MAKAM PAHLAWAN JADI OBYEK WISATA

Makam Pahlawan Nasional BUNG TOMO tidak berada di TMP, tetapi bergabung dengan pusara rakyat Surabaya di TPU Ngagel Surabaya
“]Makam Pahlawan Nasional BUNG TOMO tidak berada di TMP, tetapi bergabung dengan pusara rakyat Surabaya di TPU Ngagel Surabaya[/caption]

caption=”Yousri Nur RA MH”]Yousri Nur RA MH[/caption]

MAKAM PAHLAWAN
JADI OBYEK WISATA
KOTA PAHLAWAN

(Wisata Religi atau Ziarah)

Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)

KEGIATAN wisata dan pariwisata di Kota Pahlawan Surabaya, harus ada yang khas atau spesifik.

Pengertian berwisata, tidak harus hanya bersenang-senang, namun yang paling utama dalam kegiatan wisata adalah kesan dan terkesan. Boleh juga pakai istilah, melancong atau pesiar, di mana tujuannya adalah mencari sesuatu yang baru di alam ini.

Dari hasil kunjungan itu, akan diperoleh suatu kenangan yang indah, sehingga kita akan “terkenang selalu”. Tidak hanya itu, pengertian wisata termasuk di dalamnya berziarah, melakukan kunjungan yang bernilai religius.

Biasanya, dalam suatu perjalanan wisata, selain memperoleh kesan, juga didapatkan hal yang belum pernah diketahui sebelumnya. Dari apa yang dilihat, didengar dan dirasakan, diperoleh pengetahuan dan ilmu yang baru. Dengan demikian, segala yang menjadi ilmu dasar dalam ingatan itu akan dengan mudah disampaikan atau ditularkan kepada orang lain. Kita tidak hanya sekedar mendengar cerita orang lain atau hanya membaca dari buku.

Memang, dengan kita banyak membaca dan mendengarkan cerita dari seseorang, kita akan memperoleh pengetahuan yang banyak. Kendati demikian, yang lebih baik lagi atau dirasa lebih afdhal, kalau kita melihat sendiri, tahu sendiri dan mendengar sendiri dari sumber utamanya. Ada kepuasan batin.

Kunjungan dalam bentuk ziarah, memang ada hal lain yang ditemukan. Perasaan dalam wisata ziarah memberi kesan kedekatan rohani dengan sang tokoh dan Allah Maha Pencipta. Kota Surabaya, juga banyak dikunjungi parawisatawan ziarah ini, yakni ke Masjid Agung Ampel dan ke kawasan pemakaman Sunan Ampel (Cerita tentang Sunan Ampel ditulis tersendiri).

Berbeda dengan ziarah, kegiatan wisata pada umumnya adalah kegiatan rekreasi dan bersenang-senang. Tentu, hasil akhir yang diperoleh adalah kesan senang dan puas.
Nah, bepergian jauh, berwisata, melancong, pesiar atau berdarmawisata, tujuannya adalah untuk memperoleh “kepuasan batin”. Oleh sebab itu, dalam penyediaan obyek kepariwisataan, yang utama adalah menjadikan obyek tersebut meninggalkan kesan yang menghasilkan kepuasan batin.

Kota Surabaya yang berjuluk Kota Pahlawan dan Kota Budi Pamarinda, layak dijual menjadi obyek wisata dalam arti yang sesungguhnya. Seperti yang pernah disajikan sebelumnya, bahwa kegiatan Budimarinda (Budara, Pendidikan, Maritim, Industri dan Perdagangan), dapat dirinci dan dipilah-pilah menjadi obyek “par” atau pariwisata.

Namun, para pendatang ke Kota Pahlawan ini, kadang-kadang “buta”, mereka sulit mengetahui secara pasti apa saja obyek wisata di Surabaya. Belum ada paket wisata yang padu dan terintegrasi antara Dinas Periwisata dengan perusahaan pengelola kepariwisataan. Masing-masing jalan sendiri, sehingga obyek wisata di Surabaya ini lepas dan terpotong-potong sesuai dengan selera masing-masing pula.

Pendatang dari luar daerah tiba di Surabaya, umumnya melalui Bandara Juanda atau Pelabuhan Laut Tanjung Perak, atau di Stasiun Kereta Api Pasar Turi dan Gubeng, atau juga yang turun di terminal bus antarkota Purabaya dan Tambakoso Wilangun. Seharusnya, di peron tempat mendarat itu mereka disambut dengan ramah, melalui bahasa tulisan.

Jadikan pendatang itu memperoleh kesan pertama, bahwa Kota Surabaya ini memang layak disebut “Kota Pahlawan”. Saat matanya terpana melihat gambaran kepahlawanan di Kota Surabaya itu, wisatawan ini kemudian diarahkan untuk menelusuri obyek wisata di Surabaya yang memang bernuansa kepahlawanan.

Jadikan para wisnu (wisatawan nusantara) atau wisman (wisatawan mancanegara) itu memperoleh suatu keasyikan. Kalau semula, mungkin di Surabaya ini mereka hanya sekedar singgah, karena akan melanjutkan perjalanan menuju ke Gunung Bromo, Bali atau Jogjakarta. Tetapi, kita harus menjerat para wisatawan itu “menginap” di Surabaya, sebab salah satu wujud kepariwisataan itu adalah “menginap” dan membelanjakan uangnya di obyek wisata.

Setelah wisnu atau wisman itu melhat ke sana ke mari, sodori informasi sebanyak mungkin tentang kota ini. Sediakan secara gratis kertas informasi dalam bentuk buklet atau mungkin layar monitor informasi yang bicara tentang “Ini lho Surabaya!”. Beri mereka peta wisata, lalu serahkan paket wisata Kota Pahlawan. Kemudian dilanjutkan dengan informasi aktivitas kota ini di bidang Budi (pa)marinda itu.

Saat wisatawan berada di Kota Surabaya, warganya harus ramah menyapa dan menjamu, sehingga kesan secara beruntun dirasakan di hati. Kesan pertama yang memikat akan menjadi kenangan yang takkan terlupakan. Itulah kepuasan batin yang dicari para petualang wisata. Bagi pengaran dan penulis, mereka akan memperoleh ilham yang makin dalam, sehingga dalam buah karyanya akan terwujud gambaran yang nyata.

Mari kita kunjungi “obyek wisata” di Kota Surabaya yang bernuansa kepahlawanan. Di antaranya, Museum Pahlawan dan Taman Makam Pahlawan.

Museum Tugu Pahlawan
Sebagai Kota Pahlawan, di Surabaya berdiri Tugu Pahlawan yang terletak di Taman Tugu Pahlawan di Jalan Pahlawan Surabaya. Di halaman Taman Tugu Pahlawan ditemukan patung pada pahlawan dan orang-orang yang berjasa saat peristiwa bersejarah sekitar tanggal 10 November 1945. Kiprah “Arek Suroboyo” yang memuncak tanggal 10 November 1945 ini, kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan yang diperingati setiap tahun oleh Bangsa Indonesia.

Tidak hanya sekedar tugu pahlawan dan patung-patung yang terdapat di Taman Tugu Pahlawan, tetapi di dalam perut bumi di samping bawah Tugu Pahlawan itu, ada Museum Pahlawan 10 November.

Dulunya di zaman Penjajahan Belanda, di tempat yang sekarang dinamai Taman Tugu Pahlawan ini berdiri gedung pengadilan yang disebut Raad van Justitie. Dalam peristiwa perang kemerdekaan gedung itu hancur dan tahun 1951 benar-benar dihancurkan seluruhnya, sehingga rata dengan tanah.

Presiden RI pertama, Ir.H.Sukarno menetapkan pembangunan Tugu Pahlawan di tempat ini. Tepat pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 1951, Bung Karno meletakkan batu pertama pembangunan Tugu Pahlawan. Setahun kemudian, pada peringatan Hari pahlawan 10 November 1952, Tugu Pahlawan di Kota Surabaya diresmikan.

Saat Pemerintahan Kota dipegang oleh dr.H.Poernomo Kasidi sebagai walikota tahun 1991 yang dilanjut oleh H.Sunarto Sumoprawiro, di bawah Taman Tugu Pahlawan itu dibangun Museum Pahlawan 10 November. Pekerjaan yang terdiri delapan paket itu menghabiskan biaya Rp 32,9 miliar.

Walaupun di tempat ini berbagai jenis peninggalan sejarah dipajang, ditambah dengan diorama yang mampu bercerita tentang peristiwa heroik yang memakan korban ribuan jiwa Arek Suroboyo, namun belum banyak orang yang tahu. Jangankan para pelancong yang disebut wisnu dan wisman, warga kota Surabaya saja, 80 persen belum pernah datang ke sini. Kalau seandainya dihitung warga kota Surabaya ini berjumlah tiga juga jiwa, maka yang diperkirakan sudah masuk ke Museum Pahlawan ini, baru berapa?

Bagaimana mungkin orang luar Surabaya tertarik masuk ke dalam Museum Pahlawan, kalau warga Surabaya sendiri yang ditanyai tamunya juga kurang informasi, bahkan buta informasi.

Makam para pahlawan yang disebut TMP (Taman Makam Pahlawan) di Surabaya ini cukup banyak. Ada yang mengatakan, bahwa makam-makam kampung di Kota Surabaya ini umumnya ditempati oleh para pahlawan, pelaku sejarah 10 November 1945. walaupun demikian, yang diwujudkan sebagai TMP ada tiga: yakni TMP di Jalan Kusuma Bangsa, TMP di Jalan Ngagel Jaya Selatan (Jalan Bung Tomo) dan TMP di Jalan Mayjen Sungkono.

Kecuali itu, di Surabaya juga ada TMP khusus, tempat dimakamkannya Pahlawan Nasional salah seorang pendiri Budi Utomo, Dr.Sutomo di Jalan Bubutan Surabaya dan pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya, Wage Rudolf Supratman, dekat Pemakaman Umum Rangkah di Jalan Kenjeran Surabaya.

Belajar dari Filipina

Pemerintah Kota Surabaya pernah mengadakan studi banding ke Filipina, bagaimana mewujudkan TMP sebagai obyek wisata. Sebab, di Filipina ada sebuah TMP yang dibangun cukup megah dan ternyata mampu menjaring para wisatawan berkunjung ke tempat itu. Bahkan, ada ungkapan, kalau seandainya datang Filipina, tetapi belum berkunjung ke TMP yang bernama “Manila American Cemetery and Memorial” (MACM), itu sama artinya belum pernah ke Filipina.

Nah, adakah ungkapan seperti itu bisa diterapkan di Surabaya? Misalnya, apabila belum berkunjung ke Taman Tugu Pahlawan dan Taman Makam Pahlawan di Surabaya, itu sama artinya anda belum pernah datang ke Surabaya.

Untuk itulah, belajar dari Filipina itu, Pemkot Surabaya bernah mencanangkan akan menjadi TMP di Jalan Mayjen Sungkono dan Taman Tugu Pahlawan sebagai obyek wisata “mutlak” bagi para wisatawan. Namun, ide, keinginan, harapan dan bahlkan apa yang pernah dicanangkan itu tinggal menjadi cerita masa lalu. Wujudnya, nihil. Padahal untuk studi banding ke Filipina itu menggunakan dana besar dari Pemkot Surabaya yang diikuti oleh sebuah tim dari berbagai disiplin ilmu.

TMP yang terletak di Fort Bonifacio, Manila, Filipina itu terletak di Provinsi Rizal yang sebelumnya bernama Fort William Mc.Kinley. Memang, sebagai bekas jajahan Amerika, di Filipina banyak nama tempat yang berbau Amerika.

TMP yang terletak sekitar 6 mil sebelah tenggara pusat kota Manila itu mudah dicapai dengan menggunakan taksi melalui jalan raya Epifanio de Los Santos Avenue (highway 54) dan McKinley Road. Di TMP yang luasnya 152 are atau sekitar 60,8 hektar dimakamkan 17.206 jasad tentara Amerika yang tewas dalam Perang Dunia II tahun 1945. Keanggunan TMP ini terlihat sejak dari gerbangnya, kemudian penataan plaza dengan air muncrat dengan tembok abadi (memorial building) di tengah TMP.

Itu pulalah sebabnya, TMP MACM di Filipina yang merupakan TMP terbesar kedua setelah TMP Arlington, di Washington, Amerika Serikat itu, oleh Pemkot Surabaya dijadikan salah satu model untuk penataan TMP di Jalan Mayjen Sungkono.

Mungkinkah apa yang pernah digagas dan dicanangkan Pemkot Surabaya, menjadikan TMP sebagai obyek wisata dapat diwujudkan? Kalau kita ingin benar-benar menjadikan Surabaya sebagai Kota Pahlawan, tentu wajib hukumnya. Sebab, mubazir dana yang sudah dikeluarkan untuk studi banding ke luar negeri itu.

Makam Belanda dan Jepang
Tidaka ada salahnya pula, sebagai obyek wisata, berkunjung ke makam para pendahulu kita. Tidak saja ke makam Sunan Ampel dan para pengikutnya. Makam bekas penjajah atau kolonial Belanda dan Jepang, sebenarnya bisa dikelola sebagai obyek wisata yang menghasilkan pemasukan ke kas Pemkot Surabaya.
Di Surabaya, salah satu komplek makam penjajah yang dikelola dengan baik adalah Makam Kembang Kuning. Khusus untuk ini, saya tulis dengan rubrik sendiri. Sebab, di sini juga ada beberapa nama tokoh bangsa Balanda.

Selain makam rakyat, juga terdapat makam para pejabat dan “pahlawan” bagi bangsa Belanda. Juga ada makam lama yang kurang mendapat perwatan, di Makam Peneleh. Makam yang sudah dinyatakan penuh.

Nah, di Kota Surabaya, juga tidak sedikit balatentara Jepang yang “gugur” sebagai pahlawan Negara Sakura, yangb tentunya bukan pahlawan bagi bangsa Indonesia. Bagaimana pula cerita tentang makam “saudara tua” dari dai Nippon itu. Juga saya tulis dalam judul tersendiri.

Nah, sekarang Pemerintah Kota Surabaya, maupun Pemerintah Provinsi Jawa Timur harus punya kemauan untuk memanfaatkan TMP atau makam-makam lama dijadikan sebagai obyek wisata, baik wisata religi atau ziarah, maupun sebagai obyek wisata sejarah.

Seyogyanya, mengunjungi TMP, makam-makam lama dan bersejarah, dijadikan paket wisata kota Surabaya, satu-satunya kota di Indonesia yang berjuluk Kota Pahlawan.***

*) Yousri Nur Raja Agam MH – pemerhati sejarah dan Ketua Yayasan Peduli Surabaya.

Pusura Surabaya

PUSURA

Organisasi Sosial Tertua

Arek Surabaya

Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)

Yousri Nur RA,MHPUSURA, merupakan singkatan dari “Putera Surabaya”. Ini adalah nama organisasi sosial yang cukup tua di Kota Surabaya. Berdasarkan catatan yang ditemukan penulis, serta hasil pengecekan di kantor Pusura, hari lahir atau berdirinya Pusura adalah tanggal 26 September 1936.

Kita patut berbangga, sebab organisasi yang berdiri pada zaman penjajahan Belanda itu masih ada sampai sekarang. Para pengurusnya, benar-benar dapat melaksanakan amanah dari para pendiri dan pengurus-pengurus sebelumnya. Berkat kesinambungan kepengurusan itulah, kegiatan Pusura terus berkembang, terutama di bidang sosial.

Memang, pada awalnya ide mendirikan Pusura tidak semata-mata di bidang sosial. Namun kegiatan sosial itu hanya “kedok” untuk mengelabui penjajah Belanda waktu itu. Sebenarnya, kegiatan yang dilakukan Pusura pada tahun 1930-an itu adalah kegiatan politik terselubung, terutama menanamkan semangat perjuangan warga kota Surabaya ikut merebut kemerdekaan.

Untuk mencapai cita-cita kemerdekaan itu, para pendiri Pusura berusaha secara maksimal meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Di samping itu, menyelenggarakan kegiatan pendidikan untuk mencerdaskan anak bangsa yang ada di Kota Surabaya ini. Apalagi para pendiri organisasi yang semula bernama “Poesoera” ini, umumnya tokoh masyarakat yang berlatarbelakang politisi, cendekiawan, pendidik dan ulama.

Mereka antara lain, empat orang dokter pejuang, yakni: Dr.Sutomo, Dr.Soewandi, Dr.Yahya dan Dr.Samsi. Di samping itu ada ulama yang juga pejuang kemerdekaan, yakni KH Mas Mansur, H.Nawawi Amin, Koesnan Effendi, H.Manan Edris dan H.Hoesein. Foto para pendiri Pusura ini, sekarang dipajang di kantor Pusura yang terletak di Jalan Yos Sudarso 9 Surabaya.

Sebelum Pusura dilahirkan, kata Ketua Pusura (saat ini), H.Kadaruslan yang biasa disapa: Cak Kadar itu, Dr.Sutomo dan kawan-kawannya lebih dulu mendirikan Gedung Nasional Indonesia (GNI) di Jalan Bubutan. GNI ini merupakan pendopo dari gedung penerbitan dan percetakan, serta tempat pendidikan dan poliklinik kesehatan.

Di masa perjuangan itulah kegiatan sosial dikembangkan Pusura melalui kegiatan “sinoman”. Selain mengurusi warga yang meninggal dunia, sinoman juga tempat berhimpun warga yang melakukan kegiatan sosial kemasyarakatan. Namun saat kegiatan perjuangan kemerdekaan memuncak, aktivitas Pusura menurun, bahkan sempat terhenti.

Itulah sebabnya, saat kemerdekaan diproklamasikan 17 Agustus 1945 dan berlanjut hingga peristiwa bersejarah 10 November 1945, organisasi Pusura bagaikan tenggelam. Pengurusnya sibuk dalam kesatuan perjuangan yang terdiri dari berbagai organisasi, kelompok dan paguyuban.

Saat Pusura “hilang” di awal masa kemerdekaan Republik Indonesia, lahir organisasi bernama GPP (Gabungan Pemuda Perjuangan) Surabaya. Organisasi ini menggunakan seluruh fasilitas dan inventaris Pusura, kata Cak Kadar yang ditemui penulis di gedung Pusura yang terletak persis diseberang kantor DPRD Kota Surabaya.

Nah, barulah pada tahun 1950 nama Pusura dihidupkan lagi. Waktu itu, H.Doel Arnowo menjabat sebagai walikota Surabaya (1950-1952). Pusura bangkit dan ditata kembali. Selain kegiatan sinoman yang dimasyarakatkan ke seluruh kampung-kampung di Surabaya, kegiatan lainnya adalah mengumpulkan barang-barang inventaris yang berserakan akibat perang kemerdekaan, maupun akibat warga Surabaya mengungsi ke luar kota.

Berbagai upaya dilakukan untuk menarik warga kota Surabaya dalam berorganisasi di bidang sosial ini. Salah satu di antaranya adalah menyelenggarakan kegiatan olahraga. Mulai dari olahraga ringan, seperti catur, pencaksilat dan mendirikan klub sepakbola “mini” dan perkumpulan “anak gawang”. Anak-anak gawang ini difungsikan membantu pemungutan bola yang ke luar lapangan, saat pertandingan berlangsung. Tidak hanya yang diselenggarakan Persebaya saja, tetapi juga untuk klub-klub sepak bola lainnya.

Menurut Cak Kadar, Pusura pernah melahirkan grand master olahraga catur tingkat nasional dan internasional, yakni: Ardiansyah dan Taufik.

Saat kegiatan politik praktis menjelang Pemilu (Pemilihan Umum) pada tahun 1970-an, Pusura sempat terpecah. Pusura yang merupakan organisasi sosial kemasyarakatan, oleh orang tertentu digiring ke dunia politik. Namun upaya itu berhasil dicegah. Akibatnya, lahir organisasi “tandingan” bernama Pasura (Paguyuban Arek Surabaya).

Tidak hanya itu, Pusura pada dekade 1970-an hingga 1980-an sempat menjadi sorotan masyarakat dan aparat keamanan. Para tokoh tua yang menjadi pengurus Pusura, memilih untuk tidak aktif. Maka, anak-anak muda yang berada di markas Pusura lepas kontrol. Gedung Pusura menjadi “angker”, karena dijadikan tempat berkumpul para preman. Waktu itu, juga sering terjadi perkelahian antar geng anak muda.

Nama-nama geng yang cukup dikenal waktu itu, antara lain: Besi Tua, Air Laut, Massa 33 dan sebagainya. Sedangkan tokoh di balik geng ini antara lain, sebut saja: Cak Nuralim, Harun, Maison, Sugianto dan sederetan nama lainnya,

Walikota Surabaya Drs.Moehadji Widjaja (1979-1984), mempunyai perhatian yang cukup baik terhadap Pusura. Ia melakukan pendekatan persuasif kepada anak muda yang dicap sebagai preman. Cak Nuralim, salah seorang yang cukup disegani di kalangan anak muda yang dicap preman waktu itu, didekati oleh walikota Moehadji Widjaja.

Bersama beberapa wartawan dan tokoh muda Surabaya, Moehadji Widjaja menyambut baik berdirinya organisasi yang diberi nama Generasi Muda Arek-Arek Surabaya (Gemaas). Cak Nuralim diangkat sebagai ketua Gemaas yang pertama dengan wakilnya Hari Sasono DS yang waktu sebagai wartawan majalah “Selecta Group” Jakarta, perwakilan Jawa Timur.

Cak Nuralim dan Cak Hari Sasono mengajak beberapa wartawan sebagai pengurus Gemaas. Mereka antara lain: Arifin Perdana, Anton Abdullah, Anton Tjondro, Yousri Nur Raja Agam, Yamin Akhmad dan beberapa anak-anak muda lainnya. Saat Gemaas diresmikan oleh walikota Moehadji Widjaja, tahun 1980 itu, anggota Gemaas ini terdiri dari gabungan anak muda yang dicap sebagai “preman”, juga beberapa orang wartawan dan seniman.

Begitu akrab dan dekatnya “mantan preman” ini dengan wartawan dan seniman, gedung Pusura sempat dijadikan markas penerbitan Suratkabar Mingguan “Surabaya Minggu” yang dipimpin oleh Anwar Arief. Ikut bergabung sebagai pengelola koran itu, dua orang aktivis Pusura: Cak Nuralim dan Cak Jayeng Wandi.

Cak Kadaruslan, mantan wartawan Harian Berita Yudha perwakilan Jawa Timur, yang sebelumnya merantau ke Kalimantan, tahun 1993 kembali ke Surabaya. Sebagai mantan aktivis Kesatuan Aksi yang tergabung dalam Angkatan 66, ia melihat Pusura sebagai organisasi “Arek Suroboyo” kurang terurus. Tidak ada tokoh tua yang mau berinisiatif mengaktifkan kembali oraganisasi yang punya nama besar ini.

Setelah menemui para sesepuh Pusura, seperti Pak Asmuri, Pak Yahya Hasjim dan Pak Iskandar Yasin, kemudian mendapat masukan dari beberapa tokoh lainnya, maka Cak Kadaruslan menyatakan bersedia membenahi Pusura. Cak Kadar, kemudian terpilih dan mendapat mandat sebagai ketua Pusura. Ia berusaha menemui tokoh masyarakat Surabaya untuk diajak menjadi pengurus. Ternyata berhasil.

Dengan diaktifkannya kembali kepengurusan Pusura, image Pusura sebagai “sarang preman” berhasil dihapus, kata Cak Kadar yang juga dikenal sebagai seniman anggota DKS (Dewan Kesenian Surabaya) ini.

Secara bertahap pengurus menyusun program kerja jangka pendek dan jangka pajang. Juga dibuat kalender kegiatan rutin tiap tahun. Misalnya, kegiatan yang berhubungan dengan peringatan hari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus dan peringatan Hari pahlawan 10 November.

Kegiatan yang bersifat sosial ditingkatkan, termasuk mengembang Poliklinik Pusura yang menyediakan pelayanan gabungan dokter spesialis. Tidak hanya di komplek Pusura di Jalan Yos Sudarso, tetapi jug di beberapa tempat yang tersebar di kota Surabaya. Tidak hanya itu, ulas Cak Kadar, kegiatan bakti sosial, donor darah, bantuan untuk penderita penyakit kusta dan anak jalanan juga diselenggarakan terus-menerus. Pusura juga menyelenggarakan pengajian rutin ibu-ibu dan pemuda. Di samping itu, dibuka pula Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pusura yang malayani masyarakat umum. Pada saat tertentu diselenggarakan seminar dan diskusi membahas persolan yang aktual.

Ada lagi satu kepercayaan yang “luar biasa” yang saat ini diemban Pusura, yakni mengelola Taman Pemakaman Umum (TPU) Tembok Dukuh oleh Pemerintah Kota Surabaya. Kepercayaan ini, dilaksanakan oleh Pusura dengan menunjuk kordinator pelaksana. Walaupun kepercayaan mengelola TPU Tembok Dukuh yang luasnya 13 hektar ini diberikan oleh Pemkot Surabaya, tetapi tanpa disertai dukungan dana. Jadi, Pusura mengelola TPU itu secara swakelola dan mandiri, kata Cak Kadar.

Susunan pengurus Pusura saat ini, terdiri dari Penasehat, yaitu: H.Yahya Hasjim, H. Asmoeri, Ir.H.Moechajat, H.Iskandar Yasin. Ketua Umum: H.Kadaruslan, dibantu lima orang ketua, masing-masing: Ir.H.Mustahid Astari, Drs.H.Manan Chamid, H.Latif Burhan, H.Binsjeh Abuyani dan H.Basori Effendi. Sekretaris Umum: HM Zaidun,SH dengan dua sekretaris: Hoslih Abdullah dan Ir.H.Abdul Muin. Bendahara Umum H.Sofwan hadi dengan wakil bendahara: Ny.Hj.A.Manan Chamid.

Dengan melihat susunan pengurus Pusura itu, kata Cak Kadar, jelas bahwa Pusura tidak membeda-bedakan orang berdasarkan aliran politik yang diikutinya. Pusura merupakan organisasi sosial yang terbuka dan tidak terkena imbas politik praktis. Dalam organisasi ini semua “lepas baju”. Artinya, saat berada di lingkungan Pusura, tidak ada pengaruh warna politik yang dianut oleh orang perorang dalam organisasi sosial kemasyarakatan ini.

Musyawarah Pusat ke I  

Semangat reformasi juga bermunculan di kalangan keluarga besar Pusura. Para sespuh dan tokoh Surabaya menyadari, perlu dilakukan peremajaan dalam tubuh Pusura. Berbagai kegiatan yang membawa corak kehidupan yang khas di Surabaya harus dipertahankan. Budaya “Arek Suroboyo” yang sudah mendunia akibat semangat juang Arek-arek Suroboyo di tahun 1945, perlu diketuktularkan menurut versi zaman kini.

Cak Kadar, bersama pengurus Pusura tahunn 2009 bersepakat untuk melakukan peremajaan kepengurusan melalui media formal. Sesuai dengan AD-ART yang sudah dibuat, peremajaan dan penggantian pengurus dilaksanakan melalui Musyawarah Pusat Pusura. Untuk pertamakali diselenggarakan Musyawarah Pusat Pusura tanggal 28 Juni 2009.

Pada Musyawarah Pusat I-2009 itu terpilih formatur untuk menyusun kepengurusan Pusura masabakti 2009-2013. Formatur yang sekaligus sebagai Ketua Umum, terpilih H.Muchammad Zaidun. Disepakati pula, Hoslih Abdullah dan Ka Loko Djojo sebagai anggota formatur.

Untuk masabakti 2009-2013 ini tersusun pengurus yang cukup lengkap. Pada jajaran Dewan Pertimbangan, diisi sepuluh sesepuh dan tokoh masyarakat Surabaya, yakni: H.Yahya Hasyim, H.Asmoeri, H.Kadaruslan, H.Mustahid Astari, H.Bambang Sulistomo, H.Manan Chamid, H.Abdul Karim, H.Abduyl Latief Burhan, H.Herman Rivai dan H.Kusnandar.

Kepengurusan juga dilengkapi dengan Dewan Pakar, yaitu: Prof.Dr.Ir.M.Nuh,DE ; Prof.Dr.Aminuddin Kasdi,MA ; Prof.Dr.Eman Ramelan,SH,MS ; Dr.Tjoek Kastoeri Soekiadi,SE ; Dr.Ir.H.Alisjahbana,MA dan Drs.Aribowo,MA.

Pengurus harian: Ketua Umum H.Muchammad Zaidun disertai tiga Ketua, yakni: Sabrot D.Malioboro, H.Muhammad Fadil dan Wisnubroto Heruputranto. Sekretaris Umum: Hoslih Abdullah dengan dua sekretaris, yaitu: Zakaria Anshori dan Heroe Poernomosidi. Bandahara H.Supardi dan Wakil Bendahara Bambang Sukariadji.

Ada delapan bidang yang sebagai kelengkapan kepengurusan, yaitu: bidang Hubungan Masyarakat (Humas), bidang Hukum, bidang Organisasi, bidang Pemuda, bidang Wanita, bidang Kesehatan, bidang Seni Budaya dan bidang Wira Usaha.

Kegiatan Pusura, juga ditunjang oleh organisasi yang bersifat otonom. Badan otonom Pusura itu, di antaranya: Sinoman Kematian Pusura, Wanita Pusura, Gemaas (Generasi Muda Arek-arek Surabaya) Pususa, POB (Persatuan Olahraga Beladiri) Garuda Mas Pusura, Pemuda Pusura, Lembaga Kesehatan Pusura dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pusura.

Sabrot Dodong Malioboro, ketua Pusura yang ditemui penulis di kantor pusat Pusura Jalan Yos Sudarso 9 Surabaya, mengakui, sekarang kegiatan Pusura semakin banyak. Di samping pelayanan sosial dan poliklinik Pusura yang ada di beberapa tempat, nama dan citra Pusura sebagai ikon Kota Surabaya sudah terangkat. Gedung Pusura hampir tak pernah lengang. Berbagai aktivitas dilaksanakan di gedung tua yang masuk kategori “cagar budaya” ini. Ruang utama sering dipergunakan untuk kegiatan seminar, pengajian, olahraga dan pertemuan lainnya.

            Memang, ujar Sabrot, kendati sudah melekat di hati masyarakat Surabaya, ke depan Pusura akan terus melakukan kegiatan yang bernafaskan sosial kemasyarakatan. Masing-masing bidang dalam kepengurusan sudah dan akan terus meningkatkan aktivitasnya. Begitu pula dengan badan otonom yang bernaung di Pusura. ***.

 *) Yousri Nur Raja Agam MH – Ketua Yayasan Peduli Surabaya