SUMPAH PEMUDA dan INDONESIA RAYA

Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)     Yousri Nur RA, MH


Peringatan Sumpah Pemuda setiap tanggal 28 Oktober, tidak bisa dipisahkan dengan  kelahiran Lagu Kebangsaan “Indonesia Raya”.  Sebab, pada tanggal 28 Oktober 1928 saat Kongres II Pemuda Indonesia itulah, lagu Indonesia Raya untuk pertamakali dilagukan dalam upacara resmi. Lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan Indonesia, merupakan karya besar seniman yang juga wartawan Wage Rudolf Soepratman.

Sebagai lagu kebangsaan, untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya, diatur dengan undang-undang atau peraturan khusus. Dalam setiap negara di dunia ini, kedudukan lagu kebangsaan, sejajar dengan bendera dan lambang negara. Demikian pula di Indonesia, lagu kebangsaan Indonesia Raya, posisinya sejajar dengan bendera “merah putih” dan lambang negara Garuda Pancasila yang bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika.

Lagu Indonesia Raya yang dikumandangkan untuk pertamakalinya tanggal 28 Oktober 1928 di Jakarta itu dinyanyikan oleh paduan suara pemuda-pelajar. Sang pencipta WR Soepratman mengiring langsung dengan biola kesayangannya.

Memang,  tidak gampang untuk menyanyikan Lagu Indonesia Raya waktu itu. Sebab saat itu bangsa Indonesia masih berada di bawah cengkeraman penjajah kolonial Belanda. Menyanyikan lagu Indonesia Raya dan lagu mars perjuangan dilarang dan diawasi dengan sangat ketat.

Lagu Indonesia Raya, yang dikumandangkan  saat Kongres II Pemuda Indonesia yang melahirkan “Sumpah Pemuda”, 28 Oktober 1928 itu, nyaris dilarang sama sekali untuk dinyanyikan. Namun berkat kepiawaian Muhammad Husni Thamrin beserta panitia Kongres II Pemuda Indonesia di Jakarta itu, akhirnya Lagu Indonesia Raya dapat dinyanyikan. Bahkan, peserta Kongres II Pemuda Indonesia, sepakat menjadikan lagu Indonesia Raya sebagai lagu “wajib” dan kemudian ditetapkan menjadi lagu kebangsaan Indonesia.

Lagu Kebangsaan

Sejarah perjuangan bangsa secara nasional bangkit melalui pergerakan Budi Utomo (Boedi Oetomo) yang dimulai 20 Mei 1908. Berbagai kegiatan yang dilaksanakan Budi Utomo ini mampu membentuk rasa kebangsaan dan nasionalisme. Keinginan untuk bersatu dan merdeka semakin kuat.

Dalam aktivitasnya, pergerakan itu mampu menghimpun pemuda dari berbagai suku dan daerah di Indonesia. Para pemuda yang berasal dari Pulau Jawa mendirikan Jong Java, di Sumatera ada Jong Sumatera, di Sulawesi bernama Jong Celebes, di Maluku dikenal dengan sebutan Jong Ambon. Juga ada organisasi pemuda Islam yang bernama Jong Islamiten dan sebagainya.

Kegiatan yang mengarah pada kesatuan bangsa itu, terlihat dari berbagai pertemuan antar pemuda dari berbagai daerah. Dari pertemuan-pertemuan itu, berhasil diselenggarakan Kongres I Pemuda Indonesia tanggal 30 April sampai dengan 2 Mei 1926 di Jakarta. Dalam kongres tersebut telah diambil keputusan yang menetapkan bahasa Indonesia adalah bahasa kesatuan.

Dua tahun kemudian, diselenggarakan Kongres II Pemuda Indonesia di Jakarta selama dua hari tanggal 27 Oktober sampai 28 Oktober 1928. Kongres ini menghasilkan kebulatan tekad pemuda Indonesia yang diwujudkan dalam suatu tema “Sumpah Pemuda”. Ada tiga inti pokok sebagai penjabaran dari sumpah pemuda itu, yakni:

Bertanahair Satu, tanahair Indonesia
Berbangsa Satu, bangsa Indonesia
Berbahasa Satu, bahasa Indonesia

WR Soepratman Tampil

Di  tengah gegap gempitanya sumpah sakti pemuda yang getaran dan gaungnya belum berhenti, tampillah seorang pemuda Soepratman. Ia mempersembahkan sebuah lagu hasil karya ciptaannya. Soepratman menggesekkan biolanya dengan penuh khidmat. Para pendengar terdiam mendengarkan. Suasana ruangan masih hening tenang.

Tidak hanya itu, acara dilanjutkan dengan paduan suara bersama (koor) pemuda-pemudi dari Perkumpulan Pelajar-Pelajar Indonesia yang dipimpin sendiri oleh  Soepratman.

Orkes Indonesia Merdeka yang mengiringi lagu Indonesia Raya membuat semua yang mendengarkabn terpaku diam.  Suara nyanyian bergeletar, hati para pendengar bergetar. Lagu ciptan Soepratman menghunjam dalam dada menggelorakan jiwa, membakar semangat juang bangsa Indonesia. Apalagi setelah sampai kata-kata:

Indones, Indones, Merdeka, Merdeka
Tanahkoe, neg`rikoe jang koetjinta
Indones, Indones, Merdeka, Merdeka
Hidoeplah Indonesia Raja.

Seakan-akan darah pada pendengar mendidih oleh api semangat juang `Indonesia Merdeka`. Jiwa bangsa yang semula hampir mati oleh penindasan penjajah Belanda beratus-ratus tahun, menjadi bangun dan hidup. Apalagi dengan sentakan kalimat terakhir lagu itu “Hiduplah Indonesia Raya.”

Musik yang digubah Soepratman memang penuh irama keindahan alam Indonesia. Alamnya yang subur, pulau-pulau yang bertaburan bagaikan jelujuran rentetan mutu manikam, lautnya menggelora menepuk pantai pulau kelapa. Sedang teks syairnya bernada kesadaran, kesadaran hati dan budi. Kesadaran nasional yang kuat dan abadi. Kesadaran yang digariskan dalam lagunya ternyata seirama dengan sumpah sakti pemuda yang baru bergema.

Lagu Indonesia Raya dengan suara bulat diputuskan oleh Kongres II Pemuda Indonesia,  sebagai lagu kebangsaan. Lagu yang dinyanyikan pada tiap-tiap upacara dan rapat-rapat resmi. Sesuai kesepakatan itu, maka lagu Indonesia Raya disebarluaskan ke seluruh negeri dan luar negeri. Bersamaan dengan itu,  juga dinyatakan sang saka Merah Putih sebagai bendera kebangsaan Indonesia.
Zaman Penjajahan

Dalam sejarah pergerakan bangsa Indonesia sebelum lahirnya lagu Indonesia Raya, belum ada suatu lagu resmi. Keadaan begini memang dirasa sesuatu kekosongan dan kehampaan dalam kancah perjuangan. Memang sudah ada suatu lagu “Dari Barat Sampai ke Timur” yang selalu dipergunakan sebagai alat pemersatu dan alat perjuangan bangsa di zaman penjajahan Belanda. Tetapi lagu tersebut belum bisa menggetarkan hati, belum sanggup membakar dan belum mendobrak jiwa ke arah Indonesia merdeka.

Soepratman menyadari ini. Berjam-jam Soepratman memercikkan tintanya, melukiskan semua suara dan nada itu di atas kertas. Dicobanya dengan biolanya. Kemudian digubahlah teks syairnya, maka terciptalah Lagu Indonesia Raya. Ada tiga kouplet atau stanza.

Tiga Kuplet
Kouplet I

Indonesia tanah airkoe,
Tanah toempah darahkoe;
Disanalah akoe berdiri,
Mendjaga pandoe iboekoe.

Indonesia kebangsaankoe,
Kebangsaan tanah airkoe,
Marilah kita berseroe
“Indonesia bersatoe”.

Hidoeplah tanahkoe,
Hidoeplah neg`rikoe,
Bangsakoe, djiwakoe semoea;

Bangoenlah rajatnja,
Bangoenlah badannja,
Oentoek Indonesia Raja.

Refrein:

Indones, Indones, Merdeka, Merdeka,
Tanahkoe, neg`rikoe, jang koetjinta;
Indones, Indones, Merdeka, Merdeka,
Hidoeplah Indonesia Raja.



Kouplet II

Indonesia, tanah jang moelia,
Tanah kita jang kaja;
Disanalah akoe hidoep,
Oentoek slama-lamanja.

Indonesia, tanah poesaka,
Poesaka kita semoeanja;
Marilah kita bersersoe,
“Indonesia Bersatoe”.

Soeboerlah tanahnya,
Soeboerlah djiwanya,
Bangsanja rajatnja semoea;

Sedarlah hatinja,
Sedarlah boedinja,
Oentoek Indonesia Raja.

Kouplet III

Indonesia, tanah jang soetji,
Bagi kita disini,
Disanalah kita berdiri,
Mendjaga Iboe sedjati.

Indonesia, tanah berseri,
Tanah jang terkoetjintai;
Marilah kita berjanji:
“Indonesia Bersatoe”.

S`lamatlah rajatja,
S`lamatlah poetranja,
Poelaoenja, laoetnja, semoea;

Madjoelah neg`rinja,
Madjoelah Pandoenja
Oentoek Indonesia Raja.

Refrein:

Indones, Indones, Merdeka,Merdeka,
Tanahkoe, neg`rikoe jang koetjinta;
Indones, Indones, Merdeka-Merdeka,
Hidoeplah Indonesia Raja.

Tersebar Luas

Lagu dan teks syairnya selesai sudah. Soepratman merasa puas dan lega. Segera ia menulis surat kepada Panitia Kongres Pemuda, bahwa lagu jang dimaksud telah digubah. Dan diterangkan pula kalau lagu ini nanti tidak dapat dijadikan lagu pergerakan, paling tidak seharusnya menjadi lagu kebangsaan, lagu bangsa Indonesia.

Kemudian ternyata lagu Indonesia Raya tersebut dalam Kongres II Pemuda Indonesia, 28 Oktober 1928 itu diterima sebagai lagu kebangsaan. Dalam waktu singkat lagu ini telah luas tersebar di seluruh Indonesia. malahan Bung Karno yang pada waktu itu di Bandung telah menyuruh orangnya menemui Soepratman sendiri untuk minta teksnya. Di Bandung lagu tersebut diajarkan pada warga PNI dan lain-lainnya.

Soepratman yang pada waktu itu sebagai wartawan suratkabar Sin Po, mengusulkan kepada direkturnya, untuk menerbitkan lagu ciptaannya. Lagu Indonesia Raya kemudian dicetak dan disebarluaskan ke seluruh Nusantara. Lebih populer lagi setelah lagu tersebut direkam oleh Firma Tio Tek Hong dijadikan piringan hitam. Dengan demikian semangat bangsa Indonesia bertambah hebat dan menggelora. Di mana-mana lagu itu menggema memenuhi angkasa.

Melihat situasi yang demikian itu Pemerintah Hindia Belanda tidak tinggal diam. Lagu tersebut dianggap sebagai lagu yang membahayakan kepentingan penjajahan dan merugikan politiknya. Mereka segera melarang bangsa Indonesia menyanyikan lagu Indonesia Raya. Rakyat bergolak. Surat-surat kabar Indonesia menggugat. Politisi-politisi bangsa Indonesia memprotes tindakan pemerintah Hindia Belanda itu. Di Dewan Rakyat (Volksraad) M.H. Thamrin mengajukan protes keras atas larangan menyanyikan lagu tersebut.

Pemerintah Hindia Belanda kemudian menyatakan bahwa Pemerintah tidak berkeberatan bangsa Indonesia menyanyikan lagu kebangsaannya. Hanya saja kalimat “Indones, Indones, Merdeka, Merdeka” tidak boleh dicantumkan.

Soepratman mengerti bahwa kalimat-kalimat `”Merdeka, Merdeka” ini seperti halilintar menyambar di telinga Belanda. Pekak rasanya mendengarkan kata guntur “Merdeka” mengiang-ngiang di selaput telinga Belanda.

Supaya semangat persatuan dan gelora perjuangan tidak berhenti karena dilarangnya lagu itu, maka Soepratman mengubahnya dengan kalimat:
Indones, Indones, Moelia, Moelia.

Kalau sebelumnya WR Soepratman memberi judul lagunya itu: Indonesia, selanjutnya diberi nama lagu Indonesia Raya.

Peristiwa ini menambah sadarnya bangsa Indonesia. Dilarangnya menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan kata “Merdeka” menambah tebalnya kepercayaan dan keinsyafan akan sucinya perjuangan ke arah Indonesia merdeka. Sadar hatinya dan sadar budinya. Sadar akan kecintaan pada tanah air yang harus dijaga dan harus dibela. Mereka menjadi sadar sebagai rakyat yang masih dibelenggu oleh rantai penjajahan. Dengan berteriak “Merdeka” saja sudah dilarang, apalagi menjadi bangsa yang merdeka.

Kemudian, kata-kata “merdeka” diperkenan menjadi bagian dari lagu Indonesia Raya. Hal ini sudah dapat menjadikan senang hati sanga pengarang yang sekarang beristirahat panjang di bumi Kota Pahlawan Surabaya, kata Ir.H.Oerip Soedarman – salah satu ahliwaris yang mengelola Makam dan Museum WR Soepratman di Surabaya.

Nah, itulah sepintas cuplikan tentang lahirnya lagu kebangsaan Indonesia Raya dan pertamakali lagu Indonesia Raya itu dikumandangkan di depan acara resmi, Kongres II Pemuda Indonesia yang melahirkan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. **

*) Yousri Nur Raja Agam MH — Wartawan di Surabaya

MAKAM PAHLAWAN JADI OBYEK WISATA

Makam Pahlawan Nasional BUNG TOMO tidak berada di TMP, tetapi bergabung dengan pusara rakyat Surabaya di TPU Ngagel Surabaya
“]Makam Pahlawan Nasional BUNG TOMO tidak berada di TMP, tetapi bergabung dengan pusara rakyat Surabaya di TPU Ngagel Surabaya[/caption]

caption=”Yousri Nur RA MH”]Yousri Nur RA MH[/caption]

MAKAM PAHLAWAN
JADI OBYEK WISATA
KOTA PAHLAWAN

(Wisata Religi atau Ziarah)

Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)

KEGIATAN wisata dan pariwisata di Kota Pahlawan Surabaya, harus ada yang khas atau spesifik.

Pengertian berwisata, tidak harus hanya bersenang-senang, namun yang paling utama dalam kegiatan wisata adalah kesan dan terkesan. Boleh juga pakai istilah, melancong atau pesiar, di mana tujuannya adalah mencari sesuatu yang baru di alam ini.

Dari hasil kunjungan itu, akan diperoleh suatu kenangan yang indah, sehingga kita akan “terkenang selalu”. Tidak hanya itu, pengertian wisata termasuk di dalamnya berziarah, melakukan kunjungan yang bernilai religius.

Biasanya, dalam suatu perjalanan wisata, selain memperoleh kesan, juga didapatkan hal yang belum pernah diketahui sebelumnya. Dari apa yang dilihat, didengar dan dirasakan, diperoleh pengetahuan dan ilmu yang baru. Dengan demikian, segala yang menjadi ilmu dasar dalam ingatan itu akan dengan mudah disampaikan atau ditularkan kepada orang lain. Kita tidak hanya sekedar mendengar cerita orang lain atau hanya membaca dari buku.

Memang, dengan kita banyak membaca dan mendengarkan cerita dari seseorang, kita akan memperoleh pengetahuan yang banyak. Kendati demikian, yang lebih baik lagi atau dirasa lebih afdhal, kalau kita melihat sendiri, tahu sendiri dan mendengar sendiri dari sumber utamanya. Ada kepuasan batin.

Kunjungan dalam bentuk ziarah, memang ada hal lain yang ditemukan. Perasaan dalam wisata ziarah memberi kesan kedekatan rohani dengan sang tokoh dan Allah Maha Pencipta. Kota Surabaya, juga banyak dikunjungi parawisatawan ziarah ini, yakni ke Masjid Agung Ampel dan ke kawasan pemakaman Sunan Ampel (Cerita tentang Sunan Ampel ditulis tersendiri).

Berbeda dengan ziarah, kegiatan wisata pada umumnya adalah kegiatan rekreasi dan bersenang-senang. Tentu, hasil akhir yang diperoleh adalah kesan senang dan puas.
Nah, bepergian jauh, berwisata, melancong, pesiar atau berdarmawisata, tujuannya adalah untuk memperoleh “kepuasan batin”. Oleh sebab itu, dalam penyediaan obyek kepariwisataan, yang utama adalah menjadikan obyek tersebut meninggalkan kesan yang menghasilkan kepuasan batin.

Kota Surabaya yang berjuluk Kota Pahlawan dan Kota Budi Pamarinda, layak dijual menjadi obyek wisata dalam arti yang sesungguhnya. Seperti yang pernah disajikan sebelumnya, bahwa kegiatan Budimarinda (Budara, Pendidikan, Maritim, Industri dan Perdagangan), dapat dirinci dan dipilah-pilah menjadi obyek “par” atau pariwisata.

Namun, para pendatang ke Kota Pahlawan ini, kadang-kadang “buta”, mereka sulit mengetahui secara pasti apa saja obyek wisata di Surabaya. Belum ada paket wisata yang padu dan terintegrasi antara Dinas Periwisata dengan perusahaan pengelola kepariwisataan. Masing-masing jalan sendiri, sehingga obyek wisata di Surabaya ini lepas dan terpotong-potong sesuai dengan selera masing-masing pula.

Pendatang dari luar daerah tiba di Surabaya, umumnya melalui Bandara Juanda atau Pelabuhan Laut Tanjung Perak, atau di Stasiun Kereta Api Pasar Turi dan Gubeng, atau juga yang turun di terminal bus antarkota Purabaya dan Tambakoso Wilangun. Seharusnya, di peron tempat mendarat itu mereka disambut dengan ramah, melalui bahasa tulisan.

Jadikan pendatang itu memperoleh kesan pertama, bahwa Kota Surabaya ini memang layak disebut “Kota Pahlawan”. Saat matanya terpana melihat gambaran kepahlawanan di Kota Surabaya itu, wisatawan ini kemudian diarahkan untuk menelusuri obyek wisata di Surabaya yang memang bernuansa kepahlawanan.

Jadikan para wisnu (wisatawan nusantara) atau wisman (wisatawan mancanegara) itu memperoleh suatu keasyikan. Kalau semula, mungkin di Surabaya ini mereka hanya sekedar singgah, karena akan melanjutkan perjalanan menuju ke Gunung Bromo, Bali atau Jogjakarta. Tetapi, kita harus menjerat para wisatawan itu “menginap” di Surabaya, sebab salah satu wujud kepariwisataan itu adalah “menginap” dan membelanjakan uangnya di obyek wisata.

Setelah wisnu atau wisman itu melhat ke sana ke mari, sodori informasi sebanyak mungkin tentang kota ini. Sediakan secara gratis kertas informasi dalam bentuk buklet atau mungkin layar monitor informasi yang bicara tentang “Ini lho Surabaya!”. Beri mereka peta wisata, lalu serahkan paket wisata Kota Pahlawan. Kemudian dilanjutkan dengan informasi aktivitas kota ini di bidang Budi (pa)marinda itu.

Saat wisatawan berada di Kota Surabaya, warganya harus ramah menyapa dan menjamu, sehingga kesan secara beruntun dirasakan di hati. Kesan pertama yang memikat akan menjadi kenangan yang takkan terlupakan. Itulah kepuasan batin yang dicari para petualang wisata. Bagi pengaran dan penulis, mereka akan memperoleh ilham yang makin dalam, sehingga dalam buah karyanya akan terwujud gambaran yang nyata.

Mari kita kunjungi “obyek wisata” di Kota Surabaya yang bernuansa kepahlawanan. Di antaranya, Museum Pahlawan dan Taman Makam Pahlawan.

Museum Tugu Pahlawan
Sebagai Kota Pahlawan, di Surabaya berdiri Tugu Pahlawan yang terletak di Taman Tugu Pahlawan di Jalan Pahlawan Surabaya. Di halaman Taman Tugu Pahlawan ditemukan patung pada pahlawan dan orang-orang yang berjasa saat peristiwa bersejarah sekitar tanggal 10 November 1945. Kiprah “Arek Suroboyo” yang memuncak tanggal 10 November 1945 ini, kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan yang diperingati setiap tahun oleh Bangsa Indonesia.

Tidak hanya sekedar tugu pahlawan dan patung-patung yang terdapat di Taman Tugu Pahlawan, tetapi di dalam perut bumi di samping bawah Tugu Pahlawan itu, ada Museum Pahlawan 10 November.

Dulunya di zaman Penjajahan Belanda, di tempat yang sekarang dinamai Taman Tugu Pahlawan ini berdiri gedung pengadilan yang disebut Raad van Justitie. Dalam peristiwa perang kemerdekaan gedung itu hancur dan tahun 1951 benar-benar dihancurkan seluruhnya, sehingga rata dengan tanah.

Presiden RI pertama, Ir.H.Sukarno menetapkan pembangunan Tugu Pahlawan di tempat ini. Tepat pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 1951, Bung Karno meletakkan batu pertama pembangunan Tugu Pahlawan. Setahun kemudian, pada peringatan Hari pahlawan 10 November 1952, Tugu Pahlawan di Kota Surabaya diresmikan.

Saat Pemerintahan Kota dipegang oleh dr.H.Poernomo Kasidi sebagai walikota tahun 1991 yang dilanjut oleh H.Sunarto Sumoprawiro, di bawah Taman Tugu Pahlawan itu dibangun Museum Pahlawan 10 November. Pekerjaan yang terdiri delapan paket itu menghabiskan biaya Rp 32,9 miliar.

Walaupun di tempat ini berbagai jenis peninggalan sejarah dipajang, ditambah dengan diorama yang mampu bercerita tentang peristiwa heroik yang memakan korban ribuan jiwa Arek Suroboyo, namun belum banyak orang yang tahu. Jangankan para pelancong yang disebut wisnu dan wisman, warga kota Surabaya saja, 80 persen belum pernah datang ke sini. Kalau seandainya dihitung warga kota Surabaya ini berjumlah tiga juga jiwa, maka yang diperkirakan sudah masuk ke Museum Pahlawan ini, baru berapa?

Bagaimana mungkin orang luar Surabaya tertarik masuk ke dalam Museum Pahlawan, kalau warga Surabaya sendiri yang ditanyai tamunya juga kurang informasi, bahkan buta informasi.

Makam para pahlawan yang disebut TMP (Taman Makam Pahlawan) di Surabaya ini cukup banyak. Ada yang mengatakan, bahwa makam-makam kampung di Kota Surabaya ini umumnya ditempati oleh para pahlawan, pelaku sejarah 10 November 1945. walaupun demikian, yang diwujudkan sebagai TMP ada tiga: yakni TMP di Jalan Kusuma Bangsa, TMP di Jalan Ngagel Jaya Selatan (Jalan Bung Tomo) dan TMP di Jalan Mayjen Sungkono.

Kecuali itu, di Surabaya juga ada TMP khusus, tempat dimakamkannya Pahlawan Nasional salah seorang pendiri Budi Utomo, Dr.Sutomo di Jalan Bubutan Surabaya dan pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya, Wage Rudolf Supratman, dekat Pemakaman Umum Rangkah di Jalan Kenjeran Surabaya.

Belajar dari Filipina

Pemerintah Kota Surabaya pernah mengadakan studi banding ke Filipina, bagaimana mewujudkan TMP sebagai obyek wisata. Sebab, di Filipina ada sebuah TMP yang dibangun cukup megah dan ternyata mampu menjaring para wisatawan berkunjung ke tempat itu. Bahkan, ada ungkapan, kalau seandainya datang Filipina, tetapi belum berkunjung ke TMP yang bernama “Manila American Cemetery and Memorial” (MACM), itu sama artinya belum pernah ke Filipina.

Nah, adakah ungkapan seperti itu bisa diterapkan di Surabaya? Misalnya, apabila belum berkunjung ke Taman Tugu Pahlawan dan Taman Makam Pahlawan di Surabaya, itu sama artinya anda belum pernah datang ke Surabaya.

Untuk itulah, belajar dari Filipina itu, Pemkot Surabaya bernah mencanangkan akan menjadi TMP di Jalan Mayjen Sungkono dan Taman Tugu Pahlawan sebagai obyek wisata “mutlak” bagi para wisatawan. Namun, ide, keinginan, harapan dan bahlkan apa yang pernah dicanangkan itu tinggal menjadi cerita masa lalu. Wujudnya, nihil. Padahal untuk studi banding ke Filipina itu menggunakan dana besar dari Pemkot Surabaya yang diikuti oleh sebuah tim dari berbagai disiplin ilmu.

TMP yang terletak di Fort Bonifacio, Manila, Filipina itu terletak di Provinsi Rizal yang sebelumnya bernama Fort William Mc.Kinley. Memang, sebagai bekas jajahan Amerika, di Filipina banyak nama tempat yang berbau Amerika.

TMP yang terletak sekitar 6 mil sebelah tenggara pusat kota Manila itu mudah dicapai dengan menggunakan taksi melalui jalan raya Epifanio de Los Santos Avenue (highway 54) dan McKinley Road. Di TMP yang luasnya 152 are atau sekitar 60,8 hektar dimakamkan 17.206 jasad tentara Amerika yang tewas dalam Perang Dunia II tahun 1945. Keanggunan TMP ini terlihat sejak dari gerbangnya, kemudian penataan plaza dengan air muncrat dengan tembok abadi (memorial building) di tengah TMP.

Itu pulalah sebabnya, TMP MACM di Filipina yang merupakan TMP terbesar kedua setelah TMP Arlington, di Washington, Amerika Serikat itu, oleh Pemkot Surabaya dijadikan salah satu model untuk penataan TMP di Jalan Mayjen Sungkono.

Mungkinkah apa yang pernah digagas dan dicanangkan Pemkot Surabaya, menjadikan TMP sebagai obyek wisata dapat diwujudkan? Kalau kita ingin benar-benar menjadikan Surabaya sebagai Kota Pahlawan, tentu wajib hukumnya. Sebab, mubazir dana yang sudah dikeluarkan untuk studi banding ke luar negeri itu.

Makam Belanda dan Jepang
Tidaka ada salahnya pula, sebagai obyek wisata, berkunjung ke makam para pendahulu kita. Tidak saja ke makam Sunan Ampel dan para pengikutnya. Makam bekas penjajah atau kolonial Belanda dan Jepang, sebenarnya bisa dikelola sebagai obyek wisata yang menghasilkan pemasukan ke kas Pemkot Surabaya.
Di Surabaya, salah satu komplek makam penjajah yang dikelola dengan baik adalah Makam Kembang Kuning. Khusus untuk ini, saya tulis dengan rubrik sendiri. Sebab, di sini juga ada beberapa nama tokoh bangsa Balanda.

Selain makam rakyat, juga terdapat makam para pejabat dan “pahlawan” bagi bangsa Belanda. Juga ada makam lama yang kurang mendapat perwatan, di Makam Peneleh. Makam yang sudah dinyatakan penuh.

Nah, di Kota Surabaya, juga tidak sedikit balatentara Jepang yang “gugur” sebagai pahlawan Negara Sakura, yangb tentunya bukan pahlawan bagi bangsa Indonesia. Bagaimana pula cerita tentang makam “saudara tua” dari dai Nippon itu. Juga saya tulis dalam judul tersendiri.

Nah, sekarang Pemerintah Kota Surabaya, maupun Pemerintah Provinsi Jawa Timur harus punya kemauan untuk memanfaatkan TMP atau makam-makam lama dijadikan sebagai obyek wisata, baik wisata religi atau ziarah, maupun sebagai obyek wisata sejarah.

Seyogyanya, mengunjungi TMP, makam-makam lama dan bersejarah, dijadikan paket wisata kota Surabaya, satu-satunya kota di Indonesia yang berjuluk Kota Pahlawan.***

*) Yousri Nur Raja Agam MH – pemerhati sejarah dan Ketua Yayasan Peduli Surabaya.