BONEK dan PERSEBAYA

Bonek dan Persebaya

Yousri Nur Raja Agam MH


Oleh: Yousri Nur Raja Agam *)

KOTA Surabaya, terkenal bukan hanya karena ibukota Provinsi Jawa Timur ini berjuluk Kota Pahlawan. Ada yang lain yang lebih popular dan gampang diingat, yakni “kebrutalan” para “bonek”. Bila orang menyebut “bonek”, jelas itu akan disangkutpautkan dengan kesebelasan sepakbola kebanggaan arek-arek Suroboyo, yaitu Persebaya.
Sebagai kesebelasan kebanggaan, maka Persebaya menjadi idola. Bagaimanapun juga sorotan terhadap dampak yang terjadi apabila Persebaya kalah, namun Persebaya tetap merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari para pendukungnya. Pendukung Persebaya, tidak hanya dari kota Surabaya saja, tetapi sudah menjadi satu kesatuan dengan bumi Jawa Timur. Tidaklah mengherankan, apabila Persebaya main di luar kota, pendukungnya berdatangan dari berbagai daerah di Jawa Timur.
Pendukung fanatik Persebaya yang bermaskot “bajul ijo” atau buaya hijau ini, memang sering membuat “berita besar di koran”. Para supporter Persebaya tidak rela kesebelasan kesayangannya ini kalah. Persebaya “harus” menang. Dalam keadaan permainan terburuk sekalipun, pendukung yang disebut “bonekmania”, tetap menghendaki Persebaya menang. Kalau perlu dengan cara culas dan menggunakan non-teknis.
Bonek, adalah singkatan dari dua kata: bandha (dibaca: bondho) nekad. Arti secara harfiah adalah: modal nekad. Para supporter atau pendukung Persebaya itu, selalu mengikuti di manapun kesebelasan kesayangannya ini bermain. Walaupun tidak punya uang sama sekali, mereka tetap nekad, tanpa peduli atau ngotot untuk menyaksikan Persebaya bertanding menghadapi lawannya. Biar tanpa uang sekalipun mereka akan memberi dukungan kepada kesebelasan yang punya kostum kebesaran warna hijau daun ini. Kalau tidak punya karcis tanda masuk, mereka berani menjebol gerbang atau pintu masuk secara massal. Jadi, modalnya adalah modal kemauan semata, tanpa peduli dampak yang terjadi.
Karena modal (bondho) nekad, maka cap “bonek” menjadi bagian tidak terpisahkan dengan supporter Persebaya. Awalnya, di tahun 1970-an, para pendukung fanatik itu tidak rela disebut “bonek’. Namun, di era 1980-an, saat supporter Persebaya bermain di Jakarta, nama “bonek” menjadi konotasi yang sangat miring terhadap supporter Persebaya. Apalagi, waktu itu, sepanjang perjalanan yang dilewati kereta api dari Surabaya ke Jakarta dan sebaliknya, para supporter ini membuat gaduh. Di setiap stasiun mereka menjarah makanan yang dijual di emplaseman stasiun.
Di kala ketua umum Persebaya (1986-1994) dipegang oleh Walikota Surabaya, dr.H.Poernomo Kasidi, kata-kata “bonek” ini membuat pusing sang walikota. Namun, di era ketua umum Persebaya (1994-2002) dipegang oleh Walikota Surabaya, H.Sunarto Sumoprawiro, nama “bonek” diangkat menjadi sebuah “ikon”. Bonek sebagai ciri khas heroisme arek Suroboyo dalam mendukung Persebaya. Bonek dilembagakan. Cak Narto – begitu sang walikota akrab disapa – menjadikan bonek sebagai pemicu semangat para pendukung Persebaya. Saat itu, justru Cak Narto tidak menyenangi apa yang disebutnya “boling” atau bondho maling. Cak Narto sangat marah, apabila ada supporter yang mencuri dan merampok dalam perjalanan menonton Persebaya main.
Untuk mengangkat harkat dan harga diri bonek, Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Cabang Jawa Timur, waktu itu, Dahlan Iskan yang juga pemimpin redaksi Harian Jawa Pos memberikan predikat Green Force , kepada mereka. Seorang berambut lebat kepalanya diikat selempang hijau. Itulah Green Force.
Di masa sekarang ini, jika Persebaya bertanding di stadion Gelora 10 November Jalan Tambaksari Surabaya, boleh dikatakan sejak siang toko-toko di sepanjang jalan menuju Tambaksari tutup. Para pemilik toko khawatir, barang-barangnya bakal dijarah oleh “bonek”. Tidak hanya itu, jalan-jalan dalam kota menjadi sepi. Ulah “bonek” menjadi pergunjingan, karena sering mengganggu pengemudi kendaraan di jalan. Dan yang paling merisaukan di antara mereka ada yang memaksa para pengemudi mobil (terutama pikup dan truk) untuk mengantarkannya secara gratis ke stadion Tambaksari.
Terlepas dari cap “bonek” dan “bonekmania” yang diberikan kepada pendukung Persebaya, namun nama Persebaya “hampir” tak pernah ternoda. Panitia pertandingan dan PSSI, mampu memilah-milah antara kesalahan pemain dengan sikap supporter. Memang, pernah Persebaya mendapat hukuman gara-gara ulah “bonek”. Tetapi hal itu dapat diselesaikan dengan baik.

Dulu Persibaja
Berbicara tentang Persebaya, maka perhatian kita tertuju kepada perkumpulan sepakbola dari berbagai klub atau bond yang ada di kota Surabaya. Nama Persebaya sudah melekat dengan predikat Kota Pahlawan. Masyarakat kota Surabaya begitu bangga dengan sangat menyayangi kesebelasan sepakbola “tertua” di Indonesia ini. Betapa tidak, dalam sejarah, Persebaya mencatatkan kelahirannya tanggal 18 Juni 1927. Sementara Persija Jakarta, lahir tahun 1931, begitu pula perserikatan sepakbola di Solo, Semarang, Bandung dan lain-lainnya di Indonesia ini tidak ada yang menyebutkan kelahirannya di bawah tahun 1927.
Persebaya adalah singkatan dari Persatuan Sepakbola Surabaya. Nama ini dikukuhkan tahun 1960. Sebelumnya, orang tidak menyebut Persebaya, tetapi Persibaja (ejaan lama, baca: Persibaya). Persibaya, kepanjangannya: Persatuan Sepakbola Indonesia Surabaya. Nah, mengapa rapat anggota klub Persibaja menghilangkan “Indonesia” dari namanya?
Salah seorang tokoh sepakbola di Surabaya tahun 1960-an, Anwar Luthan, ketika almarhum masih hidup pernah menyatakan, dihilangkan kata “Indonesia” itu, karena sudah tidak diperlukan lagi. Kita sudah merdeka di bumi Indonesia. Mengapa harus menyebut Indonesia Surabaya? Dengan kemerdekaan yang diproklamasikan 17 Agustus 1945, kata mertua Rusdi Bahalwan (mantan pemain dan pelatih Persebaya), kita sudah tidak perlu menyebut Indonesia dalam skop lokal. Nama Indonesia, sudah diwakili PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia), katanya berargumentasi.
Tidak hanya itu, nama Indonesia waktu itu kita agung-agungkan untuk menghadapi penjajah Belanda dan Jepang. Dan juga diingatkan, kata Indonesia yang ada pada Persibaja waktu itu sebagai terjemahan dari Indische atau Hindia Belanda. Dengan dasar itulah maka rapat anggota klub Persebaya tahun 1960, sepakat mengubah nama Persibaja menjadi Persebaja (sekarang dengan ejaan yang disempurnakan menjadi Persebaya).
Jika napak tilas ke tahun 1920-an, saat negara kita masih dijajah Belanda, sepakbola sudah dikenal. Olahraga sepakbola, memang bukan berasal dari bumi Pertiwi. Olahraga ini dibawa oleh penjajah, yakni sinyo-sinyo Belanda. Anak-anak muda bangsa Belanda dan Indo-Belanda, mendirikan berbagai klub sepakbola. Gabungan klub sepakbola inilah yang berhimpun dalam sebuah perserikatan. Dulu, di Surabaya ada dua perserikatan yang menghimpun klub-klub sepakbola. Yang satu bernama: SVB (Sourabaja Vootbal Bond) dan SIVB (Sourabaja Indische Vootbal Bond).
SVB merupakan gabungan dari klub-klub sepakbola orang-orang Balanda dan Indo-Belanda, serta yang mau bekerjasama dengan pihak Belanda, yakni warga keturunan Arab dan Cina. Klub-klub itu antara lain bernama: HBS, THOR, Exesor, Ayax, Lemax, RKS, GIHO, Menimuriya, Anasar dan Tionghoa.
Sedangkan yang berada di bawah naungan SIVB, adalah klub sepakbola pribumi. Keberadaannya untuk menyaingi SVB. Klub-klub itu di antaranya: SELO, Maruto, PS.HW (Hizbul Wathan) milik perkumpulan Muhammadiyah, Olivio, Tjahaja Laut, Rego dan Radio.
Pada zaman Jepang, nama SVB merdup dan kemudian menghilang. Apalagi waktu itu banyak pemainnya yang ikut melarikan diri dari serangan balatentara Jepang. Nama SIVB juga tidak popular lagi. Sejak zaman Jepang inilah SIVB berganti nama menjadi Persibaja. Setelah bernama Persibaja, klub-klub yang masih ada, baik yang semula di bawah naungan SVB, maupun SIVB bergabung menjadi satu. Ada sepuluh klub waktu itu yang masih bertahan, yakni: SELO, Maruto, PS.HW, Olivio, Tjahaja Laut, Tjahaja Muda, Tionghoa, Alvags, Jonk Ambon (SVJA atau Surabaja Vootbal Jonk Ambon) dan Indo-Belanda.
Baik di zaman penjajahan Belanda, maupun penjajahan Jepang, kegiatan sepakbola tidak lepas dari “alat politik”. Melalui sepakbola dihimpun semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Begitu seterusanya, hingga kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945. Setelah kemerdekaan Indonesia, nama Persibaja semakin melekat di hati arek Suroboyo.
Pada awal kemerdekaan ini, dunia sepakbola tidak pernah absen. Perserikatan Persibaja, didukung 15 anggota klub, yakni: Naga Kuning, PORIS, Bintang Timur, HBS, THOR, POMM, TNH (Taruna Nan Harapan), PSAD (Persatuan Sepakbola Angkatan Darat), PSAL (PS Angkatan Laut), POPS, Angkasa, RKS, IM (Indonesia Muda), PS.HW, Maesa dan Assyabaab. Pada era berikutnya, bertambah lagi dengan PS.Sengkanaung, PS.Colombo, Mitra Utama, PS TEO, PS.Pusparagam, PS.Setia, PS.Surya Putra dan PS.Maluku.
Sekarang ini ada 30 klub yang bernaung di bawah Persebaya. Klub-klub itu adalah: PS.Assyabaab, PO Suryanaga, Reedo Star, PS Untag (Universitas Tujuhbelas Agustus), PS.Putra Gelora 79, PS.KSI (Kedaung Setia Indonesia), PS IM (Indonesia Muda), PS.Fatahillah 354, PS.Sasana Bhakti (Sakti), PS.Putra Surabaya, PS.Teo Dok Perkapalan, PS.Angkasa Laut, PSAD Dam V Brawijaya, PS.Sanana Mitra Surabaya, PS.Ega Putra, PS.Pelabuhan III, PS THOR, PS.Bintang Timur, PS.Fajar Suroboyo FC, PS.Mahasiswa, PS.Maesa, POPS, PS.HBS, PS.HW, PS.Angkasa, PS.Haggana, PS.Bama Putra, IR Unesa, PS.Kinibalu dan PS.Nanggala.
Nama-nama klub sepakbola yang bergabung ke dalam Persebaya itu, ada yang merupakan klub lama yang berganti nama. Misalnya: Bintang Timur, adalah penjelmaan dari SVJA yang kemudian ganti lagi menjadi POMM. Begitu pula dengan PS.Suryanaga, dulu namanya adalah klub Tionghoa, lalu ganti menjadi Naga Kuning. PS.Assyabaab sekarang, dulu namanya Anasar, kemudian berubah jadi Al Vaos. PS.Pelabuhan III sekarang ini adalah jelmaan dari PS.Pusparagam yang sebelumnya bernama PPOM, lalu PS.Maluku. Sakti (Sasana Bhakti) sekarang dulu bernama TNH (Taruna Nan Harapan), sedangkan PS.Sengkanaung berubah menjadi PS.Putra Gelora 79.
PS.Ega Putra, dulu namanya Gersiv, lalu ganti menjadi Surya Putra. Lain lagi dengan Reedo Star, dulu namanya MARS, ganti menjadi MARS BTPN, kemudian STAR. PS.Fatahillah 354 sekarang dulu bernama PORIS dan TEO berubah nama menjadi Teo Carrara, lalu sekarang Teo Dok Perkapalan. Sedangkan PS.Untag asalnya adalah PS.Colombo, lalu ganti nama menjadi PS.Mitra Colombo, terus berubah lagi menjadi PS.Mitra Untag. PS.Mitra Sanana Surabaya sekarang ini dulu namanya Sanana Putra dan Fajar Suroboyo FC dulu bernama PS.Fajar. Demikian pula dengan PS.KSI sebelumnya adalah PS.Setia. ***

*) Yousri Nur Raja Agam – Wartawan di Surabaya