Tragis! Sukarno Hatta “Cerai Paksa” di Kota Pahlawan Surabaya

RENUNGAN DI HARI PAHLAWAN

Tragis!

Dwi Tunggal Sukarno-Hatta

Cerai Paksa di Kota Pahlawan

 

Yousri Nur RA, MH.

 

Oleh: HM Yousri Nur Raja Agam *)

 

 

DULU di bebarapa media, berulangkali saya menulis judul: “Ironis! Kota Pahlawan Miskin Nama Pahlawan” atau “Ironis Nama Sukarno-Hatta Belum Diabadikan di Kota Pahlawan”, dan beberapa judul lagi yang senada.

Memang, di Indonesia, hanya Kota Surabaya satu-satu yang berjuluk Kota Pahlawan, namun perwujudan makna kepahlawanan itu sangat dangkal. Kepahlawanan hanya diterjemahkan dari peristiwa heroik yang terjadi di sekitar tanggal 10 November 1945 yang membawa korban jiwa terhadap ribuan Arek Suroboyo.

Padahal, seyogyanya, pengertian pahlawan itu diwujudkan dengan menjadikan Kota Surabaya ini sebagai “kamus kepahlawanan”. Surabaya dapat dijadikan sebagai museum kepahlawanan yang berskala nasional. Bahkan, kalau memungkinkan diangkat menjadi “Kota Pahlawan Internasional”.

Dalam sejarah, “tewas”-nya salah seorang pimpinan militer Inggeris, Jenderal Mallaby, bagi kita merupakan suatu “kemenangan”. Tetapi, bagi sekutu, dia adalah pahlawan yang “gugur” dalam kancah berjuang demi negaranya dan kepentingan dunia internasional

Suatu hal yang sangat memprihatinkan, adalah kurangnya minat dan perhatian para petinggi di Kota Surabaya ini untuk menampung aspirasi warganya. Salah satu di antaranya, ialah usul-usul warga untuk sebanyak mungkin mangabadikan nama-nama pahlawan di Surabaya. Terlalu berbelitnya prosedur untuk memberi nama pahlawan pada suatu jalan. Bahkan, sangat tidak mudah mengganti nama jalan yang sudah ada dengan nama jalan baru.

Dengan berbagai upaya dan cara, saya sebagai penulis di beberapa suratkabar dan majalah yang terbit di Indonesia, mengungkap kehebatan Surabaya sebagai Kota Pahlawan. Di sana saya menyinggung, sikap abai para petinggi di kota ini untuk menyesuaikan diri dengan julukan Kota Pahlawan itu. Apalagi, sangat lambannya keinginan untuk mengabadikan nama Dwitunggal Sukarno-Hatta selaku Pahlawan Nasional Proklamator Kemerdekaar Repubilik Indonesia di kota kelahiran Bung Karno ini.

Monumen Dwitunggal Sukarno-Hatta di gerbang Taman Tugu Pahlawan Surabaya.

Kendati kemudian terwujud pemberian nama Jalan Sukarno-Hatta untuk jalan baru lingkar timur bagian tengah atau MERR (Midle East Ring Road), di akhir masa jabatan Walikota Surabaya, Bambang DH.  DPRD Kota Surabaya, pada sidang paripurna 17 April 2010 menyetujui nama Jalan Sukarno-Hatta sejak dari pertigaan Jalan Kenjeran menuju ke selatan sampai ke perbatasan Surabaya-Sidoarjo. Peraturan Walikota Surabaya ditandatangani oleh Walikota Surabaya “yang baru” Ir.Tri Rismaharini yang menggantikan Bambang DH tanggal 24 November 2010.

Saya sebagai penulis yang sudah berulangkali menulis artikel dan kritikan ini merasa gembira. Ternyata walikota perempuan pertama di Kota Surabaya ini juga sangat peduli kepada Proklamator kemerdekaan RI itu. Bahkan, secara resmi mengeluarkan Surat Keputusan Walikota Surabaya, memberi nama jalan sejak dari pertigaan Jalan Kenjeran ke selatan sepanjang jalan MERR itu sampai ke perbatasan Surabaya dengan Kabupaten Sidoarjo.

Keputusan Walikota Surabaya Nomor 188.45/501/436.1.2/2010 itu menetapkan  tentang nama Jalan Sukarno-Hatta di Kota Surabaya sepanjang 10.925 meter. Jalan ini berawal di pertigaan Jalan Kenjeran melintasi: Jl. Kalijudan, Jl. Mulyorejo, Jl. Dharmahusada Indah, Jl. Dharmahusada, Jl. Kertajaya Indah, Jl. Kertajaya Indah Timur, Jl Arif Rahman Hakim, Jl. Semolowaru, Jl. Semampir Kelurahan, Jl. Semampir Tengah, Jl. Semampir Selatan, Jl. Medokan Semampir, Jl. Kedung Baruk Raya/Jagir, Jl. Wonorejo/Jagir, Jl. Baruk Utara, Jl. Penjaringan Sari, Jl. Kedung Asem, Jl. Pandugo, Jl. Rungkut Madya, Jl. Gunung Anyar Tambak, berbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo.

Namun, sungguh malang nasib Dwitunggal Sukarno-Hatta itu. Justru di Kota Pahlawan ini, Pahlawan Proklamator lambang pemersatu bangsa itu, dipisah. Walikota melakukan “cerai paksa” terhadap Sukarno-Hatta. Jalan Sukarno-Hatta itu tidak berumur panjang. Perceraian ke dua tokoh sentral Kemerdekaan Indonesia itu dilakukan tanpa persetujuan DPRD Kota Surabaya yang sudah mengesahkan Perda (Peraturan Daerah) tentang pemberian nama jalan Sukarno-Hatta untuk jalan MERR itu. Jalan Sukarno-Hatta itu pun diganti menjadi Jalan Dr.Ir.H.Soekarno, tanpa menyebut nama Hatta atau Muhammad Hatta dengan  Keputusan Walikota Surabaya No.188.45/86/436.1.2/2011.

Dengan janji yang sangat muluk, seolah-olah akan menjadi walikota sepanjang masa, Tri Rismaharini, menyatakan nanti nama Jalan Dr.H.Muhammad Hatta akan dipasangkan di MWRR (Midle West Ring Road), yaitu jalan lingkar barat bagian tengah, di Surabaya Barat. Padahal, jalan itu entah kapan akan digarap, apalagi selesai. Maka, di Kota Pahlawan inilah Bung Karno berjalan sendiri tanpa kehadiran Bung Hatta. Tragis!

Dalih yang tidak masuk akal, konon perubahan nama itu gara-gara nama Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng, Jakarta, sering disingkat “Soeta”. Jadi, khawatir nanti Jalan Sukarno-Hatta di Surabaya itu disingkat Jalan Suta atau Seoata.

Tidak itu saja dalih yang saya dengar, katanya, di Bukittinggi, Sumetera Barat, di kota kelahiran Bung Hatta, nama Soekarno dengan Hatta juga dipisah. Saya tahu persis, justru, di Bukittinggi itu, Jalan Soekarno-Hatta panjang sekali. Jalan raya Sokarno-Hatta itu, mulai dari dekat rumah kelahiran Bung Hatta, di Pasar bawah Bukittinggi, di dalam kota sampai menuju luar kota, ke Kecamatan Baso Kabupaten Agam terus ke Kabupaten Lima Puluh Kota sampai masuk Kota Payakumbuh. Jadi, Jalan Soekarno-Hatta di Bukittinggi itu merupakan jalan raya dari dalam kota Bukittinggi terus sampai ke Payakumbuh. Tidak tanggung-tanggung, jalan raya Soekarno-Hatta di tanah kelahiran Bung Hatta panjangnya sambung-bersambung dari dua kota dan dua kabupaten.

 

Ditolak DPRD Surabaya

Pemaksaan “cerai paksa” yang dilakukan oleh Walikota Surabaya itu ditolak DPRD Surabaya. Dalam rapat Pansus Pengubahan Nama Jalan DPRD Surabaya, Eddy Budi Prabowo anggota pansus dari Fraksi Partai Golkar mengatakan Pemkot sebaiknya tidak terburu-buru mengubah nama jalan itu.

Alasannya, nama dua proklamator secara historis adalah satu kesatuan. Memisahkannya jadi dua nama jalan berbeda dapat menimbulkan polemik, apalagi saat ini tensi politik di Surabaya meninggi.

Maduki Toha, anggota Pansus dari FKB menilai kebijakan Walikota ini terburu-buru karena belum tentu jalan lingkar Barat bisa cepat dibangun.

“Bahkan bisa saja tidak dibangun. Jika ini terjadi, maka hanya ada nama Jl. Bung Karno saja. Kasihan Bung Karno sendirian tidak ada Bung Hatta,” katanya.

Masduki bersikukuh mengusulkan agar nama jalan diubah menjadi Jl. Soekarno-Hatta Timur, sehingga kalau nanti dibangun lingkar Barat, bisa disesuaikan jadi Jl. Soekarno-Hatta Barat.

 

Nama Sukarno-Hatta

Kalau boleh saya mengungkap masa lalu, boleh disebut lebih ironis lagi ketika di masa Orde Baru. Hampir tidak ada upaya dari Pemkot Surabaya untuk mengabadikan nama besar Pahlawan Nasional, Proklamator Sukarno-Hatta di Kota Pahlawan ini. Saat saya, menyampaikan usul kepada Walikota Surabaya, H.Poernomo Kasidi tahun 1986 agar nama Proklamator Sukarno-Hatta diabadikan di Surabaya, sikap saya selaku penulis dianggap terlalu “berani”.

Pak Pur – begitu walikota yang bertitel dokter itu dipanggil – sembari berbisik mengatakan, jangan dulu. Alasannya, menyebut nama Bung Karno di era Orde baru itu cukup sensitif. Namun, pada tahun 1986 itu Presiden Soeharto, justru mengeluarkan penetapan tentang Dr.Ir.H.Sukarno dan Dr.Mohammad Hatta sebagai Pahlawan Nasional dengan Kepres 081/TK/Tahun 1986 tertanggal 23 Oktober 1986.

Sambutan beberapa pejabat pemerintahan di Indonesia cukup positif. Bandara Cengkareng yang merupakan pengalihan dari Bandara Kemayoran diberi nama Bandara Internasional Sukarno-Hatta. Di Ujungpandang yang kembali bernama Makassar, pelabuhan lautnya diberi nama Sukarno-Hatta. Di Bandung, jalan lingkar selatan yang baru dibangun diberi nama Jalan Sukarno-Hatta.

Beberapa kota di Indonesia sertamerrta mengabadikan nama Proklamator Kemerdekaan RI itu sebagai nama jalan maupun nama taman, serta gedung bersejarah lainnya. Tidak ketinggalan pula di Jawa Timur, seperti Kota Malang, mengabadikan nama Sukarno-Hatta untuk jalan baru yang menghubungkan daerah Blimbing ke Dinoyo. Bahkan, di Kota Pasuruan dan di Bangkalan di Madura nama Jalan Sukarno-Hatta diabadikan di poros utama kota itu.

Secara resmi saya menulis surat kepada Walikota Surabaya, langsung ke tangan Pak Pur. Isi surat itu, agar nama Proklamator Sukarno-Hatta diabadikan di Surabaya dengan alternatif pertama mengganti nama Jalan Perak Timur dan Perak Barat sebagai Jalan Sukarno-Hatta. Alasan penulis waktu itu, karena jalan kembar itu menuju gerbang laut Surabaya, yakni Pelabuhan Tanjung Perak.

Ingat, Sukarno-Hatta sebagai Proklamator Kemerdekaan RI adalah Dwitunggal yang mengantar Bangsa Indonesia ke gerbang masa depan yang bebas dari penjajajah. Nah, Surabaya memang hanya punya satu gerbang masuk kota, yakni Tanjung Perak. Gerbang masuk dari udara dan darat Kota Surabaya, ada di Kabupaten Sidoarjo, yakni Bandara Juanda dan sekarang juga terminal Purabaya di Bungurasih, Waru.

Setelah usul itu tenggelam begitu saja di kantong walikota Poernomo Kasidi, penulis berupaya menanyakan dan mendesak. Ternyata, saya dibentak. Tidak puas dengan sikap sang walikota, penulis membuat artikel di Harian “Surabaya Post” pada tanggal 9 November 1989 dalam rangkaian peringatan Hari Pahlawan.

Sebagai penulis artikel, saya berusaha memberi gambaran, bahwa pintu gerbang kota Surabaya ini “hanya satu” yakni dari laut di Tanjung Perak. Sedangkan gerbang kota melalui darat ada di Bungurasih, Waru, Sidoarjo dan gerbang udara ada di Bandara Juanda, Sidoarjo. Untuk itulah, karena Sukarno-Hatta sebagai proklamator yang mengantarkan bangsa Indonesia ke gerbang kemerdekaan, maka penulis mengusulkan nama Jalan Tanjung Perak Barat dan Jalan Tanjung Perak Timur diubah menjadi Jalan Sukarno-Hatta

Setelah tulisan itu turun di koran terbesar di Surabaya waktu itu, saya dipanggil beberapa pejabat Pemda Kodya Surabaya (waktu itu). Ada yang mendukung dan ada yang menolak dengan alasan perlu ada Perda (Peraturan Daerah). Waktu itu, beberapa anggota DPRD Surabaya yang setuju, tetapi ada yang tidak. Alasannya, macam-macam. Di antaranya berdalih belum ada tempat yang pas untuk mengabadikan nama Sukarno-Hatta di Surabaya. Bahkan yang cukup berkesan, saya dipanggil oleh staf intel Kodam V Brawijaya, meminta penjelasan tentang tulisan di Surabaya Post itu.

Ketika ada rencana pembangunan  jalan lintas timur bagian tengah yang disebut MERR (Midel East Ring Road), ada yang menginginkan nantinya apabila proyek MERR itu jadi, maka nama jalan itu adalah Jalan Sukarno-Hatta. Ternyata MERR yang semula terbengkalai alias mangkrak, tahun 2005 lalu sebagian sudah selesai, termasuk jembatan yang melintas di atas Kali Jagir Wonokroromo sampai ke wilayah Kedung Baruk, di Kecamatan Rungkut.

Kabarnya, kalangan veteran pejuang kemerdekaan dan Angkatan 45 juga pernah mengusulkan jalan raya dari ITS sampai ke viaduk Jalan Sulawesi, yakni Jalan Kertajaya Indah, Manyar Kertoarjo sampai Jalan Kertajaya diganti menjadi Jalan Sukarno-Hatta. Itu juga tidak mendapat tanggapan dari eksekutif dan legislatif.

 

Pro-Kontra

Keinginan saya agar nama Sukarno-Hatta diabadikan di Kota Pahlawan ini kembali menggebu-gebu. Setelah di Harian “Surabaya Post”, beberapa tulisan tentang perlunya Surabaya mengabadikan nama Sukarno-Hatta di Surabaya, saya turunkan di Majalah Gapura (majalah resmi Pemkot Surabaya), tabloid Teduh, SKM Palapa Post, tabloid Metropolis dan Majalah DOR. Ketika saya mempunyai kesempatan yang “sangat baik” dengan Walikota Surabaya H.Sunarto Sumoprawiro, kumpulan tulisan dan artikel ini penulis serahkan kepada Cak Narto – panggilan sang walikota.

Luar biasa, Cak Narto menyambut baik ide untuk pengabadian nama proklamator ini. Saking bersemangatnya, Cak Narto sertamerta menginginkan nama jalan yang layak untuk sang Proklamator adalah mengganti nama Jalan Raya Darmo. Cak Narto waktu itu mengabaikan usul saya agar nama Sukarno-Hatta diabadikan dengan alternatif pertama mengganti nama Jalan Tanjung Perak Timur-Barat dan alternatif kedua sebagai pengganti Jalan Prapen Jemursari (mulai dari perempatan di Jembatan Bratang sampai ke Jalan A.Yani di bundaran Dolog.

Akibat keinginan Cak Narto mengganti nama Jalan Raya Darmo menjadi Jalan Sukarno-Hatta, timbul pro-kontra yang luar biasa di mediamassa. Padahal keinginan Cak Narto mendapat dukungan dari tokoh Surabaya, Prof.Dr.H.Roeslan Abdulgani atau Cak Roeslan. Namun upaya saya agar nama Sukarno-Hatta diabadikan di Surabaya kembali terganjal, bersamaan dengan “kasus walikota Surabaya”, sampai akhirnya Cak Narto sakit dan meninggal dunia di Australia tahun 2002. Begitu juga, Cak Roeslan juga sudah wafat, 28 Juni 2005 lalu di Jakarta.

Bagaimanapun juga, ketika Walikota Surabaya dijabat Drs.Bambang Dwi Hartono,MPd, saya mengharapkan carapandang yang berbeda. Mungkin, waktu yang paling tepat untuk mengabadikan nama Sukarno-Hatta di Surabaya, saat Presiden RI masih dijabat oleh Megawati Sukarnoputri dan diresmikan sendiri oleh anak kandung Bung Karno waktu itu.

Saya mengharapkan, sebagai seorang nasionalis, Bambang DH yang waktu itu juga Ketua DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Kota Surabaya, tentu sangat tepat kalau momen peringatan Hari Jadi Surabaya, 31 Mei 2003 atau peringatan Hari Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 2003 atau peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2003 ditandai dengan pengabadian nama Sukarno-Hatta di Kota Pahlawan Surabaya. Namun, waktu yang baik itu berlalu begitu saja. Kelihatan nyali dan kemauan politik Bambang DH sama sekali masa bodoh untuk mengabadikan nama sang Proklamator Soekarno-Hatta.

Padahal, wakt u itu sebenarnya ada dua ikatan emosional yang bisa dibangun. Selain bambang DH yang aktivis PDI-P, wakilnya Arif Afandi berasal dari Blitar, tempat asal orang tua Bung Karno. Perpaduan Bambang DH-Arif Afandi itu bisa dengan mudah mewujudkan pengabadian nama Sukarno-Hatta.

Alhamdulillah, perasaan warga kota Surabaya terobati, di masa akhir jabatannya sebagai walikota, Bambang DH bersama DPRD Kota Surabaya, tanggal 27 April 2010  sepakat memberikan nama jalan lingkar timur bagian tengah atau MERR menjadi Jalan Sukarno-Hatta. Kata-kata “Ironis!” yang selama ini disandang Kota Pahlawan yang lamban mengabadikan nama Sukarno-Hatta menjadi berubah.

Namun, seperti saya tulis di atas, sungguh malang nasib Dwitunggal Sukarno-Hatta itu. Justru di Kota Pahlawan ini, setelah terwujud pasangan pemersatu bangsa itu menjadi satu, lalu dipisah. Walikota melakukan “cerai paksa” terhadap Sukarno-Hatta. Jalan Sukarno-Hatta itu tidak berumur panjang. Tanpa persetujuan DPRD Kota Surabaya yang sudah mengesahkan Perda (Peraturan Daerah) tentang pemberian nama jalan Sukarno-Hatta, sertamerta Jalan Sukarno-Hatta itu pun diubah menjadi Jalan Dr.Ir.H.Soekarno, tanpa menyebut nama Hatta atau Muhammad Hatta.

Tri Rismaharini, menyatakan nanti nama Jalan Dr.H.Muhammad Hatta akan dipasangkan di MWRR (Midle West Ring Road), yaitu jalan lingkar barat bagian tengah, di Surabaya Barat. Padahal, jalan itu entah kapan akan digarap, apalagi selesai.

Sekali lagi saya ulangi, “Sungguh tragis! Justru di Kota Pahlawan inilah Bung Karno berjalan sendiri tanpa kehadiran Bung Hatta.” ***

*) Penulis adalah Wartawan berdomisili di Surabaya

Sukarno atau Soekarno Lahir di Surabaya

Lintas Juang Bung Karno

Catatan: Yousri Nur Raja Agam MH *)

BULAN Juni adalah bulannya “Bung Karno”. Se-abad yang lalu,  Bung Karno lahir di Bumi Pertiwi, Nusantara, tepatnya tanggal 6 Juni 1901.

Kemudian di bulan Juni pula Bung Karno pergi ke alam baka, menemui sang Khaliq, yakni tanggal 21 Juni 1970.

Bung Karno, yang sudah tiada, tetapi semangat juangnya “masih hidup” di dalam jiwa dan sanubari Rakyat Indonesia.

Di bawah ini, saya punya catat tentang Bung Karno, tentang “lintas juang Bung Karno”.  Saya sajikan tulisan ini, sebagai cermin masa depan bagi kami dan anak cucu kami.

Memang, tak dapat dipungkiri, bagaimanapun juga, ternyata Bung Karno tetap abadi. Nama Presiden Republik Indonesia yang pertama, Dr.Ir.H.Soekarno, selalu dikenang. Betapapun gonjang-ganjingnya bumi ini akibat gempa politik, namun sejarah tak pernah bohong. Sehingga benar apa yang dikatakannya sendiri: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tak melupakan jasa pahlawannya”.

Bung Karno adalah pahlawan. Dia adalah pejuang dan pembuat sejarah di negara yang kini sudah bebas merdeka. Terlepas dari belenggu penjajahan kolonial Belanda selama tiga setengah abad dan cengkeraman kekejaman balatentara Jepang selama tiga setengah tahun. Kita merdeka. Merdeka dari segala derita. Indonesia merdeka dan merdeka.

Bung Karno dan Bung Hatta atas nama Bangsa Indonesia, 17 Agustus 1945, memproklamasikan Kemerdekaan Republik Indonesia, di Jakarta.

Itu semua, bukan hadiah, tetapi perjuangan. Perjuangan para pemuda dan anak bangsa dari seluruh pelosok Nusantara. Bukan sekejap, tetapi sejak berabad-abad lamanya. Proses demi proses, akhirnya sampailah kita di alam merdeka, membangun dan menuju keadilan, kemakmuran yang merata. Semua itu, cita-cita kita semua. Termasuk, keinginan, kehendak dan cita-citamu Bung Karno.

Kau pimpin kami, rakyatmu sejak merdeka hingga akhirnya kau tiada. Kau bawa bangsa ini ke alam nyata, di mata dunia. Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika berdasarkan Pancasila, melepasmu ke alam baqa.

Lahir di Surabaya

Raden Sukemi Sostrodihardjo, seorang bapak dari Kota Blitar, Jawa Timur adalah manusia yang penuh disiplin. Ia ningrat dari garis keturunan Raja Kadiri. Laki-laki ini mempersunting gadis Bali, Idayu Nyoman Rai “Srimben”. Srimben ini adalah panggilan waktu kecil Ida Ayu Nyoman Rai.

Wanita ini juga berdarah biru, keturunan raja di Singaraja Pulau Dewata. Dari perpaduan dua etnis, Jawa dan Bali ini, lahirlah seorang anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Yang perempuan diberi nama Sukarmini dan adiknya  diberi nama: Kusno. Kusno lahir di Surabaya, Jawa Timur, tanggal 6 Juni 1901.

Pada akhir tahun 1899 Raden Sukemi pindah mengajar ke Surabaya. Ia mengajar di Sekolah Rendah (setingkat SD atau Sekolah Dasar) di Jalan Sulung Surabaya (Sekolah ini sekarang bernama SD Negeri Alun-alun Contong 1 Jalan Sulung Sekolahan). Raden Sukemi bersama isterinya, tinggal di kampung Pandean, kawasan Peneleh Surabaya. Tepatnya di Jalan Pandean IV/40 Surabaya. Kawasan ini, terletak di seberang sungai Kalimas, tidak jauh dari Sulung, tempat Sukemi mengajar.

Pada waktu itu, memang banyak masyarakat Bali yang bermukim di kawasan Peneleh. Konon pada masa lalu, dermaga Peneleh adalah tempat berlabuhnya kapal dan perahu layar dari Bali.

Memang, kawasan Peneleh sampai sekarang masih “terkesan” sebagai daerah persinggahan orang Bali. Di daerah ini banyak bermukim para perantau dari Bali. Di daerah ini pula hingga sekarang banyak berdiri hotel (di antaranya Hotel Bali dan Hotel Singaraja), penginapan dan travel untuk melayani masyarakat yang datang dari Bali. Bahkan, pasar buah di pinggir Kalimas di Jalan Peneleh menjadi pasar buah yang berasal dari Bali. Terutama salak dan jeruk Bali. Tetapi sejak awal 2010, pasar buah ini “digusur” karena mempersempit lalulintas di Jalan Peneleh, Awalnya dipindah ke Jalan Koblen, namun pedagang menolak, akhirnya disepakati pada tanggal 19 Juli 2010, pedagang bersedia pindah ke Jalan Tanjungsari.

Sewaktu tinggal di rumah kontrakan Jalan Pandean IV/40, Peneleh, Surabaya itu, Ida Nyoman Rai sedang mengandung anak keduanya. Nah, di saat sang surya menanjak naik dari ufuk timur Surabaya, tanggal 6 Juni 1901, seorang bayi laki-laki lahir ke bumi. Raden Sukemi memberi nama anak kedua dari isterinya itu, Kusno. Namun, hingga sekarang belum ada yang memberi kepastian apakah Kusno lahir dengan pertolongan bidan atau dukun bayi.

Jadi, Sukarno atau Soekarno, lahir di Kota Surabaya sebagaimana ditulis pada buku-buku dan Ensiklopedia lama. Bukan lahir di Blitar, seperti yang ditulis beberapa orang di masa Orde Baru.

Kusno yang masih bayi itu, kemudian dibawa pindah oleh Raden Sukemi bersama isterinya ke Blitar.  Karena Sukemi ditugaskan mengajar di Kota Blitar. Di Kota Blitar inilah Kusno kecil hidup bersama keluarga besar Raden Sukemi.

Gunung Kelud Meletus

Saat pindah ke Kota Blitar itu, suasana di Blitar masih mencekam. Sebagian penduduk masih mengungsi akibat meletusnya Gunung Kelud. Dari kawahnya masih mengalirkan lava. Lereng gunung ini dilanda banjir bandang . Galodo itu meleluluhlantakkan segala tanaman dan menghanyutkan lumpur kawah sampai ke Sungai Kali Brantas. Kabupaten dan Kota Blitar, serta Kabupaten dan Kota Kediri, bahkan sampai ke Trenggalek dan Tulungagung langitnya tertutup awan abu.

Nah, akibatnya, Kusno yang masih bayi itu terkena dampaknya. Ia sakit dan sering sakit-sakitan. Ayahnya, Raden Sukemi yang beragama Islam dan mempercayai budaya Jawa, mempunyai firasat, bahwa salah memberikan nama kepada anaknya. Nama Kusno yang diberikan kepada anak laki-lakinya ini dianggap tidak cocok. Mungkin juga salah.

Agar terhindar dari sakit akibat salah memberi nama, sesuai dengan tradisi Orang Jawa, maka nama Kusno diganti menjadi: Sukarno. Jadi mirip dengan mbakyunya, Sukarmini (lebih dikenal dengan panggilan Bu Wardoyo)..

Sukarno kecil kemudian menjadi besar. Disekolahkan, menjadi pandai dan cerdik. Ia berkembang terus menjadi dewasa. Setelah menjadi manusia dewasa yang cerdik-pandai, Sukarno mampu menggali ilmu dan menantang zaman. Ia menjadi pemimpin. Ia mampu memimpin dirinya menjadi manusia berakal dan berakhlak. Iapun dapat jatuh cinta. Sukarno kemudian  berkeluarga:  mempunyai isteri, kemudian punya anak dan ia menjadi bapak.

Kebesaran dirinya menjadikan ia bukan hanya bapak dari anak-anaknya, tetapi ia menjadi “Bapak Bangsa”. Ia menjadi pemimpin negara. Ia menjadi pemimpin bangsa. Bangsa kita Indonesia. Namanya berkibar dan terkenal. Ejaan yang U menjadi OE, mempengaruhi pula pada nama Sukarno. Akibatnya orang menulis namanya menjadi: Soekarno. Konon “Bung Karno sendiri lebih senang kalau namanya ditulis Sukarno”, bukan Soekarno.

Untung namanya berganti dari Kusno menjadi Sukarno. Mengapa? Sebab, di zaman perjuangan kemerdekaan tahun 1940-an, para pemuda saling menyapa dengan panggilan “bung”. Soekarno dipanggil Bung Karno. Mohammad Hatta, dipanggil Bung Hatta. Sutan Sahrir disapa sebagai Bung Sahrir. Pokoknya sesama pejuang yang muda-muda kala itu, kalau berjumpa selalu berteriak dengan tangan dikepalkan: Merdeka bung! Apa kabarnya Bung! Dan begitulah bung.

Enak dan tepat panggilan untuk Soekarno menjadi Bung Karno. Andaikan namanya tak diganti, tetap Kusno. Panggilannya tentu Bung Kusno. Bisa-bisa ada yang salah terima, dikira disuruh membungkus. Sebab, dalam Bahasa Jawa “bungkusno” itu artinya bungkuskan atau tolong dibungkus. Tetapi, kalau Bung Karno, salah-salah dengar bisa diarti “bongkarno” atau artinya bongkarlah. Nah, kalau ini tidak masalah. Artinya bagus. Begitu guyonan masa lalu tentang alihnama Bung Karno yang semula bernama Kusno menjadi Sukarno.

Adipati Ngawonggo, tokoh pewayangan yang dikenal sebagai kesatria yang berpegang teguh pada prinsip. Sampai seorang pujangga kenamaan, Mangkunegoro IV, melukiskan jiwa kesatria Ngawonggo agar menjadi teladan bagi kerabat Mangkunegaran. Ada bentuk tembang Dandanggula yang dirangkum dalam Tripama.

Nama asli Adipati Ngawonggo adalah Suryaputra dan juga dikenal dengan nama Basukarno putra Dewi Kunti. Waktu Dewi Kunti masih perawan, tetapi karena kesalahan menjalankan mantera pemberian Bathara Surya, hamillah dia. Betapa malunya anak raja hamil sebelum menikah. Harus dicarikan jalan ke luar. Tetapi, dewa selalu serba mungkin. Anak Kunti yang pertama tidak dilahirkan lewat rahim, namun melalui telinga. Maka dari itu, dinamakan Basu Karno. Ia kelak dikenal sebagai Adipati Karno yang berjiwa kesatria, pantang mundur dan berpegang pada prinsip.

Masyarakat Jawa masih dikuasai cerita-cerita pewayangan. Banyak yang hafal luar kepala cerita Mahabarata, Ramayana dan kisah-kisah carangan lainnya. Sebagai seorang priyayi, Raden Sukemi yang juga guru Sekolah Rendah (SD), sangat hafal cerita-cerita tentang kepahlawanan itu. Dia sangat terkesan dengan Adipati Karno. Itulah dasar yang akhirnya nama anaknya Kusno diubah menjadi Sukarno. Tentu harapannya, kelak anaknya akan memiliki jiwa kesatriat seperti Adipati karno. Disiplin kuat dan tidak mudah patah semangat.

Adipati Karno dalam pewayangan masih merupakan saudara Pandawa, Sama-sama anak Kunti, hanya dari ayah yang berbeda. Untuk melenyapkan aib kerajaan, begitu Basu Karno lahir, dibuang. Ditemukan oleh seorang kusir dan dibesarkan. Akhirnya ia diberi kedudukan oleh Kurawa. Waktu perang Barata Yudha, anatara Kurawa dengan Pandawa, maka Adipati karno memihak Kurawa, sebagai balas budi karena Kurawa yang mengakat derajatnya, meskipun ia tahu pihk Kurawa salah.

Pada perang Barata Yudha itu Adipati karno gugur di medan laga. Dengan gugurnya Adipati karno, Kurawa juga tertumpas. Pandawa kembali mendapatkan haknya untuk menduduki tahta di Kerajaan Astina.

Dari alur cerita pewayangan itu, apakah harapan raden Sukemi kemudian terwujud? Apakah ada kesamaan antara Adipati Karno dengan Bung Karno? Hanya ahli sejarah yang bisa menjawabnya.

Akal Bulus sang Ayah

Umur lima tahun, Sukarno masuk sekolah di SR (Sekolah Rendah) Bumiputera. Sebagai seorang guru, Raden Sukemi berusaha mencari jalan agar anaknya bisa melanjutkan sekolah ke sekolah Belanda. Untuk itulah pada saat Sukarno duduk di kelas lima, ayahnya berusaha memasukkan Sukarno ke kelas enam ELS (Eurpeesche Lagera School), sekolah untuk anak-anak Belanda. Karena dari sini, ayahnya ingin kelak Sukarno melanjutkan ke HBS (Hogere Burger School).

Prosedur resmi sulit dilakukan, akhirnya dengan jurus “akal bulus”, Raden Sukemi mencoba mengontak temannya. Lalu kasak-kusuk  ke sana kemari. Ternyata berhasil, dan jadilah Sukarno sebagai anak Indonesia yang luar biasa waktu itu masuk ke ELS.  Sukarno sekolah sampai tamat di ELS. Kemudian melanjutkan ke HBS di Surabaya. Waktu itu, baru ada 78 orang anak Indonesia yang sekolah di sana, yang lainnya anak-anak Belanda dan Eropa.

Keinginan ayahnya agar Sukarno meningkatkan kepandaiannya ternyata tidak sia-sia. Sukarno ternyata punya otak yang cerdas. Bahkan anak keluarga miskin yang waktu kecil sakit-sakitan itu, berhasil lulus dengan baik. Sukarno yang semasa sekolah di Surabaya mondok  atau kost di rumah HOS Cokroaminoto, melanjutkan sekolahnya ke Bandung. Di Kota Kembang itu, Sukarno masuk di Tehnische Hoge School (THS) atau Sekolah Tinggi teknik yang sekarang bernama ITB (Institut Teknologi Bandung). Di sinipun sedikit sekali kaum pribumi yang sekolah. Mereka pasti anak-anak petinggi atau ningrat di suatu daerah, selain anak-anak Belanda atau Eropa.

Pada masa sekolah di Surabaya, maupun ketika kuliah di Bandung, Sukarno senang membaca dan banyak menulis untuk suratkabar atau majalah. Ia selalu menulis nama samaran “Bima” untuk tiap tulisannya. Di antaranya ia menjadi penulis tetap di Majalah “Oetoesan Hindia” pimpinan HOS Cokroaminoto.

Nama Bima yang ada di majalah itu selalu menjadi perhatian Pemerintah Belanda. Ia pernah menulis dengan judul “Hancurkan segera Kapitalisme yang dibantu oleh budak Imperialisme. Insya Allah itu segera dapat dilaksanakan”. Tulisan itu benar-benar berani dan tajam. Cokroaminoto geleng-geleng kepala membaca tulisan itu. Ia bangga melihat adanya bakat terpendam dari anak muda Sukarno yang mondok di rumahnya itu. Anak itu terus dibina dan akhirnya terus berkembang.

Ternyata bukan hanya Cokroaminoto yang terkesan terhadap karyatulis Sukarno. Tokoh pergerakan, Dr.Douwes Dekker Setyabudi, juga memperhatikan bakat anak muda itu. Apalagi kemudian ia tahu, ternyata Sukarno juga cerdas dan pandai berpidato.

Ada satu pegangan yang menjadi prinsip Sukarno, yaitu pendapat seorang ahli filsafat yang theosofis, Swami Vivekananda. Pendapat yang selalu dihafal Sukarno adalah: “Janganlah membuat otakmu menjadi perpustakaan, tetapi pakailah pengetahuannmu secara aktif”.

Dengan dasar itu, Sukarno melakukan perbandingan antara apa yang dibaca dari buku dengan apa yang dia dengar dari pidato. Ada pula yang dilihatnya dari alam sekitar dan kehidupan masyarakat di sekelililingnya.

Selain menjadi guru, Cokroaminoto bagi Sukarno kemudian juga menjadi mertuanya. Utari yang waktu itu masih gadis remaja usia 16 tahun dinikahinya. Tak lama setelah itu, Sukarno melanjutkan sekolahnya ke Bandung dan mondok di rumah H.Sanusi  dengan isterinya Inggit Garnasih. Inggit kemudian cerai dengan H.Sanusi dan Sukarno juga cerai dengan Utari. Janda Inggit dengan duda Sukarno akhirnya menjalin perkawinan. (Cerita tentang percintaan Utari dan Inggit, baca pada bagian lain—Red).

Petani Itu Namanya Marhaen

Saat kuliah di Bandung, semangat kejuangan Sukarno semakin membara. Ia selalu tampil di panggung, kalau ada kegiatan berpidato. Terbukti ia kemudian terkenal sebagai jago pidato dan digelari “singa podium”. Ia juga berani menyampai kritik tajam kepada Pemerintah Kolonial Belanda yang berkuasa dan menjajah tanahair kita ini.

Sukarno berhasil meraih gelar insinyur tanggal 25 Mei 1926, Kemudian dua bulan kemudian, tepatnya 26 Juli 1926, ia bersama Ir.Anwari teman sekuliahnya dulu mendirikan Biro Teknik. Tetapi, akibat waktunya banyak digunakan untuk kegiatan politik, apalagi ia juga sudah mendirikan partai bernama PNI (Partai Nasional Indonesia).

Ada suatu cerita yang cukup unik, kemudian malah membawa berkah sendiri bagi kehidupan politik Sukarno. Dengan sepeda yang dimilikinya – waktu itu sepeda merupakan barang luks – ia sering keliling kota Bandung. Bahkan tidak jarang sampai ke luar kota. Tak dinyana saat mengayuh sepedanya menuju Bandung Selatan, ia terbawa angin sejuk ke pinggir sawah yang menghijau. Di sebuah hamparan ladang ia melihat seorang petani yang asyik bekerja.

Sukarno memperhatikan petani pribumi dengan pakaian yang compang camping itu. Ia sandarkan sepedanya di pinggir pematang, ia terus memperhatikan petani yang asyik mencangkul ladangnya. Saat Sukarno masih meneawang memperhatikan alam sekitar yang subur, laki-laki yang mencangkul itu menghentikan pekerjaannya. Ia pergi ke pematang dan duduk dengan santai. Diambilnya rokok dari kantongnya, dilinting dan dibakarnya. Kelihatan sekali ia menikmati asap tembakau itu.

Sukarno mendekat dan mengucapkan selamat siang, Betapa terkejutnya, petani itu melihat seorang anak muda berpakaian necis  mendekatinya di tengah sawah. Bung Karno ikut duduk di atas rumput sembari berdialog dengan petani itu.

Saat ditanya Bung Karno, ia menyebut namanya: Marhaen. Dari tanya jawab itu Bung karno tertarik akan keluguan petani itu. Ia adalah pemilik sawah itu, juga cangkul yang digunakannya. Tetapi, setelah ia panen, hasilnya dijual untuk keperluan isteri dan anak-anaknya. Namun, kenyataannya petani itu tetap saja miskin. Tidak hanya satu orang petani seperti Marhaen itu. Masih banyak lagi. Mungkin tidak hanya di bandung, Jawa Barat, tetapi juga di seluruh Jawa, Sumatera dan seluruh bumi Nusantara.

Saat kembali ke rumahnya di Bandung, sembari mengayuh sepeda timbul berbagai khayalan dan bayangan tentang rakyat, petani dan bangsa Indonesia di benak Sukarno. Bung Karno sangat yakin, kendati sebagai pemilik di Bumi Pertiwi ini, tidak sedikit kaum pribumi ini yang nasibnya sama dengan Marhaen yang ditemuinya di bandung Selatan itu. Banyak dan banyak Marhaen lainnya, kata otak kecil Sukarno membisikkan.

Sembari mengangguk-angguk dan senyum-senyum kecil, Bung karno mendapat inspirasi. Ia akan memperjuangkan kehidupan orang seperti Marhaen itu, Orang kecil pemilik bangsa ini, tetapi tetap saja miskin dan terjajah. Mereka harus diangkat semangat juang dan semangat kebangsaannya.  Dengan memperjuangkan orang yang melarat dan menderita itu, Sukarno memberi nama konsep naskah yang akan dikembangkannya kelak itu: Marhaenisme. Paham ini kemudian menjadi azas partai yang didirikannya.

Bahkan dengan Marhaenisme itu pula, Bung Karno kemudian menjadikan PNI menjadi partai yang besar dengan pengikut yang banyak. Kebesaran partainya mengangkat nama Bung karno menjadi besar. Dan, Pemerintah Kolonial Belanda akhirnya memperhitungkan potensi insinyur jurusan arsitek, tetapi mendapat gemblengan politik dari mertuanya Cokroaminito itu.

Sukarno akhirnya mengikuti jejak para pejuang di negara ini. Ia dijebloskan ke penjara Sukamiskin di Bandung Timur. Bersama dia juga ditahan Gatot Mangkuprojo, Supriadinata dan Maskun. Waktu itu, Bung Karno sudah menjadii suami Inggit Garnasih.  Janda muda inilah yang rajin mengunjungi Bung Karno ke penjara. Termasuk menyelundupkan buku-buku, yang akhirnya menjadi inspirasi Bung Karno untuk melakukan pembelaan di depan Landraad, yang mengadilinya. Naskah pembelaan yang ditulis Bung Karno di dalam sel penjara Sukamiskin beralaskan pispot yang dibalik sebagai meja itu, karena tidak ada meja. Pispot itu tidak pernah digunakan untuk buang air, tetapai dijadikan untuk menyimpan buku. Akhirnya naskah yang disusunnya di dalam sel itu menggemparkan dunia.

Bung Karno yang didakwa melakukan tindak pidana yang melanggar Pasal 169 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dan menyalahi Pasal 161, 171 dan 153 de Haatzaai Artikelen. Pada pokoknya, Sukarno bersama teman-temannya di PNI dianggap menghasut rakyat dan akan melakukan pemerontakan tahun 1930. Pidato pembelaan Bung Karno di depan pengadilan itu dikenal dengan judul : “Indonesia Menggugat”.

Inilah tonggak sejarah perjuangan kaum pergerakan yang benar-benar mengganggu stabilitas keamanan dan pertahanan Pemerintah Belanda waktu itu. Sebab, “Indonesia Menggugat” itu tidak hanya sekedar pembelaan diri pribadi Sukarno dan teman-temannya, tetapi juga merupakan pembelaan bagi Bangsa Indonesia yang dijajah Pemerintahan Hindia Belanda.

Dalam penutup uraian pembelaannya Bung Karno memberi ceramah politik yang isinya antara lain:

“Memang, kami beridiri di hadapan Mahkamah Tuan-tuan ini bukanlah sebagai Sukarno, bukanlah sebagai Gatot Mangkuprojo, bukannya sebagai Maskun atau Supriadinata. Kami orang berdiri di sini ialah sebagai bagian dari rakyat Indonesia yang berkeluh kesah itu, sebagai putera-putera Ibu Indonesia yang setia dan bakti kepadanya. Suara yang kami keluarkan di dalam gedung mahkamah sekarang ini, tidaklah tinggal di dalam tembok dan dinding-dinding saja. Suiara kami ini didengar dengarkan pula oleh rakyat yang kami abdi, mengumandang ke mana-mana, melintasi tanah datar dan gunung dan samodra, ke Kotaraja sampai Fakfak, ke Ulu Siau dekat Manado sampai ke Timor. Rakyat Indonesia yang mendengar suara kami ini adalah merasa mendengarkan suaranya sendiri.”

Panjang pidato dan ceramah politik yang dibaca Sukarno. Hakim yang mengadilinya hanya diam dan mendengar. Begitu pula jaksa dan para polisi Belanda yang menjaga. Sehingga tidak mengherankan banyak yang berdecak kagum atas pembelaan Bung Karno itu.

Ternyata bilik dan sel penjara bukan membuat Bung Karno dan para pejuang trauma. Justru di tempat itulah mereka ditempa dan menjadikan penjara sebagai kawah Candradimuka yang membuat mereka semakin gigih dan berani.

Setelah menjalani kurungan selama 330 hari atau dua setengah tahun di penjara Sukamiskin, Bandung itu, tanggal 31 Desember 1931 Bung Karno keluar dari penjara. Ada kejadian unik terjadi di penghujung tahun itu. Semua taksi, angkutan kota di Bandung yang waktu itu jumlahnya 50 buah semua dicarter masyarakat yang ingin menjemput Bung Karno di gerbang penjara. Tidak hanya itu, dokar-dokar pun berarak-arak menuju perbatasan kota Bandung ke arah Sukamiskin. Begitu juga para pemilik mobil pribadi, serta sepeda. Semuanya menuju ke arah Sukamiskin. Total hari itu tercatat 98 mobil, 320 dokar dan puluhan lagi sepeda.

Polisi kalangkabut. Akhirnya, di perbatasan Kota (Gemente) Bandung, semua distop. Hanya mobil yang ditumpangi Inggit dan keluarganya, serta Husni Thamrin yang datang dari Jakarta yang boleh mendekat ke pintu penjara.

Bung Karno kemudian menaiki mobil bersama Inggit Garnasih sekeluarga, di belakangnya mobil Husni Thamrin. Sesampainya di pintu gerbang kota, suara hiruk menyambut Bung Karno tak henti-hentinya. “Hidup Bung Karno, Hidup Bung Karno”, demikian pekik dan suara tak henti-hentinya seopanjang jalan dari Sukamiskin sampai masuk Kota bandung di halaman rumah Inggit Garnasih.

Perjuangan Dwitunggal

Perjuangan pemuda Indonesia semakin gigih. Angin-angin kemerdekaan semakin terbayang di depan mata. Dari hari ke hari sinar-sinar terang mulai dirasakan. Selain Soekarno yang berjuang di Bandung dengan PNI-nya, di Jakarta Mohammad Hatta, Syahrir, Husni Thamrin dan kawannya melakukan aksi terhadap Pemerintahan Belanda.

Nasib para pejuang itu bukannya enak. Namun penuh pengorbanan dan tantangan. Di tahun 1934, banyak pemimpin pergerakan yang ditangkap dan dibuang jauh dari Pulau jawa. Mereka diasingkan ke daerah yang masih asing. Ada yang dibuang ke Digul di Irian, tempat yang jauh dari hububngan dan bahkan di sinilah rawa-rawa tempat berkembangnya penyakit malaria. Moh.Hatta dan Syahrir, dibuang ke Banda Neira.  Tidak lama menyusul Soekarno dibuang ke Ende di Nusatenggara, kemudian dipindah ke Bengkulu di Sumatera.

Kehadiran Balatentara Jepang di Indonesi tahun 1942, membawa harapan bagi pejuang kemerdekaan. Apalagi, Jepang dengan semboyan “Asia Timur Raya Merdeka”, mengajak dan mengatur strategi untuk menghancurkan penjajahan Bangsa Eropa.

Jepang sudah lama mencatat nama-nama pejuang yang anti Belanda. Nama Sukarno, Hatta dan Syahrir, merupkan tiga nama yang selalu menjadi incaran Jepang. Bahkan pihak Jepang berusaha mengambil ke tiga orang ini jangan sampai lepas ke tangan Belanda. Sebab, saat Jepang masuk Indonesia, tidak sedikit tahanan politik dilarikan Belanda ke Australia.

Moh.Hatta bersama Syahrir diciduk Jepang dan diamankan di Sukabumi. Bung Karno yang sedang berada di Bukittinggi sudah dikontak. Dengan rombongan kecil setelah melewati jalan darat melalui Jambi, Bengkulu dan Palembang, Bung karno bersama keluarganya tiba di Jakarta dijemput oleh Anwar anak HOS Cokroaminoto, kakak mantan isteri Bung Karno, Utari.

Dua tokoh, Bung karno dan Bung Hatta, merupkan dua nama yang tak mungkin dipisahkan. Pihak Jepang selalu melakukan kesepakatan dan perundingan dengan kedua orang ini. Sehingga, sejak saat itu tercetuslah sebutan untuk kedua orang ini sebagai “dwitunggal”.

Dwitunggal Sukarno-Hatta melakukan pembicaraan terang-trengan untuk persiapan kemerdekaan bersama pihak Jepang. Di balik itu, Syahrir bersama kawan-kawannya melakukan gerakan bawah tanah, berusaha menggoyang kedudukan Jepang yang berkuasa.

Berdasarkan informasi “radio gelap” yang dipantau Syahrir dan Amir Sarifuddin bersama anak buahnya, diketahui kedudukan Jepang semakin terdesak oleh Tentara Sekutu. Dwitunggal yang memperoleh informasi A-1 (pasti) dari Syahrir dan Amir, maka diaturlah siasat untuk segera membentuk pemerintahan apabila Jepang benar-benar menyerah kepada Sekutu.

Kerjasama yang dilakukan Dwitunggal dengan pihak Jepang, terus dikembangkan untuk membentuk barisan pemuda. Digalanglah beberapa pemuda pejuang dan organisasi pejuang yang sudah ada sebelumnya. Bersama tokoh perjuangan lainnya seperti, Ki Hajar Dewantoro dan KH Mas Mansur, Dwitunggal Sukarno-Hatta mendirikan Putera (Pusat Tenaga Rakyat).

Jepang melihat kehadiran Putera itu sebagai kawan yang dapat membantu kepentingannya, sebaliknya bagi kaum pergerakan, yang kemudian dikenal dengan sebutan “Empat Serangkai”, yakni Sukarno, Hatta, Ki Hajar Dewantoro dan KH Mas Mansur, merupakan persiapan untuk menyambut datangnya fajar kemerdekaan.

Selain empat serangkai itu, ada pula kelompok pejuang lainnya. Mereka terdiri dari empat kelompok. Kelompok pertama pimpinan Amir Sarifuddin, kelompok kedua pimpinan Syahrir, kelompok ketiga kelompok mahasiswa, serta kelompok keempat kelompoknya Adam Malik bersama Sukarni, Chairul Saleh dan Pandui Kertawiguna. Di samping itu ada kelompok lain yang juga bergerak di bawah tanah yang dikendalikan Muhammad Natsir dan Sjafrudin Prawiranegara.

Perang Timur Raya terus berkobar. Tentara Jepang akhirnya melatih para pemuda Indonesia menjadi kader-kader pejuang untuk membantu mereka. Didirikan PETA (Pembela Tanah Air), salah satu pimpinannya Supriadi. Pro-kontra terjadi atas pembentukan Peta itu. Tetapi setelah Bung Karno meyakinkan, maka Peta berkembang. Bung Karno mengatakan, memang tujuan Jepang membentuk Peta, untuk kepentingannya, Namun, bagi kita, adalah sebagai lembaga pendidikan untuk pemuda pejuang. Jadi, yang masuk Peta harus dipilih dari para pemuda yang berjiwa patriot  dan cinta bangsa.

Akhirnya, memang terbukti, Tentara Dai Nippon semakin terdesak. Pada saat Jepang mulai loyo, semangat pemuda kita terus berkobar. Bangkit untuk menyongsong era merdeka.

Dwitunggal Sukarno-Hatta semakin berperan. Apalagi saat 1 April 1945, Tentara Amerika mendarat di Okinawa. Jepang yang berada di Indonesia berusaha merahasiakan detik-detik kekalahannya itu. Kegiatan Dwitunggal bersama para pemuda pejuang, akhirnya mendapat restu pengusa Jepang. Kaisar menyetujui dibentuknya Panitia Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan  Indonesia (PPUPKI). Anggotanya, selain Bung Karno dan Bung Hatta, adalah KRT Rajiman Wediodiningrat dan lain-lain.

Tidak hanya itu kemurahan hati yang diperlihatkan Jepang. Rakyat juga dibolehkan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan mengibarkan bendera Merah Putih di samping bendera Jepang.

Bung Karno dan Bung Hatta di tempat terpisah sama-sama membuat perencanaan dan konsep-konsep pemerintahan yang bakal lahir, Indonesia merdeka.

Jenderal Terauchi, Panglima Tertinggi Pasukan Jepang di Asia Tenggara, tanggal 8 Agustus 1945, mengundang Dwitunggal Sukarno-Hatta ke Saigon. Tiga hari dua tokoh bangsa ini berada di negeri penghasil beras ini. Sekembalinya ke Jakarta, Bung Karno benar-benar membawa angin segar. Dalam pidatonya tanggal 14 Agustus 1945, Bung karno mengatakan: “Sebelum jagung berbunga Indonesia sudah merdeka”.

Jepang akhirnya benar-benar “bertekuk lutut” kepada Tentara Sekutu setelah Bom Atom membumihanguskan Hiroshima dan Nagasaki.

Detik-detik menjelang 17 Agustus 1945, saat Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Dwitunggal Sukarno-Hatta, ceritanya cukup mencekam. Bayangkan, rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diselenggarakan tanggal 16 Agustus 1945 siang di Pejambon, tanpa kehadiran Bung Karno dan Bung Hatta. Tidak ada yang tahu kemana Dwitunggal itu pergi. Ternyata, mereka diculik kelompok pemuda pimpinan Sukarni ke Rengasdengklok, di pinggir Kota Jakarta. Baru malamnya, Bung Karno dan Bung Hatta diizinkan kembali ke Jakarta setelah menyanggupi untuk menyampaikan proklamasi kemerdekaan republik Indonesia.

Tengah malam, 16 Agustus 1945, di rumah Panglima Angkatan Laut Jepang, Maeda, di Jalan Imam Bonjol diselenggarakan rapat dibuatlah tek Proklamasi Kemerdekaan.

Dan, paginya, hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945, pukul 10.00, “Proklamasi Kemerdekaan Indonesia” berkumandang ke seluruh dunia.

Bung Karno membaca teks itu dengan penuh wibawa, sehingga ada yang menyebut suara Bung Karno menggelegar di corong radio. Disusul kemudian dengan pengibaran Bendera Merah Putih.

Demikian “lintas juang” Bung Karno, sang putera fajar kelahiran Surabaya, hingga Indonesia merdeka.

*) Yousri Nur Raja Agam MH – Ketua Yayasan Peduli Surabaya.

(bahan dihimpun dari berbagai sumber)