SURABAYA KOTA MULTIJULUK

SURABAYA KOTA MULTIJULUK

Yousri Nur RA MH

Oleh: Yousri Nur Raja Agam MH *)

MEMANG, Kota Pahlawan adalah julukan utama bagi  Kota Surabaya. Julukan ini dipersembahkankan langsung oleh Presiden pertama Republik Indonesia, Ir.H.Soekarno, tanggal 10 November 195

Penganugerahan julukan atau predikat Kota Pahlawan untuk Kota Surabaya merupakan wujud dan bukti sejarah “kepahlawanan Arek-arek Suroboyo” dalam kancah perjuangan heroik 10 November 1945.

Sebagai bukti monumental untuk mengabadikan Surabaya sebagai Kota Pahlawan, di kota ini didirikan Tugu Pahlawan. Rancangan bentuk tugu pahlawan dan peletakan batu pertama pembangunan, serta peresmian  Tugu Pahlawandi Surabaya ini juga dilakukan langsung oleh Presiden RI, Ir.H.Soekarno.

Kota Surabaya memang multijuluk atau banyak julukan. Di samping sebagai ibukota Provinsi Jawa Timur, Surabaya menyandang julukan:

  1. Kota Pahlawan
  2. Kota Indamardi.
  3. Kota Budi Pamarinda.
  4. Kota Adipura
  5. Kota Adipura Kencana.
  6. Kota Metropolitan atau Metropolis.
  7. Kota Kemilau (Sparkling).
  8. Kota Perdagangan dan Jasa.
  9. Gerbang Nusantara dari Timur.
  10. Kota Reliji Sunan Ampel.
  11. Kota Raya Terbesar Kedua setelah Jakarta.
  12. Pusat Pengembangan Wilayah Pembangunan Regional Gerbang Kertosusila.
  13. Pusat Pengembangan Wilayah Pembangunan Utama C (Bagian Tengah dan Timur) Indonesia.
  14. Ada lagi julukan yang tidak terbantahkan, yaitu, “Kota Buaya” dan “Bajul Ijo” alias Bonek bagi supporter Persebaya.
  15. Kota “Sejuta Taman”. Sekarang, begitu indahnya lingkungan dan taman di sepanjang pinggir dan pulan jalan di Kota Surabaya, maka sangat pantas dan  tepat, Kota Surabaya menyandang satu julukan lagi, yaitu: “Kota Sejuta Taman”

 

Indamardi

Menjelang tahun 2000, yakni sejak tahun 1975 dicanangkan julukan julukan Surabaya yang cukup menarik. Surabaya menggunakan julukan  popular sebagai Kota Indamardi. Singkatan dari: Industri (in), Perdagangan (da), Maritim (mar) dan Pendidikan (di).

Jadi Kota Surabaya identik dengan ciri khas wilayahnya sebagai:

  1. Kota Industri. (in)
  2. Kota Perdagangan. (da)
  3. Kota Maritim. (mar)
  4. Kota Pendidikan.. (di)

Tidak hanya Indamardi, Surabaya juga dikenal dengan kegiatan “Garnizun” dan”Pariwisata”. Sehingga pernah diusulkan tambahan Surabaya Indamardi, menjadi Indamardi Garpar (Garnizun dan Pariwisata). Pengertian Garnizun, menyatakan bahwa di Kota Surabaya ini lengkap dengan seluruh kesatuan militer.

Di kota Surabaya ini terdapat pangkalan dan kegiatan operasional TNI (Tentara Nasional Indonesia), yakni: TNI- AD (Angkatan Darat), TNI-AL (Angkatan Laut) dan TNI-AU (Angkatan Udara), serta Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Dulu Garnizun itu adalah penggabungan kegiatan dan kordinasi antara kesatuan TNI dan Polri yang disebut ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) di Surabaya dan sekitarnya. Tetapi, setelah sebutan ABRI dihapus dan Polri sudah menjadi instansi sipil, maka Garnizun sekarang ini hanya tiga angkatan TNI.  Sebutannya Gartap (Garnizun Tetap) Surabaya.

Kepariwisataan dalam Indamardi, masuk dalam kegiatan industri, yakni industri pariwisata. Namun ada yang menginginkan, periwisata menjadi bagian tersendiri dari uraian tersebut. Kota Surabaya merupakan DTW (Daerah Tujuan Wisata) yang bisa menawarkan berbagai kegiatan kepariwisataan. Ada wisata alam, buatan , religi, konvensi, perdagangan, cagar budaya dan masih banyak lagi. Namun Indamardi Garpar itu kurang popular.

 

Budi Pamarinda

Singkatan Indamardi tahun 2003 diubah menjadi Budi Pamarinda. Kepanjangannya:  Budaya (bu), Pendidikan (di), Pariwisata (pa), Maritim (mar), Industri (in) dan Perdagangan (da). Jadi, antara Indamardi dengan Budi Pamarinda sebenarnya sama. Di sini ada penekanan Budaya dan Pariwisata, sehingga kedudukan budaya dan pariwisata di Kota Surabaya, sejajar dengan Indamardi.

Sebelumnya, memang sektor kebudayaan hanya dijadikan sebagai bagian dari pendidikan. Masalah budaya di Surabaya mungkin banyak yang terabaikan, sehingga diperlukan adanya penekanan pada kata budaya. Adanya penonjolan kata budaya dalam selogan kota ini, maka unsur budaya perlu digali lebih mendalam dan dikembangkan.

Begitu pula halnya dengan pariwisata, selama ini dunia usaha kepariwisataan di Surabaya dijadikan atau dianggap sebagai bagian dari industri, yakni industri jasa kepariwisataan. Namun, berdasarkan pandangan dan kacamata orang pariwisata, kegiatan kepariwisataan merupakan disiplin ilmu tersendiri yang mencakup berbagai aspek.

Julukan Budi Pamarinda diurai secara lengkap, menjadikan Surabaya berjuluk:

1) Kota Budaya.  (bu)

2) Kota Pendidikan  (di).

3) Kota Pariwisata.  (pa)

4) Kota Maritim.  (mar)

5) Kota Industri.  (in)

6) Kota Perdagangan. (da)

 

Adipura Kencana

Surabaya juga berjuluk kota Adipura dan kemudian Adipura Kencana. Julukan yang pernah disandang kota Surabaya pada tahun 1980-an hingga akhir 1990-an. Adipura Kencana adalah sebuah predikat untuk kota terbersih di Nusantara. Pada tahun 1992, 1993 dan 1995, Surabaya pernah mendapat anugerah  piala ”Adipura Kencana” dari Pemerintah Pusat sebagai Kota Raya “terbersih” di Indonesia.

Sebelum memperoleh Adipura Kencana,  Sura-baya memperoleh piala Adipura lima kali berturut-turut tahun 1988, 1989, 1990 dan 1991. Predikat kota raya terbersih bertahan hingga tahun 1998. Tetapi, status Surabaya sebagai kota raya terbersih di Indonesia, sempat merosot tajam di awal tahun 2000-an. Namun sejak tahun 2006, julukan Surabaya sebagai kota raya terbersih kembali terangkat. Tahun 2007 hingga sekarang, Kota Surabaya bukan hanya berjuluk kota terbersih, tetapi juga kota terindah dan hijau. Bahkan, kalau boleh ditambah satu julukan lagi, kini Surabaya adalah “Kota Sejuta Taman”. Bukan seribu atau sekian ratus ribu taman, tetapi mencapai sejuta taman. Hampir tak ada lagi lahan kosong dalam kota yang tidak dijadikan taman.

Sudah lama pula Surabaya menyandang predikat atau julukan Kota Metropolitan atau Kota Metropolis. Artinya, kota besar yang ramai dan penduduknya yang padat. Selain itu, kota ini dibangun dan dikembangkan menuju kota modern. Tidak dapat disangkal, Surabaya memang kota yang cukup besar. Luas Surabaya mencapai 330 kilometer per-segi, berpenduduk 3 juta jiwa lebih. Pemerintahannya sampai tahun 2009 dibagi menjadi 31 kecamatan dan 163 kelurahan.

 

Sunan Ampel

Surabaya juga tidak lepas dari peran dan keberadaan Sunan Ampel di Surabaya. Maka, tidak salah kalau dari luar Surabaya orang mengenal Surabaya sebagai Kota Sunan Ampel. Tempat hijrahnya Sunan Ampel, serta kota tempat Sunan Ampel menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa bersama Walisongo (wali sembilan). Sunan Ampel adalah wali yang dituakan di antara sembilan wali itu.

Sehingga, kegiatan ziarah yang disebut juga wisata reliji Walisongo selalu diawali dari Surabaya. Surabaya  merupakan garis start untuk memulai ziarah. Kawasan Masjid Agung Sunan Ampel, di mana terletak komplek makam Sunan Ampel bersama pengikutnya di dijadikan pangkalan untuk bergerak menuju ke arah barat Pulau Jawa. Kadangkala, selain berangkat dari Masjid Ampel, rombongan ziarah juga singgah di makam Mbah Bungkul di Taman Bungkul, Jalan Raya Darmo Surabaya dan Masjid Rahmat di Kembang Kuning Surabaya.

Dari Masjid Ampel perjalanan dilanjutkan menuju ke Gresik. Di Gresik ada dua makam Walisongo, yakni makam Sekh Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Giri. Terus ke Lamongan,  di sana berziarah ke makam Sunan Drajat dan di Tuban ke makam Sunan Bonang.

Usai berziarah di wilayah Jawa Timur, perjalanan reliji ini dilanjutkan ke Jawa Tengah. Di sini ada makam Sunan Muria di Gunung Muria dan makam Sunan Kudus di Kudus, serta makam Sunan Kalijaga di  Demak. Perjalanan ziarah Walisongo berakhir di Cirebon Jawa Barat, mengunjungi makam Sunan Gunung Jati.

Nah, dengan predikat Surabaya sebagai titik awal ziarah Walisongo, maka tidak salah kalau Kota Surabaya juga berjuluk Kota Reliji Sunan Ampel.***

*) Yousri Nur Raja Agam — wartawan senior berdomisili di Surabaya

 

 

Singapura Bakar Sampah dengan Incenerator

Singapura Bakar Sampah

Dengan Mesin Incenerator

Yousri Nur Raja Agam MH

Oleh: Yousri Nur Raja Agam  *)

PENGELOLAAN sampah di Kota Surabaya, merupakan masalah yang tak pernah berakhir. Bayangkan, penduduk kota Surabaya yang berjumlah sekitar 3 juta orang. Belum lagi pada siang harinya bertambah sekitar 2,5 juta orang bekerja dan mecari kehidupan di Kota Surabaya.  Jadi tidak kurang dari 5,5 juta orang menjadi sumber sampah domestik. Tiap orang diperkirakan memproduksi sampah 0,0029 meter kubik per-hari.

Berdasarkan perhitungan matematika, produksi sampah di Surabaya mencapai 15.950 meter kubik per-hari. Di samping itu, masih ditambah lagi dengan sampah yang dihasilkan pasar, pusat perbelanjaan dan kegiatan industri.

Bagi kota Surabaya, pengelolaan sampah sebanyak itu sudah tidak ada masalah. Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Surabaya sudah berpengalaman dalam pengelolaan sampah.. Ada yang diangkut dari 223 TPS (Tempat Pembuangan Sementara) dengan armada truk kontainer khusus sampah ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Ada juga di antaranya yang didaurulang di sekitar TPS atau depo sampah yang tersebar di seluruh pelosok kota.

Cerobong asap incenerator di Singapura dibuat tinggi, sehingga tidak mencemarkan lingkungan

Adipura Kencana

Kendati Surabaya merupakan kota penghasil sampah domestik terbesar ke dua di Indonesia setelah Jakarta, namun Kota Pahlawan ini merupakan pemegang predikat kota raya terbersih di Indonesia. Prestasi Surabaya meraih julukan Kota Adipura Kencana, merupakan tantangan yang harus dipertahankan. Keberhasilan itu, berkat upaya walikota Surabaya membina kesadaran dan peranserta masyarakat secara menyeluruh.

Salah satu yang menentukan dan merupkan tulang punggung Surabaya mampu menduduki tempat teratas dalam pengelolaan sampah di kota besar, adalah keberadaan “pasukan kuning”, yakni petugas kebersihan yang berseragam kuning. Tidaklah mengherankan, kepeloporan pasukan kuning dari Surabaya ini, kemudian ditiru oleh kota-kota lain di Indonesia.

Jadi, keberhasilan Pemkot Surabaya menanggulangi sampah, tidak semata-mata dilakukan oleh karyawan Dinas Kebersihan. Tetapi, 50 persen berkat peran pasukan kuning di RT, RW dan kelurahan yang dibiayai oleh warga secara langsung. Sedangkan pasukan kuning yang berstatus karyawan Pemkot Surabaya jumlah terbatas.

Sampah yang belum diangkut di jalan Surabaya

Dalam pengelolaan dan penanggulangan sampah di kota Surabaya, DKP mengoperasikan 17 unit alat berat berupa landfill, loader, bulldozer, exavator dan sweeper yang ditunjang 106 truk pengangkut sampah dari TPS ke TPA.

Diprotes

Masalah yang sering timbul dalam penanganan sampah di Surabaya di antaranya adalah reaksi dari warga sekitar TPA (Tempat Pembuangan Sampah). Pernah, akibat protes warga sekitar TPA Keputih, Sukolilo dan TPA Benowo yang menutup jalan menuju TPA, kota Surabaya menjadi kotor. Sampah menumpuk dan menggunung di mana-mana. Bahkan, bau busuk menyengat mencemarkan lingkungan.

Dulu Surabaya pernah punya TPA di Asemrowo dan Kenjeran (kawasan Pantai Ria Kenjeran). Ke dua TPA ini ditutup, karena sudah penuh. Ada lagi TPA di Lakarsantri seluas 8,3 hektar, terpaksa ditutup akibat diproters warga. Hal yang sama juga terjadi di TPA Keputih Sukolilo yang luasnya 40 hektar ditutup akibat protes warga di sekitar lokasi TPA.. Saat ini, TPA yang dioperasikan menampung seluruh sampah warga kota Surabaya adalah TPA Benowo. TPA ini dioperasikan  berawal dari luas 26,94 hektar dan sekarang sudah bertambah menjadi 37 hektar..

Dengan peralatan komputer mengendalikan dan memantau pembakaran sampah pada mesin Incenerator di Singapura

Incenerator

Surabaya pernan punya alat pemusnah sampah yang cukup membanggakan, yakni dengan instalasi pembakar sampah (incenerator). Mesin pembakar sampah “Caudaux” buatan Prancis itu merupakan andalan di tahun 1986 hingga 1998. Sebab, sekitar 200 ton sampah mampu dimusnahkan menjadi abu tiap hari. Abu bekas pembakaranpun bermanfaat untuk menimbun tumpukan sampah.

Namun begitulah, karena permasalahan biaya yang tidak seimbang dengan produksinya, tahun 1998 kegiatan incenerator di Keputih itu dihentikan. Bahkan, yang lebih menyedihkan lagi, akibat meningkatnya protes warga sekitar Keputih Sukolilo, akhirnya pertengahan tahun 2001, TPA Keputih juga ditutup. Saat itu, TPA Benowo masih dalam proses pembangunan. Setelah dikebut, akhirnya TPA Benowo dapat dioperasikan hingga sekarang. Dan TPA Benowo merupakan satu-satunya TPA samah di Kota Surabaya saat ini.

Memang, dalam kenyataannya, tidak seluruh sampah warga diangkut ke TPA Benowo. Ada juga yang didaurulang oleh warga, ada yang dibakar di incenerator mini yang ada di beberapa depo atau TPS. Sebagian lagi, ada yang langsung diangkut warga ke lahan kosong di belakang rumah dan untuk pengurukan lahan-lahan yang rendah.

Semi Tradisional

Kepala DKP Kota Surabaya, Hidayat Syah, mengakui, pengelolaan sampah di TPA Benowo masih tergolong semitradisional.

TPA Benowo masih menggunakan sistem open dumping yang dikombinasikan dengan sanitary landfill dalam pengolahan sampah. Sampah yang masuk dari TPS se-Surabaya masuk ke terminal sampah untuk di-compress. Sampah tersebut ditimbun setinggi empat meter ke dalam area-area yang telah disiapkan. Proses itulah yang disebut open dumping.

Timbunan sampah lalu dilapisi tanah setebal 30-50 sentimeter. Proses itu disebut cover soil. Ketebalan sampah dikontrol dengan mekanisme landfill. Artinya, sampah yang baru datang diletakkan di area-area yang masih kosong. Lahan yang baru ditimbuni sampah tidak bisa digunakan lagi sampai area yang lain habis dipakai.

Ketinggian maksimal sampah dua sampai tiga kali empat meter. Padahal, lahan yang ada terbatas. Dari TPA sampah di Benowo seluas 37 hektar itu, seluas 30 hektar digunakan untuk menimbun sampah. Sisanya untuk instalasi pengolahan limbah dan kantor operasional.

DKP Surabaya berencana menambah areal penimbunan sampah. Sebab, jumlah sampah yang masuk ke Benowo semakin bertambah. Ada kemungkinan arahnya mendekati kawasan stadion Gelora Bung Tomo (GBT). Tanah yang  masih milik warga itu bukan untuk penimbunan sampah, tapi sebagai buffer zone atau zona penyangga.

Zona penyangga ini akan ditanami aneka tumbuhan. Fungsinya, untuk sebagai tirai agar TPA Benowo tidak terlihat dari GBT dan penyerap bau. Tanaman itu dapat menyerap karbon dan nitrogen yang timbul dari sampah supaya baunya berkurang.

Memang, kata Hidayat Syah, TPA Benowo semula direncanakan khusus untuk sampah di Surabaya Barat. Batas waktu pemanfaatannya diperkirakan hingga 15 tahun lagi. Tapi, karena TPA di Keputih yang dulunya untuk sampah Surabaya Timur, sudah ditutup. Sejak saat itu, yakni tahun 2001, semua sampah ditimbun di TPA Benowo. Hal tersebut berdampak pada berkurangnya umur TPA Benowo. Usia TPA Benowo  diperkirakan hanya sampai tahun 2015, atau tinggal lima tahun lagi.

Untuk itulah ujar Hidayat Syah, Pemkot Surabaya harus memikirkan cara paling efektif dalam mengelola sampah di Surabaya. Sebab, sistem open dumping itu terbukti menimbulkan bau menyengat. Cara efektif tersebut berpacu dengan waktu. Sebab, GBT yang merupakan sarana olahraga yang bertetangga dengan TPA Benowo, segera diresmikan penggunaannya,

Teknologi Anti Bau

Pemkot Surabaya sudah merancang pembangunan teknologi untuk mengatasi aroma khas dari timbunan sampah. Kegiatan pembangunan proyek pencegahan bau di TPA Benowo dilaksanakan September 2009. Proses lelang pembangunan infrastruktur pengolahan sampah di TPA Benowo sudah masuk tahap evaluasi prakualifikasi.

Ketua Kadin (Kamar Dagang dan Industri) Kota Surabaya  Dr.Ir.Djamhadi mengemukakan, GBT merupakan magnet ekonomi baru bagi Kawasan Surabaya Barat yang selama ini dianggap tertinggal. Triliunan investasi akan ditanamkan di sana mengikuti perkembangan GBT.

Djamhadi mengkhawatirkan tersendatnya investasi di sekitar GBT apabila TPA Benowo masih mengeluarkan aroma tidak sedap. Siapa yang mau menanamkan uang untuk membangun tempat usaha jika lokasinya bau seperti itu, ujarnya.

Sebagai pengurus organisasi yang mengumpulkan pengusaha di Surabaya, dia mendesak agar Pemkot Surabaya segera menyelesaikan pembangunan TPA Benowo. Memang dengan teknologi tinggi, bau sampah pasti bisa diatasi.

Para wartawan dari Surabaya melihat dari dekat proses pembakaran sampah dengan mesin Incenerator di Singapura

Studibanding ke Singapura

Selain mempersiapkan upaya penanggulangan bau  dengan teknologi kimia, Pemkot Surabaya seyogyanya melakukan kajiulang untuk mencari alternatif lain. Saat melakukan studibanding ke Singapura, pertengahan April 2010, rombongan wartawan dari Surabaya melihat dari dekat pengelolaan sampah di kota “negara” itu.

Permasalahan yang pernah sama dengan yang dialami Kota Surabaya, juga pernah dirasakan kota Singapura. Dulu sistem yang digunakan sama dengan Surabaya, yakni mengangkut dan menimbun sampah. Bahkan, Singapura “ketinggalan” dari Kota Surabaya di awal tahun 2000-an. Sebab, waktu itu Surabaya sudah menggunakan teknologi tinggi, yakni mengoperasikan incenerator.  Namun sudah dihentikan, karena masalah biaya dan suku cadang.

Ternyata, sekarang Singapura yang luasnya 710 kilometer per-segi itu mengikuti model  pembakaran sampah dengan incenerator yang pernah dilaksanakan di Surabaya itu.

Walaupun yang dilaksanakan Singapura pernah dilakukan di Surabaya, tidak ada salahnya kita melakukan evaluasi. Dari studibanding  wartawan Surabaya ke Singapura yang dipimpin Kabag Humas Pemkot Surabaya, Dra.Nanies Chairani,MM itu, layak dipertimbangkan kembali penggunaan incenerator sebagai alat pemusnah sampah di Kota Surabaya. Batapa tidak, sebab sistem semitradisional di TPA Benowo yang berlangsung sekarang, usia lahannya semakin sempit dan mendekati ajal.

Selain menggunakan teknologi menghilangkan bau sampah sudah dapat diatasi dengan menggunakan bahan kimia anti bau, ternyata biayanya cukup besar. Memang sudah saatnya Surabaya meninggalkan metoda yang konvensional itu.

Salah satu pusat pengelolaan sampah di Singapura, yang layak dijadikan sebagai acuan adalah Tuas South Incinerator Plant (TSIP) Singapura. Perusahaan Pembakar Sampah Tuas Selatan di negara kecil ini, di samping mampu memusnahkan sampah, juga berhasil memproduksi listrik dari energi yang dihasilkan dari pembakaran sampah. Bahkan dimanfaatkan juga sebagai pengolah bahan baku produksi daur ulang dari sisa pembakaran sampah.

Manager Operasional TSIP, perusahaan pembakar sampah itu, Mohammad Ghazali, menyebut produksi sampah di kota Singapura  mencapai sekitar 7,2 juta ton per harinya. Memang ada bagian dari pembakaran sampah berupa residu abu yang tidak bisa didaurulang.

Bersama limbah padat, residu ini dibuang ke Pulau Semakau untuk reklamasi pantai dan pengurukan selat antara Pulau Semakau dengan Pulau Sekang. Dari reklamasi itu, Pulau Semakau nantinya akan menjadi satu dengan Pulau Sekang.

Selain dari limbah sampah, beberapa pulau kecil di sekitar Singapura banyak yang direklamasi dengan tanah dan pasir yang berasal dari Kepulauan Riau, Indonesia.

Manager Umum TSIP Singapura, Chong Kuek On, mengatakan di Singapura ada empat lokasi pembakaran sampah dan TSIP adalah yang terbesar. Teknologi ini menelan biaya yang cukup mahal.

Pembangunan. Proyek insenerator Ulu Pandan menelan biaya 130 juta dolar Singapura atau setara Rp 445 miliar. Pembangunan Tuas Utara 200 juta  atau hampir Rp 1,3 triliun. Incenarator Senoko 560 juta  atau Rp 3,6 triliun, dan Tuas Selatan 890 juta dolar, hampir sama dengan Rp 5,7 triliun. Walaupun investasinya mahal, keempat insinerator, berdasarkan data 2009, telah berhasil membakar sekitar 90 persen dari total sampah yang dihasilkan Singapura.

Nah, belajar dari negara kota Singapura itu, Pemerintah Kota Surabaya perlu berpikir jernih. Negara kota sekaya Singapura saja tidak berani mengambil resiko menggunakan dana dari pemerintahnya. Mereka memanfaatkan investor swasta untuk mengelola sampah. Sudah saatnya, Pemerintah Kota Surabaya “berani” memberi kesempatan kepada swasta untuk berperanserta. Terserah dari mana asalnya, yang penting demi kesejahteraaan warga Kota Surabaya. ***

*)Yousri Nur Raja Agam, wartawan Surabaya, menulis hasil Studibanding ke Singapura tanggal 19 April 2010.