Cak dan Ning Panggilan Akrab Arek Surabaya

Cak dan Ning

Sapaan Akrab Arek Suroboyo 

Oleh: Yousri Nur Raja Agam  MH  *)

 

INDONESIA sangat kaya dengan budaya panggil memanggil atau sapa menyapa. Dalam Bahasa Indonesia, panggilan resmi untuk orangtua adalah: bapak-ibu, ayah-mak atau emak. Berikut ada panggilan berikutnya kakek-nenek, kakak-adik, paman-bibi. Di samping itu ada lagi panggilan-panggilan yang “diimpor” dari mancanegara. Panggilan yang berasal dari luar negeri, di antaranya: om-tante, papa-mama, buya, abah-ummi, ana, anta-anti atau antum yang di Jakarta menjadi ente.Cak dan Ning Surabaya 2006

  Cak dan Ning Surabaya 2006

           Kecuali itu, di tiap daerah di Indonesia ada bahasa suku yang panggilan dan sapaan yang cukup beragam. Masyarakat suku Jawa secara umum, menyapa kakak laki-laki: mas dan kakak perempuan: mbak. Ada daerah yang menambah dengan kang mas dan mbak yu. Belum lagi sebutan atau panggilan untuk yang lain, seperti: Eyang, eyang putri, eyang kakung, mbah, mbok, nduk, tole, dan sebagainya. Masyarakat Sunda, menyapa anak mudanya dengan neng untuk mojang (gadis) dan kang untuk kakak laki-laki dan mang untuk paman, nyai untuk nenek.

            Di berbagai daerah di Indonesia, panggilan juga berbeda-beda. Panggilan abang untuk kakak laki-laki sangat popular di kalangan masyarakat Melayu, dari Sumatera, Kalimantan sampai ke negeri jiran Malaysia. Kendati demikian padanan abang ini untuk perempuan tidak ada. Sehingga, masyarakat Jakarta memasangkan abang dengan none (berasal dari nona). Namun kalau perempuan itu sudah bersuami, statusnya naik menjadi nyonya. Panggilan untuk laki-laki, tuan. Sedangkan bagi orang Melayu, tuan dipadankan dengan puan. Puan adalah asan kata untuk perempuan. Jadi perempuan berarti empu (seperti menyebut jari yang besar).

            Ladies and gentlement dalam bahasa Inggris diartikan sebagai tuan-tuan dan puan-puan atau tuan-tuan dan nyonya-nyonya. Bisa juga  bapak dan ibu atau saudara dan saudari.

Khusus panggilan hormat yang cukup popular, di masa perjuangan dulu adalah panggilan: bung. Tidak banyak yang melekat dengan panggilan bung ini. Kita kenal: Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Bung Tomo dan kemudian generasi setelah itu, Bung Akbar (untuk Akbar Tandjung).

Sebenarnya, panggilan bung secara umum sudah dicoba untuk dimasyarakatkan. Ketika Harmoko menjadi Menteri Penerangan RI, dia mencoba memasangkan panggilan bung dengan mbak. Jadi, siapa saja laki-laki, tanpa pandang umumr, dapat dipanggil bung. Dermikian pula dengan perempuan, tanpa pandang usia disapa dengan: mbak.

Ada lagi panggilan hormat kepada orang tertentu,  orang tua atau yang dituakan, juga kepada guru agama bagi Islam, dipanggil buya. Kata panggilan yang berasal dari bahasa Arab, Abuyya. Panggilan itu, terkenal untuk para tokoh agama sekaliber Hamka, dipanggil Buya Hamka.

Ini ada panggilan hormat yang sangat langka, yakni: Ebes. Masyarakat Kota Malang, punya seorang yang diapnggil ebes, yaitu almarhum Sugiyono. Mantan Walikota Malang, yang kemudian menjadi wakil gubernur Irian Jaya. Memang, istilah ebes ini hanya popular di Malang. Dari segi etimologi, kata ebes sebenarnya dirujuk dari bahasa Arab, “Syebe” yang artinya bapak atau sama dengan abah.

Masyarakat Malang memang suka bahasa prokem walikan, yaitu setiap kata dibalik membacanya. Nah, jadilah syebe menjadi ebes. Uniknya, panggilan ebes itupun tidak menyeluruh, hanya populer untuk ebes Sugiyono, ebesnya Kera Ngalam – bahasa gaul di Malang, yang artinya bapaknya arek Malang. Arek menjadi kera dan Malang disebut Ngalam,.

 

Cak dan Ning

            Nah, bagaimana dengan masyarakat Kota Surabaya? Di Kota pahlawan ini, panggilan akrab untuk laki-laki adalah: Cak dan untuk perempuan Ning. Cak berasal dari kata cacak atau kakak. Sehingga, panggilan Cak itu sama dengan abang, mas atau kakak laki-laki dan Ning untuk perempuan muda, bisa sebagai panggilan untuk kakak atau adik.

            Cak, bagi masyarakat Surabaya adalah panggilan akrab yang merakyat. Sapaan Cak bisa ditujukan kepada setiap laki-laki – terutama yang belum tua – yang belum kita kenal, maupun yang sudah kita kenal. Bagi masyarakat Surabaya, kalau disapa dengan Cak, ada rasa keakraban dan rasa pertemanan. Bahkan, bagi orang tertentu, ia merasakan sebagai orang asli Surabaya.

            Memang, panggilan Cak itu, nuansa keakraban Surabaya-nya sangat terasa. Maka tidak salah, kalau ada yang menyatakan, Cak itu adalah sapaan akrab Arek Suroboyo. Nah, di sini ada dua pengertian. Pertama: Cak-nya sendiri dan yang kedua: Arek Suroboyo-nya. Sebagaimana tulisan terdahulu, pengertian Arek Suroboyo itu mengandung semangat ke daerahan. Artinya, Arek Suroboyo itu adalah “orang Surabaya”. Namun, Arek Suroboyo, tidak harus asli berasal dari Surabaya. Para sesepuh  Surabaya sangat sadar  bahwa warga kota Surabaya berasal dari berbagai suku bangsa, ras dan etnis.

            Tidaklah mengherankan, kalau panggilan Cak itu tidak semata-mata ditujukan kepada warga Surabaya “asli”. Tetapi juga kepada warga pendatang, baik yang berasal dari suku Jawa, Madura, maupun dari luar Jawa.

            Panggilan Cak sebagai pengganti mas untuk suku Jawa sudah biasa, begitu pula sapaan Cak untuk yang berasal dari Madura. Cak Joko, Cak Naryo, Cak Narto, Cak No, Cak Pardi, Cak Parman, Cak Ucup (Yusuf) atau Cak-cak lain bagi nama-nama yang bernuansa Islam. Cak Kasan (Hasan), Cak Brahim (Ibrahim), Cak Musa, Cak Dahlan, Cak Mahmud dan sebagainya, terdengar pas. Hal yang sama juga tidak masalah dengan yang berasal dari Madura yang nama-namanya juga bernuansa Islam, seperti Cak Kadir, Cak Rahman, Cal Dul (Abdul), Cak Dullah (Abullah) atau Cak Sakerah.

            Bagi warga Surabaya yang berasal dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara, juga banyak yang disapa dengan Cak. Ternyata tidak masalah. Pokoknya, mereka laki-laki yang ada di Surabaya, sapaan akrabnya adalah: Cak.

            Tidak mengherankan kalau ada warga kota Surabaya yang bernama Sahat, disapa dengan Cak Sahat. Sabron disapa Cak Sabron. Bonar dipanggil Cak Bonar atau Togar dengan Cak Togar. Binsar juga ditegur dengan panggilaan Cak Binsar Padahal sudah sangat jelas yang bernama Sahat, Sabron, Bonar, Togar dan Binsar itu adalah dari suku Batak yang di belakang nama itu masih ada nama marga, misalnya: Simbolon, Pasaribu, Sitorus, Siahaan, Gultom, Silaban, Panggabean  atau Simanjuntak.

            Begitu pula dengan Cak Jalil, Cak Sam dan Cak Yamin, misalnya. Ke tiga orang ini adalah warga Surabaya yang berasal dari Maluku atau Ambon. Namun, tidak pernah ada kejanggalan apalagi protes bila Jalil Latuconsina dipanggil Cak Jalil, Prof.Dr.H.Sam Abede Pareno dipanggil Cak Sam dan Yamin Akhmad disapa Cak Yamin.

            Hal yang sama, misalnya panggilan Cak Binseh untuk H.Binsyeh Abuyani, warga Surabaya keturunan Arab. Hal yang sama juga berlaku bagi masyarakat keturunan Arab yang banyak bermukim di sekitar Ampel. Di samping sapaan khas asal daerah, suku dan etnis, panggilan Cak untuk mereka tidak pernah dipermasalahkan.

            Sapaan bang, mas, kang atau sebutan dari masing-masing daerah, biasanya dilakukan oleh yang mengetahui asal daerah orang yang disapa. Bagi orang yang mengenal Agil H.Ali sebagai wartawan senioar yang juga mantan ketua PWI Jatim itu, jarang menyapanya Cak Agil. Mereka lebih akrab dengan sapaan Bang Agil atau Pak Agil. Sedangkan Sam Abede Pareno – yang nama aslinya adalah: Hasan Abdullah Attamimi itu, karena aktif sebagai seniman yang bermarkas di DKS (Dewan Kesenian Surabaya), lebih biasa disapa Bung Sam dibandingkan dengan Cak Sam.

            Lain halnya dengan H.Kadaruslan, ketua Pusura (Putera Surabaya) yang merupakan organisasi masyarakat Surabaya yang berkantor di Jalan Yos Sudarso 9 Surabaya. Panggilan Cak untuk Cak Kadar sudah sangat melekat. Hampir tidak pernah orang memanggilnya Mas Kadar atau Pak Kadar.

            Panggilan atau sapaan Cak, umumnya melekat pada tokoh dan sesepuh Surabaya. Prof.Dr.H.Roeslan Abdulgani, sangat akrab dengan sapaan Cak Rus atau Cak Ruslan. Mantan Walikota Surabaya, H.Sunarto Sumoprawiro, hampir tak pernah dipanggil bapak. Ia lebih akrab dengan sapaan Cak Narto. Bagi masyarakat Surabaya, mantan Wakil Presiden H.Try Soetrisno yang lahir dan besar di Jalan Genteng Bandar Surabaya, akrab disapa dengan Cak Su. Sapaan Cak juga khas untuk mantan walikota Surabaya H.Doel Arnowo yang disapa dengan Cak Dul. 

            Banyak tokoh yang dipanggil Cak Naryo. Di antaranya pada almarhum H.Soenarjo Oemarsidiq – sesepuh Surabaya dulu – dengan sapaan Cak Naryo. Tatkala Wakil Gubernur Jawa Timur Dr.H.Soenarjo,MSi  menjabat sebagai Sekwilda dan wakil walikota Surabaya, “dalang kondang” ini juga akrab disapa Cak Naryo. Kepopularannya sama dengan Sunarjo, pelawak Srimulat yang juga dipanggil Cak Naryo.

            Sapaan untuk anak perempuan atau kaum ibu, memang popular dengan Ning. Di kalangan ibu-ibu yang berada di perkampungan lama Surabaya, misalnya: Maspati, Bubutan, Kawatan, Blauran, Kranggan, Peneleh dan daerah lainnya, sapaan Ning masih sering terdengar. Tetapi di permukiman baru, jarang sapaan Ning ini dipergunakan. Panggilan atau sapaan mbak lebih melekat untuk perempuan muda.

            Nah, untuk menggali dan memasyarakatkan tradisi lama, sapaan Cak dan Ning kembali dibangkitkan. Agar sapaan Cak dan Ning itu melekat dan bergengsi, sejak tahun 1981, di Surabaya diselenggarakan pemilihan putera-puteri duta wisata dengan nama “Pemilihan Cak dan Ning Surabaya”.

 

Duta Wisata

Selain sebagai sapaan akrab untuk arek Suroboyo secara umum, Cak dan Ning sekarang dijadikan  sebagai  “Duta Wisata” Kota Surabaya. Predikat Cak dan dan Ning diberikan secara khusus kepada laki-laki dan perempuan muda pilihan. Mereka diseleksi melalui pemilihan yang berlangsung dengan ketat.

            Sama dengan pemilihan “raja dan ratu” yang pernah menjadi trend di kota-kota dunia, juga pernah menjadi bagian dari lomba yang diadakan di Indonesia. Pemilihan “ratu”, apalagi dengan embel-embel “kecantikan” memang lebih dominan, apabila dibanding pemilihan “raja”. Untuk pemilihan raja, mungkin bisa saja pemilihan “raja perkasa”.

             Walaupun sempat terjadi pro-kontra pemilihan “ratu-ratuan”, tahun 1970-an sampai 1980-an pernah diselenggarakan pemilihan ratu daerah di Indonesia. Mulai dari ratu tingkat kabupaten dan kota, provinsi sampai “ratu Indonesia”. Perempuan yang memperoleh predikat “Ratu Indonesia” dikirim ke mancanegara mengikuti pemilihan “Ratu Dunia” atau Miss Universe.

            Istilah “ratu”, kemudian diubah menjadi “puteri”. Pemilihan “wanita cantik” tidak lagi diselenggarakan oleh Pemerintah, tetapi diambilalih oleh swasta, khususnya perusahaan yang bergerak di bidang kosmetik dan alat-alat kecantikan. Kendati secara resmi Indonesia tidak lagi mengirim wakilnya ke pemilihan Miss Universe, tetapi secara “diam-diam” ada yang ikut.

            Pro dan kontra di tahun 1980-an sampai 1990-an memuncak, apalagi waktu itu Menteri Negara Peranan Wanita-nya tegas-tegas mengecam pengiriman wanita Indonesia ikut kontes ratu dunia itu. Masalah yang dipersoalkan adalah penampilan wanita muda, cantik di depan umum dengan pakaian renang dan mini.

            Namun, dengan pola baru, tidak menampilkan “pakaian minim” itu, berlangsung pemilihan ratu kecantikan yang disebut Pemilihan “Puteri Indonesia”. Walaupun di bumi Nusantara ini, “Puteri Indonesia” itu tampil dengan busana tertutup, dalam seleksi pemilihan Miss Universe, tetap harus menyesuaikan. Artinya, tetap buka-bukaan tampil dengan renang.

            Ternyata, di daerah-daerah di Indonesia tetap diselenggarakan pemilihan “raja dan ratu”, biasanya dinobatkan pada saat ulangtahun daerah itu. Pesertanya anak-anak muda, laki-laki dan perempuan atau muda-mudi. Namanya di tiap daerah tidak sama. Untuk tingkat provinsi, misalnya: di Jakarta disebut pemilihan “Abang dan None” atau abang dan nona. Di Jawa Barat disebut pemilihan “Jajaka dan Mojang” artinya jejaka dan perawan. Di Jawa Tengah, namanya pemilihan Mas dan Mbak. Di Kalimantan Selatan, disebut pemilihan Anang dan Galih . Dan berbagai istilah lainnya.

            Di wilayah Jawa Timur sendiri, istilahnya juga berbeda-beda. Kalau di Surabaya disebut Cak dan Ning, di Sidoarjo: Guk dan Yuk, di Malang: Kang Mas dan Mbak Yu, di Madura: Tor dan Cebing, serta sebutan lain di kota dan kabupaten yang ada di Jatim. Kemudian, untuk memilih wakil Jawa Timur, istilahnya Pemilihan “Raka dan Raki”.

            Pemilihan muda-mudi yang dikordinasikan Dinas Pariwisata daerah dengan predikat Cak dan Ning atau sejenisnya, tidak hanya mengandalkan tampan, gagah dan perkasa untuk laki-laki, kecantikan dan kemolekan tubuh untuk perempuan. Untuk menetapkan seorang yang berpredikat Cak dan Ning, misalnya, dia harus mempunyai kemampuan dalam bidang keilmuan, kecakapan, kualitas fisik dan kejiwaan. Artinya, ia harus pandai, cerdik dan trengginas. Dan yang cukup penting, ia menguasai budaya dan permasalahan daerah.

            Jadi, persyaratan untuk memperoleh predikat Cak dan Ning Surabaya, dia harus mampu menunjukkan kebolehannya dalam segala hal. Di samping gagah dan tampan untuk Cak, serta cantik dan molek untuk Ning, dia harus pintar. Harus tahu budaya asli Surabaya, lancar menggunakan dialek Suroboyoan, tahu sejarah atau seluk-beluk kelahiran kota sampai perkembangannya hingga sekarang.

            Cak dan Ning, biasanya dinobatkan setiap peringatan hari jadi Surabaya, sekitar 31 Mei tiap tahun. Seorang Cak maupun Ning, harus mempersiapkan diri menjadi “alat” Pemerintah Kota Surabaya, terutama yang berhubungan dengan bidang keperiwisataan dan budaya. Di samping sebagai penerima tamu, juga harus mampu menjadi PR (public relation) atau Humas (Hubungan Masyarakat) Kota Surabaya, di luar pejabat resmi.

            Cak dan Ning, harus mampu tampil sebagai wakil anak muda pilihan dan menjadi teladan bagi muda-mudi lainnya. Sebagai PR, Cak dan Ning juga mempunyai kemampuan menggunakan bahasa asing, sebab tamu-tamu yang datang ke Surabaya, juga banyak yang dari mancanegara.

 

Busana khas

            Cak dan Ning mempunyai busana yang khas. Untuk Cak: berpakaian bentuk jas bertutup yang dikenal beskap, berukuran pas badan. Untuk pemilihan Cak, warnanya ditentukan warna muda: putih, krem atau putih tulang. Sedangkan untuk pekaian kebesaran digunakan warna coklat.

            Jas Cak itu lengkapnya menggunakan lima buah kancing tengah. Dua kancing krah dengan ukuran lebih kecil. Kancing lengan bawah sama dengan kancing krah sebanyak tiga buah. Kantong atas sebelah kiri diberi saputangan bentu segitiga, warna merah. Dari kantong digantung rantai jam dengan bandul hiasan taring atau logam emas.

            Bagian bawah jas, tidak pakai celana panjang, tetapi mengenakan kain panjang wanita yang disebut “jarit parikesit” dengan gringsing (sogan) wiron lebar 5 centimeter.

            Kepala ditutup dengan udeng batik dengan hiasan pinggir modang putih, dan pocot miring. Udeng adalah sejenis ikat kepala yang sudah dibentuk.

            Alas kaki Cak, adalah sandal terompa.

            Untuk Ning, pakaiannya menggunakan kebaya dengan selendang atau kerudung yang diberi renda-renda, dibordir dengan  warna muda. Kebaya dan kerudung, warnanya sama. Kain kebaya tidak boleh tembus pandang, sehingga tidak memperlihatkan pakaian dalam. Lalu memakai peniti renteng.

            Bagian bawahnya, busana Ning menggunakan kain sarung batik pesisir, kemiren harus terlihat dengan tumpal yang diletakkan di bagian depan.

            Telinga dihiasi anting-anting panjang, kaki memakai binggel dan tanga memakai  gelang emas. Mata diberi celak, jari-jari diberi pacar (warna).

            Alas kaki berupa selop bertutup depan, runcing dan tinggi minimal 7 sampai 9 centimeter.

            Apabila terpilih sebagai juara Cak dan Ning, maupun wakil Cak dan wakil Ning, serta predikat lainnya, misalnya: Favorit atau Persahabatan, saat dinobatkan diberi selendang nama sesuai dengan predikat yang diraih.

            Pakaian yang sudah dibakukan sebagai busana Cak dan Ning itu, sekarang juga dimasyarakatkan. Pada hari-hari tertentu, terutama pada resepsi perhelatan peringatan Hari Jadi Surabaya, pejabat dan undangan dianjurkan menggunakan busana Cak dan Ning tersebut.

            Walaupun bakunya untuk Cak menggunakan jarit atau kain panjang, sudah lazim pula diganti dengan celana panjang. Sedangkan udeng diganti dengan kopiah atau songkok. Warnanya juga macam-macam, bahkan ada organisasi massa dan partai politik yang menyesuaikan dengan warna kebanggaan organisasi atau partainya. **

 

*) Yousri Nur Raja Agam MH  — Ketua  Yayasan Peduli Surabaya.

SURABAYA KOTA MULTIJULUK

Surabaya Mempunyai

Banyak Julukan

 

Yousri N.Raja Agam Oleh: Yousri Nur Raja Agam  MH  *)  

KOTA PAHLAWAN, adalah julukan utama bagi  Kota Surabaya. Julukan ini dipersembahkankan langsung oleh Presiden pertama Republik Indonesia, Ir.H.Soekarno, tanggal 10 November 1950. Penganugerahan julukan atau predikat Kota Pahlawan untuk Kota Surabaya merupakan wujud dan bukti sejarah “kepahlawanan Arek-arek Suroboyo” dalam kancah perjuangan heroik 10 November 1945.

Sebagai bukti monumental untuk mengabadikan Surabaya sebagai Kota Pahlawan, di kota ini didirikan Tugu Pahlawan. Rancangan bentuk tugu pahlawan dan peletakan batu pertama pembangunan, serta peresmian  Tugu Pahlawandi Surabaya ini juga dilakukan langsung oleh Presiden RI, Ir.H.Soekarno.

Kota Surabaya memang multijuluk atau banyak julukan. Di samping Kota Pahlawan, Surabaya yang merupakan ibukota Provinsi Jawa Timur ini juga berjuluk:

  1. Kota Indamardi.
  2. Kota Budi Pamarinda.
  3. Kota Adipura Kencana.
  4. Kota Sejuta Taman.
  5. Kota Metropolitan atau Metropolis.
  6. Kota Kemilau (Sparkling).
  7. Kota Perdagangan dan Jasa.
  8. Gerbang Indonesia dari Timur.
  9. Kota Reliji Sunan Ampel.
  10. Kota Raya Terbesar Kedua setelah Jakarta.
  11. Pusat Pengembangan Wilayah Pembangunan Regional Gerbang Kertosusila.
  12. Pusat Pengembangan Wilayah Pembangunan Utama C (Bagian Tengah dan Timur) Indonesia

Memang, Surabaya penah menggunakan julukan  ouoular Kota Indamardi. Singkatan dari: Industri (in), Perdagangan (da), Maritim (mar) dan Pendidikan (di). Singkatan Indamardi kemudian diubah lagi menjadi Budi Pamarinda, kepanjangannya:  Budaya (bu), Pendidikan (di), Pariwisata (pa), Maritim (mar), Industri (in) dan Perdagangan (da). Jadi, antara Indamardi dengan Budi Pamarinda sebenarnya sama. Di sini ada penekanan Budaya dan Pariwisata, sehingga kedudukan budaya dan pariwisata di Kota Surabaya, sejajar dengan Indamardi.

Sebelumnya sektor kebudayaan hanya dijadikan sebagai bagian dari pendidikan. Masalah budaya di Surabaya mungkin banyak yang terabaikan, sehingga diperlukan adanya penekanan pada kata budaya. Adanya penonjolan kata budaya dalam selogan kota ini, maka unsur budaya perlu digali lebih mendalam dan dikembangkan.

Begitu pula halnya dengan pariwisata, selama ini dunia usaha kepariwisataan di Surabaya dijadikan atau dianggap sebagai bagian dari industri, yakni industri jasa kepariwisataan. Namun, berdasarkan pandangan dan kacamata orang pariwisata, kegiatan kepariwisataan merupakan disiplin ilmu tersendiri yang mencakup berbagai aspek.

Tidak hanya Budaya dan Pariwisata yang dijadikan pelengkap julukan Kota Surabaya, tetapi juga kata “Garnizun”. Sehingga pernah pula diusulkan julukan tambahan Surabaya dari Indamardi, menjadi Indamardi Garpar (Garnizun dan Pariwisata). Pengertian Garnizun, menyatakan bahwa di Kota Surabaya ini lengkap dengan seluruh kesatuan militer. Namun Indamardi Garpar itu kurang popular.

Dengan julukan Kota Indamardi dan Pamarinda itu saja, bila diurai, maka Surabaya akan berjuluk:

1) Kota Budaya.

2) Kota Pendidikan.

3) Kota Pariwisata.

4) Kota Maritim.

5) Kota Industri.

6) Kota Perdagangan.

Di kota Surabaya ini terdapat pangkalan dan kegiatan operasional TNI (Tentara Nasional Indonesia), yakni: TNI- AD (Angkatan Darat), TNI-AL (Angkatan Laut) dan TNI-AU (Angkatan Udara), serta Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Dulu Garnizun itu adalah penggabungan kegiatan dan kordinasi antara kesatuan TNI dan Polri yang disebut ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) di Surabaya dan sekitarnya. Tetapi, setelah sebutan ABRI dihapus dan Polri sudah menjadi instansi sipil, maka Garnizun sekarang ini hanya tiga angkatan TNI.  Sebutannya Gartap (Garnizun Tetap) Surabaya.

Surabaya juga berjuluk kota Adipura Kencana. Julukan yang pernah disandang kota Surabaya pada tahun 1980-an hingga akhir 1990-an. Adipura Kencana adalah sebuah predikat untuk kota terbersih di Nusantara. Pada tahun 1992, 1993 dan 1995, Surabaya pernah mendapat anugerah  piala ”Adipura Kencana” dari Pemerintah Pusat sebagai Kota Raya “terbersih” di Indonesia.

Kota Sejuta Taman

Sebelum memperoleh Adipura Kencana,  Sura-baya memperoleh piala Adipura lima kali berturut-turut tahun 1988, 1989, 1990 dan 1991. Predikat kota raya terbersih bertahan hingga tahun 1998. Tetapi, status Surabaya sebagai kota raya terbersih di Indonesia, sempat merosot tajam di awal tahun 2000-an. Namun sejak tahun 2006, julukan Surabaya sebagai kota raya terbersih kembali terangkat. Tahun 2007 hingga sekarang, Kota Surabaya bukan hanya berjuluk kota terbersih, tetapi juga kota terindah dan hijau. Bahkan, kalau boleh ditambah satu julukan lagi, kini Surabaya adalah “Kota Sejuta Taman”. Bukan seribu atau sekian ratus ribu taman, tetapi mencapai sejuta taman. Hampir tak ada lagi lahan kosong dalam kota yang tidak dijadikan taman.

Sudah lama pula Surabaya menyandang predikat atau julukan Kota Metropolitan atau Kota Metropolis. Artinya, kota besar yang ramai dan penduduknya yang padat. Selain itu, kota ini dibangun dan dikembangkan menuju kota modern. Tidak dapat disangkal, Surabaya memang kota yang cukup besar. Luas Surabaya mencapai 330 kilometer per-segi, berpenduduk 3 juta jiwa lebih. Pemerintahannya sampai tahun 2009 dibagi menjadi 31 kecamatan dan 163 kelurahan.

Selain itu, kalau diamati lagi perkembangan dari dulu hingga sekarang, Surabaya juga tidak lepas dari peran dan keberadaan Sunan Ampel di Surabaya. Maka, tidak salah kalau dari luar Surabaya orang mengenal Surabaya sebagai Kota Sunan Ampel. Tempat hijrahnya Sunan Ampel, serta kota tempat Sunan Ampel menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa bersama Walisongo (wali sembilan). Sunan Ampel adalah wali yang dituakan di antara sembilan wali itu.

Sehingga, kegiatan ziarah yang disebut juga wisata reliji Walisongo selalu diawali dari Surabaya sebelum menuju ke Gresik, Lamongan, Tuban, lalu ke Gunung Muria, Kudus dan  Demak di Jawa Tengah, serta berakhir di Cirebon Jawa Barat. Maka tidak salah, kalau para pelaku ziarah Walisongo menjuluki Surabaya sebagai Kota Reliji Sunan Ampel.

Dari zaman dahulu, Surabaya juga dijuluki sebagai “Gerbang Indonesia dari Timur”. Sebab, setiap orang yang akan menuju ke pusat pemerintahan mulai dari masa kerajaan Singosari, Majapahit, Mataram hingga Pemerintahan Indonesia merdeka, dengan ibukota  Jakarta dan Jogjakarta, maka pintu masuk atau gerbang dari arah timur adalah Surabaya. Hampir seluruh jenis pelayaran dari wilayah Indonesia Timur, selalu berlabuh di Tanjung Perak Surabaya.

Yang tidak bisa dilupakan, Kota Surabaya adalah ibukota provinsi Jawa Timur. Pusat segala kegiatan yang berkaitan provinsi Jawa Timur dengan  38 kabupaten dan kota, yakni 29 kabupaten dan 9 kota.

Pada era Orde Baru pembangunan direncanakan secara terpadu dalam tahap-tahap Pelita (Pembangunan Lima Tahun) demi Pelita. Kota Surabaya berperan sebagai Pusat Pengembangan Wilayah V dan kemudian disebut pusat Satuan Wilayah Pembangunan Utama  (SWPU) C yang terdiri dari Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan, Selatan dan Kalimantan Timur.

Masa pemerintahan Orde Baru itu, kegiatan pembangunan nasional berencana juga dirancang secara regional di Jawa Timur. Surabaya ditetapkan sebagai pusat pengembangan Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) Gerbang Kertosusila singkatan dari Gresik (Ger), Bangkalan (bang), Mojokerto (kerto), Surabaya (su), Sidoarjo (si), Lamongan (la).

Surabaya sebagai adalah kota yang strategis juga mendapat pengakuan dengan julukan “Kota Terbesar Kedua di Indonesia setelah Jakarta” atau “Kota Raya kedua setelah Jakarta”. Dalam penilaian dan kategori, misalnya dalam penilaian bidang kebersihan, lalulintas, keamanan, pembangunan dan sebagainya, Surabaya disebut sebagai Kota Raya.

Nah, tentu masih ada julukan yang lain. Baik yang pernah diberikan sebelumnya, maupun julukan yang bakal diterima di kemudian hari.

Kendati sebelumnya sudah dijabarkan julukan Surabaya kebanggan bagi Arek-arek Suroboyo itu sesuai dengan peran dan keberadaannya, namun pada tahun 2006, semua julukan yang memberikan kekhasan Surabaya itu menjadi sirna. Pemerintah Kota Surabaya  mempromosikan Surabaya ke dunia luar “hanya” sebagai Kota Perdagangan dan Jasa. Kemudian entah dengan makna apa, Surabaya diberi lebel asing “Sparkling”.

Kata Sparkling ini dalam kamus Inggris-Indonesia, berasal dari kata dasar sparkle (dibaca: spa:kel) artinya kilau. Untuk kata kilau ini juga ada bahasa Inggris lainnya, yakni: glitter atau glite dan glisten, serta gleaming dan splendour. Pokoknya persamaannya cukup banyak.

Nah, kira-kira secara harfiah, Sparkling Surabaya itu artinya: Surabaya Berkilau, Surabaya Berkilau-kilau, Surabaya Berkilau-kilauan, Surabaya Kemilau, Surabaya Cemerlang, Surabaya Gemerlap, Surabaya Gemerlapan, Surabaya Berkilap atau gampangnya orang Surabaya menyebut artinya “Surabaya Cingklong”.

Kota Pahlawan

Apabila digali aktivitas yang ada di Kota Surabaya ini, tidak terlepas dari semua julukan itu. Namun, julukan sebagai “Kota Pahlawan” dinilai paling istimewa. Sebab, tidak ada kota di Indonesia ini yang dijuluki “Kota Pahlawan”, kendati hampir seluruh kota di Indonesia mempunyai semangat heroik dan perjuangan kepahlawanan.

Untuk itulah, seyogyanya para petinggi dan masyarakat Kota Pahlawan ini benar-benar menghayati arti dari julukan itu. Pengertian kepahlawanan di Kota Pahlawan Surabaya ini seharusnya tercermin dalam berbagai hal. Baik ciri, penampilan yang khas, serta watak dan wujud nyata dari kota ini. Artinya, saat memasuki Kota Surabaya, kesan pertama bagi orang yang belum pernah ke Surabaya, adalah adanya rasa atau  nuansa kepahlawanan itu.

Satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa predikat Kota Pahlawan dianugerahkan kepada Kota Surabaya, untuk mengabadikan “Semangat Juang Arek-Arek Suroboyo”. Tidak hanya berawal dari peristiwa heroik sekitar 10 November 1945 saja, tetapi dikaitkan dengan sejarah terbentuknya ranah perkampungan  Surabaya, hingga masa perjuangan dan mempertahankan, serta mengisi kemerdekaan Republik Indonesia itu sendiri. Artinya, semangat juang Arek Suroboyo itu dipertahankan sepanjang masa, sejak dari dulu, hingga  kini dan sampai nanti.

Sebenarnya itulah hakekat yang diinginkan oleh Dwitunggal Proklamator Kemerdekaan Republik Indo-nesia, Soekarno-Hatta. Mereka berdua, sebagai saksi sejarah tentang semangat kepahlawanan Arek-arek Suroboyo (Putra-Putra Surabaya) dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945.

Bung Karno juga terkesan dengan peristiwa perobekan bendera di Hotel Orange atau Hotel Yamato di Jalan Tunjungan yang dikenal dengan “insiden bendera” tanggal 19 September 1945. Apalagi sejak saat itu, kegiatan perlawanan masyarakat Surabaya terhadap penjajah dan kaum kolonial semakin hebat dan gigih, maka tak pelak lagi Bung Karno dan Bung Hatta, langsung datang ke Surabaya. Hingga terjadi puncak perjuangan Arek Suroboyo, tanggal 10 November 1945.

Lima tahun kemudian, kesan Bung Karno terhadap Surabaya semakin mendalam. Ide pembangunan Tugu Pahlawan di Kota Surabaya, langsung mendapat perhatian Bung Karno. Untuk pertama kali di tahun 1950, Bung Karno menetapkan tanggal 10 November sebagai “Hari Pahlawan”. Sekaligus, Surabaya mendapat predikat “Kota Pahlawan”.

Kamus Kepahlawanan

Julukan sebagai Kota Pahlawan, juga dikaitkan dengan sejarah Surabaya. Sewaktu tahun 1293, lebih 716 tahun atau tujuh abad yang silam, Raden Wijaya pendiri  Kerajaan Majapahit berjuang mengusir Tentara Tartar yang dipimpin Khu Bilai Khan, tidak lepas dari peranserta rakyat Surabaya yang waktu itu masih bernama Hujunggaluh atau Junggaluh.

Nah, karena semangat kepahlawanan sudah menjadi ciri Kota Surabaya, perlu dilakukan koreksi total, sehingga julukan Kota Pahlawan bagi Surabaya tidak ditelan oleh kehidupan masyarakat modern. Peninggalan sejarah tentang kepahlawanan Arek Suroboyo ini patut dilestarikan.

Untuk itulah, layak pula Kota Surabaya dijadikan “kamus kepahlawanan”. Dengan berjuluk Kota Pahlawan, maka dunia dapat merujuk arti dan makna kepahlawanan dari Surabaya secara utuh. Misalnya, jika kita ingin mengetahui siapa-siapa saja Pahlawan Nasional, bahkan “pahlawan dunia”, maupun pahlawan lokal dan orang-orang yang berjasa, serta tokoh terkenal, maka nama itu ada dan diabadikan di Surabaya.

Museum pahlawan yang terdapat di Taman Tugu Pahlawan, maupun Museum Mpu Tantular di Surabaya yang sekarang dipindahkan ke Sidoarjo belum banyak berbicara tentang sejarah kepahlawanan Surabaya sebagai Kota Pahlawan. Untuk itu, perlu disempurnakan dan lebih dilengkapi dengan berbagai koleksi sejarah.

Tidak ada salahnya, Kota pahlawan Surabaya ini membudayakan “Wisata Pahlawan”, ke Taman Makam Pahlawan (TMP) dalam bentuk ziarah (wisata reliji), sebagaimana juga kita melakukan ziarah ke makam Sunan Ampel dan makam leluhur. ***

*)  Yousri Nur Raja Agam  MH –  Ketua  Yayasan Peduli Surabaya