Bukan Masjid Agung

Masjid “Al Akbar

Di Surabaya


Oleh : HM Yousri Nur Raja Agam *)

MASJID Al Akbar yang sebelumnya bernama Masjid Agung Surabaya (MAS) merupakan proyek kebanggaan warga Surabaya dan Jawa Timur. Kendati mengalami hambatan teknis di lapangan saat awal pembangunannya, namun dapat juga terpecahkan. Bahkan, mendapat perhatian khusus dari Pemerintahan.

Masjid Al Akbar

Masjid Al Akbar

Di balik hambatan teknis itu, situasi ekonomi nasional bangsa Indonesia yang mulai dilanda krismon (krisis moneter) tahun 1996 itu, benar-benar membuat Walikota Surabaya H.Sunarto Sumoprawiro alias Cak Narto dan Gubernur Jawa Timur HM Basofi Soedirman (kala itu) harus “putar otak”. Betapa tidak, karena untuk menggali dana di daerah Surabaya dan Jawa Timur sudah tersendat-sendat. Panitia gabungan Pemkot Surabaya dengan Pemprov Jatim tidak mudah mengetuk hati kaum muslimin dan para dermawan. Usaha berbagirasapun sudah dilakukan dengan konglomerat yang ada di Jawa Timur. Namun hasilnya tidak maksimal. Masih dibutuhkan banyak tambahan lagi.

Trio arek Suroboyo” di Jakarta: H.Try Sutrisno, H.Tarmizi Taher dan H.Mar’ie Muhammad yang sudah menyampaikan komitmennya untuk membantu pendanaan pembangunan MAS juga tidak tinggal diam. Mereka bertiga menghadap Presiden RI (waktu itu) H.Muhammad Soeharto dan melaporkan rencana pembangunan MAS di Surabaya.

Mendapat laporan dari tiga “pembantunya” itu, sambutan Pak Harto luar biasa. Pak Harto sertamerta menyatakan dukungannya. Bahkan, pada waktu itu juga, Pak Harto memberikan restu dan sekaligus mengizinkan pembangunan MAS sebagai “proyek nasional”.

Untuk mendukung pelaksanaan “proyek nasional” itu, tanggal 26 Juli 1996 ditetapkan susunan Panitia Pembangunan MAS oleh Menteri Agama, H.Tarmizi Taher. Dalam kepanitiaan itu, Presiden Soeharto duduk sebagai Pelindung Utama dan Wakil Presiden Try Sutrisno sebagai Pelindung. Lima menteri kabinet ditetapkan sebagai Pembina, masing-masing: Dr.H.Tarmizi Taher (Menteri Agama), Drs.H.Mar’ie Muhammad (Menteri Keuangan), Ir.H.Tungki Ariwibowo (Menteri Perindusterian dan Perdagangan), Ir.H.Djamaloeddin (Menteri Kehutanan) dan Ir.H.Radinal Mochtar (Menteri Pekerjaan Umum). Dalam jajaran Pelindung ini juga dicantumkan nama KH.Hasan Basri (sekarang sudah almarhum) yang waktu itu sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Dari puncak menara bisa melihat Kota Surabaya

Dari puncak menara bisa melihat Kota Surabaya

Penasehat ditetapkan: Muspida Jatim waktu itu, masing-masing: H.Trimarjono,SH (ketua DPRD Jatim), Mayjen TNI H.Imam Utomo (Pangdam V Brawijaya), Mayjen Pol. Drs.H.Soemarsono,SH,MBA (Kapolda Jatim) dan A.Rachman,SH (Kajati Jatim). Kepanitiaan ini dilengkapi dengan Pengawas yang terdiri dari: Ketua MUI Jatim KH Misbach (almarhum), dua orang sesepuh Jatim: H.M.Noer (mantan gubernur Jatim) dan H.M.Said (almarhum/mantan Ketua DPD Golkar Jatim). Kemudian Gubernur Jatim HM Basofi Soedirman dan Walikota Surabaya, H.Sunarto Sumoprawiro.

Pelaksana Proyek dipercayakan kepada Ir.Suwono selaku pimpinan dan Ir.Pudjojoko sebagai wakil. Sedangkan Drs.Hoesein Soeropranoto dari Grup Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) dan Drs.HM Zuhdi,MM (almarhum/mantan Wagub Jatim) selaku bendahara dan wakil bendahara. Tim pendukung dari instansi terkait, seperti Pemprov Jatim, Kanwil Depag Jatim, Kanwil PU Jatim (sekarang Dinas PU Binamarga Jatim) dan Pemkot Surabaya, serta Tim RNI dan ITS.

Dengan status “proyek nasional” itu, maka Presiden Soeharto menetapkan dua orang pengawas ahli: arsitek kawakan Ir.H.A.Noe’man dan I.H.Douglas Baadila. Noe’man dikenal sebagai arsitek pembangunan Masjid Salman di komplek ITB Bandung. Arsitek kaliber dunia ini juga arsitek pembangunan Islamic Center (Masjid Al Markaz) di Makasar dan arsitek Masjid “Haji Muhammad Soeharto” di Bosnia.

Sebagai persiapan administrasi dan koordinasi, dilaksanakan perkenalan panitia di gedung Grahadi, Jalan Gubernur Suryo 7 Surabaya. Pertemuan dilanjutkan dengan acara di rumah Wapres Try Sutrisno di Jakarta, 23 Agustus 1996. Pada acara di kediaman Cak Su ini, selain dihadiri tokoh-tokoh masyarakat asal Jawa Timur yang berada di Jakarta, juga dihadiri para konglomerat. Pada acara malam itu, sebanyak 30 konglomerat “berjanji” akan memberikan sumbangan untuk pembangunan MAS. Dan komitmen “janji” konglomerat itu mencapai Rp 20,52 miliar ditambah satu unit perangkat pengeras suara (sound system) untuk MAS.

Setelah proyek berjalan, dalam rapat koordinasi berikutnya dilakukan perubahan perencanaan pembangunan masjid. Menara yang semula dirancang enam buah, diubah menjadi satu menara saja. Pada rapat tanggal 6 September 1996 itu ditetapkan pembangunan MAS selesai akhir Desember 1997. Untuk mengejar waktu, disepakati pelaksanaan pembangunan menggunakan sistem fast track, yaitu perencanaan diselesaikan bersamaan dengan pelaksanaan di lapangan.

Memang akibat krisis moneter yang melanda negara kita ini, dana yang diharapkan masuk kurang lancar, ujar HM Zuhdi saat ditemui seusai rapat panitia pembangunan MAS. Dana yang sudah dianggarkan belum semuanya dapat dicairkan. Kendati sudah ada “janji” dari para konglomerat Rp 20,52 miliar, belum semuanya terkumpul.

Pada awalnya diperkirakan biaya Rp 30 miliar dengan suatu kondisi belum termasuk pekerjaan luar bangunan, fasilitas penunjang dan jasa konsultan. Waktu itu dihitung luas bangunan 18.000 meter per-segi yang biaya pembangunannya diperkirakan Rp 1,5 juta per-meter per-segi atau Rp 27 miliar. Menara yang semula dirancang enam, menjadi satu menara saja dengan biaya Rp 3 miliar. Sehinga, total biaya waktu Rp 30 miliar.

Kemudian dilakukan penyempurnaan dengan perhitungan rinci (detail), akhirnya ditemukan biaya yang benar Rp 49,97 miliar. Kondisinya berubah, luas bangunan dan lapangan menjadi 28.500 meter per-segi. Berdasarkan perhitungan ulang itu, para Pembina yang terdiri dari para menteri kabinet menyanggupi membantu kekurangan dana Rp 9,5 miliar dan Pemprov Jatim Rp 10 miliar.

Begitu sulitnya menggali dana di masa krismon itu, HM Zuhdi yang semula Dirut Bank Jatim, kemudian menjadi Wakil Gubernur Jawa Timur, yang dipercaya sebagai bendahara itu, memang harus putar otak. Hampir tiap hari ia mengadakan rapat dan rapat yang tujuannya mengumpulkan dana untuk penyelesaian pembangunan MAS. Sampai-sampai waktu itu nama Zuhdi tidak dapat dipisahkan dengan MAS. Apabila ada kegiatan rapat atau acara yang dihadiri Zuhdi, orang sertamerta mengaitkannya dengan MAS.

Semula ketika MAS yang dinyatakan sebagai proyek nasional, direncanakan peresmiannya oleh Presiden Soeharto, Februari 1998 atau sebelum berlangsungnya Sidang Umum MPR bulan Maret 1998. Ternyata rencana tinggal rencana. Pelaksanaan pembangunan MAS tersenda-sendat, karena dana yang diharapkan belum tercapai akibat vdampak krisis moneter. Kecuali itu, situasi politik di Bumi Nusantara ini berubah total. Kepemimpinan negara ini beralih kepada Prof.Dr.H.B.J.Habibie. Ada rencana peresmian akan dilakukan oleh BJ Habibie, namun itupun batal. Kemudian baru pada saat Presiden KH Abdurrahman Wahid diresmikan, bersamaan dengan puncak acara Hari Pahlawan 10 November 2000.

Bukan Masjid Agung

Nama Masjid Agung Surabaya pada rapat yang berlangsung, Minggu 10 September 2000, disepakati diganti menjadi Masjid Al Akbar Surabaya. Singkatannya tetap MAS. Rapat yang dilaksanakan di gedung negara Grahadi itu dihadiri mantan Wapres Try Sutrisno.

Alasan penggantian nama itu, karena di Surabaya sudah ada sebutan untuk Masjid Agung Sunan Ampel. Karena MAS yang baru ini, ukurannya jauh lebih besar daripada Masjid Agung Sunan Ampel, maka disepakati nama MAS yang baru ini adalah Masjid Al Akbar Surabaya. Perubahan nama ini sudah mendapat persetujuan presiden waktu itu.

Memang, walaupun nama ini sudah diganti menjadi Masjid Al Akbar, masyarakat sudah terlanjur “fasih” menyebut nama masjid agung. Itu tidak masalah. Lama ke lamaan, apabila kita sudah terbiasa mengucapkan nama Masjid Al Akbar, tentunya akan berubah sendiri. Pada saat pembangunan awal, namanya Masjid Raya Surabaya (MRS), namun setelah diubah menjadi masjid agung, masyarakat melupakan sebutan masjid raya.

Sekarang, MAS sudah difungsikan sebagai tempat shalat berjamaah dan pengajian-pengajian. Melihat besarnya tanggungjawab perawatan dan upaya untuk “memakmurkan” masjid ini, memang harus ada penanganan yang serius. Perlu “takmir profesional” bertangan dingin dan kreatif.

Sebagai masjid terbesar ke dua di Indonesia setelah Masjid Istiqlal di Jakarta, MAS perlu segera dilengkapi dengan sara penunjang di dalam dan sekitarnya. Perlu ada madrasah dan asrama santri di daerah sekitar MAS sebagai penunjang untuk memakmurkan MAS secara rutin pada setiap waktu shalat. Agar pembangunan MAS ini tidak mubazir, maka fungsi masjid ini harus dimanfaatkan secara maksimal. Dan jangan diabaikan, perawatannya harus diatur sedemikian rupa. Perlu dirancang kegiatan perawatan harian, bulanan dan tahunan.

Ternyata sekarang, Alhamdulillah, Masjid Al Akbar sudah ramai dengan jamaah, terutama pada Shalat Jumat. Keculai itu, di hari libur, menara Masjid Akbar ramai didatangi masyarakat untuk melihat Kota Surabaya dari ketinggian.

Tidak hanya itu, kawasan lahan kosong di sekitar Masjid Al Akbar, juga ramai dengan pasar dadakan, Pedagang Kaki Lima yang menjual berbagai kebutuhan sehari-hari.

Oh ya, satu lagi yang perlu dicatat, Masjid Al Akbar juga “laris” untuk acara akad nikah. Silih berganti pasangan yang akan mendirikan rumahtangga berijab kabul di dalam Masjid Al Akbar Surabaya itu. ****

*) HM Yousri Nur Raja Agam – Ketua Yayasan Peduli Surabaya.