PEM.20/3/15-17 tanggal 31 Oktober 1960, Kota Surabaya yang luasnya masih 6.720 hektar itu dibagi menjadi tiga kewedanaan dan 11 kaonderan. Kewedanaan itu adalah Surabaya Barat, yang membawahi 4 Kaonderan, yakni: Krembangan, Semampir, Pabean Cantikan dan Bubutan. Kewedanaan Surabaya Timur, terdiri dari 3 Kaonderan, yaitu: Simokerto, Tambaksari dan Gubeng. Kewedanaan Surabaya Selatan dengan 4 Kaonderan, yakni: Genteng, Tegalsari, Sawahan, Wonokromo.
Pada tahun 1965 terjadi perubahan luas wilayah Kota Besar Surabaya menjadi 29.178 hektar. Sesuai dengan Undang-undang No.2 tahun 1965, lima kecamatan yang semula masuk wilayah Kabupaten Surabaya (sekarang bernama Kabupaten Gresik), dimasukkkan menjadi wilayah Kota Surabaya. Ke lima kecamatan itu adalah: Tandes, Rungkut, Wonocolo, Sukolilo dan Karangpilang.
Dengan penambahan luas dan kecamatan dari “jabakota” – istilah untuk kecamatan di pinggir (luar) kota Surabaya – itu, maka sebutan kaoderan di Kota Besar Surabaya berubah menjadi kecamatan. Sebutan Surabaya berubah dari Kota Besar menjadi Kotamadya. Tahun 1968, Walikotamadya Surabaya, R.Soekotjo, dengan SK No.677/K tanggal 9 Oktober 1968 membagi Kotamadya Surabaya menjadi 16 kecamatan dan 38 lingkungan.
Gubernur Jawa Timur dengan Surat Keputusan No.PEM/128/22/SK/Ds. Tanggal 13 Maret 1975 membagi wilayah Daerah Tingkat II Kotamadya Surabaya menjadi 3 wilayah kerja Pembantu Walikotamadya, 16 kecamatan, 103 desa dan 60 kelurahan yang berasal dari pemekaran 38 lingkungan. Kemudian, berdasarkan UU No.5 tahun 1974, istilah sebutan desa di dalam Kotamadya Surabaya diubah menjadi kelurahan, sehingga jumlah kelurahan di Surabaya menjadi 163 kelurahan.
Perkembangan pembangunan yang terus meningkat dan penduduk terus bertambah, maka Surabaya dikembangkan lagi menjadi 5 wilayah kerja pembantu Walikota, yakni: Surabaya Utara, Surabaya Selatan, Surabaya Timur, Surabaya Barat dan Surabaya Pusat. Dari 16 kecamatan pada tahun 1978, pemekaran terus terjadi, hingga sekarang di Kota Surabaya menjadi 31 kecamatan. Berdasarkan Undang-undang No. 22 tahun 1999, tidak ada lagi sebutan pembagian wilayah yang dikepalai pembantu walikota. Dan ke 31 camat itu langsung berada di bawah komando walikota. Istilah Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya (Pemda Tk.II Kodya), juga diubah menjadi Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya.
Pembangunan yang cukup gencar di masa Orde Baru, dengan cepat mengubah bentuk Surabaya sebagai “Kota Metropolitan”. Daya tarik penduduk dari luar kota berurbanisasi ke kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta ini sulit dibendung. Apalagi peningkatan aktivitas sektor ekonomi memang membutuhkan banyak Sumber Daya Manusia (SDM) dalam berbagai tingkatan dan profesi.
Kota Surabaya yang berjuluk Kota Pahlawan ini benar-benar semakin memperlihatkan fungsinya sebagai Kota Indamardi (Industri, Perdagangan, Maritim dan Pendidikan). Jumlah penduduknya yang mencapai 3 juta jiwa itu, pada siang hari bisa menjadi dua kalilipat, karena kegiatan ekonomi dan kunjungan masyarakat dari luar Surabaya.
Untuk menjaga keseimbangan dengan kawasan sekitar Surabaya, maka jauh-jauh hari di awal tahun 1980-an Pemerintah Kota Surabaya bersama Pemerintah Provinsi Jawa Timur sudah merancang filter urbanisasi. Daerah sekitar Kota Surabaya dikoordinasikan dalam kegiatan pembangunan sarana dan prasarana wilayah. Mulai dari pembangunan jalan beserta utilitas pendukungnnya. Koordinasi antar instansi di Pemprov Jatim dengan Pemkot Surabaya, Pemkab Gresik, Sidoarjo, Mojokerto, Lamongan dan Bangkalan terus ditingkatkan.
Akhirnya terwujudlah apa yang dinamakan dengan wilayah Gerbang Kertosusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan). Ke lima kabupaten di sekeliling Surabaya ini menjadi penyangga kepadatan penduduk dan aktivitas di Kota Surabaya. Kegiatan ekonomipun kemudian berkembang di wilayah sekitar ibukota provinsi Jawa Timur ini. Peningkatan grafik yang terjadi di wilayah Gerbang Kertosusila ini, justru mengundang pendatang baru dari berbagai daerah. Tidak hanya dari wilayah Jawa Timur dan Jawa bagian Tengah, tetapi juga dari wilayah Indonesia bagian Timur.
Penduduk Kota Surabaya ditambah dengan lima wilayah yang disebut Gerbang Kertosusila ini mendominasi hampir 30 persen penduduk Jawa Timur, atau sekitar 12 juta jiwa. Tanpa adanya koordinasi dan pengaturan bersama kegiatan ekonomi dan pembangunan di wilayah ini, dapat berakibat terjadinya ketidakseimbangan. Apabila merujuk kepada sistem pemerintahan berdasarkan Undang-undang No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.32 tahun 2004, bisa terjadi kompetisi tidak sehat antara satu wilayah dengan wilayah tetangga.
Berkaca kepada wilayah lain di Indonesia, ternyata rakyat dan pemerintahan daerahnya sangat cepat mengantisipasi kenyataan. Salah satu di antaranya, adalah pemekaran wilayah dengan pembentukan provinsi baru. Kalau sebelum tahun 2000, wilayah Indonesia masih terdiri 27 provinsi termasuk Timor Timur, sekarang ini tanpa Timor Timur justru Indonesia memiliki 33 provinsi.
Di Sumatera, lahir dua provinsi baru, yakni Provinsi Babel (Bangka-Belitung) dan Provinsi Kepri (Kepulauan Riau). Jawa Barat melepas eks Keresidenan Banten menjadi Provinsi Banten, begitu pula dengan Sulawesi Utara, melepas wilayah Gorontalo menjadi provinsi sendiri. Provinsi Maluku dibagi dua: Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara. Hal yang sama terjadi pula di Irian Jaya. Dari rencana membentuk tiga provinsi, di sana sudah lahir Provinsi Papua dan Provinsi Irian Jaya Barat. Sulawesi Selatan juga membagi wilayahnya dengan Provinsi Sulawesi Barat.
Dan, saat ini di Provinsi Jawa Barat, sedang terjadiupaya pembentukan Provinsi Bodebek, yakni gabungan kabupaten dan kota Bogor, Kota Depok, kabupaten dan kota Bekasi. Rencana Provinsi Bodebek ini, untuk mengimbangi pembangunan yang demikian pesat dari tetangga wilayahnya, Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Raya.
Jawa Timur Pecah Lima
Bahkan wacana mendirikan provinsi baru juga merebak di Jawa Timur. Seperti ada keinginan sebagian warga Madura memisahkan diri, menjadikan Pulau Madura sebagai provinsi. Juga ada gagasan mendirikan Provinsi Jawa Selatan di wilayah Mataraman. Provinsi ini akan menggabungkan eks keresidenan Madiun di Jatim dengan eks keresidenen Surakarta di Jawa Tengah. Ada lagi yang bakal bernama Provinsi Jipang Panolan di Jawa Utara, yang meliputi gabungan eks keresidenan Bojonegoro di Jatim dengan eks keresidenen Jepara di Jawa Tengah.
Berpijak dan berpandangan kepada kepentingan masa depan yang lebih jauh, maka impian atau gagasan pembentukan Provinsi Surabaya Raya yang pernah diajukan ke Mendagri tahun 1979 lalu tentu layak untuk dipertimbangkan kembali. Anggota DPRD Provinsi Jawa Timur dan DPRD Kota Surabaya, serta DPRD kabupaten sekitar Surabaya dalam wilayah Gerbang Kertosusila tentu perlu mengembangkan cakrawala pandangnya demi masa depan bangsa.
Apakah kelak yang bakal dibentuk itu namanya Provinsi Surabaya Raya atau Gerbang Kerto Susila, atau bisa juga menjadi Provinsi Suramadu (Surabaya-Madura). Sebab, untuk membentuk Provinsi Madura sendiri masih ditemui banyak kendala. Nah, bukan tidak mungkin, dengan terwujudnya jembatan penyeberangan laut dari Surabaya ke Madura, wilayah ini semakin menyatu.
Namun bagaimanapun juga, semua itu perlu perencanaan yang matang dalam segala segi.
Wacana pemekaran Jawa Timur menjadi lebih dari satu provinsi, awal tahun 2006 menggeliat kembali. Dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Jawa Timur, sepeti diungkap oleh Ir.Edy Wahyudi, ketua Pansus RTRW DPRD Provinsi Jawa Timur, ada rencana untuk memindahkan pusat pemerintahan Provinsi Jawa Timur ke Pandaan, Pasuruan. Andaikata ini terwujud, maka proses pembentukan Surabaya dan sekitarnya menjadi provinsi akan semakin licin.
Kabupaten dan Kota yang direncanakan masuk ke Provinsi Surabaya Raya adalah: Kota Surabaya, Kabupaten Gresik, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto dan Kota Mojokerto.
Tidak hanya wacana Surabaya Raya yang bakal menjadi provinsi, Madura dengan kepulauannya sampai ke perbatasan Selat Makasar, juga akan mendirikan Provinsi Madura. Ada empat kabupaten di Pulau Madura, yaitu: Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep.
Demikian pula halnya dengan kabupaten dan kota di wilayah “Mataraman”. Kabupaten dan Kota eks Keresidenan Madiun (Kabupaten Madiun, Kota Madiun, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Magetan, Kabupaten Pacitan dan Kabupaten Ngawi) juga sedang menjajaki untuk mendirikan provinsi sendiri, memisahkan diri dari Jawa Timur. Namanya Provinsi Jawa Selatan.
Provinsi Jawa Selatan ini tidak hanya kabupaten dan kota di eks Keresidenan Madiun saja, tetapi bergabung pula dengan sepuluh kabupaten dan kota di Jawa Tengah yang bertetangga dengan Jawa Timur. Kabupaten dan kota itu adalah: Kabupaten Wonogiri, Kota Wonogiri, Kabupaten Sukoharjo, Kota Sukoharjo, Kabupaten Karanganyar, Kota Karanganyar, Kabupaten Surakarta, Kota Surakarta, Kabupaten Sragen dan Kota Sragen.
Seandainya nanti ada pemekaran Jawa Timur menjadi Provinsi Surabaya Raya, Provinsi Madura, Provinsi Jawa Selatan dan Provinsi Jipang Panolan (Jawa Utara), maka Kabupaten dan Kota di Jawa Timur akan berkurang dari 38 Kabupaten dan Kota. ***
Filed under: UMUM | Tagged: Gerbang Kertosusilo, Surabaya Raya, UMUM | Leave a comment »