Menyambut HPN 2009 (8)

Ketika Era Reformasi

Mediamassa Menjamur


Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)

Yousri Nur RA MH

Yousri Nur RA MH

MEMASUKI era Reformasi, tahun 1998, sama dengan ibukota dan kota-kota lain di Indonesia, kota Surabaya juga menangguk banyak kesempatan. Kran demokrasi yang dibuka Presiden BJ Habibie, waktu itu, juga dimanfaatkan oleh mediamassa. Pers benar-benar bagaikan lepas dari belenggu Orde Baru melalui Deppen dan Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban).

Kebebasan pers semakin terasa saat Menpen Yunus Yosfiah, memberi kesempatan kepada siapa saja untuk mengajukan permohonan SIUPP untuk menerbitkan suratkabar, majalah dan kantor berita. Bahkan, persyaratan untuk mendirikan stasiun pemancar radio dan televisi swasta juga tidak terlalu ketat.

Setelah pemerintahan beralih kepada Presiden KH.Abdurrahman Wahid, Deppen “dibubarkan” dan pers merasakan kebebasan mutlak tanpa kendali. Akibatnya, mengandung segi positif dan negatif. Siapa saja bisa menerbitkan media cetak tanpa harus berurusan dengan instansi pemerintahan. Tidak ada lagi perizinan. Sehingga, mediamassa tumbuh bak kecambah di musim hujan.

Saat itu, selain muncul mediamassa cetak yang ditangani para wartawan senior yang profesional, tidak sedikit koran dan majalah yang terbit secara amatiran oleh orang-orang yang hanya memanfaatkan kesempatan. Tetapi, bagaimanapun juga, yang profesional lebih lama bertahan dibandingkan dengan yang amatir.

Dalam dunia mediamassa elektronika, radio siaran milik swasta di masa Orde Baru seolah-olah “diharamkan” menyiarkan berita dan hanya boleh merelay dari radio milik pemerintah, yakni RRI (Radio Republik Indonesia). Tetapi, sekarang secara terang-terangan membuka kemasan terselubung dalam bentuk informasi, menjadi siaran berita atau warta berita. Hal yang sama juga berlaku televisi swasta. Kalau sebelumnya hanya boleh menyiarkan berita dengan bergabung ke TVRI (Televisi Republik Indonesia), namun kemudian TV swasta (waktu itu): TPI, RCTI, SCTV dan ANTV mulai menayangkan berita hasil liputan reporter, koresponden dan kontributornya sendiri, di samping menayangkan berita dari mediamassa asing.

Surabaya sebagai kota kedua terbesar setelah ibukota Jakarta, merasakan benar imbas perubahan kebijakan pemerintah pusat itu. Di Kota Pahlawan ini suratkabar dan majalah terbit dengan keanekaragaman model. Dari segi periode terbit, suratkabar harian masih tetap didominasi koran lama, yakni: Jawa Pos, Surya, Memorandum, Radar Surabaya, Bangsa, Duta dan Bhirawa. Sedangkan majalah lama yang tetap bertahan adalah: Jayabaya, Penyebar Semangat, Liberty, Mentari dan Fakta.

Balada Surabaya Post

Harian Surabaya Post yang diambang keruntuhannya, melahirkan beberapa embrio koran baru. Mantan Redaktur Surabaya Post Tatang Istiawan dkk, menerbitkan koran Surabaya Pagi dan beberapa redaktur lainnya. Sjamsul Arifin dkk mendirikan Surabaya News. Mantan wartawan yang berseteru dengan ahliwaris A.Azis dan Ny.Toety Azis yang dikuasakan kepada advokat Trimoelja D.Soerjadi itu memang tidak memanfaatkan gedung Surabaya Post di Jalan Panglima Sudirman dan percetakan di Jalan Sikatan. Harian Surabaya Pagi menyewa ruko di Jalan Kayun dan Surabaya News ruko di Jalan raya Gubeng – namun kemudian pindah ke ruko di dekat gerbang jalan tol Satelit Surabaya, tepatnya di Bukit Darmo Golf Regency Kav.31-32 Surabaya. Manajemen yang dipimpin Abdulrahman Bawazir, akhirnya menyerah. Di akhir tahun 2008 Harian Sore Surabaya Post beralih ke manajemen baru PT.Media Delta Espe di bawah Grup Bakri. Alamatnya pindah ke Jalan mayjen Sungkono 149-151 Surabaya. Komisaris Utamanya: Gesang Budiarso, Dirutnya: Poerwanto dan Pemimpin Umumnya diserahkan kepada Dhimam Abror Djuraid – mantan Pemred Jawa Pos, mantan Pemred Suara Indonesia dan mantan Pemred Surya.

Koran Surabaya Pagi tidak bertahan lama, lalu ganti manajemen dan ganti nama menjadi Bussines Surabaya di bawah pimpinan mantan wartawan Surabaya Post Bambang Hariawan. Sedangkan Tatang Istiawan, mendirikan koran Surabaya Sore di Jalan Darmo Baru, kemudian pindah ke Jalan Anjasmoro 56 D. Namun sejak Februari 2005, namanya diubah kembali menjadi Surabaya Pagi dan berkantor di Jalan Gunungsari 11 D Surabaya. Sejak tahun 2006, grup Surabaya Pagi ini melahirkan Harian Sore “Jatim Mandiri” yang juga dipimpin Tatang Istiawan.

Bersamaan dengan terbit kembali Harian Surabaya pagi di Jalan Gunungsari, tahun 2005 itu terbit pula Harian Suara Indonesia beralamat di Jalan Irian Barat 7 Surabaya, dipimpin oleh Dhimam Abror Djurait. Kehadiran Suara Indonesia ini didorong oleh ahli waris “pemilik lama” alm.Soegiono, yakni Edi Rumpoko – tahun 2008 terpilih sebagai Walikota Batu – bersama Haruna Sumitro. Tetapi, koran Suara Indonesia ini, tidak berumur panjang dan kembali “mati” di tahun 2007. Dhimam Abror hijrah ke harian Surya sebelum pindah ke Surabaya Post.

Benar-benar Menjamur

Koran mingguan cukup banyak, terbit dalam ukuran besar dan tabloid. Di antara koran itu, sebagian besar diterbitkan grup Jawa Pos, seperti: Nyata, Gugat, Agrobis, Komputek, X-File, Nurani, Taubat dan lain-lain. Penerbitan yang berdiri sendiri adalah: Jatim Pos, Radar Jatim, Metropolis, Teduh, Sapujagat, Teropong, Bidik, DOR (majalah dan koran), Suara Nasional, Posko, Jalur, Hobi, Mania, Palapa Post, Tanjungperak Post, Indomaritim, Lintas Kota, Wahana, Soerabaia News Week. Timur Pos, majalah Kirana, Suara Publik, Fokus, Investigasi, dan masih banyak lagi yang lain.

Kecuali itu, ada satu grup baru “TOP Media” pimpinan Singgih Sutojo. Grup yang awalnya menerbitkan majalah TOP itu, berkembang dengan beberapa penerbitan majalah dan tabloid yang umumnya menyajikan tulisan dan foto “panas” dan pantas sebagai bacaan orang dewasa. Namun, pada tahun 2006 lalu, berurusan dengan Polda Jatim. Majalah grup TOP Media itu pun tidak terbit lalgi.

Kota Surabaya juga merupakan daerah pemasaran dan distribusi berbagai meediamassa dari kota lain, terutama terbitan ibukota Jakarta. Di sinipun tersebar wartawan dan koresponden mediamassa dari daerah lain yang setiap saat menyampaikan informasi tentang Surabaya dan Jawa Timur ke pusat penerbitannya.

Radio tanpa Kendali

Radio-radio swasta yang tergabung dalam organisasi PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia) di Kota Surabaya juga tumbuh menjamur. Tidak ada lagi frekuensi yang kosong di pesawat radio, terutama pada gelombang FM (Frequency Modulation). Radio dengan gelombang FM memang menjadi favorit dengan jangkauan siaran yang jernih dibandingkan dengan gelombang AM dan MW.

Kehadiran radio-radio swasta di Surabaya mengalahkan peran RRI dan RKPD (Radio Khusus Pemerintah Daerah) Kota Surabaya yang bernama RGS (Radio Gelora Surabaya) dan RKPD Jatim yang sekarang beralih ke FM dengan nama JTFM.

Radio Suara Surabaya (SS) yang dipimpin mantan wartawan Pos Kota, Erol Jonatan, lebih dulu berinisiatif menyiarkan berita. Stasiun radio yang bermarkas di “puncak bukit” Wonokitri ini mengemas berita dengan siaran kelana kota dan menyebarkan reporternya untuk berwawancara dengan narasumber. Tidak ketinggalan, menginformasikan keadaan lalulintas yang dipantau oleh pendengar dan memberi kesempatan kepada pendengar untuk memancarluaskan ke udara secara langsung. Kiat SS ini kemudian diikuti radio SCFM, Rajawali, Merdeka, El Victor, MTB, Mercury, Colour dan lain-lain.

Televisi

Selain TVRI stasiun Surabaya, televisi swasta pertama di Kota Surabaya, adalah: SCTV (Surya Citra Televisi). TV yang bermarkas di Jalan Raya Darmo Permai, kota Satelit ini memancarluaskan siaran nasional dan internasional dari Kota Surabaya. Dengan alasan manajemen, kemudian SCTV terpaksa memindahkan aktivitasnya ke Jakarta. Kantor dan pemancarnya dipindahkan ke ibukota.

Undang-undang penyiaran kemudian berubah. Kebijakan politik dan situasi di era reformasi membuat pengelola media televisi makin bersemangat. Di Jakarta jumlah pusat penyiaran televisi bertambah. Setelah TVRI, TPI, RCTI, SCTV, ANTV, Indosiar, Latifi, Metro-TV, Trans TV, TV-7, TV Global dan MTV Indonesia, juga muncul siaran TV kabel.

Tidak hanya di ibukota, kebijakan baru sesuai dengan Undang-undang siaran, telah membuka cakrawala baru dengan adanya siaran televisi di daerah. Untuk wilayah Jawa Timur, lahir JTV (Jawapos Televisi) yang merupakan grup Jawa Pos yang bermarkas di gedung “pencakar langit” Graha Pena Jalan A.Yani Surabaya.

Kalau sebelumnya SCTV yang berpusat di Surabaya pindah ke Jakarta, sejak tahun 2004 aktivitas di studio SCTV Surabaya mulai hidup kembali. Di studio yang terletak di Jalan Darmo Permai Timur III itu kembali mengudara para penyiar lokal Surabaya menyampaikan berita-berita Jawa Timur. Hal yang sama juga dilakukan RCTI yang membuka perwakilan di Surabaya. Melalui studio di Jalan Kertajaya Indah, RCTI juga menyiarkan secara langsung berita-berita seputar Jawa Timur.

TV lokal di Surabaya pun bertambah lagi dengan nama SBO (Suroboyo). Ternyata masalah nama TV lokal ini ada ceritanya. Konon, nama-nama kota besar di Indonesia sudah dipatenkan oleh suatu grup perusahaan di Bali. Mereka sudah mematenkan nama Surabaya TV, Jakarta TV, Bandung TV, Makassar TV, Medan TV, Jogya TV dan lain-lain.

Nah, ternyata pengusaha di kota-kota yang namanya sudah dipatenkan itu, “terpaksa” menyerah dan mencari nama lain. Karena Surabaya TV sudah ada pemiliknya, maka anak perusahaan JTV khusus untuk Surabaya Raya mencari nama baru. Jadilah SBO tersebut. Pengusaha Jakarta yang keduluan Jakarta TV (walaupun belum siaran) akhirnya membuat nama baru Jack TV, di Bandung lahir Parahyangan TV.

Masih ada lagi TV baru di Surabaya, Arek TV yang menjadi satu grup dengan TV One (perubahan nama dan manajemen) dari Latifi. Ada pula TV anak, TV-E (Education), TV Kesehatan dan lain-lain yang merupakan TV lokal di Surabaya.

Koran Langit On-Line

Selain Suratkabar, majalah, radio dan televisi, sekarang ada multi media lain yang menggunakan dunia maya. Penerbitan elektronik menggunakan internet yang dikenal dengan dot-com atau dot-net. Ada yang berdiri sendiri, seperti Detik Surabaya.Com (anak perusahaan Detik.Com), Berita Jatim.Com, Suara Surabaya.Net (bagian dari Radio Suara Surabaya) dan masih banyak lagi “koran langit” sebagai koran on-line dari penerbitan suratkabar edisi cetak.

Perkembangan mediamassa dari dari masa ke masa di Kota Surabaya yang kami sajikan ini, memberi gambaran bahwa Kota Pahlawan ikut mewarnai opini yang berkembang di tengah masyarakat. Mediamassa dengan masyarakat persnya berperan memberi dorongan dan semangat kejuangan, pendidikan dan pembangunan. Kecuali itu, kemajuan dan kemundurannya, sekaligus mengungkap dinamika industri mediamassa di kota Budi Pamarinda (Budaya, Pendidikan, Pariwisata, Maritim, Industri dan Perdagangan) Surabaya ini. ***

*) Yousri Nur Raja Agam MH – mantan Wk.Ketua Pwi Jatim

Menyambut HPN 2009 (7) Masa Jaya Surabaya Post Ke Era Gurita Jawa Pos

Masa Jaya Surabaya Post

Ke Era Gurita Jawa Pos


Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)

PENATAAN mediamassa di Surabaya pada awal tahun 1970-an, tidak lepas dari pengaruh politik Pemerintahan Presiden Soeharto. Saat ini pemerintah Orde Baru mulai memperlihatkan kekuasaannya. Penerbitan pers kembali jadi ajang “pembelengguan”.

Situasi politik menjelang dan sesudah peristiwa 15 Januari 1974 yang dikenal dengan Malari (Malapetaka 15 Januari) di Jakarta cukup panas. Surabaya juga merasakan kehangatan suhu politik itu. Gejolak yang terjadi di ibukota berdampak langsung ke seluruh wilayah di Indonesia. Dunia pers dan jurnalistik yang selalu terlibat dalam berbagai kegiatan opini, tidak lepas dari pengaruh kekuasaan.

Salah satu arogansi kekuasaan yang diperlihatkan pemerintahan Orde Baru ini adalah melakukan pembredeilan atau memerintahkan pemberhentian penerbitan beberapa suratkabar di Jakarta. Di antaranya, tiga, yakni “Indonesia Raya” yang dipimpin H.Muchtar Lubis, “Pedoman” yang dipimpin H.Rosihan Anwar dan Harian KAMI yang dipimpin oleh H.Nono Anwar Makarim. Ke tiga SKH ini dilarang terbit, karena pemberitaannya menyudutkan pemerintahan.

Di Surabaya juga ada Harian Kami edisi Jatim yang dipimpin Sunansari Ecip (sekarang sebagai doktor komunikasi yang jadi staf pengajar di UI Jakarta dan Unhas Makasar) yang berafiliasi ke Harian Kami Jakarta. Dengan dibreidelnya Harian Kami di Jakarta, yang di Surabaya juga ikut dihentikan. Waktu itu, Harian Berita Yudha dan Harian Angkatan Bersenjata juga menerbitkan edisi Jatim. Kemudian Berita Yudha mengganti namanya mejadi Harian Bhirawayang dipimpin Kolonel (TNI-AD) H.Moh Said (alm) dan Angkatan Bersenjata menjadi Indonesia Bangun yang dipimpin oleh dr. Abdul Gafur (waktu itu Mayor TNI-AU dan terakhir dikenal sebagai mantan Menteri Pemuda dan Olahraga). Semuanya sudah terbit kecuali Harian Bhirawa.

Tahun 1970-an ini memang masa kritis berbagai suratkabar. Beberapa koran harian berhenti terbit akibat krisis pendanaan dan tekanan politik penguasa. Harian Perdamaian setelah 20 tahun berkiprah di Surabaya, tidak mampu mempertahankan manajemennya. Begitu pula dengan harian suluh Berita dan harian La Patria. Nasib yang sama juga dialami harian Sinar Kota, Bintang Baru, Suara Rakyat dan Pewarta Surabaya.

Koran-koran harian yang bertahan di awal tahun 1970-an hingga tahun 1980-an ini di samping Jawa Pos dan Surabaya Post, adalahBhirawa, Karya Darma dan Memorandum (sebelumnya bernama Mingguan Mahasiswa). Koran Mingguan, adalah: Pelita Kota yang kemudian menjadi Harian Radar Kota, Mingguan Surabaya Ekspres, Mingguan Tri Brata (ganti nama menjadi Ajibrata, kemudian berubah menjadi majalah Fakta hingga sekarang), Mingguan Asas dan Surabaya Minggu. Sedangkan majalahnya adalah: Jaya Baya, Penyebar Semangat, Liberty, Semesta dan Mentari (Putera Harapan).

Timbul-tenggelamnya penerbitan pers di Surabaya, memang tidak lepas dari pengaruh Undang-undang Pokok Pers atau UU No.11 tahun 1966 yang kemudian diubah menjadi UU No.4 tahun 1967, pemerintah menerapkan ketentuan-ketentuan tentang pers. Pengetatan terhadap dunia jurnalistik dilakukan pula dengan penerapan sistem wadah tunggal. Menteri Penerangan dengan SK No.47 tahun 1975, menetapkan bahwa PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) sebagai satu-satunya organisasi wartawan dan SPS (Serikat Penerbitan Suratkabar) sebagai satu-satunya organisasi penerbitan pers di Indonesia. Dengan demikian, organisasi wartawan kampus yang bernama IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia) dan beberapa organisasi wartawan lainnya tidak diakui pemerintah.

Akibat berbagai ekses yang terjadi, UU Pokok Pers mengalami perubahan menjadi UU No.21 tahun 1982. Dalam UU ini ditetapkan pula ketentuan tentang SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) sebagai pengganti SIT (Surat Izin Terbit). Peralihan izin terbit dari SIT menjadi SIUP ditetapkan dengan Peraturan Menteri Penerangan No.1 tahun 1984. Sejak saat itu, terjadi seleksi alam dalam dunia penerbitan. Hanya penerbitan yang mempunyai modal besar yang mampu terbit dengan baik, sedangkan yang pas-pasan banyak yang bangkrut dan hilang dari peredaran.

Bagi masyarakat pers, boleh dikatakan zaman pemerintahan Orde Baru di Kota Surabaya adalah era kejayaan suratkabar harian (SKH) Surabaya Post. Namun, setelah ditinggal pendirinya A.Azis dan Ny.Toety Azis, koran yang terbit sore hari ini, akhirnya gulung tikar.

Sekarang ada koran baru bernama “Surabaya Post”, sama sekali tidak punya hubungan manajemen dengan keluarga A.Azis. Namun para pendiri dan pengasuhnya berasal dari mantan wartawan dan karyawan Surabaya Post. Saat pertama terbit, mantan wartawan dan karyawan Surabaya Post mendirikan penerbitan bernama “Surabaya Pos” tanpa “t”. Tidak lama kemudian “Surabaya Pos” berganti nama menjadi “Surabaya News”. Koran yang berkantor di ruko di Jalan Raya Gubeng ini kemudian pindah ke ruko di Jalan Bukit Darmo Golf Regency Kav.31-32 Surabaya.

Pengelola baru Surabaya Post, mengajukan hak paten ke Departemen Hukum dan HAM di Jakarta. Ternyata berhasil, sehingga pengelola Surabaya Post yang sekarang memperoleh “hak cipta”. Surabaya Post sebagai merek yang dikelola keluarga A.Azis belum terdaftar sebagai sebuah badan hukum dan merek dagang. Konon yang terdaftar di Departemen Kehakiman adalah “PT.Surabaya Post Printing”.

Berbeda dengan “kerajaan” Jawa Pos yang sudah meninggalkan kawasan Kembang Jepun dan bersinggasana di Graha Pena Jalan A.Yani Surabaya, semakin menggurita. Semula Jawa Pos mulai mengambilalih pengelolaan beberapa suratkabar yang terbit di Surabaya dengan sistem kerjasama. Koran dan majalah yang terbitnya mengalami kesulitan dana mendapat subsidi dari Jawa Pos. Dimulai dari SKH Suara Indonesia, kemudian SKH Karya Dharma, SKM Surabaya Minggu dan Majalah Liberty. Setelah itu, di bawah komando Dahlan Iskan, pengambilalihan manajemen SKH meluas ke luar Jawa Timur.

Suratkabar yang pernah berjaya di suatu daerah di berbegai provinsi di Indonesia disuntik dana segar. Tenaga menejemen dan tenaga wartawan yang profesional oleh Jawa Pos yang berada di bawah payung Majalah Tempo dikirim untuk “melatih” tenaga setempat. Koran-koran di daerah yang semula terpuruk, kembali bangkit. Pada awalnya antara lain: Fajar di Makassar, Cahaya Siang di Manado, Semarak Bengkulu di Bengkulu, Suara Maluku di Ambon, Riau Pos di Pekanbaru, Suara Nusa di Mataram, Manungtung di Balikpapan dan Sumatera Ekspress di Palembang.

Sekarang koran-koran itu sudah banyak yang berganti nama dan jumlahnya sudah 100 penerbitan lebih di seluruh ibukota provinsi dan beberapa kota kabupaten di Indonesia. Di bawah manajemen Grup Jawa Pos ini penerbitannya memanfaatkan jaringan teknologi informasi dan komunikasi mutakhir, yang dikenal dengan JPNN (Jawa Pos News Network). Dengan menggunakan sistem ini, Jawa Pos melakukan pula proses cetak jarak jauh. Selain menggunakan nama lama, kini salah satu di antara ciri suratkabar yang bernaung dalam grup Jawa Pos menggunakan nama “Radar”, misalnya: Radar Surabaya, Radar Bogor dan lain-lain disuaikan dengan nama kota aeau daerah koran itu diedarkan. Pengelola “Radar-Radar” ini dikordinasikan oleh sebuah perusahaan, di antaranya: PT.Radar Timur yang mengelola suplemen dalam Radar yang berada di dalam tiras Jawa Pos. Ada Radar Malang, Radar Bojonegoro, Radar Kediri, Radar Bromo, Radar Madiun dan sebagainya.

Melihat kekuatan Jawa Pos yang dulu mempopularkan motto “Koran nasional yang terbit dari Surabaya” semakin menggurita, maka penerbitan besar di Jakarta Grup Kompas Gramedia bersama Grup Pos Kota melakukan kerjasama meningkatkan manajemen Mingguan Surya menjadi Harian Surya. Dalam perjalanannya, Grup Pos Kota menarik diri, sehingga Harian Surya kini hanya dikelola oleh Grup Kompas.

Di akhir masa Orde Baru dan memasuki era Reformasi, Surabaya Post benar-benar kehilangan pamor dan bangkrut, sementara Grup Jawa Pos semakin berjaya dan Harian Surya, tetap eksis. Kendati sempat menjadi grup Jawa Pos, harian Bhirawa akhirnya mampu mandiri.

Majalah yang bertahan dengan manajemen sendiri adalah: Jayabaya, Penyebar Semangat dan Fakta. Sedangkan yang lain melakukan kerjasama manajemen dan diambilalih oleh Grup Jawa Pos, seperti: Suara Indonesia yang berganti nama jadi Radar Surabaya, Harian Memorandum, Harian Karya Darma, Surabaya Minggu, Mingguan Asas, Majalah Mentari dan Majalah Liberty. ***

*) Yousri Nur Raja Agam MH – Wartawan berdomisili di Surabaya.